Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

DENGAN DIAGNOSA “RETENSI URIN”

DI RUANG ELANG RS BHAYANGKARA MAKASSAR

NAMA : ABD.RAHMAN

NIM : 315020115003

PRODI : S1 KEPERAWATAN

MENGETAHUI:

CI INSTITUSI CI LAHAN

(…………..……………) (……….…………………)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA GENERASI

JURUSAN S1 KEPERAWATAN

TAHUN 2017/2018
A. Pengertian

Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan isi kandung kemih sepenuhnya
selama proses pengeluaran urine. (Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical
Nursing 12th Edition. Hal 1370 ).

Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak mempunyai
kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. Retensio urine adalah kesulitan miksi
karena kegagalan urine dari fesika urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran).

Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara akut
maupun kronis. (Depkes RI Pusdiknakes, 1995).

B. Etiologi

Penyebab dari retensi urine antara lain diabetes, pembesaran kelenjar prostat, kelainan uretra (
tumor, infeksi, kalkulus), trauma, melahirkan atau gangguan persyarafan ( stroke, cidera tulang
belakang, multiple sklerosis dan parkinson). Beberapa pengobatan dapat menyebabkan retensi urine
baik dengan menghambat kontraksi kandung kemih atau peningkatan resistensi kandung kemih.
(Karch, 2008)

C. Patofisiologi dan Patoflow

Secara garis besar penyebab retensi dapat dapat diklasifikasi menjadi 5 jenis yaitu :

akibat :

1.obstruksi,

2.infeksi

3.farmakologi

4.neurologi

5. faktor trauma.

Obstruksi pada saluran kemih bawah dapat terjadi akibat faktor intrinsik, atau faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari sistem saluran kemih dan bagian yang
mengelilinginya seperti pembesaran prostat jinak, tumor buli-buli, striktur uretra, phimosis,
paraphimosis, dan lainnya. Sedangkan faktor ekstrinsik, sumbatan berasal dari sistem organ
lain, contohnya jika terdapat massa di saluran cerna yang menekan leher buli-buli, sehingga
membuat retensi urine. Dari semua penyebab, yang terbanyak adalah akibat pembesaran
prostat jinak. Penyebab kedua akibat infeksi yang menghasilkan peradangan, kemudian
terjadilah edema yang menutup lumen saluran uretra. Reaksi radang paling sering terjadi
adalah prostatitis akut, yaitu peradangan pada kelenjar prostat dan menimbulkan
pembengkakan pada kelenjar tersebut. Penyebab lainnya adalah uretritis, infeksi herpes
genitalia, vulvovaginitis, dan lain-lain. 3 Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik,
seperti trisiklik antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan
kontraksi otot detrusor pada bulibuli.

Obat-obat simpatomimetik, seperti dekongestan oral, juga dapat menyebabkan retensi


urine dengan meningkatkan tonus alpha-adrenergik pada prostat dan leher bulibuli. Dalam
studi terbaru obat anti radang non steroid ternyata berperan dalam pengurangan kontraksi
otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin. Banyak obat lain yang dapat
menyebabkan retensi urine.

Secara neurologi retensi urine dapat terjadi karena adanya lesi pada saraf perifer, otak,
atau sumsum tulang belakang. Lesi ini bisa menyebabkan kelemahan otot detrusor dan
inkoordinasi otot detrusor dengan sfingter pada uretra.

Penyebab terakhir adalah akibat 5 trauma atau komplikasi pasca bedah. Trauma langsung
yang paling sering adalah straddle injury, yaitu cedera dengan kaki mengangkang, biasanya
pada anak-anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedalnya, sehingga jatuh
dengan uretra pada bingkai sepeda.

Patofisiologi penyebab retensi urin dapat dibedakan berdasarkan sumber penyebabnya antara lain
:

1. Gangguan supravesikal adalah gangguan inervasi saraf motorik dan sensorik. Misalnya DM berat
sehingga terjadi neuropati yang mengakibatkan otot tidak mau berkontraksi.

2. Gangguan vesikal adalah kondisi lokal seperti batu di kandung kemih, obat
antimuskarinik/antikolinergik (tekanan kandung kemih yang rendah) menyebabkan kelemahan pada
otot detrusor..

3. Gangguan infravesikal adalah berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor pada leher
vesika, fimosis, stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu uretra,
sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
D. Tanda dan Gejala

Pada retensi urin akut di tandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih yang penuh dan
distensi kandung keimih yan ringan. Pada retensi kronik ditandai dengan gejala iritasi
kandung kemih ( frkuensi,disuria,volume sedikit) atau tanpa nyeri retensi yang nyata.

Adaun tanda dan gejala dari pnyakit retensi urin ini adalah :

1. Diawali dengan urine mengalir lambat.

2. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kandung kemih
tidak efisien.

3.Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.

4.Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.

5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.


E.Klasifikasi

RETENSI URIN dapat dikelompokan menjadi 2 :

1. Retensi urin akut

Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba dan disertai rasa sakit meskipun
buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan kronis, tidak ada rasa sakit karena urin sedikit demi sedikit
tertimbun. Kondisi yang terkait adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh,
terjadi tiba-tiba, disertai rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau tidak
dapat berkemih sama sekali segera dipasang kateter

2. Retensi urin kronik

Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang disebabkan oleh peningkatan volume
residu urin yang bertahap. Hal ini dapat disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran
sedikit2 lama2 ga bisa kencing. Bisa kencing sedikit tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi
keluar sendiri karena tekanan lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah
masih dapat berkemih, namun tidak lancar , sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak dapat
mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak lampias). Retensi urin kronik tidak
mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan medis yang serius di kemudian hari.

Perhatikan bahwa pada retensi urin akut, laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan
perbandingan 3/1000 : 3/100000. Berdasarkan data juga dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya
umur pada laki-laki, kejadian retensi urin juga akan semakin meningkat.

F. Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan specimen urine.

2. Pengambilan: steril, random, midstream

3. Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, Keton dan Nitrit.

4.Sistoskopi ( pemeriksaan kandung kemih )

5. IVP ( Intravena Pielogram ) / Rontgen dengan bahan kontras.


Table Urinitis
no Pemeriksaan normal abnormal
warna Kekuning- Merah: menunjukanhematuri(
kuningan kemungikanobstruksiurunkalkulus, renalis tumor,
kegagalanginjal )
kejernihan jernih Keruh : terdapatkotoran , sendimenbakteri (
infeksiurinaria)
Bobot jenis 1.003- Biasanyamenunjukan intake
100351 cairansemakinsedikitiritancairansemakintinggibobtjenis
Bilabobotjenihtetaprendah (1.010-1.014) di
dugaterdapatpenyakitginjal.
protein 0-8 mg/dl Proteinuria dapatterjadiksrena diet tinggi protein
dankarenabanyakgerakan ( terutama yang lama )
gula 0 Terlihatpadapenyakit renal
Eritrosit 0-4 Eritrosit
Leukosit 0-5 Infeksisalurankemih
Cast/silinder 0 Infeksisaluranginjal, penyakit renal
ph 4.6-6.8 ( rata- Alkali biladibiarkanataupadainfeksisaluranKemih
rata 6.0 ) .tingkatasammeningkatpadaasidosistubulusrenalis
keton 0 Ketonuriaterjadikarenakelaparandanketoasidosis
diabetic
G. Penatalaksanaan Medis

Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar, penatalaksanaan ditetapkan

berdasarkan masalah yang berkaitan dengan penyebab retensi urinnya.

Pilihannya adalah:

1. Kateterisasi

2. Sistostomi suprapubik

- trokar

- terbuka

3. Pungsi suprapubik

1.) Kateterisasi

Syarat-syarat

- dilakukan dengan prinsip aseptik

- digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak terlalu besar, jenis Foley

- diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter.

- diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap.

- diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1 X saja (biasanya

tidak diperlukan antibiotika sama sekali). Kateter tetap dipertahankan sesingkat

mungkin, hanya sepanjang masih dibutuhkan.

Teknik kateterisasi

- Kateter Foley steril, untuk orang dewasa ukuran 16-18 F.

- Desinfeksi dengan desinfektans yang efektif, tidak mengiritasi kulit genitalia (tidak

Mengandung alkohol)

- Anestesi topikal pada penderita yang peka dengan jelly xylocaine 2-4% yang dimasukkan
dengan semperit 20cc serta "nipple uretra" diujungnya. Jelly tersebut sekaligus berperan
sebagai pelicin. (Pada batu atau striktura uretra, akan dirasakan hambatan pada saat
memasukkan jelly tersebut)

- Kateter yang diolesi jelly K-Y steril dimasukkan kedalam uretra. Pada penderita
wanita biasanya tidak ada masalah. Pada penderita pria, kateter dimasukkan dengan halus
sampai urin mengalir (selalu dicatat jumlah dan warna / aspek urin), kemudian balon
dikembangkan sebesar 5-10 ml. .

- Bila diputuskan untuk menetap, kateter dihubungkan dengan kantong penampung steril
dan dipertahankan sebagai sistem tertutup.

- Kateter di fiksasi dengan plester pada kulit paha proksimal atau didaerah inguinal dan
diusahakan agar penis mengarah kelateral, hal ini untuk mencegah terjadinya nekrosis
akibat tekanan pada bagian ventral uretra di daerah penoskrotal Perawatan Kateter tetap
Penderita dengan kateter tetap harus

- Minum banyak untuk menjamin diuresis

- Melaksanakan kegiatan sehari-hari secepatnya bila keadaan mengijinkan Membersihkan


ujung uretra dari sekrit dan darah yang mengering agar pengaliran sekrit dan lumen uretra
terjamin.

- Mengusahakan kantong penampung urin tidak melampaui ketinggian buli-buli agar urin
tidak mengalir kembali kedalamnya

- Mengganti kateter (nelaton) setiap dua minggu bila memang masih diperlukan untuk
mencegah pembentukan batu (kateter silikon : penggantian setiap 6-8 minggu sekali)

2). Sistostomi suprapubik

ü Sistostomin Trokar

Indikasi

1. Kateterisasi gagal : striktura, batu uretra yang menancap (impacted).

2. Kateterisasi tidak dibenarkan : kerobekan uretra path trauma.

Syarat-syarat:

- Retensi urin dan bull-buli penuh, kutub atas lebih tinggi pertengahan jarak antara simfisis -
umbilikus

- Ukuran kateter Foley lebih kecil daripada celah dalam trokar (< - > 20F)dorongan

kelewatan sehingga trokar menembus dinding belakang buli-buli.

ü Sistostomi Terbuka

Indikasi

- lihat sistostomi trokar


- bila sistostomi trokar gagal

- bila akan melakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu di dalam bull-buli,
evaluasigumpalan darah, memasang "drain" di rongga Retzii, dan sebagainya.

- Perawatan kateter sistostomi jauh lebih sederhana daripada kateter tetap melalui
uretra. Demikianpula penggantian kateter sistostomi setiap dua minggu, lebih mudah dan
tidak menimbulkan nyeriyang berarti. Kadang-kadang saja urin merembes di sekitar kateter.

3). Pungsi Buli-Buli

Merupakan tindakan darurat sementara bila keteterisasi tidak berhasil dan fasilitas /
sarana untuksistostomi baik trokar maupun terbuka tidak tersedia. Digunakan jarum pungsi
dan penderitasegera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan sistostomi.
Penderita dan keluarga harus diberi informasi yang jelas tentang prosedur ini karena
tanpatindakan susulan sistostomi, buli-buli akan terisi penuh kembali dan sebagian urin
merembesmelalui lubang bekas pungsi.

H. Komplikasi

1. Urolitiasis atau nefrolitiasis

2.pielonefritis

3. hydronefrosis

4. Pendarahan

5. Ekstravasasi urine
I.Penatalaksanaan Keperawatan

1.Pengkajian

a.Kaji kapan klien terakhir kali buang air kecil dan berapa banyak urin yang keluar.

b.Kaji adanya nyeri pada daerah abdomen.

c.Perkusi pada area supra pubik, apakah menghasilkan bunyi pekak yang menunjukkan distensi
kandung kemih.

d.Kaji pola nutrisi dan cairan.

2.Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

a.Retensi urin berhubungan dengan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam masalah retensi urine dapat teratasi.

Kriteria hasil : - Berkemih dengan jumlah yang cukup

- Tidak teraba distensi kandung kemih

Intervensi :

1) Dorong pasien utnuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.

R : Meminimalkan retensi urin dan distensi berlebihan pada kandung kemih.

2) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih.

R : Retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas.

3)Perkusi/palpasi area suprapubik

R: Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik.

b.Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi pada kandung kemih.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam masalah nyeri dapat teratasi.

Kriteria hasil : - Menyatakan nyeri hilang / terkontrol

- Menunjukkan rileks, istirahat dan peningkatan aktivitas dengan tepat

Intervensi :

1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas nyeri.

R : Memberikan informasi untuk membantu dalam menetukan intervensi.

2)Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen.


R : Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.

3) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan nyeri.

R : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.

4)Berikan tindakan kenyamanan

R : Meningktakan relaksasi dan mekanisme koping.

c.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring, nyeri, kelemahan otot.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam masalah intoleransi aktivitas dapat
teratasi.

Kriteria Hasil : Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan
tidak adanya dispnea, kelemahan, tanda vital dalam rentang normal.

Intervensi :

1)Evaluasi respon klien terhadap aktivitas.

R : Menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.

2)Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.

R : Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.

3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas
dan istirahat.

R : Tirah baring dapat menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.

4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.

R : Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respons individual pasien terhadap aktivitas.


Daftar Pustaka
Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition. China : LWW.

Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai