Anda di halaman 1dari 26

INKONTINENSIA URIN

A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan.
Jika Inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ), mungkin sifatnya hanya
sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius ( paraplegia ),
kemungkinan besar sifatnya akan permanent.
(Brunner & Suddarth, 2002. hal: 1471)
B. Anatomi dan Fisiologi
VESIKA URINARIA
Vesika terletak dalam pelvis minor, dorsal dan agak kronial dari ossa pubis. Vesika urinaria
terpisah dan dari tulang-tulang tersebut oleh ” Spatium retropubicum ” dan pada tempat ia
bersandar diatas dasar pelvis, terletak kaudal ari peritoneum. Kedudukan Vesika urinaria dalam
jaringan lemak ekstra peritoneal membuatnya relatif bebas kecualiservik vecicae yang tertambat
erat oleh ligamentum pubovesikale pada wanita dan ligamentum puboprostatieum pada laki-laki.
Sewaktu ferisi, vesika membesar kearah kronial kedalam lemak ekstraperitoneal lembar
superfisial fasra dinding abdomen ventral.
Dalam vesika urinaria selalu terdapat sedikit banyaknya urin dan bentuknya ebih kurang
membulat. Vesika urinarus yang kosong dan berbentuk limas, memiliki empat permukaan :
sebuah permukaan kronial, dua permukaan laterokaudal dan sebuah permukaan dorsal.
Permukaan Laterokaudal bersentuhan dengan fasera penutup muskulus elevatoroini. Permukaan
dobokaudal vesika urinaria adalah alasnya ( fundus veskae ) mengarah ke tepi kronial symphisis
pubica. Servik vesicae dengan permukaan – permukaan laterokaudal.
Palungan Vasica urinaria ( bladder bed ) pada masing – masing sisi dibentuk oleh Os Pubis,
musculus obturator internus dan musculus elevator ani, dan kearah dorsal oleh rectum. Seluruh
vesica urinaria terbungkus oleh jaringan ikat jarang yang dikenal sebagai facia vesicalis dan
ditempati oleh plexus venosus vesicalis. Dinding vesica urinaria terutama dibentuk oleh
musculus detrusor vesicae. Kearah cervix vesicae serabut ototnya membentuk sphineter urethrae
internus, sebuah otot invocuntar. Beberapa serabutnya teratur radial dan membantu membuka
ostium urethra internum. Pada laki – laki serabut otot dalam serviks vesicae bersinambungan
dengan serabut otot dalam dinding urethra. Ostium uretheris dan ostium urethrae internum
terletak pada sudut trigonum vesicae. Kedua reter melewati dinding vesica urinaria secara serong
dalam arah mediokaudal. Peningkatan tekanan dalam vesica urinaria menekan rapat dinding
ureter, dan menghindari urin terdorong balik ke dalam ureter karena peningkatan tekanan
tersebut.
(Brunner & Suddarth, 2002. hal: 1471)

C. Etiologi
Usia jenis kelamin serta jumlah persalinan pervagina yang pernah dialami sebelumnya
merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan dan secara parsial menyebabkan peningkatan
insidensnya pada wanita. Faktor resiko lain yang diperkirakan merupakan penyebab gangguan
ini adalah infeksi saluran kemih, menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan
penggunaan berbagai obat. Gejala puam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan
pembatasan aktivitas merupakan konsekuensi dari inkontinensia urin.
D. Patofisiologi
Bila terjadi pengisian kandung kencing, tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot
detrusor ( lapisan yang ketiga dari dinding kandung kencing ) memberikan respon dengan
relausasi agar memperbesar volume daya tampung bila titik daya tampung. Bila titik daya
tampung telah dicapai, biasanya 150 – 200 ml urin daya tentang reseptor yang terletak pada
dinding kandung kemih mendapat rangsangan. Stimulus transmisi lewat serabut reflek efferent
ke lengkungan pusat refleks untuk mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut
eferen dari lengkungan reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detruksor.
Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama – sama membuka dan
urine masuk kedalam irethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot parineal mengikuti
dan isi kandung kemih keluar, pelaksanaan kegiatan reflek bias mengalami interupsi dan
berkemih dan ditangguhkan melalui dikeluarkanya impuls in hibitori dari pusat kortek yang
berdampak kontraksi dilaur kesadaran dari sfingter eksterna. Bila salah satu bagian dari fungsi
yang komleks uni rusak bias terjadi inkontinensia urine, karena bakteri pada saluran kemih
menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa kandung dan menstimulis rethrovesika urinaria.

E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala Inkontinensia urine berdasarkan tipe inkontinensia sendiri :
• Inkontinensia akibat stress
Eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada
tekanan intra abdomen.
• Urge Inkontinensia
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu
menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet.
• Overflow inkontinensia
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang – kadang terjadi hampir terus menerus dari
kandung kemih.
• Inkontinensia fungsional
Merupakan Inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi faktor
lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya
urinasi ( misal, demensia alzheimer ) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau
tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.
• Bentuk – bentuk Inkontinensia urin campuran
Mencakup ciri – ciri inkontinensia seperti yang baru disebutkan.

F. Komplikasi
Infeksi saluran kemih merupakan sumber morbiditas yang menonjol united states dan juga
menonjol dalam perkembangan kegagalan ginjal kronis pad tiap bagian dari saluran kemih.
Kebanyakan infeksi saluran kemih tidak merupakan komplikasi, keadaannya tidak simtomasis,
spontan, jelas dan sebagian merupakan cukup menonjol yang mengisyarakatkan pemikiran
sebagai suatu masalah kesehatan. Tidak terdapat hal yang kontroversial dikalangan yang
melaksanakan pencegahan pelayanan kesehatan sehubungan pertanyaan tentang kebutuhan
pemeriksaan infeksi asimtomasis, namun terdapat kesukaran untuk mengidentifikasi kelompok
beresiko dimana deteksi dan pengobatan dari infeksi ini memperlihatkan perbaikan kesehatan
seseorang. Wanita cenderung mudah terserang infeksi saluran kemih bila dibandingkan dengan
pria.

G. Penatalaksanaan Medis
Pemeriksaan diagnosis harus mencakup evaluasi foal ginjal. Dapat dilakukan melalui urinarisasi,
kultur urine, elektrolit urine, urea nitrogen darah, kreatin serum dan kreatin elearance.
Biasanya kandung kemih berisi sedikit air kemih atau sama sekali kosong setelah berkemih.
Pengosongan kandung kencing dengan sempurna. Beberapa kondisi yang sering terjadi dimana
pengosongan kandung kemih tidak sempurna dapat menimbulkan prostat benigna, striktur uretra
dan interupsi inervasi kandung kemih. Air kemih yang tertinggal didalam kandung kemih setelah
berkemih disebut air kemih residu.
Salah satu cara untuk menentukan jumlah residu urine ialah dengan melakukan katerisasi segera
setelah ornag itu berkemih. Cara ini ssewaktu – waktu suka dipesan oleh dokter baik hanya
sekali atau berulang kali. Sebelum katerisasi harus berkonsultasi kembali dengan dokter tentang
drainase air kemih selanjutnya. Bila diduga terdapat jumlah besar dari urine residu, biasanya
dokter memasangkan kateter daver. Volume urine residu 50 ml atau kurang menunjukkan fungsi
kandung kencing yang normal atau kondisi kandung kemih pulih kembali.
Untuk mencegah tidak terjangkaunya urine residu oleh kateter, perlu dilaksanakan protet X –
Ray air kencing residu. Pada prosedur dipakai bahan kontraks yang tidak tembus sinar yang
diekresikan oleh ginjal setelah suntikan zat kontraks intravena, zat kontrkas melalui kandung
kemih. Jumlah urine yang cukup banyak mengandung zat kontraks dibiarkan berakumulasi
dalam kandung kemih sebelum orang diminta untuk berkemih. Segera setelah bekemih foto X –
Ray dibuat. Tiap urin yang tertahan pada kandung kemih akan dapat divisualisasikan pada
radiografi. Ini berarti pada penentuan jumlah volume urine residu diperlukan dengan keterkaitan
visualisasi study saluran kemih dari saluran kemih.
Pemeriksaan Eystometic dilakuakan untuk evaluasi tonus kandung kemih. Pada umumnya
pemeriksaan dilakukan bila terjadi inkontinen atau bila ditemukan data bahwa terjadi disfungsi
kandung kemih yang neurologik. Dipasang kateter folay sebelum dilakukan pemeriksaan.
Setelah pasien tertidur terlentang, disiapkan Na Cl normal dalam botol satu liter atau aquabidest
steril dan Cysometer disambungkan dengan kateter. Cairan dimasukkan dengan kecepatan yang
teratur pengukuran tekanan terhadap cairan yang didorong oleh otot kandung kemih diukur
setelah dimasukkan 50 ml cairan. Orang ditanya tentang rasa penuh, keinginan berkemih atau
perasaan tidak nyaman yang mendesak. Ciaran terus dimasukkan sampai terjadi atau desakkan
ditentukan bahwa perasaan itu tidak timbul. Pada waktu pemeriksaan Cystometrik, diberikan
bethanecol chloride ( urecholine ) dan diharapkan efeknya terhadap tonus kandung kemih yang
lemah, atau obat – obat anticholigeric untuk mengkaji relaksasi pad kandung kemih yang
hiperaktif. Tidak diperlukan perawatan specifik setelah pemeriksaan Cytrometrio.
H. Analisa data :
1. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan ditentukan atas dasar pengkajian pada pasien. Kemungkinan diagnosa
keperawatan dari orang inkontinensia urin yaitu :
Judul Diagnosa Kemungkinan Etiologi
Defisit mandi sendiri / pemeliharaan higyne ketoilet Gangguan kognitif / depresi
Gangguan penampilan tubuh Kehilangan fungsi tubuh, perubahan cara hidup, perubahan
keterlihatan sosial
Penyesuaian individu yang kurang mantap Krisis kondisi, krisis kedewasaan
Gangguan pengelolaan rumah tangga Tidak ada sistem bantuan, kurang pengetahuan
Inkontinen Fungsional Perubahan lingkungan defisit sensori
Inkontinen Refleks Gangguan neurologi
Inkontinen stress Relaksasi otot pelvis, terlalu mengembang
Inkontinen total Gangguan neurologik
Inkontinen desakan Kapasitas kandung kemih menurun, infeksi kandung kemih, kandung
kencing terlalu mengembang
Potensial gangguan integritas kulit Iritasi
Perubahan pola eliminasi urine Gangguan sensori motor

2. Perencanaan : Hasil Yang Diharapkan


Hasil yang diharapkan dari pasien dengan inkontinensia urine terdiri dari :
1) Orang bebas dari Ekskoriasi kulit perineum
2) Pasien bebas dari bau air kemih
3) Orang itu atau orang penting dapat menguraikan atau berkata tentang hal berikut :
a. Hubungan hygine yang mantap dengan pemeliharaan integritas kulit.
b. Hubungan intake cairan yang adekuat demi kelancaran latihan kandung kemih.
c. Rencana latih kandung kemih.
4) Bagaimana cara merawat masalah kulit yang ringan bila itu terjadi.
5) Bagaimana cara mendapatkan sember profesional dan anggota masyarakat :
a. Lembaga yang ada bila diperlukan.
b. Bagaimana cara mendapatkan suplay dan peralatan ( sistem drain, kursih tempat toilet, kasa
protektif, tempat tidur khusus ).
c. Diaman dan bila harus mencari pertolongan bila timbul masalah.
6) Perencanaan pengobatan kesinambungan
3. Implementasi
Tujuan :
• Membantu meraih terapi
• Pengendalian inkontinen urine
Pengendalian inkontinen urine sebagian besar tergantung pada penyebabnya. Usaha – usaha
terdiri dari pengobatan, program latihan ulang kandung kemih, prosedur bedah atau pemakaian
alat drainase interna atau eksterna.
Disfungsi Sfinkter
Bila sfinkter eksterna pernah rusak orang akan menderita inkontinen pada terjadi adanya desakan
diluar kesadaran. Sfinkter, akan terjadi perasaan akut berkemih. Bila demikian masalahnya
bukan inkontinen tapi retensi. Untuk menjamin keteraturan berkemih diperlukan jadwal. Bila
kedua sfinkter rusak akan terjadi inkontinen yang total.
Inkontinen Stress
Inkontinen urine yang terjadi sewaktu batuk, waktu terjadi adanya tarikan atau mengangkat yang
berat disebut inkontinen stres.
Terapi Konservatif
Latihan Perineum dapat menolong pada inkontinen stres rinagn. Latihan terdiri dari
mengencangkan dan mengendurkan perineum dan otot glitimus dan dapat dilakukan dalam
berbagai cara, yaitu :
a. Kencangkan otot perineum seperti mencegah berkemih ( dalam hitungan 10, kemudian
kendurkan ).
b. Tarik nafas
c. Berjongkok seperti akan BAB kendurkan otot perineum
d. Letakkan sebuah pensil di antara lipatan pantat dan perineum
e. Duduk pada toilet dengan dengkul direntangkan kesamping.
Bedah
Bedah dapat dilakukan pada Inkontinen Stres yang gawat. Vesicourethropexy ( operasi marshall
marchetti. Krantz ) yang terdiri dari fikasasi uretra kepada fascia musculus rectus abdomialis
dengan tahanan kepada leher dari kendung kemih.
Prosedur bedah yang lebih metakhir yang kurang invasif adalah prosedur stamey. Sebagian leher
kandung kemih melalui jahitan sambungan kesambungan urethrovesicalis.

Inkontinen mendesak
Inkontinen mendesak disebabkan oleh infeksi saluran kemih kumrahnya temporer,memberi
respon terhadap pengobatan antibiotik sistemik. Akibat specifik dari infeksi misalnya : infeksi
harus diidentifikasi dan dikoreksi bila masih mungkin.
Disfungsi kandung kencing neurogenik
Oarng yang cedera sum – sum belakang mengalami periode transitori ” syok spinal ” dimana
terjadi retensi urine. Ditolong dengan katerisasi kontinue atau intermiten yang tujuannya
mencegah infeksi saluran kemih dan distensi kandung kemih yang berlebihan.
Drainase urine pada inkontinen
Dalier kateter sesungguhnya menghadirkan bahaya yang potensial seperti infeksi saluran kemih,
urethiritis, epididymis, fistula uretra.
Membantu kenyamanan dan aktivitas kebutuhan sehari – hari
Orang yang mengalami inkontinen sewaktu – waktu bisa mengendalikan kandung kemih.
Perawat hendaknya segera memberi respon bila diminta bantuan untuk ke toilet dan pasien juga
harus dihimbau untuk membatasai intake cairan 2 sampai 3 jam sebelum waktu tidur.
Latihan kembali kandung kemih
a. Menetukan pia waktu biasanya orang berkemih
b. Merencanakan waktu toilet berjadwal berdasarkan pola dari pasien, bantu pasien seperlunya.
c. Rencana ke toilet 1 sampai 2 jam sekali
d. Mengusahakan agar pasien berposisi normal pada waktu ke toilet
e. Mengusahakan agar pasien mengosongkan kandung kencing sesempurna mungkin.
f. Mengusahakan agar intake cairan 3000 ml perhari demi memenuhi volume urine yang adekuat.
g. Membuat jadwal agar cairan diminum
4. Evaluasi
a) Drainase urine yang adekuat harus dipertahankan.
b) Pasien menyadari terdapatnya sumber profesional dan sumber di masyarakat.
c) Pasien dapat menjelaskan kebutuhan alat yang diperlukan
d) Kulit pasien bebas dari ekskoriasi
e) Pasien dapat menguraikan rencana perawatan selanjutnya
f) Pasien dapat menguraikan program latihan kembali dari kandung kemih.
5. Pengkajian
Data Objektif
Pertanyaan berikut diajukan bila melakukan pengkajian yang inkontinen :
• Apakah terjadi ketidakmampuan total untuk pengendalian berkemih ?
• Berapakah fungsi Inkontinen ?
• Apakah ada sesuatu yang mendahului inkontinen ( stres, ketakuatan tertawa, gerakan ) ?
• Apakah disertai atau terbakar pada waktu inkontinen ?
• Apakah terjadi tetesan air kemih ?
Data Subjektif
Data – data objektif yang penting diketahui adalah :
• Volume output.
• Karakteristik dari urine.
• Palpasi vesica urinaria untuk mengetahui adanya residu air kemih.
• Tingkat kesadaran pasien untuk menjalin kerjasama.
• Kemampuan pasien untuk mengikuti petunjuk – petunjuk.
• Apakah terdapat sebab fisiologi pada inkontinen ( contoh, cedera sum – sum belakang ).
I. Kesimpulan
Inkontinensia urin adalah eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi
diluar keinginan.
Jenis – jenis Inkontinensia urine :
• Inkontinensia akibat stress
• Urge Inkontinensia
• Overflow inkontinensia
• Bentuk – bentuk Inkontinensia urin campuran
• Inkontinensia fungsional
Faktor Penyebab :
• Usia
• Jenis Kelamin
• Jumlah persalinan pervagina ( pada wanita )
• Infeksi saluran kemih
• Menopause
• Pembedahan urogenital
• Penggunaan obat

J. Daftar Pustaka
1. Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC.
2. E. long, Barbara. Keperawatan Medikal Bedah 3.
3. Moore, keith L, Anatomi Klinis Dasar, Hipokrates, Jakarta. 2002.
MAKALAH
ILMU KEPERAWATAN DASAR III
INKONTINENSIA URINE

Disusun Oleh:

1. Ditroid P (106203
2. Januarko (10620361)
3. Melsiansi M. Soares (10620362)
4. Nahrowi (10620364)
5. Nilwan A. (10620365)
6. Nur Hanifah (10620369)
7. Nur hidayah (10620370)
8. Rani Novitasari (10620372)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KADIRI
2011
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering
terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara).
Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita
inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi
kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia
urine yang baik.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di Amerika
Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan ini
bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan
bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang
pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih
dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai
10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine
semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya
inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian
mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya.
Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang
sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres,
dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan
secara bersamaan.
Tujuan penyajian referat ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai inkontinensia
urine, jenis-jenis dan cara penanganannya. Pemahaman yang lebih baik akan membantu usaha
mengatasi gangguan ini.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Asuhan Keperawatan Pasien dengan inkontinensia Urine ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan Asuhan Keperawatan pasien dengan inkontnensia urin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk memahami pengertian dari inkontinesia urine.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin.
5. Untuk mengetahui maninfestasi klinis inkontinensia urin.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Pembaca
Agar pembaca dapat menambah pengetahuan tentang inkontinensia urin.
1.4.2 Bagi Penulis
Mampu memahami tentang bagaimana asuhan keperawatan pada pasien inkontinensia urine

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam
merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine adalah
pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi
keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai
inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).

2.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas beberapa
jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
A. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas
yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan
mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di
dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine.
Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya
penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi
berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan
ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan kandung kemih.
Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat dilihat dinding depan vagina.
Informasi yang penting bisa diperoleh dengan percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta
untuk berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam
kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian ditentukan
kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres
yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada posisi
berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan
tungkai dijauhkan satu sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini. Kemudian
dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina kanan dan kiri
sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi.
Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapat
disembuhkan dengan operasi kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan
sistometri, sistoskopi serta kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis.
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut terbelakang vesikouretra
0 0
membesar sampai 180 atau lebih. Normalnya sudut ini sekitar 120 . Gambaran ini menegaskan
adanya sistokel pada pemeriksaan badan.

Gambar 2.1 : Anatomi Sudut Vesikouretra


0
a. Normal : Sudut vesikouretra 120
0
1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 120
0
b. Patologik : Sudut vesikouretra 180
0
1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 180

Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah interdisipliner


antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama
penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga harus diobati.
Kebanyakan diagnostik yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan
ginekolog. Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut
sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk otot-otot dasar
panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres bersifat operatif. Dikenal berbagai
teknik bedah yang semuanya dapat memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi
ini berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu menarik dinding vagina ke arah ventral untuk
0
menghilangkan sistokel dan mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 120 seperti semula.
Ini dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada periosteum tulang pubis (teknik
Marshall-Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina lebih lateral pada lig. Pouparti (teknik
Burch) atau dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke atas memakai selembar fasia atau bahan
yang tidak dapat diresorpsi serta diikatkan pada fasia abdominalis.Biasanya keluhan stres dan
desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang
juga meliputi sistometri dan pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa
pembentukan sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka pola
keluhan semula dapat lebih mengikat.
Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa urine
segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan
kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase
kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa
kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih
dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada
operasi Marshall-Marchetti-Krantz merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
B. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkandengan
keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi akibat kandung kemih
tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun
karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut
kandung kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala
gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan pada sekitar
10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia karena
mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak
stabil.
Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik), akan
tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya
faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra,
sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Burnett, menyebutkan penyebabnya adalah
tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum
tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan
pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif,
termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu
sistometrik.
C. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan intravesikal
melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih tanpa adanya
aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi
terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi
sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra,
sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak
dan medula spinalis.
Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung pada
tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks
miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung
kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme penutupan
uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di dalam otak
diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk
isyarat mengenai keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.
Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari
ganglion yang termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi

kandung kemih yaitu :


1. Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi kelumpuhan
flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi sebenarnya lenyap.
2. Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung refleks yang tetap
utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat miksi. Miksi sakral
menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih. Terjadi refleks kontraksi kandung kemih
yang terarah kepada miksi yang otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari
pusat yang lebih atas. Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot
kandung kemih sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot kandung kemih tidak
lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat dikosongkan.
Gambar 2.2 : Persarafan kd. Kemih, uretra dan otot-otot periuretral. Otot polos uretra digambar
bertitik ; Otot lurik dasar panggul dan uretra digambar lurik. (dikutip dari kepustakaan no.2)

Terdapat beberapa macam tes untuk memeriksa aktifitas refleks pada segmen sakral medula
spinalis. Bila ada aktifitas sakral, mungkin lesi jenis supranuklear.
 Refleks anus : kulit di dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum. Kontraksi pada sfingter anus
bagian luar membuktikan bahwa refleks ini ada. Jari yang dimasukan di dalam rektum
merasakan bahwa sfinger anus menegang.
 Refleks bulbokavernosus : sewaktu klitoris dipijit pada pemeriksaan rektal terjadi kontraksi otot
bulbo dan iskiokavernosus.
 Refleks ketok abdomen : ketokan pada dinding perut diatas simfisis menyebabkan tegangnya
sfingter ani. Ini dapat diraba dengan jari didalam rektrum.
 Tes air es : kandung kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-90 ml air es. Jika dalam
waktu satu menit kateter beserta air es tertekan keluar lagi, terbukti adanya gangguan fungi
kandung kemih jenis supranuklear.
D. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada waktu tindakan
operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau ekstraksi dengan cunam.
Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan kepala
janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan
iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi plastik pervaginam,
operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat menimbulkan fistula traumatik.
Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam
rongga vesika. Akan tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi melalui vagina
(transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila ditemukan fistula yang terjadi
pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah, maka penanganannya harus ditunda tiga
bulan. Bila jaringan sekitar fistula sudah tenang dan normal kembali operasi baru dapat
dilakukan.

2.3 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ
kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air
seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab
Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah,
efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke
toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan
harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh
penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau
farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit
yang dideritanya. Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas
dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga
dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan
terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

2.4 Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer
pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya
inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

2.5 Manifestasi Klinis


1. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini
sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya
terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama tidur.
Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukkan
adanya kandung kemih yang tidak stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah, menetes), trauma
(termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus-menerus),
penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.

2.6 Penatalaksanaan
Latihan otot-otot dasar panggul Latihan penyesuaian berkemih Obat-obatan untuk
merelaksasi kandung kemih dan estrogen Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung
kemih
1. Inkontinensia urgensi
a. Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaiany
b. Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
c. Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik yang
menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah.
d. Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara menetap.
e. Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
2. Inkontensia overflow
a. Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara menetap
b. Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
3. Inkontinensia tipe fungsional
a. Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih
b. Pekaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya
c. Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih
d. Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih

2.7 Pathway
Kehilang
an
sensasi
dan
refleksfi
nter

MK:
Inkontinensia urin

BAB 3
ASKEP INKONTINENSIA URIN

3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Anamnese
1. Identitas Klien
Nama : Ny. M
Tempat/Tanggal Lahir : 55 th
Jenis kelamin : Perempuan
Status Perkawinan :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Suku/Bangsa : Indonesia
Tanggal Masuk RS : Rabu, 23 November 2011 No. RM
: 235501
Ruang : Dahlia
Diagnosa Medis
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh keluar kencing saat tertawa, bersin dan batuk, sering kencing sekitar 2 jam
sekali.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengeluh keluar kencing saat tertawa, bersin dan batuk, sering kencing sekitar 2 jam
sekali. Pasien malu, dan merasa tidak nyaman dengan hal itu sehingga dia tidak mau bergaul
dengan teman-2nya sesama lansia .
c. Riwayat kesehatan keluarga
Negative
d. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Negative
e. Lingkungan yang mempengaruhi kesehatan
Negative
f. Riwayat alergi
Negative

3.1.2 Pemeriksaan fisik


A. Keadaan Umum
Pasien tanpak lemah dan tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinesia.
B. Pemeriksaan Sistem
1. B1 (breathing)
Negative (tidak ada)
2. B2 (blood)
Negative (tidak ada)
3. B3 (brain)
Negative (tidak ada)
4. B4 (bladder)
Setiap ada peningkatan tekanan intra abdomen urine pasien menetes keluar.
Kebersihan: negative
urin:
jumlah :-
warna :-
Bau :-
Kandung kemih
Membesar : tidak
Nyeri tekan : tidak
Gangguan
Anuria : tidak
Oliguria : tidak
Retensi : tidak
Nokturia : tidak
Inkontinensia : ada
Lain-lain :
5. B5 (bowel)
Negative (tidak ada)
6. B6 (bone)
Negative (tidak ada)

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


ANALISA DATA
ANALISA ETIOLOGI M.K D.K
Data subjektif: Degenerativesel Inkontinensia Inkontinensia
Pasien mengeluh keluar urin stress urin stress b/d
kencing saat tertawa, perubahan
bersin dan batuk, sering degenerative
kencing sekitar 2 jam pada otot
Kehilangansensasi
sekali pelvis dan
dan reflek sfinter
Data obyektif : struktur
setiap kali ada pendukungnya
peningkatan tekanan yang
intra abdomen urine dihubungkan
pasien menetes keluar usia lanjut.

MK: Inkontinensia
urin
Terjadiparalisis pada
saluran perkemihan

Penurunansaluran
system perkemihan

Data subjektif: Interaksi Interaksi


Pasien malu, dan MK. Interaksi sosial, sosial,
merasa tidak nyaman sosial, hambatan hambatan hambatan b/d
dengan hal itu sehingga gangguan
dia tidak mau bergaul konsep diri
dengan teman-2nya
sesama lansia.
Data objektif :
-

Gangguan konsepdiri
Pasien merasa malu

Pengeluaran urinyang
terlalu sering

3.3 INTERVENSI
INTERVENSI
No Diagnosa Intervensi Rasional
1. Inkontinensia urin Lakukan latihan otot Memperkuat otot
stress b/d perubahan dasar panggul pubotogsigeal
degenerative pada otot dengan kontraksi
pelvis dan struktur volunteer
pendukungnya yang berulang.
dihubungkan usia
lanjut. Lakukan perawatan untuk
inkontinensia urin meningkatkan
Tujuan: kontinensia urin
a. Menunjukkan dan untuk
kontinensia urin. mempertahankan
b. Keadekuatan waktu intregitas kulit
untuk mencapai kamar perineal.
kecil antara urgensi dan
pengeluaran urin. Identifikasi penyebab Untuk
c. Pakaian dalam tetap inkontinensia mengetahui
kering sepanjang hari multifaktorial penyebab
d. Mampu berkemih inkontinensia
secara mandiri. urin

Kriteria Hasil:
Kontinensia urin.
Mempertahankan
frekuensi berkemih
lebih dari 2 jam.
2. Interaksi sosial, Tingkatankan Untuk
hambatan b/d gangguan sosialisasi meningkatkan
konsep diri interaksi pasien
dengan orang lain
Tujuan:
a. Menunjukkan Untuk
penampilan peran Kaji pola interaksi mengetahui pola
b. Menunjukkan antara pasien dengan interaksi pasien
keterlibatan sosial orang lain dengan orang lain

Kriteria Hasil:
a. Keterampilan interaksi
sosial: penggunaan
perilaku interaksi sosial
yang efektif.
b. Keterlibatan
sosial:interaksi sosial
individu yang sering
dengan orang lain,
kelompok atau
organisasi

3.4 IMPLEMENTASI
IMPLEMENTASI
Hari/tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Paraf
Senin, 26 Inkontinensia urin stress
November 2011 b/d perubahan
Pukul. 07.00 degenerative pada otot
pelvis dan struktur
mengidentifikasi
pendukungnya yang
penyebab
dihubungkan usia lanjut.
inkontinensia
multifaktorial

Senin, 26 Inkontinensia urin stress melakukan


november 2011 b/d perubahan perawatan
Pukul 13.00 degenerative pada otot inkontinensia urin
pelvis dan struktur
pendukungnya yang
dihubungkan usia lanjut.

Selasa, 26 Inkontinensia urin stress melakukan


november 2011 b/d perubahan perawatan
Pukul. 07.00 degenerative pada otot inkontinensia urin
pelvis dan struktur
pendukungnya yang
dihubungkan usia lanjut.

Selasa, 26 Inkontinensia urin stress melakukan latihan


november 2011 b/d perubahan otot dasar panggul
Pukul. 13.00 degenerative pada otot
pelvis dan struktur
pendukungnya yang
dihubungkan usia lanjut.

Rabu, 27 Inkontinensia urin stress


november 2011 b/d perubahan
Pukul. 07.00 degenerative pada otot
pelvis dan struktur
melakukan
pendukungnya yang
perawatan
dihubungkan usia lanjut.
inkontinensia urin

Rabu, 26 Interaksi sosial, Mengkaji pola


november 2011 hambatan b/d gangguan interaksi antara
Pukul. 13.00 konsep diri pasien dengan
orang lain

Meningkatankan
sosialisasi

3.5 EVALUASI
S : Pasien mengatakan bahwa tidak mengeluarkan urin pada saat bersin dan tertawa.
O: Setiap ada peningkatan tekanan intra abdomen urin pasien tidak menetes.
Pasien mengeluarkan urin lebih dari 2 jam sekali.
A: Masalah teratasi
P: Masalah teratasi pasien pulang.

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial.
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni.Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet
Asuhan keperawatan inkontinensia urin meliputi pengkajian, diagnose keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi.

4.2 Saran
4.2.1 Bagi pembaca diharapkan menambah pengetahuan tentang inkontinensia urin.
4.2.2 Bagi penyusun diharapkan menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan tentang
inkontinensia urin.

DAFTAR PUSTAKA

Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC


Wilkinson M Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan NOC. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai