Anda di halaman 1dari 12

KEGAWATAN BIDANG UROLOGI

Kegawatan pada bidang urologi dibedakan menjadi dua berdasarkan kausanya yaitu
kegawatan traumatik dan kegawatan non traumatik. Kegawatan traumatik terdiri dari trauma
renal, trauma ureteral, trauma vesika urinaria, ruptur uretra, dan trauma genitourinaria
eksterna. Sedangkan kegawatan non traumatik terdiri dari hematuria, kolik renal, retensi urin,
acute scrotum dan priapismus.

A. Kegawatan Non Traumatik


1. Hematuria
Hematuria adalah didapatkannya sel-sel darah merah di dalam urine. Secara visual,
hematuria dibedakan dalam 2 keadaan, yaitu hematuria makroskopik dan
mikroskopik. Hematuria makroskopik adalah hematuria yang secara kasat mata dapat
dilihat sebagai urine yang berwarna merah dan hematuria mikroskopik adalah
hematuria yang secara kasat mata tidak dapat dilihat sebagai urine yang berwarna
merah tetapi pada pemeriksaan mikroskopik diketemukan lebih dari 2 (dua) sel darah
merah per lapangan pandang.
Hematuria makroskopik yang berlangsung terus menerus dapat mengancam jiwa
karena dapat menimbulkan penyulit berupa: terbentuknya gumpalan darah yang
dapat menyumbat aliran urine, eksanguinasi sehingga menimbulkan syok
hipovolemik/anemi, dan menimbulkan urosepsis.
a. Patofisiologi
Hematuria dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan yang berada di dalam sistem
urogenitalia atau kelainan yang berada di luar sistem urogenitalia. Kelainan yang
berasal dari sistem urogenitalia antara lain adalah: (1) Infeksi/inflamasi antara
lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis, sistitis, dan uretritis, (2) Tumor
jinak atau tumor ganas yaitu: tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor pielum, tumor
ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia prostat jinak, (3) Kelainan
bawaan sistem urogenitalia, antara lain : kista ginjal dan ren mobilis, (4) Trauma
yang mencederai sistem urogenitalia, (5) Batu saluran kemih. Adapun kelainan-
kelainan yang berasal dari luar sistem urogenitalia, diantaranya adalah kelainan
pembekuan darah, SLE, dan kelainan sistem hematologik yang lain.
b. Gejala Klinis
Pasien dengan hematuria mikroskopik biasanya dijumpai secara kebetulan,
sewaktu pasien tersebut melakukan pemeriksaan urinalisis karena suatu indikasi
atau pada saat melakukan general check-up. Adapun pasien dengan gross
hematuria biasanya datang ke dokter karena mendapati urine yang berwarna
merah atau datang karena keluhan tidak bisa miksi karena adanya sumbatan
bekuan darah.
c. Tatalaksana
Jika terdapat gumpalan darah pada buli-buli yang menimbulkan retensi urine,
dicoba dilakukan kateterisasi dan pembilasan buli-buli dengan memakai cairan
garam fisiologis, tetapi jika tindakan ini tidak berhasil, pasien secepatnya dirujuk
untuk menjalani evakuasi bekuan darah transuretra dan sekaligus menghentikan
sumber perdarahan. Jika terjadi eksanguinasi yang menyebabkan anemia, harus
difikirkan pemberian transfusi darah. Demikian juga jika terjadi infeksi harus
diberikan antibiotika.
Setelah hematuria dapat ditanggulangi, tindakan selanjutnya adalah mencari
penyebabnya dan selanjutnya menyelesaikan masalah primer penyebab
hematuria.

2. Kolik Renal
Kolik renal berasal dari dua kata yaitu “kolik” dan “renal”. Kolik adalah merupakan
nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga yang umumnya disebabkan
karena hambatan pasase dalam rongga tersebut. Nyeri ini timbul oleh karena
hipoksia, dirasakan hilang timbul, dapat disertai mual dan muntah. Sedangkan renal
adalah ginjal. Kolik renal adalah suatu nyeri hebat pada pinggang yang disebabkan
oleh karena batu di ureter atau di Pelvic Ureter Junction (PUJ) (urolithiasis).
a. Etiologi
Penyebab kolik ginjal yaitu : 1) Batu Ginjal (Kalsium oksalat 70% kasus, batu
asam urat, sturvit 15%, sistin 1% b. 2) Papila ginjal yang rusak (diabetes,
penyakit sel sabit) 3) Kolik akibat bekuan darah (diastesis perdarahan) 4) Kolik
akibat tumor.
b. Gejala
Gejala utama kolik renal ini adalah nyeri dengan onset akut dan intensitas berat,
unilateral yang berawal dari daerah pinggang atau daerah flank yang menyebar ke
labia pada wanita dan pada paha atau testis pada laki-laki. Nyeri berlangsung
beberapa menit atau jam, dan terjadi spasme otot bersifat hilang timbul. Nyeri
biasanya sangat berat dan merupakan pengalaman buruk yang pernah dialami
pasien. Derajat keparahan nyeri tergantung pada derajat obstruksi dan ukuran
batu. Posisi batu juga berhubungan dengan penyebaran nyeri. Kolik biasanya
disertai dengan mual, muntah, sering BAK, disuria, oliguria dan hematuria. 1,2
Kolik renal muncul oleh karena hasil dari obstruksi saluran kemih oleh batu pada
area anatomi yang sempit di ureter, Pelvic Ureter Junction (PUJ), Vesico Ureteric
Juntion (VUJ). Lokasi nyeri berhubungan dengan prediksi letak batu namun
bukan merupakan hal yang akurat. Batu yang berada pada Pelvic Uretra Junction
(PUJ) biasanya nyeri dengan derajat berat pada daerah sudut kostovertebra dan
menyebar sepanjang ureter dan gonad. Jika batu pada midureter, maka rasa nyeri
sama dengan batu di PUJ, namun pasien mengeluhkan nyeri tekan pada regio
abdominal bawah. Batu yang berada pada daerah distal ureter akan menimbulkan
rasa nyeri yang menyebar ke paha serta ke testis pada laki-laki dan ke labia
mayor pada perempuan. Pada pemeriksaan fisik didapati pasien banyak bergerak
untuk mencari posisi tertentu untuk mengurangi nyeri dan hal ini sangat kontras
dengan iritasi abdomen yaitu dimana pasien dengan posisi diam untuk
mengurangi nyeri. Selain itu juga didapati nyeri pada sudut kostovertebra ataupun
pada kuadran bawah. Hematuria masif sekitar 90%. Namun absen hematuri tidak
mengeksklusi adanya BSK. Mual dan muntah juga muncul oleh karena distensi
sistem saraf splanchnic dari kapsul renal dan usus. 2, 6 Jenis batu yang biasanya
didapati adalah batu kalsium (kalsium oksalat, kalsium posfat dan campuran
kalsium oksalat dan posfat). Sedangkan 20% lainya disebabkan asam urat, sistin
dan sturvit.
c. Tatalaksana
Manajemen kolik renal akut terdiri dari manajemen nyeri, mual dan muntah dan
menilai indikasi pasien untuk dirawat inap. Manajemen kolik renal akut yaitu
memberikan analgesik yang adekuat sehingga tercapai penurunan skor nyeri dan
penurunan dosis. Terdapat dua prinsip pengobatan penghilang rasa nyeri pada
kolik renal akut yaitu Nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDS) dan
opioid. Nyeri yang berhubungan dengan kolik renal selama ini diterapi dengan
opioid. Namun sesuai dengan berkembangnya penelitian terbaru bahwa
penggunaan NSAID (Non steroidal antiinflammatory drugs) dan COX-2
inhibitors (Cyclooxygenase-2) lebih efektif dalam mengatasi nyeri dengan
mekanisme memblok vasodilatasi arteri afferen sehingga menurunkan diuresis,
edema dan stimulasi otot polos ureter. NSAID menyebabkan muntah yang
minimal dibanding narkotik. Namun NSAID dapat menyebabkan fungsi renal
yang semakin buruk pada pasien dengan obstruksi. Opioid khususnya pethidin
memiliki banyak efek samping, hal sesuai dengan hasil penelitian Anna Holdgate
dan Tamara Pollock tahun 2006. Berdasarkan data yang ada bahwa penggunaan
ketorolak dengan dosis tertentu hanya akan menyebabkan risiko minimal
gangguan fungsi renal dan tidak meningkatkan risiko perdarahan pada saat
operasi. Penggunaan intravena lebih, efektif dan cepat dalam mengatasi nyeri.

3. Retensi Urin
Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. Retensio urine
adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika urinaria.
a. Etiologi
1) Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medullaspinalis.
Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun seluruhnya,
misalnya pada operasi miles dan mesenterasi pelvis, kelainan medulla
spinalis, misalnya miningokel, tabes doraslis, atau spasmus sfinkter yang
ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
2) Vesikel berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, , atoni pada
pasien DM atau penyakit neurologist, divertikel yang besar.
3) Intravesikal berupa pembesaran prostat, kekakuan lehervesika, batu kecil dan
tumor.
4) Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran prostat,kelainan patologi
uretra, trauma, disfungsi neurogenik kandung kemih.
5) Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine),
preparat antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin
(Pseudoefedrin hidroklorida = Sudafed), preparat penyekat β adrenergic
(Propanolol), preparat antihipertensi (hidralasin)
b. Gejala Klinis
1) Diawali dengan urine mengalir lambat.
2) Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.
3) Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
4) Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
5) Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc
c. Tatalaksana
1) Kateterisasi urethra.
2) Drainage suprapubik.
3) Pungsi vesika urinaria

4. Acute scrotum
a. Torsio Testis
Terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya gangguan aliran
darah pada testis.
1) Gejala Klinis
Keluhan berupa nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan
diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan ini dikenal sebagai akut skrotum.
Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah, sehingga
jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Pada bayi
gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui.
2) Pemeriksaan fisik
Inspeksi: testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horisontal
daripada testis sisi kontralateral.
Palpasi: kadang-kadang pada torsio testis yang baru saja terjadi dapat diraba
adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus.
Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya lekosit dalam urine
dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada
torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami keradangan steril.
3) Tatalaksana
a) Detorsi manual
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya dengan
jalan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena
biasanya ke medial maka dianjurkan memutar kearah lateral dulu dan jika
tidak terjadi perubahan dicoba ke arah medial. Jika detorsi berhasil
operasi harus tetap dilaksanakan.
b) Operasi
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis
pada arah yang benar dan setelah itu dinilai apakah testis yang mengalami
torsio masih voable atau sudah nekrosis.Jika testis masih hidup, dikaukan
orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos kemudian disusul
orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan dengan
mempergunakan benang yang tidak diserap pada tiga tempat, sedangkan
pada testis yang sudah nekrosis dilakukan orkidektomi.

5. Priapismus
Priapismus adalah ereksi penis yang berkepanjangan (lebih dari 4 jam) tanpa diikuti
dengan hasrat seksual dan sering disertai dengan rasa nyeri.
a. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan yang teliti diharapkan dapat mengungkapkan
etiologi priapismus. Pada pemeriksaan lokal didapatkan batang penis yang tegang
tanpa diikuti oleh ketegangan pada glans penis. Ultrasonografi Doppler yang
dapat mendeteksi adanya pulsasi arteri kavernosa dan analisis gas darah yang
diambil intrakavernosa dapat membedakan priapismus jenis ischemic atau non
ischemic.

Tabel 1. Perbedaan low flow dan high flow

b. Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi priapismus adalah secepatnya mengembalikan aliran darah
pada korpora kavernosa yang dicapai dengan cara medikamentosa maupun
operatif. Sebelum tindakan yang agresif, pasien diminta untuk melakukan latihan
dengan melompat-lompat dengan harapan terjadi diversi aliran darah dari
kavernosa ke otot gluteus. Pemberian kompres air es pada penis atau enema
larutan garam fisiologi dingin dapat merangsang aktivitas simpatik sehingga
memperbaiki aliran darah kavernosa. Selain itu pemberian hidrasi yang baik dan
anestesi regional pada beberapa kasus dapat menolong. Jika tindakan di atas tidak
berhasil mungkin membutuhkan aspirasi, irigasi, atau operasi. Aspirasi darah
kavernosa diindikasikan pada priapismus non iskemik atau priapismus iskemik
yang masih baru saja terjadi. Priapismus iskemik derajat berat yang sudah terjadi
beberapa hari tidak memberikan respon terhadap aspirasi dan irigasi obat ke
dalam intrakavernosa; untuk itu perlu tindakan operasi. Aspirasi dkerjakan
dengan memakai jarum scalp vein no 21. Aspirasi sebanyak 10-20 ml darah
intrakavernosa, kemudian dilakukan instilasi 10-20 µg epinefrin atau 100-200 µg
fenilefrin yang dilarutkan dalam 1 ml larutan garam fisiologis setiap 5 menit
hingga penis mengalami detumesensi.

B. Kegawatan Traumatik
1. Trauma Ginjal
Definisi dari trauma adalah suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan tubuh
atau organ tubuh dimana faktor penyebab berasal dari luar tubuh. Salah satu
trauma yang dapat terjadi pada organ tubuh adalah ginjal. Trauma ginjal terjadi
rata-rata 1-5% dari semua trauma.
a. Mekanisme Trauma
Mekanisme terjadinya trauma ginjal dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul biasanya diakibatkan karena
kecalakaan lalu lintas, kecelakaan pada olah raga, dan lain-lain. Kecelakaan
merupakan penyebab trauma tumpul pada ginjal. Laserasi ginjal dan trauma
pada vaskuler ginjal kira-kira 10-15% dari trauma tumpul ginjal. Oklusi arteri
renal berhunbungan dengan trauma deselerasi secara tiba-tiba. Posisi ginjal
berubah yang menyebabkan tarikan pada vaskuler ginjal. Hal tersebut
menyebabkan injuri pada intima dan dapat memicu terjadinya trombosis.
Kompresi arteri renal yang disebabkan desakan antara vertebra dan dinding
anterior abdomen dapat menyebabkan trombosis pada arteri renal sebelah
kanan. Luka tembak dan luka tusuk merupakan penyebab utama trauma tajam
pada ginjal. Akibat trauma ginjal lebih parah dari pada akibat dari trauma
tumpul. Trauma dari peluru dapat mengakibatkan trauma yang lebih parah
pada parenkim ginjal akibat dari gaya kinetiknya yang besar. Trauma dengan
kekuatan yang lebih kecil mengakibatkan kerusakan jaringan yang lebih luas
lagi akibat dari efek ledakan. Pada trauma dengan kekuatan yang lebih besar
kerusakan jaringa yang luas disertai dengan kerusakan organ yang lain.
Trauma ginjal paling sering terjadi diantara organ urogenital yang lain,
biasanya disertai dengan trauma abdomen dan kejadian nefrektomi masih
tinggi antara 25-30%.
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah menyusun
klasifikasi trauma ginjal. Klasifikasi ini membagi derajat trauma ginjal dari 1-
5. CT scan abdomen atau temuan pada saat eksplorasi dapat memastikan
derajat klasifikasi lebih tepat. Klasifikasi dari AAST pada saat ini paling
banyak digunakan dan dapat menentukan perlu tidaknya tindakan operasi pada
trauma ginjal.
AAST Renal Injury Grading :
Scale 1 Contusion or non expanding subcapsular haematome No laceration
Scale 2 Non expanding perirenal haematome Cortical laceration < 1 cm deep
without extravasation
Scale 3 Cortical laceration > 1 cm without urinary extravasation
Scale 4 Laceration: though corticomedullary junction into collecting system
Or Vascular: segmental renal artery or vein injury with contained haematome
Scale 5 Laceration: shattered kidney Or Vascular: renal injury or avulsion
b. Gejala Klinis
Anamnesa dapat diperoleh dari pasien yang telah stabil, atau dari saksi
kejadian kecelakaan, dari personel medis. Indikasi terjadinya trauma pada
ginjal apabila terjadi deselerasi secara tiba-tiba dan trauma langsung pada
daerah flank. Pada trauma tembus, perlu diketahui ukuran dari pisau atau
kaliber atau jenis dari senjata. Perlu juga diketahui kondisi ginjal sebelum
terjadinya trauma, seperti hidronefrosi, kista, atau batu ginjal.
c. Tatalaksana
1) Pasien stabil, trauma tumpul, grade 1-4, ditangani secara konservatif; bed
rest, antibiotik, dan monitoring vital sign.
2) Pasien stabil, trauma tajam, grade 1-3, ditangani secara elektif
3) Indikasi operasi: Hemodinamik tidak stabil, ekplorasi trauma penyerta,
hematome yang meluas atau pulsatif yang ditemukan pada saat eksplorasi,
trauma grade V, keadaan ginjal pre-trauma yang memerlukan tindakan
bedah
4) Rekonstruksi ginjal perlu dilakukan apabila bertujuan untuk mengontrol
perdarahan dan jumlah parenkim yang viable mencukupi

2. Trauma Ureter
Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur fleksibel
yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta
terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Trauma ureter biasanya disebabkan
oleh trauma tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenic. Untuk trauma tumpul
pada ureter, walaupun frekuensinya sangat kecil, namun hal tersebut dapat
menyebabkan terputusnya ureter, terikatnya ureter (akibat iatrogenic, seperti pada
operasi pembedahan) yang bila total dapat menyebabkan sumbatan, atau bocor
yang bisa menyebabkan urinoma atau fistula urine. Bila kebocoran terjadi
intraperitoneal, dapat menyebabkan tanda-tanda peritonitis.
a. Gejala Klinis
1) Umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik.
2) Hematuria, yang menunjukkan cedera pada saluran kemih.
3) Bila terjadi ekstravasasi urin, dapat terjadi urinoma.
4) Pada trauma tumpul gejalanya sering kurang jelas.
5) Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria.
6) Pada trauma yang disebabkan oleh akibat iatrogenic, seperti pada
pembedahan, bila terjadi ureter terikat total atau sebagian, maka pasca
bedah bisa ditenukan gejala-gajala febris, nyeri pinggang yang sering
bersama-sama gejala ileus paralitik seperti mual, muntah.
b. Tatalaksana
1) Pada setiap trauma tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk
menilai ada tidaknya cedara ureter serta cedera ikutan lain.
2) Yang terpenting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi dan
menghilangkan obstruksi.
3) Rekonstruksi ureter tergantung jenis, bentuk, luas, dan letak cedera.
4) Untuk cedera ureter bagian atas, dilakukan uretero-ureterostomi,
nefrostomi, uretero-kutaneostomi, autotransplantasi, dan nefrektomi bila
rekonstruksi tidak memungkinkan.
5) Cedera ureter bagian tengah, dilakukan uretero-ureterostomi atau
transuretero-ureterostomi.
6) Alternative rekonstruksi ureter distal adalah uretero-ureterostomi, uretero-
neosistostomi, misalnya melalui tabung yang dibuat dari dinding kandung
kemih yang disebut nefrostomi.

3. Trauma Vesika
Trauma kandung kemih adalah suatu keadaan dimana terjadinya ruda paksa pada
area vesika urianaria baik saat vesika urinaria dalam keadaan penuh ataupun tidak.
a. Etiologi
Ruptur kandung kemih terutama terjadi akibat trauma tumpul pada panggul,
tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk oleh
senjata tajam, dan cedera dari luar dan patah tulang panggul. Pecahan-pecahan
tulang panggul yang berasal dari fraktur dapat menusuk kandung kemih tetapi
rupture kandung kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul pada panggul
atas kandung terisi penuh. Tenaga mendadak atas massa urinaria yang
terbendung di dalam kandung kemih yang menyebabkan rupture.
b. Gejala Klinis
Trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio (memar berwarna pucat yang
besar atau ekimosis akibat masuknya darah kejaringan)
c. Tatalaksana
Atasi syok dan perdarahan dan istirahat baring sampai hematuri hilang

4. Ruptur Uretra
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan
kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis (simpiolisis).
a. Etiologi
Adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia eksterna maupun
perineum. Cedera eksternal : fraktur pelvis (rupture uretra pars membranasea),
trauma selangkangan (ruptur uretra pars bulbosa), iatrogenik (pemasangan
kateter folley yang salah), persalinan lama, ruptur yang spontan.
b. Klasifikasi
1) Ruptur uretra anterior : Paling sering pada bulbosa disebut Straddle Injury,
dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os pubis dan benda
yang menyebabkannya. Terdapat daerah memar atau hematoma pada penis
dan scrotum (kemungkinan ekstravasasi urine Penyebab tersering :
straddle injury ( cedera selangkangan )
2) Ruptur uretra posterior : Paling sering pada membranacea, ruptur utetra
pars prostato-membranasea, terdapat tanda patah tulang pelvis, terbanyak
disebabkan oleh fraktur tulang pelvis, robeknya ligamen pubo-
prostatikum, pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai
jejas, hematom dan nyeri tekan, bila disertai ruptur kandung kemih bisa
ditemukan tanda rangsangan peritoneum.
c. Gejala Klinis
1) Perdarahan per-uretra post trauma
2) Retensi urine
3) Merupakan kontraindikasi pemasangan kateter

Lebih khusus:
Pada Posterior : Perdarahan per uretra, retensi urine, pemeriksaan Rektal Tuse
: Floating Prostat, Ureterografi: ekstravasasi kontras dan adanya fraktur pelvis.
Pada Anterior: Perdarahan per-uretra/ hematuri, Sleeve Hematom/butterfly
hematom, kadang terjadi retensi urine
d. Tatalaksana
1) Ruptur anterior
a) Pada ruptur anterior yang partial cukup dengan memasang kateter dan
melakukan drainase bila ada.
b) Ruptur yang total hendaknya sedapat mungkin dilakukan
penyambungan dengan membuat end-to-end, anastomosis dan
suprapubic cystostomy.
c) Kontusio : observasi, 4-6 bulan kemudian dilakukan uretrografi ulang.
d) Sistosomi, 2 minggu kemudian dilakukan uretrogram dan striktura
sache jika timbul stiktura uretra.
e) Debridement dan insisi hematom untuk mencegah infeksi.
2) Ruptur posterior
a) Pada rupture yang total suprapubic cystostomy 6-8 minggu.
b) Pada ruptur uretra posterior yang partial cukup dengan memasang
douwer kateter.
c) Operasi uretroplasti 3 bulan pasca ruptur.

Anda mungkin juga menyukai