OLEH:
Vita desrianti
0110840170
PEMBIMBING:
dr. Albinus Y. Cobis, Sp.An, M.Kes
PENDAHULUAN
Definisi:
Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan suatu keadaan dimana terdapat
satu atau lebih batu di dalam pelvis atau kaliks dari ginjal. Secara
garis besar pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh faktor intrinsik
dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu umur, jenis kelamin, dan
keturunan, sedangkan faktor ekstrinsik yaitu kondisi geografis, iklim,
kebiasaan makan, zat yang terkandung dalam urin, pekerjaan, dan
sebagainya.
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi:
Di Indonesia, penyakit ginjal yang paling sering ditemui adalah gagal ginjal
dan nefrolitiasis. Prevalensi tertinggi penyakit nefrolitiasis yaitu di daerah DI
Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Tengah masing-masing (0,8%). Prevalensi penyakit ini diperkirakan
sebesar 7% pada perempuan dewasa dan 13% pada laki-laki dewasa. Empat
dari lima pasien adalah laki-laki, sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga
sampai ke empat.
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
• Batu (kalkulus) ginjal adalah batu yang terdapat di mana saja di saluran
kemih.
• Batu yang paling sering dijumpai tersusun dari kristal-kristal kalsium.
• Terdapat sejumlah tipe batu ginjal dan ukurannya dapat berkisar dari
kecil hingga sebesar batu staghorn (batu menyerupai tanduk rusa) yang
dapat merusak sistem kolektivus.
• Biasanya batu ginjal terdiri atas garam kalsium (oksalat dan fosfat) atau
magnesium fosfat dan asam urat.
• Penyebab batu ginjal adalah idiopatik. Akan tetapi, terdapat faktor
predisposisi seperti jenis makanan yang dikonsumsi, Infeksi Saluran
Kemih (ISK), volume air yang diminum, kelainan metabolisme, usia, jenis
kelamin, genetik, aktivitas, konsumsi vitamin dan obat-obatan tertentu,
dan berat badan.
• Batu ginjal biasanya terdiri dari kalsium oksalat.
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu ginjal yaitu:
Genetik
Makanan dan minuman
Volume air yang diminum
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Aktivitas
Vitamin dan obat-obatan
Usia
Berat badan
Jenis kelamin
TINJAUAN PUSTAKA
Patogenesis
Proses terbentuknya batu ginjal di nefron tepatnya di tubulus distal dan
pengumpul, yaitu saat urin dipekatkan. Pembentukan Kristal atau batu ini
membutuhkan supersaturasi, dan inhibitor pembentukan ini ditemukan di
dalam urin normal. Terbentuknya batu kalsium dapat dipicu oleh reaktan
asam urat, tetapi dapat juga dihambat oleh inhibitor sitrat dan glikoprotein.
Aksi reaktan dan inhibitor belum diketahui sepenuhnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Klinis
Kondisi ini menimbulkan nyeri hebat yang disebut kolik ginjal. Gejala batu
ginjal yang sering terjadi, di antaranya:
• Nyeri pada punggung bagian bawah dan terkadang terasa hingga
pangkal paha. Sedangkan pada pria, nyeri juga dirasakan hingga testis
dan skrotum. Rasa nyeri tersebut bisa bertahan selama beberapa menit
atau beberapa jam. Saat batu ginjal berpindah ke lokasi lain dalam
saluran kemih, rasa nyeri dapat meningkat.
• Meningkatnya frekuensi ingin buang air kecil
• Nyeri saat buang air kecil (disuria)
• Buang air kecil dalam jumlah sedikit
• Urine berwana merah muda, merah, atau cokelat
• Mual dan muntah.
• Merasa gelisah.
• Demam atau menggigil, jika terjadi infeksi
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit batu ginjal tergantung kepada ukuran dan jenis batu
ginjal yang dialami penderita.Untuk batu ginjal yang kecil dengan diameter
kurang dari 4 mm, penanganannya dapat dilakukan di rumah agar batu ginjal
tersebut dapat keluar melalui urine. Penanganan batu ginjal berukuran kecil
dapat berupa:
• Minum air putih sebanyak 6-8 gelas air setiap hari.
• Mengonsumsi obat pereda nyeri, karena keluarnya batu ginjal melalui
urine dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak nyaman.
• Obat pereda nyeri yang dapat dikonsumsi adalah paracetamol.
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan
Sedangkan untuk batu ginjal yang berukuran besar atau melebihi 6 mm,
yang sulit keluar atau menimbulkan perdarahan, kerusakan ginjal, serta
infeksi saluran kemih, maka dokter akan menyarankan metode penanganan
berikut ini:
• Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL).
• Ureteroskopi.
• Percutaneous nephrolithotomy.
• Bedah terbuka.
Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)
Indikasi dari pengangkatan batu ginjal secara aktif adalah sebagai berikut:
• Batu yang bertambah besar (Stone growth)
• Pasien dengan risiko tinggi pembentukan batu
• Sumbatan saluran kemih yang disebabkan oleh batu
• Infeksi
• Batu ginjal yang simptomatik (misal disertai nyeri, hematuria)
• Batu ukuran > 15 mm
• Batu ukuran < 15 mm namun tidak dapat dilakukan terapi konservatif
• Preferensi pasien
• Komorbiditas
• Situasi sosial pasien (profesi, travelling, dan lain-lain)
Prosedur PCNL
• Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu
keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi
obat.
• Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum
terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara
reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol.
• Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi
umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang
terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran.
• Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-
analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti
ketamin.
Untuk menentukan prognosis, ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan
status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
• ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
• ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun
penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis
akut dengan lekositosis dan febris.
• ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai
penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstruksi dengan
iskemia miokardium.
• ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya.
• ASA 5, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang sudah tidak mungkin di tolong lagi, dioperasi
ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani
dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E.
Tahap-tahap Anestesi
Sifat-Sifat Anestesi Umum yang
Ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
• bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,
• cepat mencapai anestesi yang dalam,
• batas keamanan lebar;
• tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang
secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena)
atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan
induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya
perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.
Tahapan Tindakan Anestesi
Umum
• Induksi intravena
• Induksi intramuskuler
• Induksi Inhalasi
• Induksi per Rektal
Komplikasi Anestesi dan Bahaya
Anestesi
• Kerusakan Fisik
• Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi
antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.
• Pernapasan
• Kardiovaskuler
• Hati
• Suhu tubuh
ANESTESI PADA PCNL
• Pada umumnya PCNL dilakukan dengan anestesi umum, namun tren yang
berkembang saat ini memperlihatkan prosedur anestesi secara regional
(spinal, epidural) lebih disukai.
• Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh
otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karena
beberapa alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan
tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk
mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsai yang tinggi secara
relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama
pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi
yang lebih baik, mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
TERAPI CAIRAN
• Hipotonis
• Hydroxylethyl Starch (HES)
• Contoh larutan kristaloid hipotonis seperti dextrose
5% dalam air, ½ normal salin.
• Gelatin
Terapi Cairan Perioperatif
Tanggal : 25/03/2021
Diagnosa Pra : Batu Ginjal Dextra
Bedah
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time <2 detik, BJ:
I-II murni regular, konjungtiva anemis -/-
Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi umum dengan inhalasi.
Untuk anestesi inhalasi pada kasus digunakan sevofluran. Induksi dengan sevoflurant
lebih disenangi karena pasien jarang batuk. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.
Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan menggunakan propofol. Pemulihan
kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susunan saraf pusat
merupakan salah satu keuntungan penggunaan propofol dibandingkan obat anestesi
intravena lainnya. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira – kira 30 % tetapi
efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah jantung.
Tekanan darah sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak
menimbulkan aritmia atau iskemia otot jantung, tetapi terjadi sensitisasi jantung
terhadap katekolamin. Efek propofol terhadap pernapasan mirip dengan efek thiopental
sesudah pemberian IV yakni terjadi depresi napas sampai apneu selama 30 detik. Hal ini
diperkuat bila digunakan opioid sebagai medikasi pra-anestetik.
Penentuan Obat Anestesi Yang Dipilih
Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Atrakurium 30 mg. Atrakurium
(tramus) merupakan pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal atrakurium
0,5-0,6 mg/kg, sedangkan dosis rumatan 0,1 mg/kg.
Critical Point
aktual Potensial Antisipasi
Terapi Cairan Pre-Operatif
Selama preoperatif pasien diberikan cairan isotonik golongan Kristaloid yaitu Ringer
Laktat yang merupakan cairan resusitasi dan cairan rumatan dan juga gangguan
keseimbangan elektrolit. Cairan ini di distribusikan ke intraseluler. Kebutuhan cairan
preoperatif pasien sebagai pengganti puasa 9 jam sebesar 864cc – 1.080 cc aktualnya
input cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 500 cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif belum cukup terpenuhi.
Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maintenance
cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan replacement cairan yang
hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total estimasi kehilangan darah
selama operasi.
Total kebutuhan cairan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan maintenance
durante operasi pada kasus ini adalah berjumlah 902,4cc – 1,458,6cc pada kasus
diberikan 1500 cc dan ini bisa mencukupi kebutuhan replacement pasien dengan
berat badan 58 kg dan dengan lama operasi 68 menit (1 jam 8 menit).
Selama durante operasi, perdarahan pada pasien ini yaitu ± 200 cc, dengan
Estimate Blood Loss (EBL)= < 10% EBV.
Bila meninjau dari teori jika jumlah perdarahan <10 % EBV,maka pasien tidak perlu
dilakukan transfusi. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi,
untuk perdarahan di bawah 10% dari volume darah total cukup diganti dengan
cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi
elektrolit serum misalnya dengan Natrium klorida. Dapat juga diberikan campuran
cairan kristaloid + koloid. Pemberian koloid adalah untuk mengatasi gejala defisit
plasma pada pasien selama operatif berupa hipotensi.
Kebutuhan cairan post operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maintenence
cairan selama puasa post operasi.