Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

ANEMIA

A. Identitas Pasien
Nama : An. KW
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Perumnas 3 Waena
Agama : Kristen Protestan
Suku : Papua
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Status Menikah : Menikah
Berat badan : 15 kg
Panjang Badan : 112 cm
Tanggal MRS : 15/11/2017
Tanggal KRS : 18/11/2017
Lama Perawatan : 4 hari

B. Anamnesis
 Keluhan Utama : BAB cair disertai darah
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari dokter praktek datang ke rsud dok 2 dengan keluhan BAB cair 2
X sebelum masuk Rumah sakit. pasien merasa pusing, demam (-), batuk (-), Pilek
(-),Makan minum berkurang karena nafsu makan pasien menurun, BAK lancar
kencing berwarna kuning, nyeri saat kencing tidak ada.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah sakit seperti ini
 Riwayat Imunisasi
Pasien sudah melakukan imunisasi lengkap
 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan malaria

1
 Riwayat Sosial
Pasien sering tidak mengunakan alas kaki jika bermain, pasien juga sering bermain di
atas tanah, riwayat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir yang tidak selalu
dilakukan.
C. Pemeriksaan Fisik
 Status Vital saat MRS ( 15 November 2017)
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang
Heart Rate : 112 kali per menit
Respirasi : 24 kali per menit
Suhu : 37,6 oC
SPO2 : 99 %
 Status Interna
Kepala/leher

Kepala : Normocephal, ubun-ubun besar datar, rambut warna hitam

Mata : Konjungtiva Anemis (+), Sklera Ikterik (-),

Edema Palpebra (-).

Hidung : Deformitas ( - ), secret ( - )

Telinga : Deformitas ( - ), secret ( - )

Mulut : Deformitas ( - ), Bibir sianosis ( - ), Oral Candidiasis (-), ulserasi (-),


hipertrofi gusi (-), atrofi papil lidah (-),
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax : Pulmo : Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas
Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki (-/-),
Wheezing(-/-)

Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavikula
Sinistra intercostalis V

2
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Bunyi jantung I–II regular, mur-mur (-),
Gallop ( - ).

Abdomen : Inspeksi : Supel


Auskultasi : Bising Usus (+)  6 kali permenit
Palpasi :Tampak datar, Hepar/Lien (teraba 1 jari
bawah arcus costa/ Scuffner 1)

_ _ _
Nyeri tekan :
_ _ _
_ _ _

Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Akral teraba hangat,Edema (-/-), Ulkus (-/-),Cappilary


refill time >3”

Kulit : Kulit tampak pucat


D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap, feses lengkap, Hapusan darah tepi

Pemeriksaan Tanggal
11-11-2017 15-11-2017 17-11-2-17 19-11-2017
HB 4,0 3,4 9,4 11,4
RBC 3,07 2,56 4,44 8,4
HCT 18,3 14,3 31,5 36,5
WBC 13,3 15.00 12,2 8,4

PLT 750 525 472 387


DDR (-)

Tanggal 11 November 2017

3
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Hasil

Makroskopis Mikroskopis

Warna Kuning Lekosit 2-6/Lp


kecoklatan
Bau Khas Erirosit 3-5/Lp

Konsitensi Encer Epitel 0-2/Lp

Darah Negatif Amuba -

Lendir Positif Telur cacing +trichuris


trichiura
Cacing Negatif Leukosit 2-6/Lp

Sisa makanan Positif

Tanggal 17 November 2017

Hasil pemeriksaan hapusan darah tepi

Gambaran darah tepi menyokong adanya anemia hipokromik mikrositik dengan eosinofilia
absolut dan trombositosis reaktif suspek e.c infestasi parasit/proses alergi

E. DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis Anemia gravis e.c Hematemesis Melena, Trichisriasis.

F. DIAGNOSIS BANDING
 Thalasemia

G. PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
Ouo de fungtionam : ad bonam
Ouo de sanationam : ad bonam

H. PENATALAKSANAAN

4
 IVFD D5 ½ NS 16 tpm ( mikro)
 Injeksi ranitidine 15 mg /12 jam
 Zinc 1 X 20 mg
 Albendazole 1 X 200 mg
 Pro Transfusi darah

I. PERJALANAN PENYAKIT (FOLLOW UP RUANGAN) 16 NOVEMBER – 19


NOVEMBER 2017
Hari/tanggal Follow up Penatalaksanaan
Kamis 16/11/2017 S : Mual/Muntah (-), demam (-),  Ivfd Ds ½ Ns 16
BAB cair (+), Ampas (+), darah TPM micro
(+), BAK lancar, makan/minum  Injeksi ranitidin
(membaik) 2x15 mg
O : ku : Tss, kes : CM  Mebendazole 1x200
Ttv : Nadi 127, RR :24x/m mg (3 hari)
SB :36,5 Spo2 : 99%  Post transfusi PRC
K/L : CA (+/+) , SI (-) KGB (-) 90 cc
Thox : simetris , Cor : BJ I-II  Pro Tranfusi PRC
regular , mur2 (-) gallop (-)
Abd : supel datar (+) BS (+)
Ext : akral hangat , crt «2
A : Anemia gravis e.c
hematemesis melena, trichiriasis
Jumat 17/11/2017 S : Mual/Muntah (-), demam (-),  IVFD D51/2 NS 16
BAB (+), Ampas (+), darah (-), TPM makro
BAK lancar, makan/minum  Mebendazole 1x200
(baik) mg H-2
O : ku : Tss, kes : CM  Post tranfusi PRC
Ttv : Nadi 111, RR :24x/m 150 cc
SB :36,5 Spo2 : 99%  Tranfusi ke-3
K/L : CA (+/+) , SI (-) KGB (-) premed lasix 7,5mg
Thox : simetris , Cor : BJ I-II
regular , mur2 (-) gallop (-)

5
Abd : supel datar (+) BS (+)
Ext : akral hangat , crt «2
A : Anemia gravis e.c
hematemesis melena, trichiriasis
Sabtu 18/11/2017 S : Mual/Muntah (-), demam (-),  IVFD D51/2 NS 16
BAB (+), Ampas (+), darah (-), TPM makro
BAK lancar, makan/minum  Mebendazole 1x200
(baik) mg H-3
O : ku : Tss, kes : CM  Post tranfusi PRC
Ttv : Nadi 102, RR :24x/m 120 cc
SB :36,5 Spo2 : 99%  Tranfusi sampai HB
K/L : CA (+/+) , SI (-) KGB (-) > 10 mg/dL premed
Thox : simetris , Cor : BJ I-II lasix 7,5mg
regular , mur2 (-) gallop (-)  Besok BPL
Abd : supel datar (+) BS (+)
Ext : akral hangat , crt «2
A : Anemia gravis e.c
hematemesis melena, trichiriasis

6
J. PENILAIAN STATUS GIZI PADA ANAK BERDASARKAN WHO

Berdasarkan status gizi anak KW yang dihitung berdasarkan pada Rumus Behrman

maka didapatkan : BB ideal : umur (tahun) x 2 + 8 = 4 x 2 + 8 = 16 kg, sehingga

perhitungan gizi pasien ini yaitu BB aktual / BB ideal : 15 kg : 16 kg x 100% = 93%


7
maka dari hasil yang didapatkan adalah status gizi pada an. KW : GIZI BAIK dimana

kriterianya 80-100% tergolong gizi baik.

K. RESUME
Pasien An.KW usia 4 tahun datang diantar keluarga dengan keluhan BAB cair berdarah
2X sebelum masuk rumah sakit, nafsu makan menurun, mual pada pemeriksaan keadaan
umum anak tampak tenang, kesadaran Compos mentis TTV nadi: 112 x/m, respirasi 24
x/m, SB 36,5 C SpO2 99%. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan HB 3,4 g/dL, pada
pemeriksaan feses lengkap + telur cacing trichusis trichura, pemeriksaan HDT
didapatkan gambaran anemia hipokromik mikrositik dengan eosinofilia dan
trombositosis.

L. DAFTAR MASALAH

1. Anemia
2. Hematemesis Melena
3. Trichuriasis

L. PROGNOSIS

 Ad Vitam : dubia ad bonam


 Ad fungsionam : ad bonam
 Quo de sanationam : ad bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

8
Definisi

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi
yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk anemia yang
paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Diperkirakan
sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan
anemia deisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di negara yang sedang
berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein
hewani yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini di
Indonesia anemia defisiensi besi masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping
kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium.

Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam


penyimpanan dan pengangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapanenzim yang
berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter dan proses katabolisme
yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian, kekurangan besi
mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak,
menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar dan mengurangi aktivitas
kerja.

Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering terjadi pada bayi
dan anak. Hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinya, sehingga
koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari pengobatan.

Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak diperlukan


0,8-1,5 mg Fe yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan. Banyaknya Fe yang diabsorbsi
dari makanan sekitar 10% setiap hari, sehingga untuk nutrisi yang optimal diperlukan diet
yang mengandung Fe sebanyak 8-10 mg Fe perhari.

Fe yang berasal dari susu ibu diabsorpsi secara lebih efisien daripada yang berasal
dari susu sapi sehingga bayi yang mendapat ASI lebih sedikit membutuhkan Fe dari makanan
lain. Sedikitnya macam makanan yang kaya Fe yang dicerna selama tahun pertama
kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi jumlah yang diharapkan, oleh karena itu diet
bayi harus mengandung makanan diperkaya dengan Fe sejak usia 6 bulan.

Epidemiologi

9
Prevalens ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan
anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) DI KOTA
SEKITAR 5,5%, anak praremaja 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika
Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, 3% menderita anemia.
Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika Serikat kekurangan besi dan 2% menderita
anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat
pubertas.

Prevalens ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini
mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalens ADB pada anak
balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalens ADB pada anak balita di
Indonesia adalah 55,5%.

Metabolisme zat besi

Perkembangan metabolisme besi dalam hubungannya dengan hemostasis besi dapat


dimengerti dengan baik pada dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang
sama seperti pada orang dewasa.

Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter, dan proses
katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem
saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas dan perubahan tingkat
selular.

Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam
makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam
tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih
kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk
feritin atau hemosiderin dan 3 dalam bentuk mioglobin. Hanya sekitar 0,07% sebagai
transferin dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung besi sekitar
0,5 gram.

10
Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam
bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu
menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar
10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan
besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi.

Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk
kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam sel
mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus.
Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi
yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan
apotransferin membentuk transferin serum.

Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di
duodenum sampai pertengahan jejenum, makin ke arah distal usus penyerapannya semakin
berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa besi non heme
berupa kompleks senyawa besi inorganik (feri/Fe3+) yang oleh pengaruh asam lambung,
vitamin C, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe 2+). Bentuk fero ini
kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk fero ini mengalaami
oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin.

Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah melalui reduksi
menjadi bentuk fero dan didalam plasma ion fero direoksidasi kembali menjadi bentuk feri.
Yang kemudian berikatan dengan 1 globulin membentuk transferin. Absorpsi besi non heme
akan meningkat pada penderita ADB. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan
selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa dan sumsum tulang serta jaringan
lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.

Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit (retikulosit) yang
selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan globulin
dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur ± 120 hari fungsinya
kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan di dalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin
mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan
direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti
siklus seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas
eritropoisis.

11
Bioavaibilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam
askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis
makanan yang mengandung asam tanat (erdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitrat, beras,
kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antasid, terasiklin dan kolestiramin)
akan mengurangi penyerapan zat besi.

Besi heme didalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan
enzim proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan masuk
ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim hemeoksigenase
menjadi ion feri bebas dan porfirin. Selanjutnya ion feri bebas ini akan mengalami siklus
seperti di atas.

Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat mudah
larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah
hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin.
Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel Kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum
tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam
tubuh. Apabila pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi
dan cadangan besi untukbmempertahankan kadar Hb.

Etiologi

Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung
besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.

Kekurangan besi dapat disebabkan:

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis


 Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja
kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat.
Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan
sangat cepat, pada umur 1 tahun beart badannya dapat mencapai 6 kali dan massa
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
 Menstruasi

12
Penyebab kurang besi yang paling sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap
 Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang banyak
mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1
tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi
yang mendapat ASI ekslusif jarang menderita kekurangan zat besi pada 6 bulan
pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung dalam ASIlebih mudah diserap
dibansingkan susu yang terkandung susu formula.
Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI di absorbsi bayi, sedangkan dari PASI hanya
10% besi yang dapat di absorbsi.
 Malabsorbsi besi
Keadaan ini sering di jumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gatrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat
makanan cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya asam lambung dan makanan
lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan heme dan non
heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah melalui perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya ADB.
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 mL
akan menyebabkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2
mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus
petikum, karena obat-obatan ( asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, OAINS)
dan infestasi cacing (Ancylostoma duodenale dan necator Americanus) yang menyerang
usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.

4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir
masa fetus dan pada awal masa neonatus.

13
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-
7,8 mg/hari
6. Latrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium berisiko
untuk menderita ADB.
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan
berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat
menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5-3 g/dL dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar 40% remaja
perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dL. Perdaran saluran
cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama
latihan berat terjadi pada 50% pelari.
Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasilakhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung
lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan
cadangan besi terus berkurang. Tiga tahapan defisiensi besi, yaitu:
 Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan
besi atau tidak adanya cadangan besihemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih
normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorbsi besi non heme. Feritin serum
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih
normal.
 Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytrophoietin atau iron
limited erytrophoiesis didapatkan suplai besi yanag tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
 Tahap ketiga

14
Tahap inilah yanag disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup shingga menyebabkan penurunan
kadaR Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang
progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih
lanjut.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak diperhatikan oleh penderita dan
keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakakan hanya dari temuan laboratorium
saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar HB 6-10 g/dl
terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia henya ringan saja. Bila
kadar Hb turun <5 g/dl gejala iritable dan anoreksia akan lebih jelas. Bila anemia terus
berlanjut dapat terjadi takikaradi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-
kadang bila kadar Hb < 3,4 g/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar Hb.
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan besi
seperti:
 Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku konkaf
atau spoon –shaped nail), atrofi papila lidah, postcricoid oesophageal webs atau
perubahan mukosa lambung dan usus halus.
 Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh
 Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu
tubuh normal pada saat udara dingin.
 Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi leukosit yang
tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai kemampuan untuk fagositosis
tetapi kemampuan untuk membunuh E. coli dan S. Aureus menurun.
Limpa hanya teraba pada 10-15% pasien pada kasus kronis bisa terjadi pelebaran diploe
tengkorak. Perubahan ini dapat diperbaiki dengan terapi yang adekuat.
Pemeriksaan laboratorium
Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang
meliputipemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit ditambah
pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi
(Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus
sumsum tulang.

15
Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV merupakan
hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan
diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar
dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat
karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan
keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel
pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB tang berlangsung lama dapat
terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infestasi cacing sering ditemukan
eosinofilia.
Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi
pada penderita dengan perdarahan yang masif. Kejadian trombositopenia dapat
dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis
dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama yaitu, trombositosis sekitar 35% dan
trombositopenia 28%.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC
meningkat. Pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada
transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam
sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat
diperoleh dengan acar menghitung Fe serum/TIBC x 100% merupakan suatu nilai yang
menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk
mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi
transferi (ST) < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung
eritropoisis. ST < 7% diagnosis adb dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7-16%
dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau
pemeriksaan lainnya.
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat
diketahui dengan memeriksa kadar Free Erytrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada
pembentukan eritrosist akan dibentuk cincin porifin sebelum besi terikat untu membentuk
heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya penumpukkan
porfirin didalam sel. Nilai FEP > 100 ug/dL eritrosit menunjukkan adanya ADB.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST
yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif.

16
Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feriti serum.
Bila kadar feritin < 10-12 ug/l menunjukkan telah terjadi penurunan cadangan besi dalam
tubuh.
Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas ADB
yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetagui ada
atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.
Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dL (N: 80-180 ug/dL)
4. Saturasi transferin < 15% (N: 20-50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:

1. Anemia hipokrom mikrositik


2. Saturasi transferin < 60%
3. Nilai FEP > 100 ug/dL eritrosit
4. Kadar feritin serum < 12 ug/dL
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan FEP)
harus dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun
Red cell distribution width (RDW) > 17%
2. FEP meningkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
 Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi

17
 Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV meningkat
1%/hari
6. Sumsum tulang
 Tertundanya maturasi sitoplasma
 Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Diagnosis banding
 Thalasemia minor
 Anemia karena penyakit kronis

Trichuris trichiura
T.trichiura pertama sekali ditemukan oleh Linnaeus (1771). Siklus hidup
T.trichiura pertama sekali dipelajari oleh Grassi (1887), selanjutnya oleh Fulleleborn
(1923) dan Hasegawa (1924).
T.trichiura berbentuk mirip cambuk, sehingga disebut sebagai cacing cambuk.
Bagian anteriornya yang merupakan 3/5 bagian tubuhnya, halus mirip benang. Sedangkan
2/5 bagian tubuhnya merupakan bagian posterior yang tampak lebih tebal. Bagian kaudal

cacing jantan melengkung ke ventral 3600 dan dilengkapi dengan spikulum. Bagian
kaudal cacing betina membulat dan tumpul mirip koma. Panjang cacing betina 35- 50 mm
dan panjang cacing jantan 30-45 mm. Telur berbentuk mirip buah lemon dan berukuran 50
μm x 22 μm, berkulit tebal dan licin terdiri atas dua lapis dan berwarna trengguli-coklat.
Pada masing-masing kutubnya dilengkapi tutup (plug) transparan yang menonjol Telur
berisi massa granula yang seragam, berwarna kuning. Di tanah telur dapat berkembang
setelah 10-14 hari menjadi telur berembrio (berisi larva) yang bersifat infektif. Telur
T.trichiura harus dibedakan dari telur Capillaria hepatica yang berbentuk lonjong seperti
telur T.trichiura. Telur Capillaria hepatica berukuran 51-67 x 30-35 μm dan kedua
kutubnya terdapat plug tetapi tidak menonjol dan kulit telur bergaris radier.
Cacing dewasa jarang ditemukan di dalam tinja karena melekat pada dinding usus
besar. Bagian kepala cacing ini terbenam dalam mukosa dinding usus sedangkan ujung
posteriornya lebih tebal dan terletak bebas di lumen usus besar.

18
a. T.trichiura betina. b. T.trichiura jantan.

Gambar Telur T. trichiura

Siklus Hidup
Manusia mendapatkan infeksi T.trichiura karena tertelan telur cacing infektif yang
mengkontaminasi makanan. Telur-telur menetas di usus halus, larva akan keluar,
berkembang di mukosa usus kecil dan menjadi dewasa di sekum, akhirnya melekat pada
mukosa usus besar. Cacing betina menjadi dewasa dalam tiga bulan dan akan mulai
bertelur dalam 60-70 hari setelah menginfeksi manusia dan dapat hidup selama 5 tahun
lebih serta menghasilkan 10.000 telur setiap hari. Telur dikeluarkan dalam stadium belum
membelah dan membutuhkan 10-14 hari untuk menjadi matang pada tanah yang lembab.

19
Gambar 2.3. Siklus hidup T.trichiura (dikutip dari WHO)

Trichuriasis
Trichuriasis disebabkan oleh infeksi cacing T. trichiuira yang melekat pada
mukosa usus manusia, terutama di daerah kolon.
Epidemiologi
Infeksi T.trichiura tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih sering terjadi di daerah
beriklim tropis berhawa panas, lembab dan sering terlihat bersama-sama dengan infeksi
ascariasis. Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya sedikit, biasanya tanpa
gejala. Infeksi T.trichiura hanya ditularkan dari manusia ke manusia, sehingga cacing ini
bukan parasit zoonotik.
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang penting dalam proses transmisi,
sanitasi yang buruk, higienitas yang jelek, populasi yang padat, umumnya dijumpai pada
tempat yang kumuh dan tingkat sosioekonomi yang rendah sangat menguntungkan
perkembangan cacing T.trichiura. Indonesia mempunyai empat area ekologi utama
terhadap transmisi T.trichiura yaitu dataran tinggi, dataran rendah, kering dan hujan.
Angka prevalensi tertinggi terjadi pada anak umur 5-15 tahun, yang terinfeksi
karena terlelan telur yang infeksius dari tanah yang terkontaminasi. Telur T.trichiura tidak

dapat bertahan dalam suasana yang kering (37oC) atau yang dingin sekali. Temperatur

20
lethal untuk T.trichiura +52oC dan -9o C. Oleh karena itu, trichuriasis lebih sering terjadi
di daerah yang hangat dan lembab. Telur dengan lingkungan yang optimal dapat bertahan
6 tahun.
Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi cacing STH,
terutama anak kecil yang bermain di tanah. Anak yang bertempat tinggal di lingkungan
sanitasi buruk dan hiegenitas yang rendah mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi.
Sekolah di pedesaan biasanya suplai air ataupun fasilitas jamban kurang memadai,
pendidikan higienie yang rendah dan tumpukan sampah di lingkungan sekolah juga
mendukung tingginya prevalensi.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah cacing. Jumlah cacing yang
besar dapat menimbulkan anemia berat, disentri, nyeri perut, mual-muntah, berat badan
menurun dan prolapsus ani. T.trichiura mengisap darah dari host diperkirakan 0,005 ml
darah/hari/ekor cacing, sehingga menyebabkan anemia, perdarahan dapat terjadi pada
perlekatannya dan mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri/parasit usus lain.
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan identifikasi dan ditemukan telur cacing T.trichiura dalam
tinja. Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel tinja dengan tehnik
hapusan tebal cara Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak
langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram tinja (Epg).
Dengan metode Kato-Katz, penghitungan egg per gram (Epg) didapat dengan
mengalikan jumlah telur yang dihitung dengan faktor multiplikasi. Faktor ini bervariasi
bergantung dari berat tinja yang digunakan. WHO merekomendasikan hapusan yang
menampung 41,7 mg tinja , di mana dengan faktor multiplikasinya 24.
WHO menetapkan derajat intensitas infeksi sebagai berikut:
a. Derajat ringan : 1 – 999 Epg
b. Derajat sedang : 1.000 – 9.999 Epg
c. Derajat berat : > 10.000 Epg
Albendazole
WHO memberikan empat daftar anthelmintik esesial yang aman dalam penanganan
dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole dan pirantel pamoat. Jika
diberikan secara regular pada komunitas yang terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam

21
mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang endemis (Keisser &
Utzinger, 2008).
Albendazole merupakan anthelmintik golongan benzidazole dengan nama kimia
methyl [5-(propylthio)-1 H-benzimidazol-2-yl] carbamate. Albendazole termasuk
anthelmintik dengan spektrum luas, yang efektif terhadap berbagai cacing intestinal dan
infeksi cacing jaringan. Albendazole mempunyai mekanisme kerja mengganggu biokimia
dari nematoda yang rentan. Efek metabolit albendazole sulfoxide diperkirakan
menghambat sintesis mikrotubulus.
Dalam nematoda secara selektif dan irreversible dalam menurunkan atau
menghambat pengambilan glikogen nematoda, nematoda usus akan dilumpuhkan secara
pelahan-lahan, sehingga mengganggu berbagai stadium pada perkembangan parasit
tersebut. Akibatnya cadangan glikogen menjadi habis, sehingga terjadi penurunan atau
gangguan dalam produksi adenosine triphosphate (ATP) dan mencapai tahap dimana
kadar energi inadekuat, menyebabkan parasit tidak dapat hidup.
Albendazole memiliki efek larvasidal (pembunuh larva) dan efek ovisidal
(pembunuh telur). Albendazole tersedia dalam bentuk tablet dan cairan, sediaan 200 mg
dan 400 mg.
Albendazole tersedia dalam berbagai bentuk dan dagang seperti :
Albendazole diindikasikan untuk mengobati infeksi cacing usus baik infeksi tunggal
maupun infeksi campuran :
a. Ascaris lumbicoides
b. Trichuris trichiura
c. Necator americanus
d. Ancylostoma duodenale
Dosis Albendazole :
a. Pada kasus Trichuriasis diberikan per oral, anak > 2 tahun, 400 mg sebagai dosis
tunggal (untuk infeksi sedang) atau 400 mg sehari selama 3 hari (untuk infeksi berat).
b. Pada kasus Strongyloidiasis dan Taeniasis diberikan dosis tunggal Albendazole 400 mg
atau dosis tunggal 10 ml suspensi yang mengandung 400 mg selama 3 hari berturut –
turut.
c. Pengobatan tidak memerlukan puasa atau pemakaian obat pencahar.
Farmakokinetika Albendazole

22
Albendazole merupakan suatu benzimidazole carbamate. Setelah pemberian per oral,
albendazole diserap secara tidak teratur dan dengan cepat mengalami metabolisme lintas
pertama dalam hati menjadi albendazole sulfoxide dan metabolit-metabolit lain (dalam
jumlah yang lebih kecil). Sekitar 3 jam setelah pemberian dosis oral 400 mg, sulfoxide
tersebut mencapai konsentrasi plasma maksimum 113-367 ng/ml ; waktu paruh plasmanya
8-12 jam. Kadar plasma menurun seiring dengan kesinambungan pengobatan. Sebagian
besar sulfoxide tersebut mengikatkan diri pada protein dan didistribusikan ke dalam
jaringan-jaringan, termasuk ke dalam cairan empedu dan cairan serebrospinal
(perbandingan serum terhadap cairan serebrospinal adalah 2:1).

Ekskresi sulfoxide diduga melalui saluran empedu, karena kurang dari 1% dari zat
yang bersangkutan didapati dalam urine. Penyerapan albendazole meningkat hingga lima
kali lipat saat dikonsumsi dengan makanan berlemak, dan hingga empat kali lipat saat
dikonsumsi dengan praziquantel.
Penggunaan Klinis Albendazole
Albendazole sebaiknya diberikan pada saat perut kosong untuk penanganan parasit-parasit
intestinal. Pada trichuriasis, pengobatan untuk orang dewasa dan anak-anak di atas usia
dua tahun adalah dosis tunggal 400 mg/hari secara oral.
Efek samping Albendazole
Efek samping yang mungkin muncul pada pemberian albendazole adalah nyeri abdomen,
diare, mual, muntah, pusing, gatal-gatal dan / ruam kulit bisa dijumpai. Efek samping yang
jarang dijumpai adalah nyeri tulang, proteinuria dan penurunan eritrosit.
Kontraindikasi Albendazole
Kontraindikasi Albendazole adalah wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui. Hati-
hati bila diberikan kepada penderita dengan gangguan fungsi hati dan gangguan fungsi
ginjal.

Mebendazole

 Indikasi

Arkariasis, infeksi cacing tambang, enterobiasis, trichuriasis, trichinosis, capillariasis,


infeksi cestoda, infeksi nematoda jaringan, taeniasis.

 Kontra indikasi
Kolestasis, gangguan hati.

23
 Dosis
Askariasis
Oral: > 1 tahun : 500 mg dosis tunggal atau 2 kali 100 mg/hari selama 3 hari.
Infeksi cacing tambang , trichuriasis

>1 tahun: 2 kali 100 mg/hari selama 3 hari. Jika telur tetap ada di feses,
ulangi terapi 3 – 4 minggu kemudian. Untuk terapi massal > 1 tahun : dosis
tunggal 500 mg.

Enterobiasis
> 2 tahun : 100 mg dosis tunggal, ulang setelah 2 – 3 minggu. Seluruh anggota
keluarga berumur > 2 tahun harus diterapi pada saat yang bersamaan.

Capilariasis
> 2 tahun : 200 mg/hari selama 20 – 30 hari. Untuk terapi massal > 2 tahun :
dosis tunggal 500 mg 4 kali setahun.

Efek samping

Gangguan gastrointestinal, diare, nyeri perut, dan migrasi askaris melalui


mulut. Dosis tinggi : reaksi alergi, peningkatan enzim hati, alopesia, depresi
sumsum tulang (pada infeksi cestoda).

24
BAB III
PEMBAHASAN

Anemia defisiensi besi dapat ditemukan pada anak yang mendapatkan susu sapi
kurang dari 1 tahun, kurang asupan makanan mengandung besi dan juga dapat ditemukan
pada anak dengan inflamasi kronik sekalipun tanpa perdarahan.
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak diperhatikan oleh penderita dan
keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakakan hanya dari temuan laboratorium
saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar HB 6-10 g/dl
terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia henya ringan saja. Bila
kadar Hb turun <5 g/dl gejala iritable dan anoreksia akan lebih jelas. Bila anemia terus
berlanjut dapat terjadi takikaradi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-
kadang bila kadar Hb < 3,4 g/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar Hb.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dL (N: 80-180 ug/dL)
4. Saturasi transferin < 15% (N: 20-50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:

1. Anemia hipokrom mikrositik


2. Saturasi transferin < 60%
3. Nilai FEP > 100 ug/dL eritrosit
4. Kadar feritin serum < 12 ug/dL
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan FEP)
harus dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun

25
2. Red cell distribution width (RDW) > 17%
3. FEP meningkat
4. Feritin serum menurun
5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
6. Respon terhadap pemberian preparat besi
 Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
 Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV meningkat
1%/hari
7. Sumsum tulang
 Tertundanya maturasi sitoplasma
 Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Pada kasus ini anamnesa yang didapatkan adalah anak datang diantar keluarga dengan
keluhan BAB cair disertai darah, anak tampak pucat, pusing (+), napsu makan yang
menurun, pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, dan hepar teraba 1 jari
serta lien yang teraba pada Scufner 1, pada pemeriksaan arah lengkapdi dapatkan HB 4,0
Wbc 15,00 PLT 525, MCV 55,9 MCH 13,3 MCHC 23,8 pemeriksaan ADT ditemukan
gambaran hipokromik mikrositik dan adanya infeksi cacing trichuris trichura. Dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik anak dapat di diagnosa dengan ANEMIA susp.Anemia
Defisiensi Besi. Karena pada kasus belum di lakukan pemeriksaan serum Fe, TIBC.
Penanganan pada kasus pasien diberikan traanfusi PRC sebanyak 360 cc (90 cc, 120
cc, 150 cc) karena HB 3,4 g/dl dan pemberian albendazole 200 mg. Hal ini sesuai dengan
teori dimana dikatakan jika terjadi anemia berat atau adanya infeksi yang membuat
pemberian preparat besi tidak dapat dilakukan. Sedangkan pemberian obat cacing
diberikan karena infeksi cacing trichusris sebagai pencetus terjadinya anemia pada pasien.
Pemberian tranfusi dipakai rumus
(HB target-HB saat ini) x BB x 4
Pada kasus OS dengan berat 15 kg, Hb target 10,
(10-4,0) x 15 x 4 = 360 cc

Menurut status gizi berdasarkan kurva WHO berat badan per umur mengenai gizi

buruk, berat badan pasien An. KW pada saat pertama datang adalah 15 kg dapat

dikatagorikan gizi baik yang didapatkan melalui perhitungan status gizi. Dimana

didapatkan status gizi pasien berada pada 80-100% menurut rumus Behrman. Gizi baik

26
adalah keadaan gizi seseorang yang terajdi karena seimbangnya jumlah asupan (intake)

zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh yang ditandai dengan berat badan

menurut umur (BB/U) yang berada pada > 2SD sampai 2 SD.

Untuk prognosis pada kasus


Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Quo de sanationam : ad bonam

27
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.scribd.com/document/338671003/08-205Pendekatan-Diagnosis-Anemia-
pada-Anak-pd
2. eprints.undip.ac.id/43853/3/Elsa_G2A009017_BAB_2.pdf
3. Abid's Brain: Patofisiologi singkat Anemia
http://nlgbrains.blogspot.co.id/2012/11/patofisiologi-singkat-anemia_5298.html
4. Carapedia. Diagnosa Penyebab anemia :
http://carapedia.com/diagnosa_penyebab_anemia_info2231.html
5. ANEMIA | Buku Saku Dokter
https://bukusakudokter.org/2012/10/05/anemia
6. Tanda dan Gejala Anemia (Kurang Darah) - Web
Kesehatanhttps://www.webkesehatan.com › Kondisi & Penyakit
7. Buku saku Penatalksanaan Kasus Malaria_2012KK
8. IDAI-indkasi terapi sinar pada bayi
https://www.IDAI.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar
9. Kementerian Kesehatan RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.Jakarta:
Direktorat Bina Gizi; 2011. Diakses tanggal 22 Juni 2016.
10. Sumarmo,Garna ,Sri Rezki S. Hendinegro & hindra irawan satari Buku Ajar Infeksi &
Pediatri TRopis Edisi kedua Jakarta 2008
11. www.respiratory.unhas.ac.id.com/bitstream2015/handle/anemiadidaerahendemik.com

28

Anda mungkin juga menyukai