Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang
melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak terkendali, diabetes mellitus dapat menimbulkan
komplikasi yang berakibat fatal, misalnya terjadi penyakit jantung coroner, gagal ginjal,
kebutaan, dan lain-lain. Menurut data statistic tahun 2010 dari WHO terdapat 202 Juta penderita
diabetes diseluruh dunia. Tahun 2030 jumlah penderita DM diperkirakan melonjak lagi mencapai
dua kali lipat dari jumlah sekarang. Saat ini penyakit diabetes mellitus banyak dijumpai
penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan jumlah penderita diabetes mellitus di
Indonesia menduduki rengking 4 setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Dokter memiliki
pernan penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Membantu penderita
menyesuaikan pola diet sebagai mana yang disarankan Ahli Gizi, mencegah dan mengendalika
komplokasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat,
memberikan rekombinasi penyesuaian regimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita
bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari
waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sesuai dengan kopetensi
tugas seorang dokter. Dokter dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada
penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes.
Diabetes mellitus sendiri didefinisikan sebagai suatu penyakit dan gangguan metabolis kronik
dengan multietiologi yang di tandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi
fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau difisiensi produk insulin oleh sel-sel B
Langerhans kelenjar pancreas, dan disebabkan oleh kurang reponsisnya sel-sel tubuh terhadap
insulin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELITUS

2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1

Insulin yaitu hormon penurun glukosa darah, meningkat dalam waktu beberapa menit
setelah makan dan kembali turun ke nilai dasar dalam waktu 3 jam. Insulin berperan penting
dalam mengatur metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes melitus (DM) adalah
keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal,
yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah,
disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron. 1

2.2 Etiologi

Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : bertambahnya usia
harapan hidup dengan individu >40 tahun, obesitas, kurangnya aktifitas fisik, diet tinggi gula,
riwayat keluarga diabetes melitus, dislipidemia, riwayat melahirkan bayi >4 kg dan riwayat
diabetes melitus pada saat kehamilan (Depkes RI,2008). Banyak orang yang berpotensi terkena
diabetes melitus tipe 2 menghabiskan bertahun-tahun dalam keadaan pra diabetes, yaitu suatu
kondisi dimana kadar glukosa darah lebih tinggi dari biasanya tapi tidak cukup tinggi untuk
dignosis diabetes melitus tipe 2 (Sutanto,2010). Pada diabetes melitus tipe 2, pada awalnya
kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan disfungsi
sel beta pankreas, defek pada fase pertama sekresi insulin, yaitu antara lain, sekresi insulin oleh
pankreas mungkin cukup atau kurang namun terdapat keterlambatan sekresi insulin, jumlah
reseptor di jaringan perifer kurang antara 20.000 sampai 30.000, kadang-kadang jumlah reseptor
cukup tetapi kualitas reseptornya jelek sehingga kerja insulin tidak efektif, terdapat kelainan di
pasca reseptor menyebabkan proses glikolisis intraseluler terganggu dan adanya kelainan
campuran.9

2.3 Patofisiologi

Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci dari berkembangnya
DM tipe 2. Obesitas, terutama tipe sentral, sering ditemukan pada penderita DM tipe 2. Pada
tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel B pankreas mengkompensasi dengan
meningkatkan produksi insulin. Ketika resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik
terus terjadi, pankreas tidak mampu mempertahankan keadaan hiperinsulinemia tersebut.
Akibatnya, terjadi gangguan toleransi glukosa, yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah
setelah makan. Setelah itu, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hati
berlanjut pada diabetes berat dengan hiperglikemia saat puasa dan kegagalan sel beta.5
Berdasarkan studi terbaru dikatakan bahwa dalam timbulnya DM tipe 2 terdapat pengaruh
faktor genetik yaitu transcription factor 7–like-2 (TCF7L2) pada kromosom 10q yang mengkode
faktor transkripsi pada WNT signaling pathway. Berbeda dengan DM tipe 1 penyakit ini tidak
berhubungan dengan gen yang mengatur toleransi dan regulasi imun seperti HLA, CTLA4, dll.
Ada 4 karakteristik penyebab DM tipe 2, yaitu resistensi insulin, berkurangnya sekresi
insulin, dan meningkatnya produksi glukosa hati, dan metabolisme lemak yang abnormal. 5

a. Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada uptake, metabolisme, dan
penyimpanan glukosa. Hal tersebut dapat terjadi akibat defek genetik dan obesitas. Menurunnya
kemampuan insulin untuk berfungsi dengan efektif pada jaringan perifer merupakan gambaran
DM tipe 2. Mekanisme resistensi insulin umumnya disebabkan oleh gangguan pascareseptor
insulin. Polimorfisme pada IRS-1 (Gambar B-1) berhubungan dengan intoleransi glukosa dan
meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dari berbagai molekul pascareseptor dapat
berkombinasi dan memunculkan keadaan yang resisten terhadap insulin. Resistensi insulin
terjadi akibat gangguan persinyalan PI-3-kinase yang mengurangi translokasi glucose
transporter (GLUT) 4 ke membran plasma.10
Gambar B-1 : Mekanisme kerja insulin

Ada 3 hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait obesitas, yaitu:
1) Asam lemak bebas (free fatty acids/FFA)
2) Peningkatan trigliserida intraselular dan produk metabolisme asam lemak menurunkan efek
insulin yang berlanjut pada resistensi insulin.
3) Adipokin
4) Leptin dan adiponektin meningkatkan kepekaan insulin, sedangkan resistin meningkatkan
resistensi insulin.
5) PPAR (peroxisome proliferator-activated receptor gamma) dan TZD (thiazolidinediones)
PPAR merupakan reseptor intrasel yang meningkatkan kepekaan insulin. TZD
merupakan antioksidan (antidiabetik) yang mampu berikatan dengan PPAR sehingga
menurunkan resistensi insulin.10
Gambar B-2. Hubungan Obesitas dengan Resistensi Insulin

Berikut ini merupakan table berisi hal – hal yang dapat menurunkan respon terhadap insulin :

Prereceptor inhibitors: Insulin antibodies 


Receptor inhibitors: 
Insulin receptor autoantibodies
"Down-regulation" of receptors by hyperinsulinism:
Primary hyperinsulinism (B cell adenoma)
Hyperinsulinism, secondary to a postreceptor defect (obesity, Cushing's
syndrome, acromegaly, pregnancy) or prolonged hyperglycemia (diabetes
mellitus, post-glucose tolerance test)
Postreceptor influences: 
Poor responsiveness of principal target organs: obesity, hepatic disease,
muscle inactivity
Hormonal excess: glucocorticoids, growth hormone, oral contraceptive
agents, progesterone, human chorionic somatomammotropin,
catecholamines, thyroxine
b. Gangguan Sekresi Insulin
Sekresi insulin dan sensitivitasnya saling berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin
meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin untuk memperta-hankan toleransi glukosa.
Namun, lama kelamaan sel beta kelelahan mem-produksi insulin sehingga terjadi kegagalan sel β
Gambar B-3).

Gambar B-3. Progres Timbulnya DM

Kegagalan sel β ini tidak terjadi pada semua penderita DM tipe 2 sehingga diduga ada
pengaruh faktor intrinsik berupa faktor genetik yaitu gen diabetogenik TCF7L2. 2 Polipeptida
amiloid pada pulau Langerhans (amilin) disekresikan oleh sel beta dan membentuk deposit
fibriler amiloid pada pankreas penderita DM tipe 2 jangka panjang. Diduga bahwa amiloid ini
bersifat sitotoksik terhadap sel sehingga massa sel β berkurang. Dapat disimpulkan bahwa
disfungsi yang terjadi dapat bersifat kualitatif (sel beta tidak mampu mempertahankan
hiperinsulinemia) atau kuantitatif (populasi sel beta berkurang). Kedua hal tersebut dapat
disebabkan oleh toksisitas glukosa dan lipotoksisitas.10

c. Peningkatan Produksi Glukosa Hati


Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah yang tinggi akan
memaksa tubuh mensekresikan insulin secara terus menerus ke dalam sirkulasi darah
(hiperinsulinemia). Pada keadaan normal, seharusnya hal ini dapat membuat glukosa dikonversi
menjadi glikogen dan kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM yang resisten terhadap insulin, hal
ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon terhadap insulin mengakibatkan hati terus
menerus memproduksi glukosa (glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya akan berujung pada
terjadinya hiperglikemia. Produksi gula hati baru akan terus meningkat akibat terjadinya
ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi insulin di otot rangka.6
d. Abnormalitas Metabolik
Abnormalitas metabolisme otot dan lemak
Resistensi insulin bersifat relatif karena hiperinsulinemia dapat menormalkan kadar gula
darah. Akibat resistensi insulin, penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin berkurang,
sedangkan hepatic glucose output bertambah sehingga menyebabkan hiperglikemia.13
Akumulasi lipid dalam serat otot rangka, yang mengganggu fosforilasi oksidatif dan
penurunan produksi ATP mitokondria yang dirangsang insulin, menghasilkan reactive oxygen
species (ROS), seperti lipid peroksida. Peningkatan massa adiposit meningkatkan kadar asam
lemak bebas dan produk adiposit lainnya. Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan energy
expenditure, adipokin mengatur sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas dan
beberapa adipokin menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan hati. Misalnya, asam
lemak bebas mengurangi penggunaan glukosa pada otot rangka, merangsang produksi glukosa
dari hati, dan mengganggu fungsi sel beta.13
Di sisi lain, produksi adiponektin berkurang pada obesitas dan menyebabkan resistensi
insulin hepatik. Adiponektin memegang peranan penting dalam resistensi insulin yang
dihubungkan dengan struktur molekul dan mekanisme kerjanya yaitu menurunkan kandungan
trigliserida, mengaktivasi PPAR-α dan AMP-Kinase. Kadar adponektin yang rendah merupakan
salah satu faktor risiko dan prediktor terjadinya diabetes melitus tipe 2. Selain itu, beberapa
produk adiposit dan adipokin merangsang inflamasi sehingga terjadi peningkatan IL-6 dan C-
reactive protein pada DM tipe 2.13
Peningkatan produksi glukosa dan lipid hati
Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hati menggambarkan kegagalan
hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis sehingga terjadi hiperglikemia saat puasa dan
penurunan penyimpanan glikogen hati setelah makan.1 Peningkatan produksi glukosa hati terjadi
pada tahap awal diabetes, setelah terjadi abnormalitas sekresi insulin dan resistensi insulin pada
otot rangka. Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit sehingga terjadi
peningkatan sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit. Penyimpanan lipid (steatosis)
dalam hati dapat berlanjut pada penyakit perlemakan hati nonalkoholik dan abnormalitas fungsi
hati. Selain itu, keadaan tersebut menyebabkan dislipidemia pada penderita DM tipe 2, yaitu
peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL. 13

2.4 Gejala Klinis

Gejala klinis diabetes melitus yang klasik: mula-mula polifagi, polidipsi, poliuri, dan
berat badan naik (Fase Kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul
gejala Fase Dekompensasi (Dekompensasi Pankreas), yang disebut gejala klasik diabetes
melitus, yaitu poliuria, polidipsi, dan berat badan turun. Ketiga gejala klasik tersebut di atas
disebut pula Trias Sindrom Diabetes Akut (poliuri, polidipsi, berat badan menurun) bahkan
apabila tidak segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan Ketoasidosis Diabetik. 13

Gejala kronis diabetes melitus yang sering muncul antara lain lemah badan, kesemutan,
kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering berubah, sakit
sendi, dan lain-lain. 13

2.5 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis


tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun
kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM


perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini.9

1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi
(pada pria) serta pruritus vulva (pada wanita).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu (GDS)>200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP ) ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO (GD2PP) ≥200 mg/dL
(11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa.

Table 3.2 Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
(mg/dl).

Tes Sampel Bukan DM Belum Pasti DM DM

(pre diabetes)

Kadar glukosa Plasma <100 100-199 ≥200


darah sewaktu vena
(mg/dL) Darah <90 90-199 ≥200
kapiler

Kadar glukosa Plasma <100 100-125 ≥126


darah puasa vena
(mg/dL) Darah <90 90-99 ≥100
kapiler

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2
jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan
antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam <
140mg/dl.

Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan
tahapan sementara menuju DM (pre diabetes). Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor
resiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.9

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang


diabetes.13

- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalian glukosa darah.

- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,


makroangiopati, dan neuropati.

- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.


Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. 13

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda
dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. 13

2. Terapi gizi medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter,ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. 13

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali) seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. 13

Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.13

4. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan (insulin). 9

a. Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, WHO dibagi menjadi 5 golongan yaitu:

1. Pemicu Sekresi Insulin


Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun
masih boleh diberikan kepada pasiendengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjaldan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.9
Berdasarkan lama kerjanya sulfonilurea (SU) dibagi menjadi generasi pertama dan generasi
kedua. Sulfonilurea generasi pertama adalah acetohexmide, tolbutamid, tolazamid dan
klorpropamid. Sulfonilurea generasi kedua adalah glibenklamid, glimepirid, glipizid, gliburid
dan glikazid. Glibenklamid, ada dua dosis, 2,5 mg dan 5 mg. Dosis sehari antara 2,5 sampai 15
mg, obat ini memiliki efek hipoglikemik yang cukup kuat. Lama kerjanya termasuk intermediate
antara 5-8 jam yang diberikan 1-2 kali sehari, pagi dan siang hari. Tolbutamid, biasanya tersedia
dalam dosis 500 mg satu tablet, obat ini bekerja jangka pendek (short –acting) sekitar 4 jam yang
diberikan 1-3 kali sehari, di pagi, siang dan sore hari. Dosis sehari Tolbutamid antara 500-2000
mg. Gliklazid, dosis yang tersedia adalah 80 mg. Lama kerja obat ini intermediate. Karena itu
obat ini memiliki efek hipoglikemik sedang sehingga jarang menimbulkan hipoglikemia, dosis
sehari antara 80 sampai 320 mg. Klorpropamid, dosis pemeliharaan rerata klorpropamid 200
mg/hari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari, tolazamid sebanding dengan
klorpropamid, tetapi lama kerjanya lebih pendek, jika dibutuhkan dosis 500 mg/hari, dosis
tersebut harus dibagi dan diberikan dua kali sehari. Sulfoniluria golongan kedua seperti
glimepirid telah disetujui untuk digunakan sekali sehari sebagai monoterapi, dengan dosis
sebesar 1 mg/hari dengan dosis maksimal 8 mg. Gliburid, dosis awal yang biasa diberikan 2,5
mg/hari atau lebih kecil dan dosis pemeliharaan rerata 5-10 mg/ hari, yang diberikan sebagai
dosis tunggal pada pagi hari. Glipizid, dosis awal yang dianjurkan adalah 5 mg/hari yang dapat
dinaikkan sampai 15 mg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal.2

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial (PERKENI, 2011). Repaglinid, obat ini diberikan
dengan dosis 0,25-4 mg sesaat sebelum makan dengan dosis maksimum 16 mg/hari.2
1) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidinedion berikatan pada PeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g),
suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa diperifer.Tiazolidinedion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati.Pada pasien yang menggunakan Tiazolidinedion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala.9 Terdapat dua tiazolidinedion kini tersedia yaitu pioglitazon dan rosiglitazon.
Pioglitazion dapat diberikan sekali sehari dengan dosis awal 15-30 mg. Rosiglitazon diberikan
sehari atau dua kali sehari dengan dosis 4-8 mg.2
2) Penghambat glukoneogenesis (biguanida)
Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang diabetes yang obesitas. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan
akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.9 Dosis metformin yang
diberikan setelah makan sekali sehari berkisar dari 500 mg sampai maksimum sebesar 2,25
g/hari.2
3) Penghambat Glukosidase Alfa (Akarbose)
Penghambat glukosidase alfa seperti akarbose dan miglitol, diberikan sekali sehari dengan
dosis 25-100 mg sesaat sebelum menelan suapan pertama makanan (Katzung, 2011).Obat ini
bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa diusus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.9
4) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan oleh
sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk
ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah
oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe
2.Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4) atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP-1 agonis) (PERKENI, 2011). Eksentid merupakan inkretin pertama yang tersedia
untuk mengobati diabetes. Eksentid sebagai suatu analog sintetik polipeptida 1 yang menyerupai
glikagon (GLP-1). Obat ini disuntikkan secara subkutan dalam waktu 60 menit sebelum makan,
terapi dimulai pada dosis 5 mcg dua kali sehari, dengan dosis maksimum 10 mcg dua kali sehari.
Sitagliptin adalah suatu inhibitor dipeptidil peptidase-4 (DPP-4), obat ini diberikan dengan dosis
sebesar 100 mg yang diberikan per oral sekali sehari.9

b. Suntikan insulin
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibat adanya penurunan
berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke),
kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan
makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap
OHO.9

Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
o Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
o Insulin kerja pendek (short acting insulin)
o Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
o Insulin kerja panjang (long acting insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Dasar pemikiran terapi insulin


 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan
mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya.
Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan
defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang
terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum
makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan
untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).
 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4
unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai
target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid
acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial
dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus),
atau 1 kalibasal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kaliprandial (basal bolus).

 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah prandial
seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat
penyerapan karbohidrat dari lumen usus(acarbose).
 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons
individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Bagan 3.2 Memulai pemberian terapi insulin

Penilaian hasil terapi

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah:13

1. Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:

- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai


- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.

Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,glukosa
2 jam post prandial, atau glukosa darah padawaktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.13

2. Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin
glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2
kali dalam setahun.13

2.7 Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor yaitu


komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular kronik / jangka panjang.11

Komplikasi Metabolik Akut:

KAD ( Ketoasidosis Diabetikum )

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion
gap.11

Hiperosmolar non ketotik (HNK)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330- 380 mOs/mL), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.11
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Bila terdapat
penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya
hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan
insulin.Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang
cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia
lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau
terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.11

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergic (berdebar-debar, banyak keringat,


gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma).11

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan
kesadaran yangmasih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman
yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra vena.Perlu dilakukan
pemeriksaan ulang glukosa darah 15menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat
diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat
dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.11

Komplikasi Metabolik Kronis


Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melitus melibatkan pembuluh-pembuluh kecil
(mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar (makroangiopati).11

a) Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati
diabetikum), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati
diabetikum), otot-otot serta kulit. Terdapat kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan
insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma atau
pelebaran sakular yang kecil dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan
jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Neuropati disebabkan oleh gangguan jalur
poliol akibat defisiensi insulin. Terdapat penimbunan sorbitol sehingga mengakibatkan
pembentukan katarak dan dapat mengakibatkan kebutaan.11

b) Makroangiopati
Gangguan vaskular ini dapat disebabkan karena penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular, hiperlipoproteinemia, kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati
diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka
dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan
gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena arteri koronaria
dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokard.11

SELULITIS

Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi menyebar ke dalam

hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.1 Infeksi ini biasanya didahului luka atau trauma
dengan penyebab tersering Streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Terdapat
tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti eritema, teraba hangat, dan nyeri
serta terjadi limfangitis dan sering bergejala sistemik seperti demam dan peningkatan hitungan

sel darah putih.4

Faktor predisposisi erisepelas dan selulitis adalah: kaheksia, diabetes melitus, malnutrisi,
disgamaglobulinemia, alkoholisme, dan keadaan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh
terutama bila diseratai higiene yang jelek. Selulitis umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka
atau ulkus atau lesi kulit yang lain, namun dapat terjadi secara mendadak pada kulit yang normal
terutama pada pasien dengan kondisi edema limfatik, penyakit ginjal kronik atau hipostatik (7).
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk ditandai dengan
kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat
timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut,
kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang
efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren) (6)

Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang dewasa paling
sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya trauma di ekstremitas. Pada
penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas.

Patofisiologi Terjadinya Kelainan Kulit Pada DM

Perubahan kulit pada DM dapat melalui berbagai patomekanisme. Pada sebuah studi invitro
memperlihatkan bahwa DM memberi efek negatif pada setiap parameter sel tidak hanya secara
langsung melalui kadar glukosa patologis, akan tetapi juga secara tidak langsung yaitu
terbentukny advanced glycation end products (AGEs). Advanced glycation end products
berinteraksi dengan dan mempengaruhi fungsi biologis sejumlah protein intra dan ekstra seluler
seperti kolagen tipe 1, superoksida dismutase 1 atau reseptor epidermal growth factor. AGEs
juga mengaktifasi sitokin proinflamasi yaitu nuclear factor KB (NF-KB). Kadar glukosa
patologis sebagaimana AGEs menyebabkan peningkatan stress oksidatif intraseluler, termasuk
pembentukan reactive oksigen species (ROS).4,5

Kadar glukosa patologis tidak hanya menghambat proliferasi, migrasi dan biosintesis protein
pada keratinosit dan fibroblast, hal tersebut juga menyebabkan apoptosis sel endotel dan
menghambat sintesis nitrat oksida dengan menghambat enzim nitrat oksida sintetase (NO),
sehingga menyebabkan vasodilatasi in vivo. Selanjutnya, kadar glukosa patologis menekan
kemotaksis dan fagositosis pada berbagai tipe sel sistem imun alamiah.5
Patomekanisme yang digarisbawahi diatas menyebabkan mikro dan makroangiopati, yang
selanjutnya menyebabkan hipoksia jaringan dan kerusakan saraf, konsekuensinya adalah
neuropati diabetic, menyebabkan penurunan nosisepsi, kerentanan terhadap trauma eksogen,
penurunan sirkulasi, anhidrosis dan xeroderma.5

Tidak ada klasifikasi yang khusus untuk manifestasi kulit yang ditemukan pada DM, beberapa
penulis mengklasifikasikannya sebagai berikut: I. Manifestasi dermatologis yang berhubungan
dengan DM tetapi tidak spesifik pada DM yaitu Necrobiosis lipoidica, dermopati diabetik,
acanthosis nigricans dan bula diabetik, skleredema diabetikorum. II. Lesi kulit yang
berhubungan dengan komplikasi diabetes: diabetic foot, infeksi kulit yang berhubungan dengan
diabetes, xantomatosis dan xantelasma. III. Kondisi kulit yang berhungan dengan pengobatan
diabetes. IV. Kondisi lain yang sering terjadi pada DM yaitu vitiligo, liken planus, Disseminated
Granuloma Annulare.3,6

Infeksi Bakteri Di Kulit Pada Pasien Diabetes Mellitus

Pada pasien-pasien DM infeksi kulit sering terjadi dengan keadaan yang lebih berat dan risiko
komplikasi yang lebih besar. Staphylococcus aureus dan Streptococcus hemolyticus group A
sebagai bakteri yang paling sering sebagai penyebab infeksi kulit pada pasien DM. Impetigo,
folikulitis, furunkulosis, karbunkel, ektima, selulitis dan erisipelas adalah diagnosis pioderma
yang umum pada pasien DM. Isolat Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

sebagai penyebab selulitis dan erisipelas yang sering terisolasi pada pasien DM. 3 Eritrasma yang
disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum ditandai dengan plak eritema cerah pada area
lipatan, tidak gatal sering didiagnosis pada pasien DM yang kegemukan. 7 Pemeriksaan Lampu
Wood membantu dalam diagnosis dengan floresensi merah bata untuk membedakannya dengan
tinea kruris atau kandidiasis.3

Diabetes melitus yang tidak terkontrol merupakan salah satu faktor risiko Necrotizing fasciitis
(NF) yaitu infeksi pada jaringan kulit dan jaringan lunak ditandai proses nekrosis yang terjadi
pada usia 60-70 tahun. Necrotizing fasciitis sering mengakibatkan infeksi lebih lanjut menjadi
sepsis hingga kegagalan multiorgan. Sebagian besar organisme penyebab dari NF tidak dapat
diisolasi dan multimikrobial sebagai penyebab tersering. Necrotizing fasciitis memiliki tingkat
kematian yang tinggi sehingga memerlukan pengobatan kombinasi antibiotik, debridement, dan
jika diperlukan dapat dikombinasi dengan oksigen hiperbarik.3

BAB III

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S

No. DM : 492006

Umur : 51 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Suku Bangsa : Makasar

Alamat : Tanah Hitam

Pekerjaan : IRT

Pendidikan : SMA

Tanggal MRS : 07 - 06 - 2021

1.2 Anamnesis :

Keluhan Utama :
Kesadaran Menurun

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien Ny. S datang ke IGD RSUD Abepura diantar oleh keluarga dengan kesadaran
yang menurun sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit dan bengkak pada kedua kaki, kaki
kanan berwarna merah dan nyeri jika ditekan sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Keluarga
pasien mengaku bahwa pasien merasa demam naik turun sejak 1 hari sebelum masuk Rumah
Sakit di sertai mengigil, pasien juga merasa mual dan muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. . Pasien juga mengeluh sering kencing pada malam hari, kencing sampai lebih dari 5 kali
dalam satu malam. Pasien juga terus menerus merasa haus, dan banyak makan dalam beberapa
bulan terakhir. Pasien merasa adanya penurunan berat badan kurang lebih sejak 5 bulan terakhir
belakangan, dari awalnya 80 kg menjadi 76 kg.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat diabetes melitus : (+) dengan pengobatan metformin yang tidak teratur.
Riwayat hipertensi : (+) dengan pengobatan amlodipine yang tidak teratur
Riwayat alergi : disangkal

Riwayat Keluarga

Riwayat diabetes melitus : disangkal


Riwayat hipertensi : (+) dari ayah
Riwayat alergi : disangkal

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis, GCS 12 : E3V4M5

Tanda Vital
Tekanan darah : 216/99 mmHg

Nadi : 96 x/menit

Respirasi : 21 x/menit

Suhu badan : 36,8 oC

SpO2 : 98%

Status Generalis :

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), OC (-)


Leher : Pembesaran KGB (-), Peningkatan JVP (-)
Thoraks : Paru

I : simetris, ikut gerak napas


P : V/F (D=S)
P : Sonor/sonor
A : Suara napas vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung

I : Ictus cordis tidak tampak


P : Ictus cordis teraba di sela iga ke V linea midklavikula
sinistra, kuat angkat
P : Batas jantung kanan di ICS IV linea parasternal dextra

Batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula sinistra.

Batas pinggang jantung di ICS III linea parasternal


sinistra
A : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : I : Tampak datar
A : Bising usus (+) normal : 2-3x/15 detik

P : Supel, Nyeri tekan (-)

P Tympani
Ekstremitas : Edema (+) pada kaki kanan bawah, hiperemi (+) , ulkus (-)
Vegetatif : Makan / minum : baik / baik

BAB / BAK : baik / baik

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Laboratorium (09/04/2021)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Laboratorium
Hemoglobin 12,6 13,3-16,6 g/dl
HCT 44,0 41,3-52,1 %
Leukosit 20,00 3,37-8,38 10ˆ3/uL
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Trombosit 101 140-400 10ˆ3/uL
Laboratorium
Eritrosit 4,40 3,69-5,46 10ˆ6/uL
Rapid
SelTest Antigen
Basofil Negatif
0,2 Negatif%
0,3-1,4
Sel eosinophil
SARS-COV-2 5,5 0,6-5,4 %
SelHBsAg
Neutrofil Non41,1
reaktif 39,8-70,5%
Non reaktif
Sel limfosit 30,1 23,1- 49,9%
Sel monosit 5,0 4,3 – 10,0%
Malaria Negatif
GDS 210 ≤140 mg/Dl
SGOT 28 ≤40 U/L
SGPT 22 ≤41 U/L
BUN 21 7-18 mg/dL
Kreatinin 1,10 ≤0,95 mg/Dl
Diagnosis Kerja
Natrium 134,20 135-145 mmol/L
Kalium 4,05 3,5-5,5 mmol/L Diabetes Melitus Tipe 2
Clorida 102,80 98-10 mmol/L + Selulitis
Diagnosis Banding
- Diabetes Melitus Tipe 1
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)

1.3 Penatalaksanaan
1. Follow Up
Tanggal Catatan Tindakan
9/06/2021 Keluhan : Nyeri pada kaki kanan, pusing - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
mual - Bolus D40 % 2 Flakon 6tpm
Keadaan umun : Tampak sakit sedang - Injeksi Ceftriaxone 2x 2 gr
(IV)
- TD : 200/95 mmHg - Injeksi Omeprazole 2x1 Vial
- Nadi: 85 x/m (IV)
- RR : 20 x/m - Drip Metronidazole 3x500mg
- Suhu : 36,6 ˚c - Injeksi Ketorolac 3x1 Ampul
- SpO2: 99 % - Injeksi Furosemid 1amp 1x1
GDS : 202 - Drip Paracetamol 500ml jika
Kepala/leher : dalam batas normal demam
Thorax : dalam batas normal - Amlodipin 10mg 1x1
- Candesartan 16mg 1x1
Abdomen : dalam batas normal
- Glucophage 500mg
Ekstremitas : Edema (+) pada kanan - Novorapid 3x6 IU
bawah, hiperemi (+) ulkus (-) - Cek GDS Pagi
A: - Cek GD2PP

- DM Tipe 2
- Selulitis

10/06/202 Keluhan : Nyeri pada kaki kanan, mual - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
1 - Bolus D40 % 2 Flakon 6tpm
Keadaan umun : Tampak sakit sedang
- Injeksi Ceftriaxone 2x 2 gr
- TD : 190/90 mmHg (IV)
- Nadi: 95 x/m - Injeksi Omeprazole 2x1 Vial
- RR : 20 x/m (IV)
- Suhu : 36,5 ˚c - Drip Metronidazole 3x500mg
- SpO2: 99 % - Injeksi Ketorolac 3x1 Ampul
GDS : 174 GD2PP : 184 - Injeksi Furosemid 1amp 1x1
Kepala/leher : dalam batas normal - Drip Paracetamol 500ml jika
Thorax : dalam batas normal demam
- Amlodipin 10mg 1x1
Abdomen : dalam batas normal
- Candesartan 16mg 1x1
Ekstremitas : Edema (+) pada kanan - Glucophage 500mg
bawah, hiperemi (+) ulkus (-) - Novorapid 3x6 IU
A: - Cek GDS Pagi
- Cek GD2PP
- DM Tipe 2
- Selulitis
11/06/202 Keluhan : Nyeri pada kaki kanan, mual - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
1 - Bolus D40 % 2 Flakon 6tpm
Keadaan umun : Tampak sakit sedang
- Injeksi Ceftriaxone 2x 2 gr
- TD : 175/80 mmHg (IV)
- Nadi: 84 x/m - Injeksi Omeprazole 2x1 Vial
- RR : 20 x/m (IV)
- Suhu : 36,6 ˚c - Injeksi Ketorolac 3x1 Ampul
- SpO2: 98 % - Injeksi Furosemid 1amp 1x1
GDS : 151 GD2PP : 171 - Drip Paracetamol 500ml jika
Kepala/leher : dalam batas normal demam
Thorax : dalam batas normal - Amlodipin 10mg 1x1
- Candesartan 16mg 1x1
Abdomen : dalam batas normal
- Glucophage 500mg
Ekstremitas : Edema (+) pada kanan - Novorapid 3x6 IU
bawah, hiperemi (+) ulkus (-) - Cek GDS Pagi
A: - Cek GD2PP

- DM Tipe 2
- Selulitis

12/06/202 Keluhan : Nyeri pada kaki kanan menurun - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
1 - Bolus D40 % 2 Flakon 6tpm
Keadaan umun : Tampak sakit sedang
- Injeksi Ceftriaxone 2x 2 gr
- TD : 160/90 mmHg (IV) jika mual muntah
- Nadi: 88 x/m - Injeksi Omeprazole 2x1 Vial
- RR : 20 x/m (IV)
- Suhu : 36,6 ˚c - Drip Metronidazole 3x500mg
- SpO2: 99 % - Injeksi Ketorolac 3x1 Ampul
GDS :146 GD2PP : 152 - Injeksi Furosemid 1amp 1x1
Kepala/leher : dalam batas normal - Amlodipin 10mg 1x1
Thorax : dalam batas normal - Candesartan 16mg 1x1
- Glucophage 500mg
Abdomen : dalam batas normal
- Novorapid 3x6 IU
Ekstremitas : Edema (+) pada kanan - Cek GDS Pagi
bawah, hiperemi (+) ulkus (-)
A:
- DM Tipe 2
- Selulitis

13/06/202 Keluhan : Nyeri pada kakikanan - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


1 berkurang - Bolus D40 % 2 Flakon 6tpm
Keadaan umun : Tampak sakit sedang - Injeksi Ceftriaxone 2x 2 gr
(IV) jika mual muntah
- TD : 140/80 mmHg - Injeksi Omeprazole 2x1 Vial
- Nadi: 98 x/m (IV)
- RR : 21 x/m - Drip Metronidazole 3x500mg
- Suhu : 36,6 ˚c - Injeksi Ketorolac 3x1 Ampul
- SpO2: 99 % - Amlodipin 10mg 1x1
GDS : 122 GD2PP : 128 - Candesartan 16mg 1x1
Kepala/leher : dalam batas normal - Glucophage 500mg
Thorax : dalam batas normal - Novorapid 3x6 IU

Abdomen : dalam batas normal


Ekstremitas : Edema (+) pada kanan
bawah, hiperemi (+) ulkus (-)
A:
- DM Tipe 2
- Selulitis

Resume
Pasien Ny. S datang ke IGD RSUD Abepura diantar oleh keluarga dengan kesadaran
yang menurun sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit dan bengkak pada kaki kanan, berwarna
merah dan nyeri jika ditekan sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Keluarga pasien
mengaku bahwa pasien merasa demam naik turun sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit di
sertai mengigil, pasien juga merasa mual dan muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. .
Pasien juga mengeluh sering kencing pada malam hari, kencing sampai lebih dari 5 kali dalam
satu malam. Pasien juga terus menerus merasa haus, dan banyak makan dalam beberapa bulan
terakhir. Pasien merasa adanya penurunan berat badan kurang lebih sejak 5 bulan terakhir
belakangan, dari awalnya 80 kg menjadi 76 kg. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah : 140/80 mmHg, Nadi : 98x/m,
Respirasi : 21 x/m, Suhu : 36,6˚C , SpO2 : 99%. Pemeriksaan extremitas : Tungkai kanan bawah
edema (+) pada tungkai kanan bawah, hiperemi (+), ulkus (-)

Prognosis
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad functionam : dubia ad bonam
3. Quo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan Kasus Berdasarkan Teori
Anamnesa
 Kaki udem dan berwarna merah Trias Sindrom Diabetes Akut :
 Poliuri (banyak kencing)  Poliuri (banyak kencing)
 Polidipsi (banyak minum)  Polidipsi (banyak minum)
 Polifagia (banyak makan)  Polifagia (banyak makan)
 Berat badan turun  Berat badan menurun
 Usia >45 tahun Kelompok yang patut dicurigai DM:
 Adanya riwayat Hipertensi dalam  Usia >45 tahun
garis keturunan  Obesitas (BMI>25)
 Hipertensi
 Riwayat DM dalam garis
keturunan
 Riwayat DM dalam kehamilan
Pemeriksaan Fisik
 Pasien mudah haus, mudah lapar,  Pada DM tipe II didapatkan pasien
pasien tampak lemas.
mengeluh kehausan, tampak
 Pada Ekstremitas Inferior
Udem pada kedua kaki, eritama (+) banyak makan, dan tampak lemas.
kaki kanan, ulkus (-)
 Pemeriksaan fisik berdasarkan
buku Erisipelas dan selulitis.
Fakultas kedokteran Universitas
Samratulangi dijelaskan bahwa
infeksi Staphylococcus aureus dan
Streptococcus hemolyticus group
A sebagai bakteri yang paling
sering sebagai penyebab infeksi
kulit pada pasien DM seperti
folikulitis, furunkulosis, selulitis
dan erisipelas
Pemeriksaan Penunjang
 Gula darah sewaktu 202 mg/dl Pemeriksaan Penunjang menurut
Kriteria Diagnosis DM (Konsensus
 GD2PP 184 mg/dl PERKENI)
 Kadar glukosa darah sewaktu
(plasma vena) ≥ 200 mg/dl atau
 Kadar glukosa darah puasa
(plasma vena) ≥ 126 mg/dl atau
 Kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO ≥ 200 mg/dl
 Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5%

Penatalaksanaan
 Edukasi Pengelolaan DMT2 dimulai dengan
 Pengaturan makan/diet  Pengaturan makan
 Farmakoterapi  Latihan jasmani
 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm  Kadar glukosa darah belum
 Bolus D40 % 2 Flakon 6tpm mencapai sasaran, dilakukan
 Injeksi Ceftriaxone 2x 2 gr
intervensi farmakologis dengan
(IV)
 Injeksi Omeprazole 2x1 Vial obat hipoglikemik oral (OHO) dan
(IV) atau suntikan insulin.
 Injeksi Ketorolac 3x1 Ampul OHO dapat segera diberikan secara
 Injeksi Furosemid 1amp 1x1
tunggal atau langsung kombinasi,
 Drip Paracetamol 500ml jika
demam sesuai indikasi.
 Amlodipin 10mg 1x1 Pada keadaan dekompensasi
 Candesartan 16mg 1x1 metabolik berat, insulin segera
 Glucophage 500mg
diberikan.
 Novorapid 3x6 IU
 Basal bolus insulin merupakan
 Perawatan Selulitis salah satu metode yang dapat
- Pemberian Antibiotik digunakan dalam mencapai kontrol
- Bagian tubuh yang terkena
sebaiknya di mobilisasi glukosa darah.
 Prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid acting) atau insulin kerja
pendek (short acting).
Penatalaksanaan Selulitis
 Pemberian Cefriaxone injeksi dan
Metronidazole mampu mengobati
beberapa kondisi akibat infeksi
bakteri seperti pada infeksi di kulit
antara lain Selulitis dan Erisipelas.
Dan pemberian Analgetik seperti
Paracetamol mampu menurunkan
rasa nyeri pada kasus selulitis.

Berdasarkan perbandingan teori dan kasus pada pasien Ny.S 50 thn dengan diagnosis
Diabetes melitus tipe 2 dan Selulitis, maka didapatkan anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan yang dilakukan di RSUD Abepura pada pasien
tersebut sudah sesuai dengan teori dan penatalaksanaan pasien Diabetes Melitus dan Selulitis.

BAB V

KESIMPULAN

Ny S, 51 tahun, dengan kesadaran menurun, dan luka pada jari kaki bagian kanan bawah
sejak 3 hari yang lalu. Kaki kanan yang berwarna merah dan nyeri jika ditekan, namun tidak
terdapat ulkus dan pus pada kaki pasien.

Keluarga pasien mengaku bahwa pasien merasa demam naik turun sejak 1 hari sebelum
masuk Rumah Sakit di sertai mengigil, pasien juga merasa mual dan muntah sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga terus menerus merasa haus, dan banyak makan dalam
beberapa bulan terakhir. Pasien juga mengkonsumsi obat DM namun tidak teratur dan ayah
pasien juga mempunyai riwayat penyakit Hipertensi.
Pasien didiagnosa diabetes melitus tipe 2 dengan Selulitis dengan penatalaksanaan
pengobatan DM tipe 2, perawatan pada kaki pasien yang pada pemeriksaan fisik didapatkan
Eritema pada kaki kanan dan nyeri saat ditekan yang merupakan infeksi bakteri pada kulit akibat
penyakit Diabetes Melitus dan diberikan Antibiotik dan Analgetik untuk mengurangi keluhan
kaki pasien pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. 2010. Classification and Diagnosis of Diabetes. Diabetes Care;
Vol 38 (1)

2. Bertram G.Katzung. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10.Jakarta. EGC;2010 (2)

3. German MS, Masharani U. Pancreatic hormones and diabetes mellitus. Greenspan’s basic and
clinical endocrinology. Edisi ke-8. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2007. (5)
4. Maitra A, Abbas AK. The endocrine system. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.
Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. (6)
5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes
Melitus, PB. PERKENI. Jakarta. 2011 diunduh tanggal 6 november2016http://www.pdui-
pusat.com/wp-content/uploads/2015/12/SATELIT-SIMPOSIUM-6.1-DM-UPDATE-DAN-
Hb1C-OLEH-DR.-Dr.-Fatimah-Eliana-SpPD-KEMD.pdf (9)
6. Price SA, Wilson LM.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC;
2006 (10)

7. Umar H, Adam J. Low Adiponectin Levels and The Risk of Type 2 Diabetes Mellitus. The
Indonesian Journal of Medical Science Volume 2. 2009 Januari (1) : 56-60. (11)
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna publishing; 2009. (13)

9. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2008 (1)

10. Pandaleke, HEJ. Erisipelas dan selulitis. Fakultas kedokteran Universitas Samratulangi; Manado.
Cermin Dunia Kedokteran No. 117, 1997 (3)

11. Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of America. (4)

12. Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales, Cardiff, UK. 1708 (5)

13. Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis: a retrospective
study of 122 cases. 100(10): 888-94 (6)

14. Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks: color atlas and synopsis of clinically dermatology. New York:
McGrawHill. 2008 (7)

Anda mungkin juga menyukai