Syok Septik
Pembimbing :
Dr. Krisma, Sp.PD
Disusun Oleh :
Aditya Wicaksono Putra
11.2015.078
IDENTITAS PASIEN
PASIEN DATANG KE RS
Sendiri / Bisa jalan / Tidak bisa jalan / Dengan alat bantu
Diantar oleh keluarga : Ya / Tidak
ANAMNESIS
Autoanamnesis, tanggal 11 September 2016, pukul : 12.00 WIB.
Keluhan utama
Demam
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, DM, dan penyakit jantung.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan makanan.
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, DM,
dan penyakit jantung.
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat alergi obat dan makanan.
Pemeriksaan Fisik
Thorax
Inspeksi : Bentuk thorax normal, pergerakan dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi sela iga (-), ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Simetris pada keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (-), nyeri
tekan (-), ictus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra sela iga V
Paru-paru
Perkusi :Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi :Suara napas vesikuler, vocal fremitus simetris, ronkhi
-/-, wheezing -/-
Jantung
Abdomen
Inspeksi : Tak tampak massa, lesi kulit (-), sikatrik (-), pembuluh darah
kolateral (-) spider nevi (-)
Palpasi : Dinding perut : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular(-),
Hati : Tidak teraba pembesaran
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Perkusi : Timpani, undulasi (+), Shifting dullness (+), ballotement (-), nyeri
ketok CVA (-/-)
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Ekstremitas : Bintik kemerahan (-), akral hangat, edema tungkai +/+, CRT
< 2 detik, turgot kulit menutun, edema +/+
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Neutrofil 95.5 50 - 70 %
Lymph 2.4 25 – 40 %
Eo 0.0 2-4 %
Makroskopis
Protein +1 Negatif
Urinalisis
Mikroskopis
Eritrosit 2+
Epitel 2+
Granuler 3+
Leukosit Negatif
Foto Thorax PA
12 September 2016
EKG
RESUME
Laki-laki berusia 61 tahun datang dengan keluhan demam tiba-tiba sejak 3
hari SMRS, secara terus menerus walau sudah minum obat sejak. Terdapat adanya
lemas, pegal-pegal pada otot, dan linu pada persendianya. Demam disertai dengan
keluhan nyeri pada perut bagian bawah dan juga mengeluh adanya rasa nyeri dan
panas ketika pasien berkemih. Nafsu makan dan minum berkurang selama 3 hari
terakhir.
Pemeriksaan Fisik, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis dengan
peningkatan suhu: 38.0ºC (Axilla), peningkatan JVP: 5+3cmH2, pembesaran jantung
dari perkusi jantung: batas kanan diICS IV linea sternalis dextra, batas atas: di ICS III
linea parasternalis sinistra, batas kiri : ICS V 1 cm lateral linea midclav kiri. Cairan di
rongga abdomen dari shifting dullness dan undulasi yang positif (+), dan didapatkan
edema pada tungkai kanan dan kiri (+/+).
Pemeriksaan penunjang,
Pada pemeriksaan darah lengkap; terdapat leukositosis, anemia ringan, penurunan
hematokrit, trombositopenia, peningkatan neutrofil, penurunan limfosit. Pada
pemeriksaan urinalisis; tampak keruh, protein 1+, eritrosit 2+, leukosit 2+, sel epitel
1+, sel granula 3+, bakteri 2+. Pada foto thorax terdapat tanda edema pulmo dengan
pleural reaction sinistra, dan tanda Cardiomegaly. Pada pemeriksaan EKG terdapat left
ventricular hyperthrophy
DIAGNOSIS KERJA
1. ISK
2. CHF
3. Edema Paru
PENATALAKSANAAN
IVFD RL 30 tpm
Buscopan 1 ampul IV
Paracetamol 3x500mg
Ceftriaxone 1 gr/12jam
Furosemide 1 ampul/12jam
Follow Up
11 November 2016
12.00 WIB
TD HR RR T Sa02
O
TTV 110 23
130/80 mmHg 38,0°C 99%
x/menit x/menit
1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru
P Th/ lanjut
18.00 WIB
KU : TSS
TD HR RR T Sa02
O TTV 112 22
110/80 mmHg 38,5°C 99%
x/menit x/menit
1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru
P Th/ lanjut
12 November 2016
05.00 WIB
KU :TSS
O Kes :CM
TTV TD HR RR T Sa02
120/80 mmHg 22x/menit 37.7°C 98%
96x/menit
1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru
Paracetamol 3x500mg
Ceftriaxone 1 gr/12jam
P
Furosemide 1 ampul / 12 jam
Nexium 2x1 ampul IV
08.00 WIB
KU : TSS
Kes : CM
TD HR RR T Sa02
O TTV 86
120/80 mmHg 102x/menit 37.7°C 94%
x/menit
1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru
Sistenl 4x500mg
P Furosemide 1 ampul / 12 jam
02 nasal canule 3 lt
14.00 WIB
KU : TSS
Kes : CM
O TD HR RR T Sa02
TTV 78
120/80 mmHg 30 x/menit 38.9°C 95%
x/menit
Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra
1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru
P Th/ lanjut
18.00 WIB
KU : TSS
Kes : CM
TD HR RR T Sa02
O TTV 107
120/80 mmHg 26 x/menit 39.8°C 97%
x/menit
1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru
KU : TSB
Kes : CM
TD HR RR T Sa02
O TTV 100
120/80 mmHg 28 x/menit 41.5°C 97%
x/menit
A hematemesis
Drip nexium 8 mg / jam, bolus 2 ampul 80 mg IV
PCT infus 3 x, diantara sistenol 4 x
P
NGT, Spooling per 8 jam
Puasa
13 November 2016
05.00 WIB
KU : TSB
Kes : Somnolen
GCS: 12; E3 M4 V4
TD HR RR T Sa02
O TTV 104 38
130/70 mmHg 41.5°C 94%
x/menit x/menit
Hematemesis
A
Sepsis
P Th/ lanjutkan
08.00 WIB
KU : TSB
Kes : Sopor
GCS: 9; E2 M3 V4
TD HR RR T Sa02
O
TTV 104 38
130/70 mmHg 41.5°C 94%
x/menit x/menit
A Sepsis
P Th/ lanjutkan
09.30 WIB
KU : TSB
Kes : Sopor
GCS: 9; E2 M3 V4
TD HR RR T Sa02
TTV 120 26
90/50 mmHg 42.4 °C 96%
O x/menit x/menit
A Syok septik
KU : TSB
Syok septik
A
Apnue
RJP 5 siklus
RJP ulang 5 siklus injeksi SA 1 ampul
P
RJP ulang 5 siklus => midriasis +/+
Dinyatakan meninggal pada jam 10.20 WIB
Makroskopis
Protein +1 Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 2+
Epitel 2+
Silinder
Granuler 3+
Leukosit Negatif
SYOK SEPTIK
A. DEFINISI
SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah suatu bentuk
respon inflamasi terhadap infeksi atau non-infeksi yang ditandai oleh gejala: 6
Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis dan disfungsi organ pada sepsis10
Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis 10
C. PATOGENESIS
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat.
Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus
menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini
menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan
peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan biasa.
10
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri
gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan
lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum
darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab
yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan
akan bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.10
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada
jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam
amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi
kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh
bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila dihasilkan
melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi
sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi
organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati,
ginjal dan hematologi.11
D. GEJALA KLINIS
Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh
tanda-tanda non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering adalah
paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan sistem saraf
pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada pendeita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering diikuti dengan syok.10
E. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis sepsis, diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan yang menyeluruh, termasuk pemeriksaan penunjang.
Infeksi Salutan Kemih (ISK) tipe sederhana (uncomplicated type) jarang dilaporkan
meyebabkan insufisiensi ginjal kronik walaupun sering mengalami ISK berulang.
Sebaliknya ISK berkomplikasi (complicated type) terutama terkait refleks
vesikoureter sejak lahir sering menyebabkan insufisiensi ginjal kronik yang berakhir
dengan gagal ginjal terminal.12
ETIOLOGI13
PATOFISIOLOGI
Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya
rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa
hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah
penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendun gan total urine yang
mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut,
dan lain-lain.
Demam
Menggigil
Nyeri panggul dan pinggang
Nyeri ketika berkemih
Malaise
Pusing
Mual dan muntah
PEMERIKSAAN PENUNJANG14,15
1. Urinalisis
Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar
(LPB) sediment air kemih
Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air
kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa
kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2. Bakteriologis
Mikroskopis
Biakan bakteri
4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin
tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria
utama adanya infeksi.
5. Metode tes
Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess
untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami
piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang
mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia
trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi
juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari
abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses,
hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic,
sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.
PENATALAKSANAAN15
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis tidak perlu pemberian terapi,
namun bila sudah terjadi keluhan harus segera dapat diberikan antibiotika. Antibiotika
yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan test kepekaan antibiotika.
Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan adanya bakteri di dalam urin.
Indikasi yang paling penting dalam pengobatan dan pemilihan antibiotik yang tepat
adalah mengetahui jenis bakteri apa yang menyebabkan ISK. Biasanya yang paling
sering menyebabkan ISK adalah bakteri gram negatif Escherichia coli. Selain itu
diperlukan pemeriksaan penunjang pada ISK untuk mengetahui adanya batu atau
kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK sehingga mampu
menganalisa penggunaan obat serta memilih obat yang tepat.
Bermacam cara pengobatan yang dilakukan pada pasien ISK, antara lain :
Sulfonamide dapat menghambat baik bakteri gram positif dan gram negatif.
Secara struktur analog dengan asam p-amino benzoat (PABA). Biasanya diberikan
per oral, dapat dikombinasi dengan Trimethoprim, metabolisme terjadi di hati dan di
ekskresi di ginjal. Sulfonamide digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih
dan bisa terjadi resisten karena hasil mutasi yang menyebabkan produksi PABA
berlebihan.
Trimethoprim :
Jika kedua obat ini dikombinasikan, maka akan menghambat sintesis folat,
mencegah resistensi, dan bekerja secara sinergis. Sangat bagus untuk mengobati
infeksi pada saluran kemih, pernafasan, telinga dan infeksi sinus yang disebabkan
oleh Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Efek samping : pada pasien
AIDS yang diberi TMP-SMX dapat menyebabkan demam, kemerahan, leukopenia
dan diare.
Fluoroquinolones :
Nitrofurantoin :
Bersifat bakteriostatik dan bakterisid untuk banyak bakteri gram positif dan
gram negatif. Nitrofurantoin diabsorpsi dengan baik setelah ditelan tetapi dengan
cepat di metabolisasi dan diekskresikan dengan cepat sehingga tidak memungkinkan
kerja antibakteri sistemik.
CHF
Gagal jantung atau Heart failure adalah Sindrom klinis yang terjadi pada
pasien karena didapatkan suatu kelainan struktur atau fungsi jantung, sehingga
menimbulkan gejala klinis (dispnea, kelelahan, edema & lainnya) yang
mengakibatkan pasien sering rawat inap, kualitas hidup yang buruk, dan harapan
hidup pendek.(2) Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung.
Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik,
gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian pada pasien.16
1. Gangguan mekanis
a. Peningkatan beban tekanan
b. Peningkatan beban volume
c. Hambatan pengisian ventrikel
d. Retriksi endokardial atau miokardial
e. Aneurisma ventrikular
2. Kelainan miokardial
a. Primer
b. Sekunder
3. Gangguan irama jantung
Ventrikular standstill
Ventrikular fibrilasi
Takhikardi atau bradikardi
Gangguan konduksi
A. Klasifikasi 17
Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel kiri, ventrikel kiri
gagal untuk memompa darah, maka akan terbendung kemudian terjadi
peningkatan tekanan di atrium kiri serta vena-vena di belakangnya (vena
pulmonalis), menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung
kanan terjadi bila terdapat kelainan yang melemahkan ventikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti pada vena-vena sistemik yang menyebabkan oedem
perifer, hepatomegali dan distensi vena jugularis.
d. Gagal jantung akut dan kronik
Gagal jantung akut terjadi bila pasien yang secara awal sehat secara
keseluruhannya, lalu mendadak mengalami penurunan curah jantung, terjadi
penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contohnya terjadi
robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark
miokard luas. Gagal jantung akut biasanya adalah sistolik. Gagal jantung
kronik secara khas diamati pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvuler yanhg berkembang secara lambat. Kongesti perifer
sangat mencolok, tapi tekanan darah kadang masih terpelihara dengan baik.
Patofisiologi
Pompa yang tidak adekuat dari jantung merupakan dasar terjadinya gagal
jantung(4). Pompa yang lemah tidak dapat memenuhi keperluan terus-menerus dari
tubuh akan oksigen dan zat nutrisi. Sebagai reaksi dari hal tersebut, awalnya dinding
jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah karena hal ini, maka otot
jantung menebal untuk memompa lebih kuat. Sementara itu ginjal menyebabkan
tubuh menahan cairan dan sodium. Ini menambah jumlah darah yang beredar melalui
jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kenaikkan yang progresif pada
tekanan pengisian sistemik rata-rata dimana tekanan atrium kanan meningkat sampai
akhirnya jantung mengalami peregangan yang berlebihan atau menjadi sangat edema
sehingga tidak mampu memompa darah yang sedang sekalipun. Tubuh kemudian
mencoba untuk berkompensasi dengan melepaskan hormon yang membuat jantung
bekerja lebih keras. Dengan berlalunya waktu, mekanisme pengganti ini gagal dan
gejala-gejala gagal jantung mulai timbul. Seperti gelang karet yang direntang
berlebihan, maka kemampuan jantung untuk merentang dan mengerut kembali akan
berkurang. Otot jantung menjadi terentang secara berlebihan dan tidak dapat
memompa darah secara efisien.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis gagal jantung secara umum 17:
Dispnea, atau perasaan sulit bernafas adalah manifestasi yang paling umum
dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan
akibat kongesti vaskular paru-paru yang mengurangi kelenturan paru-paru.
Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Dispnea saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri.
Ortopnea, atau dispnea pada posisi berbaring, terutama disebabkan oleh
redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah
sirkulasi sentral. Reabsorpsi dari cairan interstitial dari ekstremitas bawah juga
akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut.
Dispnea nokturnal paroksismal (PND) atau mendadak terbangun karena
dispnea, dipicu oleh perkembangan edema paru-paru interstitial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri daripada
dispnea atau ortopnea.
Asma kardial adalah mengi akibat bronkospasme dan terjadi pada waktu
malam atau karena aktivitas fisik.
Batuk non produktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru,
terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronki akibat transudasi cairan
paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di
bagian bawah paru-paru sesuai pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial sekunder dari
distensi vena.
Distensi atrium atau vena pulmonalis dapat menyebabkan kompresi esophagus
dan disfagia atau kesulitan menelan.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association ( NYHA ) umum
dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik,
yang mana klasifikasinya sebagai berikut 18 :
STAGE EXAMPLES
Stage A: At high risk for HF but HTN, CAD, DM, cardiotoxins,
without structural heart disease FHx of CM
or symptoms of HF
Stage B: Structural heart disease but Previous MI, LV systolic dysfunction,
without symptoms of HF asymptomatic valvular disease
Stage C: Structural heart disease with Known structural heart disease, SOB and
prior or current symptoms of HF fatigue, reduced exercise tolerance
Diagnosa
18
A. Kriteria diagnosis gagal jantung
Kriteria mayor :
a. Paroksismal nokturnal dispneu
b. Ronki paru
c. Edema akut paru
d. Kardiomegali
e. Gallop S3
f. Distensi vena leher
g. Refluks hepatojugular
h. Peningkatan tekanan vena jugularis
Kriteria minor :
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Hepatomegali
d. Dispnea d’effort
e. Efusi pleura
f. Takikardi (120x/menit)
g. Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
EKG sangat penting dalam menentukan irama jantung, tetapi EKG
tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya
merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai
faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan
EKG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal jantung.
2. Foto thorax
Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung.
Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan
cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan posterior
anterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada
disfungsi sistolik karena ukuran biasa terlihat normal. Selain itu, pada
pemeriksaan foto toraks didapatkan adanya kongesti vena paru-paru,
berkembang menjadi edema interstitial atau alveolar pada gagal jantung yang
lebih berat, redistribusi vaskular pada lobus atas paru-paru, dan kardiomegali.
Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan perubahan yang khas pada
kimia darah, seperti adanya hiponatremia, sedangkan kadar kalium dapat
normal atau menurun sekunder terhadap terapi diuretik. Hiperkalemia dapat
terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal. Kadar
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dapat meningkat sekunder terhadap
perubahan laju filtrasi glomerulus. Urin menjadi lebih pekat dengan berat jenis
yang tinggi dan kadar natriumnya berkurang. Kelainan pada fungsi hati dapat
mengakibatkan pemanjangan masa protrombin yang ringan. Dapat pula terjadi
peningkatan bilirubin dan enzim-enzim hati, aspartat aminotransferase (AST)
dan fosfatase alkali serum, terutama pada gagal jantung yang akut. Kadar
kalium dan natrium merupakan prediktor mortalitas.
Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal
jantung yaitu pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan
NT-pro BNP (N Terminal protein BNP. Kegunaan pemeriksaan BNP adalah
untuk skrining penyakit jantung, stratifikasi pasien dengan gagal jantung,
deteksi left ventricular systolic dan atau diastolic dysfunction serta untuk
membedakan dengan dispnea. Berbagai studi menunjukkan konsentrasi BPN
lebih akurat mendignosis gagal jantung.
4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung.
Tes ini membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi.
Doppler echocardiography dua dimensi dapat digunakan untuk menentukan
penampilan LV sistolik dan diastolik, cardiac output (ejection fraction), serta
tekanan pengisian ventrikel dan arteri pulmoner (pulmonary artery and
ventricular filling pressures). Harus dilakukan secara rutin untuk diagnosis
optimal gagal jantung dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik ventrikel
kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi, dan abnormalitas gerakan.
Komplikasi
Komplikasi gagal jantung meliputi: 19
1. Cachexia jantung
Jika pasien gagal jantung dengan kelebihan berat badan, kondisi mereka
cenderung lebih parah. Indikator penting dari kondisi memburuk adalah
terjadinya cachexia jantung, yang ditandai dengan berat badan yang cepat
menurun (kehilangan sedikitnya 7,5% dari berat normal dalam waktu 6 bulan).
2. Gangguan fungsi ginjal
Gagal jantung melemahkan kemampuan jantung untuk memompa darah, hal
ini dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh termasuk ginjal. Penurunan
fungsi ginjal umumnya terjadi pada pasien dengan gagal jantung, baik sebagai
komplikasi gagal jantung dan sebagai komplikasi berbagai penyakit lainnya
yang berhubungan dengan gagal jantung (seperti diabetes). Studi
menunjukkan bahwa pada pasien dengan gagal jantung dan gangguan fungsi
ginjal meningkatkan risiko komplikasi jantung termasuk rawat inap dan
kematian.
3. Aritmia
Fibrilasi atrium adalah mengalahkan cepat bergetar di ruang atas jantung.
Ini adalah penyebab utama stroke dan sangat berbahaya pada penderita
gagal jantung.
Takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel adalah aritmia serius yang
dapat terjadi pada pasien ketika fungsi jantung secara signifikan
terganggu.
4. Depresi
Studi menunjukkan bahwa depresi mungkin memiliki efek biologis yang
merugikan pada sistem kekebalan tubuh dan saraf, pembekuan darah, tekanan
darah, pembuluh darah, dan irama jantung. Orang yang depresi mungkin gagal
untuk mengikuti petunjuk medis dan tidak dapat menjaga diri mereka sendiri.
5. Angina dan serangan jantung
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama gagal jantung, pasien
dengan gagal jantung memiliki risiko lanjutan untuk angina dan serangan
jantung.
6. Kongesti paru
7. Cardiac arrest
8. Sudden death.
Penatalaksanaan
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung secara umum ditujukan pada
lima aspek yaitu mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard,
mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab,
faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.(4) Dasar pengobatan dekompensasi
kordis dapat dibagi menjadi :
a. Non medikamentosa 16
Umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi
aktivitas sesuai beratnya keluhan. Dalam pengobatan non medikamentosa
yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja jantung dalam keadaan
dekompensasi harus dikurangi benar – benar dengan tirah baring mengingat
konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering tampak gejala – gejala
jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa
makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Cairan diberikan sebanyak 80 – 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500
ml/hari. Program penatalaksanaan non medikamentosa ini dapat berupa:
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, bagaimana upaya jika
timbul keluhan
Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas sosial,
serta rehabilitasi
Edukasi pola diet, control asupan garam, air, dan kebiasaan alkohol
Monitor berat badan, berhati-hati dengan kenaikan berat badan
tiba-tiba
Mengurangi berat badan pada pasien obesitas
Berhenti merokok
Perlu perhatian khusus jika akan melakukan perjalanan jauh
dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
Konseling mengenai obat, efek samping, dan perlunya menghindari
obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia kelas I, verapamil,
diltiazem, antidepresan trisiklik, steroid, dihidropiridin efek cepat.
b. Medikamentosa 19
Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah mengurangi gejala
akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja dan kualitas hidup
serta memperpanjang harapan hidup. Untuk itu, pendekatan awal adalah
memperbaiki berbagai gangguan yang mampu untuk menghilangkan beban
kardiovaskular yang berlebihan, seperti mengobati hipertensi, mengobati
anemia, mengurangi berat badan atau memperbaiki stenosis aorta. Gagal
jantung yang tetap bergejala walaupun penyakit yang mendasarinya telah
diobati, memerlukan pembatasan aktivitas fisik, pembatasan asupan garam
dan obat .
c. Operatif 19
Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan
hanya untuk menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada
penderita yang potentially curable. Pemakaian alat dan tindakan bedah antara
lain :
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu: 17
Gagal jantung akut atau gagal jantung kronis sering merupakan kombinasi
kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. Pasien dengan
gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk.
Pencegahan 16,20
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi hal yang diutamakan, terutama pada
kelompok dengan risiko tinggi.
Valvular
Kardiogenik
Non-valvular
Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus
Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus
Neurogenik
Patogenesis22,23
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium
kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
a. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal
terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial.
Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan
pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah
tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis
adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan
ke kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding
kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid
plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan
osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan
tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral);
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri;
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis
b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial
peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium
non alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika
kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari
saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema.
Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas
sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi
peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami
hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam
jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga
sebagai konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan
pembuluh darah akan terkompresi.
Diagnosis23,24
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non
Kardiak (EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
Nadi kuat
S3 gallop/kardiomegali (+)
(-)
JVP Meningkat
Tak meningkat
Ronki Basah
Kering
Laboratorium
Gambaran Radiologi25
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran
tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley
lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar
biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat
akumulasi cairan di daerah tersebut.
Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika
jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar
6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya
disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di
sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1
mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular
pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama dengan Kerley lines B,
dan akan terlihat hanya pada lateral chest radiograph. Peribronchial cuffing adalah
penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti ringlike density. Peribronchial cuffing
terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus.
Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.
[Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah putih),
Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial cuffing, pleural
effusion.
Penatalaksanaan25,26
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui,
maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara memperbaiki
jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan
semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi
3. cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal,
suction, dan ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
6. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg
tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi
hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85
– 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal
atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital
(10)
.
7. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
8. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis
atau keduanya.
9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.
Daftar Pustaka
1. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition
and institution of therapy are crucial. Postgraduate Med 2002;3:50-9.
2. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of severe sepsis in the United
States. Crit Care Med 2001;20:1303-31.
3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and
multiple organ dysfunctions. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.
Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005.
p.1249-57.
4. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep
2001;49:1-6.
5. Michael R Pinsky, Shock Septic. Available at:
http://emedicine.medscape.com/ article/168402-overview#a0156. Accessed on
23rd January, 2016.
6. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi
cairan. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2006. p.23-5.
7. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al; SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS:
2001 SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med 2003; 31: 1250-56.
8. PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 2007.
9. Linde-Zwirble WT, Angus DC: Severe sepsis epidemiology: Sampling,
selection and society. Crit Care 2004:8: 222-6.
10. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD Fakultas Kedokteran UI. 2007;1840-43.
11. R. Phillip Dellinger, Mitchell M, Andrew Rhodes, Djillali Annane, Herwig
Gerlach, Steven M, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines
for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Crit Care Med
2013; 41:580-637.
12. Coyle & Prince, 2005, Urinary Tract Infection, in Dipiro J.T., et al,
th
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6 , Apleton & Lange,
Stamford.
13. Purnomo BB. Dasar – dasar Urologi. Edisi kedua. Jakarta: CV. Agung Seto;
2008.
14. Price, Sylvia Andrson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit:
pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter
Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC; 1995.
15. Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi
Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI; 2001.
16. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV
17. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal
medicine.2005; ed XVI
18. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal
medicine.2005; ed XVI
19. Batrum C. Real Time Ultrasound A Manual for Physicians and Technical
Personell. Ed II. W.B. Saunders Co. 1987
20. Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with
heart failure. A statement for healthcare professionals from The
Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart Assiciation
Circulation 2000
21. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3rd edition, vol. 2,
Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614.
22. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D.,
Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic
Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.
23. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one,
United States, 593-617, 2008.
24. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical
Presentation. http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical.
25. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-
cardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular
Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60
26. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic
Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd,
152:7, 311-317.