Anda di halaman 1dari 63

Case Report

Syok Septik

Pembimbing :
Dr. Krisma, Sp.PD

Disusun Oleh :
Aditya Wicaksono Putra
11.2015.078

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSU Bethesda Lempuyangwangi, Yogyakarta
05 September 2016 – 12 November 2016
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RSU BETHESDA LEMPUYANGWANGI, YOGYAKARTA

Nama Mahasiswa : Aditya Wicaksono Putra Tanda Tangan

NIM : 11 2015 078

Dokter pembimbing : Dr. Krisma, Sp. PD ....................

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Bp. AS Jenis kelamin : Laki - Laki


Umur : 61 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah Agama : Kristen
Pekerjaan : - Pendidikan : -
Alamat : Ledok macanan, Suryatmajan Masuk Rumah Sakit : 11 - 09 - 2016
Pukul 11.00 WIB

PASIEN DATANG KE RS
Sendiri / Bisa jalan / Tidak bisa jalan / Dengan alat bantu
Diantar oleh keluarga : Ya / Tidak

ANAMNESIS
Autoanamnesis, tanggal 11 September 2016, pukul : 12.00 WIB.

Keluhan utama
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu, demam
dirasakan tiba-tiba dan terus menerus. Pasien merasakan badanya lemas, pegal-pegal
pada otot dan linu pada persendiannya. Tidak terdapat adanya pusing, mual dan juga
muntah. Pasien menyangkal adanya perdarahan seperti bintik kemerahan, dan gusi
berdarah. Pasien mengaku bahwa sudah mengkonsumsi obat penurun panas namun
panasnya tidak kunjung turun. Pasien menyangkal adanya riwayat bepergian ke
daerah yang lain dalam sebulan ini. Pasien mengaku ada beberapa tetangga yang
menderita DBD. Tidak ada keluhan batuk maupun pilek. Demam disertai dengan
keluhan nyeri pada perut bagian bawah dan juga mengeluh adanya rasa nyeri dan
panas ketika pasien berkemih, pasien menyangkal adanya kekeruhan, dan darah pada
air kencingnya. BAB lancar sekitar 2 atau 1 hari sekali, tidak terdapat BAB cair.
Nafsu makan dan minum berkurang selama 3 hari terakhir.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, DM, dan penyakit jantung.
 Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan makanan.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, DM,
dan penyakit jantung.
 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat alergi obat dan makanan.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital :
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 110 x/menit, reguler
Nafas : 23x/menit
Suhu : 38.0ºC (Axilla)
Kepala : Normocephali, tidak terdapat benjolan ataupun lesi.
Mata : Pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm, konjungtiva anemis
-/-, sklera ikterik - /-, edema palpebra -/-, refleks cahaya +/+
langsung dan tak langsung
Telinga : Normotia, sekret (-).
Hidung : Septum deviasi (-), deformitas (-), darah (-), krusta (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), atrofi papil lidah (-), faring hiperemis (-),
tonsil T1/T1, coated tongue (-)
Leher : Trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran kelenjar
getah bening maupun tiroid, nyeri tekan (-), JVP 5+3cmH2O

Thorax
Inspeksi : Bentuk thorax normal, pergerakan dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi sela iga (-), ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Simetris pada keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (-), nyeri
tekan (-), ictus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra sela iga V

Paru-paru
 Perkusi :Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi :Suara napas vesikuler, vocal fremitus simetris, ronkhi
-/-, wheezing -/-

Jantung

 Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra


Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kiri : ICS V 1 cm lateral linea midclav kiri
Auskultasi: Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Tak tampak massa, lesi kulit (-), sikatrik (-), pembuluh darah
kolateral (-) spider nevi (-)
Palpasi : Dinding perut : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular(-),
Hati : Tidak teraba pembesaran
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Perkusi : Timpani, undulasi (+), Shifting dullness (+), ballotement (-), nyeri
ketok CVA (-/-)
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik

Colok Dubur : Tidak dilakukan

Ekstremitas : Bintik kemerahan (-), akral hangat, edema tungkai +/+, CRT
< 2 detik, turgot kulit menutun, edema +/+
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

LABORATORIUM Nilai Rujukan Satuan

WBC 13.67 4.8 – 10.8 10*3/uL

RBC 4.21 4.7 – 6.1 10*6/uL

HGB 13.2 14 - 18 g/dL

HCT 37.7 42 -52 %


Hematologi

PLT 87 150 - 450 10*3/uL

Neutrofil 95.5 50 - 70 %

Lymph 2.4 25 – 40 %

Mono 2.0 2-8 %

Eo 0.0 2-4 %

Baso 0.1 0-1 %

Makroskopis

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Keruh Jernih

Berat jenis 1.025 1.005-1.030

PH 6.5 5.0 – 8.0

Protein +1 Negatif
Urinalisis

Reduksi Negatif Negatif

Mikroskopis

Eritrosit 2+: 5 - 9 Negatif Sel/LPB

Leukosit 2+: 5 - 9 Negatif Sel/LPB

Sel Epitel 1+: 4 Negatif Sel/LPB

Silinder Leukosit Negatif Negatif

Silinder Granula 3+: 10-29 Negatif Sel/LPB


Kristal Ca-Oxalat Negatif Negatif

Bakteri 2+: banyak Sel/LPK

Eritrosit 2+

Epitel 2+

Ca Oxalat/Trip, Fosfat Negatif


Sedimen

Granuler 3+

Leukosit Negatif

Foto Thorax PA

12 September 2016

 Densitas kedua pulmo simetris


 Corakan bronkovaskuler meningkat dengan cephalisasi
 Tanda diafragma dextra letak normal dengan sudut CF lancip, sinistra tertutup
 Cor CTR > 0.5
 Sistema tulang intak

 Kesan: Tanda edema pulmo dengan pleural reaction sinistra


Tanda Cardiomegaly

EKG

 Left Ventricular Hypertrophy

RESUME
Laki-laki berusia 61 tahun datang dengan keluhan demam tiba-tiba sejak 3
hari SMRS, secara terus menerus walau sudah minum obat sejak. Terdapat adanya
lemas, pegal-pegal pada otot, dan linu pada persendianya. Demam disertai dengan
keluhan nyeri pada perut bagian bawah dan juga mengeluh adanya rasa nyeri dan
panas ketika pasien berkemih. Nafsu makan dan minum berkurang selama 3 hari
terakhir.
Pemeriksaan Fisik, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis dengan
peningkatan suhu: 38.0ºC (Axilla), peningkatan JVP: 5+3cmH2, pembesaran jantung
dari perkusi jantung: batas kanan diICS IV linea sternalis dextra, batas atas: di ICS III
linea parasternalis sinistra, batas kiri : ICS V 1 cm lateral linea midclav kiri. Cairan di
rongga abdomen dari shifting dullness dan undulasi yang positif (+), dan didapatkan
edema pada tungkai kanan dan kiri (+/+).

Pemeriksaan penunjang,
Pada pemeriksaan darah lengkap; terdapat leukositosis, anemia ringan, penurunan
hematokrit, trombositopenia, peningkatan neutrofil, penurunan limfosit. Pada
pemeriksaan urinalisis; tampak keruh, protein 1+, eritrosit 2+, leukosit 2+, sel epitel
1+, sel granula 3+, bakteri 2+. Pada foto thorax terdapat tanda edema pulmo dengan
pleural reaction sinistra, dan tanda Cardiomegaly. Pada pemeriksaan EKG terdapat left
ventricular hyperthrophy

DIAGNOSIS KERJA

1. ISK
2. CHF
3. Edema Paru

PENATALAKSANAAN

 IVFD RL 30 tpm
 Buscopan 1 ampul IV
 Paracetamol 3x500mg
 Ceftriaxone 1 gr/12jam
 Furosemide 1 ampul/12jam

Follow Up

11 November 2016

12.00 WIB

 Demam mendadak sejak 3 hari SMRS


 Nyeri perut (+)
S
 Nyeri pinggang (+)
 BAK nyeri (+)
KU : TSS

Kes : Compos Mentis

TD HR RR T Sa02
O
TTV 110 23
130/80 mmHg 38,0°C 99%
x/menit x/menit

Abdomen : NT regio suprapubic

1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru

P  Th/ lanjut

18.00 WIB

 Bengkak di rahang bawah telinga, nyeri saat ditekan


 Nyeri saat menelan makanan
S
 Nyeri perut
 Mual (+), muntah (-)

KU : TSS

Kes : Compos Mentis

TD HR RR T Sa02
O TTV 112 22
110/80 mmHg 38,5°C 99%
x/menit x/menit

Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra

Abdomen : NT regio suprapubic, BU (+)

1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru

P  Th/ lanjut

12 November 2016

05.00 WIB

S  Masih Mual (+)

KU :TSS

O Kes :CM

TTV TD HR RR T Sa02
120/80 mmHg 22x/menit 37.7°C 98%
96x/menit

Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra

Abdomen : NT regio suprapubic, BU (+)

1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru

 Paracetamol 3x500mg
 Ceftriaxone 1 gr/12jam
P
 Furosemide 1 ampul / 12 jam
 Nexium 2x1 ampul IV

08.00 WIB

 Sesak (+) terutama malam hari, dan saat berbaring ke duduk


S
 Mual (+) muntah (-)

KU : TSS

Kes : CM

TD HR RR T Sa02
O TTV 86
120/80 mmHg 102x/menit 37.7°C 94%
x/menit

Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra

Abdomen : NT regio suprapubic, BU (+)

1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru

 Sistenl 4x500mg
P  Furosemide 1 ampul / 12 jam
 02 nasal canule 3 lt

14.00 WIB

 Sesak (+) berkurang


S  Batuk (+) Pilek (-)
 Nafsu makan kurang

KU : TSS

Kes : CM
O TD HR RR T Sa02
TTV 78
120/80 mmHg 30 x/menit 38.9°C 95%
x/menit
Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra

Abdomen : NT regio suprapubic, BU (+)

1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru
P Th/ lanjut

18.00 WIB

 Suhu badan terasa lebih tinggi


 Menggigil
 Sesak (+)
S
 Batuk (+)
 BAK sedikit
 Nyeri saat BAK (-)

KU : TSS

Kes : CM

TD HR RR T Sa02
O TTV 107
120/80 mmHg 26 x/menit 39.8°C 97%
x/menit

Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra

Abdomen : NT regio suprapubic, BU (+)

1. ISK,
A 2. CHF
3. Edema paru

P  Extra PCT infus 1 gr

22.30 WIB (dokter jaga)

S  Muntah berwarna kehitaman

KU : TSB

Kes : CM

TD HR RR T Sa02
O TTV 100
120/80 mmHg 28 x/menit 41.5°C 97%
x/menit

Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra

Abdomen : NT regio suprapubic, BU (+)

A  hematemesis
 Drip nexium 8 mg / jam, bolus 2 ampul 80 mg IV
 PCT infus 3 x, diantara sistenol 4 x
P
 NGT, Spooling per 8 jam
 Puasa

13 November 2016

05.00 WIB

 Tampak lemas, sesak dan tertidur


S
 Bengkak di leher mengecil

KU : TSB

Kes : Somnolen

GCS: 12; E3 M4 V4

TD HR RR T Sa02
O TTV 104 38
130/70 mmHg 41.5°C 94%
x/menit x/menit

Terpasang NGT, berwarna hitam

Leher : Pembesaran KGB Submental dextra & sinistra

Abdomen : NT regio suprapubic, BU (+)

 Hematemesis
A
 Sepsis

P  Th/ lanjutkan

08.00 WIB

S Tampak lemas, sesak dan tertidur

KU : TSB

Kes : Sopor

GCS: 9; E2 M3 V4

TD HR RR T Sa02
O
TTV 104 38
130/70 mmHg 41.5°C 94%
x/menit x/menit

 Terpasang NGT, berwarna hitam


 Mata : Refleks cahaya +/+, ca -/- si -/-
 Mulut : sianosis (-)
 Paru : vesikular rh -/- wh -/-
 Cor : bj 1,2 murni reguler, murmur(-) gallop(-)
 Abd: supel
 Eks: akral hangat, edema tungkai +/+, crt , 2 detik

A  Sepsis

P  Th/ lanjutkan

09.30 WIB

S Tampak lemas, tertidur

KU : TSB

Kes : Sopor

GCS: 9; E2 M3 V4

TD HR RR T Sa02
TTV 120 26
90/50 mmHg 42.4 °C 96%
O x/menit x/menit

 Terpasang NGT, berwarna hitam


 Mata : Refleks cahaya +/+, ca -/- si -/-
 Mulut : sianosis (-)
 Paru : vesikular rh -/- wh -/-
 Cor : bj 1,2 murni reguler, murmur(-) gallop(-)
 Abd: supel

Eks: akral hangat, edema tungkai +/+, crt , 2 detik

A  Syok septik

 Infus PCT 1000mg


 Bolus Nacl 500cc
 Pasang NRM
 Drip nexium 1 ampul dalam 50cc (10cc/jam)
P  Kalnex 1 ampu/8 jam
 Inpepsa syr 3x15cc
 Lasix stop
 Gentamycin 5 mg/kgBB/24jam
 Pasang monitor

10.05 WIB (dokter jaga)

S Tampak tak bernafas

KU : TSB

Kes : Koma, GCS : 3 (E:1 M:1 V:1)


O TD HR RR T Sa02
TTV
mmHg x/menit x/menit °C %

 Mata : Midriasis +/+


 Nadi tak teraba
 TD tak terdeteksi

 Syok septik
A
 Apnue

 RJP 5 siklus
 RJP ulang 5 siklus injeksi SA 1 ampul
P
 RJP ulang 5 siklus => midriasis +/+
 Dinyatakan meninggal pada jam 10.20 WIB

LABORATORIUM Tanggal & Waktu Pemeriksaan Nilai Satuan


Rujukan
11 Sep 16 12 Sep 16 12 Sep 16 13 Sep 16
(06.00) (23.30)

WBC 13.67 20.57 17.20 11.87 4.8 – 10.8 10*3/uL

RBC 4.21 3.64 3.76 3.63 4.7 – 6.1 10*6/uL

HGB 13.2 11.3 11.7 11.2 14 - 18 g/dL

HCT 37.7 32.1 31.6 30.3 42 -52 %


Hematologi

PLT 87 41 49 44 150 - 450 10*3/uL

Neutrofil 95.5 92.1 83.4 81.6 50 - 70 %

Lymph 2.4 2.6 6.1 6.9 25 – 40 %

Mono 2.0 5.3 7.2 11.4 2-8 %

Eo 0.0 0.0 3.1 0.0 2-4 %

Baso 0.1 0.0 0.2 0.1 0-1 %

Makroskopis

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Keruh Jernih


Urinalisis

Berat jenis 1.025 1.005-


1.030

PH 6.5 5.0 – 8.0

Protein +1 Negatif
Reduksi Negatif Negatif

Mikroskopis

Eritrosit 2+: 5 - 9 Negatif Sel/LPB

Leukosit 2+: 5 - 9 Negatif Sel/LPB

Sel Epitel 1+: 4 Negatif Sel/LPB

Silinder Leukosit Negatif Negatif

Silinder Granula 3+: 10-29 Negatif Sel/LPB

Kristal Ca-Oxalat Negatif Negatif

Bakteri 2+: banyak Sel/LPK

Eritrosit 2+

Epitel 2+

Ca Oxalat/Trip, Fosfat Negatif


Sedimen

Silinder

Granuler 3+

Leukosit Negatif

Albumin 3.0 3.20 – 4.60 g/dL

SGPT 7.69 0 – 55.0 U/L


Kimia Darah

SGOT 142.6 5.00 – U/L


34.00

Ureum 124.2 17.0 – 54.0 mg/dL

Creatinine 3.74 0.73 – 1.18 mg/dL


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

SYOK SEPTIK

A. DEFINISI
SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah suatu bentuk
respon inflamasi terhadap infeksi atau non-infeksi yang ditandai oleh gejala: 6

Tabel 1. Kriteria SIRS 6,7


Sedangkan sepsis adalah SIRS yang disebabkan oleh infeksi.6 Sepsis berat
adalah sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang tidak
terbatas hanya pada laktat asidosis, oliguria maupun perubahan mental akut.7,8
Sedangkan syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi yang ditandai dengan
penurunan TDS < 90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari tekanan darah awal
tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan darah.6-9

Gambar 1. Derajat sepsis 9


B. ETIOLOGI
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan presentase
60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun
yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. 10
Gambar 3. Etiologi Sepsis 7

Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis. 2

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi dasar


predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau disingkat
menjadi PIRO (Predisposing Factors, Insult, Response And Organ Dysfunction).

Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis dan disfungsi organ pada sepsis10
Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis 10

C. PATOGENESIS
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat.
Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus
menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini
menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan
peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan biasa.
10

Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator


inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon γ yang
bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan
infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4,
IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk melindungi dan
memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan. Namun ketika
keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan meluas menjadi respon
sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler
dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat
gangguan sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah
alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain
sehingga menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang merusak.10

Gambar 4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri
gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan
lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum
darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab
yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan
akan bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.10

Gambar 5. Patogenesis sepsis 12


Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat
berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang
berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC
(Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan
MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan
perantara T-cell Reseptor. 10
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator
akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor),
sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β dan
TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai
imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya
terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil
tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.10 Neutrofil yang beradhesi
akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel
akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa
superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga
mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan
terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh
darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi
kerusakan organ multipel.10
Gambar 6. Pengaktifan komplemen dan sitokin pada sepsis 13

Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada
jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam
amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi
kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh
bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila dihasilkan
melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi
sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi
organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati,
ginjal dan hematologi.11

D. GEJALA KLINIS
Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh
tanda-tanda non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering adalah
paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan sistem saraf
pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada pendeita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering diikuti dengan syok.10

E. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis sepsis, diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan yang menyeluruh, termasuk pemeriksaan penunjang.

Tabel 4. Sepsis menurut Society of Critical Care Medicine 7,11


Sedangkan severe sepsis atau sepsis berat didiagnosis berdasarkan:

Tabel 5. Sepsis berat menurut Society of Critical Care Medicine 7,11


F. DATA LABORATORIUM

Tabel. 5. Data laboratorium yang merupakan indikator pada sepsis2,10


G. PENATALAKSANAAN
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan
pengalaman dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang
menjadi penyebab (pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan
terapi antimikroba empirik.1,5,6 Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup
stabilisasi pasien langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik,
pengobatan fokus infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi
disfungsi organ.10
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik,
dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat
atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12
mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%.
Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan
resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC
untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai
maksimal 20 μg/kg/menit).11
Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler,
sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan
darah. Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L
dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian
cairan maka perlu dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin
dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila sudah tercapai
target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg.
Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan
MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/
KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5
μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin).
Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya
buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau
epinefrin)
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada
umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang
mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi.1 Tindakan ini
dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.11
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi
antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui
sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat
yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat
penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis.11 Oleh karena pada sepsis
umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan,
terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi
organ.1 Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam
berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab
teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada
monoterapi. Indikasi terapi kombinasi yaitu:
 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropenia
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
Tabel 6. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic Selection
Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre)
4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan
 Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl
0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.1,6
 Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin
perlu diberikan.
 Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila
kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia
miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.
c. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor
diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP
60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-
8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan
milrinone).1
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat
<9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan
untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara
evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut
dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan
produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat
resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan
proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam
amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan
insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL
dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar
gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut
dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena
ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi
dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di
sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas
antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi
antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor
pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti
menurunkan mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal
merupakan harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan
dan dapat meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian
TNF antibodi hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi
preklinik dengan antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat
digunakan sebagai profilak dan mungkin juga dapat digunakan untuk
pengobatan walaupun terapeutic window-nya sempit. Pemberian HA-1A
Human monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram negative, terutama pada
sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang sering disebabkan
kuman Gram negatif.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi
sepsis.6 Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat
sepsis dapat menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif
pada manusia pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan
diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak
didapatkan peningkatan angka mortalitas. Pada penelitian yang lain juga
didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock
tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas.11
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin,
APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis
bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-
NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi);
nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous
activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi,
koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik
dari bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan
untuk menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko
kematian yang tinggi.11
F. ALGORITMA PENATALAKSANAAN RESUSITASI DAN SEPSIS
ISK

Infeksi saluran kemih adalah suatu keadaan terjadinya peradangan oleh


mikroorganisme pada system perkemihan. Infeksi traktus urinarius merupakan
masalah yang sangat banyak dijumpai dalam praktek klinis. Infeksi saluran kemih
dapat dibagi menjadi bagian atas (pielonefritis) dan bagian bawah (sisititis, uretritis,
prostatitis) menurut saluran yang terkena. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi
yang terjadi sepanjang saluran kemih, terutama masuk ginjal itu sendiri akibat
proliferasi suatu organisme.

Infeksi Salutan Kemih (ISK) tipe sederhana (uncomplicated type) jarang dilaporkan
meyebabkan insufisiensi ginjal kronik walaupun sering mengalami ISK berulang.
Sebaliknya ISK berkomplikasi (complicated type) terutama terkait refleks
vesikoureter sejak lahir sering menyebabkan insufisiensi ginjal kronik yang berakhir
dengan gagal ginjal terminal.12

Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain:

1. Kandung kemih (sistitis)


2. uretra (uretritis)
3. prostat (prostatitis)
4. ginjal (pielonefritis)

Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih (ISK) dipandang dari segi penatalaksanaan:12

1. ISK uncomplicated (simple)


ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik,
anatomik maupun fungsional normal. ISK sederhana ini terutama mengenai
penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superfisial kandung kemih,
Penyebab kuman tersering (90%) adalah E.Coli
2. ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit
diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika,
sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-
keadaan sebagai berikut:
a. Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral
obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap
dan prostatitis.
b. Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
c. Gangguan daya tahan tubuh
d. Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang
memproduksi urease.

ETIOLOGI13

1. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:


a. Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
c. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
2. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
a. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung
kemih yang kurang efektif
b. Mobilitas menurun
c. Nutrisi yang sering kurang baik
d. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
e. Adanya hambatan pada aliran urin
f. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

PATOFISIOLOGI

Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik


dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari
tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK,
asending dan hematogen. Secara asending yaitu:13,14

 Masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi


dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki
sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi,
kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan
sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
 Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal

Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya
rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa
hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah
penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendun gan total urine yang
mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut,
dan lain-lain.

TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis):

 Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih


 Spasme pada area kandung kemih dan suprapubis
 Hematuria
 Nyeri punggung dapat terjadi

Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis)

 Demam
 Menggigil
 Nyeri panggul dan pinggang
 Nyeri ketika berkemih
 Malaise
 Pusing
 Mual dan muntah

PEMERIKSAAN PENUNJANG14,15

1. Urinalisis

 Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar
(LPB) sediment air kemih
 Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air
kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa
kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.

2. Bakteriologis

 Mikroskopis
 Biakan bakteri

3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik

4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin
tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria
utama adanya infeksi.

5. Metode tes

 Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess
untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami
piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang
mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
 Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia
trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
 Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi
juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari
abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses,
hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic,
sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.
PENATALAKSANAAN15

Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis tidak perlu pemberian terapi,
namun bila sudah terjadi keluhan harus segera dapat diberikan antibiotika. Antibiotika
yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan test kepekaan antibiotika.

Tujuan pengobatan ISK adalah mencegah dan menghilangkan gejala,


mencegah dan mengobati bakteriemia, mencegah dan mengurangi risiko kerusakan
jaringan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian obat-obatan yang sensitif,
murah, aman dengan efek samping yang minimal.

Banyak obat-obat antimikroba sistemik diekskresikan dalam konsentrasi tinggi


ke dalam urin. Karena itu dosis yang jauh dibawah dosis yang diperlukan untuk
mendapatkan efek sistemik dapat menjadi dosis terapi bagi infeksi saluran kemih.

Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan adanya bakteri di dalam urin.
Indikasi yang paling penting dalam pengobatan dan pemilihan antibiotik yang tepat
adalah mengetahui jenis bakteri apa yang menyebabkan ISK. Biasanya yang paling
sering menyebabkan ISK adalah bakteri gram negatif Escherichia coli. Selain itu
diperlukan pemeriksaan penunjang pada ISK untuk mengetahui adanya batu atau
kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK sehingga mampu
menganalisa penggunaan obat serta memilih obat yang tepat.

Bermacam cara pengobatan yang dilakukan pada pasien ISK, antara lain :

 pengobatan dosis tunggal


 pengobatan jangka pendek (10-14 hari)
 pengobatan jangka panjang (4-6 minggu)
 pengobatan profilaksis dosis rendah
 pengobatan supresif

Berikut obat yang tepat untuk ISK :


Sulfonamide :

Sulfonamide dapat menghambat baik bakteri gram positif dan gram negatif.
Secara struktur analog dengan asam p-amino benzoat (PABA). Biasanya diberikan
per oral, dapat dikombinasi dengan Trimethoprim, metabolisme terjadi di hati dan di
ekskresi di ginjal. Sulfonamide digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih
dan bisa terjadi resisten karena hasil mutasi yang menyebabkan produksi PABA
berlebihan.

Trimethoprim :

Mencegah sintesis THFA, dan pada tahap selanjutnya dengan menghambat


enzim dihydrofolate reductase yang mencegah pembentukan tetrahydro dalam bentuk
aktif dari folic acid. Diberikan per oral atau intravena, di diabsorpsi dengan baik dari
usus dan ekskresi dalam urine, aktif melawan bakteri gram negatif kecuali
Pseudomonas spp. Biasanya untuk pengobatan utama infeksi saluran kemih.

Trimethoprim + Sulfamethoxazole (TMP-SMX):

Jika kedua obat ini dikombinasikan, maka akan menghambat sintesis folat,
mencegah resistensi, dan bekerja secara sinergis. Sangat bagus untuk mengobati
infeksi pada saluran kemih, pernafasan, telinga dan infeksi sinus yang disebabkan
oleh Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Efek samping : pada pasien
AIDS yang diberi TMP-SMX dapat menyebabkan demam, kemerahan, leukopenia
dan diare.

Fluoroquinolones :

Mekanisme kerjanya adalah memblok sintesis DNA bakteri dengan


menghambat topoisomerase II (DNA gyrase) topoisomerase IV. Penghambatan DNA
gyrase mencegah relaksasi supercoiled DNA yang diperlukan dalam transkripsi dan
replikasi normal. Efek samping yang paling menonjol adalah mual, muntah dan diare.
Fluoroquinolon dapat merusak kartilago yang sedang tumbuh dan sebaiknya tidak
diberikan pada pasien di bawah umur 18 tahun.

Nitrofurantoin :
Bersifat bakteriostatik dan bakterisid untuk banyak bakteri gram positif dan
gram negatif. Nitrofurantoin diabsorpsi dengan baik setelah ditelan tetapi dengan
cepat di metabolisasi dan diekskresikan dengan cepat sehingga tidak memungkinkan
kerja antibakteri sistemik.
CHF

Gagal jantung atau Heart failure adalah Sindrom klinis yang terjadi pada
pasien karena didapatkan suatu kelainan struktur atau fungsi jantung, sehingga
menimbulkan gejala klinis (dispnea, kelelahan, edema & lainnya) yang
mengakibatkan pasien sering rawat inap, kualitas hidup yang buruk, dan harapan
hidup pendek.(2) Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung.
Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik,
gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian pada pasien.16

Gagal jantung dan respon kompensatoriknya mengakibatkan kelainan pada


tiga penentu utama dari fungsi miokardium, yaitu beban awal (preload),
kontraktilitas, dan beban akhir (afterload):17

I Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut


menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi
kiri: penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta,
penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah
tinggi (tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan: gagal
jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid,
penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal
masif.

1. Gangguan mekanis
a. Peningkatan beban tekanan
b. Peningkatan beban volume
c. Hambatan pengisian ventrikel
d. Retriksi endokardial atau miokardial
e. Aneurisma ventrikular
2. Kelainan miokardial
a. Primer
b. Sekunder
3. Gangguan irama jantung
 Ventrikular standstill
 Ventrikular fibrilasi
 Takhikardi atau bradikardi
 Gangguan konduksi

A. Klasifikasi 17

a. Gagal jantung sistolik dan diastolik

Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung


memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan
fisik, kemampuan aktivitas fisik menurun, dan gejala hipoperfusi lainnya.
Sedangkan gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Kedua jenis ini
tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto
thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan doppler-ekokardiografi

b. Gagal jantung high output dan low output

Gagal jantung curah tinggi disebabkan oleh penurunan resistensi


vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V,
beri-beri dan paget’s disease. Gagal jantung curah rendah ditemukan pada
hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup, dan perikardium.

c. Gagal jantung kanan dan kiri

Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel kiri, ventrikel kiri
gagal untuk memompa darah, maka akan terbendung kemudian terjadi
peningkatan tekanan di atrium kiri serta vena-vena di belakangnya (vena
pulmonalis), menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung
kanan terjadi bila terdapat kelainan yang melemahkan ventikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti pada vena-vena sistemik yang menyebabkan oedem
perifer, hepatomegali dan distensi vena jugularis.
d. Gagal jantung akut dan kronik

Gagal jantung akut terjadi bila pasien yang secara awal sehat secara
keseluruhannya, lalu mendadak mengalami penurunan curah jantung, terjadi
penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contohnya terjadi
robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark
miokard luas. Gagal jantung akut biasanya adalah sistolik. Gagal jantung
kronik secara khas diamati pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvuler yanhg berkembang secara lambat. Kongesti perifer
sangat mencolok, tapi tekanan darah kadang masih terpelihara dengan baik.

Patofisiologi

Pompa yang tidak adekuat dari jantung merupakan dasar terjadinya gagal
jantung(4). Pompa yang lemah tidak dapat memenuhi keperluan terus-menerus dari
tubuh akan oksigen dan zat nutrisi. Sebagai reaksi dari hal tersebut, awalnya dinding
jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah karena hal ini, maka otot
jantung menebal untuk memompa lebih kuat. Sementara itu ginjal menyebabkan
tubuh menahan cairan dan sodium. Ini menambah jumlah darah yang beredar melalui
jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kenaikkan yang progresif pada
tekanan pengisian sistemik rata-rata dimana tekanan atrium kanan meningkat sampai
akhirnya jantung mengalami peregangan yang berlebihan atau menjadi sangat edema
sehingga tidak mampu memompa darah yang sedang sekalipun. Tubuh kemudian
mencoba untuk berkompensasi dengan melepaskan hormon yang membuat jantung
bekerja lebih keras. Dengan berlalunya waktu, mekanisme pengganti ini gagal dan
gejala-gejala gagal jantung mulai timbul. Seperti gelang karet yang direntang
berlebihan, maka kemampuan jantung untuk merentang dan mengerut kembali akan
berkurang. Otot jantung menjadi terentang secara berlebihan dan tidak dapat
memompa darah secara efisien.

Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-


keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi
aorta dan cacat septum ventrikel, sedangkan stenosis aorta dan hipertensi sistemik
akan meningkatkan beban akhir. Kontraktilitas miokardium dapat menurun karena
infark miokardium dan kardiomiopati. Selain dari ketiga mekanisme fisiologis
tersebut, ada faktor-faktor fisiologis lain yang dapat juga mengakibatkan jantung
gagal bekerja sebagai pompa, seperti stenosis katup
atrioventrikularis dapat mengganggu pengisian ventrikel, perikarditis konstriktif
dan tamponade jantung dapat mengganggu pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel,
sehingga menyebabkan gagal jantung. Diperkirakan bahwa abnormalitas
penghantaran kalsium di dalam sarkomer atau dalam sintesisnya atau fungsi dari
protein kontraktil merupakan penyebab gangguan kontraktilitas miokardium yang
dapat mengakibatkan gagal jantung.

Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer terjadi


yaitu(3): meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, meningkatnya beban awal akibat
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon
kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.
Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal
perjalanan gagal jantung. Namun, dengan berlanjutnya gagal jantung kompensasi
menjadi kurang efektif. Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung
antara lain 17 :

1. Norepinephrine menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung,


dan toksisitas miosit
2. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan
mengaktifkan saraf simpatis
3. Aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium
4. Endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas miosit
5. Vasopresin menyebabkan vasokontriktor dan resorbsi air
6. TNF α merupakan toksisitas langsung miosit
7. ANP menyebabkan vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada
miosit
8. Interleukin-1 dan interleukin-6 bersifat toksis terhadap miosit.

Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal


jantung akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume
residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang
diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic
Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End Diastolic
Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada
kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastole atrium dan ventrikel
berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP (Left
Atrium Pressure), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan
meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik
vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut
merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru. Peningkatan tekanan vena
paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut dengan
hipertensi pulmoner, yang mana hipertensi pulmoner akan meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi
pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis gagal jantung secara umum 17:
 Dispnea, atau perasaan sulit bernafas adalah manifestasi yang paling umum
dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan
akibat kongesti vaskular paru-paru yang mengurangi kelenturan paru-paru.
Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Dispnea saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri.
 Ortopnea, atau dispnea pada posisi berbaring, terutama disebabkan oleh
redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah
sirkulasi sentral. Reabsorpsi dari cairan interstitial dari ekstremitas bawah juga
akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut.
 Dispnea nokturnal paroksismal (PND) atau mendadak terbangun karena
dispnea, dipicu oleh perkembangan edema paru-paru interstitial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri daripada
dispnea atau ortopnea.
 Asma kardial adalah mengi akibat bronkospasme dan terjadi pada waktu
malam atau karena aktivitas fisik.
 Batuk non produktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru,
terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronki akibat transudasi cairan
paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di
bagian bawah paru-paru sesuai pengaruh gaya gravitasi.
 Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial sekunder dari
distensi vena.
 Distensi atrium atau vena pulmonalis dapat menyebabkan kompresi esophagus
dan disfagia atau kesulitan menelan.

Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association ( NYHA ) umum
dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik,
yang mana klasifikasinya sebagai berikut 18 :

1. Kelas I : tidak terbatas, aktivitas fisik sehari-hari tidak menyebabkan lelah,


sesak nafas atau palpitasi
2. Kelas II : sedikit terbatas pada altifitas fisik, aktivitas fisik sehari-hari
menyebabkan lelah, palpitasi, sesak nafas atau angina
3. Kelas III : aktivitas fisik sangat terbatas, saat istirahat tanpa keluhan, namun
aktivitas kurang dari sehari-hari menimbulkan gejala
4. Kelas IV : tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun, gejala gagal
jantung timbul bahkan saat istirahat dan bertambah berat bila melakukan
aktivitas.

ACC/AHA Heart Failure Practice Guidelines 2001

STAGE EXAMPLES
Stage A: At high risk for HF but HTN, CAD, DM, cardiotoxins,
without structural heart disease FHx of CM
or symptoms of HF
Stage B: Structural heart disease but Previous MI, LV systolic dysfunction,
without symptoms of HF asymptomatic valvular disease
Stage C: Structural heart disease with Known structural heart disease, SOB and
prior or current symptoms of HF fatigue, reduced exercise tolerance

Stage D: Refractory HF requiring Marked symptoms at rest


specialized interventions despite maximal medical therapy

Diagnosa

Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan


penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks,
biomarker, dan ekokardiografi Doppler.(2) Pasien segera diklasifikasikan apakah
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik dan karakteristik forward or backward, left
or right heart failure.

18
A. Kriteria diagnosis gagal jantung

Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart Study :

Kriteria mayor :
a. Paroksismal nokturnal dispneu
b. Ronki paru
c. Edema akut paru
d. Kardiomegali
e. Gallop S3
f. Distensi vena leher
g. Refluks hepatojugular
h. Peningkatan tekanan vena jugularis

Kriteria minor :
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Hepatomegali
d. Dispnea d’effort
e. Efusi pleura
f. Takikardi (120x/menit)
g. Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan.

Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.

Pemeriksaan Penunjang

Dalam membantu penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan pemeriksaan


berikut ini(2):

1. EKG
EKG sangat penting dalam menentukan irama jantung, tetapi EKG
tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya
merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai
faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan
EKG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal jantung.
2. Foto thorax
Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung.
Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan
cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan posterior
anterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada
disfungsi sistolik karena ukuran biasa terlihat normal. Selain itu, pada
pemeriksaan foto toraks didapatkan adanya kongesti vena paru-paru,
berkembang menjadi edema interstitial atau alveolar pada gagal jantung yang
lebih berat, redistribusi vaskular pada lobus atas paru-paru, dan kardiomegali.
Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan perubahan yang khas pada
kimia darah, seperti adanya hiponatremia, sedangkan kadar kalium dapat
normal atau menurun sekunder terhadap terapi diuretik. Hiperkalemia dapat
terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal. Kadar
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dapat meningkat sekunder terhadap
perubahan laju filtrasi glomerulus. Urin menjadi lebih pekat dengan berat jenis
yang tinggi dan kadar natriumnya berkurang. Kelainan pada fungsi hati dapat
mengakibatkan pemanjangan masa protrombin yang ringan. Dapat pula terjadi
peningkatan bilirubin dan enzim-enzim hati, aspartat aminotransferase (AST)
dan fosfatase alkali serum, terutama pada gagal jantung yang akut. Kadar
kalium dan natrium merupakan prediktor mortalitas.

Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal
jantung yaitu pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan
NT-pro BNP (N Terminal protein BNP. Kegunaan pemeriksaan BNP adalah
untuk skrining penyakit jantung, stratifikasi pasien dengan gagal jantung,
deteksi left ventricular systolic dan atau diastolic dysfunction serta untuk
membedakan dengan dispnea. Berbagai studi menunjukkan konsentrasi BPN
lebih akurat mendignosis gagal jantung.

4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung.
Tes ini membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi.
Doppler echocardiography dua dimensi dapat digunakan untuk menentukan
penampilan LV sistolik dan diastolik, cardiac output (ejection fraction), serta
tekanan pengisian ventrikel dan arteri pulmoner (pulmonary artery and
ventricular filling pressures). Harus dilakukan secara rutin untuk diagnosis
optimal gagal jantung dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik ventrikel
kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi, dan abnormalitas gerakan.

5. Tes fungsi paru


6. Uji latih beban jantung
7. Kardiologi nuklir.

Komplikasi
Komplikasi gagal jantung meliputi: 19

1. Cachexia jantung
Jika pasien gagal jantung dengan kelebihan berat badan, kondisi mereka
cenderung lebih parah. Indikator penting dari kondisi memburuk adalah
terjadinya cachexia jantung, yang ditandai dengan berat badan yang cepat
menurun (kehilangan sedikitnya 7,5% dari berat normal dalam waktu 6 bulan).
2. Gangguan fungsi ginjal
Gagal jantung melemahkan kemampuan jantung untuk memompa darah, hal
ini dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh termasuk ginjal. Penurunan
fungsi ginjal umumnya terjadi pada pasien dengan gagal jantung, baik sebagai
komplikasi gagal jantung dan sebagai komplikasi berbagai penyakit lainnya
yang berhubungan dengan gagal jantung (seperti diabetes). Studi
menunjukkan bahwa pada pasien dengan gagal jantung dan gangguan fungsi
ginjal meningkatkan risiko komplikasi jantung termasuk rawat inap dan
kematian.
3. Aritmia
 Fibrilasi atrium adalah mengalahkan cepat bergetar di ruang atas jantung.
Ini adalah penyebab utama stroke dan sangat berbahaya pada penderita
gagal jantung.
 Takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel adalah aritmia serius yang
dapat terjadi pada pasien ketika fungsi jantung secara signifikan
terganggu.
4. Depresi
Studi menunjukkan bahwa depresi mungkin memiliki efek biologis yang
merugikan pada sistem kekebalan tubuh dan saraf, pembekuan darah, tekanan
darah, pembuluh darah, dan irama jantung. Orang yang depresi mungkin gagal
untuk mengikuti petunjuk medis dan tidak dapat menjaga diri mereka sendiri.
5. Angina dan serangan jantung
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama gagal jantung, pasien
dengan gagal jantung memiliki risiko lanjutan untuk angina dan serangan
jantung.
6. Kongesti paru
7. Cardiac arrest
8. Sudden death.

Penatalaksanaan

Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung secara umum ditujukan pada
lima aspek yaitu mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard,
mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab,
faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.(4) Dasar pengobatan dekompensasi
kordis dapat dibagi menjadi :

a. Non medikamentosa 16
Umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi
aktivitas sesuai beratnya keluhan. Dalam pengobatan non medikamentosa
yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja jantung dalam keadaan
dekompensasi harus dikurangi benar – benar dengan tirah baring mengingat
konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering tampak gejala – gejala
jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa
makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Cairan diberikan sebanyak 80 – 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500
ml/hari. Program penatalaksanaan non medikamentosa ini dapat berupa:
 Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, bagaimana upaya jika
timbul keluhan
 Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas sosial,
serta rehabilitasi
 Edukasi pola diet, control asupan garam, air, dan kebiasaan alkohol
 Monitor berat badan, berhati-hati dengan kenaikan berat badan
tiba-tiba
 Mengurangi berat badan pada pasien obesitas
 Berhenti merokok
 Perlu perhatian khusus jika akan melakukan perjalanan jauh
dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
 Konseling mengenai obat, efek samping, dan perlunya menghindari
obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia kelas I, verapamil,
diltiazem, antidepresan trisiklik, steroid, dihidropiridin efek cepat.

b. Medikamentosa 19
Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah mengurangi gejala
akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja dan kualitas hidup
serta memperpanjang harapan hidup. Untuk itu, pendekatan awal adalah
memperbaiki berbagai gangguan yang mampu untuk menghilangkan beban
kardiovaskular yang berlebihan, seperti mengobati hipertensi, mengobati
anemia, mengurangi berat badan atau memperbaiki stenosis aorta. Gagal
jantung yang tetap bergejala walaupun penyakit yang mendasarinya telah
diobati, memerlukan pembatasan aktivitas fisik, pembatasan asupan garam
dan obat .

Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan


diuretik oral maupun parenteral yang masih merupakan ujung tombak
pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai
euvolemik). Digitalis semula merupakan obat yang selalu diberikan pada klien
gagal jantung, tetapi ternyata efektivitas diuretik pada gagal jantung sama
dengan digitalis, terutama pada klien dengan edema sebagai gejala utama
gagal jantung, sehingga pada strategi pengobatan gagal jantung pilihan
pertama adalah pemberian diuretic. Diuretic yang digunakan adalah grup II,
Loop diuretic yaitu furosemid. Furosemid menghambat reabsorpsi Na, Cl,
pada ascending limbloop of Henle, sedikit efek pada tubulus proksimalis.
ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat
dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil
sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut
diberikan. Digitalis diberikan bila ada aritmia supraventikuler (fibrilasi atrium
atau SVT lainnya) atau bila ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang
memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi apabila fungsi ginjal
menurun atau kadar kalium rendah. Aldosteron antagonis dipakai untuk
memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada
beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian
jenis obat ini.

c. Operatif 19
Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan
hanya untuk menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada
penderita yang potentially curable. Pemakaian alat dan tindakan bedah antara
lain :

 Revaskularisasi (perkutan, bedah)


 Operasi katup mitral
 Aneurismektomi
 Kardiomioplasti
 External cardiac support
 Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular
 Implantable cardioverter defibrillators (ICD)
 Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart
 Ultrafiltrasi, hemodialisis.
Prognosis

Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu: 17

 Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%


 Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
 Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
 Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

Ada beberapa faktor yang menentukan prognosis, yaitu : 17

 Waktu timbulnya gagal jantung


 Timbul serangan akut atau menahun
 Derajat beratnya gagal jantung
 Penyebab primer
 Kelainan atau besarnya jantung yang menetap
 Keadaan paru
 Cepatnya pertolongan pertama
 Respons dan lamanya pemberian digitalisasi
 Seringnya gagal jantung kambuh.

Gagal jantung akut atau gagal jantung kronis sering merupakan kombinasi
kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. Pasien dengan
gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk.

Pencegahan 16,20
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi hal yang diutamakan, terutama pada
kelompok dengan risiko tinggi.

 Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard


 Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan
 Pengobatan hipertensi yang agresif
 Koreksi kelainan kongenital serta penyakit katup jantung
 Memerlukan pembahasan khusus
 Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari.
Edema Paru

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di


paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam
paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas.
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang
dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.

II.3 Klasifikasi dan Etiologi21


Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan
menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru
kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru. Sedangkan edema paru
non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang mendasarinya. Edema paru
non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan rendah alveolus, peningkatan
permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik. Sebagai contoh, penyebab penurunan
tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring,
penyebab peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan
edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi.

Valvular

Kardiogenik

Non-valvular

Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus

Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus

Neurogenik

Patogenesis22,23
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium
kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
a. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal
terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial.
Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan
pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah
tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis
adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan
ke kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding
kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid
plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan
osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan
tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral);
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri;
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis

b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial
peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium
non alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika
kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari
saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema.
Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas
sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi
peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami
hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam
jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga
sebagai konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan
pembuluh darah akan terkompresi.

Diagnosis23,24
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non
Kardiak (EPNK)
EPK EPNK

Anamnesis

Acute cardiac event (+) Jarang

Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)

Nadi kuat
S3 gallop/kardiomegali (+)
(-)
JVP Meningkat
Tak meningkat
Ronki Basah
Kering

Tanda penyakit dasar

Laboratorium

EKG Iskemia/infark Biasanya normal

Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer

ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal

PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg


Sedikit
Shunt intra pulmoner Hebat
< 0.5
Protein cairan edema > 0.7

JVP: jugular venous pressure


PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

Gambaran Radiologi25
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran
tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley
lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar
biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat
akumulasi cairan di daerah tersebut.
Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika
jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar
6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya
disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di
sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1
mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular
pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama dengan Kerley lines B,
dan akan terlihat hanya pada lateral chest radiograph. Peribronchial cuffing adalah
penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti ringlike density. Peribronchial cuffing
terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus.
Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.
[Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah putih),
Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial cuffing, pleural
effusion.

Perbedaan gambaran radiologis CPE dan non CPE

Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik


Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan tekanan
edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua stadium ini identik
pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler. Keduanya sering dijumpai
pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun IGD. Intensitas dan durasi dari
kedua stadium ini tergantung dari peningkatan tekanan yang terjadi, yaitu tergantung
dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.

Bat Wing Edema


Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral
dan dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya terdapat
pada 10% kasus edema paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus
perkembangan cepat gagal jantung berat seperti pada insufisiensi katub mitral akut
(yang berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif, dan
destruksi katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal ginjal. Pada
kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar ataupun interstitial.
Kondisi patologis ini berkembang secara cepat yang ditandai secara radiologis dengan
infiltrat alveolus, dan gambaran tipikal edem pulmo jarang ditemukan.

Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan


Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan adalah
perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru obstruksi kronis.
Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau gambaran destruksi
dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering ditemukan pada kasus
end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan terlihat pada kasus edema
paru yang predominan pada bagian yang kurang berpengaruh pada proses penyakit
ini.

Near Drowning Pulmonary Edema


Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena
inhalasi air dan masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya. Terdapat
tiga stadium pada kasus ini. Stadium pertama adalah laringospasme akut yang
diakibatkan karena inhalasi air yang sedikit (dry drowning). Gambaran radiologis
yang dapat terlihat adalah kerley lines, peribronchial cuffing, patchy, konsolidasi
alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24 sampai 48 jam dilakukan
terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada korban, dan sebagian
air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15% pasien masih menampakkan
gejala dry drowning dikarenakan laringospasme yang persisten, sedangkan sisanya
sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan mulai berelaksasi karena
hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup banyak. Pada kasus seperti ini, lesi
di paru tidak lagi berhubungan dengan edema tekanan, namun lebih karena hipoksia
yang dapat menyebabkan pengeluaran sitokin, dan akhirnya terjadi edema
permeabilitas. Gambaran radiologis pada stadium dua dan tiga biasanya tidak
spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-defiined lessions dan konsolidasi ruang udara
lobus. Besarnya lesi tergantung dari volume air yang dihirup dan durasi dari hipoksia,
maupun jenis air yang terhirup (air garam atau air segar).

Edema Paru Neurogenik


Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan gangguan
otak berat seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun status
epileptikus. Diagnosis dari edema paru neurogenik dibuat menggunakan metode
eksklusi. Penyebabnya masih kontroversional, beberapa mengemukakan kombinasi
antara faktor yang mempengaruhi edema hidrostatik dan faktor yang mempengaruhi
edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari edema paru neurogenik ini diantaranya
adalah dispneu, takipneu, dan sianosis yang terjadi setelah adanya gangguan pada
otak. Gejala dan tanda ini akan berkurang secara cepat pada kebanyakan kasus.
Gambaran radiografi pada kasus ini adalah adanya bilateral, homogen konsolidasi,
dengan predominasi apices pada 50% kasus. Gambaran radiologi ini biasanya
menghilang setelah 1-2 hari.

Penatalaksanaan25,26
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui,
maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara memperbaiki
jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan
semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi
3. cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal,
suction, dan ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
6. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg
tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi
hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85
– 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal
atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital
(10)
.
7. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
8. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis
atau keduanya.
9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.
Daftar Pustaka
1. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition
and institution of therapy are crucial. Postgraduate Med 2002;3:50-9.
2. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of severe sepsis in the United
States. Crit Care Med 2001;20:1303-31.
3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and
multiple organ dysfunctions. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.
Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005.
p.1249-57.
4. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep
2001;49:1-6.
5. Michael R Pinsky, Shock Septic. Available at:
http://emedicine.medscape.com/ article/168402-overview#a0156. Accessed on
23rd January, 2016.
6. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi
cairan. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2006. p.23-5.
7. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al; SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS:
2001 SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med 2003; 31: 1250-56.
8. PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 2007.
9. Linde-Zwirble WT, Angus DC: Severe sepsis epidemiology: Sampling,
selection and society. Crit Care 2004:8: 222-6.
10. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD Fakultas Kedokteran UI. 2007;1840-43.
11. R. Phillip Dellinger, Mitchell M, Andrew Rhodes, Djillali Annane, Herwig
Gerlach, Steven M, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines
for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Crit Care Med
2013; 41:580-637.
12. Coyle & Prince, 2005, Urinary Tract Infection, in Dipiro J.T., et al,
th
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6 , Apleton & Lange,
Stamford.
13. Purnomo BB. Dasar – dasar Urologi. Edisi kedua. Jakarta: CV. Agung Seto;
2008.
14. Price, Sylvia Andrson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit:
pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter
Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC; 1995.
15. Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi
Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI; 2001.
16. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV
17. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal
medicine.2005; ed XVI
18. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal
medicine.2005; ed XVI
19. Batrum C. Real Time Ultrasound A Manual for Physicians and Technical
Personell. Ed II. W.B. Saunders Co. 1987
20. Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with
heart failure. A statement for healthcare professionals from The
Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart Assiciation
Circulation 2000
21. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3rd edition, vol. 2,
Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614.
22. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D.,
Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic
Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.
23. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one,
United States, 593-617, 2008.
24. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical
Presentation. http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical.
25. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-
cardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular
Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60
26. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic
Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd,
152:7, 311-317.

Anda mungkin juga menyukai