Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KAJIAN TEORI
2.1 Definisi Chronic Kidney Disease
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme
serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan
manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah. Gagal ginjal terjadi
ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi
regulasinya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan eksresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan,
elektrolit serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir
yang umum dari berbagai peyakit urinary tract dan ginjal (Arif Muttaqin, 2011)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah. (Brunner & Suddarth, 2001).

2.2 Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan nilai
Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin. Kreatinin adalah produk sisa
yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus:
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi
secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat
berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang
disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
1. Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
2. Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
3. Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
4. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradandapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
5. Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi
dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium
ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
1. Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
2. Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
3. Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
4. Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui
bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara
optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar
penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
1. Kehilangan napsu makan
2. Nausea.
3. Sakit kepala.
4. Merasa lelah.
5. Tidak mampu berkonsentrasi.
6. Gatal – gatal.
7. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
8. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
9. Keram otot
10. Perubahan warna kulit

2.3 Pemeriksaan Diagnostik


A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan hipoalbuminemia
2. Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
3. Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya
diuresis
4. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan metabolisme
dan diet rendah protein
5. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal ginjal,
(resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
6. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun, HCO3
yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-basa organik
pada gagal ginjal.
7. Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
8. BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir. Rasio
BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
9. GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
10. Protein albumin : menurun
11. Natrium serum : rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari tergantung berapa
banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.
12. Kalium, magnesium : meningkat
13. Kalsium : menurun
B. Pemeriksaan Urine
1. Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin (anuria)
2. Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat yang tidak
terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen
kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin.
3. Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
4. Klirens kreatinin : mungkin menurun.
5. Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
6. Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan glumerulus
bila SDM dan fragmen juga ada.
7. Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
C. Pemeriksaan Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai derajat dari komplikasi yang terjadi.
1. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat.
2. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan
ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut,
DM dan nefropati Asam urat.
3. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau
obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram memberikan hasil keterangan
yang lebih baik.Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
4. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (vaskuler,
parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan kanan, tanda-tanda
perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
6. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan ekstravaskularisasi serta
adanya masa.
7. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.
D. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik atau perlu
diketahui etiologi daru penyakit ini

2.4 Terapi Chronic Kidney Disease


a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar,
2006).
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen.
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuatn dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.
3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi
alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat
≤ 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhanutama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1. Hemodialisis
a. Pengertian
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan
air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair
menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik
utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan
konsentrasi atau tekanan tertentu. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa
yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m²,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
2. Indikasi
Menurut Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang
jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita
yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya
dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita
neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga
dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml
pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak
boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan
sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan konvensional
tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
1. Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
2. Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
3. Hiperkalemia,
4. Overload cairan yang parah,
5. Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
6. Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
7. Hiperkalemia,
8. Asidosis metabolik yang parah.
3. Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin
didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer,
demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan
keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
4. Proses
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen, yaitu:
a) Kompartemen darah
b) Kompartemen cairan pencuci (dialisat)
c) Ginjal buatan (dialiser)
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu.
Kemudian, masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses
dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik. Selanjutnya, darah akan
beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser
(Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah
1) Komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah
dengan cara memaparkan larutan inid engan larutan lain (kompartemen dialisat)
melalui membran semi permeable (dialiser).
2) Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini
terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi
akibat gerakan molekulnya secara acak, sedangkan utrafiltrasi adalah perpindahan
molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air
ikut berpindah secara bebas bersama molekul airmelewati porus membran.
Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air
(trans membrane pressure) atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi
larutan (Daurgirdas et al.,2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses
yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan trans membran
(Daurgirdas et al., 2007)
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan air
yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien didialiser dan rendaman dialisat memerlukan
pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang dapat terjadi (misal
emboli udara, ultrafiltrasi tidak cukup kuat atau berlebihan, perembesan darah, kontaminasi dan
fistula)

Darah dalam pipa arteri dipompa dalam dialiser yang didalamnya mengalir darah melalui
tabung-tabung selodan yang bekera sebagai membran permeabel. Larutan dialisat yang memiliki
kinoisusu kimiawi yang lama seperti darah kecuali ureum dan produk limbah mengalir di
sekeliling tubulus. Produk limbah dalam darah berdifusi melalui membran semipermeabel ke
dalam larutan dialisat.

b. Dialisis peritoneal (DP)


Pada dialisis peritoneal, larutan steril yang mengandung mineral dan glukosa dijalankan
melalui tabung ke dalam rongga peritoneal, rongga tubuh perut sekitar usus, dimana membran
peritoneal bertindak sebagai semipermeable membrane. Membran peritoneal atau peritoneum
adalah lapisan jaringan yang mengandung pembuluh darah yang garis dan mengelilingi
peritoneal, atau perut, rongga dan organ-organ perut dalam (perut, limpa, hati, dan usus). Dialisat
yang tersisa di sana untuk jangka waktu untuk menyerap produk-produk limbah, dan kemudian
dikeringkan melalui tabung dan dibuang. Siklus ini atau "pertukaran" biasanya diulang 4-5 kali
dalam sehari, (kadang-kadang lebih sering semalam dengan sistem otomatis). Ultrafiltrasi terjadi
melalui osmosis, yang dialisis larutan yang digunakan mengandung konsentrasi tinggi glukosa,
dan tekanan osmotik yang dihasilkan menyebabkan cairan berpindah dari darah ke dialisat.
Akibatnya, lebih banyak cairan dikeringkan dari yang ditanamkan. Dialisis peritoneal kurang
efisien daripada hemodialisis, tetapi karena dilakukan untuk jangka waktu lebih lama efek bersih
dalam hal penghapusan produk limbah dan garam dan air mirip dengan hemodialisis. Peritoneal
dialisis dilakukan di rumah oleh pasien. Meskipun dukungan sangat membantu, tidak penting.
Pasien bebas dari rutin harus pergi ke klinik dialisis pada jadwal tetap beberapa kali per minggu,
dan itu bisa dilakukan saat bepergian dengan minimal peralatan khusus.
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity
dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
1. Definisi
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Transplantasi
ginjal merupakan insersi pembedahan ginjal manusia dari sumber yang hidup atau ginjal cadaver
kepada klien dengan penyakit ginjal tahap akhir,untuk mengganti hilangnya fungsi ginjal yang
normal Transplantasi ginjal dilakukan karena pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (end-
stage renal disease). Beberapa faktor penyebab terjadinya penyakit ginjal tahap akhir adalah
hipertensi, infeksi, kencing manis (diabetes mellitus), kelainan bentuk dan fungsi ginjal bawaan,
dan kondisi autoimun seperti lupus.
2. Indikasi
a Usia 13-60 tahun
b Tidak mengidap penyakit berat, keganasan, TBC, hepatitis, Jantung
c Harus dapat menerima terapi imunosupresif dalam waktu yang lama dan harus patuh
minum obat
d Sudah mendapat HD yang teratur sebelumnya
e Mau melakukan pemeriksaan pasca transplantasi ginjal.
3. Kontra Indikasi
Pada tindakan transplantasi ginjal juga terdapat beberapa kontra indikasi seperti;
a. pasien yang berumur lebih dari 70 tahun. Karena pada usia tersebut sudah sering
ditemukan gangguan-gangguan pada organ-organ lain yang akan mempengaruhi proses
pembedahan, karena pada usia tersebut ginjal sudah mengalami penurunan fungsi.
b. terdapat resiko tinggi pada pasien dengan kanker yang disertai penyebaran (metastasis)
c. Penyakit lanjut yang sulit diobati
d. Obesitas
e. Ginjal kanan
f. Pembuluh darah ginjal multiple
g. Infeksi akut : tuberkolosis, infeksi saluran kemih, hepatitis akut.
h. Infeksi kronik, bronkietaksis.
4. Proses
Proses transplantasi ginjal, ginjal yang rusak diangkat. Arteri dan vena renal diikat. Ginjal
transplan diletakan pada difosa iliaka. Arteri renal dari donor dijahit ke arteri iliaka dan vena
renal dijahit kevena iliaka. Ureter ginjal donor dijahit ke kandung kemih atau vesika urinari.
Setelah terhubung, ginjal akan dialiri darah yang akan dibersihkan. Urine biasanya langsung
diproduksi. Tetapi beberapa keadaan, urine diproduksi bahkan setelah beberapa minggu.Ginjal
lama akan dibiarkan di tempatnya. Tetapi jika ginjal tersebut menyebabkan infeksi atau
menimbulkan penyakit darah tinggi, maka harus diangkat.
5. Rejeksi
Transplant rejection (reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal yang telah di-cangkok), yaitu
sebuah serangan dari sistem kekebalan terhadap organ donor asing yang dikenal oleh tubuh
sebagai jaringan asing. Reaksi tersebut dirangsang oleh antigen dari kesesuaian organ asing. Ada
tiga jenis utama penolakan secara klinik, yaitu hiperakut, akut, dan kronis
1. Reaksi hiperakut
Terjadi segera dengan beberapa menit atau beberapa jam setelah klem pembuluh
darah dilepas. Disebabkan adanya antibodi terhadap sistem ABO atau sistem HLA yang
tidak cocok. Rejeksi hiperaktif tidak bisa diatasi harus dilaksanakan nefrektomi ginjal
cangkok. Rejeksi hiperakut saat ini jarang terjadi oleh karena dapat dihindarkan dengan
pemeriksaan reaksi silang.
2. Rejeksi akut
Biasanya terjadi dalam waktu 3 bulan pasca transplantasi, dapat dicetuskan oleh
penghentian atau pengurangan dosis obat imunoisupresi. Manifestasi klinis : demam,
mialgia malaise, nyeri pada ginjal baru, produksi urine menurun, berat badan meningkat,
tekanan darah naik, kreatinin serum meningkat, histopatologi.
3. Rejeksi kronik
Terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun pasca transplantasi. Pada
rejeksi kronik terjadi penurunan fungsi ginjal cangkok.
Pemberian terapi imunnosupresi
Terapi imunosupresi diperlukan untuk menekan respon imun sehingga memungkinkan
penerimaan organ yang ditanam. Kesulitan dari terapi ini adalah pemberian supresi yang cukup
untuk mencegah penolakan tanpa menyebabkan resipien menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik. Biasanya obat yang diberikan untuk mengontrol respon imun antara lain Metil
Prednisolon, Prednison, Azatioprin, siklosporin dll.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Daugirdas, J. T. (2007). Physiologic Principles and Urea Kinetic Modeling . In J. T. Daugirdas,
P. G. Blake, & T. S. Ing, Handbook of Dialysis fourth edition (pp. 25-58). Philadelpia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.
Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, Edisi
6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H., Wulansari, p., Mahanani, D.
A.,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Pernefri. (2003). Konsensus Dialisis, Edisi I. Jakarta: Penerbit Perhimpunan Nefrologi Indonesia
FK UI.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.

Sukandar, Enday.2006.Gagal Ginjal Kronik dan Terminal dalam Nefrologi Klinik.Bandung :


Penerbit Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD.

Anda mungkin juga menyukai