Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN KISTA OVARIUM

DI RUANG BOUGENVILLE RSUD TUGUREJO SEMARANG

Disusun oleh:
RIDO JULIYANTO
NIM : 16149014591078

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2016
A. Definisi
Kista ovarium adalah suatu benjolan yang berada di ovarium yang
dapat mengakibatkan pembesaran pada abdomen bagian bawah dimana
pada kehamilan yang disertai kista ovarium seolah-olah terjadi perlekatan
ruang bila kehamilan mulai membesar (Prawirohardjo, 2009)
Kista ovarium (kista indung telur) berarti kantung berisi cairan,
normalnya berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium)
(Nugroho, 2010)

B. ETIOLOGI
Menurut Nugroho (2010) kista ovarium disebabkan oleh gangguan
(pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium. 8 9
Beberapa teori menyebutkan bahwa penyebab tumor adalah bahan
karsinogen seperti rokok, bahan kimia, sisa-sisa pembakaran zat arang,
bahan-bahan tambang. Beberapa faktor resiko berkembangnya kista
ovarium, adalah wanita yang biasanya memiliki:
1. Riwayat kista terdahulu
2. Siklus haid tidak teratur
3. Perut buncit
4. Menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda)
5. Sulit hamil
6. Penderita hipotiroid

C. KLASIFIKASI KISTA OVARIUM


Kista non fungsional Suatu kista inklusi serosa terbentuk dari invaginasi
pada epitel permukaan ovarium, yang dilapisi epitel dan berdiameter 60
hari memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Kista fungsional
a. Kista unilokular atau kista sederhana Kista ini biasanya terbentuk dari
folikel praovulasi yang mengandung oosit. Kista ini bisa memiliki
ukuran 4 cm dan menetap ke siklus selanjutnya. Kista dapat kembali
kambuh dan sering terjadi pada awal maupun akhir masa reproduksi.
Lima puluh persen kista sembuh dalam 60 hari. Nyeri dapat timbul
akibat ruptur, torsi, atau hemoragi (Sinclair, 2003).
b. Kista folikel Menurut Benson dan Pernoll (2008) kista folikel adalah
struktur normal, fisiologis, sementara dan sering kali multiple, yang
berasal dari kegagalan resorbsi cairan folikel dari yang tidak
berkembang sempurna. Paling sering terjadi pada wanita muda yang
masih menstruasi dan merupakan kista yang paling lazim dijumpai
dalam ovarium normal. Kista folikel biasanya tidak bergejala dan
menghilang dengan spontan dalam waktu 60 hari memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.
c. Kista korpus luteum Menurut Wiknjosastro (2007) dalam keadaan
normal korpus luteum lambat laun mengecil dan menjadi korpus
albikans. Kadang-kadang korpus luteum mempertahankan diri (korpus
luteum persistens). Perdarahan yang sering terjadi di dalamnya
menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan yang berwarna merah
coklat karena darah tua. Frekuensi kista korpus luteum lebih jarang
daripada kista folikel, dan yang pertama bisa menjadi lebih besar
daripada yang kedua. 12 Pada pembelahan ovarium kista korpus
luteum memberi gambaran yang khas. Dinding kista terdiri atas
lapisan berwarna kuning, terdiri atas sel-sel luteum yang berasal dari
sel-sel teka. Kista korpus luteum dapat menimbulkan gangguan haid,
berupa amenorea diikuti oleh perdarahan tidak teratur. Adanya kista
dapat pula menyebabkan rasa berat dibagian bawah. Perdarahan yang
berulang dalam kista dapat menyebabkan ruptur. Rasa nyeri di dalam
perut yang mendadak dengan adanya amenorea sering menimbulkan
kesulitan dalam diagnosis diferensial dengan kehamilan ektopik yang
terganggu. Jika dilakukan operasi, gambaran yang khas kista korpus
luteum memudahkan pembuatan diagnosis. Penanganan kista korpus
luteum ialah menunggu sampai kista hilang sendiri. Dalam hal
dilakukan operasi atas dugaan kehamilan ektopik terganggu, kista
korpus luteum diangkat tanpa mengorbankan ovarium.
d. Kista theka-lutein Kista theka lutein merupakan kista yang berisi
cairan bening dan berwana hitam seperti jerami. Timbulnya kista ini
berkitan dengan tumor ovarium dan terapi hormon (Nugroho, 2010).
Kista theka lutein biasanya bilateral, kecil dan lebih jarang
dibandingkan kista folikel atau kista korpus luteum. Kista teka lutein
diisi oleh cairan berwana kekuning-kuningan. Berhubungan dengan
penyakit trofoblastik kehamilan (misalnya mola hidatidosa dan
koriokarsinoma), kehamilan ganda atau kehamilan dengan penyulit
diabetes mellitus atau sensitisasi Rh, penyakit ovarium polikistik
(sindrom Stein-Laventhel) dan pemberian zat perangsang ovulasi
(misalnya klomifen atau terapi hCG). Komplikasi jarang terjadi
meliputi ruptur (dengan perdarahan intraperitoneal) serta torsi ovarium
(Benson dan Pernoll, 2008).
e. Sindrom polikistik ovari (Policystic Ovarian Syndrom-PCOS)
Menurut Yatim (2005), polikistik ovarium ditemukan pada 5-10%
perempun usia dewasa tua sampai usia menopause, yang timbul
karena gangguan perkembangan folikel ovarium hingga tidak timbul
ovulasi. Penderita polikistik ini juga sering terlihat bulimia, androgen
meningkat dan prolaktin darah juga meningk kat (hiperprolaktinemia).
14 Polikistik ovarium sering dijumpai pada pemeriksaan USG
perempuan usia pertengahan, tetapi bukan berarti tidak normal,
mungkin ini ada kaitannya dengan prevalensi siklus tidak terjadi
ovulasi tinggi pada kelompok usia ini. Publikasi lain mengemukaan
bahwa sindrom polikistik terdapat pada 5-10% perempuan menjelang
umur menopause. Kejadian ini berkaitan dengan gangguan hormone
yang mulai terjadi pada kelompok umur tersebut. Perempuan yang
mengandung polikistik dapat diketahui, antara lain: Darah menstruasi
yang keluar sedikit (oligomenorrhea), Tidak keluar darah menstruasi
(amenorrhea), Tidak terjadi ovulasi, Mandul, Berjerawat
D. MANIFESTASI KLINIS
Kista Ovarium Menurut Nugroho (2010), kebanyakan wanita yang
memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala sampai periode tertentu.
Namun beberapa orang dapat mengalami gejala ini:
1. Nyeri saat menstruasi.
2. Nyeri di perut bagian bawah.
3. Nyeri saat berhubungan seksual.
4. Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki.
5. Terkadang disertai nyeri saat berkemih atau BAB.
6. Siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar
banyak.

E. PATOFISIOLOGI KISTA OVARIUM


Fungsi ovarium yang normal tergantung kepada sejumlah hormon dan
kegagalan pembentukan salah satu harmon tersebut bisa mempengaruhi
fungsi ovarium. Ovarium tidak akan berfungsi secara normal jika tubuh
wanita tidak menghasilkan hormon hipofisa dalam jumlah yang tepat.
Fungsi ovarium yang abnormal kadang menyebabkan penimbunan folikel
yang terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium. Folikel tersebut
gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur, terbentuk
secara tidak sempurna di dalam ovarium karena itu terbentuk kista di
dalam ovarium (Corvin, E.J 2008).

F. KOMPLIKASI KISTA OVARIUM


Menurut Wiknjosastro (2007), komplikasi yang dapat terjadi pada kista
ovarium diantaranya:
1. Akibat pertumbuhan kista ovarium Adanya tumor di dalam perut
bagian bawah bisa menyebabkan pembesaran perut. Tekanan
terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh besarnya tumor
atau posisinya dalam perut. Apabila tumor mendesak kandung
kemih dan dapat menimbulkan gangguan miksi, sedangkan kista
yang lebih besar tetapi terletak bebas di rongga perut kadang-
kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta dapat juga
mengakibatkan edema pada tungkai.
2. Akibat aktivitas hormonal kista ovarium Tumor ovarium tidak
mengubah pola haid kecuali jika tumor itu sendiri mengeluarkan
hormon.
3. Akibat komplikasi kista ovarium
a. Perdarahan ke dalam kista Biasanya terjadi sedikit-sedikit
sehingga berangsur-angsur menyebabkan kista membesar,
pembesaran luka dan hanya menimbulkan gejala-gejala
klinik yang minimal. Akan tetapi jika perdarahan terjadi
dalam jumah yang banyak akan terjadi distensi yang cepat
dari kista yang menimbukan nyeri di perut.
b. Torsio atau putaran tangkai Torsio atau putaran tangkai
terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm atau
lebih. Torsi meliputi ovarium, tuba fallopi atau ligamentum
rotundum pada uterus. Jika dipertahankan torsi ini dapat
berkembang menjadi infark, peritonitis dan kematian. Torsi
biasanya unilateral dan dikaitkan dengan kista, karsinoma,
TOA, massa yang tidak melekat atau yang dapat muncul
pada ovarium normal. Torsi ini paling sering muncul pada
wanita usia reproduksi. Gejalanya meliputi nyeri mendadak
dan hebat di kuadran abdomen bawah, mual dan muntah.
Dapat terjadi demam dan leukositosis. Laparoskopi adalah
terapi pilihan, adneksa dilepaskan (detorsi), viabilitasnya
dikaji, adneksa gangren dibuang, setiap kista dibuang dan
dievaluasi secara histologis
c. Infeksi pada tumor Jika terjadi di dekat tumor ada sumber
kuman patogen.
d. Robek dinding kista Terjadi pada torsi tangkai, akan tetapi
dapat pula sebagai akibat trauma, seperti jatuh atau pukulan
pada perut dan lebih sering pada saat bersetubuh. Jika
robekan kista disertai hemoragi yang timbul secara akut,
maka perdarahan bebas berlangsung ke uterus ke dalam
rongga peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri terus
menerus disertai tanda-tanda abdomen akut.
e. Perubahan keganasan Setelah tumor diangkat perlu
dilakukan pemeriksaan mikroskopis yang seksama terhadap
kemungkinan perubahan keganasannya. Adanya asites
dalam hal ini mencurigakan. Massa kista ovarium
berkembang setelah masa menopause sehingga besar
kemungkinan untuk berubah menjadi kanker (maligna).
Faktor inilah yang menyebabkan pemeriksaan pelvik
menjadi penting
G. PATHWAY
H. DIAGNOSA
Kista Ovarium Menurut Djuwantono, dkk (2011), yang perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosa kista ovarium adalah:
1. Anamnesa
Anamnesa lengkap merupakan bagian penting dari diagnosis tumor
adneksa. Pertanyaan tentang rasa nyeri, lokasi, dan derajat nyeri
serta kapan mulai timbulnya rasa nyeri tersebut akan memudahkan
penegakan diagnosis.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diagnostik yang lengkap dan tertuju pada gejala
klinis atau tanda dari suatu infeksi atau tumor neoplastik sangat
diperlukan untuk menentukan etiologi dari massa tumor di daerah
rongga panggul. Pemeriksaan payudara secara sistematis
diperlukan karena ovarium merupakan metastasis yang umum
dijumpai karsinoma payudara. 19 Pemeriksaan bimanual dan
pemeriksaan rekto vagina merupakan pemeriksaan pokok
ginekologi yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk
menegakkan diagnosis kelainan di daerah rongga pelvis.
3. Pemeriksaan penunjang/tambahan kista ovarium
a. Ultrasonografi (USG) Ultrasonik adalah gelombang suara
dengan frekuensi lebih tinggi daripada kemampuan
pendengaran telinga manusia, sehingga kita tidak bisa
mendengarnya sama sekali. Suara yang didengar manusia
mempunyai frekuensi 20-20.000 Cpd (Cicles per
detik=Hz). Masing-masing jaringan tubuh mempunyai
impedence acustic tertentu. Dalam jaringan yang heterogen
akan ditimbulkan bermacam-macam echo, disebut acho free
atau bebas echo. Suatu rongga berisi cairan bersifat
anechoic, misalnya kista, asites, pembuluh darah besar,
pericardial atau pleural effusion. USG pada kista ovarium
akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-
kadang oval) dan terlihat sangat echolucent dengan
dinding-dinding yang tipis/tegas/licin dan di tepi belakang
kista nampak bayangan echo yang lebih putih dari dinding
depannya. Kista ini dapat bersifat unilokuler (tidak
bersepta) atau multilokuler (bersepta-septa). Kadang-
kadang 20 terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus
(internal echoes) di dalam kista yang berasal dari elemen-
elemen darah di dalam kista.
1) Transabdominal sonogram
Pemeriksaan cara sonogram menggunakan
gelombang bunyi untuk melihat gambaran organ
tubuh. Pemeriksaan jenis ini bisa dilakukan melalui
dinding perut atau bisa juga dimasukkan melalui
vagina dan memerlukan waktu sekitar 30 menit,
bisa diketahui ukuran dan bentuk kistanya. Syarat
pemeriksaan transabdominal sonogram dilakukan
dalam keadaan vesica urinaria terisi/penuh.
2) Endovaginal sonogram
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan atau
memperlihatkan secara detail struktur pelvis.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara endovaginal.
Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan vesica
urinaria kosong.
3) Kista endometriosis
Menunjukkan karakteristik yang difuse, low
level/echoes pada endometrium, yang memberikan
gambaran yang padat.
4) Polikistik ovarium Menunjukkan jumlah folikel
perifer dan hiperechoid stroma.
b. CT-Scan
Akan didapat massa kistik berdinding tipis yang
memberikan penyangatan kontras pada dindingnya.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Gambaran MRI lebih
jelas memperlihatkan jaringan halus dibandingkan dengan
CT-scan, serta ketelitian dalam mengidentifikasi lemak dan
produk darah. CT-scan dapat memberikan petunjuk tentang
organ asal dari massa yang ada. MRI tidak terlalu
dibutuhkan dalam beberapa/banyak kasus. USG dan MRI
jauh lebih baik dalam mengidentifikasi kista ovarium dan
massa/tumor pelvis dibandingkan dengan CT-scan.
d. CA-125 Dokter juga memeriksa kadar protein di dalam
darah yang disebut CA-125. Kadar CA-125 juga meningkat
pada perempuan subur, meskipun tidak ada proses
keganasan. Tahap pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan
pada perempuan yang berisiko terjadi proses keganasan.

I. PENATALAKSANAAN KISTA OVARIUM


1. Observasi Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup
dimonitor (dipantau) selama 1-2 bulan, karena kista fungsional
akan menghilang dengan sendirinya setelah satu atau dua siklus
haid. Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas (kanker)
(Nugroho, 2010).
2. Terapi bedah atau operasi Bila tumor ovarium disertai gejala akut
misalnya torsi, maka tindakan operasi harus dilakukan pada waktu
itu juga, bila tidak ada 22 gejala akut, tindakan operasi harus
dipersiapkan terlebih dahulu dengan seksama. Kista berukuran
besar dan menetap setelah berbulan-bulan biasanya memerlukan
operasi pengangkatan. Selain itu, wanita menopause yang memiliki
kista ovarium juga disarankan operasi pengangkatan untuk
meminimalisir resiko terjadinya kanker ovarium. Wanita usia 50-
70 tahun memiliki resiko cukup besar terkena kenker jenis ini. Bila
hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini disebut ovarian
cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium
termasuk tuba fallopi, maka disebut salpingo-oophorectomy.
Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain
tergantung pada usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki
anak, kondisi ovarium dan jenis kista. Kista ovarium yang
menyebabkan posisi batang ovarium terlilit (twisted) dan
menghentikan pasokan darah ke ovarium, memerlukan tindakan
darurat pembedahan (emergency surgery) untuk mengembalikan
posisi ovarium.
Prinsip pengobatan kista dengan pembedahan (operasi)
menurut Yatim, (2005) yaitu:
a. Apabila kistanya kecil (misalnya, sebesar permen) dan pada
pemeriksaan sonogram tidak terlihat tanda-tanda proses
keganasan, biasanya dokter melakukan operasi dengan
laparoskopi. Dengan cara ini, alat laparoskopi dimasukkan ke
dalam rongga panggul 23 dengan melakukan sayatan kecil
pada dinding perut, yaitu sayatan searah dengan garis rambut
kemaluan.
b. Apabila kistanya besar, biasanya pengangkatan kista dilakukan
dengan laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan
total. Dengan cara laparotomi, kista bisa diperiksa apakah
sudah mengalami proses keganasan (kanker) atau tidak. Bila
sudah dalam proses keganasan, operasi sekalian mengangkat
ovarium dan saluran tuba, jaringan lemak sekitar serta kelenjar
limfe.
J. PERAWATAN POST OPERASI
Menurut Johnson (2008) perawatan post operasi yang perlu dilakukan
antara lain:
1. Perawatan luka insisi/post operasi Beberapa prinsip yang perlu
diimplementasikan antara lain:
a. Balutan dari kamar operasi dapat dibuka pada hari pertama
pasca operasi.
b. Luka harus dikaji setelah operasi sampai hari pasca operasi
sampai klien diperbolehkan pulang.
c. Luka mengeluarkan cairan atau tembus, pembalut harus
segera diganti.
d. Pembalutan dilakukan dengan teknik aseptik.
2. Pemberian cairan Pada 24 jam pertama klien harus puasa pasca
operasi, maka pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan
mengandung 24 elektrolit yang diperlukan agar tidak terjadi
hipotermia, dehidrasi, dan komplikasi pada organ-organ lainnya.
Cairan yang dibutuhkan biasanya dekstrose 5-10%, garam
fisiologis, dan ranger laktat (RL) secara bergantian. Jumlah tetesan
tergantung pada keadaan dan kebutuhan, biasanya kira-kira 20 tetes
per menit. Bila kadar hemoglobin darah rendah, berikan transfusi
darah atau pocked-cell sesuai dengan kebutuhan.
3. Diet Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah klien
flatus, lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral,
sebenarnya pemberian sedikit minuman sudah boleh diberikan 6-
10 jam pasca operasi berupa air putih atau air teh yang jumlahnya
dapat dinaikkan pada hari pertama dan kedua pasca operasi.
Setelah infuse dihentikan, berikan makanan bubur saring,
minuman, buah dan susu. Selanjutnya secara bertahap
diperbolehkan makan bubur dan akhirnya makanan biasa.
4. Nyeri Dalam 24 jam pertama, rasa nyeri masih dirasakan di daerah
operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan obat-obatan
anti sakit dan penenang seperti suntikan intramuskuler (IM)
pethidin dengan dosis 100-150 mg atau morpin sebanyak 10-15 mg
atau secara perinfus atau obat-obatan lainnya.
5. Mobilisasi Mobilisasi segera sangat berguna untuk membantu
jalannya penyembuhan klien. Miring ke kanan dan ke kiri sudah
dapat dimulai 6-10 jam pertama pasca operasi setelah klien sadar.
Latihan pernafasan dapat dilakukan sambil tidur terlentang sedini
mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasien dapat latihan duduk
selama 5 menit dan tarik nafas dalam-dalam. Kemudian posisi tidur
diubah menjadi setengah duduk atau semi fowler. Selanjutnya
secara berturut-turut, hari demi hari klien dianjurkan belajar duduk
sehari, belajar berjalan dan kemudian berjalan sendiri pada hari
ketiga sampai hari kelima pasca operasi.
6. Kateterisasi Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri
dan tidak nyaman pada klien. Karena itu dianjurkan pemasangan
kateter tetap (balon kateter) yang terpasang 24-48 jam atau lebih
lama tergantung jenis operasi. Dengan cara ini urine dapat
ditampung dan diukur dalam kantong plastik secara periodik. Bila
tidak dipasang kateter tetap dianjurkan untuk melakukan
pemasangan kateter rutin kira-kira 12 jam pasca operasi, kecuali
bila klien dapat berkemih sendiri.
7. Pemberian Obat-obatan
a. Antibiotik, kemoterapi dan anti inflamasi
b. Obat-obatan pencegah perut kembung
c. Obat-obatan lainnya
8. Perawatan Rutin Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemeriksaan dan pengukuran adalah:
a. Tanda-tanda vital, meliputi: tekanan darah (TD), nadi,
pernafasan, dan suhu.
b. Jumlah cairan yang masuk dan yang keluar.
c. Pemeriksaan lainnya menurut jenis operasi dan kasus
K. PENGAKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama
dan alamat, serta data penanggung jawab
2. Keluhan klien saat masuk rumah sakit
Biasanya klien merasa nyeri pada daerah perut dan terasa ada massa di
daerah abdomen, menstruasi yang tidak berhenti-henti.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan klien adalah nyeri pada daerah
abdomen bawah, ada pembengkakan pada daerah perut,
menstruasi yang tidak berhenti, rasa mual dan muntah.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Sebelumnya tidak ada keluhan.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kista ovarium bukan penyakit menular/keturunan.
d. Riwayat perkawinan
Kawin/tidak kawin ini tidak memberi pengaruh terhadap
timbulnya kista ovarium.
4. Riwayat kehamilan dan persalinan
Dengan kehamilan dan persalinan/tidak, hal ini tidak mempengaruhi
untuk tumbuh/tidaknya suatu kista ovarium.
5. Riwayat menstruasi
Klien dengan kista ovarium kadang-kadang terjadi digumenorhea dan
bahkan sampai amenorhea.
6. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan mulai dari kepala sampai ekstremitas bawah secara
sistematis.
a. Kepala
b. Mata
c. Leher
d. Dada
e. Abdomen
f. Ekstremitas
g. Eliminasi, urinasi
7. Data Sosial Ekonomi
Kista ovarium dapat terjadi pada semua golongan masyarakat dan
berbagai tingkat umur, baik sebelum masa pubertas maupun sebelum
menopause.
8. Data Spritual
Klien menjalankan kegiatan keagamaannya sesuai dengan
kepercayaannya.
9. Data Psikologis
Ovarium merupakan bagian dari organ reproduksi wanita, dimana
ovarium sebagai penghasil ovum, mengingat fungsi dari ovarium
tersebut sementara pada klien dengan kista ovarium yang ovariumnya
diangkat maka hal ini akan mempengaruhi mental klien yang ingin
hamil/punya keturunan.
10. Pola kebiasaan Sehari-hari
Biasanya klien dengan kista ovarium mengalami gangguan dalam
aktivitas, dan tidur karena merasa nyeri
11. Pemeriksaan Penunjang
Data laboratorium
a. Pemeriksaan Hb
b. Ultrasonografi: Untuk mengetahui letak batas kista

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Preoperasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan ageninjuri biologi
b. Cemas berhubungan diagnosis dan rencana pembedahan
c. Resiko syok hipofolemik
d. Gangguan eliminasi urin
2. Post operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
b. Resiko infeksi berhubungan dentindakan invasif dan
pembedahan
c. Deficit perawatan diri berhubungan denimobilitas (nyeri paska
pembedahan)

M. INTERVENSI KEPERAWATAN

INTERVENSI PRE OP
DIANGOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan Pain Management
injuri biologi keperawatan selama 3x24 1. Lakukan
jam diharapkan nyeri pasien pengkajian nyeri
berkurang secara
 Pain Level, komprehensif
 Pain control, termasuk lokasi,
 Comfort level karakteristik,
Kriteria Hasil : durasi, frekuensi,

 Mampu mengontrol kualitas dan

nyeri (tahu penyebab faktor presipitasi

nyeri, mampu 2. Observasi reaksi


menggunakan tehnik nonverbal dari

nonfarmakologi ketidaknyamanan

untuk mengurangi 3. Gunakan teknik


nyeri, mencari komunikasi

bantuan) terapeutik untuk

 Melaporkan bahwa mengetahui

nyeri berkurang pengalaman nyeri


pasien
dengan menggunakan 4. Kaji kultur yang
manajemen nyeri mempengaruhi
 Mampu mengenali respon nyeri
nyeri (skala, 5. Evaluasi
intensitas, frekuensi pengalaman nyeri
dan tanda nyeri) masa lampau
 Menyatakan rasa 6. Evaluasi bersama
nyaman setelah nyeri pasien dan tim
berkurang kesehatan lain
 Tanda vital dalam tentang
rentang normal ketidakefektifan
kontrol nyeri
masa lampau
7. Bantu pasien dan
keluarga untuk
mencari dan
menemukan
dukungan
8. Kontrol
lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan
inter personal)
11. Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
menentukan
intervensi
12. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
14. Evaluasi
keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatkan
istirahat
16. Kolaborasikan
dengan dokter
jika ada keluhan
dan tindakan
nyeri tidak
berhasil
2. Kecemasan bd Setelah dilakukan asuhan Anxiety Reduction
diagnosis dan keperawatan selama 3x 24 (penurunan
pembedahan jam diharapakan cemasi kecemasan)
terkontrol 1. Gunakan
 Anxiety control pendekatan yang
 Coping menenangkan
2. Nyatakan dengan
Kriteria Hasil : jelas harapan
 Klien mampu terhadap pelaku
mengidentifikasi dan pasien
mengungkapkan 3. Jelaskan semua
gejala cemas prosedur dan apa
 Mengidentifikasi, yang dirasakan
mengungkapkan dan selama prosedur
menunjukkan tehnik 4. Temani pasien
untuk mengontol untuk
cemas memberikan
 Vital sign dalam keamanan dan
batas normal mengurangi takut

 Postur tubuh, 5. Berikan informasi


ekspresi wajah, faktual mengenai

bahasa tubuh dan diagnosis,

tingkat aktivitas tindakan

menunjukkan prognosis

berkurangnya 6. Dorong keluarga

kecemasan untuk menemani


anak
7. Lakukan back /
neck rub
8. Dengarkan
dengan penuh
perhatian
9. Identifikasi
tingkat
kecemasan
10. Bantu pasien
mengenal situasi
yang
menimbulkan
kecemasan
11. Dorong pasien
untuk
mengungkapkan
perasaan,
ketakutan,
persepsi
12. Instruksikan
pasien
menggunakan
teknik relaksasi
13. Barikan obat
untuk mengurangi
kecemasan

INTERVENSI POST OP
DIANGOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan asuhan Pain Management
agen injuri fisik keperawatan selama 3x24 1. Lakukan pengkajian
jam diharapkan nyeri pasien nyeri secara
berkurang komprehensif
 Pain Level, termasuk lokasi,
 Pain control, karakteristik, durasi,
 Comfort level frekuensi, kualitas
Kriteria Hasil : dan faktor

 Mampu mengontrol presipitasi

nyeri (tahu 2. Observasi reaksi

penyebab nyeri, nonverbal dari


mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik 3. Gunakan teknik
nonfarmakologi komunikasi
untuk mengurangi terapeutik untuk
nyeri, mencari mengetahui
bantuan) pengalaman nyeri
 Melaporkan bahwa pasien
nyeri berkurang 4. Kaji kultur yang
dengan mempengaruhi
menggunakan respon nyeri
manajemen nyeri 5. Evaluasi
 Mampu mengenali pengalaman nyeri
nyeri (skala, masa lampau
intensitas, frekuensi 6. Evaluasi bersama
dan tanda nyeri) pasien dan tim
 Menyatakan rasa kesehatan lain
nyaman setelah tentang
nyeri berkurang ketidakefektifan

 Tanda vital dalam kontrol nyeri masa

rentang normal lampau


7. Bantu pasien dan
keluarga untuk
mencari dan
menemukan
dukungan
8. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan
inter personal)
11. Kaji tipe dan
sumber nyeri untuk
menentukan
intervensi
12. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
14. Evaluasi
keefektifan kontrol
nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
2. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan asuhan Infection Control
penurunan keperawatan selama 3x 24 (Kontrol infeksi)
pertahanan primer jam diharapakan infeksi 1. Bersihkan
terkontrol lingkungan setelah
 Immune Status dipakai pasien lain
 Knowledge : 2. Pertahankan
Infection control teknik isolasi
 Risk control 3. Batasi pengunjung
Kriteria Hasil : bila perlu

 Klien bebas dari 4. Instruksikan pada

tanda dan gejala pengunjung untuk

infeksi mencuci tangan

 Mendeskripsikan saat berkunjung

proses penularan dan setelah

penyakit, factor berkunjung

yang mempengaruhi meninggalkan

penularan serta pasien

penatalaksanaannya, 5. Gunakan sabun

 Menunjukkan antimikrobia

kemampuan untuk untuk cuci tangan

mencegah timbulnya 6. Cuci tangan setiap

infeksi sebelum dan


sesudah tindakan
 Jumlah leukosit
kperawtan
dalam batas normal
7. Gunakan baju,
 Menunjukkan
sarung tangan
perilaku hidup sehat
sebagai alat
pelindung
8. Pertahankan
lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV
perifer dan line
central dan
dressing sesuai
dengan petunjuk
umum
10. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan
infeksi kandung
kencing
11. Tingktkan intake
nutrisi
12. Berikan terapi
antibiotik bila
perlu

Infection Protection
(proteksi terhadap
infeksi)
1. Monitor tanda dan
gejala infeksi
sistemik dan local
2. Monitor hitung
granulosit, WBC
3. Monitor
kerentanan
terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring
pengunjung
terhadap penyakit
menular
6. Partahankan
teknik aspesis
pada pasien yang
beresiko
7. Pertahankan
teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan
kuliat pada area
epidema
9. Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap
kemerahan, panas,
drainase
10. Ispeksi kondisi
luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan
cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan
pasien untuk
minum antibiotik
sesuai resep
15. Ajarkan pasien
dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
16. Ajarkan cara
menghindari
infeksi
17. Laporkan
kecurigaan infeksi
18. Laporkan kultur
positif
3. Deficit personal Setelah dilakukan asuhan Personal hyegene
hyegene b.d keperawatan selama 3x24 managemen
imobilitas (nyeri jam diharapakan pasien 1. Kaji keterbatasan
pembedahan) menunjukkan kebersihan pasien dalam
diri perawatan diri
 Knowledge : 2. Berikan
disease process kenyamanan pada
 v Kowledge : pasien dengan
health Behavior membersihkan
Kriteria Hasil : tubuh pasien
 Pasien bebas dari (oral,tubuh,genital)
bau 3. Ajarkan kepada

 Pasien tampak pasien pentingnya

menunjukkan menjaga kebersihan

kebersihan diri

 Pasien nyaman 4. Ajarkan kepada


keluarga pasien
dalam menjaga
kebersihan pasien
DAFTAR PUSTAKA

Benson, R. C., & Pernoll, M. L. (2008). Buku Saku Obstetri & Ginekologi.
Jakarta: EGC.
Corvin, E.J .2008. Penyakit Kandungan. Fitramaya, Yogyakarta
Djuwantono T, Hartanto B,Wiryawan P,(2011) Step By Step Penanganan
Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Dalam praktik Sehari-
hari.Jakarta.
Johnson, R. 2008. Perawatan Pasca Bedah. Ari sulistyawati, Yogyakarta
Nugroho, Taufan. 2010. Kesehatan Wanita, Gender dan Permasalahannya.
Yogyakarta : Nuha Medika
Prawirohardjo sarwono. ( 2009 ). Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Sinclair, Constance. 2003. Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC
Winkjosastro, H. (2007). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo.
Yatim, Faisal. 2005. Penyakit Kandungan, Myom, Kista, Indung Telur, Kanker
Rahim/Leher Rahim, serta Gangguan lainnya. Jakarta: Pustaka Populer
Obor

Anda mungkin juga menyukai