Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Ginjal adalah salah satu organ sistem kemih atau uriner (traetsu
urinalius) yang bertugas menyaring dan membuang cairan, sampah
metabolisme dari dalam tubuh seperti diketahui setelah sel-sel tubuh
mengubah, makanan menjadi energi, maka akan dihasilkan pula sampah
sebagai hasil sampingan dari proses metabolisme tersebut yang harus
dibuang segera agar tidak meracuni tubuh (Vita Health, 2008. hal 1.1)
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal cukup tinggi. Di
Amerika Serikat misalnya angka kejadian penyakit gagal ginjal meningkat
tajam dalam 10 tahun. Tahun 1996 terjadi 166.000 kasus. GGT (gagal
ginjal tahap akhir) dan pada tahun 2000 menjadi 372.000 kasus. angka ini
diperkirakan, amsih akan terus naik. Pada tahun pada tahun 2010
jumlahnya diperkirakan lebih dari 650.000 kasus.Selain diatas, sekitar 6
juta hingga 20 juta individu di Amerika diperkirakan mengalami GGK
(gagl ginjal kronis) tahap awal. Hal yang sama juga terjadi di Jepang di
negeri Sakura itu, pada akhir tahun 1996 di dapatkan sebanyak 167.000
penderita yang menerima, terapi pengganti ginjal. Sedangkan tahun 2000
terjadi peningkatan lebih dari 200.000 penderita. (Santoso Djoko, 2008.
Hal 2).
Di indonesia peningkatan penderita penyakit ini mencapai angka
20%. Pusat data dan informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PDPERSI) menyatakan jumlah penderita gagal ginjal kronik diperkirakan
sekitar 50 orang per satu juta penduduk.berdasarkan data dari Indonesia
Renal Registry, suatu kegiatan registrasi dari perhimpunan nefrologi
Indonesia, pada tahu 2008 jumlah pasien hemodialisa (cuci darah) mencapai
2260 orang dari 2146 orang pada tahun 2007.(Roderick, 2008).
Bila seseorang mengalami penyakit ginjal kronik sampai pada
stadium 5 atau telah mengalami penyakit ginjal kronik (gagal ginjal)
dimana laju filtrasi glomerulus (15 ml/menit) ginjal tidak mampu lagi
menjalankan seluruh fungsinya dengan baik maka dibutuhkan, Terapi
untuk menggantikan fungsi ginjal. Hingga saat ini dialisis dan
transplantasi ginjal adalah tindakan yang efektif sebagai terapi untuk gagal
ginjal terminal (Nikon D. Cahyaningsih, 2009. hal:1).
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisah metabolisme atau racun tertentu
dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel
sebagai pemisah darah dan cairan dialisa pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi. Pasien gagal ginjal menjalani proses
hemodialisa 1-3 kali seinggu dan sitiap kali nya memerlukan waktu 2-5
jam, kegiatan ini akan berlangsung terus menerus sepanjang hidupnya
(Hadibroto, 2007).
Salah satu permasalahan yang muncul pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis rutin adalah depresi. Pada pasien
gagal ginjal kronik yang telah menjalani hemodialisa mengalami
permasalahanseperti aktivitas dan pekerjaan akan terganggu saat pasien
mulai menjalani terapi. Kehilangan pekerjaan, kebebasan, fungsi seksual
bahkan harapan umur panjang dapat menimbulkan kemarahan yang
memunculkan keadaan depresi sekunder sebagai akibat dari penyakit. Saat
ini depresi sudah menjadi masalah kesehatan mental yang perlu mendapat
perhatian serius karena berhubungan dengan gangguan perasaan (mood)
yang menyebabkan munculnya keadaan hilang minat, kekurangan energi
tersebut, pasien yang menjalani hemodialisis penting untuk diberikan
pengertian bahkan dukungan dari keluarga selama menjalani terapi karena
lama menjalani hemodialisis rentan terhadap munculnya keadaan depresi.
Penderita gagal ginjal kronik adalah penyakit kronik dengan efek
yang serius pada kwalitas hidup pasien, pengaruh negative terhadap aspek
social, financial dan psikologikal. Beberapa penelitian menyebutkan akibat
dari gagal ginjal kronis terhadap kejadian depresi, kecemasan, bunuh diri
dan delirium (Sousa, 2008). Depresi adalah gangguan mood, kondisi
emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh prosesi menal
seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah
perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan (kartono, 2002).
Menurut Kaplan dan Saddock (2004), terapi yang dibutuhkan pada
pasien depresi dapat berupa terapi psikososial, seperti terapi kognitif,
terapi interpersonal, terapi tingkah laku, psikoterapi, dan terapi keluarga;
terapi obat (pemberian antidepresan) dan tindakan Electro Compulsive
Therapy (ECT) dengan indikasi bila obat-obatan kurang efektif atau pasien
tidak bisa menerima obat-obatan. Berdasarkan keterangan beberapa
psikiater yang ditemui peneliti mengatakan bahwa pada pasien GGK,
pemberian terapi antidepresan perlu mendapatkan pengawasan yang ketat,
bahkan beberapa jenis antidepresan menjadi kontraindikasi, karena efek
samping yang ditimbulkan dapat membuat fungsi ginjal menjadi lebih
buruk lagi. Pasien GGK yang menjalani terapi haemodialisa dan
mengalami kondisi depresi memerlukan kombinasi antara terapi medis
dengan terapi psikososial khususnya terapi kognitif. Dengan pemberian
terapi kognitif diharapkan pasien GGK dapat beradaptasi dengan adekuat
terhadap perubahan fisik yang dialami sehingga ia dapat memiliki kualitas
hidup yang lebih baik yaitu hidup dengan sisa fungsi ginjal yang masih
dimilikinya.
Menurut Granfa (2007), terapi kognitif (Cognitive Therapy) adalah
suatu terapi yang mengidentifikasi atau mengenali pemikiran-pemikiran
yang negatif dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga
diri dan depresi yang menetap. Terapi koginitif dapat membantu
menghentikan pola pikiran negatif dan membantu penderita dalam
melawan depresi, karena terapi ini bertujuan untuk mengubah pikiran
negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang
dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta
pertumbuhan pribadi (Burn,1980). Terapi kognitif merupakan suatu
bentuk psikoterapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara pasien
menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat pasien mengalami
kekecewaan, sehingga pasien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih
produktif. Terapi kognitif diberikan secara individual dengan harapan
individu yang memiliki pikiran negatif yang merupakan salah satu ciri dari
pasien depresi, mampu mempunyai pemikiran yang sehat yang dapat
membentuk koping yang adaptif dalam menyelesaikan masalahnya.
Melihat banyaknya manfaat dari terapi kognitif dapat membanu
dan meringankan tingkat depresi pada pasien dengan gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi dialisis penulis akhirnya tertarik untuk melakukan
analisis terhadap jurnal terkait yang berjudul “Pengaruh Terapi Kognitif
Terhadap Perubahan Kondisi Depresi Pada Pasien Dengan Gagal Ginjal
Kronik ”.

2. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Analisis jurnal ini bertujuan untuk memberikan dasar pemikiran
kepada mahasiswa yang megelola pasien dengan gangguan system
perkemihan berupa gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa.
b. Tujuan Khusus
1) Diharapkan mahasiswa mampu berfikir kritis untuk menganalisis
isi jurnal
2) Diharapkan mahasiswa mampu mengidentifikasi keterkaitan jurnal
dengan kasus yang berada di lapangan
3) Diharapkan mahasiswa mampu mengaplikasikan isi jurnal terhadap
proses keperawatan yang di lakukan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik


Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang
bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal
yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam
kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2007).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal secara
progresif yang bersifat kronik dan ireversibel dimana massa ginjal yang
masih ada tidak mampu lagi untuk mempertahankan lingkungan internal
tubuh (Brooker, 2008, Black & Hawks, 2005).
GGK ditandai dengan berbagai kelainan akibat penurunan jumlah
total nefron. Ginjal normal mempunyai 2 juta nefron secara total. GGK
muncul hanya bila jumlah nefron berkurang sekitar 25% dari jumlah
tersebut (Chandrasoma, 2005).
Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(glomerular filtration rate/GFR) dengan manifestasi kelainan patologis
atau terdapat tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis (wibowo,
2010).

2. Etiologi
Penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006) antara lain :
a. Penyakit infeksi: pielonefritis kronik atau refluks, nefropati,
tubulointestinal.
b. Penyakit peradangan: glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskuler hipertensi: nefrosklerosis maligna, nefrosklerosis
benigna, stenosis arteria renalis.
d. Gangguan jaringan ikat: lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan hederiter: penyakit ginjal polikistik
hederiter, asidosis sistemik progresif.
f. Penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
g. Nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah.
h. Nefropati obstruktif karena obstruksi saluran kemih karena batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinarian dan uretra

3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari gagal ginjal kronis menurut Price dan Wilson
(2005), Smeltzer dan Bare (2001), Lemine dan Burke (2000) dapat dilihat
dari berbagai fungsi system tubuh yaitu :
a. Manifestasi kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema, edema
periorbital, friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal
jantung kongestif, perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi
pericardial, temponade pericardial.
b. Gejala dermatologis/system integumen : gatal-gatal hebat (pruritus),
warna kulit abu-abu, mengkilat dan hiperpigmentasi, serangan uremik
tidak umum karena pengobatan dini dan agresif, kulit kering, bersisik,
ecimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar, memar
(purpura).
c. Manifestasi pada pulmoner yaitu krekels, edema pulmoner,sputum
kental dan liat,nafas dangkal, pernapasan kusmaul, pneumonitis
d. Gejala gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah dan cegukan,
penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut,
kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap, parotitis dan
stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare, perdarahan darisaluran
gastrointestinal.
e. Perubahan musculoskeletal : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur
tulang, kulai kaki (foot drop).
f. Manifestasi pada neurologi yaitu kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada tungkai
kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot, tidak mampu
berkonsentrasi, perubahan tingkat kesadaran, neuropati perifer.
g. Manifestasi pada system repoduktif : amenore, atropi testikuler,
impotensi, penurunan libido, kemandulan
h. Manifestasi pada hematologic yaitu anemia, penurunan kualitas
trombosit, masa pembekuan memanjang, peningkatan kecenderungan
perdarahan.
i. Manifestasi pada system imun yaitu penurunan jumlah leukosit,
peningkatan resiko infeksi.
j. Manifestasi pada system urinaria yaitu perubahan frekuensi berkemih,
hematuria, proteinuria, nocturia, aliguria.
k. Manifestasi pada sisitem endokrin yaitun hiperparatiroid dan intoleran
glukosa.
l. Manifestasi pada proses metabolic yaitu peningkatan urea dan serum
kreatinin (azotemia), kehilangan sodium sehingga terjadi : dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia dan hipokalsemia.
m. Fungsi psikologis yaitu perubahan kepribadian dan perilaku serta
gangguan proses kognitif.

4. Patofisiologi
Berdasarkan proses perjalanan penyakit atau faktor prnyrbab gagal
ginjal gronik, pada akhirnya akan terjadi kerusakan nefron. Bila nefron
rusak maka akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan terjadilah
penyakit gagal ginjal kronik yang mana ginjal mengalami gangguan dalam
fungsi eksresi dan dan fungsi non-eksresi. Gangguan fungsi non-eksresi
diantaranya adalah gangguan metabolism vitamin D yaitu tubuh
mengalami defisiensi vitamin D yang mana vitamin D bergunan untuk
menstimulasi usus dalam mengabsorpsi kalsium, maka absorbs kalsium di
usus menjadi berkurang akibatnya terjadi hipokalsemia dan menimbulkan
demineralisasi ulang yang akhirnya tulang menjadi rusak. Penurunan
sekresi eritropoetin sebagai factor penting dalam stimulasi produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin
berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh
hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami
keadaan lemas dan tidak bertenaga.
Gangguan clerence renal terjadi akibat penurunan jumlah
glomerulus yang berfungsi.penurunan laju filtrasi glomerulus di deteksi
dengan memeriksa clerence kretinin urine tamping 24 jam yang
menunjukkan penurunan clerence kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat megakibatkan edema,
CHF dan hipertensi. Hipotensi dapat terjadi karena aktivitasbaksis rennin
angiostenin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Kehilangan garam mengakibatkan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan natrium sehingga
status uremik memburuk. Asidosis metabolic akibat ginjal tidak mampu
menyekresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam akibat
tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia (NH3-) dan megapsorbsi
natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan asam organic
yang terjadi.
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien terutama dari
saluran pencernaan. Eritropoietin yang dipreduksi oleh ginjal menstimulasi
sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah dan produksi
eritropoitein menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai
dengan keletihan, angina dan sesak nafas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan
metabolism. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal
balik. Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun.
Dengan menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan
kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun.
Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parahhormon dari
kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang
menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang.
(Nurlasam, 2007).

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Laboratorium darah : BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca,
Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein,
antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
2) Pemeriksaan Urin : Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa,
protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
3) Penghitungan GFR dengan rumus :
a) GFR laki – laki : (140 – umur) X BB / 72 X serum creatinin
b) GRF wanita : (140 – umur) X BB X 0,85 / 72 X serum
creatinin
4) penghitungan CCT dengan rumus :
CCT: (kadar kreatinin urin / kadar kreatinin plasma) X (volume
urin / 1440) X (1,73/LPT)Pemeriksaan EKG : Untuk melihat
adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dangan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
b. Pemeriksaan USG : Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks
ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostate
c. Pemeriksaan Radiologi : Renogram, Intravenous Pyelography,
Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan,
MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen
tulang, foto polos abdomen.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a. Konservatif
1) Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
2) Observasi balance cairan
3) Observasi adanya odema
4) Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
1) peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan
dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
2) Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan :
a) AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
b) Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi
ke jantung )
c. Operasi
1) Pengambilan batu
2) Transplantasi ginjal

Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai terapi hemodialisa.


a. Pengertian
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah dari akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir
gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis
waktu singkat (DR. Nursalam M. Nurs, 2011).
Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti
ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat
dializer yang berisi membrane yang selektif-permeabel dimana melalui
membrane tersebut difusi zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi.
Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk
keracunan (ChristinBrooker, 2010).
b. Tujuan
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Aliran
darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari
tubuh pasien ke dialiser tempatdarah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien
c. Indikasi
1) Indikasi absolute
Keadaan umum buruk dan gejala klinisnya nyata seperti mual, dan
muntah, diare,
2) Perikarditis uremik
3) Ensefalopati atau neuropati uremik
4) Udem paru akut dengan overhydration refrakter terhadap Diuretika
(tidak bias ditanggulangi dengan obat diuretika)
5) Kreatinin >10mg %
6) Ureum darah lebih > 200 mg/dl atau kenaikan ureum darah lebih
dari 100 mg/dl per hari (hiperkatanolisme)
7) Hiperkalemia (K serum > 6mEq/L)
8) Asidosis dengan bikarbonat serum kurang dari 10 mEq/L atau pH
< 1,75
9) Anuria berkepanjangan (>5 hari)
d. Perangkat Hemodialisa
1) Perangkat khusus
a) Mesin hemodialisa
b) Ginjal buatan (dializer) yaitu : alat yang digunakan untuk
mengeluarkan sisa metabolisme atau zat toksin lain dari dalam
tubuh. Didalamnya terdapat 2 ruangan atau kompartemen yang
meliputi kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
c) Blood lines: selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke
dializer dan kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi yakni
untuk mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa
metabolism serta untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari
tubuh selama dialysis.
2) Alat-alat kesehatan
a) Tempat tidur fungsional
b) Timbangan BB
c) Pengukur TB
d) Stetoskop
e) Termometer
f) Peralatan EKG
g) Set O2 lengkap
h) Suction set
i) Meja tindakan.
3) Obat-obatan dan cairan
a) Obat-obatan hemodialisa: heparin, frotamin, lidocain untuk
anestesi.
b) Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
c) Dialisat
d) Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
Obat-obatan emergency.
BAB III

RINGKASAN JURNAL

1. JUDUL JURNAL
Jurnal ini berjudul “Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Perubahan
Kondisi Depresi Pada Pasien Dengan Gagal Ginjal Kronik ”.

2. NAMA PENELITI
a. Widodo,
b. Siti Lestari
c. Endang Caturini Sulistyowati
3. PENDAHULUAN
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk seperti kacang polong
yang terletak retroperitoneal, yang memiliki fungsi-fungsi vital bagi
kelangsungan hidup manusia (Despopoulos & Silbernagl, 2003). Fungsi
ginjal dapat mengalami gangguan oleh karena berbagai sebab baik yang
berasal luar maupun dari dalam ginjal itu sendiri. Penurunan fungsi ginjal
sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan yang umumnya tidak
menimbulkan manifestasi klinis sampai pada tahap akhir yang dikenal
dengan gagal ginjal kronik atau End Satge Renal Disease (ESRD). Gagal
ginjal terjadi bila ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan sisa-sisa hasil
metabolisme dan air dan fungsi-fungsi ginjal lainnya. Gagak ginjal dapat
bersifat akut maupun kronis. Gagal ginjal akut berlangsung sangat cepat
dan pada umumnya dapat diselamatkan kembali. Gagal ginjal kronis atau
Chronic Renal Failure (CRF) adalah merupakan proses kerusakan nefron
dari kedua ginjal yang bersifat progresif dan ireversibel (Lewis, 2000).
Pada kondisi gagal ginjal kronis, seseorang dapat mengalami
kehilangan laju filtrasi glomerulus (Gromerular Filtration Rate) hingga
80% Dan pada tahap akhir gagal ginjal kronik terjadi pada saat laju filtrasi
glomerulus tinggal 5 – 10%. Gangguan atau kerusakan pada fungsi ginjal
menimbulkan masalah kesehatan pada tubuh karena akan terjadi
penumpukan sisa-sisa metabolisme tubuh. Hal ini mengakibatkan berbagai
gangguan tubuh lainnya, seperti gangguan keseimbangan cairan tubuh dan
gangguan pengontrolan tekanan darah, tubuh menjadi mudah lelah, lemas,
sehingga aktivitas kerja terganggu. Disamping itu akibat gagal ginjal
semakin berat akan timbul gejala berupa mual, muntah, nafsu makan
berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, oliguria, kurang tidur, kejang
kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran bahkan sampai koma
(Lewis, 2000).

Pelayanan kesehatan pasien kronis termasuk gagal ginjal kronik


telah menyita perhatian untuk meningkatkan upaya promosi yang terkait
kesehatan mental. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa penderita
gagal ginjal kronik adalah penyakit kronik dengan efek yang serius pada
kwalitas hidup pasien, pengaruh negative terhadap aspek social, financial
dan psikologikal. Beberapa penelitian menyebutkan akibat dari gagal
ginjal kronis terhadap kejadian depresi, kecemasan, bunuh diri dan
delirium (Sousa, 2008). Kimmel dan Peterson (2006); dan Sousa (2008)
menyebutkan bahwa depresi merupakan penyakit jiwa yang paling sering
ditemukan pada penderita gagal ginjal kronik namun prefalensinya sangat
bervariasi dari masing-masing penelitian. Collins (2007) menyebutkan,
sekitar 40% penderita gagal ginjal kronis akan mengalami depresi. Angka
tersebut meningkat menjadi 50% pada saat pasien mengalami
hemodialisis. Namun satu studi yang dipublikasikan oleh the American
Journal of Kidney Diseases menyebutkan bahwa sejak tahap awal dari
gagal ginjal kronis telah dapat mengakibatkan depresi hingga 20%.
Menurut Kaplan dan Saddock (2004), terapi yang dibutuhkan pada pasien
depresi dapat berupa terapi psikososial, seperti terapi kognitif, terapi
interpersonal, terapi tingkah laku, psikoterapi, dan terapi keluarga; terapi
obat (pemberian antidepresan) dan tindakan Electro Compulsive Therapy
(ECT) dengan indikasi bila obat-obatan kurang efektif atau pasien tidak
bisa menerima obat-obatan. Berdasarkan keterangan beberapa psikiater
yang ditemui peneliti mengatakan bahwa pada pasien GGK, pemberian
terapi antidepresan perlu mendapatkan pengawasan yang ketat, bahkan
beberapa jenis antidepresan menjadi kontraindikasi, karena efek samping
yang ditimbulkan dapat membuat fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi.
Pasien GGK yang menjalani terapi haemodialisa dan mengalami kondisi
depresi memerlukan kombinasi antara terapi medis dengan terapi
psikososial khususnya terapi kognitif. Dengan pemberian terapi kognitif
diharapkan pasien GGK dapat beradaptasi dengan adekuat terhadap
perubahan fisik yang dialami sehingga ia dapat memiliki kualitas hidup
yang lebih baik yaitu hidup dengan sisa fungsi ginjal yang masih
dimilikinya.
Rumah sakit umum sendiri merupakan sebuah institusi yang
memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat yang memiliki masalah
kesehatan umum, yang biasanya hanya didefinisikan sebagai masalah
kesehatan fisik. Pada umumnya dalam pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan keperawatan yang diberikan oleh sebagian besar rumah sakit
umum hanya memprioritaskan pada pelayanan (keperawatan) kesehatan fisik
dan kurang memperhatikan aspek psikososial pasien yang merupakan efek
dari sakit fisiknya. Dengan pemberian terapi kognitif diharapkan pasien GGK
memiliki pola pikir yang positif dalam menerima dan beradaptasi dengan
penyakit kroniknya sehingga dapat mengatasi kondisi depresi yang dialami
dan meningkatkan kualitas hidupnya. Menurut Granfa (2007), terapi kognitif
(Cognitive Therapy) adalah suatu terapi yang mengidentifikasi atau
mengenali pemikiran-pemikiran yang negatif dan merusak yang dapat
mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi yang menetap. Terapi
koginitif dapat membantu menghentikan pola pikiran negatif dan membantu
penderita dalam melawan depresi, karena terapi ini bertujuan untuk mengubah
pikiran negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang
dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan
pribadi (Burn,1980). Terapi kognitif merupakan suatu bentuk psikoterapi
yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara pasien menafsirkan dan
memandang segala sesuatu pada saat pasien mengalami kekecewaan,
sehingga pasien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif. Terapi
kognitif diberikan secara individual dengan harapan individu yang memiliki
pikiran negatif yang merupakan salah satu ciri dari pasien depresi, mampu
mempunyai pemikiran yang sehat yang dapat membentuk koping yang adaptif
dalam menyelesaikan masalahnya.

4. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi kognitif
terhadap perubahan kondisi depresi pasien gagal ginjal kronik (GGK) di
ruang Melati I RSUD dr Moewardi.

5. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian “Quasi Experimental
Pre-Post Test With Control Group” dengan intervensi terapi kognitif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi depresi
sebelum dan sesudah diberikan perlakuan berupa terapi kognitif dengan
menggunakan alat pengukuran. berupa kuesioner. Penelitian ini
membandingkan dua kelompok pasien GGK yang dirawat di ruang kritis
RSUD Dr Moewardi yaitu kelompok intervensi (kelompok yang diberikan
terapi kognitif) dan kelompok kontrol (kelompok yang tidak diberikan
terapi kognitif).

6. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian membuktikan adanya perbedaan yang bermakna
kondisi depresi sebelum dan sesudah pemberian terapi kognitif (p value <
0,05), hal ini membuktikan adanya perubahan kondisi depresi yang
bermakna pada pasien yang mendapatkan terapi kognitif dibandingkan
yang tidak mendapatkan terapi kognitif.

7. SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Kondisi depresi pasien GGK sebelum dilakukan terapi kognitif adalah
22.17 (depresi sedang)
2. Kondisi depresi pasien GGK yang mendapatkan terapi kognitif
(kelompok intervensi) menurun secara bermakna sebesar 10.14 dengan p value =
0.000 < α 0.05. Pada kelompok kontrol mengalami penurunan secara tidak
bermakna sebesar 0.133 dengan p value = 0.670 > α 0.05. Ada hubungan yang
kuat (r = 0.718) antara terapi kognitif dengan kondisi depresi pasien GGK dan
terapi kognitif mendapat peluang untuk menurunnya kondisi depresi sebesar 51.6
% (R2 = 0.516).
3. Kondisi Depresi pasien GGK sesudah dilakukan Terapi Kognitif pada
kelompok intervensi adalah 11.53, katagori ini termasuk kondisi depresi ringan.
Pada kelompok kontrol sesudah kelompok intervensi dilakukan terapi kognitif
adalah 22.27, katagori ini termasuk kondisi depresi sedang.
4. Perbedaaan kondisi depresi sesudah pelaksanaan terapi kognitif yang
menunjukkan bahwa penurunan kondisi depresi pada kelompok pasien GGK yang
mendapatkan terapi kognitif (kelompok intervensi) lebih tinggi (p value = 0.000 <
α 0.05) dibandingkan dengan penurunan kondisi depresi pada kelompok yang
tidak mendapatkan terapi kognitif (kelompok kontrol).
Saran
1. Terapi kognitif sebagai cara untuk menurunkan depresi perlu
dikembangkan dan diaplikasikan singga dapat menurunkan tingkat depresi yang
dialami oleh pasien yang menderita penyakit GGK.
2. Pelatihan penguasaan pemberian terapi kognitif perlu mendapatkan
dukungan sehingga perawat yang berhadapan langsung dengan pasien-pasien
yang mengalami depresi dapat memberikan terapi dengan tepat.
3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang variable lain yang mendukung
implementasi terapi kognitif sehingga pelaksanaan terapi kognitif dapat
dilaksanakan dengan efektif.
BAB IV

ANALISIS JURNAL

1. ANALISI JURNAL
a. Penulisan Jurnal
Penulisan jurnal cukup jelas dan mudah di pahami, pemilihan kata
yang tidak berbelit sangat memudahkan pembaca dalam memahami isi
jurnal terlampir.
b. Judul Jurnal
Judul jurnal sudah cukup mewakili isi dari jurnal terlampir.
c. Metodelogi Riset
Metode yang digunakan termuat dalam jurnal, sehingga pembaca dapat
memahami lebih lanjut alur penelitian jurnal terlampir.
d. Pembahasan
Pembahasan jurnal sangat jelas dan mudah di pahami oleh pembaca.
e. Daftar Pustaka
Ragam pustaka dalam penyusunan jurnal ini cukup fariatif dan bagus,
serta menggunakan taun terbaru dari masing-masing sumber.

2. SIMPULAN
Secara keseluruhan jurnal terlampir terlihat lengkap dan cukup
mudah untuk di pahami oleh pembaca.

3. SARAN
Jurnal ini akan lebih baik lagi jika menjelaskan cara lain selain
terapi kognitif untuk mengatasi masalah depresi pada pasien gagal ginjal
kronik.
4. KELEBIHAN JURNAL
Jurnal ini memiliki kelebihan berupa koposisi yang lengkap dalam
penyajiannya,sehingga pembaca akan dengan mudah memahami isi dari
jurnal tersebut.
5. KEKURANGAN JURNAL

6. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Isi jurnal ini dapat menjadi pedoman dalam upaya mengatasi
masalah depresi yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa..
BAB V

PENUTUP

1. SIMPULAN
Setelah disusunya analisis jurnal ini dapat disimpulkan bahwa,
terapi kognitif yang diberikan dapat mengurangi tingkat depresi pada klien
yang mengalami gagal ginjal kronik.

2. SARAN
Disarankan kepada penyelenggara kesehatan yang mengatasi
masalah gagal ginjal kronik dan terapi dialisis untuk dapat
mengidentifikasi masalah yang terjadi pada klien GGK tidak hanya dari
segi fisik, namun masalah yang terjadi pada psikisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ajuwon, G. A. (2003). Computer and internet use by first year clinical and
nursing students in a Nigerian teaching hospital. BMC Med Inform Decis Mak.
2003; 3: 10
Maidique, M.A. (2000). Information Literacy at Florida International
University.
A Proposal for Faculty Senate from Undergraduate Council, Florida
International University diunduh pada tanggal 26 september di:
http://www.fiu.edu/~library/ili/iliprop.html

Anda mungkin juga menyukai