Anda di halaman 1dari 19

A.

Tinjauan Teori
1) Definisi
Chornic Kidney Disease adalah proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. (Setiati,dkk,2015).
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional,
dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Definisi lain dari
CKD yaitu penurunan LFG < 60 ml/menit/1.73 m2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Senge dkk., 2017).
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO, 2013)
mendefinisikan CKD sebagai keabnormalan struktur dan fungsi ginjal lebih
dari tiga bulan yang dapat memengaruhi kesehatan. Malarvizhi & Gugan
(2019) mendefinisikan CKD sebagai penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan irreversibel, di mana ginjal tidak dapat menjaga kondisi seimbang tubuh.
CKD merupakan ketidakmampuan ginjal menyaring darah yang terjadi
perlahan dalam jangka waktu yang lama yang dapat menyebabkan sisa
metabolisme menumpuk di dalam tubuh yang juga dapat menyebabkan
penyakit lanjutan atau masalah kesehatan lainnya (National Institute of
Diabetes and Digestive and Digestive and Kidney Disease [NIDDK], 2017).
CKD didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal atau perkiraan Glomerular
Filtrate Rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 , berlangsung selama 3
bulan atau lebih, terlepas dari penyebabnya (Vaidya & Aeddula, 2020).

2) Klasifikasi
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan penyebab
penyakit ginjal, penurunan glomerulus filtration rate (GFR), dan peningkatan
albuminuria (Dipiro et al., 2015). Menurut KDIGO Clinical PracticeGuideline
Update on Diagnosis, Evaluation, Prevention and Treatment of CKD-MBD
2017, CKD diklasifikasikan berdasarkan kategori penyebab (C), kategori GFR
(G; G1 - G5), dan kategori Albuminuria (A; A1 - A3), disingkat CGA
(KDIGO, 2017).
Tabel 2.1 Klasifikasi CKD Berdasarkan Kategori GFR
Stadium GFR Deskripsi
(ml/min/1,73
m2)
Kerusakan ginjal dengan GRF
1 ≥90 normal atau meningkat ditandai
dengan proteinuria
Kerusakan ginjal dengan GFR
2 60-89 menurun ringan (Penuruanan
GFR terkait dengan usia
dengan proteinuria)
Kerusakan ginjal dengan GFR
3A 45-59 menurun sedang (risiko
rendah mengalami gagal ginjal)
Kerusakan ginjal dengan
3B 30-44 penurunan GFR dari sedang
hingga berat (risiko rendah
mengalami gagal ginjal)
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR berat (risiko
tinggi berkembang menjadi
gagal ginjal)
5 Gagal Ginjal
< 15 Gagal Ginjal yang memerlukan
5D terapi dialisis (hemodialisis/
peritoneal dialisis)
5T Gagal ginjal yang memerlukan
terapi transplantasi ginjal
Sumber: Krol (2011) dan KDIGO (2013)
3) Etiologi
Menurut National Chronic Kidney Disease Fact Sheet 2017 orang dewasa
yang mempunyai penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, ataupun keduanya
mempunyai resiko lebih tinggi terserang CKD daripada orang lain yang tidak
memiliki penyakit komplikasi seperti ini. Faktor resiko dari CKD seperti:
penyakit jantung, obesitas, dan riwayat penyakit CKD dari keluarga. Terjadinya
CKD disebabkan oleh kehilangan ataupun kerusakan progresif pada fungsi
nefron, itupun semua akibat dari gangguan atau penyakit ginjal primer,
komplikasi sekunder dari suatu penyakit sistemik tertentu (contoh : diabetes
mellitus ataupun hipertensi), ataupun ginjal mengalami cedera akut yang
mengakibatkan kerusakan ginjal secara irreversibel (Allderedge et al., 2013).
Terdapat beberapa faktor terjadinya kerusakan pada ginjal antara lain:
Susceptibility factors (faktor kerentanan) yang bisa memperparah resiko
terjadinya penyakit ginjal. Akan tetapi, tidak secara langsung menyebabkan
kerusakan ginjal (seperti : usia lanjut, penurunan massa ginjal, berat lahir
rendah, ras / etnis minoritas, pendapatan / pendidikan rendah, peradangan
sistemik, riwayat keluarga dan dislipidemia. Initiation factors (faktor inisiasi)
secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal bisa diatasi dengan terapi
obat (seperti : diabetes melitus, penyakit ginjal polikistik, hipertensi,
glomerulonefritis, penyakit vaskular, granulomatosis dan nefropati human
immunodeficiency virus (HIV). Progression factors (faktor progresif)
menyebabkan penurunan fungsi ginjal semakin cepat setelah inisiasi kerusakan
ginjal (seperti : glikemia pada penderita diabetes, proteinuria, merokok,
obesitas, hiperlipidemia) (Dipiro et al., 2015).

4) Faktor Risiko
Faktor risiko pada CKD terdiri dari dua faktor yaitu faktor risiko yang tidak
dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah (Ignatavicius, Workman, &
Winkelman, 2016) yaitu sebagai berikut:
a) Faktor risiko yang tidak dapat diubah
(1) Hereditas
Mehta & Jim (2017) mengatakan bahwa penyakit ginjal herediter
terdiri sekitar 10% orang dewasa dan hampir semua anak-anak yang
membutuhkan terapi penggantian ginjal. Penelitian mengatakan bahwa
satu lokus tunggal pada kromosom 22 dapat bertanggung jawab untuk
bagian yang signifikan dari risiko berlebih untuk penyakit ginjal pada
Afrika-Amerika (Keller et al., 2012).
(2) Usia
Counts (2015) mengatakan bahwa setelah usia 30 tahun, GFR
cenderung menurun 0,8 hingga 1 mL/menit/1,73 m2 per tahun, dan
perkembangan CKD pada dewasa tua cenderung lebih tinggi daripada
dewasa muda. Kemenkes RI (2009) membagi usia menjadi masa balita
0-5 tahun, masa kanak-kanak 5-11 tahun, masa remaja awal 12-16
tahun, masa remaja akhir 17-25 tahun, masa dewasa awal 26-35 tahun,
masa dewasa akhir 36-45 tahun, masa lansia awal 46-55 tahun, masa
lansia akhir 56-65 tahun dan masa manula di atas 65 tahun.
(3) Jenis Kelamin
Risiko CKD setidaknya sama tinggi antara wanita seperti pada pria,
atau bisa saja lebih tinggi, namun jumlah wanita yang menerima dialisis
lebih rendah dari jumlah pria, dan wanita lebih mungkin untuk
mendonorkan ginjal tetapi lebih kecil kemungkinannya untuk menerima
transplantasi ginjal (Carrero et al., 2017). Prevalensi CKD cenderung
lebih tinggi pada wanita, sedangkan prevalensi penyakit ginjal stadium
akhir lebih tinggi pada pria (Goldberg & Krause, 2016). Counts (2015)
menyebutkan bahwa insiden kejadian CKD lebih tinggi pada wanita dan
dewasa di atas usia 70 tahun.
(4) Ras
Nicholas et al. (2013) mengatakan bahwa rata-rata risiko spesifik
berkembangnya End Stage Renal Disease (ESRD) pada ras kulit hitam
empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih di Jefferson
County, Alabama. Ini dikarenakan oleh tingkat hipertensi >17 kali lipat
lebih besar sebagai etiologi ESRD di kalangan orang kulit hitam.
Counts (2015) mengatakan perkembangan CKD 1,5 kali pada orang
Amerika-Meksiko, sedangkan Afrika-Amerika empat kali lebih tinggi
daripada ras kulit putih. Fedewa et al. (2014) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa orang kulit hitam dengan CKD memiliki angka
kematian yang lebih tinggi daripada orang kulit putih bahkan setelah
disesuaikan dengan faktor sosio-demografis dan klinis.
b) Faktor risiko yang dapat diubah
(1) Diabetes Mellitus
Terlalu banyak glukosa/gula dalam darah dapat merusak filter ginjal
seiring berjalannya waktu, sehingga ginjal tidak mampu lagi melakukan
fungsinya dengan baik untuk menyaring sisa metabolisme dan
kelebihan cairan di dalam tubuh. Tanda pertama penyakit ginjal akibat
DM adalah ditemukannya protein dalam urin. Hal ini terjadi karena
filter ginjal rusak, protein yang disebut albumin, yang dibutuhkan tubuh
untuk tetap sehat, keluar dari darah dan masuk ke urin, sebaliknya
ginjal yang sehat tidak membiarkan albumin mengalir dari darah ke
urin (NIDDK, 2016).
(2) Hipertensi
Hipertensi merupakan penyebab kedua CKD setelah diabetes di
seluruh dunia (Tiwari et al., 2010). Hipertensi dapat merusak pembuluh
darah di ginjal yang dapat mengganggu kerja ginjal. Jika pembuluh
darah di ginjal rusak, ginjal mungkin tidak berfungsi dengan baik untuk
mengeluarkan sisa metabolisme dan kelebihan cairan dari tubuh. Cairan
berlebih dalam pembuluh darah kemudian dapat meningkatkan tekanan
darah bahkan lebih, dan menciptakan siklus yang berbahaya (NIDDK,
2016).
(3) Merokok
Sistematik review yang dilakukan oleh Júnior et al. (2014) terhadap 12
artikel menemukan bahwa sebelas studi berkaitan dengan
perkembangan merokok yang juga merupakan faktor risiko
perkembangan CKD. Yardimci & Ecder (2019) mengatakan bahwa
rokok memiliki efek karsinogenik pada saluran kemih yang juga ikut
memengaruhi ginjal, ureter, dan karsinoma kandung kemih, serta dapat
mempercepat perkembangan gagal ginjal pada pasien ginjal. Perokok
berat meningkatkan risiko CKD secara keseluruhan dan khususnya
untuk CKD yang diklasifikasikan sebagai nefropati hipertensi dan
nefropati diabetik (Yacoub et al., 2010).

5) Anatomi dan Struktur ginjal


a) Anatomi Ginjal

Gambar 5.1 Anatomi Ginjal (Hall, 2016)


Dua ginjal terletak di dinding posterior perut, di luar rongga
peritoneum. Pada umumnya ginjal orang dewasa beratnya sebesar 150 g
dan ukurannya sebesar kepalan tangan. Sisi medial pada masing-masing
ginjal mengandung daerah lekukan disebut hilus yang melewati arteri dan
vena ginjal, limfatik, saraf suplai, dan ureter, yang membawa urin akhir
dari ginjal ke kandung kemih. Lalu, disimpan di kandung kemih dan
akhirnya dikosongkan. Ginjal dikelilingi oleh kapsul keras dan berserat
berfungsi melindungi struktur halus didalamnya (Hall, 2016).

Jika ginjal di bagi 2 bagian dari atas ke bawah, dua bagian utama
yaitu korteks (bagian luar) dan medula (bagian dalam). Medula dibagi
menjadi 8 - 10 massa jaringan berbentuk kerucut disebut piramida ginjal.
Piramida ginjal berawal dari perbatasan antara korteks dan medula dan
berakhir di papilla, yang memproyeksikan ke ruang pelvis renalis,
berbentuk menyerupai corong dari ujung atas ureter. Batas luar panggul di
bagi menjadi kantong terbuka di sebut calyces mayor yang membentang
ke bawah dan calyces minor berfungsi mengumpulkan urin dari tubulus
pada tiap papilla. Dinding calyces, pelvis, dan ureter mengandung
elemen kontraktil yang mendorong urin ke arah kandung kemih, kemudian
di kosongkan oleh miksi (Hall, 2016).

Bentuk ginjal menyerupai kacang polong. Terletak di


retroperitoneal (antara dinding tubuh dorsal dan peritoneum parietal) di
daerah lumbal superior. Ginjal kanan terdesak oleh hepar dan posisinya
lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. Ginjal orang dewasa beratnya 150g,
panjang 12 cm, lebar 6 cm, tebal 3 cm. Permukaan lateral cembung,
permukaan medial cekung dan celah vertikal disebut hilus renal yang
menuju ke ruang internal dalam ginjal disebut sinus ginjal. Saluran ureter,
pembuluh darah ginjal, limfatik, dan semua saraf berkumpul dengan
masing-masing ginjal di hilum dan menempati sinus. Diatas setiap ginjal
terdapat kelenjar adrenal (suprarenal) yaitu kelenjar endokrin yang secara
fungsional tidak terkait dengan ginjal (Marieb & Hoehn, 2015)

Setiap ginjal pada manusia memiliki sekitar 800 ribu – 1 juta


nefron, dan tiap nefron tersebut dapat menghasilkan urin. Ginjal tidak
dapat meregenerasi nefron baru. Jumlah nefron secara bertahap akan
semakin berkurang ketika terjadi kerusakan pada ginjal, penyakit, atau
penuaan secara normal. Pada usia 40 tahun lebih, jumlah nefron yang
masih berfungsi akan berkurang sekitar 10 % tiap 10 tahun. Setiap nefron
terdapat seberkas kapiler glomerulus disebut glomerulus dengan melalui
sejumlah besar cairan yang disaring dari darah dan tubulus dengan ukuran
yang panjang dimana cairan yang disaring akan menjadi urin (Hall, 2016).

b) Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal adalah mengatur keseimbangan air, konsentrasi garam dalam
darah, keseimbangan asam-basa darah, serta ekskresi bahan buangan dan
kelebihan garam. Fungsi ginjal (Nugrahaeni, 2020) yaitu:
1) Membuang produk sisa metabolisme dari tubuh (terutama urea dan
asam urat)
2) Regulasi keseimbangan elektrolit (seperti sodium, potassium dan
kalsium)
3) Osmoregulasi mengontrol volume darah dan cairan tubuh
4) Homeostatis tekanan darah yaitu sistem ginjal mengubah retensi air dan
rasa haus dan secara perlahan mengubah volume darah dan menjaga
tekanan darah dalam kisaran normal.

6) Patofisiologi
Awal terjadinya kerusakan struktur ginjal disebabkan oleh penyakit
primer yang bisa mempengaruhi ginjal. Selain itu pula, kerusakan ginjal
dipengaruhi oleh faktor heterogen seperti nefropati diabetik. Pada
nefrosklerosis hipertensi, arteriol ginjal mempunyai arteriol hyalinosis, dan
kista ginjal terjadi pada penyakit ginjal polikistik. Pada penyakit CKD yang
paling mendasari yaitu hilangnya massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus,
dan proteinuria (Dipiro et al., 2015).
Paparan terhadap faktor resiko inisiasi akan menyebabkan terjadinya
hilangnya massa nefron, sehingga menimbulkan terjadinya hipertrofi yang bisa
mengkompensasi hilangnya fungsi ginjal dan massa nefron. Hipertrofi dapat
mengakibatkan terjadinya perkembangan hipertensi intraglomerular yang di
mediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokontriktor dari arteriol
aferen dan eferen, akan tetapi lebih berpengaruh terhadap arteriol eferen yang
akan mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap kapiler glomerular
sehingga terjadilah peningkatan fraksi filtrasi (Dipiro et al., 2015).
Terjadinya peningkatan tekanan kapiler intraglomerular akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan fungsi ukuran selektif dari penghalang
permeabilitas glomerulus, sehingga terjadi peningkatan pada ekskresi albumin
atau proteinuria. Proteinuria mengakibatkan hilangnya nefron secara progresif
yang di sebabkan oleh kerusakan sel secara langsung. Hal tersebut
mengakibatkan jaringan parut interstitium, hilangnya unit nefron secara
progresif dan pengurangan GFR (Dipiro et al., 2015).
Peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron dapat
menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas penurunan
fungsi nefron. Faktor yang mempengaruhi progresifitas Chronic Kidney
Disease (CKD) antara lain : albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan
dislipidemia (Suwitra, 2014).
Stadium awal pada Chronic Kidney Disease (CKD) belum terlihat
adanya tanda-tanda yang spesifik. Akan tetapi pada keadaan basal nilai GFR
normal atau kemungkinan bisa meningkat. Penurunan fungsi nefron yang
secara progresif yaitu terjadi secara perlahan ditandai dengan adanya
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada pasien dengan nilai GFR
sebesar 60 % belum ditandai adanya keluhan (asimtomatik). Akan tetapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan juga serum kreatinin. Keluhan akan
dirasakan oleh penderita ketika nilai GFR nya sebesar 30 % yang disertai
dengan keluhan seperti : nokturia, mual, nafsu makan berkurang, badan lemah
sampai berat badannya menurun. Pada saat nilai GFR < 30 % maka tanda-
tanda nyata sudah mulai dirasakan oleh penderita seperti: terjadinya
peningkatan tekanan darah, anemia, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, gangguan keseimbangan air, infeksi saluran cerna dan gangguan
keseimbangan elektrolit berupa natrium dan kalium. Nilai GFR < 15 % akan
terjadi komplikasi yang serius dan pasien segera di terapi dengan pengganti
ginjal (renal replacement therapy) misal : dialisis / transplantasi ginjal
(Suwitra, 2014)

7) Pathway
terlampir
8) Manifestasi klinis
Nurarif & Kusuma (2015) mengatakan bahwa CKD dimanifestasikan
menurut perjalanan klinisnya yaitu:
a) Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat
menurun hingga 25% dari normal.
b) Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami poliuria dan
nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kretinin serum dan
BUN sedikit meningkat diatas normal.
c) CKD stadium akhir atau ESRD atau sindrom uremik (lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume
overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma), yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10
ml/menit, kadar serum kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi
perubahan biokimia dan gejala komplek.

9) Pemeriksaan Diagnostik
Nilai GFR dan kreatinin serum untuk mendiagnosa adanya CKD. Fungsi
ginjal normal orang dewasa yaitu nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) >90
ml/menit/1,73 m2. Setiap individu dikatakan terdiagnosis CKD jika nilai GFR
< 60 ml/menit/1,73 m2 ditandai gejala : proteinuria, hematuria, atau kerusakan
struktural dan fungsional ginjal lainnya (Dipiro et al., 2015).
BUN meningkat jika nilai GFR menurun. Laju produksi urea tidak stabil
bisa di tingkatkan dengan cara diet protein, terdapat luka pada jaringan contoh :
pendarahan, trauma otot, serta pemberian steroid (Lopez – Giacoman dan
Madero, 2015).
Beberapa pemeriksaan pada CKD seperti : pemeriksaan biokimiawi
darah dan urinalisis. Kelainan biokimiawi darah seperti : penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiponatremia, hiper / hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, hiper / hipokalemia.
Kelainan urinalisis seperti : proteinuria, hematuria, leukosuria, isotenuria
(Suwitra, 2014).
Menurut Tanto et al., 2014. Pada pasien CKD terdapat beberapa
pemeriksaan penunjang antara lain :
a) Pemeriksaan darah lengkap : Ureum dan kreatinin serum meningkat.
Estimasi perhitungan GFR dilihat dari kadar kreatinin serum dengan
menggunakan rumus Cockcroft – Gault atau studi MDRD.
b) Pemeriksaan elektrolit : Hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia.
c) Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid.
d) Analisis gas darah : Asidosis metabolik (pH menurun, HCO3 menurun)
e) Urinalisis dan pemeriksaan albumin urin.
f) Sedimen urin : Sel tubulus ginjal, sedimen eritrosit, sedimen leukosit,
sedimen granuler kasar, serta adanya eritrosit yang dismorfik.
g) Pemeriksaan protein urin kuantitatif 24 jam.
h) Pencitraan : USG ginjal; BNO – IVP.
i) Biopsi ginjal : Pemeriksaan ini dalam kondisi tertentu dan untuk
memudahkan diagnosis penyakit gagal ginjal kronik apabila pemeriksaan
klinis, laboratorium, dan pencitraan menunjukkan bukti yang belum pasti.
j) Pemeriksaan lain untuk komplikasi seperti EKG, foto polos toraks, dan
ekokardiografi.

10) Penatalaksanaan
Untuk meminimalkan perkembangan maupun keparahan komplikasi
CKD dan meminimalisasi prevalensi ESRD (Dipiro et al., 2015).
Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease (CKD) sebagai berikut :
a. Terapi spesifik terhadsp penyakit yang mendasarinya misal : hipertensi dan
diabetes melitus.
b. Terapi dan pencegahan terhadap kondisi komorbid.
c. Memperlambat perburukan fungsi ginjal.
d. Terapi dan pencegahan terhadap penyakit kardiovaskular.
e. Terapi dan pencegahan terhadap komplikasi CKD.
f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis ataupun transplantasi ginjal
(Suwitra, 2014).
Cahyaningsih, dkk. (2015) mengatakan bahwa beberapa prinsip terapi
konservatif yang dapat dilaksanakan pada CKD adalah:
a. Mencegah memburuknya faal ginjal (LFG)
b. Program memperlambat penurunan progresif faal ginjal
c. Terapi alleviate gejala azotemia
d. Terapi pengganti ginjal (TPG)
Adanya indikasi TPG pada gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik
tahap akhir memberi pilihan pada pasien khususnya dan tim medis untuk
menentukan TPG yang ada, yang terdiri dari:
a) Hemodialisis
Salah satu terapi paling banyak dilakukan agar mengurangi atau
mencegah organ ginjal semakin tambah parah dengan alat dialiser darah
di keluarkan dari tubuh. Selanjutnya, di saring dalam sebuah mesin di
luar tubuh lalu di masukkan kembali ke dalam tubuh. Banyaknya pasien
melakukan terapi hemodialisis tergantung tingkat keparahan dari
kondisi ginjal masing-masing pasien yang sudah tidak bekerja dengan
baik lagi (Said et al., 2020).
Untuk melakukan hemodialisis dibutuhkan alat dialiser, di
Indonesia per tahun 2014 jumlah dialiser baru yang terpakai mencapai
23000 dialiser. Angka pemakaian dialiser baru ini selalu meningkat tiap
tahunnya dan sesuai dengan pertambahan pasien HD baru. Sedangkan
durasi tindakan HD yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah
3-4 jam. Hal ini masih dibawah standar durasi HD yang sebaiknya
dilakukan selama 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu.
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis
emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan
akut tindakan dialisis dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan
keadaan klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urine <200
ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam), hiperkalemia
(terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I),
asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150
mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum,
perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I),
hipertermia, keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati
membran dialisis. (Daugirdas et al., 2007)
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis, dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15 ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15
ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala uremia meliputi: lethargi,
anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya
massa otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan
cairan, 5) komplikasi metabolik yang refrakter (Daugirdas et al., 2007;
Levy, J et al., 2016).
Pada CKD, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah
ke dalam suatu tabung ginjal buatan yang dinamakan dialiser. Dialiser
terbagi dalam dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa
dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat.
Kompartemen dialisat dialiri cairan dilaisis yang bebas priogen, berisi
larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang
terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah
sampai terjadi difusi sehingga konsentrasi zat terlarut sama di kedua
kompartemen. Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara
menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan
dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi yang dapat dilihat pada
gambar 10.1
(Rahardjo et al., 2009)
Gambar 10.1 Ultrafiltrasi
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat
terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan
berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih
rendah. Kecepatan perpindahan zat terlerut tersebut makin tinggi bila :
(1) Perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar
(2) Diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah
(3) Tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi
Cairan dialisis ini seperti pada gambar 10.2 mengalir
berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi
Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat etatpi
kemudian melambat samapi konsentrasinya sama di kedua
kompartemen. (Rahardjo et al,. 2009; Levy et al,. 2016)

(Rahardjo et al,. 2009)


Gambar 10.3
Bagan Hemodialisis

Pada saat melakukan hemodialisis, pasien akan menggunakan


dua jarum dengan fungsi yang berbeda yang tertera pada gambar 2.4.
Terdapat jarum untuk mengalirkan darah sebelum masuk ke dialiser dan
setelah masuk ke dialiser. Darah akan dipompa menuju dialiser
menggunakan pompa darah dengan tujuan untuk mengambil darah tiap
satu ons pada satu waktu.

(NIDDK, 2016)
Gambar 10.3 Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian
dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit
ginjal tahap akhir stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat
ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak
penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani
hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang
menjalani hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien
hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut
hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (Agarwal & Light,
2010).
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi
selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi
diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala,
sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Bieber &
Himmelfarb, 2013; Sudoyo et al., 2009).
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu
penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal
osteodystrophy, Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada
akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic
kidney disease. Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien
hemodialisis, menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri
secara terus menerus selama sisa hidupnya. Bagi pasien hemodialisis,
penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan
kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap perubahan fisik
dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada orang
lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup. (Bieber
& Himmelfarb, 2013)
Keberhasilan hemodialisis terpengaruh dari adekuat atau
tidaknya suatu proses hemodialisis dan kepatuhan dari pasien sendiri.
Adekuasi hemodialisis berkaitan dengan frekuensi hemodialisis, durasi
hemodialisis, luas permukaan dialyzer (ginjal pengganti), kecepatan
aliran dialisat dan kecepatan aliran darah yang maksimal. Sedangkan
kepatuhan pasien berhubungan dengan faktor-faktor seperti usia, lama
menjalani hemodialisis, motivasi pasien serta dukungan sosial dari
lingkungan sekitar pasien .
Adekuasi hemodialisis dapat dilihat dengan mengukur RRU.
RRU adalah presensi nilai ureum yang turun pada setiap tindakan
hemodialisis. Nilai minimal RRU yang disarankan oleh PERNEFRI dan
NDDKI adalah 65%. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi adekuasi dari hemodialysis :
(1) Luas membran dialyzer
NIDDK menyatakan luas permukaan membran dialyzer
berpengaruh terhadap pembersihan ureum, agar adekuasi meningkat
maka harus meningkatkan pula luas permukaan membran dialyzer
(2) Kecepatan aliran darah
Kecepatan aliran darah dalam hemodialisis juga memiliki peran
dalam keberhasilan suatu proses HD. Menurut NIDDK Kecepatan
aliran darah diatas 300 ml/menit merupakan kecepatan aliaran darah
yang ideal untuk mencapai adekuasi hemodialisis yang diharapkan
yaitu Kt/V > 1,2 dan RRU > 65%.
(3) Kecepatan dialisat
Kecepatan cairan dialisat yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan
RRU sehingga adekuasi hemodialisis lebih tinggi. Pada sebuah
penelitian didapatkan bahwa dengan meningkatkan kecepatan
dialisat dari 500 mL/menit menjadi 800 mL/menit menunjukan
adanya peningkatan pada RRU sehingg adekuasi juga meningkat.
(4) Frekuensi dan durasi hemodialysis
Frekuensi menjalani tindakan hemodialisis yang sering akan
menurunkan angka mortalitas pasien CKD karena bisa mengontrol
kondisi kelebihan cairan, kekurangan albumin, hipertensi dan
hyperphosphatemia.Pernefri merekomendasikan waktu minimal
tindakan hemodialisis yang baik setiap minggu adalah antara 10
samapi dengan 15 jam yang terbagi minimal dalam 2 kali tindakan
hemodialysis.
Kepatuhan pasien juga merupakan faktor yang dapat
menentukan adekuasi hemodialisis. Kepatuhan pasien dapat
dipengaruhi dari usia pasien, lama menjalani hemodialisis, motivasi,
dan dukungan sosial. Sebuah penelitian menyatakan bahwa semakin
bertambahnya usia maka akan semakin meningkat pula
kedewasaannya atau kematangannya baik secara teknis, psikologis,
maupun spiritual, sehingga meningkatkan pula kemampuan
seseorang dalam mengambil keputusan dan berfikir rasional.
Dengan demikian semakin bertambahnya usia juga dapat
mempengaruhi seseorang dalam memberika keputusan dalam
program- program terapi yang berdampak untuk kesehatannya. Pada
pasien hemodialisis didapatkan hasil riset yang memperlihatkan
perbedaan kepatuhan pada pasien yang sakit kurang dari 1 tahun
dengan yang lebih dari 1 tahun. Semakin lama sakit yang diderita,
maka resiko penurunan tingkat kepatuhan semakin tinggi. Motivasi
tinggi yang berasal dari diri pasien juga dapat meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani proses terapi. Sedangkan
dukungan sosial dari lingkungan sekiatr pasien seperti keluarga,
teman, maupun petugas kesehatan di sekitar pasien dapat
meningkatkan kepatuhan pasien, umumnya di negara-negara dengan
tingkat sosial yang tinggi seperti Indonesia.
Hasil yang diharapkan dalam melakukan hemodialisis yang
adekuat adalah pasien merasa lebih nyaman setelah melakukan
hemodialisis sehingga pasien merasa ada peningkatan dalam kondisi
fisiknya seperti saat sebelum mengikuti HD, kualitas hidup pasien
meningkat. Menjalani hemodialisis yang adekuat dapat
meningkatkan angka harapan hidup pasien CKD. Akan tetapi HD
sendiri memiliki komplikasi seperti elektrolit penting yang ada
dalam tubuh ikut keluar bersama darah saat melalui proses HD,
sehingga menyebabkan kesehatan fisik pasien tidak berangsur
membaik secara signifikan sehingga menyebabkan pasien yang
semakin lama menjalani HD maka kualitas hidupnya juga akan
semakin buruk karena kesehatan fisiknya semakin terganggu. (Jaar,
2013).
b) Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah
salah 1 bentuk dialisis peritoneal, dimana bentuk dialisisnya
menggunakan membran peritoneum bersifat semi permeabel sebagai
membran dialisis, prinsip dasar yaitu proses ultrafiltrasi antara cairan
dialisis yang masuk ke dalam rongga peritoneum dengan plasma dalam
darah. Dilakukannya CAPD 3-5 kali/hari, setiap kali cairam dialisis
dalam kavum peritoneum (dwell-time) > 4 jam. Umumnya, dwell-time
waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam (Jamila dan
Herlina, 2019).
Kedua dialisis ini adalah terapi yang dijalani seumur hidup.
Beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa kedua terapi
dialisis ini mempunyau kesamaan. Kelebihan HD : mampu menyaring,
membuang zat sisa hasil metabolisme dan mengembalikan
keseimbangan cairan dan elektrolit secara adekuat dalam waktu yang
cukup cepat. Akan tetapi, kekurangannya biaya cukuo mahal dan terapi
HD cenderung memberikan efek terapi yang lebih banyak. Kelebihan
terapi CAPD dibandingkan terapi HD : pembuangan cairan dan racun
lebih stabil walaupun prosesnya tidak secepat terapi HD, pembuangan
produk sisa dan cairan secara kontiunu, sehingga kestabilan
hemodinamik lebih baik, dan pantangan diet lebih sedikit. Akan tetapi,
tingkat kegagalan yang berkaitan dengan aspek teknis sering kali lebih
tinggi pada terapi CAPD sehingga mengharuskan inisiasi hemodialisis.
Umumnya kegagalan CAPD disebabkan karena peritonitis (radang pada
peritoneum). Akan tetapi, hal ini jarang terjadi bila dilakukan prosedur
yang baik (Jamila dan Herlina, 2019).
c) Transplantasi Ginjal
Pada stadium 5 atau akhir (GFR < 15 ml/menit/1,73 m2)
(Suwitra, 2014). Berfungsi meningkatkan kualitas hidup pasien gagal
ginjal, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
kardiovaskuler akibat membaiknya fungsi endotel (Armelia dkk., 2017).
Persiapan transplantasi ginjal : pemeriksaan fisik, laboratorium,
penunjang (misal : fungsi dan anatomi ginjal serta saluran kemih)
(Pardede dkk., 2019).

11) Komplikasi
Nurarif & Kusuma (2015) mengatakan bahwa gejala komplikasi CKD
antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguang keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Bello, et al. (2017) mengatakan bahwa komplikasi CKD ialah:
1) Hipertensi
2) Komplikasi kardiovaskuler
3) Anemia
4) Gangguan mineral tulang
5) Retensi garam dan cairan
6) Gangguan asidosis metabolik dan elektrolit
7) Gejala uremik

Anda mungkin juga menyukai