Anda di halaman 1dari 46

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

C
DENGAN CHRONIC KIDNEY DESEASE (CKD) STAGE V
DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SLAMET GARUT

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah


Keperawatan Medical Bedah Program Profesi Ners XXXVIII

DISUSUN OLEH :
NANCY VERONICA
220112190077

PROGRAM PROFESI NERS XXXVIII


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
GARUT
2019
BAB I
TINJAUAN TEORI

I. Gagal Ginjal Kronik


1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kondisi dimana ginjal mengalami
kerusakan atau tidak dapat mengfiltrasi darah secara normal seperti pada
ginjal sehat (Centers for Disease Control, 2017). Gagal ginjal kronik
adalah adanya kerusakan ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang dimanifestasikan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR) kurang dari 60mL/menit/1,73m2 selama lebih dari tiga bulan
dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal (Thomas, Kanso, & Sedor,
2009).

1.2 Faktor Risiko


Menurut analisis jurnal Kazanciog (2013), faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal kronis yaitu:
1.5.1 Komponen Genetik
Terdapat lokus kerentantan untuk laju filtrasi glomerulus (GFR)
yang diperkirakan oleh adanya serum kreatinin (eGFRcrea),
cystatin C (eGFRcys) dan CKD (eGFRcrea o60 ml/menit per
1,73 m2). Dari hasil penelitian yang dilakukan di Eropa terdapat
uromodulin yang merupakan mutase gen yang berhubungan
dengan perbedaan fungsi ginjal. Mutasi lain yang diidentifikasi
terkait dengan mutasi APOL1 menunjukkan pola pewarisan
auutosom resesif menunjukkan memiliki risiko ESRD yang jauh
lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan risiko ESRD 10 kali
lipat lebih tinggi karena glomerulosklerosis fokal dan risiko
ESRD 7 kali lipat lebih tinggi karena hipertensi. Mutasi APOL1
ditemukan secara signifikan diantara individu pada keturunan
Afrika memiliki risiko rentan terjadi CKD. Keterlibatan gen
pada sistem renin-angiotensun juga memiliki dampak yang
signifikan terhadap terjadinya CKD.

1.2.2 Riwayat Keluarga


Pasien dengan riwayat keluarga CKD memiliki prevalensi
tinggi terjadinya CKD. Berdasarkan dari penelitian di Amerika
Serikat, 23% pasien CKD memiliki riwayat keluarga CKD.

1.2.3 Jenis Kelamin


Berdasarkan data dari Perhimpunan Dialisis Jepang
menunjukkan bahwa pasien yang mengalami ESRD lebih sering
pada laki-laki. Dari hasil penelitian pada 107.192 responden
menunjukkan rasio odds laki-laki dibanding perempuan yaitu
1,41:1.

1.2.4 Etnis
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang
dengan kulit hitam memiliki risiko ESRD seumur hidup 7,8% pada
laki-laki, dan wanita kulit hitam yaitu 7,3%, sedangkan untuk
wanita kulit putih yaitu 1,8% dan pria kulit putih 2,5%.

1.2.5 Usia
Fungsi ginjal menurun seiring dengan bertambahnya usia pada
laki-laki dan wanitia. Lansia merupakan populasi pada usia yang
rentan terjadinya gagal ginjal kronis, dimana ditemukan bahwa lebih
dari setengah populasi lansia memiliki CKD dengan stadium 3 – 5.

1.2.6 Berat Lahir Rendah


Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah memiliki pertumbuhan
jumlah nefron yang rendah. Peningkatan jumlah neforn dengan
257.426 glomerulus per kg meningkat dalam berat lahir. Sehingga,
bayi dengan berat lahir rendah memiliki jumlah glomerulus yang
lebih sedikit.

1.2.7 Obesitas
Hipertrofi glomerulus dan hiperfiltrasi dapat mempercepat
cedera ginjal dan meningkatkan ketegangan pada dinding kapiler
glomeruli. Kelebihan berat badan pada usia 20-an memiliki risiko
tiga kali lebih signifikan untuk CKD. Rasio pada individu yang
memiliki lingkar pinggang besar berkaitan dengan GFR yang lebih
rendah, aliran plasma ginjal yang rendah dan fraksi filtrasi yang
lebih tinggi.

1.2.8 Status Sosial Ekonomi


Status sosial ekonomi yang rendah memiliki risiko yang
lebih tinggi terjadinya CKD dibanding yang cukup dalam
pendapatan.

1.2.9 Merokok
Merokok dapat meningkatkan risiko CKD melalui
proinflamasi, stress oksidatif, perubahan prothrombotik, endotel
disfungsi, glomerulosklerosis dan atrofi tubulus. Dalam penelitian
lain menunjukkan lima batang rokok per hari terkait dengan
peningkatan kreatinin serum 40,3 mg/dl sebesar 31%.

1.3 Etiologi
Menurut Bayhakki (2013 dalam Hutagaol, 2017), etiologi dari gagal ginjal
kronik disebabkan oleh berbagai penyakit seperti glomerolunefritis akut, gagal
ginjal akut, penyakit ginjal polikistik, obstruksi saluran kemih, nefrotoksin, dan
penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, lupus eritematosus,
poliartritis, penyakit sel sabit serta amildosis. Kazanciog (2013) menjelaskan
nefrotoxins seperti alkohol dan narkoba dan penggunaan obat analgesic
berlebihan memiliki perkembangan terjadinya CKD. Individu yang
menggunakan 1000 – 4999 pil dan yang minum lebih dari 5000 pil memilki
rasio odds = 2 :2,4. Selain dari nefrotoxins, individu yang memiliki riwayat
cedera ginjal akut memliki risiko 10 kali lipat lebih besar terjadinya ESRD
dibandingkan individu yang tidak memiliki AKI.
Penyakit Diabetes Mellitus juga merupakan penyebab terbesar terjadinya
CKD. Data dari Turki Nefrologi menyebutkan bahwa setengah dari pasien
ESRD memiliki diabetes nefropati. Diabetes juga dapat menyebabkan cedera
filtrasi. Pasien yang memiliki DM tipe 2, 10% dari mereka memiliki nefropati
dan akan mengalami kehilangan ginjal progresif. Selain dari DM, hipertensi
juga menjadi etiologi terjadi CKD. Hipertensi sistemik ditransmisikan ke
intraglomerular tekanan kapiler akan mengalami glomerulosklerosis dan
hilangnya fungsi ginjal.

1.4 Klasifikasi
Menurut National Kidney Foundation (2016), gagal ginjal kronis
dapat diklasifikasikan menjadi 5 stage berdasarkan penurunan dari laju
filtasi glomerulus dan kadar albumin yaitu:

Kategori GFR pada CKD

Kategori GFR Batas


ml/min/1.73 m2
G1 ≥90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun*
G3a 45-59 Sedang hingga mengalami
penurunan sedang
G3b 30-44 Sedang hingga sangat
menurun
G4 15-29 Sangat menurun
G5 <15 Gagal ginjal

Catatan:

 Sehubungan dengan tingkat dewasa muda


 Dengan tidak adanya bukti kerusakan ginjal, kategori GFR G1 atau G2 tidak memenuhi
kriteria untuk CKD.

Kategori albuminuria pada CKD


Kategori Albuminuria pada CKD
Kategori ACR (mg/g) Batas
A1 <30 Normal ke sedikit meningkat
A2 30 -300 Cukup meningkat
A3 >300 Sangat meningkat

Menurut Dipa (2019) tahap dari perkembangan gagal ginjal kronik yaitu:
1.4.1 Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40 – 75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40 – 50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
1.4.2 Gagal ginjal
a. 75 – 80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20 – 40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan polyuria
1.4.3 Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10 -20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolic
d. Berat jenis urine
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
1.4.4 End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kuurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia dan asidosis metabolic
e. Berat jenis uurine tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal

Nilai GFR berfungsi untuk menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang
dimiliki sehingga dapat menentukan tingkat kerusakan pada ginjal dan untuk menentukan
tindakan yang selanjutnya akan diberikan. Nilai GFR yang semakin kecil menunjukkan
semakin besar kerusakan yang terjadi pada ginjal.
Verdiansah (2016) menyebutkan bahwa perhitungan GFR dapat dihitung
berdasarkan kreatinin serum, usia, ukuran tubuh, jenis kelamin dan ras tanpa
membutuhkan kadar kreatinin urin menggunakan persamaan Cockcroft and Gault

The Abbreviated Modifi cation of Diet in Renal Disease (MDRD) mempunyai


persamaan untuk mengukur GFR dengan meliputi empat variabel yaitu kreatinin plasma,
usia, jenis kelamin dan ras. Persamaan MDRD digunakan untuk mengukur estimated
glomerular filtration rate (eGFR)
1.5 Patofisiologi
Penyakit CKD disebabkan oleh berbagai etiologi seperti penyakit glomerulus baik
primer maupun sekunder seperti penyakit vaskuler, infeksi, nefritis intestinal,
obstruksi saluran kemih. Patofisiologi pada penyakit ginjal kronik melibatkan 2
mekanisme kerusakan yaitu: mekanisme pencetus spesifik yang mendasari
kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada
glomerulo nefritis atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan
interstitium, kemudian mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal terdiri dari 1 juta nefron serta masing-masing nefron memiliki kontribusi
terhadap total GFR. Kerusakan ginjal terjadinya karena beberapa etiologi, namun
pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan dalam mempertahankan GFR.
Nefron-nefron sehat yang tersisa mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi
tekanan glomerular. Hal ini, menyebabkan terjadinya hipertensi sistemik dalam
glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini menyebabkan hipertrofi nefron
yang sehat sebagai dari bentuk mekanisme kompensasi hipertensi sistemik. Pada
tahap ini akan terjadi polyuria yang dapat menyebbkan dehidrasi dan hyponatremia
sebagai bentuk dari eksresi Natrium yang meningkat melalui urin. Peningkatan pada
tekanan glomerulus menyebabkan proteinuria. Derajat dari proteinuria sebanding
dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorbsi protein pada sel tubuloepitelial
dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular,
meningkatkan stress oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth factor, dan
melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi dan
fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi dari makrofag.
Inflamsi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks
ekstraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sclerosis, fibrosis tubulointerstitiel,
dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang
dan menghentikan siklus progesi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Rusaknya struktur ginjal akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik
maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal yaitu:
penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan Natrium pada tubuli, penurunan
ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hydrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal yaitu kegagalan mengubah bentuk inaktif
Ca, menyebabkan penurunan eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin,
meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi.
Ginjal memiliki peran dalam proses hormon Angiotensin. Angiotensin II memiliki
peran dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara
sistemik dan lam tubuh dan secara lokal di ginjal serta merupakan vasokontriktor
kuat yang mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama
arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stress oksidatif yang pada akhirnya
meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan sehingga
angiotensin II memiliki peran dalam terjadinya gagal ginjal kronik.
Gangguan tulang pada gagal ginjal kronik disebakan oleh berbagai etiologi. Salah
satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol yang
menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan
absrobsi Calsium. Penurunan absrobsi Calsium menyebabkan tubuh mengalami
hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada pasien dengan gagal ginjal kronik akan terjadi
hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hperfosfatemia,
resistensi skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback
negative dari inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan
sekresi PTH.
Penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan ginjal tidakk mampu
mengeksresikan zat-zat seperti fosfat sehingga menimbulkan hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth factor menyebabkan inhibisi 1-
α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh
FGF-23 maka sintesis kalstriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap
vitamin D. Sehingga feedback negative terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi
peningkatan hormone parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme
sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum
tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritopoetin yang pada akhirnya
akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan
pembentukan eritopoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selan itu
hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebabkan osteodistrofi yang
diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone
disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan eksresi Natrium menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan edema, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi
terutama bila GFR < 25 ml/menit, terlebih pada CKD stadium 5. Penurunan eksresi
ini menyebabkan hyperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadnya kardiak
arrest pada pasien.
Asidosis metabolic pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya
anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak
mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk
mengeksresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan
anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi
dari fosfat, sulfat, dan anion-anion lain yang tidak tereksresi dengan baik. Asidosis
metabolic pada CKD dapat menyebabkan gangguan metabolism protein. Selain itu
asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan
osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen
dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uuremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan
meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin serta asam urat. Uremia yang
bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan mengenai sistem saraf perifer
dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan
trombositopati dan memperendek usia sel darah merah. Trombositopati akan
meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang
menjadi anemia bila penangannya tidak adekuat. Uremia bila sampai ke kulit pasien
akan menyebbkan pasien merasa gatal-gatal. Pada CKD akan terjadi penurunan
fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem imun dan gangguan
reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat.
Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis yang pada
akhirnya menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang menurunkan sintesis EPO. Selain itu, anemia
dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek karena pengaruh
sindrom uremia.

1.6 Manifestasi
Efek ESRD dapat menyebabkan disfungsi beberapa organ pada tubuh.
Manifestasi klinis yang terjadi pada gagal ginjal kronis bergantung pada tingkat
kerusakan ginjal, kondisi yang mendasari serta usia. Baradero et al, (2009)
menyebutkan manifestasi yang terjadi pada orang yang dengan gagal ginjal kronis
sebagai berikut:
Sistem hematopoetik
Penyebab Tanda/gejala Parameter pengkajian
Eritropoietin menurun Anemia, cepat lelah Hematokrit, Hemoglobin
Perdarahan Trombositopenia Hitung Trombosit
Trombositopenia ringan Ekimosis Petekie dan hematoma
Kegiatan trombosit Perdarahan Hematemesis dan melena
menurun
Sistem kardiovaskular
Penyebab Tanda/gejala Paramater pengkajian
Kelebihan beban cairan Hipervolemia Tanda vital
Mekanisme renin- Hipertensi Berat badan
angiotensin Takikardia
Anemia Disritmia Elektrokardiogram
Hipertensi kronik Gagal jantung kongestif Auskultasi jantung
Toksin uremik dalam Perikarditis Pemantauan elektrolit
cairan perikardium
Kaji keluhan nyeri
Sistem Respirasi
Penyebab Tanda/gejala Paramater Pengkajian
Mekanisme kompensasi Takipnea Pengkajian pernafasan
untuk asidosis metabolik
Toksin uremik Pernapasan kussmaul Hasil pemeriksaan gas
darah arteri
Paru uremik Halistosis uremik atau Inspeksi mukosa oral
fetor
Kelebihan beban cairan Sputum yang lengket
Batuk disertai nyeri
Suhu tubuh meningkat
Hilar pneumonitis
Pleural friction rub
Edema paru
Sistem Gastrointestinal
Penyebab Tanda/gejala Paramater pengkajian
Perubahan kegiatan Anorkesia Asupan dan haluaran
trombosit
Toksin uuremik serum Mual dan muntah Hematokrit
Ketidakseimbangan Perdarahan Hemoglobin
elektrolit gastrointestinal
Urea diubah menjada Distensi abdomen Uji guaiac untuk feses
ammonia oleh saliva
Diare dan konstipasi Kaji feses
Kaji nyeri abdomen
Sistem Neurologi
Penyebab Tanda/gejala Paramater pengkajian
Toksin uremik Perubahan tingkat Tingkat kesadaran
kesadaran, letargi,
bingung, stupor dan koma
Ketidakseimbangan Kejang Refleks
elektrolit
Edema serebral karena Tidur terganggu Elektroensefalogram
perpindahan cairan Asteriksis Keseimbangan elektrolit
Sistem Skletal
Penyebab Tanda/gejala Parameter pengkajian
Absorpsi kalsium Osteodistrofi ginjal Fosfor serum
menurun
Eksresi fosfat menurun Rickets ginjal Kalsium serum
Nyeri sendi Kaji nyeri sendi
Pertumbuhan lambat pada
anak
Kulit
Penyebab Tanda/gejala Paramater pengkajian
Anemia Pucat Lecet, lebam, dan luka
Pigmentasi Pigmentasi Kaji warna kulit
Kelenjar keringat Pruritus Perhatikan garukan pada
mengecil kulit
Kegiatan kelenjar lemak Ekimosis
menurun
Eksresi sisa metabolisme Lecet
melalui kulit Uremic frosts
Sistem Perkemihan
Penyebab Tanda/gejala Paramater pengkajian
Kerusakan nefron Haluaran urine berkurang Asupan dan haluaran
Berat jenis urine menurun BUN dan kreatinin serum
Proteinuria Elektrolit serum
Fragmen dan sel dalam Berat jenis urine
urine
Natrium dalam urine
berkurang
Sistem Reproduksi
Penyebab Tanda/gejala Parameter pengkajian
Abnormalitas hormonal Infertilitas Menstruasi
Anemia Libido menurun Hematokrit
Hipertensi Disfungsi ereksi Hemoglobin
Sistem Reproduksi
Penyebab Tanda/gejala Parameter pengkajian
Abnormalitas hormonal Infertilitas Menstruasi
Anemia Libido menurun Hematokrit
Hipertensi Disfungsi ereksi Hemoglobin
Malnutrisi Amenorea
Lambat pubertas

1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik menurut Suwitra (2014) yaitu:

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana


1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi perburukkan fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60 - 89 Menghambat perburukkan fungsi ginjal
3 30 - 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 - 29 Persiapan terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat Pada Penyakit Ginjal Kronik


LFG (ml/mnt/1,73 m2) Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
> 60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 - 60 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi
tinggi
25 - 60 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi
tinggi atau tambahan 0,3 g asam
amino essensial atau asam keton
<60 (sindrom Nefrotik) 0,8/kg/hr (+ 1 g protein/g ≤ 9 g
proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino essensial
atau asam keton

II. Nefrolithiasis
3.1 Definisi Nefrolithiasis
Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan salah satu penyakit pada
ginjal, dimana ditemkan batu yang mengandung komponen kristal dan
matriks organik yang merupakan penyebab dari terbanyak kelainan (Fauzi
et al., 2016). Sementara, menurut Fikriani & Wardhana (2018)
nefrolitiasis merupakan gangguan klinis akibat adanya komponen batu
kristal yang menyumbat dan menghambat kerja ginjal pada kaliks atau
pelvis ginjal yang disebabkan oleh adanya gangguan keseimbangan pada
kelarutan

3.2 Faktor Risiko Nefrolithiasis


Menurut Fauzi et al. (2016) menyebutkan, faktor risiko dari
nefrolitiasis biasanya karena adanya riwayat pada usia muda, riwayat batu
pada keluarga, adanya penyakit asam urat, kondisi medis lokal dan
sistemik, predisposisi genetik, dan komposisi urin. Komposisi urin
menentukan pembentukan batu berdasarkan tiga faktor yaitu berlebihnya
komponen pembentukan batu, jumlah komponen penghambat
pembentukan batu (sitrat, glikosaminoglikan) atau pemcu seperti natrium
dan urat.
Dari hasil penelitian Krisna (2011) menyebutkan bahwa, batu
ginjal bisa merupakan penyakit turunan. Dalam penelitiannya, disebutkan
bahwa jika orang tua atau kakek nenek memiliki penyakit batu ginjal
maka kemungkinan besar anak dan cucunya akan memiliki batu ginjal
juga. Faktor genetik berperan penting dalam terjadinya batu ginjal pada
seseorang, dimana riwayat keluarga memiliki risiko 25 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga. Protein
mempengaruhi terjadinya batu ginjal. Hal ini disebabkan, protein dapat
meningkatkan terbuangnya kalsium dan asam urat dalam air kemih, yang
kemudian diikuti dengan menurunnya pH urin dan pembuangan sitrat.
Risiko konsumsi makanan yang mengandung protein hewani yang
bersamaan dengan konsumsi jumlah tinggi lemak dan garam dapat
meningkatkan risiko terbentuknya batu pada ginjal. Penderita batu kalsium
dianjurkan mengonsumsi tidak lebih dari 1,5 – 1,8 protein per kg badan
per hari. Selain itu, semakin tinggi kalsium yang terkonsumsi terbukti
bahwa makin tinggi pula ekskresinya sekaligus menambah pembentukan
kristalisasi garam-garam kapur yang dapat menyebabkan hiperkalsuria.
Kadar kalsium dalam darah normal, namun ekskresi dalam air kemih
mencapai 200 – 350 mg per hari, begitu juga dengan phosphor.
Faktor risiko yang lain, seperti konsumsi makanan yang memicu
asam urat berisiko 6,756 kali lebih tinggi terkena batu ginjal,
dibandingkan dengan yang memilki asam urat yang rendah. Hal ini
berkaitan dengan konsumsi purin yang mengakibatkan kaar asam urat
dalam air kemih. Tingginya kadar asam urat memicu terjadinya batu
ginjal. Konsumsi makanan yang tinggi dengan oksalat seperti bayam, teh
dan tempe memiliki risiko 3,660 kali lebih berisiko dibandingkan yang
mengonsumsi oksalat yagn rendah. Hal ini berkaitan dengan oksalat yang
berasal dari dalam tubuh, makanan serta hasil metabolisme vitamin C
membentuk kristal pada kalsium yang menyebabkan batu ginjal.
3.3 Etiologi Nefrolithiasis
Menurut Robbins et al. (2007), batu ginjal sering tidak diketahui
penyebabnya, terutama pada batu ginjal yang mengandung kalsium.
Penyebab pembentukan batu ginjal sering disebabkan karena adanya
gabungan dari beberapa faktor predisposisi. Penyebab terpenting dari
meningkatnya konsentrasi konstituen batu di dalam urin sehingga
kelarutan konstituuen tersebut dalam urin terlampaui.

Batu Etiologi Persentase Batu


Kalsium oksalat a. Hiperkalsiuuria 75%
dan kalsium fosfat idiopatik (50%)
b. Hiperkalsemia dan
hiperkalsiuria (0%)
c. Hiperoksaluria (5%)
d. Hiperurikosuria
(20%)
e. Tidak diketahui
terdapat kelainan
metabolit (15 – 20%)
f. Infeksi ginjal

Struvit g. Terkait dengan 10 – 15%


hiperurisemia
h. Terkait dengan 6%
hiperurikosuria
i. Idiopatik
Asam urat
Sistin 1-2%

Batu ginjal yang terjadi dari magnesium ammonium fosfat (struvite)


hampir selalu ditemukan pada pasien dengan urin alkalis menetap akibat
dari Urinary Tract Infection (UTI). Hal ini berkaitan dengan bakteri
pemecah urea seperti bakteri Proteus Vulgaris dan Staphylococcus.
Bakteri ini memcah urin dan membentuknya menjadi batu.
Penyakit Gout dan penyakit leukemia juga dapat menyebabkan
tingginya asam urat di dalam urin sehingga mnyebabkan terbentuknya
batu asa uurat. Separuh pasien dengan batu asam urat memiliki
kecenderungan pengeluaran urin dengan pH rendah pada keadaan asam
(<5,5) serta memudahkan terbentuknya batu. Batu sistin selalu berkaitan
dengan kelainan genetik transport asam amino termasuk dengan sistin
pada ginjal

3.4 . Klasifikasi Nefrolithiasis


Klasifikasi nefrolitiasis terbagi berdasasrkan komposisi (Fauzi et
al., 2016) :
2.4.1 Batu Kalsium
Batu kalsium merupakan batu yang paling sering terjadi
pada kasus batu ginjal. Kandungan batu ini terdiri atas
kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran dari kedua
unsur tersebut. Faktor-faktor d
ari terbentuknya batu kalisum yaitu:
a. Hiperkalsiuri
Terbagi menjadi hiperkalsiuri absorbtif, hiperkalsiuri
renal, dan hiperkalsiuri resorptif. Hiperkalsiuri
absortif terjadi akibat peningkatan absorbis kalsium
melalui usus, hiperkalsiuri renal terjadi akibat
adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium
melalui tubulus ginjal dan hiperkalsiuri resorptif
terjadi karena adanya peningkatan resorbsi kalsium
tulang.
b. Hiperoksaluri
Eksresi oksalat urin melebihi 45 gram per hari
c. Hiperurikosuria
Kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 45
gram per hari.
d. Hipositraturia
Sitrat berfungsi untuk menghalangi ikatan kalsium
dengan oksalat atau fosfat sedikit.
e. Hipomagnesuria
Magnesium memiliki fungis dalam menghambat
timblnya batu kalsium, namun pada tubuh
mengalami penurunan.

2.4.2 Batu Struvit


Batu struvit berasal dari magnesium ammonium
fosfat. Batu struvite sering dikaitkan dengan infeksi saluran
kemih. Batu dapat tumbuh menjadi lebih besar membentuk
batuu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks ginjal.
Batu struvite bersifat radiopak dan mempunyai densitas
yang berbeda. Di dalam urin kristal batu struvite berbentuk
prisma empat persegi panjang.

2.4.3 Batu Asam Urat


Batu asam urat biasanya banyak diderita oleh
pasien-pasien dengan penyakit gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien dengan yang mendapatkan terapi
anti kanker, dan penggunaan obat seperti urikosurik seperti
sulfinipirazon, thaizid dan salisilat. Batu asam urat terjadi
pada 10% jenis nephrolithiasis. Asam urat berasal dari
metabolism purin, nitrogen dalam tubuh dan beberapa jenis
makanan. Metabolisme purin ini terjadi di dalam hati.
Selanjutnya, asam urat disalurkan ke dalam darah hingga
ke ginjal. Batu asam urat biasanya berukuran keil dan
relative lebih mudah keluar dari tubuh karena lebih mudah
rapuh.

2.4.4 Batu Sistin


Batu sistin terjadi pada 1% nephrolithiasis pada
orang dewasa dan 8% pada anak-anak. Batu ini
pembentukkannya cepat dan bil kondisi ini tidak ditangani
dengan cepat dapat menyebabkan batu ginjal. Batu ini
disebabkan karena sistinuria, kelainan pada kongenital
yang dimana asama amino sistin dikeluarkan pada ginjal da
membentuk menjadi batu pada ginjal.

2.4.5 Batu xantin


Batu xantin tersusun dari komponen nitrogen dan
juga xantin. Batu ini biasanya terjadi pada faktor genetik.

2.5 Mekanisme Nefrolithiasis Menyebabkan Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronis disebabkan oleh beberapa etiologi, salah


satunya adalah obstruksi saluran kemih yaitu nefrolithiasis. Nefrolithiasis
menyebabkan timbulkanya obstruksi di pielum ataupun kaliks mayor
serta menyebabkan kaliektasis pada kaliks yang menjadi hidronefrosis.
Terbentuuknya obstruksi menyebabkan obstruksi pada ginjal serta
menyebabkan peningkatan pada struktur ginjal termasuk pada arteri
renalis yang berada di antar korteks renalis dan medulla. Peningkatan
pada struktur ginjal tersebut menyebabkan penurunan aliran darah yang
membawa nutrisi dan oksigen ke ginjal menurun.
Penurunan nutrisi dan oksigen yang secara terus-menerus
menyebabkan jaringan ginjal dan nefron menjadi iskemik. Sisa nefron
yang masih sehat tetap bekerja dan mempertahankan homeostasis. Pada
perubahan struktur ginjal tersebut terdapat dua adaptasi penting yang
dilakukan oleh ginjal sebagai bentuk kompensasi dari ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Adaptasi pertama yaitu, sisa
nefron yang utuh mengalami hipertofi akibat menahan beban kerja yang
berlebihan. Adapatasi yang kedua yaitu terjadi peningkatan kecepatan
filtrasi, beban solud, reabsorbsi di tubulus pada setiap nefron yang utuh,
meskipun GFR pada seluruh massa nefron mengalami penurunan hingga
dibawah normal. Bila kedua adaptasi tersebut berlangsung terus-menerus
maka terjadi penambahan kerusakan nefron. Ketika 75% massa nefron
pada ginjal sudah mengalami kerusakan maka kecepatan filtrasi dan
beban solud pada setiap nefron menjadi semakin tinggi dan glomerulus-
tubulus tidak dapat menjaga keseimbangannya.
Ketidakseimbangan pada glomerulus dan tubulus serta kerusakan
nefron berlangsung lama menyebabkan ginjal gagal melakukan fungsinya
secara utuh. Kegagalan fungsi ginjal ini menyebabkan penurunan GFR
(Glomerulus Filtration Rate), dan tubulus memiliki penurunan fungsi
dalam mengatur ekskresi serta reabsorpsi menurun. Penurunan reabsorpsi
menyebabkan asam dan sisa metabolism tubuh meningkat sehingga tubuh
mengalami ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Nefrolithiasis


Penekanan pada stuktur ginjal dan arteri renalis

Penurunan aliran darah yang mebawa nutrient dan oksigen ke jaringan ginjal

Kerusakan struktur ginjal (Glomerulus dan tubulus)

Penurunan dan kegagalan pada fungsi di ginjal

Gagal ginjal akut (post renal)

Iskemik di tubulus

Gagal ginjal Kronis

Fungsi ginjal menurun Fungsi glomerulus ↓ Gangguan fungsi ginjal



GFR menurun Peningkatan sekresi Menurunnya produksi eritopoetin
↓ Renin angiotensin I&II ↓
Ginjal tidak mampu Reabsorbsi protein Anemia
mengeluarkan terganggu ↓
sisa metabolik Terjadi retensi Vasokontriksi ↓ Oksigen tidak diikat
aldosterone pembuluh darah Protein uri adekuat
↓ ↓ ↓
Adanya retensi Na dan TD meningkat Transportasi oksigen
air ↑ kejaringan menurun
↓ Peningkatan ↓
Transudasi cairan interstitial volume darah ADP tidak bisa
↓ diubah menjadi ATP
Edema Albumin menurun

Meningkatnya ureum Daya tahan <<
↓ Mengiritasi Energi yang
Penumpukan kristal urea di kulit Iritasi membran membrane mukosa mulut dihasilkan ↓
↓ mukosa lambung ↓ ↓
Pruritus ↓ Perubahan membrane Kelemahan
Merangsang sekresi mukosa mulut
asam lambung ↓
↓ Stomatitis
Mual

Sumber : Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., (1995), De Jong, W., Long, B.C., Alih bahasa Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung,(1996), Sjamsuhidajat, R.,(1997) dan
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G., alih bahasa Kuncara, H.Y., (2001)
III. Hemodialisis
3.1 Definisi Hemodialisis
Dialisis menurut Himmelfarb & Ikizler (2014) merupakan difusi
molekul dalam larutan melintasi membrane semipermeabel dan sepanjang
konsentrasi gradient elektrokimia. Menurut Vadakedath & Kandi (2017),
dialisis meruupakan proses pembuangan limbah dan air sisa dari darah.
Tujuan utama dari hemodialisis mengembalikan cairan intraseluler dan
ekstraseluler yang fungsi tersebut merupakan fungsi dari ginjal. Pada
gagal ginjal kronik, ginjal tidak dapat melakukan fungsi dialisis.
Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal
yang dilakukan melalui mesin. Hemodialisis merupakan proses dialissi
yang dilakukan di luar tubuh untuk melakukan pembersihan darah
menggunakan mesin atau ginjal buatan dari zat yang didalam tubuh
memiliki konsentrasi yang berlebihan. Zat-zat tersebut merupakan zat
yang terlarut dalam darah seperti ureum, kalium, serta zat pelarutnya yaitu
air dan serum darah.

3.2 Prinsip Hemodialisis


Pada hemodialysis terdapat tiga proses yaitu difusi, ultrafiltrasi dan
osmosis
3.2.1 Proses difusi merupakan proses berpindahnya
bahan-bahan yang terlarut dari dalam darah ke cairan
dialisat serta berpindahnya bahan-bahan terlarut dalam
dialisat masuk ke darah individu melewati membrane semi-
permeabel. Bahan-bahan tersebut yang berasal dari darah
seperti ureum, kreatinin, asam urat, sodium, kalium. Cairan
dialisat yang masuk ke dalam darah yaitu kalsium dan
asetat.
Bahan-bahan tersebut dapat melakukan perpindahan
dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi seperti material
dialiser, permiabiltas membrane, luas permukaan dialiser,
kecepatan aliran darah, kecepatan aliran dialisat, besar
molekul serta besarnya koefisien ultrafiltrasi dialiser.

3.4.2 Proses ultrafiltrasi, proses ini merupakan perpindahan


solvent (air) dengan zat-zat terlarut (solute) dari darah
melewati membran dialisis masuk ke dalam cairan dialisat.
Zat-zat tersebut dapat berpindah dikarenakan terdapat
perbedaan tekanan hidrostatik, antara tekanan hidrostatik di
dalam darah dibanding dengan di dalam dialisat. Selama proses
hemodialysis, proses difusi dan proses ultrafiltrasi terjadi
secara bersama-sama.
Ultrafiltrasi sekuensial yaitu kompartemen dialisat
sementara waktu tidak dialiri dialisat tetapi dihubungkan
dengan pompa penghisap, yang menyebabkan air plasma dan
bahan terlarut di dalamnya teratarik dari ruang darah ke ruang
dialisat. Ultrafiltrasi sekuensial dapat menarik cairan plasma
sebanyak 3 liter per jam tergantung dari kecepatan aliran darah,
besarnya dialiser yang dipakai serta tekanan penghisap dari
pompa penghisap.

3.4.3 Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air


dikarenakan ada tenaga kimia yaitu perbedaan osmolaritas
darah dan dialisat. Hasilnya akan terjadi penarikan cairan
ke dalam mesin.
Seluruh proses dialisis membutuhkan akses ke sirkulasi
darah pasien. Pada gagal ginjal kronik biasanya memiliki akses
permanen seperti fistula atau graf sementara. Pada gagal ginjal
akut akses temporer yaitu vascoth.
3.3 Indikasi Hemodialisis
Indikasi hemodialisis dilakukan pada pasien yang mengalami gagal
ginjal akut dan kronik. Pasien dilakukan hemodialisis pada gagal ginjal
akut, dengan nilai GFR pasien rendah yaitu < 15mL/menit, pada gagal
ginjal kronik dilakukan hemodialisis akibat dari ginjal yang tidak mampu
melakukan filtrasi. Indikasi dilakukan hemodialisis pada asien gagal ginjal
yaitu:
a. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menti
b. Hiperkalemia
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Keadaan ureum lebih dari 200 mg/dL
e. Kelebihan cairan
f. Perikarditis dan konfusi berat
g. Hiperkalsemia dan hipertensi
h. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali

3.4 Peralatan Hemodialisis


3.4.1 Mesin hemodialisis
Mesin hemodialisis terdiri dari tiga bagian yaitu: pompa
darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem
monitoring. Pompa darah memiliki fungsi mengalirkan
darah dari tubuh ke dialiser serta mengembalikan darah
kembali ke dalam tubuh. Mesin ini dilengkapi dengan
detector udara yang berfungsi mendeteksi adanya udara
dalam vena. Mesin ini juga dapat digunakan dalam
memonitor kecepetan dialisat dan darah, konduktivitas
cairan dialisat, temperature dan pH, aliran darah, tekanan
darah dan informasi vital lain.
3.4.2 Dialiser atau ginjal buatan
Dialiser merupakan tempat proses hemodialisis
berlangsung. Dalam proses ini terjadi pertukaran zat-zat dan cairan
dalam darah serta dialisat. Alat ini merupakan proses utama dalam
hemodialisis, karena sebagian besar proses yang dilakukan dalam
ginjal normal dilakukan oleh dialiser. Pada dialiser terdiri atas dua
kompartemen yaitu dialisat darah yang dipisahkan oleh membrane
semipermeabel untuk mencegah cairan dialisat dan darah
bercampur menjadi satu. Laju permukaan membrane serta daya
saring membrane mempengaruhi jumlah zat dan air yang
berpindah. Dialiser high efficiency meruapakan dialiser yang
memiliki luas permukaaan membrane yang besar sedangkan high
flux adalah dialiser yang mempunyai pori-pori besar dan dapat
melewatkan molekul yang besar serta mempunyai permeabilitas
tinggi terhadap air.

3.4.3 Dialisat
Dialisat merupakan cairan yang terdiri dari air serta
elektrolit utama dari serum normal yang dipompakan melewati
dialiser ke darah pasien. Komposisi pada cairan dialisat diatur
sehingga mendekati komposisi ion darah normal serta dimodifikasi
agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit pada
penyakit ginjal tahap akhir. Dialisat dibuat dari sistem air bersih
dengan air kran dan bahan kimia yang disaring dan diolah dengan
water treatment secara bertahap. Larutan dialisat diatuur pada suhu
36,7 – 37,5oC sebelum dialirkan ke dialiser.
3.5 Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi Penyebab
Demam Bakteri atau zat penyebab demam (pirogen) di
dalam darah
Dialisat terlalu panas
Reaksi anafilaksis yg berakibat Alergi terhadap zat di dalam mesin
fatal Tekanan darah rendah
(anafilaksis)
Tekanan darah rendah Terlalu banyak cairan yangg dibuang
Gangguan irama jantung Kadar kalium & zat lainnya yang abnormal dalam
darah
Emboli udara Udara memasuki darah di dalam mesin
Perdarahan usus, otak, mata Penggunaan heparin di dalam mesin untuk
atau perut mencegah pembekuan
RESUME PENGKAJIAN UMUM PASIEN

I. Identitas
A. Pengkajian (15 November 2019)
B. Identitas Pasien
Nama : Tn. C
Umur : 44 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Kamojang
Diagnosa Medis : CKD ESRD
HbsAg : Tidak reaktif
Anti HCV : Tidak reaktif
C. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. N
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Kamojang
Suku : Sunda
Hubungan dengan Pasien : Istri

II. Anamnesa
A. Keluhan Utama
Klien mengeluhkan saat ini tubuhnya merasa lemas.

B. Riwayat Kesehatan Sekarang


Klien mengatakan tubuhnya merasa lemas karena belum dilakukan dialisa.
Klien mengatakan selain lemas yang dirasakan, klien juga merasakan
pusing dan terkadang sulit untuk bernafas. Klien merasakan lemasnya
bertambah jika klien melakukan aktivitas yang berlebihan dan berkurang
jika klien beristirahat. Klien saat ini didiagnosa mengalami CKD ESRD
sejak Juli 2019. Klien mendapat terapi hemodialisis seminggu 2 kali di
hari Selasa dan Jumat.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelum klien didiagnosa CKD ESRD, klien memiliki gangguan pada
ginjal yaitu nephrolithiasis pada 2019. Klien mengalami keluhan nyeri
yang dirasakan di area pinggang dan terasa sulit untuk mencerna makanan.
Klien kemudian dibawa ke RS Al Islam Bandung. Saat klien dilakukan
Radiografi Intra Venous Pyelography, ditemukan bahwa klien memiliki
nephrolithiasis, Klien mengatakan batu ginjal dialaminya membuat ginjal
yang dialaminya tersumbat. Sebelum masuk ke rumah sakit, klien
melakukan pengecekan ke puskesmas pada Juli 2019. Saat di puskesmas
klien mengatakan bahwa Hemoglobin klien 6,1 4g/dL, serta kreatinin
lebih dari 17 mg/dL dan ureum lebih dari 140 mg/dL. Berdasarkan hasil
lab tersebut, klien dibawa ke RSU Dr. Slamet Garut dan dirawat ke
Mutiara Atas. Sehari berikutnya klien langsung dilakukan hemodialisis.
Sebelumnya pada Agustus 2019, klien dilakukan operasi pengangkatan
batu ginjal di RS Al Islam.Bandung. Pada 8 November 2019 klien telah
dilakukan pengangkatan ring di jantung di RS Kawaliang.

D. Riwayat Kesehatan Keluarga


Tidak terdapat anggota keluarga klien yang memiliki penyakit diabetes
mellitus, penyakit hepatitis serta hipertensi. Klien mengatakan kedua
orang tuanya tidak memiliki penyakit hipertensi dan diabetes mellitus.
Serta tidak terdapatt anggota keluarga klien yang memiliki penyakit yang
sama dengan yang dialami oleh klien.
E. Riwayat Konsumsi Obat-Obatan
Klien mengatakan tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

F. Psikososial dan Spiritual


Klien mengatakan bahwa penyakit yang sedang diderita klien merupakan
ujian dari Tuhan dan klien mengatakan bahwa ujian ini merupakan bentuk
Tuhan dalam menghapuskan kesalahannya. Klien mengatakan bahwa
kegiatan ibadah klien tidak mengalami perubahan seperti klien masih bisa
melakukan sholat dengan rutin. Klien mengatakan bahwa penyakit yang
dirasakannya membuat dirinya tidak bisa bebas melakukan kegiatan
sehari-harinya. Klien mengatakan bahwa pasien-pasien yang mengalami
hemodialisis menjadi tempat klien untuk saling berbagi mengenai
hemodialisis yang dialaminya. Klien sempat mengalami kejenuhan dalam
melakukan hemodialisis, hal ini dibuktikan dengan klien pernah
melakukan hemodialisis hanya 1 kali seminggu dikarenakan merasa
tubuhnya baik-baik saja.

G. Activity Daily Living


No Aktivitas Sebelum Hemodialisis Setelah Hemodialisis
1 Pola Nutrisi
a. Makan
- Frekuensi 3 kali sehari 2 hari sekali
- Porsi ½ porsi ¼ porsi
- Jenis Nasi serta lauk-pauk Nasi, lauk pauk, buah-buahan
seperti melon dan semangka
- Keluhan Jika klien makan terlalu Sehari setelah hemodialisis
banyak, klien merasakan klien merasakan mualnya
mual berkurang

b. Minum
- Frekuensi Selama 24 jam klien Selama 24 jam klien
mengonsumsi sebanyak mengonsumsi sebanyak 1 Liter
600cc/hari
- Jenis Air putih Air putih
- Keluhan - -
2 Eliminasi
a. BAK
- Frekuensi 5x/ hari 5x/ hari
- Warna Kuning, jernih Kuning, jernih
- Keluhan Jumlah urine yang Jumlah urine yang dikeluarkan
dikeluarkan hanya sedikit sedikit ± 5 tetes.
namun tidak dirasakan nyeri
saat berkemih
b. BAB
- Frekuensi 1 kali sehari 1 kai sehari
- Konsistensi Lembek, coklat Lembek, coklat
- Keluhan Tidak ada Tidak ada
3 Personal
Hygiene
a. Mandi 2x/ hari 2x/ hari
b. Keramas 2 hari sekali 2 hari sekali
c. Sikat gigi 2x/ hari 2x/ hari
4 Pola Istirahat
a.Tidur Klien cenderung sulit untuk Klien dapat tidur dengan lelap
malam tidur karena rasa tidak dan cenderung lebih lama
nyaman yang dialami klien dibandingkan hari biasanya.

b. Tidur siang Klien tidak tidur siang Klien tidak tidur siang
5 Aktivitas Klien masih dapat melakukan Klien dapat melakukan
Sehari-hari aktivitas sehari-hari dalam aktivitas sehari-hari dan
melakukan pekerjaan sebagai melakukan pekerjaan.
buruh namun terbatas dalam
melakukannya. Klien
mengatakan klien sudah tidak
dapat lagi melakukan
olahraga lagi saat ini.

H. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Klien memiliki kesadaran compos mentis. Klien mampu menjawab
pertanyaan perawat dengan baik dan jelas. Saat dikaji, klien dapat
melakukan pergerakan bagian tubuh saat diminta oleh perawat untuk
digerakkan. GCS klien 15 dengan E4V5M6.

2. Sistem Respirasi dan Oksigenasi


Nafas klien regular, pengembangan dada terlihat simetris, pernafasan
cuping hidung (-), tidak terdapat penggunaan otot bantu nafas,
bentuk dada simetris, bentuk thoraks lurus serta suara nafas
vesikuler.

3. Sistem Kardiovaskuler
Konjungtiva anemis (+),CRT < 3 detik, dan akral hangat. Aukultasi
bunyi jantung S1 dan S2 reguler, S3 (-), S4 (-), murmur (-).

4. Sistem Gastrointestinal
Sklera berwarna putih, mulut bersih, mukosa bibir dan lidah tidak
pucat, tidak ada lesi di sekitar mulut. Bentuk abdomen datar. di
Bising usus 8 kali/ menit.

5. Sistem Muskuloskeletal
Tidak terdapat deformitas ataupun fraktur pada kedua ekstermitas
atas dan bawah klien. Klien tidak mengalami nyeri di area
ekstremitas atas dan bawahPasien tidak mengalami nyeri pada
seluruh ekstermitas atas dan bawah. Kekuatan otot pasien 5/5
5 5
5 5

6. Sistem Integumen
Klien memiliki warna kulit coklat sawo matang, terdapat bekas luka
operasi nephrolithiasis pada kuadran 4 abdomen. tidak terdapat lesi
dan benjolan pada seluruh bagian tubuh. Kebersihan kulit klien baik,
kulit lembab dan tidak bersisik. Tidak terdapat edema pada seluruh
bagian tubuh pasien.

7. Sistem Urogenital
Tidak ada nyeri yang dirasakan saat klien berkemih. Tidak ada nyeri
tekan pada bladder. Terdapat bekas operasi pengangkatan
nephrolithiasis

RESUME PRE-HEMODIALISA

I. Pengkajian
A. Waktu Pengkajian
Jumat, 15 November 2019 pukul 09.10 WIB
B. Keadaan Umum Pasien
GCS : E4 V5 M6
Kesadaran : Compos mentis
C. Tanda-Tanda Vital
- TD : 130/80 mmHg
- HR : 86x/ menit
- RR : 18x/ menit
- Suhu : 36,7˚C
D. BB Kering
BB kering klien : 57,5 kg
E. BB Basah
BB basah klien : 59 kg
F. BB Sebelum
BB sebelum : 56 kg
G. IDWG
𝐵𝐵 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝐵𝐵 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
IDWG : x 100%
𝐵𝐵 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
59−57,5
= 𝑥 100% = 2% (IDWG ringan)
57,5
H. Warna Kulit
Kulit berwarna sawo matang, tidak terdapat lesi, tidak bersisik dan kering
I. Edema
Tidak terdapat edema pada seluruh anggota tubuh klien
J. Riwayat Dialisis
- HD pertama kali : Juli 2019
- Mulai rutin HD : Juli 2019
- Frekuensi HD : 2 kali seminggu
- Jadwal HD : Selasa dan Jumat
- Tujuan HD : Terapi pengganti fungsi ginjal, membuang sisa
cairan dan limbah dalam tubuh
RESUME INTRA HEMODIALISA

I. Persiapan Hemodialisa
Type Dialize : Niprol Surdial 55 Plus (Elisio-15 H)
Reuse ke : R1,R2,R3,R4,R5,56
Lama Dialisis : 4 jam
Conductivity : 14
Suhu Mesin : 37oC
Aliran Dialisat : 500 mL/ min
Antikoaugulan : Heparine 5mL/ jam
Inisiasi : 3000 U
Kontinyu : 1000 U/ jam
Jenis Acces : Avsan fistula
Ukuran Jarum Fistula : 16 G
UF Goal : 1,5 L
UF Rate : 0,5 L/ jam

II. Data Fokus


1. Data Subjektif
Klien mengatakan tubuhnya masih terasa lemas namun sudah nyaman dan
rileks.
2. Data Objektif
Kesadaran klien compos mentis
GCS E4V5M6
TD: 130/90 mmHg
HR: 80x/menit
RR: 20x/menit
T : 36,6oC
III. Monitoring Selama Hemodialisis
Jam Qb Qd TD Nadi Suhu RR UF UF
(ml/mnt) (ml/mnt) (mmHg) (x/mnt) (˚C) (x/mnt) Removed Left
(L/h) (mnt)
08.00 220 500 130/90 86 36,7˚C 20 0,35 3:58
09.00 220 500 130/90 80 36,7˚C 21 0,61 2:58
10.00 220 500 130/80 86 36,6˚C 18 1,08 1:58
11.54 150 500 130/80 82 36,5˚C 18 1,56 0:54
RESUME POST HEMODIALISA

Waktu Pengkajian : 15 November 2019, pukul 11.54


Jadwal HD Selanjutnya : 19 November 2019

I. Data Fokus
a. Pasien Data Subjektif
Klien merasa sedikit pusing
b. Data Objektif
Kesadaran : Compos Mentis
GCS :E4V5M6
TTV : TD: 130/90 mmHg, HR 82x/mnt, RR 18x/mnt, S 36,5˚C
BB Sebelum : 59 kg
BB Sesudah : 57 kg
c. Lama Dialisis
4 jam, dimulai pukul 08.00 WIB dan selesai pukul 12.00 WIB
d. Ultra Filtrasi
1500 liter, Qb 150 mL/menit
e. Pemberian Heparine
Kontinyu bolus 1000 IU, dosis maintenance 1000 IU/ jam
f. Jenis Dializer
Nipro LDPS/15 (Elisio-15H)
g. Jenis Dialisat
Bicarbonate
h. Jenis akses vaskuler
AV Fistula
i. Tidak terdapat tindakan tambahan atau pengobatan selama
hemodialisis
II. ANALISA DATA
Diagnosa
Analisa Data Etiologi
Keperawatan
- Data Subjektif : Hipertensi Kelebihan volume cairan berhubungan
Klien mengatakan jika minum terlalu dengan penurunan fungsi ginjal
banyak, tubuh pasien terasa tidak Vasokontriksi pembuhluh darah
nyaman dan mengalami Suplai darah ke ginjal menurun
pembengkakan.
- Data Objektif : Penurunan fungsi ginjal untuk melakukan
- BB pre HD : 59 kg filtrasi
- BB kering : 57,5kg
Mekanisme regulasi cairan dan elektrolit
terganggu

Retensi Natrium

Volume intertisial meningkat

Edema

Kelebihan volume cairan


III. PERENCANAAN KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. C Nama Mahasiswa : Nancy Veronica


Medrek :- Ruangan : Hemodialisa
PERENCANAAN
Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
Kelebihan Volume Cairan Setelah dilakukan 1.Timbang berat badan 1. Mengetahui tingkat
intervensi keperawatan klien sesuai dengan keberhasilan tindakan
1x4 jam, diharapkan waktu sebelum dan hemodialisis melalui
masalah keperawatan sesudah hemodialysis pengukuran BB yang
kelebihan volume cairan 2.Monitoring TTV klien dilakukan pada klien
dapat teratasi dengan pre, intra, dan post 2. Saat pre hemodialisa,
kriteria hasil: BB post HD hemodialisis TTV dilakukan untuk
sesuai dengan BB kering. 3.Melakukan monitor mengetahui kondisi
tanda-tanda kelebihan umum pasien dan
cairan seperti edema, menentukan kecepatan
acites, dan peningkatan blood pump pada saat
vena jugularis. proses hemodialisa.
4.Ajarkan teknik relaksasi Saat intra dialisis,
nafas dalam ketika darah akan ditarik
dilakukan insersi dan keluar sehingga
PERENCANAAN
Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
pelepasan AV fistula beresiko untuk
5.Kolaborasi dialisis mengalami syok
sesuai kebutuhan hipovolemik.
6.Tinggikan kepala tempat Sementara post-HD
tidur untuk memperbaiki dilakukan pemeriksaan
ventilasi sesuai dengan TTV untuk mengetahui
kebutuhan klien kondisi umum klien
dan mengantisipasi
komplikasi yang
mungkin terjadi.
3. Penurunan nilai GFR
pada CKD
mengakibatkan
kerusakan fungsi
ginjal, dan
menyebabkan
terjadinya retensi
natrium dan air,
sehingga menyebabkan
PERENCANAAN
Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
terjadi penumpukan
cairan pada ekstra sel
dan menyebabkan
edema.
4. Tarik nafas dalam
dapat meningkatkan
ventilasi sehingga
oksigen yang masuk ke
dalam tubuh
meningkat, selain itu
tarik nafas dalam dapat
menjadi distraksi untuk
mengurangi nyeri yang
dirasakan
5. Dialisis berfungsi
untuk menggantikan
fungsi ginjal yang
melakukan filtrasi
untuk membuang zat-
PERENCANAAN
Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
zat toksik di dalam
tubuh.
6. Posisi semifowler dapat
meningkatkan
kenyamanan klien saat
dialisis berlangsung,
dan mengurangi risiko
cairan masuk ke dalam
rongga paru.

IV. CATATAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. C Nama Mahasiswa : Nancy Veronica


No RM :- Ruangan : Hemodialisa

Masalah Tgl/ Jam Implementasi Respon Paraf


Keperawatan
Kelebihan volume 11/9/2019 Perkenalan, membina hubungan Klien kooperatif, mampu Nancy
cairan 08.00 saling percaya dengan klien menjawab pertanyaan
dengan baik.
08.30 Melakukan pemeriksaan TTV pre- -TTV klien: Nancy
HD, tanda-tanda kelebihan volume TD (130/90 mmHg)
cairan (edema dan asites), HR (80x/mnt)
Menanyakan BB saat ini dan BB RR (20x/mnt)
kering klien T (36,5˚C)
-BB klien saat ini 59 kg dan
BB kering pasien 57,5 kg
-Tidak terdapat edema
ataupun asites pada seluruh
tubuh pasien
08.45 Mengajarkan klien teknik relaksasi Klien mampu melakukan Nancy
nafas dalam saat dilakukan tarik nafas dalam yang telah
penusukan AV Vistula diajarkan dengan baik dan
benar.
09.00 Melakukan kolaborasi dialisis Klien mengikuti Nancy
sesuai kebutuhan hemodialisis dengan baik
dan tidak ada hambatan
apapun
10.00 Memonitoring TTV saat intra-HD Klien mengatakan tubuhnya Nancy
terasa lebih nyaman
-TTV :
TD 130/80
HR 86x/mnt
RR 18x/mnt
Suhu 36,6˚C
11.54 Melakukan pemeriksaan TTV post -Klien mengatakan merasa Nancy
HD pusing
-TD 130/80 mmHg
HR 86x/mnt
RR 18x/mnt
Suhu 36,6˚C
12.00 Memotivasi klien untuk melakukan -Klien melakukan teknik Nancy
teknik relaksasi nafas dalam saat relaksasi nafas dalam
dilakukan pelepasan AV fistula dengan baik dan benar.

12.05 Monitrong BB klien setelah BB klien 57,5 kg setelah Nancy


dilakukan hemodialisis dilakukan hemodialisis
V. CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : Tn. C Nama Mahasiswa : Nancy Veronica
No Medrek :- Ruangan : Hemodialisa

No
Tgl / Jam SOAP Paraf
Diagnosa
S : Pasien mengatakan merasa pusing
O:
-TD : 130/80 mmHg
- HR 86x/mnt
15 November -RR 18x/mnt
1 2019 -Suhu 36,6˚C Nancy
08.00 – 12.10 -BB post HD menurun sesuai dengan BB kering yaitu 57,5 kg
A : Kelebihan volume cairan teratasi sebagian
P : Lakukan dialisis kembali sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, M., Wilfrid, M., & Siswadi, Y. (2009). Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
Centers for Disease Control. (2017). National Chronic Kidney Disease Fact Sheet , 2017 CKD Is
Common Among Adults in the United States by controlling your blood. Retrieved from
https://www.cdc.gov/kidneydisease/pdf/kidney_factsheet.pdf
Dipa. (2019). Gagal ginjal Kronik. Retrieved from
http://www.dipa.co.id/images/article/news/newarticle/GagalginjalKronik.pdf
Fauzi, A., Manza, M., Putra, A., Ortopedi, B., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2016).
Nefrolitiasis, 5(April), 69–73.
Fikriani, H., & Wardhana, Y. W. (2018). Review Artikel Alternatif Pengobatan Batu Ginjal
dengan Seledri. Farmaka, 16, 531–539.
Himmelfarb, J., & Ikizler, T. A. (2014). Hemodialysis. The New England Journal of Medicine,
(November 2010). https://doi.org/10.1056/NEJMra0902710
Hutagaol, E. V. (2017). Peningkatan Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang
Menjalani Terapi Hemodialisa Melalu Psychlogical Intervention di Unit Hemodialisa RS
Royal Prima Medan Tahun 2016. JUMANTIK, 2.
Kazanciog, R. (2013). Risk factors for chronic kidney disease : an update.
https://doi.org/10.1038/kisup.2013.79
Krisna, D. N. (2011). Faktor Risiko Penyakit Batu Ginjal. Kesehatan Masyarakat, 7(1), 51–62.
National Kidney Foundation, 2016. About Chronic Kidney Disease: A Guide for Patients and
Their Families. In New York: National Kidney Foundation, Inc
Robbins, S., Kumar, V., & Cotran, R. (2007). Ginjal dan Sistem Penyalurnya Dalam: Robbins
Buku Ajar Patologi Edisi ke-7. New York: Elsevier.
Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: I Setia S, Alwi I, Sudoyo AW,Simadibrata M, Setyohadi
B, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2014. p. 2161-67.
Thomas, R., Kanso, A., & Sedor, J. (2009). Chronic Kidney Disease and Its Complications (Vol.
35). Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2474786/pdf/nihms54692.pdf
Vadakedath, S., & Kandi, V. (2017). Dialysis : A Review of the Mechanisms Underlying
Complications in the Management of Chronic Renal Failure, 9(8).
https://doi.org/10.7759/cureus.1603
Verdiansah. (2016). Pemeriksaan Fungsi Ginjal, 43(2), 148–154.

Anda mungkin juga menyukai