Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Chronic Kidney Disease

1. Pengertian Chronic Kidney Disease

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama

sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga

keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium di

dalam darah atau produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang secara

perlahan ke arah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi

mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Gagal ginjal kronik atau penyakit

renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan

irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia

(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronik

(chronic renal failure) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu

mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup,

dimana kelangsungan pada kedua ginjal ini ireversibel (Brunner &

Suddarth, 2016).

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of

the National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan

gagal ginjal kronik sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR

12
nya kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama tiga bulan atau lebih. Dimana

yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa ginjal dengan sklerosa yang

irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu kemunduran nilai dari

GFR. Tahapan penyakit gagal ginjal kronik berlangsung secara terus-

menerus dari waktu ke waktu. The Kidney Disease Outcomes Quality

Initiative (K/DOQI) mengklasifikasikan gagal ginjal kronis sebagai berikut:

Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 mL/min/1,73 m2)

Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 mL/min/1,73 m2)

Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 mL/min/1,73 m2)

Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1,73 m2)

Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR < 15 mL/min/1,73 m2)

Pada gagal ginjal kronik tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda

kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang

abnormal (Suwitra, 2016).

2. Etiologi Chronic Kidney Disease

Angka perjalanan ESRD hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2-3

bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering

dapat dibagi menjadi tujuh kelas seperti pada tabel berikut ini (Brunner &

Suddarth, 2016).

Tabel 2.1 Etiologi Gagal Ginjal Kronik

No Kalsifikasi Penyakit Penyakit

1 Penyakit infeksi Pielonefritis kronik dan refluks

tubulointerstitial nefropati

13
2 Penyakit Peradangan Glomerulonefritis

3 Penyakit vaskuler Nefrosklerosis benign,

hipertensi Nefrosklerosis maligna dan

stenosis arteri renalis

4 Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik dan

herediter asidosis tumulus ginjal

5 Penyakit metabolic Diabetes mellitus, gout,

hiperparatiroidisme dan

amiloidosis

6 Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic dan

nefropati timah

7 Nefropati obstruktif Batu, neoplasma, fibrosis

retroperitoneal, hipertropi

prostat, struktur urethra.

Diabetes mellitus dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi

gagal ginjal tahap akhir yang paling besar, terhitung secara berturut-turut

sebesar 34 % dan 21 % dari total kasus. Glomerulonefritis adalah penyebab

ESRD tersering yang ketiga (17 %). Infeksi nefritis tubulointerstitial

(Pielonefritis kronik dan refluks nefropati) dan penyakit gagal ginjal

polikistik masing-masing terhitung sebanyak 3,4 & dari ESRD. Dua puluh

satu persen penyebab ESRD sisanya relatif tidak sering terjadi yaitu uropati

obstruktif, lupus eritematosis sistemik (Sylvia & Lorraine, 2015).

14
3. Patofisioligi Chronic Kidney Disease

Hampir 1 juta unit nefron ada pada setiap ginjal yang menyumbang

kepada jumlah akhir laju filtrasi glomerulus (LFG). Tanpa mengambil kira

penyebab kerusakan jaringan ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal

mempunyai keupayaan untuk terus mempertahankan LFG menerusi

hiperfiltrasi dan mekanisme kompensasi kerja yaitu hipertrofi pada nefron

yang masih berfungsi. Keupayaan ginjal ini dapat meneruskan fungsi

normal ginjal untuk mensekresi bahan buangan seperti urea dan kreatinin

sehingga bahan tersebut meningkat dalam plasma darah hanya setelah

LFG menurun pada tahap 50% dari yang normal. Kadar kretinin

plasma akan mengganda pada penurunan LFG 50%. Walaupun kadar

normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia menunjukkan

penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50% (Suwitra, 2016).

Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi

dan hipertrofi, walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan

kerusakan ginjal yang progresif. Ini dipercayai terjadi karena berlaku

peningkatan tekanan pada kapilari glomerulus, yang seterusnya bisa

mengakibatkan kerusakan kapilari tersebut dan menjadi faktor

predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis segmental dan fokal

(Suwitra, 2016).

Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir

metabolisme protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun

dalam darah. Ini menyebabkan uremia dan mempengaruhi setiap sistem

15
tubuh penderita. Semakin banyak timbunan produk bahan buangan,

semakin berat gejala yang terjadi. Penurunan jumlah glomerulus yang

normal menyebabkan penurunan kadar pembersihan substansi darah

yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya LFG,

ia mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin dan peningkatan kadar

kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme

protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan vomitus

yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi

fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada

neurosensori. Selain itu blood urea nitrogen (BUN) biasanya juga

meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat

dikonsentrasikan atau diencerkansecara normal sehingga terjadi

ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan

meningkatkan risikoterjadinya gagal jantung kongestif. Penderita akan

menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan asupan zat oksigen

dengan kebutuhan tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa

terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan risiko kelebihan volume

cairan dalam tubuh, sehingga perlu diperhatikan keseimbangan

cairannya. Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi

asidosismetabolik akibat ginjalmengekskresikan muatan asam (H+)

yang berlebihan. Juga terjadi penurunan produksi hormon eritropoetin

yang mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui

16
glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan

penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum

menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan

fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan

gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya

hipertensi (Sudoyo, 2015).

4. Tanda dan Gejala Chronic Kidney Disease

Menurut Sudoyo (2015), penyakit ginjal dan gagal ginjal kronis tidak

menunjukkan gejala penyakit yang jelas pada stadium awalnya. Gejala ini

bisa mencakup:

a. Darah dalam urin / urin berwarna seperti teh atau gelap (hematuria)

b. Urin berbusa (albuminuria)

c. Urin berwarna keruh (infeksi saluran kemih)

d. Rasa nyeri saat buang air kecil

e. Kesulitan untuk buang air kecil (tidak lancar)

f. Pasir/batu dalam urin

g. Peningkatan atau penurunan produksi urin secara signifikan, nokturia

(sering buang air pada malam hari)

h. Nyeri di pinggang/perut

i. Pembengkakan pergelangan kaki atau kelopak mata, wajah bengkak

j. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

Jika fungsi ginjal memburuk hingga stadium gagal ginjal berat (kurang dari

25% fungsi ginjal normal), bisa terjadi gejala uremia:

17
a. Sering buang air kecil pada malam hari, penurunan jumlah urin

b. Kehilangan nafsu makan, mual, muntah

c. Kelelahan, wajah pucat (anemia)

d. Kulit terasa gatal

e. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

f. Sesak napas

g. Edema (pembengkakan pergelangan kaki atau kelopak mata)

h. Mengantuk, tidak sadar, kejang, koma

5. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease

Menurut Sumigar, Rompas, & Pondaag, 2015, penatalaksanaan gagal ginjal

kronik adalah:

a. Kepatuhan Diet

Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan untuk mempertahankan

fungsi ginjal secara terus menerus dengan prinsip rendah protein, rendah

garam, rendah kalium dimana pasien harus meluangkan waktu menjalani

pengobatan yang dibutuhkan.

b. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal

ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi

toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan

memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

c. Terapi Pengganti Ginjal

18
Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakitginjal kronik stadium 5,

yaitu pada GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

6. Manifestasi Klinik Chronic Kidney Disease

Pada gagal ginjal kronik setiap system tubuh dipengaruhi oleh kondisi

uremia, oleh karena itu pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan

gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat

kerusakan ginjal. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal ginjal kronik

(Brunner & Suddarth, 2016):

a. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting

edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial,

serta pembesaran vena leher.

b. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat,

kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, serta

rambut tipis dan kasar.

c. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat

serta napas dangkal.

d. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia,

ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah,

konstipasi dan diare serta perdarahan dari saluran GI.

e. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,

disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak

kaki, serta perubahan perilaku.

19
f. Muskuloskeletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot

hilang, fraktur tulang serta foot drop

g. Reproduktif yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.

7. Komplikasi Chronic Kidney Disease

Menurut Sudoyo (2015), gagal ginjal kronis memengaruhi hampir semua

bagian dari tubuh manusia. Komplikasi utama meliputi:

a. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

b. Anemia

c. Penyakit kardiovaskular

d. Penyakit dan patah tulang

8. Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease

Menurut Smeltzer (2013), pada pasien Gagal Ginjal Kronik di lakukan

pemeriksaan, yaitu :

a. Kreatinin plasma meningkat, karena penurunan laju filtrasi glomerulus.

b. Natrium serum rendah / normal.

c. Kalium dan fosfat meningkat.

d. Hematokrit menurun pada animia Hb : biasanya kurang dari 7-8 gr/dl.

e. GDA : PH : penurunan asidosis matabolik (kurang dari 7,2).

f. USG ginjal.

g. Pielogram retrograde.

h. Arteriogram ginjal.

i. Sistouretrogram.

j. EKG.

20
k. Foto rontgen.

l. SDM waktu hidup menurun pada defisiensi eritopoetin.

m. Urine

(1) Volume : oliguria, anuria

(2) Warna : keruh.

(3) Sedimen : kotor, kecoklatan.

(4) BD : kurang dari 1,0125.

Klerin kreatinin menurun.

(5) Natrium : lebih besar atau sama dengan 40 m Eq/L.

(6) Protein : proteinuria

B. Tinjauan Umum Tentang Hemodialisa

1. Pengertian Hemodialisa

Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel.

Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses

ini disebut dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui

membran semi permiabel. Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi

sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau

racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,

hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi

permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan

dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi (Brunner & Sudarth,

2016).

21
Tujuan dari hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang

toksik dari dalam darah pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan

dan kemudian dikembalikan ke tubuh pasien. Bagi penderita gagal ginjal

kronik, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian,

hemodialisa tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan penyakit

ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau

endokrin yang dilaksanan ginjal (Hermawan, 2016).

2. Prinsip-Prinsip Hemodialisa

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi,

osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan

melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki

kosentrasi tinggi, ke cairan dialisat ke kosentrasi yang lebih rendah. Air

yang berkelebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.

Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan.

Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang

dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis. Karena pasien tidak dapat

mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan

hingga tercapai isovelemia (keseimbangan cairan). Sistem dapar (buffer

sisite) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi

dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme

untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian

dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena (Brunner &

Suddarth, 2016).

22
3. Komplikasi Hemodialisa

Masalah-masalah yang mungkin timbul pada saat klien menjalani

hemodialisa (Hermawan, 2016), yaitu:

a. Hipotensi biasanya terjadi selama perawatan ketika cairan dipindahkan.

Mual dan muntah, diaphoresis (berkeringat), takhikardi (nadi cepat), dan

pusing merupakan tanda dan gejala hipotensi.

b. Nyeri otot tiba-tiba, biasanya terjadi karena keterlambatan cairan dialysis

dan elektrolit dapat dngan cepat hilang pada CES.

c. Disrithmia disebabkan oleh pertukaran elektrolit dan pH atau dari

perpindahan anti airhythmic selama pengobatan dialysis.

d. Emboli udara biasnaya jarang tetapi biasanya terdapat jika udara masuk

ke saluran pembuluh darah pasien.

e. Nyeri dada yang disebabkan oleh anemia atau pasien dengan penyakit

arteriosklerosis hati.

C. Tinjauan Umum Tantang Fungsi Kognitif

1. Pengertian Fungsi Kognitif

Menurut Kamus Kedokteran Dorland fungsi kognitif adalah proses

pekerjaan pikiran yang bertujuan agar individu bersikap waspada akan objek

pikiran atau persepsi. Kognisi juga mengacu pada suatu lingkup fungsi otak

tingkat tinggi, termasuk kemampuan belajar, mengingat, mengatur,

membuat rencana, memecahkan masalah, fokus, memelihara, mengalihkan

23
perhatian seperlunya, memahami, menggunakan bahasa, akurat dalam

memahami lingkungan, dan melakukan perhitungan (Hailpern et al, 2017).

2. Klasifikasi Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif terdiri dari (Hailpern et al, 2017):

a. Fungsi kognitif yang terdistribusi

Fungsi yang terdistribusi adalah fungsi yang tidak terlokalisasi

pada regio otak tertentu, namun membutuhkan aksi dari berbagai bagian

pada kedua sisi otak, seperti:

1) Atensi dan konsentrasi

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan

susatu stimulus tertentu, dengan mampu mengabaikan stimulus yang

lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hubungan antara

batang otak, aktivitas limbik, dan aktivitas korteks sehingga mampu

untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain

yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk

mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan

atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain

seperti memori, bahasa, dan fungsi eksekutif.

2) Memori

Fungsi memori terdiri atas penerimaan dan penyandian informasi,

proses penyimpanan, serta proses mengingat. Semua hal yang

berpengaruh ke dalam tiga proses tersebut akan mempengaruhi

kemampuan memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan

24
bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan

recall, yaitu :

a) Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara

stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya

dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).

b) Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu

beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

c) Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-

tahun bahkan seusia hidup.

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering

dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara umum merupakan efek

fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah

brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia

retrograd merujuk pada amnesia yang terjadi sebelum brain insult.

Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada

awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori

merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering

mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika

amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan

tidak dijumpai defek pada recent memory.

3) Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara

berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini di dominasi

25
oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur subkortikal yang

berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat

terganggu bila sirkuit frontal – subkortikal terputus. Fungsi eksekutif

terbagi menjadi empat komponen yaitu: volition (kemauan),

Planning (perencanaan), purpose action (bertujuan), effective

performance (pelaksanaan yang efektif).

b. Fungsi yang terlokalisir

Fungsi yang terlokalisir adalah fungsi yang tergantung dari struktur dan

fungsi normal dari suatu area tertentu pada suatu hemisfer serebri. Pada

kebanyakan individu, hemisfer serebri kiri merupakan hemisfer yang

domain untuk fungsi bahasa. Sementara untuk hemisfer nondominan,

walaupun tidak semuanya bertanggung jawab untuk keterampilan

visuospasial. Pembagian lokalisasi fungsional lobus otak :

1) Frontal

Terdiri dari fungsi intelektual yang lebih tinggi, kepribadian, mood,

konduksi sosial, perilaku, area motorik, gerakan mata konjugat, dan

bahasa.

2) Temporal

Terdiri dari memori, bahasa, dan jaras visual.

3) Parietal

Terdiri dari bahasa, kemampuan membaca, menulis, kalkulasi, fungsi

visuospasial, fungsi sensorik yang lebih tinggi, dan jaras visual.

26
4) Oksipital

Terdiri dari korteks visual dan area asosiasi visual.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif

Faktor – faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif adalah (Kosmadakis et

al, 2015)

a. Usia

Peningkatan usia dapat mempengaruhi fungsi kognitif terkait dengan

adanya perubahan pada struktur neurokimiawi dan morfologi

(degeneratif) pada keadaan lanjut usia. Suatu penelitian menunjukkan

terdapat hubungan positif antara usia dengan fungsi kognitif pada usia

tua. Dari 30 responden yang mempunyai gangguan fungsi kognitif,

terdapat 10 orang usia lanjut ( ≥ 59 tahun) dan 20 orang kelompok usia

dewasa ( 40 – 59 tahun).

b. Pendidikan

Penelitian studi menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan

dengan fungsi kognitif, karena perbedaan pengetahuan dan

pembelajaran akan mempengaruhi fungsi kognitif. Namun, keadan ini

bukan merupakan faktor utama perburukan fungsi kognitif.

c. Genetik

Penyakit genetik yang berhubungan dengan fungsi kognitif adalah

Alzeimer, Huntington, dan Sindroma Down.

d. Berbagai penyebab yang mempengaruhi perkembangan otak pada masa

prenatal dan pascanatal.

27
e. Cedera kepala

Biasanya jenis cedera kepala yang mempengaruhi gangguan fungsi

kognitif adalah cedera kepala tertutup.

f. Aktivitas fisik

Level aktivitas fisik yang tinggi dan rutin serta berterusan mempunyai

hubungan dengan tingginya skor fungsi kognitif.

g. Penyakit serebrovaskular seperti anemia dan hiperparatiroid.

h. Faktor resiko vaskular tradisional seperti tekanan darah yang tinggi,

diabetes melitus, hiperkolesterolemia, dan merokok.

i. Faktor resiko vaskular nontradisional seperti hiperhomosisteinemia,

abnormalitas hemostatik, hiperkoagulabilitas, inflamasi, dan oksidatif

stres.

j. Lama menjalani hemodialisis

Menurut penelititan sebelumnya, terdapat hubungan yang bermakna

antara lama menjalani hemodialisis yang ≥ 11 bulan dengan kualitas

hidup pasien. Kualitas hidup sangat erat dengan kemampuan kognitif

karena mempengaruhi fungsi otak dalam menjalankan fungsi berpikir,

memecahkan masalah, atensi, konsentrasi, dll.

4. Pengukuran Fungsi Kognitif

Dari beberapa pemeriksaan neuropsikologi, pemeriksaan Mini Mental State

Examination (MMSE) adalah yang paling mudah dilakukan yaitu dengan

menilai orientasi waktu, tempat, ingatan hal yang segera, memori jangka

28
pendek dan kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik,

disamping mengukur kemampuan konstruksional dan pemakaian bahasa.

Tes ini dapat dilakukan oleh dokter, perawat, atau orang awam dengan

sedikit latihan, dan membutuhkan waktu hanya sekitar 10 menit.

Reliabilitasnya untuk penderita-penderita psikiatrik dan neurologik telah

diuji oleh beberapa peneliti dengan hasil baik (Larner, 2012).

a. Orientasi

1. Waktu : Menyebutkan hari, tanggal, bulan, dan tahun.

2. Tempat : Menyebutkan negara, provinsi, kota, dan ruangan.

b. Registrasi

Mengulang kembali 3 kata yang disebutkan.

c. Atensi dan Kalkulasi

Menyebutkan serial 7s (pengurangan dengan angka tujuh secara

berurutan)

d. Recall

Menyebutkan kembali 3 kata yang telah diingat sebelumnya.

e. Bahasa

1. Menyebutkan nama benda (pensil dan jam)

2. Mengulang kembali kata dengan kata hubung “jika, tidak, dan,

tetapi”.

3. Mengulang kembali kalimat yang disampaikan.

4. Membaca dan melakukan instruksi “tutup mata kamu”.

5. Menulis kalimat lengkap

29
f. Konstruksi

Membuat gambar tiga dimensi.

Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi

gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan

kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor MMSE normal adalah 24 – 30,

gangguan ringan dengan skor 18-23, gangguan sedang dengan skor 10-17

dan gangguan berat dengan skor < 10.

D. Tinjauan Umum Tentang Aktifitas Fisik

1. Pengertian Aktifitas Fisik

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai setiap pergerakan jasmani yang

dihasilkan otot skelet yang memerlukan pengeluaran energi. Istilah ini

meliputi rentang penuh dari seluruh pergerakan tubuh manusia mulai dari

olahraga yang kompetitif dan latihan fisik sebagai hobi atau aktivitas yang

dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, inaktivitas fisik bisa

didefinisikan sebagai keadaan dimana pergerakan tubuh minimal dan

pengeluaran energi mendekati resting metabolic rates (WHO, 2015).

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktifitas Fisik

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik adalah (Kosmadakis,

2015):

a. Fatique (Kelelahan)

30
Kelelahan akibat akumulasi sampah metabolik, konsumsi energi yang

abnormal, kehilangan nafsu makan, dan distress emosional. Fatigue

meningkat seiring dengan rendahnya pendidikan, menurunnya

pendapatan, meningkatnya usia, riwayat hemodialisis lebih lama, dan

resiko gagal ginjal terminal. Suatu penelitian menunjukkan lama waktu

hemodialisis pada pasien PGK yang dapat mengganggu aktivitas fisik

adalah 12 - 57 bulan (Kosmadakis, 2015).

b. Anemia

Anemia memiliki peranan yang cukup besar dengan kejadian timbulnya

inaktivitas fisik pada pasien hemodialisis. Pada pasien dialisis dengan

anemia, memiliki nilai volume O2 maksimal 50% dibandingkan dengan

orang sehat ataupun yang seusia. Level oksigen yang rendah

menyebabkan pasien kesulitan untuk melaksanakan aktivitas harian atau

bekerja sesuai denga normal. Pasien dengan level Hb rendah berefek

negatif pada kualitas hidupnya. Pasien dengan level Hb < 11 g/dL

mengalami penurunan fungsi fisik yang menyebabkan ketebatasan

dalam melakukan rutinitas harian (Kosmadakis, 2015).

3. Klasifikasi Aktivitas Fisik

Berdasarkan tingkat intensitasnya, aktivitas fisik dibagi menjadi

aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan

yang terus menerus dilakukan minimal selama 10 menit sampai denyut nadi

dan napas meningkat lebih dari biasanya, contohnya ialah menimba air,

mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll. Sedangkan

31
aktivitas fisik sedang apabila melakukan kegiatan fisik sedang (menyapu,

mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan durasi beraktivitas

minimal 150 menit dalam satu minggu. Selain kriteria di atas maka

termasuk aktivitas fisik ringan (WHO, 2015).

4. Manfaat Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan faktor penting dalam memelihara

kesehatan yang baik secara keseluruhan. Menjadi aktif secara fisik

memiliki manfaat kesehatan yang signifikan, termasuk mengurangi resiko

berbagai penyakit kronik, membantu mengontrol berat badan dan

mengembangkan kesehatan mental. Beberapa bentuk aktivitas fisik juga

bisa membantu memanajemen kondisi jangka panjang, seperti artritis dan

diabetes tipe 2, dengan mereduksi efek dari kondisi tersebut dan

meningkatkan kualitas hidup penderitanya (Nufus, 2015).

5. Pengukuran Aktivitas Fisik

International Physical Activity Questionnare (IPAQ) (2005) di

kembangkan pertama kali di Ganeva tahun 1998 kemudian terus diujikan

validitas dan reabilitas mencakup 12 negara pada 6 benua hingga tahun

2002. IPAQ mengukur berbagai aktivitas mencakup:

a. Aktivitas di waktu luang.

b. Aktivitas pekerjaan rumah.

c. Aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan.

d. Aktivitas yang berhubungan dengan transportasi.

IPAQ terdiri atas IPAQ short forms dan IPAQ long forms. IPAQ short forms

32
adalah instrumen yang terutama di desain untuk mengukur aktivitas pada

orang dewasa untuk usia diatas 15 tahun. IPAQ short forms berisi tentang 3

aktivitas fisik yaitu aktivitas berjalan, aktivitas dengan intensitas sedang,

aktivitas dengan intensitas tinggi. Aktivitas fisik yang dimaksud dalam

kuesioner ini adalah yang dilakukan minimal 10 menit dalam 1 kali

kegiatan. IPAQ long forms mencakup 4 domain yang diukur yaitu aktivitas

di waktu luang, aktivitas pekerjaan rumah, aktivitas yang berhubungan

dengan pekerjaan, dan aktivitas yang berhubungan dengan transportasi.

Kemudian total aktivitas fisik tersebut disesuaikan dengan kategori di

bawah ini :

a. Ringan

Merupakan level terendah dalam aktivitas fisik. Seseorang yang

termasuk dalam kategori ini adalah apabila tidak melakukan aktivitas

fisik apapun atau tidak memenuhi kriteria aktivitas fisik sedang – berat.

b. Sedang

Dikatakan termasuk dalam aktivitas fisik sedang jika:

1) Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas berat minimal 20 menit

selama 3 hari atau lebih.

2) Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama 5 hari dan

atau berjalan minimal 30 menit setiap hari.

3) Atau kombinasi berjalan, aktivitas fisik dengan intensitas sedang

atau berat selama 5 hari atau lebih yang menghasilkan total aktivitas

fisik minimal 600 MET – menit/minggu.

33
c. Berat

Dikatakan termasuk aktivitas fisik berat jika:

1) Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas berat selama 3 hari atau

lebih yang menghasilkan total aktivitas fisik minimal sebanyak 1500

MET – menit/minggu.

2) Melakukan kominasi berjalan, aktivitas fisik dengan intensitas keras

atau kuat selama 7 hari atau lebih yang menghasilkan total aktivitas

fisik sebanyak 3000 MET – menit/minggu.

E. Tinjauan Umum Tentang Lama Hemodialisa

Seseorang yang menderita gagal ginjal kronis tahap akhir harus

menjalani terapi pengganti ginjal seumur hidup, dan salah satunya adalah

dengan hemodialisa. Dalam pengobatan yang memerlukan jangka waktu

panjang akan memberikan pengaruh-pengaruh bagi penderita seperti tekanan

psikologi. Menyatakan bahwa pasien gagal ginjal kronik yang telah lama

menjalani hemodialisa cenderung memiliki tingkat cemas yang lebih rendah

dibandingkan dengan pasien yang baru menjalani hemodialisis. Pasien yang

sudah lama menjalani hemodialisis kemungkinan sudah dalam fase penerimaan

(Yesi, 2017).

KDOQI merekomendasikan bahwa pasien dengan residual kidney

function rendah (kurang dari 2 ml/menit) menjalani hemodialisistiga kali

seminggu dengan durasi 3 jam setiap kali hemodialisis (Yesi, 2017).

34
Yesi (2017) membagi lama terapi henodialisis menjadi 2 yaitu, kurang

dari 12 bulan dan lebih dari 12 bulan. Pasien yang menjalani hemodialisis

selama lebih dari 10 tahunkemudian melakukan transplantasi ginjal memiliki

outcome yang lebihburuk dibandingkan dengan pasien yang melakukan

transplantasi ginjal yang sebelumnya melakukan terapi hemodialisis dalam

waktu yang lebih singkat.

F. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar di

bawah ini:

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Aktivitas Fisik
Fungsi
Lama Hemodialisa Kognitif

Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Hubungan

G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu asumsi tentang hubungan dua atau lebih variabel

yang diharapkan dapat memberikan jawaban sementara atas suatu pertanyaan

35
dalam suatu penelitian (Nursalam, 2012). Berdasarkan kerangka konsep

penelitian diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ha :Ada hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kongnitif pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr. M. Haulussy

Ambon.

H0 : Tidak ada hubungan hubungan aktivitas fisik dengan fumgsi

kongnitif pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD

dr. M. Haulussy Ambon.

2. Ha : Ada hubungan Lama Hemodialisa dengan fungsi kongnitif pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr. M. Haulussy

Ambon.

H0 : Tidak ada hubungan Lama Hemodialisa dengan fungsi kongnitif

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr. M.

Haulussy Ambon.

36

Anda mungkin juga menyukai