Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN TERAPI


PENGOBATANNYA DI RUANGAN DIALISIS RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Oleh:

SISKA RAHMAWATI
NIM 1114901230406

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES DARUL AZHAR BATULICIN
TAHUN 2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

Malang, Februari 2024

Disusun Oleh :

SISKA RAHMAWATI
NIM 1114901230406

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )
A. Konsep Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi Gagal Ginjal Kronik
Penyakit Gagal Ginjal Kronik merupakan sebuah penurunan fungsi
ginjal dalam jangka waktu menahun yang menyebabkan kerusakan
jaringan yang progresif. Tahap terakhir dari gagal ginjal kronik yaitu gagal
ginjal terminal yang merupakan keadaan fungsi ginjal sudah sangat buruk.
Tes klirens keatinin dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan dari
gagal ginjal kronik dengan gagal ginjal terminal (Divanda et al., 2019).
Gagal ginjal kronik adalah suatu kerusakan fungsi ginjal progresif
sehingga menyebabkan terjadinya uremia atau biasa disebut dengan
kelebihan urea dalam darah. Gagal ginjal kronik merupakan terjadinya
penurunan fungsi ginjal dalam jangka waktu menahun yang menyebabkan
tubuh gagal menjaga keseimbangan metabolisme dan cairan elektrolit.
Penyakit gagal ginjal kronik tahap akhir ditandai dengan penurunan
keadaan fungsi ginjal irreversible dan pada suatu derajat diperlukan
tindakan transpaltasi ginjal (Rahayu, 2018).
Fungsi ginjal akan bermasalah jika ginjal tidak berfungsi dengan baik.
Hasil dari sisa metabolisme akan menumpuk pada tubuh dan akan berubah
menjadi racun. Pada pasien penderita gagal ginjal kronik pada saat
dilakukan pemeriksaan akan ditemukan ureum darah dan kreatinin
mengalami peningkatan. Ureum pada darah merupakan hasil dari proses
penguraian protein yang mengandung nitrogen dan dapat berubah menjadi
respons dalam pemecahan protein (Arjani, 2017).
b. Etiologi
Gagal ginjal kronik banyak disebabkan oleh nefropati DM, penyakit
ginjal herediter, nefritis interstital, uropati obstruksi, glomerulus nefritis,
dan hipertensi. Sedangkan kejadian gagal ginjal kronik di Indonesia
banyak disebabkan karena infeksi yang terdapat pada saluran kemih, batu
pada saluran kencing, nefropati diabetic, nefroskelosis hipertensi, dan lain
sebagainya (Divanda et al., 2019). Penyakit gagal ginjal kronik terbesar
disebabkan oleh faktor penyakit ginjal hipertensi dengan jumlah presentase
37%. Gagal ginjal kronik dengan etiologi hipertensi disebabkan karena
kerusakan pada pembuluh darah yang terdapat pada ginjal sehingga
menghambat ginjal dalam memfiltrasi darah dengan baik. Kejadian
peningkatan jumlah pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis,
dengan jumlah pasien hemodialisis per minggu sebanyak 3.666 (Hidayah,
2018).
Sedangkan faktor utama penyebab anemia terhadap pasien yang
sedang menjalani terapi hemodialis yaitu defisiensi dari eritropoetin.
Kehilangan darah yang cukup banyak yang digunakan untuk pemeriksaan
laboratorium beserta darah merupakan bagian dari penyebab dari
terjadinya anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Anemia pada
pasien dengan penyakit tersebut juga dapat disebabkan akibat dari
kurangnya jumlah zat besi juga pada asupan makanan. Untuk itu terapi
pemberian suplemen zat besi juga perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya kekurangan zat besi (Arjani, 2017).
c. Patofisiologi
Penyakit gagal ginjal kronis awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Mula - mula karena adanya zat toksik, infeksi dan
obtruksi saluran kemih yang menyebabkan retensi urine atau sulit
mengeluarkan urin. Dari penyebab tersebut, Glomerular Filtration Rate
(GFR) di seluruh nefron turun dibawah normal. Hal yang dapat terjadi dari
menurunnya GFR meliputi : sekresi protein terganggu, retensi Na /
kelebihan garam dan sekresi eritropoitin turun. Hal ini mengakibatkan
terjadinya sindrom uremia yang diikuti oleh peningkatan asam lambung
dan pruritis.
Asam lambung yang meningkat akan merangsang mual, dapat juga
terjadi iritasi pada lambung dan perdarahan jika iritasi tersebut tidak
ditangani dapat menyebabkan melena atau feses berwarna hitam. Proses
retensi Na menyebabkan total cairan ektra seluler meningkat, kemudian
terjadilah edema. Edema tersebut menyebabkan beban jantung naik
sehingga terjadilah hipertrofi atau pembesaran ventrikel kiri dan curah
jantung menurun.
Proses hipertrofi tersebut diikuti juga dengan menurunnya aliran darah
ke ginjal, kemudian terjadilah retensi Na dan H2O atau air meningkat. Hal
ini menyebabkan kelebihan volume cairan pada pasien GGK. Selain itu
menurunnya cardiak output atau curah jantung juga dapat mengakibatkan
kehilangan kesadaran karena jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen di otak sehingga menyebabkan kematian sel. Hipertrofi ventrikel
akan mengakibatkan difusi atau perpindahan O2 dan CO2 terhambat
sehingga pasien merasakan sesak. Adapun Hemoglobin yang menurun
akan mengakibatkan suplai O2 Hb turun dan pasien GGK akan mengalami
kelemahan atau gangguan perfusi jaringan (Nurarif, 2015).
d. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik menurut (Rao, 2018) adalah sebagai
berikut :
1) Sistem kardiovaskuler : Manifestasi klinis pada sistem kardiovaskuler
antara lain hipertensi, gagal jantung kongestif, dan pembesaran pada
vena jugularis akibat dari cairan yang berlebihan.
2) Pulmoner ditandai dengan adanya krekels, sputum kental, serta napas
dangkal.
3) Gejala dermatologi seperti gatal – gatal pada kulit yang disebabkan
adanya penyumbatan kristal ureum di area kulit bagian bawah, kulit
kering dan bersisik, kulit bewarna abu – abu mengkilat, rambut tipis
dan mudah rapuh.
4) Gejala gastrointensial seperti anoreksia, mual, muntah, cegukan, indra
penciuman menurun, konstipasi serta diare.
5) Gejala neurologi seperti kelemahan, tingkat kesadaran menurun, kejang,
susah untuk berkonsentrasi.
6) Salah satu gejala dari musculoskeletal seperti kram pada otot, otot
mengalami penurunan kekuatan, patah tulang serta tekanan pada kaki.
7) Gejala reproduksi seperti amenor serta atrofi testikuler.
Sedangkan faktor utama penyebab anemia terhadap pasien yang
sedang menjalani terapi hemodialisis yaitu defisiensi dari eritropoetin.
Kehilangan darah yang cukup banyak yang digunakan untuk pemeriksaan
laboratorium beserta retensi darah merupakan bagian dari penyebab dari
terjadinya anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik.
e. Klasifikasi
Menurut (Indri, 2020) klasifikasi Gagal ginjal kronis dibagi dalam 3
stadium, antara lain:
1) Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal.
Selama stadium ini keatinin serum yaitu molekul limbah kimia
hasil metabolisme otot dan kadar BUN atau Blood Urea Nitrogen
normal, dan penderita asimtomatik tau pasien tidak merasakan gejala
penyakit. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes
pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
2) Stadium II, dinamakan infufisiensi ginjal:
 Pada stadium ini, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi
telah rusak.
 GFR besarnya 25% dari normal.
 Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal.
 Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di malam hari sampai
700 ml dan poliuria atau sering berkemih dari hari biasanya (akibat
dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
3) Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia:
 Sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya
sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh.
 Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal.
 Kreatinin serum dan BUN atau Blood Urea Nitrogen akan
meningkat dengan mencolok.
Tabel 1.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (Indri, 2020):

f. Renal Replacement Therapy (RRT)


1) Indikasi
Renal replacement therapy (RRT) diindikasikan ketika akumulasi
produk-produk buangan dari ginjal sudah mengganggu fungsi
kehidupan atau ketika perubahan-perubahan yang timbul akibat tidak
berfungsinya ginjal tidak dapat lagi dikontrol dengan diet atau obat-
obatan. Penurunan fungsi ginjal yang progresif menuju ke gagal ginjal
terminal atau end stage renal disease (ESRD) disebut sebagai chronic
kidney disease (CKD). Perawatan yang tepat ditujukan untuk
memperlambat progresifitas CKD, yaitu dengan mengontrol faktor-
faktor yang diketahui berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas dari
gagal ginjal, dan persiapan yang tepat untuk memulai RRT sejak pasien
diketahui menderita CKD.
2) Jenis RRT
Ada beberapa jenis RRT, yaitu hemodialisis, peritoneal dialisis,
dan transplantasi ginjal. Dari beberapa pilihan terapi tersebut,
transplantasi ginjal berhasil meningkatkan kualitas hidup yang tertinggi.
Hal ini karena tehnik dialisis hanya menggantikan 10 sampai 15% dari
fungsi ginjal normal pada tingkat small-solute removal dan kurang
efisien pada pembuangan solute yang lebih besar. Pilihan terapi yang
tersedia untuk pasien gagal ginjal tergantung pada onsetnya, akut atau
kronik. Pada gagal ginjal kronik atau ESRD pilihan terapi meliputi
hemodialisis, peritoneal dialisis seperti Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD), Intermitten Peritoneal Dialysis (IPD), dan
Continuous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD), atau dengan
transplantasi. Meskipun terdapat variasi geografik, hemodialisis masih
merupakan modalitas terapi yang paling umum untuk ESRD. Pilihan
antara hemodialisis dan peritoneal dialisis melibatkan peran serta dari
beberapa faktor yang meliputi umur pasien, adanya kondisi komorbid,
kemampuan untuk mengadakan prosedurnya, dan pengertian pasien
sendiri tentang terapi. Pada peritoneal dialisis tidak dibutuhkan heparin
seperti pada hemodialisis, oleh karena itu peritoneal dialisis merupakan
pilihan yang baik pada pasien dengan bleeding diathesis. Kelebihan
CAPD yang lain lebih fleksibel, mudah digunakan dan tehniknya
sederhana, toleransi hemodinamik lebih baik, dan hanya membutuhkan
sedikit pembatasan diet.
B. Konsep Hemodialisis
a. Defisini
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir
gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis
waktu singkat. Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah
kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit
ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau
endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta
terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ;
Nursalam, 2006)
b. Tujuan
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut
diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat
ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita
penurunan fungsi ginjal serta menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang
melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi
elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan
suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari
ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat
terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan memindahkan zat
terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi
zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi.
Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang
susunan yang kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2-
microglobulin, dan albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti p-
cresol, lebih lambat berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui
lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan proses konveksi
yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah
prosesyang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009)). Ultrafiltrasi saat
berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat terlarut; tujuan
utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan cairan tubuh
total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien harus diperiksa agar
peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk masing-masing
sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan
dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk mencapai laju dan jumlah
keseluruhan pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan. Dialisis
ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala (symptoms) yang dikenal
sebagai sindrom uremi (uremic syndrome), walaupun sulit membuktikan
bahwa disfungsi sel ataupun organ tertentu merupakan penyebab dari
akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia (Lindley, 2011).
c. Prinsip yang mendasari kerja hemodialisis
Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan
limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.
Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat
artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan
bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati
tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui
membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2006).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,
osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan
melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki
konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah
(Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting
dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak
dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan
yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan
melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi
pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Elizabeth, et all, 2011)).
d. Penatalaksanaan pasien hemodialisis
Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai
upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat
menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis
dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Anita, 2012).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup
agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor
yangpenting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan
protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan
protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70
meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan
tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan
untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi
40- 120 mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan
tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong
pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode
di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian
melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida
jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan
ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan
jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Resiko timbulnya efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak
& Gallo, 2010).
e. Komplikasi
Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi,
emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus.
Masing – masing dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada,
gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa
faktor. Hipotensi terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri dada
dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis
terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan
kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat
gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika
produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008).
Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom
disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen
akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi.
(Brunner & Suddarth, 2008).
C. Konsep CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis)
a. Definisi CAPD
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode
pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi
perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan
yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan
mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan
dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke
dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu
sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke
dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti
dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008).
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut
yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai
membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati
cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan
dibuang.
Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga
perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum
sebagai membran semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang
dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solute yang berisi racun ureum
yang akan dibuang. Peritoneal dialysis ini secara prinsip mirip dengan
hemodialisis. Keduanya sama-sama tergantung pada pergerakan pasif dari
air dan solute melewati membrane semipermeabel. Proses ini disebut
sebagai difusi. Arah dari aliran solute ini ditentukan oleh konsentrasi
masing-masing sisi membrane, sehingga solute bergerak dari sisi dengan
konsentrasi tinggi ke sisi yang konsentrasinya lebih rendah. Pada zaman
dulu peritoneal dialisis dilakukan secara intermiten, dimana pasien harus
melakukan pergantian cairan secara rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya
sepanjang malam), 3 atau 4 kali seminggu. Sejumlah mesin otomatis telah
dikembangkan untuk membantu agar proses dialisis menjadi lebih
sederhana dan lebih mudah.
b. Tujuan
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik
serta limbah metabolik, mengembalikan keseimbangan cairan yang
normal dengan mengeluarkan cairan yang berlebihan dan memulihkan
keseimbangan elektrolit.
c. Cara Kerja
1) Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai
tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis)
dari dan ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter
yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi
kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian kateter
muncul dari dalam perut disebut “exit site”.

2) Pemasukan Ciran Dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat
(cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang
kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam
rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan
kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam
cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum)
yang berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini
disebut Difusi.
Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki
kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke
dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

d. Keuntungan CAPD dibanding HD


Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
1. Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui
sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit.
Di samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan)
yang penting lainnya adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa
meningkatkan HB) dan pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis
yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.
2. Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan
hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada
akhirnya, semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada
tahun-tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka
bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
3. Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk
tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit
sebagaimana HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun
pertama
e. Kelemahan CAPD
1. Resiko infeksi Peritonitis
2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi.
3. Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya
proses dialisis peritoneal (Iqbal et al, 2005).
f. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :
1. Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling
serius, yaitu antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal
dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi
dari Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental,
dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi,
prognosis lebih serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis
yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi
serta tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya S. Aureus.
Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel,
pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab
mikroorganisme dan arahan terapi.
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi
atau luka pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran
akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari
sampai luka insisi dan tempat keluarnya kateter sembuh. Faktor yang
dapat memperlambat kesembuhan adalah aktifitas abdomen yang
tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air besar. Kebocoran
dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan volume
kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume
mencapai 2000 ml.
3. Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat
khususnya pada wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena
cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orificium tuba
falopii yang bermuara ke dalam kavum peritoneal. Kejadian ini dapat
terjadi selama beberapa kali penggantian cairan mengingat darah
akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari
pelvis serta pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau
mengalami trauma. Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah
dengan melakukan pertukaran cairan lebih sering untuk mencegah
obstruksi kateter oleh bekuan darah
Komplikasi lainnya adalah
a) Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang
terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal,
diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang
persisten meningkat juga dapat memperburuk gejala hernia hiatus
dan hemoroid.
b) Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah
aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab
utama kematian pada populasi pasien ini.
c) Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga
peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra
pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose.
d) Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.
D. Konsep Transplantasi Ginjal
a. Definisi
Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang masih
mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang
tidak sehat dan tidak bisa berfungsi lagi dengan baik. Transplantasi ginjal
atau cangkok ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara
memanfaatkan sebuah ginjal sehat (yang diperoleh melaui pendonoran)
melalui prosedur pembedahan. Ginjal sehat dapat berasal dari individu
yang masih hidup (donor hidup) atau yang baru saja meninggal (donor
kadaver). Menurut Brunner and Suddarth transplantasi ginjal adalah
melibatkan menanamkan ginjal dari donor hidup atau kadaver manusia
recepient yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir. Transplantasi
ginjaldapat dilakukan secara “cadaveric“ (dari seorang yang telah
meninggal) atau dari donor yang masih hidup (biasanya anggota
keluarga). Ada beberapa keuntungan untuk transplantasi dari donor yang
masih hidup, termasuk kecocokan lebih bagus, donor dapat dites secara
menyeluruh sebelum transplantasidan ginjal tersebut cenderung
mempunyai jangka hidup lebih panjang.
b. Terminologi Transplantasi Ginjal
Beberapa terminologi dalam transplantasi ginjal adalah:
1) Autograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokan
berasal dari individu yang sama.
2) Isograft adalah transplantassi dimana jaringan yang dicangkokan
berasal dari saudara kembar.
3) Allograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokan
berasal dari individu lain dalam satu spesies atau spesies yangsama.
4) Xenograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokan
berassal dari spesies yang berbeda. Misalnya ginjal binatang yang
ditransplantasikan kepada manusia
c. Komplikasi
Dalam transplantassi ginjal tidak semuanya berhasil, tapi kadang akan
menimbulkan berbagai komplikasi.komplikasi-komplikassi tersebut
yaitu:
1. Penolakan pencangkokan: Yaitu sebuah kekebalan terhadap organ
donor asing yang dikenal oleh tubuh sebagai jarringan asing. Reaksi
tersebut dirangsang oleh reaksi antigen terhadap kesesuaian organ
asing. Reaksi penolakan yang terjadi adalah reaksi penolakan secara
klinik yaitu hiperakut, akut dan kronis.
2. Infeksi: meninggalkan masalah yang potensial dan mewakili
komplikasi yang serius memberikan ancaman pada tingkatatan
kehidupan. Infaksi yang sering dijumpai adalah infeksi sistem
urinari, pneumonia dan sepsis adalah yang paling sering terjadi.
3. Komplikasi sistem urinari: adalah dikarenakan terputusnya ginjal
secara spontan. Selain itu,ada juga komplikasi lain yaitu bocornya
urine dari ureteral bladder anastomosisyang menyebabkan terjadinya
urinoma yang dapat memberikan tekanan pada ginjal dan ureter yang
mengurangi fungsi ginal.
4. Komplikasi kardiovasskular: Komplikasi ini bisa berupa komplikasi
lokal atau sistem. Hiperrtensi daapat terjadi pada 50%-60% pada
dewasa yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
stenosis arteri ginjal, nekrosis tubular akut, penolakan pencangkokan
jenis kronik dan akut, hidronefrosis.
5. Komplikasi pernafasan yang sering terrjadi adalah pneumonia yang
disebabkan oleh jamur dan bakteri.
6. Komplikasi gasstrointestinal yang mungkin terjadi adalah
komplikasi hepatitis B dan serosis yang dihubungkan dengan
pengunaan obat-obatan hepatotoksik.
7. Komplikassi kulit: Karsinoma kulit aadalah yang paling sering
terjadi. Penyembuhan luka dapat menjadi lama karena status nutrisi
yangtidak adekuat, serum albumin yang sedikit dan terapi steroid.
8. Komplikasi – komplikasi yang mungkin terjadi setelah
pencangkokan ginjal adalah diabetes mellitus yang disebabkan oleh
steroid. Akibat terhadap muskuloskeletalyang termasuk adalah
osteoporosis dan miopaty. Nekrosis tulang aseptik adalah disebabkan
oleh terapi kortikosteroid. Masalah reproduksi yang digambarkan
dalam frekuensi CRF mmuncul setelah transplantasi.
9. Kematian: Rata-rata kematian setelah 2 tahun pelaksanaan
transplantasi tersebut hanya 10%. Biasanya kematian ini diakibatkan
oleh infeksi pada dua tahun pertama setelah dua tahun pencangkokan
telah terjadi.
d. Keuntungan dan Kerugian Transplantasi Ginjal
Pada transplantasi ginjal ada keuntungan dan kerugiannya terutama bagi
resepien. Adapu keuntungannya yaitu :
1. Ginjal baru akan bekerja sama halnya seperti ginjal normal.
2. Resepien akan merasa lebih sehat dan normal kembali.
3. Penderita tidak perlu melakukan dialisis.
4. Penderita mempunyai harapan hidup lebih besar.
Adapun kekurangan transplantasi ginjal yaitu :
1. Butuh proses pembedahan besar
2. Proses untuk mendapatkan ginjal lebih lama atau sulit.
3. Tubuh bisa menolak ginjal yang didonorkan.
4. Penderita harus rutin minum obat imunosupresan yang mempunyai
banyak efek samping.
DAFTAR PUSTAKA

Arjani, I. (2017). Gambaran Kadar Ureum Dan Kreatinin Serum Pada Pasien
Gagal Ginjak Kronoik (GGK) Yang Mengalami Terapi Hemodialisis Di
RSUD Sanjiwani Gianyar. Mediatory: The Journal Of Medical
Laboratory, 4(2), 145-153. https://doi.org/10.33992/m.v4i2.64

Divanda, D. (2019). Asuhan Gizi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSUD
Panembahan Senopati Bantul. 8-25
Hidayah. (2018). Kerasionalan Antihipertensi Dan Antidiabetik Oral Pasien Gagal
Ginjal Kronik Dengan Etiologi Hipertensi Dan Diabetes Melitus Tipe 2 Di
RSI Siti Khadijah Palembang
Indri. J. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gagal Ginjal Kronis
Yang Di Rawat Di Rumah Sakit. Retrieved from
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/395/1/selesai.pdf.

Musyahida. (2016). Studi Penggunaan Terapi Furosemid Pada Pasien Penyakit


Gagal Ginjal kronik (PGK) stadium V. Sripsi

Nurarif. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan


Nanda Nic - Noc. Medication Publishing.
Putri. (2014). Gambaran Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang
Menjalani Terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Di RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau.

Rahayu. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Ny. A Dengan Chronic


Kidneydisease (Ckd) Dengan Pemberian Inovasi Intervensi Terapi Musik
Di Ambun Suri Lantai Iv. 1-125. Retrieved from
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2381/3/bab%202.pdf.

Rutas. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronikdengan


Hemodialisa Di Ruang Flamboyanrsud Abdul Wahab Sjahraniesamarinda.
1-124. Retrieved from
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/395/1/selesai.pdf.

Anda mungkin juga menyukai