TINJAUAN PUSTAKA
1
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik banyak disebabkan oleh nefropati DM, penyakit
ginjal herediter, nefritis interstital, uropati obstruksi, glomelurus nefritis,
dan hipertensi. Sedangkan kejadian gagal ginjal kronik di Indonesia banyak
disebabkan karena infeksi yang terdapat pada saluran kemih, batu pada
saluran kencing, nefropati diabetic, nefrokelosis hipertensi, dan lain
sebagainya (Divanda et al., 2019).
Penyakit gagal ginjal kronik terbesar di Indonesia disebabkan oleh factor
penyakit gagal ginjal hipertensi dengan jumlah presentase 37%. Gagal ginjal
kronik dengan etiologi hipertensi disebabkan karena kerusakan pada
pembuluh darah yang terdapat pada ginjal sehingga menghambat ginjal
dalam memfiltrasi darah dengan baik. Kejadian peningkatan jumlah pasien
yang sedang menjalani terapi hemodialisis, dengan jumlah pasien
hemodialisis per minggu sebanyak 3.666 (Hidayah, 2018).
Sedangkan faktor utama penyebab anemia terhadap pasien yang sedang
menjalani terapi hemodialisis yaitu defisiensi dari eritropoetin. Kehilangan
darah yang cukup banyak yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium
beserta darah merupakan bagian dari penyebab dari terjadinya anemia pada
pasien dengan gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien dengan penyakit
tersebut juga dapat disebabkan akibat dari kurangnya jumlah zat besi juga
pada asupan makanan. Untuk itu terapi pemberian suplemen zat besi juga
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kekurangan zat besi (Arjani,
2017).
3. Patofisiologi
Patofisiologi awal dari penyakit gagal ginjal kronik sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya namun proses selanjutnya mayoritas sama.
Dari berbagai macam penyebabnya seperti nefropati DM, penyakit ginjal
turunan, darah tinggi maupun infeksi yang terjadi pada saluran kemih yang
kemudian menimbulkan rusaknya Glomerulus Filtration Rate mengalami
penurunan, hal ini akan memicu terjadinya penyakit gagal ginjal kronik
2
dimana fungsi ginjal akan terjadi ketidakstabilan pada proses ekskresi
maupun sekresi. Hilangnya kadar protein yang mengandung albumin serta
antibody yang disebabkan karena kerusakan pada glomerulus akan
menyebabkan tubuh mudah terinfeksi dan aliran darah akan mengalami
penurunan (Divanda, 2019).
(Rahayu, 2018) mengemukakan perubahan pada fungsi ginjal semakin
lama jangka waktu yang dibutuhkan memungkinkan terjadinya kerusakan
yangjauh lebih parah pada suatu nefron. Luka scerotik akan menyebabkan
glomerulus mengurangi fungsi ginjal yang kemudian tindak lanjut pada
pasien dengan darah tinggi pada gagal ginjal dapat dikondisikan. Jika
penyakit ini tidak segera ditangani kemungkinan terjadinya gagal ginjal
akan meningkat. Kelainan pada fungsi ginjal biasanya sering dialami oleh
orang yang sudah dewasa. Kelainan ginjal berdasarkan waktunya dibagi
menjadi dua yaitu gagal ginjal kronik dan gagal ginjal akut. Gagal ginjal
akut merupakan penurunan fungsi pada ginjal yang terjadi secara mendadak.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal ginjal menurut (Nursalam, 2015), yaitu sebagai
berikut:
a. Gejala gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah dan cegukan,
penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut,
kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap, parotitis dan
stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare, perdarahan darisaluran
gastrointestinal.
b. Manifestasi kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema, edema
periorbital, friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal
jantung kongestif, perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi
pericardial, temponade pericardial.
c. Sistem Respirasi yang ditandai dengan edema paru, efusi pleura dan
pleuritis.
3
d. Sistem Neuromuskular yang ditandai dengan lemah, gangguan tidur,
sakit kepala, letargi, gangguan muskular, kejang, neuropati perifer,
bingung dan koma.
e. Sistem Metabolik/endokrin yang ditandai dengan inti glukosa,
hiperlipidemia, gangguan hormon seks menyebabkan penurunan
libido, impoten dan amenorrea.
f. Sistem Cairan-elektrolit yang ditandai dengan gangguan asam basa
menyebabkan kehilangan sodium sehingga terjadi dehidrasi, asidosis,
hiperkalemia, hipermagnesium dan hipokalsemia.
g. Sistem Dermatologi yang ditandai dengan pucat, hiperpigmentasi,
pluritis, eksimosis, azotermia dan uremia frost.
h. Abnormal skeletal yang ditandai dengan osteodistrofi ginjal
menyebabkan osteomalasia.
i. Sistem Hematologi yang ditandai dengan anemia, defek kualitas
platelet dan perdarahan meningkat.
j. Fungsi psikososial yang ditandai dengan perubahan kepribadian dan
perilaku serta gangguan proses kognitif.
k. Gejala dermatologis/sistem integumen : gatal-gatal hebat (pruritus),
warna kulit abu-abu, mengkilat dan hiperpigmentasi, serangan uremik
tidak umum karena pengobatan dini dan agresif, kulit kering, bersisik,
ecimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar, memar (purpura).
l. Perubahan musculoskeletal : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur
tulang, kulai kaki (foot drop).
5. Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa pemeriksaan diagnostic terhadap pasien dengan gagal ginjal
kronik menurut (Musyihada, 2016) antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium
Analisa pada urine dapat digunakan untuk menunjang dan melihat
kelainan pada fungsi ginjal. Analisa urine juga dapat digunakan untuk
mengetahui ketidaknormalan terhadap produksi urine. Pada pasien
4
dengan penyakit gagal ginjal kronik akan mengalami kekurangan jumlah
frekuensi urine.
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremid, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik.
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi untuk mengetahui kelainan fungsi ginjal yaitu:
1) Flat flat radiografi untuk mengetahui klasifikasi dari ginjal.
2) CT Scan untuk mengetahui dengan jelas bagian anatomi ginjal.
3) Intervenuous pyelography digunakan sebagai evaluasi dari kerja ginjal
dengan menggunakan kontras.
4) Arterional angiography untuk mengetahui kapiler ginjal, vena serta
system arteri menggunakan kontras.
5) Magnetic Rosonance Imaging (MRI) untuk mengevaluasi suatu
persoalan yang diakibatkan oleh infeksi pada ginjal.
6) Biopsi ginjal digunakan untuk diagnose kelainan pada ginjal dengan
cara mengambil jaringan pada ginjal kemudian dianalisa.
6. Komplikasi
Komplikasi yang akan terjadi terhadap penyakit gagal ginjal kronik adalah :
Anemia yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik disebabkan oleh
pengurangan terhadap massa nefron yang selanjutnya menyebabkan
produksi eritropoetin menurun.
Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diit berlebih.
5
Pericarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produksi sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
Hipertensi akibat retensi cairan dalam natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin, aldosteron.
Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat kadar
kalium serum yang rendah.
7. Penatalaksanaan medis
1) Manajemen terapi
Tujuannya untuk melindungi fungsi ginjal dari faktor yang
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal kronik. Manajemen dapat
dilaksanakan dengan menggunakan obat-obatan serta terapi diet yang
diperlukan untuk mengurangi jumlah dalam darah (Musyahida, 2016)
2) Antasida
Antasida adalah suatu zat senyawa aluminium yang dapat menjaga
menjaga posfor yang terdapat pada saluran pencernaan. Beberapa
dokter menganjurkan kalsium karbonat pada dosis tinggi antasida
berbasis aluminium disebabkan karena tingginya gejala neurologis
serta osteomalasia. Obat ini menjaga fosfor yang terdapat pada saluran
usus serta menunjang konsumsi dosis pada antasida yang lebih sedikit.
Kalsium karbonat serta fosforbinding akan ditunjang dengan makanan
yang berkhasiat. Antasida magnesium seharusnya dijauhi untuk
menjaga dari terjadinya kelebihan magnesium (Musyahida, 2016).
3) Antihipertensi
Berbagai macam obat anti hipertensi dan pemantauan terhadap
volume cairan intavaskuler dapat digunakan untuk penekanan
terjadinya hipertensi. Gagal jantung serta edema pada paru-paru akan
membutuhkan penyembuhan melalui cara membatasi jumlah cairan,
dialysis, agen intropik, serta agen diuretic. Asidosis metabolic yang
diakibatkan oleh gagal ginjal kronik umumnya tidak menyebabkan
tanda gejala serta tidak membutuhkan terapi, tetapi suplemen natrium
6
bikarbonat ataupun dialysis kemungkinan dibutukan utnuk melihat
asidosis apabila terdapat sebuah gejala (Musyahida, 2016).
4) Agen antisezure
Neurologis dapat mengalami kelainan, sehingga pengawasan pada
pasien perlu dilakukan apabila terjadi nyeri pada kepala, delirium,
ataupun aktivitas yang menyebabkan kejang. Jika gejala kejang
memungkinkan terjadi perlu dilakukan pencatatan disertai dengan
jenis, waktu dan efeknya terhadap pasien. Pengamanan pada temapt
tidur pasien perlu dilakukan karena jika pasien mengalami kejang
tidak akan terjadi cedera (Musyahida, 2016).
5) Eritropeotin
Terjadinya anemia yang berkaitan dengan penyakit gagal ginjal kronik
dapat diberikan terapi obat dengan epogen. Terapi epogen dilakukan
saat hematokrit 33% menjadi 38%, dan berfungsi untuk mengatasi
gejala anemia. Epogen dapat diberikan melalui intravena maupun
subkutan dalam tiga kali seminggu (Musyahida, 2016)
6) Terapi gizi
Terapi gizi pada pasien dengan gagal ginjal kronik diberikan untuk
mengurangi jumlah cairan yang masuk dan tertimbun pada tubuh.
Asupan cairan yang masuk dan tertimbun pada tubuh. Asupan cairan
500 ml sampai dengan 600 ml lebih banyak dibandingkan dengan
output cairan dalam bentuk urin selama 24 jam. Vitamin serta
suplemen dibutuhkan karena pembatasan terhadap diet protein. Pasien
dengan dialisis kemungkinan vitamin yang telah larut pada darah saat
pelaksanaan hemodialisa (Musyahida, 2016)
7) Terapi dialisis
Hiperkalemia dapat diberikan pencegahan dengan dilakukannya
dialisis yang memungkinkan dengan cara mengeluarkan kalium serta
pemantauan kepada semua jenis obat-obatan yang masuk ke dalam
tubuh. Dialisis dilakukan saat pasien tidak mampu mempertahankan
7
pola hidup yang sesuai terhadap terapi pengobatan konservatif
(Musyahida, 2016).
8
memiliki risiko kronis (karena penyakit ini termasuk bersifat
herediter).
6) Riwayat psikososial
Kondisi ini tidak selamanyamemiliki gangguan jika klien memiliki
koping adaptif yang baik. Perubahan psikososial memungkinkan
terjadi saat klien mengalami adanya perubahan pada struktur fungsi
tubuh dan menjalani proses dialisa.
7) Keadaan Umum dan tanda-tanda vital
Kondisi tubuh pasien dengan gagal ginjal kronik biasanya mengalami
kelemahan, tingkat kesadaran bergantung pada tingginya tignkat
toksisitas. Pada saat dilakukan pemeriksaan TTV biasanya ditemukan
data RR meningkat, dan terjadi hipertensi maupun hipotensi sesuai
dengan kondisi yang ada.
8) Sistem pernafasan
Terdapat bau semacam urea pada saat bernafas. Jika kejadian suatu
komplikasi asidosis/alkalosis respiratorik maka pernafasan akan
terjadi gangguan patologis. Pola nafas semakin cepat sebagai tanda
dari tubuh menjaga kestabilan ventilasi.
9) Sistem hematologi
Ditemukan pada uremia berat. Selain itu, kemungkinan akan terjadi
peningkatan tekanan dalam darah, akral dingin, CRT >3 detik,
palpitasi jantung, nyeri dada, dispnea, gangguan irama detak jantung
dan system peredaran darah lainnya. Keadaan ini akan meningkat jika
kandungan sisa metabolism dalam tubuh semakin meningkat, keadaan
semakin parah karena tidak efektif dalam ekskresi. Selain itu pada
aliran darah itu sendiri bisanya merupakan penyakit yang disebabkan
oleh anemia karena penurunan eritropoetin.
10) Sistem neuromuskuler
9
Penurunan kesadaran karbon tinggi dan sirkulasi otak terganggu,
karena itu pasien akan emgalami penurunan kognitif dan diorentasi
gagal ginjal kronik.
10
yang tidak teratur. Pada pengkajian terhadap Ny. W didapatkan data
bahwa tekanan darah Ny. W mengalami peningkatan.
2) Kepala
a) Mata : terdapat warna kemerahan, mengeluarkan air, penglihatan
tidak jelas, edema orbital, konjungtiva anemis
b) Rambut : mudah rontok, tipis dan kasar
c) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,
muntah, dan peradangan pada gusi
d) Leher: vena mengalami pembesaran
e) Dada dan thoraks: penggunaan otot bantu pernafasan, nafas
dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction rebpericardial
f) Abdomen : nyeri pada pinggang, asites. Pada Ny. W ditemukan
bahwa Ny. W mengeluh nyeri pada area pinggang.
g) Genetalia: amenore
h) Ekstremitas : capillary Kembali dalam waktu >3 detik, kuku
menjadi rapuh, kusam dan tipis, kekuatan kaki mengalami
penurunan, sensasi seperti tebrkar pada kaki. Pengkajian pada Ny.
W ditemukan bahwa kekuatan kaki Ny. W mengalami penurunan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan Hambatan Upaya Napas
b. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ketidakseimbangan
Ventilasi-perfusi
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidaksimbangan antara
Suplai dan kebutuhan oksigen
d. Perfusi Perifer tidak efektif berhubungan dengan Penurunan
Konsentrasi hemoglobin
e. Resiko Perfusi Renal tidak efektif berhubungan dengan disfungsi ginjal
f. Hipervolemia berhubungan dengan Gangguan Mekanisme Regulasi
g. Gangguan Eliminasi Urin berhubungan dengan Penurunan Kapasitas
kandung kemih
11
h. Defisit Nutrisi berhubungan dengan Peningkatan Kebutuhan
Metabolisme
i. Gangguan Intergritas Kulit berhubungan dengan Perubahan sirkulasi
3. Intervensi Keperawatan
Masalah
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(PPNI, 2016) (PPNI, 2019) (PPNI, 2018)
Pola Napas Tidak Setelah dilakukan intervensi Pemantauan Respirasi
Efektif keperawatan selama 1 x 4 1. Monitor pola napas
Jam 2. Monitor saturasi oksigen
(SDKI, 2016 D.0005 Pola Napas Membaik 3. Monitor nilai AGD
Kategori : Fisiologis 4. Berikan oksigen
Subkategori : Dengan Kriteria Hasil : 5. Jelaskan tujuan dan prosedur
Respirasi, Hal 26) 1. Dispnea menurun pemantauan
2. Penggunaan otot
bantu napas
menurun
3. Frekuensi nafas membaik
Gangguan Setelah dilakukan intervensi Pemantauan Respirasi
Pertukaran Gas b.d keperawatan selama 1 x 24 1. Monitor pola napas
ketidakseimbangan Jam Pola Napas Membaik 2. Monitor saturasi oksigen
ventilasi-perfusi Dengan Kriteria Hasil : 3. Monitor nilai AGD
1. Dispnea menurun 4. Berikan oksigen
2. Penggunaan otot 5. Jelaskan tujuan dan prosedur
bantu napas pemantauan
(SDKI, 2016 D0003, menurun
Kategori : 3. Frekuensi nafas
Fisiologis, membaik (12-
Subkategori : 20x/menit)
Respirasi, Hal 22) 4. Gelisah menurun
5. Napas cuping
hidung menurun
12
Hipervolemia b.d Setelah dilakukan Manajemen Hipervolemia
Gangguan intervensi 1. Periksa tanda dan gejala
Mekanisme keperawatan selama 1 x 24 Hypervolemia
Regulasi Jam Keseimbangan Cairan 2. Monitor intake dan output cairan
Meningkat 3. Monitor hemokonsentrasi (kadar
Dengan kriteria hasil : natrium, BUN, hematokrit, berat
1. Haluaran urin meningkat jenis urin)
2. Edema menurun 4. Timbang berat badan setiap hari
3. Turgor kulit membaik pada waktu yang sama
(< 2 detik) 5. Batasi asupan cairan dan garam
(SDKI, 2016 D.0022 4. Out put urine meningkat 6. Ajarkan cara membatasi cairan
Kategori : Fisiologis 5. Perasaan lemah menurun 7. Kolaborasi pemberian
Subkategori : diuretik
Nutrisi dan Cairan,
Perfusi Perifer Setelah dilakukan Pemantauan Cairan
tidak efektif b.d tindakan keperawatan 1. Monitor frekuensi dan
Penurunan selama 1x24 jam kekuatan nadi
Konsentrasi diharapkan perfusi perifer 2. Monitor waktu pengisian
Hemoglobin meningkat kapiler
Dengan Kriteria Hasil : 3. Monitor hasil pemeriksaan
1. Denyut nadi perifer serum; hematokrit, natrium,
meningkat kalium, BUN
(SDKI, 2016 2. Warna kulit pucat 4. Identifikasi tanda-tanda
D0009, Kategori : menurun hipervolemia; dispnea,
Fisiologis, 3. Pengisian kapiler edmea perifer dan anasarca
Subkategori : membaik 5. Jelaskan tujuan pemantauan
Sirkulasi, Hal 37) 4. Akral membaik
13
Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas
Aktifitas keperawatan selama 1x24 Observasi :
jam intoleransi aktivitas 1. Identifikasi defisit tingkat
(SDKI, 2016 membaik aktivitas
D0056, Dengan Kriteria Hasil : 2. Identifikasi kemapuan
Kategori : 1. Toleransi aktivitas berpartisipasi dalam
Fisiologis, 2. Ambulasi aktivitas tertentu
Subkategori : 3. Tingkat keletihan 3. Fasilitasi pasien dan
Aktivitas/Istiraha keluarga dalam
t, Hal 128) menyesuiakan lingkungan
untuk mengakomodasi
aktivitas yang di pilih
4. Libatkan keluarga dalam
aktivitas
5. Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
14
4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi
disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik
dilaksanakan untuk memodifikasi factor-faktor yang mempengaruhi
masalah Kesehatan klien. (Nursalam, 2015).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian terakhir didasarkan pada tujuan keperawatan
yang ditetapkan, penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan
didasarkan pada kriteria hasil yang telah ditetapkan yaitu terjadinya adaptasi
pada individu (Nursalam, 2015.)
15
Pathways
Obstruksi saluran
Zat toksik vaskukar Infeksi kemih
Suplai darah
ginjal turun
anemia
Gangguan edema
Oksihemoglobin
Nausea, vomitus Iritasi lambung integritas
turun
kulit/jaringan Preload naik
Payah jantung
Aliran darah ginjal Metabolisme Suplai o2 ke otak Perfusi perifer
turun anaerob turun tidak efektif
Bendungan
RAA turun atrium kiri naik
Syncope
Nyeri akut
(kehilangan
kesadaran) Tekanan vena
Hipervolemia
pulmonalis
16 Gangguan
pertukaran gas
DAFTAR PUSTAKA
Arjani, I. (2017). Gambaran Kadar Ureum Dan Kreatinin Serum Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronis (Ggk) Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di Rsud
Sanjiwani Gianyar. Meditory : The Journal of Medical Laboratory, 4(2),
145–153. https://doi.org/10.33992/m.v4i2.64
Divanda, D. ., Idi, S., & Rini, W. . (2019). Asuhan Gizi Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik Di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul. 8–
25.
Hasbullah, M, A., & D.S, H. (2017). Jurnal Media Keperawatan : Politeknik
Kesehatan Makassar Jurnal Media Keperawatan : Politeknik Kesehatan
Makassar. Gambaran Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Thypoid Dalam Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Di Rumah Sakit Tk Ii
Pelamonia, 08(02), 39–45.
Hidayah, A. A., Herlina, H., & Novita, R. P. (2018). Kerasionalan Antihipertensi
Dan Antidiabetik Oral Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Etiologi
Hipertensi Dan Atau Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rsi Siti Khadijah
Palembang.
Ismatullah, A. (2015). Manajemen Terapi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik Manage. Jurnal Kedokteran UNLA, 4, 7–12.
Lestari, W., Asyrofi, A., & Prasetya, H. A. (2018). Manajemen Cairan Pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal
Manajemen Asuhan Keperawatan, 2(2), 20–29.
https://doi.org/10.33655/mak.v2i2.36
Mardhatillah, M., Arsin, A., Syafar, M., & Hardianti, A. (2020). Ketahanan Hidup
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsup Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Maritim,
3(1), 21–33. https://doi.org/10.30597/jkmm.v3i1.10282
Musyahida, R. A. (2016). Studi Penggunaan Terapi Furosemid pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Stadium V. Skripsi.
Rahayu, F., Fernandoz, T., & Ramlis, R. (2018). Hubungan Frekuensi
Hemodialisis dengan tingkat Stres pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisis. Jurnal Keperawatan Silampari, l (2), 139-153.
https://doi.org/10.31539/jks.vli2.7
17