Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK


DI RUANG ANGGREK RS ADVENT MEDAN

LANDASAN TEORITIS
A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dlam keadaan asupan
makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu kronik
dan akut (Nurarif & Kusuma, 2013).
Gagal ginjal kronik merupakan suatu kondisi dimana organ ginjal sudah
tidak mampu mengangkut sampah sisa metabolik tubuh berupa bahan yang
biasanya dieliminasi melalui urin dan menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Abdul, 2015).
Sedangkan menurut Black dan Hawks (2014) gagal ginjal kronik adalah
gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh
tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal
kronik mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan
memerlukan pengobatan berupa, trensplantasi ginjal, dialisis peritoneal,
hemodialysis dan rawat jalan dalam waktu yang lama (Desfrimadona, 2016).

B. ETIOLOGI
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju filtrasi
glomerulus atau yang disebut juga penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR).
Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013):
1. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan
iskemik ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah
Aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik
progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia fibromaskular pada satu atau
lebih artieri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah.

Page | 1
Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang
tidak di obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastistisitas
system, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan
akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis: seperti glomerulonephritis
3. Infeksi: dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden
dari traktus urinarius bagiab bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat
menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4. Gangguan metabolik: seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak
meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amyloidosis
yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding
pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer: terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam
berat.
6. Obstruksi traktus urinarius: oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi
uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter: penyakit polikistik sama dengan kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan
didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat
konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.

Page | 2
C. PATOFISIOLOGI

(Sumber: Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2018)

Page | 7
Gagal ginjal kroni disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti gangguan
metabolik (DM), infeksi (Pielonefritis), Obstruksi Traktus Urinarius, Gangguan
Imunologis, Hipertensi, Gangguan tubulus primer (nefrotoksin) dan Gangguan
kongenital yang menyebabkan GFR menurun (Ermawan, 2019).
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagai nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR (daya saring). Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron-nefron rusak. Beban
bahanyang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa di reabsorbsi berakibat
dieresis osmotic disertai poliuri dan haus (Ermawan, 2019).
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak timbul disertai
retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih
jelas dan muncul gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala
khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada tingkat
ini fungsi renal yang demikian lebih rendah itu. (Price & Wilson, 2015).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat (Smeltzer dan Bare, 2011).

D. TANDA DAN GEJALA


Pasien akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala: Keparahan kondisi
bergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia
pasien.
1. Sistem Kardiovaskuler
Hipertensi, retinopati (kerusakan retina mata) dan ensefalopati
hipertensif (suatu sindrom akibat dari peningkatan tekanan arteri mendadak
tinggi yang dapat mempengaruhi fungsi otak), beban sirkulasi berlebih, edema,
gagal jantung kongestif (kegagalan jantung dalam memompa pasokan darah
yang dibutuhkan tubuh), dan distritmia (gangguan irama jantung).
2. Sistem Dermatologi
Pucat, pruritis atau gatal, Kristal uremia, kulit kering, dan memar.
3. Sistem Neurologi
Mudah lelah, otot mengecil dan lemah, sistem saraf tepi: Penurunan
ketajaman mental, konsentrasi buruk, kekacauan mental, koma, otot berkedut,
kejang.
4. Sistem pernafasan
Dispnea yaitu kondisi yang terjadi akibat tidak terpenuhinya pasokan
oksigen ke paru – paru yang menyebabkan pernafasan menjadi cepat, pendek,
dan dangkal, edema paru, pneumonitis, kussmaul (pola pernapasan yang sangat
dalam).
5. Sistem Gastroinstestinal
Anoreksia, mual, muntah, nafas bau amoniak, mulut kering, pendarahan
saluran cerna, diare, stomatitis atau sariawan, parotitis atau infeksi virus yang
menyebabkan pembengkakan pada kelenjar parotis pada wajah.
6. Sistem Perkemihan
Poliuria (urine dikeluarkan sangat banyak dari normal), berlanjut menuju
oliguria (urine yang dihasilkan sangat sedikit), lalu anuria (kegagalan ginjal
sehingga tidak dapat membuat urine), nokturia (buang air kecil di sela waktu
tidur malam), proteinuria (protein didalam urine).
7. Hematologik
Anemia, hemolisis (kehancuran sel darah merah), kecenderungan
perdarahan, risiko infeksi.
8. Biokimia Azotemia (penurunan GFR, menyebabkan peningkatan BUN dan
kreatinin), hyperkalemia, Retensi Na, Hipermagnesia, Hiperrurisemia.
9. Sex Libido hilang, Amenore (ketika seorang wanita usia subur tidak
mengalami haid), Impotensi dan sterilisasi.
10. Metabolisme Hiperglikemia kebutuhan insulin menurun, lemak peningkatan
kadar trigliserad, protein sintesis abnormal.
11. Gangguan kalsium Hiperfosfatemia, hipokalsemia, konjungtivitis / ureamia
mata merah (Suharyanto, 2013).
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa gagal ginjal kronis (Pranata dan Prabowo, 2014).
1. Biokimiawi
Pemeriksaan utama dari analisis fungsi ginjal adalah ureum dan kreatinin
plasma. Untuk hasil yang lebih akurat untuk mengetahui fungsi ginjal adalah dengan
analisa creatinine Clearence (klirens kreatinin). Selain pemeriksaan fungsi ginjal
(renal fuction test), pemeriksaan kadar elektrolit juga harus dilakukan untuk
mengetahui status keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai bentuk kinerja ginjal.
2. Urinalis
Urinalisis dilakukan untuk penyaringan ada atau tidaknya infeksi pada ginjal
atau ada atau tidakanya perdarahan aktif akibat inflamasi atau peradangan pada
jaringan parenkim ginjal.
3. Ultrasonografi Ginjal
Imaging (gambaran) dari ultrasonografi akan memberikan informasi
mendukung untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal. Pada pasien gagal ginjal
biasanya menunjukkan adanya obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain itu,
ukuran dari ginjal pun akan terlihat.
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
1) Volume, biasanya berkurang dari 400ml/24jam atau anuria yaitu tidak
adanya produksi urine.
2) Warna, secara abnormal urine keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat, kecoklatan menunjukkan adanya darah, hb,
mioglobin, dan porfirin.
3) Berat jenis, kurang dari 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat.
4) Osmoalitas, kurang dari 350 mOsm/kg menujukan kerusakan ginjal tubular
dan rasio urin/serum sering 1:1.
5) Klirens kreatinin mengalami penurunan.
6) Natrium, lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
7) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus.
b. Darah
1) BUN / kreatinin, meningkat kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.
2) Hematokrit menurun sehingga terjadi anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8
gr/dl.
3) Sel darah merah, menurun, defisiensi eritopoeitin.
4) Analisin gas darah, basanya asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2.
5) Natrium serum menurun, kalium meningkat, magnesium meningkat,
kalsium menurun.
c. Pemerksaan EKG Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda
perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Wiliyanarti, P. F., & Muhith, A. (2019), penatalaksanaan gagal
ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi konservatif dan terapi
pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya
faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara
keseimbangan cairan elektrolit. Beberapa tindakan konservatif dan terapi pengganti
ginjal yang dapat dilakukan dengan pengaturan diet maupun HD pada pasien
dengan gagal ginjal kronik diantaranya yaitu:
1. Tindakan Konservatif
a. Diet rendah protein
Diet rendah protein bertujuan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Jumlah protein yang
diperbolehkan kurang dari 0,6 gr protein/Kg/hari dengan LFG (Laju
Filtrasi Glomerulus) kurang dari 10 mL/menit.
b. Terapi diet rendah Kalium
Hiperkalemia (kadar kalium lebih dari 6,5 mEq/L) merupakan
komplikasi interdiliatik yaitu komplikasi yang terjadi selama periode
antar hemodialisis. Hiperkalemia mempunyai resiko untuk terjadinya
kelainan jantung yaitu aritmia yang dapat memicu terjadinya cardiac
arrest yang merupakan penyebab kematian mendadak. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40-80 mEq/hari.
c. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
Asupan cairan pada gagal ginjal kronik membutuhkan regulasi
yang hati-hati. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan
beban sirkulasi, edem, dan juga intoksikasi cairan. Kekurangan cairan
juga dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan memburuknya fungsi
ginjal. Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urin dalam 24
jam ditambah 500 mL yang mencerminkan kehilangan cairan yang tidak
disadari.
d. Kontrol hipertensi.
Pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal kronik,
keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung
tekanan darah sering diperlukan diuretik loop, selain obat antihipertensi.
e. Mencegah dan tata laksana penyakit tulang ginjal.
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat
seperti aluminium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat pada
setiap makan.Deteksi dini dan terapi infeksi. Pasien uremia harus
diterapi sebagai pasien imunosupresif dan terapi lebih ketat.
f. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal.
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena
metaboliknya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal.Deteksi dini dan terapi
komplikasiAwasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia,
perikarditis, neuropati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan
cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk
bertahan, sehingga diperlukan dialisis.
g. Teknis nafas dalam.
Breathing exercise atau teknis nafas dalam bertujuan untuk
mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi
udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernapas. Menurut Dwi
(2018), latihan nafas dalam dapat dilakukan dengan menarik nafas
melalui hidung dengan mulut tertutup tahan selama 3 detik, kemudian
mengeluarkan nafas pelan-pelan melalui mulut dengan posisi bersiul,
purse lips breathing dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen
selam ekspirasi dan tidak ada udara yang keluar melalui hidung, dengan
purse lips breathing akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga
mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang
bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran nafas
kecil pada waktu ekspirasi.
2. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada gagal ginjal kronik stadium akhir
yaitu pada LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) kurang dari 15 ml/menit. Terapi
tersebut dapat berupa :
a. Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa
metabolisme melalui membran semipermiabel atau yang disebut dengan
dialisis. Salah satu langkah penting sebelum memulai hemodialisis yaitu
mempersiapkan acces vascular beberapa minggu atau beberapa bulan
sebelum hemodilasis dengan tujuan untuk memudahkan perpindahan
darah dari mesin ke tubuh pasien.
b. CAPD (Continuous Ambulatory Peritonial Dyalisis)
CAPD dapat digunakan sebagai terapi dialisis untuk penderita
gagal ginjal kronik sampai 3-4 kali pertukaran cairan per hari. Pertukaran
cairan dapat dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritonial dibiarkan
semalam. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien dialisis
peritonial. Indikasi dialisis peritonial yaitu :
1) Anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun).
2) Pasien-pasien yang telah menderita penyakit system kardiovaskuler.
3) Pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila
dilakukan hemodialisis.
4) Kesulitan pembuatan AV shunting.
5) Pasien dengan stroke.
6) Pasien gagal ginjal terminal dengan residual urin masih cukup.
7) Pasien nefropati diabetik disertai morbidity dan co-mortality.
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Kebutuhan transplantasi ginjal
jauh melebihi ketersediaan ginjal yang ada dan juga kecocokan dengan
dengan pasien (umumnya keluarga dari pasien). Transplantasi ginjal
memerlukan dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya yang
memadai. Komplikasi akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh
merupakan keadaan yang timbul akibat dari transplantasi ginjal.
d. CRRT
CRRT (Continuous Renal Replacement Therapy) merupakan salah
satu terapi untuk menggantikan fungsi ginjal. Ginjal berperan dalam
mengeluarkan zat-zat, cairan atau sisa metabolisme tubuh. Pada kondisi
gagal ginjal dimana ginjal tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya,
maka dibutuhkan terapi penggantian ginjal atau yang disebut dengan
Renal Replacement Therapy (RRT). 
Renal Replacement Therapy berfungsi untuk membuang cairan
berlebih di dalam darah dan menukar zat-zat terlarut, baik toksin yang
tidak lagi diperlukan oleh tubuh maupun zat-zat yang diperlukan tubuh
seperti natrium, kalium, kalsium, klorida, bikarbonat antara cairan tubuh
dengan cairan dialisa.
Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan dasar utama proses perawatan yang akan membantu
dalam penentuan status kesehatan dan pola pertahanan pasien, mengidentifikasi
kekuatan dan kebutuhan pasien serta merumuskan diagnosa keperawatan menurut
Suharyanto, Toto, & Madjid, A. (2013).:
1) Identitas pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, umur, tempat lahir, asal suku bangsa,
nama orang tua, pekerjaan orang tua.
2) Keluhan utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang
menyertai. Keluhan bisa berupa urin output yang menurun dari oliguria-
anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem sirkulasi-
ventilasi, kelemahan, susah berjalan/bergerak, gangguan istirahat dan tidur,
anoreksia, mual dan muntah, diaforesis, fatigue, napas berbau urea, dan
pruritus
3) Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
Berapa lama pasien sakit, bagaimana penanganannya, mendapat terapi apa,
bagaimana cara minum obatnya apakan teratur atau tidak, apasaja yang
dilakukan pasien untuk menaggulangi penyakitnya.
4) Riwayat kesehatan dahulu
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan berbagai
penyebab (multikausa). Oleh karena itu informasi penyakit terdahulu akan
menegaskan untuk penegasan masalah. Kaji riwayat infeksi saluran kemih
(ISK), penggunaan obat berlebihan (overdosis) khususnya obat yang bersifat
nefrotoksik, BPH (benign prostatic hyperplasia) yang mampu mempengaruhi
kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa penyakit yang berlangsung
mempengaruhi gagal ginjal yaitu diabetes millitus, hipertensi, dan batu saluran
kemih.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Gagal ginjal bukan penyakit yang bersifat menular dan menurun. Namun,
pencetus sekunder seperti diabetes dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap
kejadian penyakit gagal ginjal kronik, kaji pola kesehatan keluarga yang
diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum saat sakit.
6) Aktifitas/istirahat :
Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia/gelisah atau
samnolen), kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
7) Sirkulasi
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpatasi, nyeri dada (angina),
hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak
tangan, nadi lemah, hipotensi ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang
jarang pada penyakit tahap akhir, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning,
kecenderungan perdarahan.
8) Integritas ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
9) Eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare, atau konstipasi, perubahan warna urine, contoh
kuning pekat, merah, coklat, oliguria.
10) Makanan / Cairan
Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi),
anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut
(pernapasan ammonia), penggunaan diuretic, distensi abdomen/asietes,
pembesaran hati (tahap akhir), perubahan turgor kulit / kelembaban, ulserasi
gusi, perdarahan gusi/lidah.
11) Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot / kejang, syndrome “kaki gelisah”,
rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan kelemahan, khususnya
ekstremitas bawah, gangguan status mental, contoh penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang,
rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
12) Nyeri/kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki dan perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah.
13) Pernapasan
Napas pendek, dyspnea, batuk dengan/tanpa sputum kental dan banyak,
takipnea, dyspnea, peningkatan frekuensi/kedalaman dan batuk dengan sputum
encer (edema paru).
14) Keamanan
Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi),
normotermia dapat secara actual terjadi peningkatan pada pasien yang
mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal, petekie, area ekimosis pada
kulit, fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi.
15) Seksualitas
Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
16) Interaksi sosial
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran biasanya dalam keluarga.
17) Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat Diabetes Melitus (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit
polikistik, nefritis herediter, kalkulus urenaria, maliganansi, riwayat terpejan
pada toksin, contoh obat, racun lingkungan, penggunaan antibiotic nefrotoksik
saat ini/berulang.
18) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Yang perlu dikaji kesadaran, TTV (tekanan darah meningkat, suhu
meningkat, nadi lemah, disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur) dan
tingkat kelemahan.
b) Kepala
(1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
edema periorbital.
(2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
(3) Hidung : pernapasan cuping hidung.
(4) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,
muntah serta cegukan dan peradangan gusi.
c) Leher : pembesaran vena leher.
d) Dada dan thoraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema
pulmoner, friction rubpericardial.
e) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
f) Genital : atropi testikuler, amenore.
g) Ekstremitas : CRT > 3 detik,kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop,
kekuatan otot.
h) Kulit : esimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu, mengkilat
atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar
(purpura), edema. Derajat edema:
(1) Derajat I: Kedalamannya 1-3 mm dengan waktu kembali 3 detik.
(2) Derajat II: Kedalamannya 3-5 mm dengan waktu kembali 5detik.
(3) Derajat III: Kedalamannya 5-7 mm dengan waktu kembali 7detik.
(4) Derajat IV: Kedalamannya 7 mm dengan waktu kembali 7detik.
i) Sistem hematologi
Ditemukan adanya friction rub pada kondisi urinemia berat, biasanya
terjadi HD meningkat, akral dingin, CRT >3 detik, palpasi jantung, chest
pain, dyspnea, gangguan irama jantung dan gangguan sirkulasi lainnya.
Selain itu, pada fisiologis darah sendiri sering ada gangguan anemia
karena penurunan eritropotein.
j) Sistem neuromuskuler
Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkarbik dan
sirkulasi serebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan kognitif dan
terjadinya disorientasi akan dialami pasien gagal ginjal kronik.

B. Diagnosis
Menurut Herdman, T. H., & Kamitsuru, S, (2015), diagnosis keperawatan
merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien terhadap masalah
kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial. Diagnosis keperawatan dibagi menjadi dua jenis, yaitu diagnosis
negatif dan diagnosis positif. Diagnosis negatif menunjukkan bahwa pasien dalam
kondisi sakit atau beresiko mengalami sakit sehingga penegakan diagnosis ini akan
mengarahkan pemberian intervensi keperawatan yang bersifat penyembuhan,
pemulihan dan pencegahan. Diagnosis ini terdiri atas diagnosis aktual dan
diagnosis resiko. Sedangkan diagnosis positif menurut Hardi, K., & Huda Amin, N,
(2015), menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sehat dan dapat mencapai
kondisi yang lebih sehat dan optimal. Diagnosis ini disebut juga dengan diagnosis
promosi kesehatan.
Pada diagnosis aktual, indikator diagnostiknya terdiri atas penyebab dan
tanda/gejala. Pada diagnosis resiko tidak memiliki penyebab dan tanda/gejala,
hanya memiliki faktor resiko. Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data
pasien. Kemungkinan diagnosa keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal
kronis adalah sebagai berikut (Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2018):
1. Kelebihan cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin, diet berlebih dan
retensi cairan serta natrium.
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membram mukosa mulut.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi.
4. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan perubahan peran,
perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.

C. Perencanaan
Tahap perencanaan memberi kesempatan kepada perawat, pasien,
keluarga, dan orang terdekat pasien untuk merumuskan rencana tindakan
keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami pasien. Tahap perencanaan ini
memiliki beberapa tujuan penting, diantaranya sebagai alat komunikasi antar
sesama perawat dan tim kesehatan lainnya, meningkatkan kesinambungan asuhan
keperawatan bagi pasien, serta mendokumentasikan proses dan kriteria hasil
asuhan keperawatan yang ingin dicapai. Unsur terpenting dalam tahap
perencanaan ini adalah membuat orioritas urutan diagnoa keperawatan,
merumuskan tujuan, merumuskan kriteria evaluasi, dan merumuskan intervensi
keperawatan (Amin, 2015).
Menurut Sugeng & Weni, (2010) intervensi gagal ginjal kronik adalah:
1. Kelebihan cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin, diet berlebih
dan retensi cairan serta natrium.
Tujuan: mempertahankan berat tubuh tanpa kelebihan cairan.
Intervensi:
a. Monitoring status cairan (BB harian, turgor kulit dan adanya edema,
distensi vena leher, dan TTV).
b. Pertahankan pencatatan volume masuk dan keluar, dan kumulatif
keseimbangan cairan.
c. Batasi masukan cairan.
d. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan.
e. Tingkatkan dan dorong higiene oral dengan sering.
2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membram
mukosa mulut.
Tujuan: menunjukan berat badan stabil atau peningkatan mencapai tujuan
dalam nilai laboratorium normal dan tak ada tanda malnutrisi, nutrisi adekuat.
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan atau cairan dan hitung masukan kalori perhari.
b. Kaji adanya mual muntah.
c. Anjurkan cemilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium di antara
waktu makan.
d. Timbang berat badan harian.
e. Jelaskan pembatasan diet dan hubunganya dengan penyakit gagal ginjal
dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.
f. Kolaborasi dengan ahli gizi.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi
Tujuan: meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan yang
bersangkutan.
Intervensi:
a. Kaji pemahaman mengenai penyebab gagal ginjal, konsekuensinya, dan
penanganannya.
b. Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat
pemahaman dan kesiapan pasien untuk belajar.
c. Bantu pasien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk memahami berbagai
perubahan akibat penanganan yang mempengaruhi hidupnya.
4. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan perubahan peran,
perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
Tujuan: memperbaiki konsep diri.
Intervensi:
a. Kaji respons dan reaksi pasien dan keluarga terhadap penyakit dan
penanganannya.
b. Kaji hubungan antara pasien dan anggota keluarga terdekat.
c. Ciptakan diskusi terbuka tentang perubahan yang terjadi akibat penyakit
dan penanganan.
d. Diskusikan peran memberi dan menerima cinta, kehangatan, dan
kemesraan.

D. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam proses asuhan
keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan
keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan yang
di prioritaskan. Proses pelaksanaan imlementasi harus berpusat kepada kebutuhan
pasien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan dan kegiatan komunikasi (Wiji Lestari, 2017).
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa
serangkaian kegiatan sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil
yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang
dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara
umum maupun secara khusus pada klien dengan diagnosa gagal ginjal kronik. Pada
pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen,
dan dependen (Kusuma dkk, 2020).
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang
diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan
yang dimilikinya. Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan
dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang lain dalam perawatan
maupun pelayanan kesehatan. Sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang
dilksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain (Marrine, 2019).

E. Evaluasi
Menurut Muttaqin dan Kumala (2011), evaluasi merupakan suatu proses
yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien.
Evaluasi dilakukan terus-menerus terhadap respon pasien pada tindakan
keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi proses atau promotif dilakukan setiap
selesai tindakan. Evaluasi dapat dilakukan menggunakan SOAP sebagai pola
pikirnya.
S (subjek): Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O (Objektif): Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A (Assessment): Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah tidak teratasi atau
muncul masalah baru.
P (Plan): Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon
pasien.
Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:
1. Masalah teratasi, jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2. Masalah teratasi sebagian, jika pasien menunjukkan sebahagian dari kriteria
hasil yang telah ditetapkan.
3. Masalah belum teratasi, jika pasien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah
ditetapkan.
4. Muncul masalah baru, jika pasien menunjukkan adanya perubahan kondisi
atau munculnya masalah baru.

Anda mungkin juga menyukai