Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronis

1. Pengertian

PengertianGagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis

yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun,

berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi

glomerular (LFG) kurang dari 50 ml/menit (Suhardjono, dkk, 2011).

Sedangkan menurut Mansjoer (2008) gagal ginjal kronik adalah penurunan

fungsi ginjal yang bersifat persisten dan ireversibel. Menurut Brunner dan

Suddarth (2010), gagal ginjal kronik atau penyakti renal tahap akhir

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah).

2. Etiologi

Menurut Mansjoer (2008) etiologi dari gagal ginjal kronik adalah

glomerulonefritik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik,

nefropati, diabetik, penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan

tidak diketahui.

3. Patofisiologi

Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir

metabolisme protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin

tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem


9

tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan

semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan

penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh

ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan

penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini

menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang

menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan

perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum

kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan

gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum

Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap

akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal

sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan

tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat

menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan

kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan

ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh,

sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi

renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan

asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang

mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul

keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh

tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui

glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan


10

kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan

sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal

dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang

mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Brunner

dan Suddarth, 2010).

4. Klasifikasi

Menurut Mansjoer (2008) berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus

(LFG) yang di tunjukkan, gagal ginjal dibagi menjadi:

a. GGK Stadium 1 : LFG > 90 ml/menit

b. GGK Stadium 2 : LFG 60 - 89 ml/menit

c. GGK Stadium 3 : LFG 30 - 59 ml/menit

d. GGK Stadium 4 : LFG 15 - 29 ml/menit

e. GGK Stadium 5 : LFG < 15 ml/menit

5. Manifestasi Klinis

Menurut Suhardjono (2011), manifestasi klinik yang muncul pada

pasien dengan gagal ginjal kronik yaitu:

a. Gangguan pada sistem gastrointestinal

1) Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan

gangguan metabolisme protein dalam usus.

2) Mulut bau amonia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air

liur.

3) Cegukan (hiccup)

4) Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.


11

b. Sistem Integumen

1) Kulit berwarna pucat akibat anemia. Gatal dengan ekskoriasi akibat

toksin uremik.

2) Ekimosis akibat gangguan hematologis

3) Urea frost akibat kristalisasi urea

4) Bekas-bekas garukan karena gatal

5) Kulit kering bersisik

6) Kuku tipis dan rapuh

7) Rambut tipis dan kasar

c. Sistem Hematologi

1) Anemia

2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia

3) Gangguan fungsi leukosit.

d. Sistem saraf dan otot

1) Restles leg syndrome

2) Burning feet syndrome

3) Ensefalopati metabolic

4) Miopati

e. Sistem Kardiovaskuler

1) Hipertensi

2) Akibat penimbunan cairan dan garam.

3) Nyeri dada dan sesak nafas

4) Gangguan irama jantung

5) Edema akibat penimbunan cairan.


12

f. Sistem Endokrin

1) Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-

laki.

2) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dan gangguan

sekresi insulin.

3) Gangguan metabolisme lemak.

4) Gangguan metabolisme vitamin D.

6. Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2008), penatalaksanaan medis pada pasien

dengan gagal ginjal kronik yaitu :

a. Tentukan dan tata laksana penyebabnya.

b. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Pada

beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau

diuretik loop (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah

kelebihan cairan.

c. Diet tinggi kalori dan rendah protein. Diet rendah protein (20-40

g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea

dari uremia.

d. Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal,

keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung

tekanan darah. Diperlukan diuretik loop, selain obat antihipertensi.

e. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit. Hindari masukan kalium yang

besar (batasi hingga 60 mmol/hari) atau diuretik hemat kalium, obat-


13

obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium (misalnya,

penghambat ACE dan obat antiinflamasi nonsteroid).

f. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal. Hiperfosfatemia

dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti aluminium

hidroksida (300 – 1800 mg) atau kalsium karbonat (500– 3000 mg)

pada setiap makan.

g. Deteksi dini dan terapi infeksi. Pasien uremia harus diterapi sebagai

pasien imunosupresif dan diterapi lebih ketat.

h. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal. Banyak obat yang harus

diturunkan dosisnya karena metaboliknya toksis dan dikeluarkan oleh

ginjal. Misal : digoksin, aminoglikosid, analgesik opiat, amfoterisin.

i. Deteksi dan terapi komplikasi. Awasi dengan ketat kemungkinan

ensefalopati uremia, perikarditis, neuropati perifer, hiperkalemia yang

meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam

jiwa, sehingga diperlukan dialisis.

j. Persiapkan dialisis dan program transplantasi. Segera dipersiapkan

setelah gagal ginjal kronik dideteksi.

B. Konsep Dasar Hemodialisa

1. Pengertian Hemodialisa

Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah,

dan dialysis yang berarti pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah

proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis

digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien
14

berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (Nursalam,

2010).

Hemodialisa adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui

dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafikasi, kemudian darah kembali

lagi ke dalam tubuh pasien (Baradero Mary, dkk., 2009).

Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat

sisa nitrogen yang terdiri atas ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan

elektrolit seperti kalium, fosfor, dan lain-lain yang berlebihan pada klien

gagal ginjal kronik, khususnya pada gagal ginjal terminal (GGT) (Hartono,

2008).

2. Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialisa adalah untuk memindahkan produk-produk

limbah yang terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam

mesin dialysis (Muttaqin & Sari, 2011).

Menurut Nurdin (2009), sebagai terapi pengganti, kegiatan

hemodialisa mempunyai tujuan :

a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan

asam urat.

b. Membuang kelebihan air.

c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.

d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

e. Memperbaiki status kesehatan penderita.


15

3. Prinsip Hemodialisa

Menurut Muttaqin & Sari (2011) disebutkan bahwa ada tiga prinsip

yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu :

a. Difusi

Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan

kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.

b. Osmosis

Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi

yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat.

c. Ultrafiltrasi

Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena

perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat.

4. Dosis dan Kecukupan Dosis Hemodialisa

a. Dosis hemodialisa

Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali

seminggu dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3

kali seminggu dengan setiap hemodialisa selama 4 jam (Suwitra,

2007).

Berdasarkan penelitian Kartika Sari (2014) pelaksanaan terapi

hemodialisa sekuarang-kurangnya selama 12 bulan sejak penderita di

diagnosis menderita gagal ginjal kronis. Sehingga dalam penelitian

tersebut lama menjalani terapi hemodialisa di kategorikan menjadi:

<12 bulan, 12-24 bulan, dan > 24 bulan. Pembentukan kategori ini
16

untuk memudahkan peneliti dalam mengukur kualitas hidup penderita

gagal ginjal kronis.

b. Kecukupan dosis hemodialisa

Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan

adekuasi hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan

menghitung urea reduction ratio (URR) dan urea kinetic

modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai rasio antara

kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum pascadialisis

dengan kadar ureum pascadialisis. Kemudian, perhitumgan nilai Kt/V

juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan pascadialisis, berat

badan pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama

proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa dengan dosis

2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan

nilai Kt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al., 2008).

5. Terapi Hemodialisa

Selama tindakan hemodialisa dilakukan, darah yang kontak dengan

dialyzer dan selang dapat menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal

ini dapat mengganggu cara kerja dialyzer dan proses hemodialisis itu

sendiri. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses

hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah

dalam dialyzer dan selang tetap lancar. Terapi yang digunakan selama

proses hemodialisis, yaitu:


17

a. Heparin

Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain

karena mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk

disingkirkan oleh tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk

hemodialisa yang ditentukan oleh faktor kebutuhan pasien dan faktor

prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan

hemodialisa, yaitu :

1) Routine continuous infusion (heparin rutin)

Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi

tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dmulai.

Kemudian dilanjutkan 750-1250 U/kg/jam selama proses

hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1 jam

sebelum hemodialisa selesai.

2) Repeated bolus

Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit

sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis

injeksi tunggal 30-50 U/kg berulang-ulang sampai hemodialisa

selesai.

3) Tight heparin (heparin minimal)

Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko

perdarahan ringan sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju

infus diberikan lebih rendah daripada routine continuous

infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai.


18

b. Heparin-free dialysis (Saline).

Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko

perdarahan berat atau tidak boleh menggunakan heparin. Untuk

mengatasi hal tersebut diberikan normal saline 100 ml dialirkan dalam

selang yang berhubungan dengan arteri setiap 15-30 menit sebelum

hemodialisa. Heparin-free dialysis sangat sulit untuk dipertahankan

karena membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250 ml/menit).

c. Regional Citrate

Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang mengalami

perdarahan, sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang

tidak boleh menerima heparin. Kalsium darah adalah faktor yang

memudahkan terjadinya pembekuan, maka dari itu untuk

mengencerkan darah tanpa menggunakan heparin adalah dengan jalan

mengurangi kadar kalsium ion dalam darah. Hal ini dapat dilakukan

dengan memberikan infus trisodium sitrat dalam selang yang

berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat yang

bebas kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah

yang telah mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh

pasien dengan kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat

pemberian trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan dengan

arteri sebaiknya juga diimbangi dengan pemberian kalsium klorida

dalam selang yang berhubungan dengan vena. (Swartzendruber et al.,

2008).
19

6. Diet Pasien Hemodialisa

Menurut Suwitra 2007, diet pasien hemodialisa mengacu pada

tingkat perburukan fungsi ginjalnya. Sehingga, ada beberapa unsur yang

harus dibatasi konsumsinya yaitu :

a. Asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari,

b. Asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat adanya penurunan

fungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal.

c. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari.

d. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada

ditambah dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.

e. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikan

tekanan darah dan edema.

Menurut Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

(2011), hal yang harus diperhatikan pada diet pasien hemodialisis :

a. Diet Rendah Kalium (Potassium) Dan Natrium (Sodium)

Natrium banyak terkandung dalam garam dapur (natrium klorida).

Bagi penderita gagal ginjal, hindari makanan yang mengandung

natrium tinggi. Terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang

mengandung tinggi natrium menyebabkan kita menjadi banyak

minum, padahal asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik

perlu dibatasi. Asupan garam yang dianjurkan sebelum dialysis antara

2,5-5 gr garam/hari. Nilai normal natrium adalah 135-145 mmol/L.

Pantangan besar :

1) Makanan dan minuman kaleng (Na Benzoat)


20

2) Manisan dan asinan

3) MSG/ Vetsin/ Moto

4) Ikan asin dan daging asap

5) Garam (makanan tidak boleh terlalu asin).

Kalium adalah mineral yang ada dalam makanan dengan nilai

normalnya adalah  3.5-5.5 mmol/L. Kalium banyak pada buah dan

sayur. Kalium memiliki peran penting dalam aktivitas otot polos

(terutama otot jantung)  dan sel    saraf. Ginjal normal akan

membuang kelebihan kalium, namun pada pasien, kemampuan

tersebut menurun, sehingga  dapat terjadi akumulasi/ penimbunan

kalium dalam darah. Biasanya konsentrasi kalium yang tinggi adalah

lebih berbahaya daripada konsentrasi kalium yang rendah. 

Asupan kalium yang dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari.

Konsentrasi kalium darah yang lebih dari 5.5 mEq/L akan

mempengaruhi sistem konduksi listrik jantung. Kadar kalium yang

sangat tinggi akan membuat otot melemah, mengganggu irama

jantung dan dapat menyebabkan kematian. Pilih buah/sayur yang

rendah kalium. Makanan Yang Tinggi Kalium

1) Buah : pisang, alpukat, kurma, duku, pepaya,  apricot, kismis,

prune.

2) Sayuran : petersell, daun papaya muda, kapri, seledri batang,

kembang kol.
21

b. Fosfor Dan Kalsium

Tubuh memerlukan keseimbangan fosfor dan kalsium, terutama

untuk membangun massa tulang. Jika ginjal sudah tidak berfungsi

dengan baik maka kadar fosfor naik sehingga kalsium menjadi turun.

Agar aliran darah tetap stabil, pasokan kalsium diambil dari tulang

sehingga massa kalsium dalam tulang menjadi berkurang. Hal ini

yang menyebabkan tulang mudah retak atau patah. Jumlah fosfor

yang dibutuhkan sehari 800-1.200 mg, sedangkan kalsium 1.000 mg.

Agar dapat menyeimbangkan jumlah keduanya, sebaiknya perhatikan

kandungannya dalam bahan makanan.  Dalam darah, nilai normal

fosfor : 2,5-4,5  mg/dl, sedangkan kalsium : 8,4-10,2 mg/dl.

Fosfor adalah mineral yang dibutuhkan tubuh untuk tulang. Jika

ginjal tidak berfungsi baik, kelebihan fosfor tidak bisa dibuang. Kadar

fosfor yang tinggi dapat menurunkan kadar kalsium di tulang,

melepaskannya ke darah, sehingga kadar kalsium dalam darah

meningkat. Ini akan menyebabkan tulang rapuh, gatal2, tulang nyeri

dan mata merah. Makanan Tinggi fosfor :

1) Produk susu     : susu, keju, yoghurt, es  krim.

2) Produk sereal   : oatmeal, coklat, waffle, roti gandum.

3) Sayuran    : kacang-kacanganan, biji bunga matahari, kedelai.

4) Daging, Ikan dan telur : hati, seafood (udang, kepiting), kuning

telur, sarden, ikan bilis.


22

c. Cairan

Pada pasien hemodialisis mudah terjadi penumpukan cairan yang

berlebih karena fungsi ekskresi ginjal yang terganggu.  Asupan cairan

dalam 24 jam setara dengan urin yang dikeluarkan 24 jam ditambah

500 cc (berasal dari pengeluaran cairan dari keringat dan BAB). Ingat

juga bahwa makanan berkuah tetap dihitung sebagai cairan.

Pantangan besar : Air kelapa dan minuman isotonik. Dengan

perhatian khusus : kopi, susu, teh, lemon tea. Tips mengurangi rasa

haus :

1) Kurangi konsumsi garam.

2) Mengisap/mengkulum es batu.

3) Mengunyah permen karet

Menurut KEMKES RI (2011), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh

pasien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa :

1) Makanlah secara teratur, porsi kecil tetapi sering.

2) Diet Hemodialisis ini harus direncanakan perorangan, karena

nafsu makan pasien umumnya rendah sehingga perlu diperhatikan

makanan kesukaan pasien.

3) Untuk membatasi banyaknya jumlah cairan , masakan lebih baik

dibuat dalam bentuk tidak berkuah misalnya: ditumis, dikukus,

dipanggang, dibakar, digoreng.

4) Bila ada edema (bengkak di kaki), tekanan darah tinggi, perlu

mengurangi garam dan menghindari bahan makanan sumber


23

natrium lainnya, seperti minuman bersoda, kaldu instan, ikan asin,

telur asin, makanan yang diawetkan, vetsin, bumbu instan.

5) Hidangkan makanan dalam bentuk yang menarik sehingga

menimbulkan selera.

6) Makanan tinggi kalori seperti sirup, madu, permen, dianjurkan

sebagai penambah kalori, tetapi hendaknya tidak diberikan dekat

waktu makan, karena mengurangi nafsu makan.

7) Agar meningkatkan cita rasa, gunakanlah lebih banyak bumbu-

bumbu seperti bawang, jahe, kunyit, salam, dll

8) Cara untuk mengurangi kalium dari bahan makanan : cucilah

sayuran, buah, dan bahan makanan lain yang telah dikupas dan

dipotong-potong kemudian rendamlah bahan makanan dalam air

pada suhu 50-60 derajat celcius (air hangat) selama 2 jam,

banyaknya air 10 kali bahan makanan. Air dibuang dan bahan

makanan dicuci dalam air mengalir selama beberapa menit.

Setelah itu masaklah. Lebih baik lagi jika air yang digunakan

untuk memasak banyaknya 5 kali bahan makanan.

7. Komplikasi Tindakan Hemodialisa

Menurut Tisher dan Wilcox (1997) dalam Havens dan Terra (2010)

selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang

terjadi, antara lain :

a. Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya

hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram


24

otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat

dengan volume yang tinggi.

b. Hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya

dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik,

dan kelebihan tambahan berat cairan.

c. Aritmia, Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama

dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat

serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien

hemodialisa.

d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat

diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang

kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu

gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien

osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang

menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya

terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan

azotemia berat.

e. Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu

dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi

kardiopulmonar.

f. Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit

dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan

heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya

perdarahan.
25

g. Ganguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah

yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering

disertai dengan sakit kepala.

h. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.

i. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin

yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

8. Dampak psikologis tindakan hemodialisa

Aspek psikososial menjadi penting diperhatikan karena perjalanan

penyakit yang kronis dan sering membuat pasien tidak ada harapan. Pasien

sering mengalami ketakutan, frustasi dan timbul perasaan marah dalam

dirinya (Harvey S, 2007). Penelitian oleh para profesional di bidang

penyakit ginjal menemukan bahwa lingkungan psikososial tempat pasien

gagal ginjal tinggal mempengaruhi perjalanan penyakit dan kondisi fisik

pasien (Leung, 2012).

Kondisi yang telah disebutkan di atas yang membuat salah satu

tugas perawat dialisis sebelum melakukan prosedur hemodialisis kepada

pasien disarankan untuk menilai status kesehatan jiwa pasien yang akan

dihemodialisis (Hudson et al, 2010). Menurut Andri (2017) Beberapa jenis

gangguan jiwa yang sering terjadi pada pasien hemodialisis diantaranya:

a. Depresi

Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak

ditemukan pada pasien gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada

populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada laki-laki dan 1,8%-23%

pada wanita, namun pada pasien hemodialisis prevalensinya sekitar


26

20%-30% bahkan bisa mencapai 47%. Hubungan depresi dan

mortalitas yang tinggi juga terdapat pasien-pasien yang menjalani

hemodialisis jangka panjang (Chen et al. 2010). Kondisi afeksi yang

negatif pada pasien gagal ginjal juga seringkali bertumpang tindih

gejalanya dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal yang mengalami

uremia seperti iritabilitas, gangguan kognitif, encefalopati, akibat

pengobatan atau akibat hemodialisis yang kurang maksimal (Cukor et

al.2007)

Pendekatan psikodinamik pada gangguan depresi adalah suatu

kondisi yang berhubungan dengan hilangnya sesuatu di dalam diri

manusia tersebut. Hal ini disebut sebagai faktor eksogen sebagai

penyebab depresinya. Kondisi gagal ginjal yang biasanya dibarengi

dengan hemodialisis adalah kondisi yang sangat tidak nyaman.

Kenyataan bahwa pasien gagal ginjal terutama gagal ginjal kronis yang

tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan

dampak psikologis yang tidak sedikit. Faktor kehilangan sesuatu yang

sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian adalah

hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis. Hal ini bisa menimbulkan gejala-gejala

depresi yang nyata pada pasien gagal ginjal sampai dengan tindakan

bunuh diri.

b. Sindrom Disequilibrium

Kondisi sindrom disequilibrium cukup sering terjadi pada pasien

yang menjalani hemodialisis. Hal ini biasanya terjadi selama atau


27

segera setelah proses hemodialisis. Kondisi ini disebabkan oleh

koreksi berlebihan dari keadaan azotemia yang membuat

ketidakseimbangan osmotik dan perubahan pH darah yang cepat.

Kondisi ketidakseimbangan ini yang membuat adanya edema serebral

yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala klinik seperti sakit kepala,

mual, keram otot, iritabilitas, agitasi, perasaan mengantuk dan kadang

kejang. Gejala psikosis juga bisa terjadi. Sindrom disequilibrium biasa

terjadi setelah 3 s.d. 4 jam setelah hemodialisis namun bisa juga terjadi

8-48 jam setelah prosedur itu dilakukan.

c. Demensia Dialisis

Demensia dialisis disebabkan karena keracunan alumunium yang

berasal dari cairan dialisis dan garam alumunium yang digunakan

untuk mengatur level fosfat serum. Pencegahannya dengan

menggunakan bahan dialisis yang tidak mengandung alumunium. Pada

awalnya kondisi ini dapat kembali baik namun jika dibiarkan dapat

menjadi progresif sampai dengan periode 1-15 bulan ke depan setelah

gejala awal. Kematian biasanya terjadi dalam rentang 6-12 bulan

setelah permulaan gejala.

C. Konsep Depresi

1. Pengertian Depresi

Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai

dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan

sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam

menilai realitas (Reality Testing Ability, masih baik), kepribadian tetap


28

utuh atau tidak mengalami keretakan kepribadian (Splitting of

personality), perilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal

(Hawari, 2010).

Depresi adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih,

merasa sendirian, rendah diri, putus asa, biasanya disertai tanda–tanda

retardasi psikomotor atau kadang-kadang agitasi, menarik diri dan terdapat

gangguan vegetatif seperti insomnia dan anoreksia (Kaplan, 2013).

Bermacam-macam gangguan psikiatrik, dapat dialami penderita

stroke, gagal ginjal dan penyakit kronis lainnya, hal ini sudah lama

diketahui oleh para ahli. Emil Kraeplin mengatakan bahwa penyakit

serebrovaskuler bisa menyertai gangguan manik depresif (Bipolar I) atau

menyebabkan keadaan depresi (Kaplan, 2013).

2. Klasifikasi Depresi

Klasifikasi depresi menurut DSM IV (Diagnostic and Stastistical

Manual of Mental Disorders) yaitu :

a. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar

b. Gangguan mood spesifik lainnya

1) Gangguan distimik depresi minor

2) Gangguan siklotimik depresi dan hipomanik saat ini atau baru saja

berlalu (secara terus-menerus selama 2 tahun).

3) Gangguan depresi atipik

4) Depresi postpartum

5) Depresi menurut musim


29

c. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi

akibat zat.

d. Gangguan penyesuaian dengan mood : depresi disebabkan oleh stresor

psikososial (Amir, 2009).

3. Tanda dan Gejala Depresi

Menurut Lumbantobing (2010), gejala-gejala depresi meliputi :

a. Gangguan tidur

b. Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (puyeng), rasa nyeri,

pandangan kabur, gangguan saluran cerna,gangguan nafsu makan

(meningkat atau menurun), konstipasi, perubahan berat badan

(menurun atau bertambah).

c. Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atau

hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau

menurun, tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual

berubah (mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati

dan gejala biasanya lebih buruk di pagi hari.

d. Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia,

letupan menangis), pikiran yang negatif, gampang tersinggung, marah,

frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan

sosial, kehilangan kenikmatan & perhatian terhadap kegiatan yang

biasa dilakukan, banyak memikirkan kematian & bunuh diri, perasaan

negatif terhadap diri sendiri, persahabatan serta hubungan sosial.


30

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Depresi

Faktor yang diduga menjadi penyebab depresi secara garis besar

dibedakan menjadi faktor biologis dan faktor psikososial. Faktor tersebut

berinteraksi satu sama lain. Sebagai contoh faktor psikososial dapat

mempengaruhi faktor biologis (contoh, konsentrasi neurotransmiter

tertentu). Faktor biologis dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap

stressor psikososial (Amir, 2009).

Faktor yang diduga sebagai penyebab depresi dapat saling

berinteraksi adalah :

a. Faktor biologi, meliputi genetik/ keturunan dan proses penuaan,

abnormalitas tidur, kerusakan syaraf atau penurunan neurotransmiter,

norefeneprin, serotonin, dan dopamin; hiperaktifitas aksis sistem

limbik-hipotalamus-adrenal (Kaplan, 2013).

b. Faktor psikososial meliputi faktor ekstrinsik yaitu : peristiwa

kehidupan yang dapat menyebabkan harga diri rendah dan tidak dapat

dihadapi dengan efektif, kehilangan seseorang atau dukungan,

tekanan sosial; dan faktor intrinsik meliputi sifat kepribadian yaitu

narcissistic, obsessive – compluse, dan dependen personality, konflik

dari diri sendiri yang tidak terselesaikan, perasaan bersalah, evaluasi

diri yang negatif, pemikiran pesimis, kurang pertolongan, penyakit

fisik serta penggunaan obat – obatan dan pendekatan/ persepsi

terhadap kematian (Faisal, 2007). Faktor intrinsik lainnya

ketidakmampuan dalam melakukan Activity Daily Living (Auryn,

2007).
31

5. Ukuran Skala Depresi

HDRS atau Hamilton Rating Scale for Depression merupakan

salah satu dari berbagai intrumen untuk menilai depresi. Penelitian yang

membandingkan HDRS dengan skor depresi lain didapatkan konsistensi.

Reliabilitas antara pemeriksa pada umumnya cukup tinggi. Demikian juga

halnya reliabilitas oleh satu pemeriksa yang dilakukan pada waktu yang

berbeda (Riwanti, 2007).

Adapun untuk mengukur tingkat depresi seseorang menggunakan

Hamilton Rating Scale for Depression (A. Aziz, 2007) :

a. Keadaan perasaan sedih (sedih, putus asa, tak berdaya, tak berguna)

Perasaan ini ada hanya bila ditanya; perasaan ini dinyatakan secara

verbal spontan; perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal,

misalnya ekspresi muka, bentuk, suara, dan kecenderungan menangis;

pasien menyatakan perasaan yang sesungguhnya ini dalam

komunikasi baik verbal maupun nonverbal secara spontan.

b. Perasaan bersalah

Menyalahkan diri sendiri dan merasa sebagai penyebab penderitaan

orang lain; ada ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahan-

kesalahan masa lalu; sakit ini sebagai hukuman, waham bersalah dan

berdosa; ada suara-suara kejaran atau tuduhan dan halusinasi

penglihatan tentang hal-hal yang mengancamnya.


32

c. Bunuh diri

Merasa hidup tak ada gunanya, mengharapkan kematian atau

pikiran-pikiran lain kearah itu, ada ide-ide bunuh diri atau langkah-

langkah ke arah itu.

d. Gangguan pola tidur (initial insomnia)

Ada keluhan kadang-kadang sukar masuk tidur misalnya, lebih dari

setengah jam baru masuk tidur; ada keluhan tiap malam sukar masuk

tidur

e. Gangguan pola tidur (middle insomnia)

Pasien mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam, terjadi

sepanjang malam (bangun dari tempat tidur kecuali buang air kecil)

f. Gangguan pola tidur (late insomnia)

Bangun saat dini hari tetapi dapat tidur lagi, bangun saat dini hari

tetapi tidak dapat tidur lagi

g. Kerja dan kegiatan-kegiatannya

Pikiran perasaan ketidakmampuan keletihan/kelemahan yang

berhubungan dengan kegiatan kerja atau hobi; hilangnya minat

terhadap pekerjaan/hobi atau kegiatan lainnya baik langsung atau

tidak pasien menyatakan kelesuan, keragu-raguan dan rasa bimbang;

berkurangnya waktu untuk aktivitas sehari-hari atau produktivitas

menurun. Bila pasien tidak sanggup beraktivitas, sekurang-kurangnya

3 jam sehari dalam kegiatan sehari-hari; tidak bekerja karena sakitnya

sekarang (dirumah sakit) bila pasien tidak bekerja sama sekali, kecuali
33

tugas-tugas di bangsal atau jika pasien gagal melaksanakan; kegiatan-

kegiatan di bangsal tanpa bantuan

h. Kelambanan (lambat dalam berpikir , berbicara gagal berkonsentrasi,

dan aktivitas motorik menurun ). Sedikit lamban dalam wawancara;

jelas lamban dalam wawancara; sukar diwawancarai; stupor (diam

sama sekali)

i. Kegelisahan (agitasi)

Kegelisahan ringan; memainkan tangan jari-jari, rambut, dan lain-

lain; bergerak terus tidak dapat duduk dengan tenang; meremas-remas

tangan, menggigit-gigit kuku, menarik-narik rambut, menggigit-gigit

bibir

j. Kecemasan (ansietas somatik)

Sakit nyeri di otot-otot, kaku, dan keduten otot; gigi gemerutuk;

suara tidak stabil; tinitus (telinga berdenging); penglihatan kabur;

muka merah atau pucat, lemas; perasaan ditusuk-tusuk

k. Kecemasan (ansietas psikis)

Ketegangan subyektif dan mudah tersinggung; mengkhawatirkan

hal-hal kecil; sikap kekhawatiaran yang tercermin di wajah atau

pembicaraannya; ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya

l. Gejala somatik (pencernaan)

Nafsu makan berkurang tetapi dapat makan tanpa dorongan teman,

merasa perutnya penuh; sukar makan tanpa dorongan teman,

membutuhkan pencahar untuk buang air besar atau obat-obatan untuk

saluran pencernaan
34

m. Gejala somatik (umum)

Anggota gerak, punggung atau kepala terasa berat; sakit punggung,

kepala dan otot-otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan

n. Kotamil (genital)

Sering buang air kecil terutama malam hari dikala tidur; tidak haid,

darah haid sedikit sekali; tidak ada gairah seksual dingin (firgid);

ereksi hilang; impotensi

o. Hipokondriasis (keluahan somatik, fisik yang berpindah-pindah)

Dihayati sendiri, preokupasi (keterpakuan) mengenai kesehatan

sendiri, sering mengeluh membutuhkan pertolongan orang lain, delusi

hipokondriasi

p. Kehilangan berat badan

Berat badan berkurang berhubungan dengan penyakitnya

sekarang,jelas penurunan berat badan,tak terjelaskan lagi penurunan

berat badan

q. Insight (pemahaman diri). Mengetahui sakit tetapi berhubungan

dengan penyebab-penyebab iklim, makanan, kerja berlebihan, virus,

perlu istirahat, dan lain-lain

r. Variasi Harian. Adakah perubahan atau keadaan yang memburuk pada

waktu malam atau pagi

s. Depersonalisasi (perasaan diri berubah) dan derealisasi (perasaan tidak

nyata tidak realistis)


35

t. Gejala-gejala paranoid. Kecurigaan; pikiran dirinya menjadi pusat

perhatian, atau peristiwa kejadian diluar tertuju pada dirinya (ideas

refence); waham kejaran

u. Gejala-gejala obsesi dan kompulsi

Adapun cara penilaian masing-masing gejala adalah sebagai

berikut (A. Aziz, 2007) :

a. 0 : Tidak ada (tidak ada gejala sama sekali)

b. 1 : Ringan (satu gejala dari pilihan yang ada)

c. 2 : sedang (separuh dari gejala yang ada)

d. 3 : berat (lebih dari separuh dari gejala yang ada)

e. 4 : sangat berat (semua gejala ada)

Untuk penilaian skornya yaitu (Aziz, 2007) :

a. Kurang dari 17 : tidak ada depresi

b. 18 – 24 : depresi ringan

c. 25 – 34 : depresi sedang

d. 35 – 51 : depresi berat

e. 52 – 68 : depresi berat sekali

6. Tingkat depresi dan gejalanya

Menurut Aziz (2007) tingkat depresi bisa dikenali dengan gejala

yang ditunjukkan penederitanya seperti:

a. Depresi ringan : sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama

depresi seperti tersebut diatas, ditambah sekurang-kurangnya sekitar 2

minggu, hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social

yang biasa ddilakukan.


36

b. Depresi sedang : sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama

depresi seperti pada episode depresi ringan, ditambah sekurang-

kurangnya 3 ( dan sebaiknya 4 ) dari gejala lainya, lamanya seluruh

episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu, menghadapi kesulitan

nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah

tangga.

c. Depresi berat : semua gejala depresi utama harus ada. Ditambah

sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainya, dan beberapa diantaranya

harus berintensitas berat. Dalam hal demikian, penilaian secara

menyeluruh terhadap episode depresi berat harus berlangsung

sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan

beromset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan

diagnostik dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu, sangat tidak

mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan

atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
37

D. Kerangka Konsep

Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan

dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (baik

variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti). Kerangka konsep akan

menghubungkan hasil penemuan dengan teori. (Nursalam, 2008). Kerangka

konsep dalam penelitian ini adalah:

Gagal Ginjal Kronis


(GGK)
Variabel Independen

Depresi Variabel dependen: 1. < 12 bulan


Lamanya Menjalani 2. 12-24
Hemodialisa bulan
3. >24 bulan
(Kartika Sari,
Tingkat Depresi (Skal 2014)
HDRS):
Tidak Depresi
Depresi ringan
Depresi sedang
Depresi berat
Depresi berat sekali

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 2.1. : Kerangka Konseptual Penelitian Analisa tingkat depresi dengan


lamanya pasien menjalani hemodialisa di RSUD Dr. R. Soedjono
Selong.
38

E. Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang

diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris

(Notoatmodjo, 2010). Sedangkan menurut Arikunto (2009) Hipotesa adalah

suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian,

terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis pada penelitian ini adalah:

H : Ada pengaruh tingkat depresi dengan lamanya menjalani

o hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronis (GGK) di RSUD Dr.

R. Soedjono Selong

H : Tidak ada pengaruh tingkat depresi dengan lamanya menjalani

a hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronis (GGK) di RSUD Dr.

R. Soedjono Selong

Anda mungkin juga menyukai