Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Biofarmasi ( biofarmasetika ) adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat
fisikokimia formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat serta faktor-faktor yang
mempengaruhi bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan dan
jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dan bertujuan untuk mengatur
pelepasan obat sedemikian rupa kesirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan
yang optimal pada kondisi klinik tertentu. Sewaktu obat mengalami absorbsi
sistemik berbagai proses fisiologik normal yang berkaitan dengan distribusi dan
eliminasi biasanya tidak dipengaruhi oleh formulasi obat. Biofarmasi juga
termasuk dalam farmakokinetika karena kekuatan dan lamanya daya kerja obat
diatur dalam proses farmakokinetika yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi atau sering disebut ADME.
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak
terkendali. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis
lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan
(invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan
yang tidak terkendali tersebut disebabkan adanya kerusakan DNA, sehingga
menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa
contoh obat yang digunakan dalam pengobatan penyakit ini antara lain :
Siklofosfamid, 5-FU, Vinkristin,Vinblastin, Etinil estradiol, dll.
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau
produksi urine. Pengobatan yang dilakukan untuk menyembuhkan penyakit ini
adalah Hemodialisis, Dialisis peritoneal, dan Transplantasi Ginjal. Sedangkan
untuk contoh obat yang digunakan sebagai pendukung antara lain : Ramipril,
Simvastatin, Suplemen zat besi, dll.

1
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah dalam makalah ini anatara lain :
1. Bagaimana perjalanan obat di dalam tubuh pada pasien kanker
2. Bagaimana perjalanan obat di dalam tubuh pada pasien gagal ginjal
3. Bagaimana perjalanan obat di dalam tubuh pada pasien kanker dan
ginjal

1.3 Tujuan
Agar memahami tentang perjalanan obat di dalam tubuh secara umum
pada pasien penyakit Kanker dan Gagal Ginjal

1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang perjalanan obat didalam tubuh yang berkaitan dengan penyakit kanker
dan Gagal Ginjal kepada pembaca.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kanker


Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak
terkendali. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis
lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan
(invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan
yang tidak terkendali tersebut disebabkan adanya kerusakan DNA,
menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa
buah mutasi dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi
tersebut dapat diakibatkan oleh agen kimia maupun agen fisik yang disebut
karsinogen. Mutasi dapat terjadi secara spontan ataupun diwariskan (mutasi
germline) (Kumar dan Robin, 1995).

Gambar 1 : Skema pembentukan kanker

2.2  Jenis Obat Anti Kanker dan Kemoterapi Kanker


a. Golongan Alkilator
Jenis-jenis obat yang termasuk dalam golongan alkilator yaitu :
1.  Siklofosfamid
Sediaan : Siklofosfamid tersedia dalam bentuk kristal 100, 200, 500 mg
dan 1,2 gram untuk suntikan, dan tablet 25 dan 50 gram untuk pemberian per
oral.

3
Indikasi : Leukemia limfositik Kronik, Penyakit Hodgkin, Limfoma non
Hodgkin, Mieloma multiple, Neuro Blastoma, Tumor Payudara, ovarium, paru,
Cerviks, Testis, Jaringan Lunak atau tumor Wilm.
Mekanisme kerja : Siklofosfamid merupakan pro drug yang dalam tubuh
mengalami konversi oleh enzim sitokrom P-450 menjadi 4-hidroksisiklofosfamid
dan aldofosfamid yang merupakan obat aktif. Aldofosfamid selanjutnya
mengalami perubahan non enzimatik menjadi fosforamid dan akrolein. Efek
siklofosfamid dipengaruhi oleh penghambat atau perangsang enzim
metabolismenya. Sebaliknya, siklofosfamid sendiri merupakan perangsang enzim
mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi aktivitas obat lain.
2. Klorambusil
Sediaan : Klorambusil tersedia sebagai tablet 2 mg. Untuk leukemia limfositik
kronik, limfoma hodgkin dan non-hodgkin diberikan 1-3 mg/m2/hari sebgai dosis
tunggal (pada penyakit hodgkin mungkin diperlukan dosis 0,2 mg/kg berat badan,
sedangkan pada limfoma lain cukup 0,1 mg/kg berat badan).
Indikasi : Leukimia limfositik Kronik, Penyakit Hodgkin, dan limfoma non
Hodgkin, Makroglonbulinemia primer.
Mekanisme kerja : Klorambusil (Leukeran) merupakan mustar nitrogen yang
kerjanya paling lambat dan paling tidak toksik. Obat ini berguna untuk
pengobatan paliatif leukemia limfositik kronik dn penyakin hodgkin (stadium III
dan IV), limfoma non-hodgkin, mieloma multipel makroglobulinemia primer
(Waldenstrom), dan dalam kombinasi dengan metotreksat atau daktinomisin pada
karsinoma testis dan ovarium.
3. Prokarbazin
Sediaan : Prokarbazin kapsul berisi 50 mg zat aktif. Dosis oral pada orang
dewasa : 100 mg/m2 sehari sebagai dosis tunggal atau terbagi selama minggu
pertama, diikuti pemberian 150-200 mg/m2 sehari selama 3 minggu berikutnya,
kemudian dikurangi menjadi 100 mg/m2 sehari sampai hitung leukosit dibawah
4000/m2 atau respons maksimal dicapai. Dosis harus dikurangi pada pasien
dengan gangguan hati, ginjal dan sumsum tulang.
Indikasi : Limfoma Hodgkin. Mekanisme kerja : Mekanisme kerja belum
diketahui, diduga berdasarkan alkilasis asam nukleat. Prokarbazin bersifat non
spesifik terhadap siklus sel. Indikasi primernya ialah untuk pengobatan penyakit

4
hodgkin stadium IIIB dan IV, terutama dalam kombinasi dengan mekloretamin,
vinkristin dan prednison (regimen MOPP).
4. Karboplatin
Sediaan : Serbuk injeksi 50 mg, 150 mg, 450 mg.
Idikasi : Kanker ovarium lanjut.
Mekanisme kerja : Mekanisme pasti masih belum diketahui dengan jelas,
namun diperkirakan sama dengan agen alkilasi. Obat ini membunuh sel pada
semua tingkat siklus, menghambat biosintesis DNA dan mengikat DNA melalui
ikatan silang antar untai. Titik ikat utama adalah N7 guanin, namun juga terjadi
interaksi kovalen dengan adenin dan sitosin.

b. Golongan Antimetabolit
Jenis-jenis obat yang termasuk dalam golongan antimetabolit yaitu :
1. 5-fluorourasil (5-FU)
Sediaan : Obat ini tersedia sebagai larutan 50 mg/mL dalam ampul 10 mL
untuk IV.
Indikasi : Kanker payudara, kolon, esofagus, leher dan kepala, Leukimia
limfositik dan mielositik akut, Limfoma non-Hodgkin.
Target enzim untuk 5-FU ini adalah timidilat sintetase. Perbedaan respon ini
berkaitan erat dengan adanya polimorfisme gen yang bertanggungjawab terhadap
ekspresi enzim timidilat sintetase (TS). Enzim ini sangat penting dalam sintesis
DNA yaitu merubah deoksiuridilat menjadi deoksitimidilat. Diketahui bahwa
sekuen promoter dari gen timidilat sintetase bervariasi pada setiap individu.
Ekspresi yang rendah dari mRNA TS berhubungan dengan meningkatnya
kemungkinan sembuh dari penderita kanker yang diobati dengan 5-FU.
2. Gemsitabin
Sediaan : Obat ini tersedia dalam bentuk larutan infus 1-1,2 g/m2.
Idikasi : Kanker paru, pankreas dan ovarium.
Mekanisme kerja : Sebelum menjadi bahan aktif, gemsitabin mengalami
fosforilasi oleh enzim deoksisitidin kinase dan kemudian oleh nukleosida kinase
menjadi nukleotida di- dan trifosfat yang dapat menghambat sintesis DNA.
Gemsitabin difosfat dapat menghambat ribonukleotida reduktase sehingga
menurunkan kadar deoksiribonukleotida trifosfat yang penting untuk sintesis
DNA.
5
3. 6-Merkaptopurin
Sediaan : Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg.
Indikasi : Leukimia limfositik akut dan kronik, leukemia mieloblastik akut dan
kronik, kariokarsinoma.
Mekanisme kerja : Merkaptopurin dimetabolisme oleh hipoxantin-guanin
fosforibosil transferase (HGPRT) menjadi bentuk nukleotida (asam-6-tioinosinat)
yang menghambat enzim interkonversi nukleotida purin. Sejumlah asam
tioguanilat dan 6-metilmerkaptopurin ribotida (MMPR) juga dibentuk dari 6-
merkaptopurin. Metabolit ini juga membantu kerja merkaptopurin. Metabolisme
asam nukleat purin menghambat proliferasi sel limfoid pada stimulasi antigenik.
4. Methotrexat
Sediaan : Tablet 2,5 mg, vial 5 mg/2ml, vial 50 mg/2ml, ampul 5 mg/ml, vial
50 mg/5ml.
Indikasi : Leukimia limfositik akut, kariokarsinoma, kanker payudara, leher
dan kepala, paru, buli-buli, Sarkoma osteogenik.
Mekanisme kerja : Metotreksat adalah antimetabolit folat yang menginhibisi
sintesis DNA. Metotreksat berikatan dengan dihidrofolat reduktase, menghambat
pembentukan reduksi folat dan timidilat sintetase, menghasilkan inhibisi purin dan
sintesis asam timidilat. Metotreksat bersifat spesifik untuk fase S pada siklus sel.
Mekanisme kerja metotreksat dalam artritis tidak diketahui, tapi mungkin
mempengaruhi fungsi imun. Dalam psoriasis, metotreksat diduga mempunyai
kerja mempercepat proliferasi sel epitel kulit.
5. Sitarabin
Sediaan : Vial 100 mg/ml, dan Vial 1 g/10 ml.
Indikasi : Termasuk zat paling aktif untuk leukemia, juga untuk limphoma,
leukemia meningeal, dan limphoma meningeal. Sedikit digunakan untuk tumor
solid.
Mekanisme kerja : Inhibisi DNA sintesis. Sitosin memasuki sel melalui proses
carrier dan harus mengalami perubahan menjadi senyawa aktifnya : arasitidin
trifosfat. Sitosin adalah analog purin dan bergabung ke dalam DNA, sehingga cara
kerja utamanya adalah inhibisi DNA polimerase yang mengakibatkan penurunan
sintesis dan perbaikan DNA. Tingkat toksisitasnya mempunyai korelasi linear
dengan masuknya sitosin ke dalam DNA, bergabungnya DNA dengan sitosin
berpengaruh terhadap aktivitas obat dan toksisitasnya.
6
c. Golongan Produk Alamiah
Jenis-jenis obat yang termasuk dalam golongan Produk Alamiah yaitu :
1. Vinkristin (VCR)
Sediaan : Tersedia dalam bentuk vial berisi larutan 1, 2, dan 5 mL yang
mengandung 1 mg/mL zat aktif untuk penggunaan IV.
Indikasi : Leukimia limfositik akut, neuroblastoma, tumor Wilms,
Rabdomiosarkoma, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin.
Mekanisme kerja : Berikatan dengan tubulin dan inhibisi formasi mikrotubula,
menahan sel pada fase metafase dengan mengganggu spindel mitotik, spesifik
untuk fase M dan S. Vinblastin juga mempengaruhi asam nukleat dan sintesis
protein dengan memblok asam glutamat dan penggunaannya.
2.  Vinblastin (VLB)
Sediaan : Tersedia dalam bentuk vial 10 mg/10 ml.
Indikasi : Penyakit Hodgkin, limfosarkoma, kariokarsinoma dan tumor
payudara.
Mekanisme kerja : Vinblastin berikatan pada tubulin dan menghambat formasi
mikrotubula, kemudian menahan sel pada fase metafase dengan cara mengganggu
spindel mitotik, spesifik untuk fase M dan S. Vinblastin juga mempengaruhi asam
nukleat dan sintesis protein dengan memblok asam glutamat dan penggunaannya.
3.  Paklitaksel
Sediaan : Anzatax (vial), Ebetaxel (vial), Paxus kalbe farma (vial)
   Indikasi : Kanker ovarium, payudara, paru, buli-buli, leher dan kepala.
Mekanisme kerja : Obat ini berfungsi sebagai racun spindel dengan cara
berikatan dengan mikrotubulus yang menyebabkan polimerisasi tubulin. Efek ini
menyebabkan terhentinya proses mitosis dan pembelahan sel kanker.
4. Etoposid
Sediaan : Tersedia dalam bentuk kapsul dan larutan injeksi.
Indikasi : Kanker testis, paru, payudara, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin,
leukimia mielositik akut, sarkoma kaposi.
Mekanisme kerja : Etoposid bekerja untuk menunda transit sel melalui fase S
dan menahan sel pada fase S lambat atau fase G2 awal. Obat mungkin menginhibisi
transport mitokrondia pada level NADH dehidrogenase atau menginhibisi uptake
nukleosida ke sel Hella. Etoposid merupakan inhibitor topoisomerase II dan
menyebabkan rusaknya strand DNA.
7
5. Irinotekan, Topotekan
Indikasi : Karsinoma ovarium, karsinoma paru sel kecil, karsinoma kolon.
Mekanisme kerja : Irinotekan merupakan bahan alami yang berasal dari
tanaman Camptotheca acuminata yang bekerja menghambat topoisomerase I, enzim
yang bertanggung jawab dalam proses pemotongan dan penyambungan kembali
rantai tunggal DNA. Hambatan enzim ini menyebabkan kerusakan DNA.
6. Daktinomisin ( AktinimisinD)
Sediaan : Tersedia dalam bentuk Injeksi, bubuk untuk rekonstitusi : 0,5 mg
(mengandung manitol 20 mg).
Indikasi : Kariokarsinoma, tumor Wilms, testis, rabdomiosarkoma, sarkoma
Kaposi.
Mekanisme kerja : Terikat pada posisi guanin pada DNA, mengalami interkalasi
antara pasang basa guanin dan sitosin sehingga menginhibisi sintesis DNA dan
RNA serta protein.
7. Antrasiklin : Daunorubisin, Doksorubisin, Mitramisin
Sediaan : Daunorubisin tersedia dalam bentuk 20 mg daunorubisin
hidroklorida dengan mannitol 100 mg. 2 mg/mL (50 mg) daunorubisin dengan 10 :
5 : 1 rasio molar distearofosfatidilkolin : kolesterol : daunorubisin. Doksorubisin
tersedia dalam bentuk vial 10 mg dan 50 mg.
Indikasi : Leukimia limfositik dan mielositik akut sarkoma jaringan lunak,
sarkoma ostiogenik, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, leukemia akut,
karsinoma payudara, genitourinaria, tiroid, paru, lambung, neuroblastoma dan
sarkoma lain pada anak-anak.
Mekanisme kerja : Interkalasi dengan DNA, mempengaruhi transkripsi dan
replikasi secara langsung. Selain itu, obat ini juga mampu membentuk kompleks
tripartit dengan topoisomerase II dan DNA. (Topoisomerase II adalah enzim
dependen ATP yang terikat pada DNA dan memisahkan untai DNA dimulai dari 3′
fosfat, menyebabkan DNA terpisah dan kemudian menggabungkannya lagi, fungsi
penting dalam replikasi DNA dan repair). Formasi kompleks tripartit dengan
antrasiklin dan etoposid menghambat pengikatan kembali untai DNA rusak,
mengakibatkan apoptosis. Efek ini memungkinkan sel rusak karena obat ini,
sementara adanya overekspresi repair DNA terkait transkripsi menunjukkan
resistensi. Antrasiklin juga membentuk radikal bebas dalam larutan pada jaringan
normal dan maligna. Intermediat semikuinon yang dihasilkan dapat bereaksi
8
dengan oksigen membentuk radikal anion superoksida yang membentuk radikal
hidroksil dan hidrogen peroksida yang menyerang dan mengoksidasi basa DNA
(~kardiotoksisitas). Produksi ini dipicu interaksi antrasiklin dengan besi.
Antrasiklin berik atan dengan membran sel mempengaruhi fluiditasdan transpor
ion.
Inhibisi sintesis DNA dan RNA dengan interkalasi antara basa DNA oleh
inhibisi topoisomerase II dan obstruksi sterik. Doksurubisin menginterkalasi pada
titik lokal ″uncoiling″ dari ikatan heliks ganda. Meskipun mekanisme aksi yang
pasti belum diketahui, mekanismenya diduga melalui ikatan langsung DNA
(interkalasi) dan inhibisi pembentukan DNA (topoisomerase II) yang selanjutnya
memblokade sintesis DNA dan RNA dan fragmentasi DNA. Doksorubisin
merupakan logam khelat yang kuat, komplek logam doksorubisin dapat mengikat
DNA dan sel membran dan menghasilkan radikal bebas yang akan merusak DNA
dan membran sel dengan cepat.
1. Bleomisin
Sediaan : Bleomisin sulfat terdapat dalam vial berisi 15 unit untuk pemberian
IV, IM, atau kadang-kadang SK atau intraarterial.
Indikasi : Kanker paru, lambung dan anus karsinoma testis dan serviks,
limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin.
Mekanisme kerja : Menghambat sintesis DNA, ikatan-ikatan DNA untuk
selanjutnya terjadi pemutusan untai tunggal dan ganda.
9. L-asparaginase
Sediaan : Obat ini tersedian dalam bentuk serbuk untuk Injeksi.
Indikasi : Leukemia limfositik akut.
Mekanisme kerja : Asparaginase menghambat sintesis protein melalui
hidrolisis asparaginase menjadi asam aspartat dan amonia. Sel leukimia, terutama
limfoblast, memerlukan asparaginase eksogen, sel normal dapat memproduksi
asparaginase. Asparaginase adalah daur spesifik untuk fase G1.
d. Golongan Hormon dan Antagonis
Jenis-jenis obat yang termasuk dalam golongan Hormon dan Antagonis yaitu :
1. Prednison
Sediaan : Obat tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan kaptab 5 mg.
Indikasi : Leukemia limfositik akut dan kronik, limfoma Hodgkin dan non-
Hodgkin, tumor payudara.
9
Mekanisme kerja : Sebagai glukokortikoid, bersifat menekan sistem imun, anti
radang.
2. Medroksiprogesteron asetat
Sediaan : Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg, 100 mg.
Indikasi : Tumor endometrium.
Mekanisme kerja : Mencegah sekresi gonadotropin pituitari yang akan
menghambat maturasi follicular yang menyebabkan penebalan endometrial.
3. Etinil estradiol
Sediaan : Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 0,02 mg, 0,03 mg, 0,05 mg dan
0,5 mg.
Indikasi : Gejala vasomotor sedang atau parah yang dihubungkan dengan
menopause (Tidak ada bukti bahwa estrogen efektif mengatasi gejala kecemasan
atau depresi yang mungkin terjadi selama atau sebelum menopause, oleh sebab itu
tidak boleh diberikan untuk indikasi tersebut). Hipogonadism pada wanita. Terapi
paliatif karsinoma prostat yang tak dapat dioperasi, pada tahap lanjut terapi paliatif
kanker payudara yang tak dapat dioperasi, hanya dilakukan dengan pertimbangan
khusus : misalnya pada wanita yang sudah lebih 5 tahun postmenopause dengan
penyakit yang makin parah dan resisten terhadap radiasi.
4. Tamoksifen
Sediaan : Tamoksifen tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan 20 mg.
Indikasi : Tumor payudara.
Mekanisme kerja : Berikatan secara kompetitif dengan reseptor estrogen pada
tumor atau target lain, membentuk kompleks nuklear yang menurunkan sintesis
DNA dan menghambat efek estrogen, agen nonstreroidal dengan sifat
antiestrogenik yang berkompetisi dengan estrogen untuk berikatan di bagian aktif
pada payudara dan jaringan lain, sel terakumulasi pada fase Go dan G1. Sehingga
tamoksifen lebih sifat sitostatik daripada sitosidal.
5. Testosteron propionate
Sediaan : Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul, injeksi, topikal,
mucoadhesive, pellet, dan transdermal.
Indikasi : Tumor payudara.
Mekanisme kerja : Androgen endogen bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan dan perkembangan organ seks pria dan mempertahankan
karakteristik seks sekunder pada pria yang mengalami defisiensi androgen.
10
2.3 Mekanisme Kerja Obat Anti Kanker Dan Kemoterapi Kanker
Sebagian besar obat kemoterapi (sitostatika) yang digunakan saat ini
bekerja terutama terhadap sel-sel kanker yang sedang berproliferasi, semakin
aktif sel-sel kanker tersebut berproliferasi maka semakin peka terhadap sitostatika
hal ini disebut Kemoresponsif, sebaliknya semakin lambat prolifersainya maka
kepekaannya semakin rendah , hal ini disebut Kemoresisten.
Pada inti sel, pada waktu sel membelah (mitosis). Makin cepat sel
bermitosis, makin sensitive terhadap kemoterapi. CELL CYCLE PHASE
SPECIFIC, yaitu obat yang bekerja pada sel yang berkembang aktif, jadi harus
diberikan secara kontinyu. CELL CYCLE PHASE NON SPECIFIC, yaitu obat
yang bekerja pada sel yang berkembang maupun yang istirahat, jadi dapat
diberikan secara single bolus.

2.4  Bentuk Sediaan Dan Dosis Dari Obat Kemoterapi


Ø Bentuk Sediaan
Kemoterapi dapat diberikan dengan cara Infus, Suntikan langsung (pada
otot, bawah kulit, rongga tubuh) dan cara Diminum (tablet/kapsul).
Dalam bentuk tablet atau kapsul yang harus diminum beberapa kali sehari.
Keuntungan kemoterapi oral semacam ini adalah: bisa dilakukan di rumah.
Dalam bentuk suntikan atau injeksi. Bisa dilakukan di ruang praktek
dokter, rumah sakit, klinik, bahkan di rumah.
Dalam bentuk infus. Dilakukan di rumah sakit, klinik, atau di rumah (oleh
paramedis yang terlatih).

Ø Dosis
Dihitung berdasar Luas Permukaan Tubuh (LPB). Sedangkan LPB dihitung
dengan table berdasarkan tinggi badan dan berat badan. Apabila tubuh pasien
makin kurus selama pemberian kemoterapi seri I dan II maka untuk pemberian
seri selanjutnya harus diukur lagi LPB-nya, mis: BB = 56 kg, TB = 150 cm,
LPT = 1,5 m2. Dosis obat X : 50 mg/m2, berarti penderita harus mendapat obat
50 x 1,5 mg = 75 mg.

11
2.5 Penyakit Ginjal

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau
produksi urine. (Sarwono, 2008)

Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit
serius atau terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri.
Penyakit gagal ginjal lebih sering dialamai mereka yang berusia dewasa, terlebih
pada kaum lanjut usia. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan
jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
(Brunner & Suddarth, 2002: 1443).

Penyakit gagal ginjal akut adalah suatu penyakit dimana ginjal tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya sebagai organ pembuangan, ginjal secara relatif
mendadak tidak dapat lagi memproduksi cairan urine yang merupakan cairan
yang mengandung zat-zat yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh dan harus
dikeluarkan dari tubuh .Gagal ginjal akut biasanya disertai oliguria (pengeluaran
kemih <400ml/ hari). (Price and Wilson, 1995 : 885). Acute renal failure (ARF)
is the rapid deterioration of renal function associated with an accumulation of
nitrogenous wastes in the body (azotemia). (Ignatavicius et all, 1995: 2147).
Secara umum, penyakit gagal ginjal adalah penyakit akhir dari serangkaian
penyakit yang menyerang traktus urinarius.

2.6 Macam-macam Gagal Ginjal

a. Gagal Ginjal Akut (GGA)

Gagal ginjal mendadak (acute renal failure) merupakan komplikasi


yang sangat gawat dalam kehamilan dan nifas , karena dapat menimbulkan
kematian , atau kerusakan fungsi ginjal yang tidak bisa sembuh lagi.
Kejadiannya 1 dalam 1300-1500 kehamilan.

12
Penderita yang mengalami sakit gagal ginjal mendadak ini sering
dijumpai pada kehamilan muda 12-18 minggu , dan kehamilan telah cukup
bulan. Pada kehamilan muda, sering disebabkan oleh abortus septik yang
disebabkan oleh bakteri Chlostridia welchii atau streptokokkus. Gambaran
klinik yaitu berupa sepsis, dan adanya tanda-tanda oliguria mendadak dan
azothemia serta pembekuan darah intravaskuler ( DIC = disseminated
intravascular coagulation ) , sehingga terjadi nekrosis tubular yang akut.

Kerusakan ini dapat sembuh kembali bila kerusakan tubulus tidak


terlalu luas dalam waktu 10-14 hari. Seringkali dilakukan tindakan
histerektomi untuk mengatasinya , akan tetapi ada peneliti yang menganjurkan
tidak perlu melakukan operasi histerektomi tersebut asal pada penderita
diberikan antibiotika yang adekuat dan intesif serta dilakukan dialisis terus
menerus sampai fungsi ginjal baik. Lainnya hal dengan nekrosis kortikal yang
bilateral, biasanya dihubungkan dengan solusia plasenta , pre-eklampsia berta
atau eklampsia , kematian janin dalam kandungan yang lama , emboli air
ketuban yang menyebabkan terjadi DIC, reaksi transfusi darah atau pada
perdarahan banyak yang dapat menimbulkan iskemi.

Penderita dapat meninggal dalam waktu 7-14 hari setelah timbulnya


anuria. Kerusakan jaringan dapat terjadi di beberapa tempat yang tersebar atau
ke seluruh jaringan ginjal. Pada masa nifas sulit diketahui sebabnya ,sehingga
disebut sindrom ginjal idiopatik postpartum. Penanggulangan pada keadaan ini
penderita diberi infus, atau transfusi darah, diperhatikan keseimbangan
elektrolit dan cairan dan segera dilakukan hemodialisis bila ada tanda-tanda
uremia. Banyak penderita membutuhkan hemodialisis secara teratur atau
dilakukan transplantasi ginjal untuk ginjal yang tetap gagal.

b. Gagal Ginjal Kronik (GGK)

terjadinya perlahan-lahan, tidak dapat sembuh. Dengan berobat teratur


dapat menghambat memburuknya fungsi ginjal.

13
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria.

2.7 Perjalanan Klinis Gagal Ginjal

Perjalanan umum gagal ginjal dapat dibagi menjadi 3 stadium:

a. Stadium I

Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % - 75 %). Tahap inilah


yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita
ini belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal
ginjal masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin
serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan
penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes
pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.

b. Stadium II

Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita
dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi
ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal
mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan
pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal.
Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat
mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih
dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-
beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar
kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar norma.

Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang
terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang
lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal

14
dengan faal ginjal diantara 5 % - 25 % . faal ginjal jelas sangat menurun
dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik,
aktifitas penderita mulai terganggu.

c. Stadium III

Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah jelas
dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas
sehari hari sebaimana mestinya. Gejala gejala yang timbul antara lain mual,
muntah, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air
kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 %
dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal
dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.

Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan
sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam
tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari
500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula
mula menyerang tubulus ginjal, Kompleks menyerang tubulus ginjal,
kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom
uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

2.8 Pengobatan

Dalam beberapa kasus, penyakit ginjal kronis dapat berkembang menjadi gagal
ginjal tahap akhir (End-Stage Renal Disease/ESRD) atau established renal
failure (ERF). Pada tahap ini, ginjal berhenti bekerja dan mengancam hidup.
Kondisi ini terjadi secara perlahan-lahan dan jarang terjadi secara tiba-
tiba. Namun banyak pengidap penyakit ginjal tetap dapat memiliki ginjal yang

15
berfungsi dengan baik sepanjang hidup mereka, namun dengan menjalani
perawatan.

Ada 3 terapi pengganti ginjal, yaitu:

a. Hemodialisis

Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya
pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis menggunakan mesin hemodialisis.
Proses terjadinya dialisis, tepatnya ada di Dializer (disebut alat ginjal
buatan). 2 hal yang paling Penting kenapa pasien gagal ginjal harus
melakukan Dialisis adalah:

1) Untuk membuang kelebihan air.

2) Untuk membuang sampah metabolisme (ureum, creatinin, asam


urat), dan kelebihan mineral, elektrolit (Fosfat, Kalium)

b. Dialisis Peritoneal

Membuang sebagian air, dan racun melalui medium rongga perut


(peritoneum).

16
Dialisis Peritoneal itu gambar B: cairan dianeal /cairan bilasan ada di
kantong luar ⇒ dimasukkan ke dalam rongga perut, diganti tiap 3- 4 kali
sehari tergantung kebutuhan.

Cairan bilasan yang dimasukkan ke dalam perut  akan didiamkan di dalam


perut (untuk menarik kelebihan air, elektrolit , dan racun) selama sekitar 5
jam nanti dibuang lagi untuk diganti cairan dianeal baru.

c. Transplantasi Ginjal

Mencangkokkan ginjal normal dari sang pendonor ke dalam tubuh pasien


untuk menggantikan ginjal yang gagal.  Membutuhkan prosedur operasi
atau bedah organ dalam.

2.9 Perawatan pendukung

Perawatan pendukung bertujuan terbatas, yaitu hanya untuk meringankan gejala


yang dirasakan penderita stadium akhir. Pada umumnya perawatan pendukung
diberikan pada penderita gagal ginjal yang tidak ingin melakukan cuci darah
atau transplantasi ginjal.

a) Menjaga Tekanan Darah

Tekanan darah tinggi dapat mempercepat perkembangan kerusakan ginjal.


Oleh sebab itu penting untuk mengontrol tekanan darah, yang dapat

17
dilakukan dengan mengubah gaya hidup seperti mengurangi konsumsi
garam dan mengurangi berat badan.

Namun jika perubahan ini belum cukup untuk mengontrol tekanan darah,
Anda mungkin membutuhkan obat-obat antihipertensi seperti penghambat
ACE (angiotensin converting enzyme inhibitor). Obat penghambat ACE
memberikan perlindungan tambahan pada ginjal dan mengurangi tekanan
pada pembuluh darah. Contoh penghambat ACE adalah ramipril dan
lisinorpil. Golongan obat ini dapat menyebabkan efek samping berupa
batuk kering, sakit kepala, dan lemah. Gejala-gejala ini dapat hilang
setelah beberapa hari pemakaian, meski pada beberapa penderita batuk
kering tetap muncul.

Selain itu terdapat juga obat anti-hipertensi yang disebut angiotensin-II


receptor blocker (ARB) meliputi: valsartan, irbesartan, dan losartan. Efek
samping dari jenis obat ini jarang namun tetap ada, misalnya rasa pusing.

b) Perbaikan Keseimbangan Fosfat

Kelebihan fosfat pada tubuh biasanya disaring oleh ginjal. Namun


penumpukan fosfat akan terjadi pada ginjal yang tidak berfungsi dengan
baik, seperti yang dapat terjadi pada pengidap penyakit ginjal stadium
empat atau lima. Maka dari itu, pengidap penyakit ginjal stadium
menengah ke atas akan disarankan untuk mengurangi konsumsi fosfat
yang umumnya terkandung dalam daging merah, makanan produk susu,
telur, dan ikan.

Selain itu, penderita akan disarankan untuk mengonsumsi obat-obatan


yang disebut pengikat fosfat. Contoh pengikat fosfat yang paling umum
digunakan adalah kalsium karbonat. Walau jarang terjadi, pengikat fosfat
dapat menimbulkan efek samping yang
meliputi: konstipasi, diare, mual, sakit perut, perut kembung, ruam serta
gatal-gatal pada kulit.

18
c) Mengurangi Kadar Kolesterol

Beberapa faktor risiko GGK seperti tekanan darah tinggi dan tingginya


kadar kolesteroldalam darah, sama dengan faktor risiko serangan
jantung dan stroke.

Dengan memiliki faktor risiko yang sama, pengidap GGK berisiko lebih
tinggi menderita sakit jantung, termasuk serangan jantung atau stroke.

Oleh sebab itu, Anda akan disarankan mengonsumsi statin untuk


membantu mengurangi risiko serangan jantung atau stroke. Statin bekerja
dengan menghambat efek enzim dalam hati Anda yang berguna untuk
membentuk kolesterol, pemicu serangan jantung.

Pada beberapa kasus, statin dapat menyebabkan sakit otot, lemas, dan
nyeri. Sementara efek samping lebih ringan yang dapat timbul adalah
sakit perut, konstipasi, diare, dan sakit kepala.

d) Konsumsi Suplemen Zat besi dan Vitamin D

Anemia atau kondisi saat tubuh tidak memiliki cukup sel darah merah,
banyak diderita pengidap GGK stadium tiga ke atas. Suplemen zat
besi untuk produksi sel-sel darah merah biasanya akan diberikan untuk
mengatasinya. Zat ini dapat diberikan dalam bentuk tablet seperti ferri
sulfat.

Hormon eritropoietin yang membantu tubuh memproduksi sel darah


merah juga bisa disuntikkan jika langkah-langkah di atas tidak dapat
mengatasi anemia. Hormon ini bisa diberikan dalam bentuk suntikan ke
dalam pembuluh darah atau di bawah kulit (subkutan).

Selain itu, pengidap penyakit ginjal berisiko kekurangan vitamin D yang


penting untuk tulang. Ini dikarenakan ginjal tidak dapat berfungsi
mengaktifkan vitamin D dari makanan dan sinar matahari. Sehingga
umumnya Anda akan mendapatkan suplemen vitamin D seperti calcitriol.

19
2.10 Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan Eksresi (ADME)

Para ahli telah memberikan nama untuk empat tahap dasar perjalanan obat


dalam tubuh: penyerapan/absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
Seluruh proses ini disingkat ADME. Ahli farmasi lainnya juga membagi
kedalam 4 fase yakni farmasetika (pra-formulasi dan formulasi obat),
biofarmasetika (ketika obat masuk dalam tubuh hingga obat terlepas dari
pembawanya hingga akan diabsorbsi), farmakokinetika (Obat diabsorbsi ke
dalam darah, yang akan segera didistribusikan melalui tiap-tiap jaringan dalam
tubuh), farmakodinamika (interaksi obat-reseptor obat, fase metabolisme dan
eksresi obat).

a. Absorbsi

Tahap pertama adalah penyerapan. Obat-obatan bisa masuk ke dalam tubuh


dalam berbagai cara, dan mereka diserap ketika mereka melakukan
perjalanan dari berbagai rute pemberian/administrasi ke dalam sirkulasi
tubuh.

Beberapa cara yang paling umum seperti melalui mulut/oral (menelan tablet
aspirin), intramuskular (mendapatkan vaksinasi flu dalam otot lengan),
subkutan (suntik insulin tepat di bawah kulit), intravena (menerima
kemoterapi melalui pembuluh darah), atau transdermal (memakai patch
kulit).

Obat menghadapi rintangan terbesarnya selama penyerapan. Ketika obat


diminum, maka akan diantarkan melalui saluran pencernaan dan diabsorbsi
melalui pembuluh darah khusus menuju ke hati, di mana sejumlah besar
obat dapat dihancurkan oleh enzim metabolik pada apa yang disebut “lintas
pertama obat/first fast effect.” Rute lain dari pemberian obat yang melewati
hati dengan memasuki aliran darah secara langsung atau melalui kulit atau
paru-paru.

20
b. Distribusi

Setelah obat diserap, tahap berikutnya adalah distribusi. Pada


umumnya aliran darah akan membawa obat-obatan ke seluruh tubuh.
Selama langkah ini, efek samping dapat terjadi ketika obat memiliki efek
dalam organ selain organ target. Untuk pereda nyeri, organ sasaran
mungkin otot sakit di kaki; iritasi lambung bisa menjadi efek samping.
Banyak faktor yang mempengaruhi distribusi, seperti kehadiran molekul
protein dan lemak dalam darah yang dapat menempatkan molekul obat
terikat untuk membawa ketempat yang dituju.

Obat yang ditargetkan menuju sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang) akan menghadapi rintangan besar yakni barikade yang hampir
tak tertembus disebut penghalang darah-otak/blood brain barrier. Blokade
ini dibangun khusus berbentuk kapiler berlapis yang bersama-sama untuk
melindungi otak dari zat-zat yang berbahaya seperti racun atau virus.
Namun ahli farmasi telah merancang berbagai cara untuk menyelinap
beberapa obat melewati penghalang ini.

c. Metabolisme

Setelah obat telah didistribusikan ke seluruh tubuh dan telah melakukan


tugasnya, obat akan pecah, atau dimetabolisme. Penguraian dari molekul
obat biasanya melibatkan dua langkah yang terjadi sebagian besar di pabrik
pengolahan kimia tubuh, yakni hati.

Hati adalah organ penting yang bekerja terus menerus. Semua yang
memasuki aliran darah baik itu melalui jalur oral, injeksi, inhalasi, kulit
atau yang diproduksi oleh tubuh secara alami akan dimetabolisme di hati.

Proses biotransformasi yang terjadi di hati dilakukan oleh protein dan


enzim. Setiap satu sel manusia memiliki berbagai enzim, yang diambil dari
ratusan ribu repertoar. Masing-masing enzim mengkhususkan diri dalam
pekerjaan tertentu. Beberapa mampu memecah molekul obat, sementara
yang lain menghubungkan molekul kecil menjadi rantai panjang. Reaksi

21
dengan obat membuat suatu substansi yang lebih mudah untuk dibuang
melalui urin. Tidak heran minum obat tertentu maka warna urin akan
berubah.

d. Eksresi

Banyak produk dari hasil pemecahan enzimatik yang biasa disebut


metabolit, biasanya merupakan senyawa yang kurang aktif dari molekul asli
obatnya. Untuk alasan ini, para ilmuwan menyebut hati sebagai organ
“detoksifikasi”. Kadang-kadang metabolit obat yang dihasilkan dapat
memiliki kegiatan kimia mereka sendiri, bahkan memiliki kekuatan serupa
dari obat aslinya. Ketika meresepkan obat-obatan tertentu, dokter harus
memperhitungkan efek samping ini. Setelah enzim hati menyelesaikan
pekerjaannya dalam membuat metabolit obat, selanjutnya akan mengalami
tahap akhir waktu dalam tubuh, yakni ekskresi dimana akan keluar melalui
urine atau feses, terkadang melalui keringat.

2.11 Pemilihan dan Interaksi Obat

Penyakit ginjal tidak hanya terdiri dari satu jenis saja. Terdapat dua jenis
penyakit ginjal, akut (kondisi sakit terjadi dalam waktu relatif cepat/tiba-
tiba/kurang dari 2 minggu) dan kronik (terjadi perlahan dalam jangka waktu
yang lama, > 2 minggu dan biasanya terjadi kelainan fungsi ginjal yang
menetap). Penyakit ginjal akut terbagi-bagi lagi menjadi jenis yang spesifik,
begitu juga penyakit ginjal kronis.

Penyakit ginjal yang menyebabkan kelainan struktur ginjal dan penurunan


fungsi ginjal tentunya harus memperhatikan konsumsi obat tertentu, terutama
yang dimetabolisme oleh ginjal. Selain itu kondisi tubuh pasien secara spesifik
juga mempengaruhi jenis obat apa saja yang harus diperhatikan efeknya pada
kondisi penyakit ginjal yang Ia alami.

Untuk menentukan obat apa saja yang perlu diwaspadai, sebaiknya


mengkonsultasikan langsung kondisi penyakit ginjal kepada Dokter. Sebab
Dokter yang melakukan pemeriksaan medis langsung pada pasien dan

22
memegang data-data medis pasien lah yang paling mengetahui kondisi pasien
dan dengan demikian dapat merancang penanganan yang terbaik.

Pada kondisi penyakit ginjal yang sudah mengalami penurunan fungsi ginjal
signifikan, biasanya Dokter mempertimbangkan pemberian dosis dan waktu
kerja obat di dalam tubuh yang biasanya tidak sama dengan pasien tanpa
gangguan fungsi ginjal.

Pengobatan yang dilakukan pada penyakit ginjal bertujuan untuk mengatasi


tanda, gejala, dan komplikasi yang muncul akibat kondisi ini. Pengobatan yang
dilakukan adalah:

a. Obat untuk hipertensi

b. Obat-obatan untuk rasa sakit (sakit kepala, punggung)

c. Antibiotik untuk infeksi saluran kemih

d. Diet rendah garam

e. Obat diuretik yang berfungsi membuang cairan berlebih di dalam tubuh

f. Dialisis (cuci darah) dan transplantasi ginjal pada penyakit ginjal yang
sangat parah

Penggunaan β-blocker sebenarnya memerlukan perhatian yang khusus terutama


pada pasien gagal ginjal. Hal ini karena terapi hipertensi dengan ß-bloker pada
penderita gagal ginjal kronik telah dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal
menurun, efek ini mungkin disebabkan karena terjadi pengurangan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerolus akibat pengurangan curah jantung dan
penurunan tekanan darah oleh obat (Ganiswarna, 1995). Namun pertimbangan
penggunaan β-blocker kardioselektif seperti Bisoprolol pada pasien gagal ginjal
disamping untuk mengontrol tekanan darah adalah untuk mengurangi terjadinya
resiko infark, jantung koroner, mengurangi kebutuhan O2 dari jantung, serta
untuk menstabilkan kontraktilitas miokard (Munar dan Singh, 2007).

23
Selain obat-obat tersebut, dalam penanganan hipertensi pada pasien gagal ginjal
juga digunakan kombinasi terapi lainya dari obat seperti Clonidine, Amlodipine,
serta obat golongan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) yaitu Losartan dan
Valsartan (Ganiswarna, 1995., Sjamsiah, 2005). Hal ini dilakukan untuk tujuan
mengontrol tekanan darah pasien yang sebagian besar fluktuatif akibat kondisi
ginjal pasien yang telah menurun (Sjamsiah, 2005).

Penggunaan obat non anti hipertensif terbesar adalah penggunaan CaCO3 dan
Asam Folat. Secara garis besar, CaCO 3 digunakan sebagai buffer dalam
penanganan kondisi asidosis metabolik yang terjadi pada hampir seluruh pasien
gagal ginjal karena kesulitan dalam proses eliminasi buangan asam hasil dari
metabolisme tubuh (Sjamsiah, 2005). CaCO3 juga digunakan dalam penanganan
kondisi hiperfosfatemia pasien. Hiperfosfatemia pada pasien gagal ginjal terjadi
akibat pelepasan fosfat dari dalam sel karena kondisi asidosis dan uremik yang
sering terjadi. CaCO3 bekerja dengan mengikat fosfat pada saluran pencernaan
sehingga mengurangi absorpsi fosfat (Sweetman, 2007). Terapi dengan Asam
Folat digunakan dalam penanganan kondisi anemia yang muncul pada pasien
kondisi uremia, defisiensi asam folat, defisiensi besi, defisiensi vitamin B 12, dan
akibat fibrosis sumsum tulang belakang (Suhardjono, et al., 2001).

2.12 Perjalanan Obat di dalam Tubuh


Obat yang digunakan atau diberikan pada penderita akan mengalami
banyak proses dalam tubuh sebelum tiba pada tempat yang dituju (target).
Proses yang dialami obat secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga fase
yaitu :

1. Fase Farmasetik, yaitu fase dimana zat aktif dilepaskan dari sediaan

2. Fase Farmakokinetik. Fase ini menggambarkan nasib obat dalam


tubuh, yaitu apa yang dilakukan tubuh terhadap obat.

3. Fase Farmakodinamik. Menggambarkan kerja obat terhadap


tubuh/reseptor, yaitu apa efek obat terhadap tubuh.

24
Fase biofarmasetika (biofarmasi) adalah ilmu yang mempelejari
hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat
serta faktor-faktor yang mempengaruhi bioavaibilitas obat. Sedangkan fase
farmakokinetika adalah proses tubuh mempengaruhi obat dimana obat
tersebut akan mengalami proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME) yang berjalan simultan langsung atau tidak langsung.
Fase farmakodinamik adalah proses obat mempengaruhi tubuh dimana
obat telah mencapai tempat target sehingga efek terapi dapat dicapai (obat
memberikan efek terapi).

Obat

Pelepasan

Absorpsi

deposit ← Distribusi → metabolisme, eliminasi

Tempat kerja (organ/reseptor)

Efek farmakologi (efek klinis/efek toksik)

Bagan di atas menggambarkan keadaan farmasetik pada saat zat aktif lepas
dari sediaan obat, farmakokinetik pada saat terjadi absorpsi, distribusi, metabolisme,
eliminasi, atau deposit setelah zat aktif dilepaskan, dan farmakodinamik, yaitu
setelah obat mengalami berbagai proses, maka obat akan menghasilkan efek pada
tempat kerja/reseptor.

25
Bagan Perjalanan Obat di dalam tubuh :

Bentuk obat tablet Tablet pecah (liberasi) menjadi ketersediaan farmasi


Granul, zat aktif terlepas dan
Dengan zat aktif larut obat untuk diabsorbsi

Fase biofarmasetika Terjadi :


Zat aktif Interaksi
Mengalami Obat
Absorbsi dengan
Distribusi reseptor
Ketersediaan hayati
Metabolisme ditempat efek
ekskresi Obat untuk memberi efek kerja

Fase farmakokinetika Fase farmakodinamik

2.14 Rute Pemberian Obat dan Bentuk Sediaan Obat


Zat aktif obat tidak dapat digunakan begitu saja untuk pengobatan,
tetapi harus dibuat suatu bentuk yang cocok serta pula dipilih rute penggunaan
obat yang sesuai agar tujuan pengobatan dapat tercapai. Rute penggunaan obat
dapat melalui beberapa cara :
1. melalui oral; yaitu masuk mulut, tenggorokan terus ke perut.
2. melalui suntikan; yaitu dengan menusukkan ke beberapa jaringan tubuh.
3. secara inhalasi; berupa gas yang dihisap melalui hidung.
2.15 Mekanisme Obat di dalam Tubuh
Ada banyak tahapan yang perlu dilalui obat mulai dari pemberian,
kemudian menghasilkan efek, dan terakhir dikeluarkan dari dalam tubuh.
Tahapan tersebut dikenal dengan nama administrasi, liberasi, absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Administrasi adalah tahap pemberian obat. Obat dapat
diberikan secara oral (melalui mulut), topikal (dioleskan pada kulit), inhalasi
(melalui hidung), intramuskular (disuntik ke otot), subkutan (disuntikkan ke
bawah kulit), kutan (disuntikkan ke kulit), atau intravena (disuntik ke pembuluh
darah). Liberasi merupakan tahap ketika obat dilepaskan dari bentuk sediaannya.
26
Obat yang digunakan secara oral umumnya memiliki bentuk sediaan tablet, pil,
kaplet, kapsul, atau serbuk. Untuk bentuk sediaan, saat berada di dalam saluran
pencernaan akan hancur. Setelah sediaan obat hancur, zat aktif (zat yang dapat
memberikan efek yang diharapkan) akan keluar kemudian larut di dalam saluran
pencernaan. Tahapan inilah yang disebut tahap liberasi. Sediaan obat yang
mengalami tahap ini adalah sediaan obat yang digunakan secara oral dan topikal.
Tahap selanjutnya adalah absorpsi. Setelah zat aktif terlarut di dalam
saluran pencernaan, zat itu akan diabsorpsi/diserap melalui dinding usus dan
memasuki pembuluh darah. Hanya zat aktif yang berada dalam keadaan larut
yang dapat diabsorpsi. Terdapat banyak mekanisme absorpsi obat melalui usus,
antara lain filtrasi, difusi pasif, transport aktif, difusi terfasilitasi, transfer
pasangan ion, atau pinositosis. Sebagian besar obat diabsorpsi menggunakan
mekanisme difusi pasif. Semua bentuk sediaan obat mengalami tahap absorpsi
kecuali obat yang digunakan secara intravena karena obat disuntikkan langsung
ke pembuluh darah sehingga obat sudah langsung berada di pembuluh darah.
Oleh karena itu, efek yang diberikan oleh obat intravena lebih cepat muncul
karena tidak perlu melalui tahap liberasi dan absorpsi.
Setelah berada di pembuluh darah, obat akan disebarkan ke seluruh tubuh
bersama-sama dengan aliran darah. Obat dapat keluar dari pembuluh darah dan
memasuki organ-organ tubuh. Tahap inilah yang disebut dengan tahap distribusi.
Pada tahapan ini, obat sudah dapat mencapai tempat kerja dan memberikan efek
yang diharapkan. Seperti contoh di atas, antibiotik yang dibawa aliran darah dari
usus dapat memasuki ginjal dan bekerja di ginjal membunuh bakteri. Beberapa
senyawa obat juga dapat melintasi plasenta/tali pusat sehingga penggunaan obat-
obat tersebut pada ibu hamil perlu dipertimbangkan karena ada kemungkinan
berbahaya bagi janin. Jika obat yang melintasi plasenta mengandung racun bagi
janin, dapat menyebabkan kelahiran cacat atau kematian janin. Jika bukti klinis
terhadap penggunaan obat tersebut bagi ibu hamil tidak memberikan efek yang
berbahaya, obat tersebut dapat digunakan untuk ibu hamil. Beberapa senyawa
obat juga dapat memasuki otak. Beberapa jenis obat flu yang terdapat di pasaran
dapat menimbulkan rasa kantuk sebagai efek samping. Hal ini disebabkan
senyawa obat tersebut dapat masuk ke otak dan bekerja menimbulkan rasa
kantuk. Namun saat ini sudah banyak ditemui obat flu yang bebas kantuk
sehingga penderita tetap dapat bekerja secara efektif. Hal ini dilakukan dengan
27
cara mengubah sedikit struktur senyawa obatnya (menjadi lebih polar) sehingga
tidak dapat masuk ke otak. Obat yang berada di dalam tubuh akan dianggap
sebagai benda asing oleh tubuh karena secara normal senyawa obat tidak terdapat
di dalam tubuh.
Tubuh memiliki mekanisme alamiah untuk mendetoksifikasi
(menurunkan ketoksikan suatu zat) benda asing yang masuk ke tubuh. Oleh
karena itu, senyawa obat akan didetoksifikasi oleh tubuh sehingga obat tidak
terlalu toksik/beracun bagi tubuh. Proses detoksifikasi obat oleh tubuh merupakan
tahapan metabolisme obat. Sebagian besar obat akan didetoksifikasi di hati oleh
enzim-enzim mikrosomal hati. Hasilnya merupakan suatu senyawa yang sifat
toksik/beracunnya lebih rendah dibandingkan dengan senyawa awal sehingga
tidak terlalu beracun bagi tubuh. Ada sekelompok obat yang disebut sebagai
prodrug, yakni obat berada dalam bentuk aktif (bentuk yang dapat memberikan
efek yang diharapkan) setelah didetoksifikasi oleh hati. Kelompok obat lainnya
tetap aktif setelah mengalami detoksifikasi di hati. Namun, ada juga kelompok
obat yang menjadi bentuk tidak aktif setelah didetoksifikasi di hati. Untuk
kelompok obat yang terakhir ini, lebih disukai pemberian secara intravena
(disuntikkan ke pembuluh darah) untuk menghindari proses detoksifikasi oleh
hati jika sebagian besar obat mengalami detoksifikasi. Jika obat diberikan secara
intravena, akan langsung tersebar ke seluruh tubuh bersama aliran darah, baru
kemudian memasuki hati dan mengalami detoksifikasi menjadi bentuk tidak aktif.
Sedangkan untuk pemberian secara oral, obat akan memasuki hati terlebih dahulu
karena pembuluh darah yang berasal dari usus akan menuju hati, baru tersebar ke
seluruh tubuh sehingga obat mengalami detoksifikasi terlebih dahulu sebelum
sempat sampai ke tempat kerja. Jika terjadi demikian, obat tidak akan
memberikan efek maksimal karena sebagian kecil/besar obat sudah berada dalam
bentuk tidak aktif.
Tahap terakhir yang dialami oleh obat adalah tahap ekskresi. Pada tahap
ini obat akan dikeluarkan dari dalam tubuh dengan berbagai cara, antara lain
melalui ginjal (air seni), saluran cerna (faeces), kulit (keringat), pernapasan
(udara), mata (air mata), atau kelenjar payudara (air susu). Sebagian besar obat
dikeluarkan melalui ginjal. Jika ginjal kita mengalami gangguan, kadar obat
dalam tubuh akan meningkat akibat terhambatnya proses pengeluaran obat
melalui ginjal. Oleh karena itu, pada penderita gangguan ginjal, perlu dilakukan
28
penyesuaian dosis obat - terutama untuk obat yang dalam kadar rendah dapat
menimbulkan keracunan dan obat yang toksik bagi ginjal (nefrotoksik) - agar
kadar obat dalam tubuh tidak terlalu tinggi karena dikhawatirkan akan
menimbulkan keracunan bahkan kematian bagi penderita.

29
BAB III
PEMBAHASAN

Dari paparan diatas terdapat variasi bentuk sediaan obat untuk pengobatan
penyakit kanker, oleh karena itu dalam penggunaanya paramedis maupun pasien
disarankan lebih teliti dalam mempertimbangkan jenis sediaan yang akan digunakan
karena hal tersebut sangat mempengaruhi efektifitas proses pengobatan yang
dirasakan oleh pasien. Dalam prosesnya obat mengalami beberapa tahap sebelum
menyebabkan efek bagi pasiennya. Proses yang dialami obat secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga fase yaitu :

a. Fase Farmasetik, yaitu fase dimana zat aktif dilepaskan dari sediaan. Rute ini
menggambarkan kecepatan perubahan obat dari bentuk sediaan padat menjadi
serbuk terlarut dan siap terabsorbsi kedalam darah.

b. Fase Farmakokinetik. Fase ini menggambarkan nasib obat dalam tubuh, yaitu
apa yang dilakukan tubuh terhadap obat mulai dari penyerapan (Absorbsi) sampai
kepada tahap metabolisme dan ekskresi.

c. Fase Farmakodinamik. Menggambarkan kerja obat terhadap tubuh/reseptor,


yaitu apa efek obat terhadap tubuh setelah molekul obat berikatan/berinteraksi
dengan reseptor.

Rute penggunaan obat merupakan salah satu faktor yang tidak kalah penting
dalam menunjang efektifitas terapi yang dilakukan dalam pengobatan penyakit
kanker. Rute tersebut dapat melalui beberapa cara antara lain :
a. Melalui oral; yaitu masuk mulut, tenggorokan terus ke perut lalu masuk ke dalam
pembuluh darah.
b. Melalui suntikan; yaitu dengan menusukkan ke beberapa jaringan tubuh.

Berikut merupakan contoh gambaran konsentrasi obat kanker didalam darah


dengan rute pemberian oral dan injeksi :

30
Gambaran konsentrasi obat didalam darah dengan rute pemberian oral.

Gambaran konsentrasi obat didalam darah dengan rute pemberian oral.


Dari beberapa jenis obat yang telah beredar saat ini dengan rute pemberian yang
telah ditentukan, pada dasarnya rute injeksi merupakan rute pemberian yang paling
cepat dalam memberikan efek. Hal ini disebabkan karena obat yang digunakan
langsung masuk kedalam pembuluh darah tanpa melewati beberapa tahap untuk
berikatan dengan reseptor. Namun dalam praktiknya tidak semua jenis obat dapat
diberikan dengan rute pemberian injeksi hal ini berkaitan dengan sifat fisiko kimia
obat yang tidak stabil dalam bentuk sediaan larutan injeksi. Serta faktor resiko pasien
yang merasa takut atau sulit untuk menerima obat dengan rute injeksi.
Namun untuk pasien yang memiliki kelainan ginjal sebaiknya dilakukan
penyesuaian dosis agar untuk menghindari efek toksik didalam darah. Pertimbangan
ini sangat penting demi keselamatan pasien, maka sebelum dilakukan pemberian obat

31
sebaiknya dilakukan cek laboratorium terutama kadar kreatinin pada pasien untuk
memperoleh data dalam penentuan dosis yang digunakan.

32
BAB IV
KESIMPULAN

Perjalanan obat didalam tubuh pada pasien penyakit kanker terdiri dari dua
jenis :
1. Perjalanan obat dengan rute pemberian oral : terdiri dari fase farmasetik,
farmakokinetik dan farmakodinamik. Dalam fase-fase tersebut obat dapat
berikatan dengan reseptor dan memberikan efek farmakologis setelah
melalui proses disintegrasi didalam lambung, absorbsi didalam lambung
dan usus, distribusi didalam darah hingga akhirnya termetabolisme didalam
hati dan diekskresikan melalui ginjal dalam proses urinasi.
2. Perjalanan obat dengan rute injeksi : terdiri dari fase farmakokinetik dan
farmakodinamik dimana obat langsung masuk kedalam aliran darah dan
berikatan dengan reseptor hingga akhirnya termetabolisme didalam hati dan
diekskresikan melalui ginjal dalam proses urinasi.
3. Pada pasien yang memiliki kelainan ginjal hal yang paling mungkin terjadi
adalah peningkatan kadar obat dalam darah, sehingga perlu penanganan
khusus sebelum dilakukan pemberian obat, serta harus dilakukan
penyesuaian dosis untuk menghindari efek toksik bagi pasien.
Dari dua jenis rute pemberian obat tersebut, rute injeksi akan lebih efektif untuk
mendapatkan hasil lebih cepat dalam proses pengobatan penyakit kanker. Namun
tidak semua rute injeksi merupakan rute terbaik karena ada beberapa obat yang
memang tidak stabil dalam bentuk sediaan lautan injeksi.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. T. Dipiro, Joseph., et all, editor. Cancer Treatment And Chemotherapy.

New York : Pharmacotherap A Pathophysiologic Approach , Sixth Edition ;

2005.

2. C. S. Sean, editor. Martindale The Complete Drug Reference. London.

2009

3. Anonim. IPD Indonesian Pharmaceutical Directory. Jakarta : PT

Medinfocomm Indonesia ; 2009-2010

4. Shargel, Leon. Yu.B.C Andrew. Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan. Surabaya : Airlangga University Press ; 2005.

5. Anonim, Farmakologi & Terapi, edisi ke-4, Fakultas Kedokteran UI, 1995

34

Anda mungkin juga menyukai