Anda di halaman 1dari 59

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DALAM MENJALANI PROSES


HEMODIALISA DI RSUD SULTAN IMANUDDIN PANGKALAN BUN
TAHUN 2020

Disusun Oleh:

INDAH NOVIANINGRUM
NIM 161110033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BORNEO CENDIKIA MEDIKA
PANGKALAN BUN
2020
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KUALITAS
HIDUP PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DALAM MENJALANI
PROSES HEMODIALISA DI RSUD SULTAN IMANUDDIN
PANGKALAN BUN TAHUN 2020

Skripsi
Diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan
menyelesaikan studi program Sarjana Keperawatan

INDAH NOVIANINGRUM
NIM 161110033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN S


EKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BORNEO CENDIKIA MEDIKA
PANGKALAN BUN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses potofisiologis dengan
berbagi penyebab yang mengakibatkan menurunya fungsi ginjal secara
progresif dimana tubuh mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit dan sebagai akibat lanjutan dari penyakit ginjal itu
sendiri atau penyakit lain yang berasal dari luar ginjal yang dapat
mengakibatkan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah menurunya fungsi ginjal
secaraireversibel, pada suatu derajat memerlukan terapi berupa
penggantian ginjal secara tetap, dengan dialisis atau bahkan transplantasi
ginjal (Muttaqin & Sari, 2011)
Prevalesi penyakit ginjal kronik saat ini terus meningkat di seluruh
dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia mengalami penyakit
ginjal kronik (PGK) dan 1 juta diantaranya membutuhkan terapi pengganti
ginjal. Data chronic for disease control dan prevention (CDC tahun 2010),
lebih dari 20 juta warga negara Amerika serikat menderita penyakit ginjal
kronik, angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. lebih dari 35%
pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih dari 20%
pasien hipertensi memiliki penyakit ginjal kronik (CDC dalam Adiatma,
2014). Berdasarkan data dari riskesdas tahun 2018, data pasien gagal ginjal
kronik di Indonesia sebanyak 3,8 permil. Rata rata penyakit ginjal kronik
di Indonesia terjadi pada usia ≥ 15 tahun , sebanyak 0,1% hingga 0,5%
dan terbanyak pada usia 65 sampai 74 tahun sebanyak 8,23 permil.
Prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan utara sebanyak 6,4
permil dan terendah di Sulawesi Barat sebanyak 1,8 permil [ CITATION
Kem18 \l 1033 ]. Berdasarkan data dari rekam medik di ruang Hemodialisa
Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya di dapatkan data sensus harian
kunjungan pasien di ruang hemodialisa sebanyak 11.077 pasien yang
menjalani dialisis pada tahun 2016 (Januari-Desember), sedangkan pada
tahun 2017 (Januari-Desember) sebanyak 11.364 pasien yang menjalani
dialisis.
Pasien dengan penyakit ginjal kronik memerlukan pengobatan khusus
atau terapi yang disebut terapi pengganti untuk bertahan hidup yaitu
dengan melakukan dialysis.Terapi hemodialisis merupakan salah satu
terapi yang berfungsi sebagai pengganti fungsi kerja ginjal yaitu,
mengeluarkan sisa hasil metabolisme dan kelebihan cairan serta zat yang
tidak lagi dibutuhkan oleh tubuh dengan cara difusi dan hemofiltrasi
[ CITATION Mah18 \l 1033 ] . Terapi hemodialisa ini dapat memperpanjang
usia namun tidak merubah perjalanan alami penyakit ginjal yang
mendasai, selain itu terapi ini juga tidak dapat mengendalikan seluruh
fungsi ginjal [CITATION Uta \l 1033 ]. Pada pasien yang telah lama menjalani
terapi hemodialisa sering muncul beberapa masalah seperti aktifitas yang
dibatasi, biaya yang dikeluarkan selama proses hemodialysis, pembatasan
asupan cairan, dan pelayanan yang diberikan oleh petugas selama proses
perawatan.
World Health Organization ( WHO ) mendefinisikan kualitas hidup
sebagai persepsi individu dari posisi kehidupan individu dalam konteks
sistem budaya dan nilai nilai dimana individu hidup serta dalam
hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, kekhawatiran [ CITATION
Sun18 \l 1033 ]. Hal ini terangkum secara kompleks dalam WHOQL
-BREEF mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan,
hubungan sosial, dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka
(Salim, et all 2015) . Untuk mencapai kualitas hidup perlu berubah secara
fundamental atas cara pandang pasien terhadap penyakit ginjal kronik itu
sendiri [ CITATION Rus181 \l 1033 ]
Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa
akan merasa dirinya lebih berharga saat mendapat dukungan dari keluarga.
Dukungan keluarga sendiri merupakan suatu sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit dan membutuhkan
bantuan serta pertolongan baik dalam peningkatan harga diri, pemberi
keamanan, hingga pemecahan suatu masalah yang dihadapi dalam
menjalankan fungsi keluarga dimana dukungan keluarga berpengaruh
terhadap kesehatan mental penderita serta sebagai strategi preventif untuk
mengurangi stress dimana pandangan hidup menjadi luas dan tidak mudah
stress [ CITATION Wur13 \l 1033 ] . Dimana bentuk dukungan keluarga
menurut Fridmen (2010) terbagi atas dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dukungan informasional, dan dukungan emosional.
Hasil penelitian[ CITATION Cec11 \l 1033 ] tentang hubungan tingkat
stres dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik (GGK) yang
menjalani hemodialisa di RSUP DR. Damili Padang Tahun 2011,
menunjukan adanya hubungan antara tingkat stress dengan kualitas hidup
dimana semakin tinggi tingkat stres respon maka semakin rendah kualitas
hidup responden tersebut (r=-0,751) sedangkan penelitian yang dilakukan
Suryaningsih. Kanine dan wowling (2013) tentang hubungan dukungan
keluarga dengan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik diruangan
hemodialisa BLU RSUP Prof. Dr. RD. Kandou Manado, menunjukan ada
hubungan bermakna antara hubungan dukungan keluargan dengan depresi
pada pasien penyakit kronik di ruang hemodialisis BLU ( Badan layanan
umum) RSUP Prof Dr. RD. Kandou Manado dengan nilai P = 0,004 <
0,005.
Berdasarkan data kunjungan pasien ke unit Hemodialisa dalam 1
tahun terakir kurang lebih 1.520 kunjungan. Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan di RSUD Sultan Imanuddin jumlah pasien yang mengalami
penyakit ginjal kronik (PGK) dari bulan Oktober sampai bulan Maret 2020
sebanyak 35 pasien, diantaranya laki – laki 28 pasien, perempuan 7 pasien.
Dari hasil observasi 5 dari 7 orang pasien ditemui oleh anggota
keluarganya saat menjalani hemodialisa. Seluruh pasien mengatakan sudah
tidak bekerja lagi, tidak mengikuti kegiatan lingkungan dengan tidak hadir
saat diundang rapat, kerja bakti dan pengajian karena alasan fisik yang
mengalami penurunan sehingga pasien merasa minder apabila berjumpa
dengan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien
penyakit ginjal kronik dalam menjalani hemodialisa di RSUD Sultan
Imanuddin Pangkalan Bun tahun 2020.

1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui
apakah ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup
pasien penyakit ginjal kronik dalam menjalani proses hemodialisa.

1. 3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kualitas
hidup pasien penyakit ginjal kronik dalam menjalani proses
hemodialisa di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun Tahun
2020.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui karakteristik responden penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa di RSUD Sultan Imanuddin
Pangkalan Bun.
1.3.2.2 Mengetahui dukungan keluarga pada pasien yang menjalani
hemodialisa di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun.
1.3.2.3 Mengetahui kualitas hidup pasien yang menjalani
hemodialisa di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun.
1.3.2.4 Menganalisa hubungan dukungan keluarga dengan kualitas
hidup pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Sultan
Imanuddin Pangkalan Bun.

1. 4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Institusi
Sebagai salah satu referensi bagi institusi dalam
memberikan dan mengembangkan ilmu keperawatan dalam
memberikan informasi kepada masyarakat pentingnya dukungan
keluarga pada pasien hemodialisis untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien.

1.4.2 Bagi rumah Sakit


Digunakan sebagai sarana promosi kesehatan kepada pasien
dan keluarga bagaimana pentingnya dukungan keluarga terhadap
kualitas hidup pasien yang menjalani proses hemodialisa.

1.4.3 Bagi Pasien dan Keluarga


Sebagai pengetahuan bagi pasien dan keluarga bagaimana
pentingnya pasien yang dengan kondisi menjalani hemodialisi
sangat memerlukan dukungan dari keluarga untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien selama menjalani proses hemodialisa.

1.4.4 Bagi Peneliti


Digunakan sebagai sumber informasi bagi peneliti dan sebagai
bahan pemberian konseling kepada pasien dan keluarga penting
nya memberikan dukungan kepada pasien yang sedang menjalani
proses hemodialisis untung meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan
1.5 Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian penelitian

No Peneliti Judul Variabel Desain/metod Hasil


e
1. Zurnelli,et,all Hubungan Independen: Desain : Hasil uji
2015 dukungan Dukungan Desain statistik
keluarga keluarga penelitian didapatkan
dengan korelasi nilai pvalue
kualitas Dependen : dengan = 0,002 < α
hidup pasien Kualitas pendekatan 0,05 bahwa
gagal ginjal hidup pasien cross sectional disimpulkan
kronik yang gagal ginjal ada hubungan
menjalani kronik Metode : antara
terapi Metode dukungan
hemodialisa pengambilan keluarga
di RSUD sampel dengan
Arifin menggunakan kualitas
Achmad total sampling hidup pasien
pekanbaru yaitu seluruh GGK.
jumlah pasien
gagal ginjal
kronik yang
menjalani
hemodialysis
di RSUD
Arifin Achmad
pekanbaru.

2. Al saadah, Hubungan Independen: Desain : Hasil


2018 dukungan Dukungan Desain penelitian
keluarga keluarga penelitian ini menggunakan
dengan adalah uji statistic
kualitas Dependen : penelitian menggunakan
hidup pada Kualitas analitik dengan uji mann
penderita hidup pasien pendekatan whitney
penyakit gagal ginjal cross section. dengan
gagal ginjal kronik tingkat
kronik di Metode : signifikan α
Ruang Populasi 0,05
hemodialisa penelitian ini didapatkan p
rumah sakit seluruh pasien ( 0,020 ) < α
islam dan keluarga 0,05 yang
Jemursari pasien dengan menunjukkan
Surabaya penyakit gagal adanya
ginjal kronik di hubungan
ruang yang
hemodialisa bermakna
RSI jemur sari antara
Surabaya, dukungan
tehnik keluarga
sampling dengan
menggunakan kualitas
simple random hidup
sampling , penderita
analisa data GGK
menggunakan
uji man
whitney

3. Shalahudin, Dukungan Independen Desain Hasil


Rosidin , keluarga Dukungan Desain penelitian
2018 dengan keluarga. penelitian menunjukkan
kepatuhan menggunakan sig ( 2-
pasien gagal Dependen rancangan tailed )
ginjal kronik Kepatuhan diskriptif adalah 0,003
dalam pasien gagal korelatif ( p , 0,05 )
menjalani ginjal kronik dengan berarti ada
hemodialisa dalam pendekatan hubungan
menjalani cross antara
hemodialisa sectional. dukungan
keluarga
Metode dengan
Populasi dari kepatuhan
penelitian ini pasien gagal
adalah seluruh ginjal kronik
pasien yang dalam
menjalani menjalani
hemodialisa di hemodialisa.
RSUD
dr.Slamet
Garut, tehnik
sampling
menggunakan
total sampling.
Analisa data
menggunakan
uji spearman
rank.

Penelitian dari Zurnelli at,all 2015 menggunakan desain penelitian analitik cross
sectional, dengan menggunakan total sampling seperti penelitian yang akan dilakukan
peneliti. Yang membedakan adalah pada tempat pelaksanaan penelitian. Pada penelitian
tersebut, penelitian dilaksanakan di ruang hemodialisa RSUD Arifin Achmad Pekanbaru,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti di RSUD Sultan Imanuddin
Pangkalan Bun.
Penelitian yang dilakukan oleh Al Saadah, 2018 menggunakan desain penelitian
analitik cross sectional dengan populasi seluruh pasien dan keluarga pasien gagal ginjal
kronik di RSI Jemur Sari Surabaya, Sampel diambil menggunakan tehnik simple random
sampling. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada tehnik
pengambilan sampel peneliti menggunakan tehnik total sampling yaitu seluruh pasien
yang menjalani hemodialisa di ruang hemodialysis RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan
Bun.
Penelitian yang dilakukan oleh Shalahudin, Rasidin, 2018 menggunakan desain
penelitian deskriptif korelatif dengan desain cross sectional variabel independennya
adalh dukungan keluarga dan variabel independennya adalah kepatuhan pasien gagal
ginjal kronik dalam menjalani hemodialisa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah pada variabel dependen. Variabel dependen
pada penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah kualitas hidup pasien gagal ginjal
kronik. Serta pada desain penelitiannya, desain penelitian yang akan dilakukan peneliti
menggunakan desain analitik cross sectional.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dukungan Keluarga


2.1.1 Pengertian Dukungan keluarga.
Dukungan keluarga adalah suatu bentuk perilaku melayani yang
dilakukan oleh keluarga baik dalam bentuk dukungan emosi,
penghargaan, informasi dan instrumental [ CITATION San17 \l 1033 ].
Dukungan keluarga adalah bantuan yang dapat diberikan kepada
anggota keluarga lain berupa barang, jasa, informasi, dan nasehat yang
mampu membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai
dan tentram [ CITATION Mis14 \l 1033 ] . Dukungan keluarga adalah salah
satu faktor penguat ( reinforcing factor ) yang sangat mempengaruhi
sikap dan prilaku seseorang ( Notoadmojo, 2010 dalam Al khorni &
Supratman, 2017). Menurt Friedman , 1998 dukungan keluarga adalah
sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga dengan penderita yang sakit
dan berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota
keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan [ CITATION
Muh16 \l 1033 ].
2.1.2 Sumber dukungan keluarga
Menurut Rook dan Dooley ( dalam Fajar, 2015 ) ada dua sumber
dukungan keluarga yaitu sumber natural dan artifisial. Dukungan
natural adalah dukungan keluarga yang diterima seseorang melaui
interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang orang
yang berada di sekitarnya misalnya anggota keluarga ( anak, istri,suami
dan kerabat ), teman dekat atau relasi. Sifat dukungan ini adalah non
formal, spontan dan tidak dibuat buat. Dukungan artifisial adalah
dukungan sosial yang dirancang kedalam kebutuhan primer seseorang,
misalnya dukungan keluarga akibat bencana alam melalui berbagai
sumbangan sosial. Menurut Friedman,1998 ( dalam Sutini, 2018)
dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga
internal seperti dukungan dari suami istri, atau dukungan dari saudara
kandung dan dukungan sosial keluarga eksternal yaitu tetangga,
sahabat, maupun teman kerja.
2.1.3 Tujuan Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan unsur terpenting untuk membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Apabila ada dukungan dari
keluarga maka rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk
menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat [ CITATION Ndo17 \l
1033 ]. Dukungan sosial keluarga akan membantu seseorang untuk
beradaptasi [ CITATION Tho13 \l 1033 ]. Dukungan sosial keluarga
merupakan prilaku yang dilakukan untuk membantu orang yang sedang
menjalani situasi kehidupan yang penuh stres agar dapat mengatasi
masalah yang dihadapi secara efektif [ CITATION Mut14 \l 1033 ].
2.1.4 Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Rahayu Wijayanti ( dalam Muhith & Siyoto, 2016) ada
tujuh jenis dukungan keluarga yaitu dukungan emosional keluarga,
dukungan melelui interaksi sosial, dukungan melalui finansial,
dukungan keluarga dalam upaya penyediaan transportasi, dukungan
melalui upaya mempertahankan aktifitas fisik yang masih mampu
dilaksanakan, dan dukungan keluarga dalam menyiapkan makanan.
Sedangkan menurut Friedman, 2008 ( dalam Fajar, 2015) jenis
dukungan keluarga terdiri dari :
1) Dukungan informasional.
Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tangung
jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan solusi dari
masalah, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik
tentang apa yang dilakukan oleh seseorang, Keluarga dapat
menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi
yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk
melawan stressor, Individu yang mengalami depresi dapat keluar
dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungab
keluarga dengan menyediakan Feed back. Pada dukungan informasi
ini keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi .
2) Dukungan Penilaian.
Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk
memahami kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi
dan strategi koping yang dapat digunakan dalam stressor,
Dukungan ini juga merupakan dukungan yang terjadi bila ada
ekspresi penilaian yang posistif terhadap individu, individu
mrmpunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah
mereka, terjadi melalui ekspresi pengharapan positif individu
kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide
atau perasaan seseorang dan perbandingan positif seseorang dengan
orang lain, misalnya orang yang kurang mampu, dukungan
keluarga dapat membantu meningkatkan strategi koping individu
dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang
berfokus pada aspek-aspek yang positif.
3) Dukungan instrumental.
Dukungan ini meliputi penyedian dukungan jasmaniah seperti
pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata
( Instrumental support metarial support), suatu kondisi dimana
benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah prakteis,
termasuk di dalamnya bantuan langsung, seperti saat seseorang
memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari-
hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi,menjaga dan
merawat saat sakit ataupun mengalami depresi yang dapat
membantu memecahkan masalah, dukungan nyata paling efektif
bila dihargai oleh individu dan mengurangi depresi individu, pada
dukungan nyata keluarga sebagai sumber untuk mencapai tujuan
praktis dan tujuan nyata.

4) Dukungan emosional.
Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara
emosional,sedih,cemas dan kehilangan harga diri, Jika depresi
mengurangi perasaan seseorang akan hal yang di miliki dan
dicintai. Dukungan emosional memberikan individu perasaan
nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam
bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu
yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini
keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat.
2.1.5 Manfaat Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dapat berfungsi untuk meningkatkan kesehatan
dan adaptasi keluarga sebagai efek dari dukungan sosial dan
kesejahteraan keluarga [ CITATION Sut18 \l 1033 ] . Menurut Johnson 1991
( dalam Thoriq , 2013) Mengungkapkan manfaat dukungan sosial akan
meningkatkan produktifitas melalui peningkatan motivasi, kualitas
penalaran, kepuasan kerja, prestasi, dan mengurangi dampak stress
kerja. Kesejahteraan psikologi ( phsyclogical well being ) dan
kemampuan penyesuaian diri melalui perasaan memiliki, kejelasan
identitas diri, peningkatan harga diri, pencegahan neurotisme dan
psikopatologi, pengurangan distress, dan penyediaan sumber yang
dibutuhkan. Meningkatkan kesehatan fisik individu, yang mempunyai
hubungan dekat dengan orang lain, jarang terkena penyakit
dibandingkan individu yang terisolasi. Managemen stress yang yang
produktif melalui perhatian, informasi, dan umpan balik yang
diperlukan.
Menuruit Taylor dalam (Maziyah, 2015) dukungan sosial
mempunyai tiga jenis manfaat yaitu Bantuan yang nyata, informasi dan
dukungan emosional. Bantuan yang nyata disebut juga dengan bantuan
instrumental yaitu berupa bantuan uang, kesempatan, penyediaan jasa
atau barang pada situasi yang penuh stress. Manfaat informasi yaitu
individu individu yang memberikan dukungan dapat
merekomendasikan tindakan dan rencana spesifik untuk membantu
seseorang dalam kopingnya dengan berhasil. Bantuan informasi ini bisa
berupa memberikan informasi tentang suasanayang menekan,
nasehat,sugesti, arahan langsung atau informasi. Sedangkan manfaat
untuk dukungan emosional adalah dalam situasi yang penuh stress
keluarga dapat menenangkan seseorang dengan memberikan
penjelasan bahwa orang tersebut adalah seseorang yang sangat berharga
sehingga memungkinkan seseorang untuk mengatasi stress dengan
keyakinan yang lebih besar. Dukungan emosional bisa berupa
penghargaan, cinta, kepercayaan, perhatian dan kesediaan untuk
mendengarkan.
2.1.6 Faktor faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga.
Menurut Rahayu ( dalam Fajar, 2015) pemberian dukungan
keluarga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
berasal dari individu itu sendiri meliputi tahap perkembangan yaitu
pemahaman dan respon terhadap masalah yang berbeda sesuai dengan
rentang usia seseorang mulai bayi sampai lanjut usia. Faktor pendidikan
atau tingkat pengetahuan merupakan kemampuan kognitif yang
membentuk cara berfikir seseorang untuk memahami faktor faktor yang
yang berhubungan dengan masalah dalam menyelesaikan masalah.
Faktor emosi yang mempengaruhi keyakinan terhadap adanya
dukungan dan cara melakukan sesuatu. Respon emosi yang baik akan
memberikan antisipasi penanganan yang baik terhadap berbagai
permasalahan.
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu yang
terdiri dari praktik dikeluarga merupakan cara keluarga memberikan
dukungan yang mempengaruhi anggota keluarga dalam menyelesaikan
masalah secara optimal. Faktor sosial ekonomi dapat menjelaskan
bahwa variabel sosial dapat mempengaruhi cara seseorang
mendefinisikan serta bereaksi terhadap masalahnya. Begitu juga dengan
faktor ekonomi dapat menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat
ekonomi seseorang biasanya akan lebih cepat tanggap terhadap
masalah. Faktor latar belakang juga akan mempengaruhi keyakinan,
nilai dan kebiasaan individu dalam memberikan dukungan.

2.2 Konsep Keluarga.


2.2.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang merupakan
sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah serta memiliki
hubungan perkawinan, darah, kelahiran, ataupun adopsi, yang dimana
setiap anggotanya memiliki fungsi dan tugas masing masing
[ CITATION Nur19 \l 1033 ]. Menurut Friedman ( dalam Yoniartini,
2020) keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan
mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain
dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta
mempertahankan kebudayaan. Keluraga adalah unit suatu kehidupan
sosial berdasarkan hubungan darah atau perkawinan [ CITATION
Kur20 \l 1033 ].
2.2.2 Tujuan keluarga.
Menurut Andarmoyo 2012 ( dalam Faridatin, 2018) Tujuan dasar
keluarga adalah :
1) Keluarga merupakan unit dasar yang memiliki pengaruh kuat
terhadap perkembangan individu.
2) Keluarga sebagai perantara bagi kebutuhan dan harapan anggota
keluarga dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakat.
3) Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan anggota
keluarga dengan menstabilkan kasih sayang, sosio ekonomi dan
kebutuhan seksual.
4) Keluarga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan
identitas seseorang individu dan perasaan harga diri.
2.2.3 Fungsi Keluarga
Berdasarkan UU No.10 tahun 1992 No.21 tahun 1994 tertulis
fungsi keluarga dalam delapan bentuk yaitu :
1) Fungsi Keagamaan
(1) Membina norma ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup
seluruh anggota keluarga.
(2) Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-
hari kepada seluruh anggota keluarga.
(3) Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam
pengamalan dari aaran agama.
(4) Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak
tentang keagamaan yang kurang diperoleh nya disekolah atau
dimasyarakat.
(5) Membina rasa, sikap, dan praktek kehidupan keluarga
beragama sebagai pondasi menuju keuarga kecil bahagia
sejahtera
2) Fungsi Budaya.
(1) Membina tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan
norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin
dipertahankan.
(2) Membina tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring
norma dan budaya asing yang tidak sesuai.
(3) Membina tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya
mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negative
globalisasi dunia.
(4) Membina tugas keluaga sebagai lembaga yang anggotanya
dapat berpartisipasi berperilaku yang baik sesuai dengan
norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan
globalisasi.
(5) Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras dan seimbang
dengan budaya masyarakat atau bangsa yang menjunjung
terwujudnya norma keluarga kecil bahagis asejahtera.
3) Fungsi cinta kasih.
(1) Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada
antara anggota keluarga ke dalam symbol nyata secara
optimal dan berkelanjutan.
(2) Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar keluarga
secara kuantitatif dan kualitatif.
(3) Membina praktek kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan
ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang.
(4) Membina rasa, sikap dan praktek hidup keluarga yang mampu
memberikan dan menerima kasih saying sebagai pola hidup
ideal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
4) Fungsi perlindungan
(1) Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari
rasatidak aman yang timbul dari dalam mauoun dari luar
keluarga.
(2) Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari
berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang dating dari luar.
(3) Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan
keluargasebagai modal menuju keluarga kecil bahagia
sejahtera.
5) Fungsi Reproduksi
(1) Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan
reproduksi sehat baik anggota keluarga maupun bagi keluarga
sekitarnya.
(2) Memberikan contoh pengalaman kaidah-kaidah pembentukan
keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental.
(3) Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, , baik yang
berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua anak dan
jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga.
(4) Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal
yang kondusif menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
6) Fungsi sosialisasi.
(a) Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan
keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak
pertama dan utama.
(b) Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan
keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan
dari berbagai konflik dan permasalahan yang di jumpainya
baik dilingkungan seklah maupun masyarakat.
(c) Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang hal-
hal yang diperlukan untuk meningkatkan kematangan dan
kedewasaan ( fifk dan mental), yang kurang diberikan oleh
lingkungan sekolah maupun masyarakat.
(d) Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi
dalam keluarga sehingga tidak saja bermanfaat posistif bagi
anak, tetapi juga bagi orang tua, dalam rangka perkembangan
dan kematangan hidup bersama menuju keluarga kecil
bahagia sejahtera.
7) Fungsi Ekonomi
(a) Melakukan kegiatan ekonomi baik diluar maupun didalam
lingkungan keluarga dalam rangka menopang kelangsungan
dan perkembangan kehidupan keluarga.
(b) Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian,
keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran keluarga.
(c) Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua diluar rumah
dan perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan serasi,
selaras dan seimbang.
(d) Membina kegiatan dan hasil ekonami keluarga sebagai modal
untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera
8) Fungsi pelestarian lingkungan
(a) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
internal keluarga.
(b) Membina kesadaran, sikap dan praktik lingkungan yang
serasi, selaras, dan seimbang dan antara lingkungan keluarga
dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya.
(c) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
hidup sebagai pola hidup keluarga menuju keluarga kecil
bahagia sejahtera.

Menurut Mubarak 2009 ( dalam Faridatin, 2018) Fungsi


keluarga terdiri dari :
1) Fungsi biologis yaitu fungsi untuk meneruskan keturunan,
memelihara dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan
gizi keluarga.
2) Fungsi psikologis yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman
bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga,
memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta
memberikan identitas pada keluarga.
3) Fungsi sosialisasi yaitu membina sosialisasi pada anak,
membentuk norma norma tingkah laku sesuai dengan tingkat
perkembangan masing masing dan meneruskan nilai nilai budaya.
4) Fungsi ekonomi yaitu mencari sumber sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk
memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang.
5) Fungsi pendidikan yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan
pengetahuan, ketrampilan, membentuk prilaku, anak sesuai
dengan bakat dan minat yang dimiliki, mempersiapkan anak
untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi
perannya.
2.2.4 Tugas perkembangan Keluarga
Menurut [ CITATION Set16 \l 1033 ], tugas perkembangan keluarga
sesuai tahap perkembangannya adalah sebagai berikut :
1) Tahap pertama pasangan baru atau keluarga baru ( beginning
family).
Keluarga baru dimulai pada saat masing masing individu yaitu
suami istri membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah dan
meninggalkan keluarga masing masing. Tugas perkembangan
pada tahap ini adalah membina hubungan intim dan kepuasan
bersama, menetapkan tujuan bersama, membina hubungan dengan
keluarga lain, teman, dan kelompok sosial, merencanakan anak,
menyesuaikan diri dengan kehamilan dan mempersiapkan diri
untuk menjadi orang tua.
2) Tahap keluarga dengan kelahiran anak pertama ( Child bearing
family ).
Keluarga yang menantikan kelahiran dimulai dari kehamilan
sampai kelahiran anak pertama dan berlanjut samapai anak
pertama berusia 30 bulan ( 2,5 tahun ). Tugas perkembangan pada
masa ini antara lain persiapan menjadi orang tua, membagi peran
dan tanggung jawab, menata ruang untuk anak atau
mengembangkan suasana rumah yang menyenangkan,
mempersiapkan biaya atau dana child bearing, mamfasilitasi role
learning anggota keluarga, bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan bayi sampai balita, mengadakan kebiasaan keagamaan
secara rutin.
3) Tahap keluarga dengan anak pra sekolah atau families with
preschool.
Tahap ini dimulai saat usia anak 2,5 tahun sampai anak usia 5
tahun. Tahap perkembangan pada tahap ini adalah memenuhi
kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan privacy, tempat
tinggal dan rasa aman. Membantu anak bersosialisasi, beradaptasi
dengan anak yang baru lahir sementara kebutuhan anak yang lain
juga juga harus terpenuhi, mempertahankan hubungan yang sehat
baik di dalam maupun di luar keluarga, membagi waktu untuk
individu, anak, pasangan, pembagian tanggung jawab anggota
keluarga serta kegiatan dan waktu untuk stimulasi pertumbuhan
dan perkembangan anak.
4) Tahap keluarga dengan anak usia sekolah atau family with
children.
Tahap ini dimulai saat anak yang paling tua masuk sekolah
pada usia 6 tahun sampai usia 12 tahun. Tugas perkembangan
pada tahap ini adalah memberikan perhatian tentang kegiatan
sosial anak, pendidikan dan semangat belajar, tetap
mempertahankan hubungan yang harmonis dalam perkawinan,
mendorong anak mencapai pengembangan daya intelektual,
menyediakan aktifitas untuk anak, serta menyesuaikan aktifitas
komunitas dengan mengikutsertakan anak.
5) Tahap keluarga dengan anak remaja atau families with teenagers.
Tahap ini dimulai saat anak pertama berusia 13 tahun sampai
anak berusia 19- 20 tahun. Tugas perkembangan pada tahap ini
adalah memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung
jawab mengingat remaja yang sudah bertambah dan meningkat
otonominya, mempertahankan hubungan yang intim dengan
keluarga, mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan
orang tua, hindari perdebatan, kecurigaan dan permusuhan, serta
perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang
keluarga.
6) Tahap keluarga dengan anak dewasa atau pelepasan ( lounching
centers families ).
Tahap ini dimulai saat anak terakhir meninggalkan rumah.
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah memperluas keluarga
inti menjadi keluarga besar, mempertahankan keintiman pasangan,
membantu orang tua suami atau istri yang sedang sakit dan
memasuki masa tua, mempersiapkan untuk hidup mandiri dan
menerima kepergian anak, menata kembali fasilitas dan sumber
yang ada pada keluarga, berperan sebagai suami , istri, kakek,
nenek serta menciptakan lingkungan rumah yang dapat menjadi
contoh bagi anak anaknya.
7) Tahap keluarga usia pertengahan atau middle age families.
Tahapan ini dimulai saat anak terakhir meninggalkan rumah
dan berakhir saat pensipension salah satu pasangan meninggal.
Pada tahap ini semua anak meninggalkan rumah, maka pasangan
fokus untuk mempertahankan kesehatan dengan berbagai aktifitas.
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah mempertahankan
kesehatan, mempunyai banyak waktu dan kebebasan dalam arti
mengolah minat sosial dan waktu santai, memulihkan hubungan
antara generasi muda dengan generasi tua, keakraban dengan
pasangan, memelihara hubungan dengan anak dan keluarga serta
persiapan masa tua atau pensiun dengan meningkatkan keakraban
pasangan.
8) Tahap keluarga dengan usia lanjut.
Tahap terakhir perkembangan keluarga dimulai saat salah satu
pasangan pensiun, berlanjut salah satu pasangan meninggal. Tugas
perkembangan pada tahap ini adalah mempertahankan suasana
rumah yang menyenangkan, adaptasi dengan perubahan
kehilangan pasangan, teman, kekuatan fisik dan pendapatan,
mempertahankan keakraban suami istri dan saling merawat,
mempertahankan hubungan anak dan sosial masyarakat,
melakukan life review, serta menerima kematian pasangan, kawan,
dan mempersiapkan kematian.
2.2.5 Tugas Keluarga dalam bidang kesehatan
Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan fungsi perawatan
kesehatan keluarga dapat dilihat dari lima tugas keluarga dalam
bidang kesehatan [ CITATION Mul19 \l 1033 ] . Tugas keluarga dalam
bidang kesehatan adalah kemampuan untuk mengenal masalah
kesehatan, mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan,
merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan untuk
keluarga agar tetap sehat dan optimal, serta kemampuan
memanfaatkan sarana yang tersedia di lingkungannya [ CITATION
Ari20 \l 1033 ].

Menurut Friedman dalam [CITATION Yul \l 1033 ] Tugas


perkembangan keluarga adalah mengenal masalah kesehatan keluarga
yaitu perubahan sekecil apapun yang di alami anggota keluarga secara
tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga.
Mengambil keputusan untu melakukan tindakan yang tepat, tugas ini
merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan
yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan
siapa diantara anggota keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan tindakan yang tepat untuk keluarga. Memberikan
perawatan kepada anggota keluarga yang sakit dan yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri karena cacat atau usia terlalu muda.
Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan
dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. Mempertahankan
hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan yang
menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas kesehatan yang ada.

2.3 Konsep Penyakit Gagal Ginjal kronik

2.3.1 Pengertian Gagal Ginjal kronis


Gagal ginjal kronis adalah penurunan faal ginjal menahun yang
mengarah pada kerusakan jaringan ginjal yang tidak reversible dan
progresif [ CITATION Irw18 \l 1033 ]. Gagal ginjal kronis adalah gangguan
fungsi ginjal yang progresif dan irreversible terjadi ketika tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga mengakibatkan retensi urea dan sampah nitrogen
lain dalam darah ( Brunner & Sudarth 2001 dalam [ CITATION Adh17 \l
1033 ].
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan
berbagai penyebab yang mengakibatkan menurunnya fungsi ginjal
secara progresif dimana tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit dan sebagai akibat lanjutan dari
penyakit ginjal itu sendiri atau penyakit lain yang berasal dari luar
ginjal yang dapat mengakibatkan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah
menurunnya fungsi ginjal secara ireversibel, pada suatu derajat
memerlukan terapi berupa penggantian ginjal secara tetap, dengan
dialysis atau bahkan transplantasi ginjal [ CITATION Mut11 \l 1033 ].
Gagal ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologi dengan beragam
penyebab yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan biasanya berakhir dengan gagal ginjal serta dapat menyebabkan
gangguan pada organ tubuh akibat toksin yang seharusnya dikeluarkan
oleh ginjal tidak dapat dikeluarkan karena keadaan ginjal yang
mengalami gangguan (Wahyuni, et all, 2019).

2.3.2 Etiologi
Kerusakan yang terjadi pada ginjal bisa disebabkan oleh
gangguan pre renal, renal dan post renal. Pasien yang menderita
penyakit seperti diabetees melitus, Glumerulonefritis, penyakit imun
( lupus nefritis , hipertensi, penyakit ginjal herediter, batu ginjal,
keracunan, trauma ginjal, gangguan kongenital dan keganasan dapat
mengalami kerusakan ginjal [ CITATION Sir20 \l 1033 ]. Penyebab
tersering terjadinya gagal ginjal kronis adalah diabetes dan tekanan
darah tinggi yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus [ CITATION
Nat15 \l 1033 ]. Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan
ginjal antara lain diabetes, hipertensi, glumerulonefritis, sindroma
nefrotik dan kista ginjal. Namun, penyebab utama penyakit ginjal
kronis adalah hipertensi dan diabetes [ CITATION Sus19 \l 1033 ].
Urutan penyebab gagal ginjal pada pasien yang menjalani
hemodialisis berdasarkan data Indonesian Renal registry tahun 2015
akibat hipertensi ( 44% ), penyakit Diabetes mellitus atau nefropati
diabetikum ( 22% ), kelainan bawaan atau glumerulopati primer
( 8% ), pielonefritis kronik ( 7% ), gangguan penyumbatan saluran
kemih atau nefropati obstruksi ( 5% ), karena asam urat ( 1% ),
penyakit lupus (1%) [ CITATION Kur17 \l 1033 ].
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyebab Gagal ginjal kronik ( (Nurarif & Kusuma,
2015)
Klasifikasi penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstisial Pielonefritis kronis atau
refluks nefropati

Penyakit peradangan Nefrosklerosis benigna


Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis

Gangguan jaringan ikat Lupus eritematosus sistemik


Poliarteritis nodosa

Gangguan kongenital dan hereediter Penyakit ginjal polikistik


Asidosis tubulus ginjal

Penyakit metabolik Diabetes melitus


Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis

Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik


Nefropati timah

Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas


( batu, neoplasma,fibrosis
retroperitoneal )
Traktus urinarius bagian
bawah ( hipertrofi prostat,
striktur uretra, anomaly
kongenital leher vesika
urinaria dan uretra )

2.3.3 Manifestasi klinis


Menurut [ CITATION Sir20 \l 1033 ], penyakit ginjal kronis tidak
menunjukkan gejala atau tanda tanda terjadinya penurunan ginjal
secara spesifik, tetapi gejala yang muncul mulai terjadi pada saat
fungsi nefron mulai menurun. Penurunan fungsi ginjal yang tidak
dilakukan penatalaksanaan dengan baik dapat berakibat buruk dan
menyebabkan kematian. Tanda dan gejala umum yang sering muncul
adalah darah ditemukan dalam urin, sehingga urin berwarna gelap
seperti the ( hematuria ), urin seperti berbusa ( albuminuria ), urin
keruh ( infeksi saluran kemih ), nyeri dirasakan saat BAK, BAK tidak
lancar, ditemukan pasir atau batu dalam urin, terjadi penambahan atau
pengurangan produksi urin secara signifikan, sering BAK pada malam
hari ( nokturia ), terasa nyeri di bagian pinggang / perut, oedem serta
peningkatan tekanan darah. Apabila penurunan fungsi ginjal terus
berlangsung ke stadium akhir ( GFR < 25% ) dapat menimbulkan
gejala uremia yaitu BAK di malam hari dan jumlah urin menurun,
nafsu makan berkurang, mual, muntah, tubuh terasa lelah, wajah
terlihat pucat ( anemia ), gatal gatal pada kulit, tekanan darah
meningkat, sesak nafas dan edema pergelangan kaki atau kelopak
mata.

Menurut [ CITATION Bla14 \l 1033 ] manifestasi klinis dari gagal


ginjal kronis sebagai berikut :
Tabel 2.1 Tanda dan Gejala gagal ginjal kronis sesuai derajat gagal
ginjal kronis
Derajat GGK Manifestasi klinis
Derajat I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas
hasil tes laboratorium dan tanpa manifestasi klinis.

Derajat II Umumnya asimtomatik, berkembang menjadi hipertensi,


munculnya nilai laboratorium yang abnormal.

Derajat III Asimtomatik, nilai laboratorium menandakan abnormalitas


pada beberapa system organ, terdapat hipertensi.
Derajat IV Munculnya manifestasi klinis penyakit ginjal kronis berupa
kelelahan dan penurunan rangsangan.

Derajat V Peningkatan BUN, anemia, hipokalsemia, hyponatremia,


peningkatan asam urat, proteinuria, pruritus, edema,
hipertensi, peningkatan kreatinin, penurunan sensasi rasa,
asidosis metabolic, mudah mengalami pendarahan,
hyperkalemia.

2.3.4 Patofisiologi
Penyakit ginjal kronik pada awalnya bergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam proses berikutnya perkembangan yang terjadi
hamper sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrpfi
structural dan fungsional nefron yang masih tersisa ( surviving
nephrons ) sebagai upaya kompensasi yang diperantarai molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun
penyakit dasarnya tidak aktif lagi [ CITATION Arf14 \l 1033 ].
Adanya peningkatan aktifitas aksis renin angiotensin aldosterone
internal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin
angiotensin aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β ( TGF – β ). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan dalam terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronis
adalah albuminuria hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terjadinya
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstisial [ CITATION Gha17 \l 1033 ].
Menurut Smeltzer & Bare 2008 ( dalam Setiawan, 2017) Menurunnya
fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang seharusnya
disekresikan melalui urin tertimbun di dalam darah sehingga
menyebabkan uremia yang mengakibatkan
1) Gangguan klirens renal.
Banyak masalah yang muncul pada gagal ginjal sebagai akibat
dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, penurunan laju
filtrasi glomerulus atau glomerular filtration rate ( GFR ) dapat
dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan
kreatinin. Penurunan GFR menyebabkan klirens kreatinin akan
menurun dan kadar blood urea nitrogen ( BUN ) akan meningkat.
BUN tidak hanya dipengaruhi gangguan renal tetapi juga dapat
dipengaruhi oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan dan
medikasi seperti steroid.
2) Retensi cairan dan natrium.
Kerusakan ginjal menyebabkan ginjal tidak mampu
mengonsentrasikan atau mengencerkan urin. Pada gangguan ginjal
tahap akhir respon ginjal terhadap masukan cairan dan elektrolit tidak
terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan sehingga
menimbulkan resiko edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Hipertensi juga terjadi karena aktifitas renin angiotensin. Kerjasama
antara hormone renin dan angiotensin meningkatkan aldosterone.
Pasien mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam. Episode
mual dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang semakin
memperburuk status uremik.
3) Asidosis.
Ketidakmampuan ginjal dalam melakukan fungsinya dalam
mengekskresikan muatan asam ( H+ ) yang berlebihan membuat
acidosis metabolik. Penurunan asam akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal untuk mengekskresikan ammonia ( NH3- ) dan mengabsorbsi
natrium bikarbonat ( HCO3-), penurunan sekresi fosfat dan asam
organik lain juga terjadi. Gejala anoreksia, mual dan lelah sering
ditemukan pada pasien uremia, sebagian disebabkan oleh acidosis.
Gejala yang sudah jelas akibat acidosis adalah pernafasan kusmaul,
yaitu pernafasan yang berat dan dalam yang timbul karena kebutuhan
untuk meningkatkan ekskresi karbondioksida, sehingga mengurangi
keparahan acidosis.
4) Anemia.
Anemia terjadi akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik,
terutama dari saluran gastro intestinal. Pada pasien gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun karena adanya peningkatan hormon
paratiroid yang merangsang jaringan fibrosa dan anemia menjadi
berat, disertai keletihan, angina dan sesak nafas.
5) Ketidak seimbangan kalsium dan fosfat.
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal
balik, jika salah satu meningkat maka yang lain menurun dan
demikian juga sebaliknya. Filtrasi glomerulus yang menurun sampai
sekitar 25% dari normal, maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum
dan penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium serum
mneyebabkan sekresi hormone paratiroid dari kelenjar paratiroid dan
akibatnya kalsium di tulang menurun dan menyebabkan penyakit dan
perubahan pada tulang. Selain itu metabolit aktif vitamin D (1,25-
dihidrokolekalsiferol ) yang di buat di ginjal menurun seiring dengan
berkembangnya gagal ginjal. Produksi kompleks kalsium meningkat
sehingga terbentuk endapan garam kalsium fosfat dalam jaringan
tubuh. Tempat lazim perkembangan kalsium adalah di dalam dan di
sekitar sendi mengakibatkan artritis, dalam ginjal menyebabkan
obstruksi, pada jantung menyebabkan disritmia, kardiomiopati dan
fibrosis paru. Endapan kalsium pada mata menyebabkan band
keratopati.
6) Penyakit tulang uremik.
Penyakit tulang uremik sering disebut osteodistrofi renal yang
terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan
hormon paratiroid. Osteodistrofi renal merupakan komolikasi
penyakit gagal ginjal kronis yang sering terjadi.
2.3.5 Klasifikasi gagal ginjal kronik
Klasifikasi gagal ginjal kronis dapat dibedakan berdasarkan hal hal
berikut :
1) Klasifikasi berdasarkan derajat ( stage ) penyakit.
Klasifikasi berdasarkan derajat ( stage ) penyakit dibuat atas dasar
glomerulus filtration rate ( GFR ) menggunakan rumus Kockcroft-
Gault.
(140-umur) x berat badan
GFR ( ml/menit/1,73 m2 ) *)
72xkreatinin plasma 9 mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2.2 Klasifikasi Gagal ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit


(Black & Hawks, 2014)
Derajat Deskripsi GFR
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal ≥ 90
atau naik
2 Kerusakan ginjal dengan GFR turun 60-89
ringan
3 Kerusakan ginjal dengan GFR turun 30-59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan GFR turun 15-29
ringan
5 Penyakit ginjal kronik < 15atau dialysis
2) Berdasarkan peningkatan albumin dalam urin.
Berdasarkan peningkatan albumin dalam urin , KDIGO 2012
mengklasifikasikan PGK menjadi tiga kategori.
Tabel 2.3 Klasifikasi PGK berdasarkan albuminuria ( (NKF-KDIGO,2012)
Kategor AER ACR albuminuria
i (albuminekscretion ( albumin creatinine
rate) ratio)
1 < 30 mg / 24 jam < 3 mg/mmol Normal atau
< 30 mg/g meningkat
2 30 – 300 mg/24 jam 3 – 30 mg/mmol Peningkatan
30-300 mg/g sedang
3 > 300 mg / 24 jam > 30 mg/mmol Peningkatan
> 300 mg/g berat
2.3.6 Penatalaksanaan
Menurut [ CITATION Har15 \l 1033 ] penatalaksanaan gagal ginjal
kronis dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu :
1) Terapi konservatif.
Terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolism secara optimal, dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.Beberapa tindakan
yang dapat dilakukan adalah :
(1) Diet rendah protein.
Diet rendah protein dapat mencegah atau mengurangi
azotemia. Pembatasan asupan protein pada pasien gagal ginjal
kronik dapat mengurangi gejala anoreksia, mual, muntah. Protein
yang rendah dapat mengurangi beban ekskresi ginjal sehingga
menurunkan hiperfiltrasi glomerulus dan cedera sekunder pada
neuron intak.Jumlah protein yang diperbolehkan kurang dari 0,6 g
protein / kg /hari dengan GFR kurang dari 10 ml/ menit.

(2) Diet rendah kalium.


Hiperkalemia merupakan salah satu masalah yang penting
pada gagal ginjal kronik. Hiperkalemia merupakan salah satu
komplikasi interdialitik yaitu komplikasi yang terjadi selama
periode antar hemodialisis. Keadaan hiperkalemia mempunyai
resiko untuk terjadinya kelainan jantung yaitu aritmia yang dapat
memicu terjadinya cardic arrest. Jumlah kalium yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40 – 80 meq/hari.
(3) Jumlah kalori adekuat.
Kebutuhan jumlah kalori pada gagal ginjal kronik harus
adekuat dengan tujuan utama yaitu mempertahankan
keseimbangan postif nitrogen, memelihara status nutrisi dan gizi.
Diet asupan energy yang direkomendasikan adalah GFR < 25 ml /
menit dan tidak menjalani dialysis adalah sebanyak 35
kkal/kg/hari untuk usia kurang dari 60 tahun dan 30 – 35
kkal/kg/hari untuk usia lebih dari 60 tahun.
(4) Pengaturan asupan cairan.
Asupan cairan pada gagal ginjal kronis membutuhkan regulasi
yang hati hati. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan
kelebihan beban sirkulasi, edema dan intoksikasi cairan.
Kekurangan cairan juga dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi
dan memburuknya fungsi ginjal. Perhitungan untuk kebutuhan
cairan adalah output urin dalam 24 jam ditambah 500 ml yang
mencerminkan kehilangan cairan yang tidak disadari. Pada pasien
dialysis cairan yang mencukupi untuk memungkinkan
penambahan berat badan 0,9 hingga 1,3 kg2 sedangkan kebutuhan
jumlah mineral dan elektrolit individual tergantung dari GFR dan
penyakit ginjal dasar.

2) Terapi pengganti ginjal.


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5 yaitu pada GFR < 15 ml/ menit. Terapi pengganti tersebut
berupa :
(1) Hemodialisa.
Hemodialisis adalah suatu cara untuk mengeluarkan produk
sisa metabolism melalui membran semi permiabel. Sisa sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia
berupa air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat
dan zat zat lain. Hemodialisis telah menjadi rutinitas untuk
perawatan medis untuk end stage renal desease ( ESRD). Salah
satu langkah penting sebelum memulai hemodialisis adalah
mempersiapkan akses vaskuler beberapa minggu atau beberapa
bulan sebelum hemodialisis. Hemodialisis umunya dilakukan dua
kali seminggu selama 4 sampai 5 jam persesi [ CITATION Har15 \l
1033 ].
(2) Continous ambulatory peritoneal dialysisis ( CAPD )
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk
membantu penanganan pasien gagal ginjal akut maupun gagal
ginjal kronik menggunakan membran peritoneum yang bersifat
semipermiabel [ CITATION Gha17 \l 1033 ] . CAPD merupakan salah
satu bentuk dialisis perotoneal bentuk dialisinya menggunakan
membran peritonium yang bersifat semi permiabel sebagai
membran dialisis dan prinsip dasarnya adalah proses ultrafiltrasi
antara cairan dialisis yang masuk ke dalam rongga peritonium
dengan plasma darah dan darah [ CITATION Jam19 \l 1033 ]. CAPD
adalah salah satu bentuk dialisis peritoneal kronik untuk pasien
dengan ESRD. ESRD adalah stadium akhir dari penyakit ginjal
kronis saat pasien sudah tidak dapat dipertahankan lagi secara
konservatif. CAPD dilakukan 3 sampai 5 kali perhari, 7 hari
perminggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavum
peritoneum lebih dari 4 jam. [ CITATION Gha17 \l 1033 ].

2.3.7 Diagnois dan pemeriksaan penunjang


Salah satu kriteria utama untuk diagnosa penyakit ginjal kronis
adalah penurunan nilai GFR ( < 60 ml/ menit / 1,73 m2 ). GFR
diterima secara luas sebagai indeks fungsi ginjal terbaik. Nilai di
bawah 15 ml /menit / 1,73 m2 menunjukkan gagal ginjal yang
memerlukan terapi dialisis atau transpalantasi ginjal [ CITATION
Sus19 \l 1033 ]. Menurut Ghaffar, Chasani, & Saktini (2017)
diagnosis penyakit ginjal kronis dapat dilihat dari :
1) Gejala klinis
Gejala klinis sesuai dengan penyakit yang mendasari yaitu
diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperuricemia, lupus eritematosus sistemik dan
lainnya. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi,
anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,
neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang, koma.
2) Pemeriksaan laboratorium
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan GFR yang dihitung
menggunakan rumus kockcroft-Gault, kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam
urat, hiperkalemi atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, acidosis metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,
cast, isostenuria.
3) Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi terdiri dari foto polos abdomen bisa
tampak batu radio opak, pielografi antegrad atau retrograd
dilakukan sesuai indikasi, Ultrasonografi ginjal bisa
memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista massa,
kalsifilasi.
4) Biopsi atau pemeriksaan histopatologi ginjal.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara non
invasif tidak dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan.
2.4 Konsep Kualitas hidup
2.4.1 Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah kumpulan beberapa hal seperti kesejahteraan
material, kesehatan, produktivitas, keakraban, keamanan, kesejahteraan
masyarakat dan kesejahteraan emosional yang dinilai baik secara
obyektif ( menurut nilai nilai kultural ) maupun subyektif ( kepuasan
yang di ukur secara subyektif ) [ CITATION Isr16 \l 1033 ]. World Health
Organization ( WHO ) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi
individu dari posisi kehidupan individu dalam konteks sistem budaya dan
nilai nilai dimana individu hidup serta dalam hubungannya dengan
tujuan, harapan, standar, kekhawatiran [ CITATION Sun18 \l 1033 ] . Kualitas
hidup adalah tingkat kepuasan atau ketidak puasan yang dirasakan
seseorang tentang aspek dalam kehidupannya, termasuk kemandirian,
privacy, pilihan, penghargaan dan kebebasan bertindak [ CITATION
Eka18 \l 1033 ].
2.4.2 Model Konsep Kualitas hidup
Model kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan, berdasarkan
telaah yang telah dilakukan oleh Bakas, et all, 2012 ( dalam Endarti,
2015) ditemukan tiga model yang sering digunakan yaitu :
1) Wilson & Cleraly model
Teori kualitas hidup yang dikembangkan oleh Wilson & Clearly
( 1995 ) mempresentasikan hubungan antara konsep dasar kesehatan
berhubungan dengan kualitas hidup ( HRQOL ). Teori ini terdiri dari
lima determinan yaitu faktor biologis / fisilogis, status gejala, status
fungsional, persepsi terhadap kesehatan dan kualitas hidup secara
keseluruhan. kelima determinan ini dipengaruhi oleh karakteristik
individu dan lingkungan. Skema dari model konseptual kualitas hidup
menurut Wilson & Cleary dapat dilihat pada gambar berikut :

Karakteristik
Individu

Faktor
biologis Status Status Persepsi Kualitas
fisiologis gejala fungsional kesehatan
s
Karakteristik

Gambar 2.1 Model konseptual HRQOL ( Wilson & Cleary )


2) Ferrans model of quality of life
Penelitian ini menggunakan landasan model kualitas hidup yang
diajukan oleh Ferrans, Zerwie, Wilbur, dan Lanson tahun 2005.
Model ini merupakan revisi dari model yang dikembangkan oleh
Wilson & Clearly. Pada model ini kualitas hidup ini dipengaruhi oleh
karakteristik individu, karakteristik lingkungan, dan persepsi sehat
secara umum. Skema dari model konsep ini bisa dilihat dari gambar
di bawah ini :

Karakteristik
individu

Fungsi Status Persepsi Kualitas


Gejala
biologis fungsional sehat hidup

Karakteristik Lingkungan
Gambar 2.2 Skema model Ferrans model of quality of life
3) World health organization international classification of functioning ,
disability and health ( WHO IFC )
Model kualitas hidup ini bertujuan untuk menyediakan kerangka
kerja yang standar yang dapat menggambarkan kesehatan dan kondisi
kondisi terkait dengan kesehatan. Model ini terdiri dari dua bagian
yaitu functioning and disability , yang terdiri dari fungsi dan struktur
tubuh serta aktifitas dan partisipasi. Bagian kedua adalah faktor
kontekstual, yang terdiri dari faktor lingkungan dan faktor personal.
Interaksi antar komponen bisa dilihat pada gambar berikut :

Kondisi kesehatan

Struktur dan
fungsi tubuh Aktifitas Partisipasi

Faktor lingkungan Faktor personal

Gambar 2.3 Interaksi setiap komponen dan bagian dalam WHO ICF

2.4.3 Faktor Faktor yang mempengaruhi Kualitas hidup.


Menurut saptiwi , 2011 ( dalam Isroin , 2016) faktor faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan gagal ginjal kronis adalah :
1) Karakteristik pasien.
(1) Jenis kelamin.
Komposisi tubuh yang dimiliki perempuan dan laki laki
sangat berbeda, laki laki lebih banyak memiliki jaringan otot
sedangkan perempuan lebih banyak jaringan lemak. Semakin
banyak lemak semakin sedikit presentasi air yang ada pada badan
dan mengakibatkan presentasi air dalam tubuh juga kecil.
Banyaknya air dalam tubuh akan berdampak pada peningkatan
berat badan yang mempengaruhi aktifitas penderita CKD.
(2) Usia.
Usia mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap
kehidupan, masa depan dan pengambilan keputusan. Penderita
dengan usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat
penderita tersebut merupakan harapan hidup serta tulang
punggung keluarga, sementara usia tua biasanya menyerahkan
keputusan pada keluarga atau anaknya dan biasanya kurang
motivasi dalam menjalani hemodialisa. Usia juga erat kaitannya
dengan prognosa penyakit dan harapn hidup. Peningkatan usia
mempengaruhi tingkat kematangan seseorang untuk mengambil
keputusan yang terbaik untuk dirinya.
(3) Pendidikan.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Pendidikan mampu menanamkan kapasitas
baru bagi manusia dalam mempelajari pengetahuan dan
ketrampilan baru sehingga dapat diperoleh manusia yang
produktif. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka dia
akan cenderung untuk berprilaku positif karena pendidikan yang
diperoleh dapat meletakkan dasar dasar pengertian dalam diri
seseorang.
(4) Pekerjaan.
Memiliki pekerjaan pada usia muda bisa mempengaruhi
kualitas hidup serta kebahagiaan seseorang. Pekerjaan menjadi hal
yang utama karena pekerjaan memberikan aktifitas yang
menghabiskan sepertiga waktu individu. Kehilangan pekerjaan
memiliki dampak yang buruk pada kesejahteraan dan kebahagiaan
seseorang. Pekerjaan mempunyai peluang yang besar untuk
tercapainya kualitas hidup yang baik.
(5) Lama menjalani hemodialisis.
Semakin lama pasien menjalani hemodialisis, adaptasi pasien
semakin baik karena pasien telah mendapatkan pendidikan
kesehatan atau informasi yang diperlukan dari petugas. Hal ini
didukung oleh pernyataan bahwa semakin lama pasien menjalani
hemodialisis, semakin patuh dan pasien yang tidak patuh
cenderung merupakan pasien yang belum lama menjalani
hemodialisis.
2) Kesehatan fisik ( anemia )
Penurunan kadar Hb pada pasien hemodialisis menyebabkan
penurunan kadar oksigen dan sediaan energi tubuh yang
mengakibatkan kelemahan dalam menjalankan aktifitas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penurunan kualitas hidup pasien
disebabkan karena anemia. Pasien tanpa anemia berpeluang 6,7 kali
untuk mempunyai kualitas hidup yang baik dibandingkan dengan
pasien anemia.
3) Kesehatan psikologis.
(1) Depresi.
Ketergantungan pasien terhadap mesin hemodialisis seumur
hidup, perubahan peran, kehilangan pekerjaan dan pendapatan
merupakan stressor yang dapat menimbulkan depresi. Pasien yang
tidak depresi memiliki peluang 7,9 kali untuk mempunyai kualitas
hidup yang baik dibandingkan dengan pasien yang depresi.
(2) Dukungan keluarga.
Dukungan keluarga dapat mempengaruhi kepuasan dalam
menjalani kehidupan sehari hari. Setiap orang menggunakan
mekanisme koping yang berbeda beda dan membutuhkan
dukungan psikologis selama proses berduka. Semakin tinggi
dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisis akan semakin
meningkat penerimaan diri dan kualitas hidupnya.
2.4.4 Penilaian kualitas hidup
Untuk melakukan penilaian atau pengukuran kualitas hidup WHO
telah membentuk WHO Quality of life Group. WHO menyusun
WHOQOL-BREEF yang metupakan versi singkat dari alat ukur tersebut,
yang terdiri dari 4 doamin pertanyaan yaitu kesehatan fisik ( physical
health ) terdiri dari 7 pertanyaan, psikologis ( phsycological ) terdiri dari
6 pertanyaan, hubungan sosial ( social reletionship ) terdiri dari 3
pertanyaan dan lingkungan ( environtmen ) terdiri dari 8 pertanyaan.
WHOQOL- BREEF juga mengukur kualitas hidup secara keseluruhan (
overall quality of life ) dan kesehatan secara umum ( general health )
(Salim, et all, 2015).
1) Dimensi kesehatan fisik.
Dimensi kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan
individu untuk melakukan aktifitas. Aktifitas yang dilakukan individu
akan memberikan pengalaman pengalaman baru yang merupakan
modal perkembangan ke tahap selanjutnya. Kesehatan fisik mencakup
aktifitas sehari hari, ketergantungan pada obat obatan, energi dan
kelelahan , mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat,
kapasitas kerja. Hal ini terkait dengan private self counsciousness
yaitu mengarahkan tingkah laku ke perilaku convert, dimana individu
lain tidak dapat melihat apa yang dirasakan dan dipikirkan individu
secara subjektif [ CITATION Azu14 \l 1033 ].
2) Dimensi psikologis.
Dimensi ini terkait dengan kesehatan mental individu. Keadaan
mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan
diri terhadap berbagai tuntunan perkembangan sesuai dengan
kemampuannya baik dari dalam diri maupun dari luar. Aspek
psikologi terkait juga dengan aspek fisik yaitu individu dapat
melakukan suatu aktifitas dengan baik jika individu tersebut sehat
secara mental. Kesejahteraan psikologi mencakup body immage
appearance, perasaan positif, perasaan negatif, self esteem, keyakinan
pribadi, berfikir, belajar, memori dan konsentrasi, penampilan dan
gambaran jasmani [ CITATION Azu14 \l 1033 ].
3) Dimensi hubungan sosial.
Dimensi hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau
lebih dimana tingkah laku individu tersebut akan saling
mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki tingkah laku individu
lainnya. Karena manusia adalah makhluk sosial maka dalam
hubungan sosial ini, manusia dapat merealisasikan kehidupan serta
dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya. Hubungan sosial
mencakup relasi personal. Dukungan sosial, aktifitas seksual.
Hubungan sosial terkait akan public self Counciousness yaitu
bagaimana individu dapat berkomunikasi dengan orang lain
[ CITATION Azu14 \l 1033 ].
4) Dimensi lingkungan.
Dimensi lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di
dalamnya keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan
segala aktifitas kehidupan termasuk didalamnya adalah sarana dan pra
sarana yang dapat menunjang kehidupan. Hubungan dengan
lingkungan mencakup sumber financial, kebebasan , keamanan dan
keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial termasuk
aksesbilitas dan kualitas, lingkungan rumah, kesempatan untuk
mendapat berbagai informasi baru maupun ketrampilan, partisipasi
dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan
yang menyenangkan di waktu luang. Lingkungan fisik termasuk
polusi, kebisingan, lalu lintas, iklim, serta transportasi [ CITATION
Azu14 \l 1033 ].

2.5 Konsep Hemodialisa


2.5.1 Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisa
yang berarti pemisahan zat zat terlarut. Hemodialisa adalah suatu
metode terapi dialysis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut atau secara progresif
ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut [ CITATION Mif16 \l
1033 ]. Hemodialisa adalah suatu proses yang digunakan pada klien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek
( beberapa hari hingga beberapa minggu ) atau klien dengan penyakit
ginjal stadium akhir (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang
atau permanen ( Suharyanto,2009 dalam [ CITATION Mun17 \l 1033 ] .
Hemodialisis dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan
komposisi solute darah oleh cairan lain ( cairan dialisat ) melalui
membran semi permiabel ( membrane dialysis ) atau suatu proses
pemisahan, penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu
membrane semi permiabel yang dilakukan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal baik akut maupun kronik ( Suhardjono, 2014
dalam [ CITATION Mah18 \l 1033 ].
2.5.2 Tujuan hemodialisa
Hemodialisa bertujuan untuk menurunkan kreatinin dan zat toksik
yang lainnya dalam darah, menghilangkan gejala yaitu mengendalikan
uremia, kelebihan cairan, dan ketidak seimbangan elektrolit yang terjadi
pada pasien gagal ginjal tahap akhir [ CITATION Mun17 \l 1033 ] . Selain
itu, tujuan hemodialisa adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi
ekskresi yaitu membuang sisa metabolism dalam tubuh ( ureum,
kreatinin dan sisa metabolism yang lain), menggantikan fungsi ginjal
dalam mengeluarkan cairan yang seharusnya dibuang melalui urin,
meningkatkan kualitas hidup dan menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu pengobatan lain [ CITATION Mif16 \l 1033 ].
2.5.3 Indikasi hemodialisa
Hemodialisa diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang
memerlukan terapi dialysis jangka pendek ( beberapa hari sampai
beberapa minggu ) atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir atau
kronikyang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Secara
umum indikasi dilakukan hemodialisa adalah jika GFR < 15 ml/menit,
hyperkalemia, kegagalan terapi konservatif, kadar ureum > 200 mg/dl,
kreatinin > 65 meq/l. kelebihan cairan dan anuria berkepanjangan lebih
dari 5 kali [ CITATION Mif16 \l 1033 ]. Pada penyakit ginjal kronis inisiasi
hemodialisa dilakukan pada keadaan kelebihan cairan ( over load ),
hyperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi
farmakologi, acidocis metabolic yang refrakter terhadap pemberian
bicarbonate, hiperfosfatemia yang refrakter terhadap pemberian restriksi
diit dan terapi pengikat fosfat, anemia yang refrakter terhadap pemberian
eriropoetin dan diit, adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas
hisup tanpa penyebab yang jelas, penurunan berat badan atau malnutrisi
terutama jika disertai mual, muntah atau adanya bukti lain
gastroduodenitis serta adanya gangguan neurologis, peluritsi atau
pericarditis yang tidak disebabkan sebab lain [ CITATION Zas18 \l 1033 ].
2.5.4 Prinsip kerja hemodialisa
Pada prinsipnya hemodialisa adalah proses penyaringan atau
pemisahan darah melalui suatu membrane semi permiabel yang di
lakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik akut maupun
kronik [ CITATION Chi19 \l 1033 ]. Ada tiga prinsip yang mendasari
hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Proses difusi adalah
proses berpindahnya zat terlarut ke dialisat karena adanya perbedaan
kadar di dalam darah. Proses osmosis adalah proses berpindahnya air
karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan osmosilisat dan dialisat. Proses
ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat terlarut dan air karena
perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat [ CITATION Mif16 \l
1033 ].
2.5.5 Komponen dialisa
Ada tiga macam komponen dialisa yaitu :
1) Alat dialiser atau ginjal buatan.
Dialiser adalah alat dalam proses dialisis yang mampu
mengalirkan darah dan dialisat dalam kompartemen kompartemen di
dalamnya dengan dibatasi membrane semi permiabel [ CITATION Mif16 \l
1033 ]. Dialiser merupakan kunci utama proses hemodialisis, karena
yang dilakukan oleh dialiser sebagian besar dikerjakan oleh ginjal yang
normal. Dialiser terdiri dari dua kompartemen masing masing untuk
cairan dialisat dan darah. Kedua kompartemen dipisahkan membrane
semi permiabel yang mencegah cairan dialisat dan darah bercampur jadi
satu ( Lemone & Burke, 2008 dalam Munawar, 2017).
2) Cairan dialisat.
Cairan dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik
limbah limbah tubuh dari darah. Sementara sebagai buffer umunya
digunakan bikarbonat, karena memiliki resiko lebih kecil untuk
menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan buffer natrium. Kadar
setiap zat di cairan dialisat juga perlu di atur sesuai kebutuhan.
Sementara itu, air yang digunakan harus di proses agar tidak
menimbulkan resiko kontaminasi [ CITATION Mif16 \l 1033 ]. Komposisi
cairan dialisat di atur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi
ion darah normal dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki
gangguan cairan dan elektrolit pasien ESRD. Dialisat di buat dengan
mencampurkan konsetrat elektrolit dengan buffer bikarbonat dan air
murni. Dialisis terdiri dari dialisat acetat yaitu dialisat yang terdiri dari
jumlah sodium, kalsium,magnesium, kalium,klorida dan sejumlah kecil
asam asetat yang dipakai untuk mengkoreksi acidosis dan mengimbangi
kehilangan bikarbonat secara difusi selama proses hemodialisis. Selain
dialisat acetat ada juga dialisat bikarbonat yang terdiri dari larutan asam
dan larutan bikarbonat yang sifatnya lebih fisiologis dan tidak stabil.
Dialisat bikarbonat direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi
[ CITATION Mun17 \l 1033 ].
3) Sistem penghantaran darah.
Sistem penghantaran darah dapat di bagi di bagian mesin dialisis
dan akses dialisis di tubuh pasien. Bagian di mesin terdiri atas pompa
darah, sistem pengaliran dialisat dan berbagai monitor. Sementara akses
dialisis di tubuh pasien di bagi atas dua bagian yaitu fistula dan graf /
kateter [ CITATION Mif16 \l 1033 ]. Mesin hemodialisis merupakan
perpaduan dari komputer dan pompa yang mempunyai fungsi untuk
mengatur dan memonitor. Pompa dalam mesin hemodialisis berfungsi
untuk mengalirkan darah dari tubuh ke mesin dialiser dan
mengembalikan lagi ke tubuh [ CITATION Mun17 \l 1033 ].
2.5.6 Akses vaskular hemodialisa.
Akses vaskular untuk hemodialisa adalah jalur untuk
mempertahankan kehidupan pada penderita End stage renal disease
( ESRD ) atau gagal ginjal kronik, karena penderita gagal ginjal
memerlukan hemodialisa. Pada tindakan hemodialisa akses vaskuler
dipakai sebagai sarana hubungan sirkulasi antara sirkulasi di tubuh pasien
dengan sirkulasi darah ekstrakorporeal ( di luar tubuh pasien ). Pada
tindakan hemodialisa dibutuhkan dua saluran yaitu aliran inlet dan outlet.
Aliran inlet adalah aliran yang membawa darah dari akses vaskular tubuh
pasien menuju dialiser. Aliran outlet adalah aliran dari dialiser menuju
akses vaskular tubuh pasien [ CITATION Mak17 \l 1033 ]. Menurut Hidayat,
(2018) , meskipun berdasarkan guidline NKF DOQI & PERNEFRI telah
di atur dan direkomendasikan, secara ideal akses hemodialisis yang sesuai
bagi pasien berbeda beda, beberapa akses yang bisa digunakan antara lain :
1) Arterio venus shunt ( AV Shunt )
Arterio venus shunt ( AV Shunt ) yang disebut juga AV fistula
atau cimino adalah hasil tindakan untuk menyambung pembuluh darah
vena dan arteri daerah pergelangan tangan atau siku yang bertujuan
untuk memperbesar aliran darah vena sehingga memudahkan untuk
menjalani hemodialisis. AV shunt menyebabkan tekanan ekstra dan
darah ekstra mengalir ke dalam vena, sehingga tumbuh membesar dan
kuat ( menebal ). AV shunt sangat di sarankan karena selain
memberikan aliran darah yang baik untuk proses hemodialis dapat
berfungsi jangka lama bahkan permanen dibandingkan dengan jenis
akses lain. AV shunt membutuhkan waktu 6 sampai 8 minggu agar
dapat dipakai.
2) Graft arteriovenaus ( AV graft )
AV graft adalah tabung pembuluh darah buatan atau sintetis yang
di buat untuk menggantikan pembuluh darah. AV graft membutuhkan
waktu 2 samapi 3 minggu sebelum dipakai.
3) Kateter hemodialisis
Kateter vena atau sering disebut double lumen adalah pipa atau
selang kateter yang dimasukkan ke pembuluh darah vena di leher atau
jugular , dada ( sub klavikula ), atau pangkal paha ( femoral ), biasanya
hanya untuk dialisis temporer atau sementara jangka pendek tiga bulan.
Ada juga kateter yang bisa digunakan jangka panjang sampai satu tahun
di sebut long term HD catheter dengan indikasi tertentu yang lebih
selektif.
2.5.7 Prosedur hemodialisis.
Efektifitas hemodialisis dapat tercapai jika dilakukan 2 -3 kali dalam
seminggu selama 4 sampai 5 jam atau paling sedikit 10 sampai 12 jam
seminggu [ CITATION Mif16 \l 1033 ] . Menurut Munawar ( 2017) , Pada
proses hemodialisis terjadi dua mekanisme :
1) Mekanisme difusi.
Mekanisme difusi bertujuan untuk membuang zat zat terlarut
dalam darah ( blood purification ), Mekanisme difusi terjadi karena
adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen dialisat. Zat zat
terlarut dengan konsentrasi tinggi dalam darah, berpindah dari
kompartemen dialisat, sebaliknya zat zat terlarut dalam cairan dialisat
dengan konsentrasi rendah, berpindah dari kompartemen dialisat ke
kompartemen dialisat. Proses difusi akan terus berlangsung hingga
konsentrasi pada kedua kompartemen telah sama. Untuk
menghasilkan difusi yang baik, aliran darah dan dialisat di buat saling
berlawanan.
2) Mekanisme ultrafiltrasi.
Mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan
cairan dalam tubuh ( volume control ). Pada mekanisme ini terjadi
pembuangan cairan karena adanya perbedaan tekanan antar
kompartemen darah dan dialisat. Tekanan hidrostatik akan mendorong
cairan keluar, sedangkan tekanan onkotik akan menahannya. Bila
tekanan di antara dua kompartemen sudah seimbang mekanisme
ultrafiltrasi akan berhenti.
2.5.8 Komplikasi hemodialisa.
Menurut Suherman ( 2017) dalam petemuan ilmiah tahunan ke 25
ikatan perawat dialisis indonesia menyampaikan bahwa komplikasi akut
yang sering terjadi pada pasien hemodialisa adalah :
1) Komplikasi kardiovaskuler.
Komplikasi kardiovaskuler yang sering terjadi di antaranya
adalah Hipotensi sebanyak 20 sampai 30%, aritmia 5 sampai 75%,
nyeri dada 2 sampai 5 %. Hipotensi merupakan salah satu komplikasi
yang paling sering terjadi. Pedoman dari NKF KDOQI
mendefinisikan hipotensi intradialisis sebagai suatu penurunan
tekanan darah sistolik ≥ 20 mmhg, atau penurunan mean arterial
pressure ( MAP ) > 10 mmhg dan menyebabkan gejala gejala
perasaan tidak nyaman di perut ( abdomen discomfort ), menguap,
mual, muntah, otot terasa kram, gelisah, pusing, dan kecemasan.
Aritmia juga sering terjadi pada pasien hemodialisis. Penyebab
dari aritmia adalah multifaktoral. Pasien dengan penyakit ginjal kronis
yang menjalani terapi dialisis rentan terhadap aritmia karena karena
mereka biasanya memiliki pemberat iskemik penyakit jantung
iskemik, hipertropi ventrikel kiri atau neuropati otonom. Obat obat
anti aritmia mungkin juga terdialisis sehingga rentan terjadi aritmia
selama dan setelah dialisis. Selain itu, nyeri dada juga merupakan
salah satu komplikasi kardiovaskuler. Terapi dialisis dapat
menyebabkan iskhemia miocard sub klinis dan pada EKG terlihat ST
depresi selama hemodialisis. Peningkatan prevalensi nyeri dada terjadi
pada pasien koroner dengan stadium akhir gagal ginjal dan diikuti
dengan infark miocard. Penyebab lain nyeri dada adalah akibat
program hemodialisis yang terlalu cepat sehingga terjadi iskhemia
karena hipovolemi, adanya reaksi anafilaksis atau hemolisis, atau juga
kedisiplinan pasien yang kurang untuk mengkonsumsi obat jantung.
2) Komplikasi terkait alat hemodialisis.
Salah satu komplikasi yang fatal dan sangat ditakuti adalah
emboli udara. Penyebab paling umum adalah udara yang masuk dari
bagian pra pompa di mana ada sistem tekanan negatif dan jalur akses
jarum ke arteri. Gejala gejala dari emboli udara tergantung pada posisi
pasien pada saat itu. Komplikasi neurologis terjadi karena embolus
akan masuk ke sistem otak sedangkan gejala seperti sesak nafas dan
nyeri dada terjadi ketika emboli masuk ke paru paru di posisi
terlentang.
3) Komplikasi terkait membran.
Dalam proses hemodialisis, darah pasien akan melalui
kompartemen ekstracorporeal berupa dialiser, blood tubing set, bahan
kimia untuk sterilisasi dialiser dan diasilat. Pada proses ini bisa terjadi
reaksi anafilaksis dengan gejala dyspneu, takut kematian, sensasi
panas di seluruh tubuh, atau gejala ringan seperti gatal gatal, batuk,
bersin, nasal discharge, mual dan muntah. Hipoksemia juga dapat
terjadi pada pasien dialisis. Selama hemodialisis, Pa O2 turun sekitar
10 – 20 mmhg. Salah satu etiologi dari hipoksemia adalah dialisat
mengandung acetat akibat peningkatan konsumsi oksigen selama
konversi bikarbonat acetat dan akibat hilangnya CO 2 intra dialisis.
Bikompatibilitas membran yang digunakan adalah salah satu faktor
penyebab hipoksemia.
4) Komplikasi terkait sistem air.
Permasalahan terkait sistem air dapat menyebabkan komplikasi
akut jangka panjang. Komplikasi yang terjadi dapat berupa sepsis
yang disertai gejala demam, gemetaran, mual, nyeri otot, nyeri kepala,
hipotensi sampai syok jika terpapar bakteri endotoksin dalam jumlah
banyak.
5) Komplikasi neurologi.
Komplikasi neurologi terjadi akibat gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh penyakit ginjal kronis, serta prosedur dialisis.
Komplikasi yang muncul berupa penurunan kesadaran, sakit kepala,
mual, muntah, mioklonus, tremor, fokus, kejang umum, infark cerebri,
perdarahan dan sindrom disequilibrum.
2.5.9 Dampak hemodialisa terhadap kualitas hidup
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian
dari fungsi ginjal yang dilakukan secara rutin kepada pasien dengan
GGK di renal unit fasilitas kesehatan di rumah sakit. Kualitas hidup
dijadikan aspek untuk menggambarkan kondisi kesehatan dapat
dinilai berdasarkan kondisi kesehatan fisik, psikologis, hubungan
sosial, dan lingkungan. Dalam kondisi sehat kualitas hidup manusia
akan selalu akan selalu terjaga dimana keempat aspek tersebut dapat
dilakukan dengan baik. Hal ini akan berbeda jika manusia dalam
kondisi sakit kronis seperti pada pasien GGK yang menjalani
hemodialisa (Mulia, et all, 2018). Pasien gagal ginjal sebelum
menjalani terapi hemodialisa sangat terganggu aktifitasnya baik untuk
bekerja maupun bergaul, juga kesulitan tidur karena rasa sakit yang
dirasakan. Disamping itu berbagai keluhan fisik pasien tergantung
dari tingkat keparahannya. Untuk itu pasien sangat tergantung pada
terapi dialisis untuk meningkatkan kualitas hidupnya [ CITATION
Rus18 \l 1033 ]. Dengan hemodialisa yang dilakukan seumur hidup
maka pasien akan semakin memahami pentingnya kepatuhan pasien
dalam melakukan hemodialisa serta merasakan manfaat nya dan
akibat jika tidak melakukan hemodialisa. Kepatuhan terhadap terapi
dialisa merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena jika
pasien tidak melakukan hemodialisa akan terjadi penumpukan zat zat
yang berbahaya akibat sisa dari metabolisme yang dapat memberikan
dampak negatif dan berpengaruh pada kualitas hidup pasien
[ CITATION Pus18 \l 1033 ].
2.6 Kerangka Teori

Infeksi Peradangan Gangguan Kongenital Nefropati


tubulointerstisial metabolik jaringan ikat hereediter toksik /
obstruktif

Terapi konservatif

Diit rendah protein


Diit rendah kalium
Gagal ginal kronik Faktor yang
Kecukupan kalori
derajat I - V mempengaruhi kualitas
Keseimbangan cairan
hidup

Karakteristik pasien
Pengganti
Indikasi HD Kesehatan fisik
Hemodialisa
GFR > 15 ml/mnt
CAPD
Hiperkalemia
psikologis
Gagal terapi
konservatif
Ureum > 200 mg/dl Kualitas Hidup
Kreatinin >65 meq/l
Over load
Acidosis metabolik
Konsep kualitas hidup

Faktor yang Konsep Wilson &


mempengaruhi Clearly
Dukungan keluarga
dukungan keluarga Ferrans Model of quality
of life
Internal : Konsep WHO IFD
perkembangan
Pendidikan
Respon emosi

Eksternal: Fungsi Keluarga


Sosial
. ekonomi
Latar belakang Jenis dukungan
Agama
Keluarga
Budaya
Cinta kasih
Sumber dukungan Dukungan emosional
Perlindungan
keluarga Dukungan penialian
Reproduksi
Dukungan instrumental
Sosialisasi
Internal Dukungan informasional
Ekonomi
Eksternal Pelestarian lingkungan
Gambar 2.4 Kerangka teori hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien
penyakit ginjal kronik dalam menjalani hemodialisa di RSUD Sultan
Imanuddin Pangkalan Bun tahun 2020.

BAB III

KERANGKAN KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan suatu uraian dan visualisasi tentang
pengaruh atau kaitan konsep – konsep atau variabel – variabel yang akan
diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan [ CITATION
Not12 \l 1033 ]. Adapun kerangka konseptual dapat dilihat pada gambar 3.1
dibawah ini
Variabel independen variable dependen

Kualitas hidup pasien


Dukungan keluarga pemyakit ginjal kronik
dalam menjalani
hemodialisa

Umur

Jenis kelamin

Pendidikan

Pekerjaan

Sosial ekonomi

Tahap perkembangan

Respon emosi

Variabel counfonding

Gambar.3.1 Kerangka konsep hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup


pasien penyakit ginjal kronik dalam menjalani hemodialisa di RSUD
Sultan Imanuddin Pangkalan Bun tahun 2020.
diteliti

tidak diteliti

Berdasarkan gambar kerangka konsep di atas, dapat dijelaskan variabel


independen yaitu dukungan keluarga dan variabel dependennya adalah
kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronis dalam menjalani hemodialisa ,
serta variabel confounding atau perancu adalah umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi,latar belakang keluarga dan respon
emosi.

3.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan maslah
penelitian, dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori. Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka kerja pikir
yang merupakan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan.
Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka uraian diatas hipotesis dalam
penelitian ini adalah :
Hi : Ada hubungan dukungan keluarga terhadap kualitas hidup pada pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani proses hemodialisa.
Ho : tidak ada hubungan dukungan keluarga terhadap kualitas hidup pada
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani proses hemodialisa.
DAFTAR PUSTAKA

Adhiatma, A. T., Wahab, Z., & Widyantara, I. E. (2017). Analisis faktor faktor
yang berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien
hemodialisis di RSUD Tugu Rejo Semarang. Jurnal unimus.ac.id.

Al khorni, S., & Supratman, S. (2017). Hubungan Antara Dukungan keluarga


Dengan Kualitas Hidup Lansia Di Desa Gonilan Kecamatan Kartasura
Kabupaten Sukoharjo. Doctoral Desirtation Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Arfai, M. F. (2014). Analisis faktor Faktor Yang mempengaruhi Kualitas hidup


Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Tugu
Rejo Semarang. undergraduate thesis unimus .

Ariga, R. A. (2020). Implementasi manajemen pelayanan kesehatan dalam


keperawatan. Yogyakarta: Deepulish publisher.

Azuwardi, R. (2014). Hubungan self conciousness dengan kualitas hidup remaja


yang mengalami acne vulgaris. Skripsi thesis universitas islam negeri
Sultan Sarif Kasim Riau.

Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Medah Manajemen Klinis
Untuk hasil yang diharapkan alih bahasa Nampira R. Jakarta: Salemba
Medika.

Cecilia. (2011). Hubungan tingkat stress dengan kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUP Dr.M.Djamil Padang .
Fakultas Keperawatan Universitas Andalas Padang.
Chickarani, G., Isti, S., & Nugraheni, T. L. (2019). Hubungan antara asupan
natrium,kalium, protein dan cairan dengan edema pada penderita gagal
ginjal kronik rawat jalan dengan hemodialisa rutin di RSUD panembahan
senopati bantul . Doctoral dessirtation, poltekkes kemenkes yogyakarta.

Ekasari, F. M., Riasmini, N. M., & Hartini, T. (2018). Meningkatkan Kualitas


hidup Lansia Konsep Dan Berbagai Strategi Intervensi. Malang: Wineka
Media.

Endarti, T. A. (2015). Kualitas Hidup Kesehatan, Konsep, model dan


penggunaan. Jurnal ilmiah kesehatan.

Fajar, A. (2015). Hubungan Dukungan Keluarga, pengetahuan dan Sikap


Tentang Undang undang Keperawatan Dengan Minat Melanjutkan
profesi Ners . Bachelor Tesis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Faridatin, R. (2018). Peran keluarga Dalam Mencegah Dimensia Pada Lansia Di


Dusun Asem Kandang Desa Prajegan Kecamatan Sukorejo Kabupaten
Ponorogo. Thesis Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Ghaffar, M. A., Chasani, S., & Saktini, F. (2017). Perbandingan kualitas hidup
pasien penyakit ginjal kronis yang diterapi dengan continous ambulatory
perotinial dialysis atau hemodialisis. Diponegoro medical journal.

Haryanti, I. P., & Nisa, K. (2015). Terapi konservatif dan Terapi Pengganti ginjal
sebagai penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik. Majority.

Hidayat, N. A. (2018, January 28). memahami pilihan akses hemodialisis.


KPCDI.

Irwan, S. (2018). Epidemiologi Penyakit Tidak menular . Yogyakarta:


Deepubliher.

Isroin , L. (2016). Manajemen cairan pada Pasien Hemodialisis untuk


meningkatkan kualitas hidup. Ponorogo: Unmuh Ponorogo Press.

Jamila, I. N., & Herlina, S. (2019). Studi komparatif kualitas hidup antara pasien
hemodialisis dengan contonous ambulatory peritoneal dialisis. Journal of
islamic noursing.

Kemenkes RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kementrian


kesehatan RI.

Kurniawan, F. (2020). Keluarga Dan Budaya Dalam Tinjauan Sosiologis. Jakarta:


G4 Publishing.
Kurniawati, A., & Asikin, A. (2017). Gambaran Tingkat pengetahuan Penyakit
Ginjal dan terapi Diet Ginjal dan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis di
Rumkital Dr.Ramelan Surabaya. research study.

Mahayundhari, N. E. (2018). Hubungan adekuasi Hemodialisis dan status Gizi


Dengan Kualitas hidup Pasien Gagal ginjal Kronis yang menjalani
Hemodialisa di RSUP Sanglah denpasar. Doctoral dessirtation,Jurusan
Gizi.

Makruf, A. (2017). Perawatan akses vaskuler hemodialisis. IPDI JATIM.


Surabaya.

Maziyah, F. I. (2015). Hubungan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan


dalam mengerjakan skripsi pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan ( STIKES ) NU Tuban . Doctoral Dissertation Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Miftah, A. (2016). Faktor faktor yang mempengaruhi kecemasan pada pasien


hemodialisa RSUD Tugu Semarang . Undergraduate (S1) Thesis , UIN
Wali songo.

Misgiyanto, & Susilawati, D. (2014). Hubungan Antara Dukungan Keluarga


Dengan Tingkat Kecemasan Penderita Kanker Serviks Paliatif. Jurnal
keperawatan, 1-15.

Muhith, A., & Siyoto, S. (2016). Pendidikan keperawatan Gerontik. Yogyakarta:


CV.Andi offset.

Muhith, A., & Siyoto, S. (2016). Pendidikan keperawatan Gerontik. Yogyakarta:


Andi Offset.

Mulia, D. S., Mulyani, E., Pratomo, G. S., & Chusna, N. (2018). Kualitas Hidup
Pasien Gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr.
Doris Silvanus Palangkaraya. Borneo Journal of Pharmacy.

Mulia, M. (2019). Pelaksanaan tugas keluarga Di Bidang Kesehatan Mengenal


Masalah Hipertensi terhadap Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di
Kelurahan Timbangan Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir.
Adi Husada Noursing Journal, 18-23.

Munawar, U. (2017). Hubungan kejadian komplikasi intradialisis dengan nilai


saturasi oksigen pada pasien hemodialisis di RSUD Prof.dr.Margono .
Doctoral dessirtation Universitas Muhammadiyah purwokerto.
Mutiah, R. (2014). Efectifitas solution focused family therapi untuk meningkatkan
dukungan sosial keluarga pada ibu yang memiliki anak down syndrom .
Masters thesys.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan keperawatan Sistem Perkemihan.


Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Sistem perkemihan.


jakartaSalemba Medika.

National Kidney Foundation. (2015). KDOQI Clinical practice Guidline for


Hemodialysis Adequacy 2015 update. American Journal Kidney Desease,
884-930.

Ndore, S., Sulasmini, & Hariyanto, T. (2017). Dukungan Keluarga Berhubungan


Dengan Kepuasan Interaksi sosial Pada Lansia. Jurnal Care Vol 5, No 2,
256-262.

NKF-KDIGO. (n.d.). KDIGO 2012. Clinal practice guidline for the evaluation .

Notoadmojo, S. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurarif , A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan


Berdasarkan diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Jogjakarta:
Mediaction.

Nurjanah, M. (2019, Juli 14). Teori Keluarga. Jurnal Kesejahteraan Keluarga


dan pendidikan, pp. 27-35.

Puspasari, S., & Nggobe, I. W. (2018). Hubungan kepatuhan Menjalani Terapi


hemodialisa Dengan Kualitas hidup Pasien di Unit Hemodialisa RSUD
Cibabat-Cimahi. Holistik Jurnal Kesehatan.

Rustandi, H., Tranado, H., & Pransasti, T. (2018). Faktor faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien Chronic Kidney desease ( CKD )
yang menjalani hemodialisa . Jurnal keperawatan silampari.

Rustandi, H., Tranado, h., & Pransasti, T. (2018). Faktor faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien CKD yang menjalani hemodialisa.
Jurnal keperawatan Silampari.

Salim, O. C., Sudharma, N. I., Kusumaratna, R. K., & Hidayat, A. (2015).


Validitas dan reliabilitas world health organization quality of life BREEF
untuk mengukur kualitas hidup lanjut usia. universa medicina.
Sangian, L. M., Wowiling, F., & Malara, R. (2017). Hubungan Dukungan
Emosional keluarga Dengan penerimaan Diri Pada Lansia di Desa
Watutumou III. Jurnal Keperawatan.

Setiana, I. A. (2016). Asuhan Keperawatan keluarga Dengan Masalah TBC .


Doctoral Dessirtation Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Setiawan, D. (2017). Kualitas Hidup Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis di RSUD Kota Semarang. Under graduate thesis
Muhammadiyah Univercity Semarang.

Siregar, C. T. (2020). Buku Ajar manajemen komplikasi Pasien hemodialisa .


Yogyakarta: Deepublish.

Suherman, H. (2017). Penatalaksanaan komplikasi akut pasien hemodialisa.


Malang: Pertemuan ilmiah tahunan ( PITNAS ) 25 IPDI.

Suni, A. F. (2018). Hubungan antara strategi koping Dengan kualitas hidup pada
Pasien diabetes melitus Tipe 2 . Doctoral dessirtation Universitas Mercu
Buana Yogyakarta.

Susianti, H. (2019). Memahami interpretasi Pemeriksaan laboratorium Penyakit


Ginjal kronis. Malang: UB Press.

Sutini. (2018). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien


gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani hemodialisi Di RSUD Dr. Harjono
Kabupaten Ponorogo. Skripsi S1 Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Thoriq , I. (2013). Hubungan Dukungan Sosial keluarga Dengan Prestasi Belajar


Siswa SMA Jendral Sudirman Kalipare Malang. Doctoral Dessirtation,
Universitas Islam negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Utami, G. T. (2015). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan kualitas hidup


Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Terapi hemodialisis Di RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru. Doctoral Dessirtation Riau Univercity.

Wahyuni, A., Kartika, I. R., Asrul, I. F., & Gusti, E. (2019). Korelasi lama
hemodialisa Dengan fungsi Kognitif . Real in Noursing Journal ( RNJ ).

Wurara, Y. G., Kanine, E., & Wowiling, F. (2013). Mekanisme koping pada
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani therapi hemodialisis Di
Rumah Sakit Prof. Dr.R.D Kandou Manado. Ejournalkeperawatan.

Yoniartini, D. M. (2020). Konsep Tri Hita Karana Bagi Anak Usia Dini. Malang:
Literasi Nusantara.
Yuliyanti, T., & Zakiyah, E. (2016). Tugas Kesehatan keluarga sebagai Upaya
Memperbaiki Status Kesehatan dan Kemandirian Lanjut Usia. Profesi.

Zasra, R., Harun, H., & Azmi, S. (2018). Indikasi dan persiapan hemodialisis pada
penyakit ginjal kronis. jurnal kesehatan andalas.

Zurmeli,et all. (2015). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup


Pasien Gagal ginjal Kronis yang menjalani terapi Hemodialisis di RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru . Jurnal Online Mahasiswa Program Studi Ilmu
keperawatan Universitas Riau, vol 2, 670-681.

Anda mungkin juga menyukai