Anda di halaman 1dari 14

Ultrasound Paru untuk Dokter Spesialis Jantung

Eugenio Picano, MD, PHD, Maria Chiara Scali, MD, PHD, Quirino Ciampi, MD, PHD, Daniel
Lichtenstein, MD

Abstrak
Untuk seorang dokter spesialis jantung, ultrasound paru merupakan tambahan terhadap
ekokardiografi transthorakal, sama seperti auskultasi paru, pemeriksaan ini merupakan bagian
dari pemeriksaan fisik jantung. Transducer jantung dengan 3,5 hingga 5,0 MHz secara umum
sesuai karena permukaan yang kecil membuatnya ideal untuk memindai rongga interkostal.
Kualitas gambar seringkali adekuat, dan ruang akustik paru selalu paten. Peningkatan kumulatif
dari waktu pencitraan adalah <1 menit untuk 2 aplikasi utama yang ditargetkan pada cairan
pleura (efusi pleura) dan cairan paru (kongesti paru sebagai garis B multipel). Dalam kondisi
tersebut, ultrasound paru melebihi akurasi diagnostik dari radiografi dada, dengan biaya yang
murah, dapat berpindah-pindah, menunjukkan keadaan sesungguhnya, dan merupakan metode
yang bebas radiasi. “Paru-paru basah” yang terdeteksi dengan ultrasound paru memperkirakan
dekompensasi gagal jantung akut yang dapat terjadi dan dapat mencetuskan terapi dekongesti
paru. Dokter di masa yang akan datang mungkin akan tetap mendengarkan menggunakan
stetoskop pada paru pasiennya, namun mereka pasti akan melihatnya juga dengan menggunakan
ultrasound.

Ultrasound Paru dalam Kardiologi: Latar Belakang Sejarah


Dua ratus tahun setelah Laennec, yang pertama kali memperkenalkan auskultasi paru sebagai
bagian dari pemeriksaan fisikk dari jantung pada tahun 1819, transducer mengikuti jalur ayng
sama seperti stetoskop, dari area jantung ke lapang paru, dengan beberapa keuntungan diagnostik
pada pemeriksaan yang sama, Hal ini mungkin tampak jelas saat ini, namun untuk generasi
dokter spesialis jantung kami, hal ini membutuhkan waktu 50 tahun dari praktek ekokardiografi
transthorakal (TTE) sebelum kami bergeser ke transducer beberapa sentimeter dari rongga
akustik jantung untuk mendapatkan penampakan dari dunia diagnostik baru yang luar biasa
dengan ultrasound paru.
Pada tahun 1990an, ultrasound paru pertama kali diajukan dengan penggunaan awal pada pasien
dengan penyakit kritis yang mengalami sejumlah kondisi klinis tertentu, termasuk deteksi dari
edema paru akut (APE) hemodinamik. Hanya pada tahun 2004, TTE dikombinasi dengan
ultrasound paru untuk mendeteksi kongesti pulmoner pada pasien dengan gagal jantung yang
dirawat di ruangan kardiologi.
Pada pandangan retrospeksi, celah teknologi dan budaya antara TTE dan ultrasound paru sangat
sempit dan tidak membutuhkan pikiran intuitif untuk menjembataninya. Dua teknik yang
menggunakan peralatan yang sama, dengan lapangan pemindaian yang berdekatan atau saling
tumpang tindih pada hemithoraks anterior kiri. Informasi diagnostik yang diberikan oleh
ultrasound paru jelas merupakan bidang klinis yang menarik untuk dokter spesialis jantung, yang
mengenal dengan baik relevansi prognostik dan terapeutik dari cairan paru ekstravaskuler, dan
bagaimana penilaian cairan paru dalam waktu yang sesungguhnya dapat memberikan informasi
yang mendukung metode konvensional berdasarkan pada pemeriksaan fisik dan radiografi dada
untuk mendeteksi kongesti pulmoner. Selain itu, dokter perawatan intensif dan dokter spesialis
jantung seringkali bekerja pada pasien yang sama, dan umumnya terdapat kedekatan spasial
antara unit perawatan intensif dan unit perawatan koroner. Kondisi logistik ini secara teoritis
seharusnya memfasilitasi penyebaran dari praktik inovatif ini. Namun, selama beberapa dekade
TTE dan ultrasound paru masih terpisah oleh dinding budaya yang tidak terlihat namun juga
tidak dapat ditembus. Pengetahuan standar dari buku mengajar kita bahwa paru dipenuhi dengan
udara (> 90%), dan udara menghentikan sinyal ultrasound karena teradapat ketidaksesuaian
impedansi yang sangat tinggi dengan jaringan di rongga dada. Konsekuensi klinisnya adalah
bahwa “pencitraan ultrasound tidak berguna untuk evaluasi dari parenkim paru”. Pada
kenyataannya, celah akustik paru selalu terbuka, bahkan saat celah akustik jantung untuk TTE
tertutup. Walaupun hanya bagian yang terbatas dari parenkin paru yang dapat divisualisasi,
bagian kecil ini sangat penting karena merupakan gangguan mengancam nyawa yang paling akut
yang berbatasan dengan garis pleura: efusi pleura, pneumothoraks, dan sindroma interstisial akut
pada 100% dari kasus; dan konsolidasi paru pada 98,5% dari kasus.
Saat dinding budaya dari bias impedansi yang mengelilingi evaluasi ultrasound dada telah
diruntuhkan, dokter spesialis jantung dengan cepat mempelajari apa yang telah diketahui oleh
dokter perawatan intensif selama beberapa dekade lamanya. Ultrasound paru (juga disebut
dengan ultrasound thoraks atau sonografi dada, namun istilah tersebut dapat mencakup
mediastinum dan jantung) memberikan alat diagnostik yang serba bisa dan bernilai pada
berbagai macam kondisi yang dihadapi oleh dokter spesialis jantung setiap harinya di saat
praktek, dari gagal jantung hingga emboli paru. Informasi mengenai cairan paru dapat dengan
mudah didapatkan pada batas dasar dan dengan mengikuti intervensi secara berkala untuk
mengamati perubahan dinamis pada kongesti dan dekongesti pulmoner. Dengan pemeriksaan
yang komprehensif, terbatas, atau terfokus, ultrasound paru telah siap untuk dilibatkan dalam
TTE standar, dari platform dengan fungsi penuh yang dilakukan oleh ekokardiografer
tersertifikasi hingga alat kecil yang digunakan oleh non ekokardiografer. Sangat sulit untuk
menemukan keuntungan diagnostik yang begitu banyak dengan modal yang sangat sedikit dalam
hal teknologi, pelatihan, dan waktu pada area lain dari kardiologi. Ulasan ini terutama ditujukan
pada mereka yang merawat pasien kardiologi (dokter spesialis jantung, dokter unit gawat darurat,
ultrasonografer jantung).

Metodologi yang Digunakan Saat Ini


Untuk dokter spesialis jantung, studi ultrasound paru merupakan tambahan bagi studi TTE, dan
harus difokuskan, cepat, dan factual tanpa menjadi pemeriksaan tambahan yang membutuhkan
tambahan waktu yang berlebihan, pelaporan yang terpisah, dan pembiayaan tambahan. Rata-rata
waktu untuk melakukan pemindaian jantung TTE komprehensif adalah sekitar 40 hingga 45
menit, dan kami dapat dengan mudah menambahkan 1 menit lagi untuk memindai paru untuk
efusi pleura atau edema paru. Metodologi dari pemeriksaan ultrasound paru yang dipandu oleh
jantung dapat diringkas sebagai berikut ini, mengenai persyaratan dasar: pelatihan, transducer,
teknologi, teknik, dan target dari pemeriksaan (Tabel 1).
Pelatihan. American College of Chest Physicians telah menjelaskan pengetahuan dan elemen
teknis yang dibutuhkan untuk kompetensi dalam ultrasound paru. Berdasarkan pengalaman kami,
pengalaman bekerja pada suatu pagi atau bahkan modul berbasis internet terstandarisasi selama 2
jam cukup untuk mencapai reproduksibilitas yang sangat baik dalam mengidentifikasi dan
mengkuantifikasi garis B, bahkan diantara sonografer ultrasound baru. Ini merupakan tanda yang
paling mudah dan paling mudah untuk direproduksi untuk dikenali dalam ultrasound
kardiovaskuler, dianggap sebagai “taman kanak-kanak” dalam kursus ekokardiografi, dimana
identifikasi dari abnormalitas pergerakan dinding regional merupakan tingkatan yang lebih
tinggi, dikenal dengan “universitas”.
Transducer. Probe digunakan tegak lurus dengan dinding dada, pada tampak sublongitudinal
mengikuti kemiringan tulang costae. Permukaan yang kecil dari transducer jantung membuatnya
sesuai untuk rongga pemindaian diantara costae, dan frekuensi sebesar 3,5 hingga 5,0 MHz
membantu visualisasi yang adekuat dari struktur subpleura, walaupun dengan resolusi yang
terbatas untuk menentukan lokasi dari garis pleura dengan pasti. Dokter yang melakukan
perawatan kritis lebih sering menggunakan probe mikrokonveks 5 MHz yang memberikan
pandangan lebih baik dari paru secara keseluruhan, superfisial dan dalam, dan membantu TTE
gawat darurat yang sederhana, begitu juga dengan pendekatan mendesak pada vena, abdomen,
dan seluruh tubuh.
Teknologi. Tidak dibutuhkan Doppler, harmonik kedua, atau media kontras, dan ultrasound paru
dilakukan paling baik dengan menggunakan peralatan yang sederhana.
Teknik. Celah akustik untuk ultrasound paru selalu paten, bahkan saat TTE tidak dapat
digunakan. Pada sisi kiri dari dada, celah ultrasound paru dekat dengan celah TTE apikal dan
parasternal dan sesuai dengan titik BLUE yang terkenal dalam pendekatan dokter perawatan
intensif, dimana BLUE merupakan singkatan dari Bedside Llung Ultrasonography in
Emergency. Terdapat 3 area simetris pada tiap paru: 2 titik anterior (titik BLUE atas, titik BLUE
bawah); dan 1 titik posterolateral, pada atau dibelakang dari garis aksila posterior, setinggi titik
BLUE bawah, disebut dengan titik PLAPS, dimana PLAPS merupakan singkatan dari
Posterolateral Alveolar and/or Pleural Syndrome (Gambar 1). Titik BLUE anterior dilihat
untuk diagnosis dari pneumothoraks dan edema paru dan merupakan lokasi elektif untuk deteksi
dari kongesti pulmoner saat istirahat. Dengan stress, terdapat fokus tambahan yang penting pada
rongga intercostal ketiga pada 2 area diantara garis aksila posterior dan anterior dan diantara
garis aksila anterior dan garis midklavikula, “titik basah” dimana terjadi penumpukan cairan paru
paling banyak saat posisi semisupine (Gambar 2). Titik PLAPS membantu diagnosis secara
langsung dari sebagian besar efusi pleura dan sindroma alveolar posterior dengan sensitivitas >
90%. Titik PLAPS dapat diakses pada semua pasien, termasuk pasien yang diventilasi, dalam
posisi supine, bariatrik, dengan menggunakan probe yang dapat dimasukkan diantara bagian
posterolateral dari dada dan tempat tidur; lokasi yang paling posterior merupakan yang terbaik,
namun terkadang hal ini tidak mudah untuk diakses, sehingga bagian lateral yang paling
memungkinkan menjadi alternatif terbaik untuk mendeteksi PLAPS. Saat efusi pleura terdeteksi,
diagnosis positif dibuat, dan operatornya bebas untuk menilai volume dari efusi dengan
memindahkan probe; jika tidak ada efusi yang ditemukan, namun, terdapat waktu luang. Dengan
menggunakan pendekatan sederhana ini, pemindaian paru dapat dicapai pada < 2 menit. Untuk
pemeriksaan berkala, posisi (duduk atau supine) harus konsisten karena cairan pleura dan cairan
paru berubah seiring dengan perubahan postur. Ultrasound paru masih sesuai dan dapat
diandalkan pada semua kondisi hemodinamik dan ventilasi, tidak seperti informasi TTE yang
dapat mengalami penurunan pada kondisi akut karena hiperventilasi dan takikardi, yang
membuat pencitraan dan interpretasi dari beberapa parameter (seperti, pergerakan dinding
regional, pengisian diastolik) menjadi lebih menantang.

Tabel 1. Persyaratan dan Teknik untuk Kombinasi TTE dan Pemindaian Ultrasound Paru

Target. Untuk dokter spesialis jantung, penyakit utama yang menjadi target dari ultrasound paru
ditandai dengan perubahan pada cairan dalam rongga pleura (efusi pleura) atau parenkim paru
(kongesti paru, saat istirahat dan saat stress). Pada kedua kondisi tersebut, ultrasound paru
memiliki keuntungan yang jelas dari sensitivitas dan spesifisitas dibandingkan dengan radiografi
dada. Protokol BLUE telah menyarankan pendekatan terstandarisasi terhadap penyebab yang
paling umum dari gagal napas akut, yang mana merupakan cakupan dari dokter spesialis jantung
untuk menilai sesak yang tidak dapat dibedakan (dengan menurunkan frekuensi): pneumonia,
APE, penyakit paru obstruktif kronik, asma, emboli paru, dan pneumothoraks.

Tanda Utama dari Ultrasound Paru pada Fisiologi dan Penyakit


Dengan ultrasound paru, permukaan paru selalu menjadi pola yang sederhana dimanapun probe
diletakkan. Keseluruhan strukturnya dinamis dan menghasilkan variasi fisiologis pada
pergerakan dari akhir inspirasi hingga akhir ekspirasi melalui siklus pernapasan yang
dicerminkan dalam pergerakan pleura. Tanda utama dari ketertarikan kardiologis melibatkan
garis pleura, rongga pleura, pergerakan paru, interstisial paru, dan rongga alveolar paru.
Garis pleura
Pola normal. Dua struktur anatomi yang terpisah dari pleura parietal dan visceral terletak
berhadapan dan, dengan transducer frekuensi rendah, menyatu menjadi garis pleura tunggal,
ekogenik dengan ketebalan 0,2 hingga 0,3 mm, horizontal, echo specular yang halus (Gambar
3). Gaung atau pengulangan artefak dibelakang garis pleura dapat tampak horizontal (garis A)
atau vertikal (garis B) dengan bentuk yang reguler, lurus, dan geometrik, atau yang lebih tepat
konvergen kearah kepala dari probe (bagian atas dari layar) seperti garis paralel (garis A) atau
meridian (garis B).
Pola abnormal. Pada sindroma distress pernapasan akut (ARDS) dan pneumonia, cairan yang
dihasilkan oleh inflamasi berupa perekat, yang melekatkan paru ke pleura parietal, dengan
demikian menghilangkan gerakan menggelincir dari paru. Garis pleura tampak menebal dan
ireguler, kemungkinan karena sindroma alveolar subpleura kecil (Gambar 3). Umumnya, tanda
statis tersebut muncul bersamaan dengan tanda dinamis kritis tunggal, hilangnya (atau gangguan
berat) gerakan menggelincir dari paru. Tanda ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding dari garis B pada ARDS atau pneumonia dibandingkan dengan APE
kardiogenik. Penebalan dari garis pleura merupakan tanda utama dan yang paling sensitif dari
fibrosis paru, contohnya, ditemukan pada penyakit reumatologi, dan paling baik dideteksi dengan
probe frekuensi tinggi.

Pergerakan pleura
Pola normal. Pleura visceral menggelincir pada pleura parietal yang tidak bergerak pada saat
bernapas. “Gerakan menggelincir dari paru” merupakan pergerakan horizontal, bolak-balik,
dimulai pada garis pleura, yang mana mendekati angka nol pada bagian apex dan secara bertahap
meningkat mencapai maksimal di dekat diafragma. Pada subjek yang sehat dengan pernapasan
yang tenang, amplitudo dari gerakan menggelincir paru sekitar 10 hingga 15 mm pada celah
dada anterior pada bagian bawah (titik BLUE bawah).
Pola abnormal. Saat udara memisahkan 2 lapisan pleura (pneumothoraks), pergerakan tersebut
menghilang. Saat eksudat yang lengket merekatkan pleura parietal dan visceral (pneumonia,
ARDS), pergerakannya mengalami penurunan atau hilang. Saat ikatan kolagen menjembatani
pleura parietal dan visceral, pergerakannya juga berkurang, sebagaimana terjadi pada perlekatan
pleura.

Gambar 1. Titik BLUE


Rongga pleura

Pola normal. Rongga yang terisi cairan diantara 2 reflektor specular dari pleura parietal dan
visceral merupakan rongga potensial pada kondisi normal karena 2 pleura yang berdekatan satu
sama lain hanya dipisahkan beberapa milimeter oleh cairan serosa, dengan demikian
menyebabkan terjadinya pergerakan yang halus dari pleura visceral saat siklus pernapasan
(Gambar 3).

Gambar 2. Empat Lokasi Pemindaian Sederhana untuk Garis B

Gambar 3. Pola Ultrasound Paru Normal dan Abnormal

Pola abnormal. Efusi pleura yang tampak dari ultrasound ditandai dengan tanda statis dari
rongga diantara garis pleura dan garis paru (selalu reguler, hampir sejajar dengan garis pleura,
yang menunjukkan pleura visceral) (Gambar 3). Tanda dinamis merupakan variasi dari rongga
antar pleura ini saat siklus pernapasan, dengan pergeseran garis paru saat inspirasi yang
mengarah pada garis pleura dan jarak maksimal pada saat akhir ekspirasi. Tanda statis disebut
“tanda quad” dan tanda dinamis disebut “tanda sinusoid”. Efusi transudatif bersifat anechoic
(bebas echo). Eksudat bisa berupa anechoic atau echoic, dimana kasus yang paling berat
umumnya echoic secara sempurna (emfisema, hemothoraks).

Parenkim Paru
Pola normal. Paru yang normal menunjukkan gerakan menggelincir dari paru dengan garis A,
yang mana merupakan gaungan horizontal faktual, sama jauhnya dari satu titik ke yang lainnya
dibawah pleura, tepat berada pada garis antara transducer-pleura (Gambar 3). Garis A
mengindikasikan bahwa terdapat udara dibawah garis pleura, antara 99,5% udara (seperti, paru
normal, yang mengandung cairan dalam jumlah yang sangat sedikit) atau 100% udara (pada
pneumothoraks).
Pola interstisial abnormal: garis B multipel. Garis B ditentukan berdasarkan pada 7 kriteria: 3
kriteria konstan dan 4 kriteria yang hampir konstan. Garis B secara konstan berbentuk seperti
ekor komet, artefak vertikal. Secara konstan, muncul dari garis pleura. Secara konstan, bergerak
seirama dengan gerakan menggelincir paru (saat terdapat gerakan menggelincir paru). Hampir
konstan, garis B tampak jelas dan menyerupai laser; panjang, memanjang hingga dasar dari layar
tanpa gambaran yang kabur; menghapus garis A; dan hyperechoic. Definisi yang tepat ini
membantu pengenalan secara seragam pada semua kasus (Gambar 3). Garis B saat ini menjadi
nama yang lebih dipilih, namun garis tersebut juga disebut dengan komet paru ultrasound. Bila
terdapat lebih dari 2 garis B pada tiap rongga antar costae maka disebut dengan roket paru. Pada
beberapa lokasi, 1 atau 2 garis B merupakan hal yang fisiologis, contohnya, disebabkan oleh
karena fissura anterior atau roket paru pada bagian bawah (kemungkinan karena gravitasi alami).
Sindroma interstisial ultrasound ditentukan oleh roket paru. Sindroma tersebut dapat terjadi difus
pada seluruh dinding dada atau simetris dan berhubungan dengan gerakan menggelincir paru
yang masih ada pada kasus APE kardiogenik. Pola yang sangat tepat ini disebut sebagai profil B
pada protokol BLUE. Pola ini dapat terjadi secara difus namun berkaitan dengan hilangnya atau
sangat menurunnya pergerakan menggelincir paru dan disebut sebagai profil B’ yang terjadi pada
beberapa kasus pneumonia dan/atau ARDS. Pola ini dapat terjadi terlokalisir, umumnya pada
proses infeksi atau inflamasi (pneumonia, ARDS), dan disebut sebagai profil A/B.
Garis B multipel pada ultrasound setara dengan sindroma intersisial radiologis (garis Kerley dan
lainnya). Kami melihat sindroma interstisial, pada kondisi akut, dalam 2 diagnosis utama dengan
tatalaksana yang berbeda: APE kardiogenik dan pneumonia atau ARDS. APE kardiogenik
berhubungan dengan gerakan menggelincir paru yang normal, sementara pada pneumonia atau
ARDS seringkali berkurang atau menghilang.
Garis B tidak boleh tertukar dengan garis Z, yang mana seringkali diamati sebagai bayangan
berbentuk ikatan yang muncul dari garis pleura, namun – tidak seperti garis B yang sebenarnya –
tidak menghapus garis A, kurang jelas, dan lebih tidak echogenik dibandingkan dengan garis
pleura, pendek, dan tidak bergerak seirama dengan pernapasan.
Pola alveolar abnormal:
Konsolidasi paru. Pada beberapa kondisi, perkembangan yang ekstrim dari sindroma interstisial
menyebabkan terjadinya proses konsolidasi dengan paru echogenik, dengan tekstur jaringan
yang menyerupai lien atau liver, hasil dair penggantian udara di dalam rongga alveolar dengan
zat selain udara, umumnya cairan, pus, atau darah (Gambar 3). Konsolidasi paru dapat
disebabkan oleh berbagai macam kondisi, termasuk APE kardiogenik alveolar, infark paru,
kanker, kontusio paru, dan atelektasis obstruktif. Pada beberapa etiologi, seperti tenggelam atau
pneumonitis aspirasi, awalnya cairan yang masuk secara langsung memenuhi alveoli, dan gejala
awalnya ditandai dengan konsolidasi paru, tanpa fase awal yang biasanya terjadi pada sindroma
intersisial. Konsolidasi paru dapat terjadi dimanapun, dan walaupun hanya bagian perifer dari
paru dapat divisualisasi dengan ultrasound, 98,5% dari konsolidasi menyentuh pleura, dan 90%
kasus terletak pada titik PLAPS.

Efusi Pleura pada Gagal Jantung


Makna Patofisiologis. Peningkatan tekanan atrium kiri pada gagal jantung kiri dapat
menyebabkan efusi pleura hanya jika telah berkembang edema paru. Peningkatan tekanan atrium
kanan pada gagal jantung kanan dapat meningkatkan tekanan pada duktus thoracica, dengan
demikian membatasi volume dari drainase limfatik dari rongga pleura ke atrium kanan melalui
vena cava superior.
Penemuan di Sisi Pasien. Tanda utama pada pemeriksaan klinis adalah berkurangnya masukan
udara dan perkusi yang tumpul pada area bawah paru. Pada hingga 20% pasien dengan gagal
jantung akut (AHF), radiografi dada hampir normal, dan sensitivitas dari metode ini kurang dari
setengah bila dibandingkan dengan ultrasound paru, terutama untuk efusi pleura ringan hingga
sedang.
Metodologi. Penilaian semikuantitatif dari jumlah efusi pleura memungkinkan untuk dilakukan
dengan mengukur jarak maksimal antar pleura pada saat ekspirasi dari garis pleura hingga ke
garis paru pada garis aksila posterior dengan pasien diposisikan supine atau garis paravertebral,
skapula, aksila posterior, atau aksila media pada posisi duduk. Jumlah dari efusi pleura dapat
dinilai sebagai sangat kecil (< 2 mm), kecil (2 hingga 15 mm, terlalu kecil untuk diketuk),
sedang (15 hingga 25 mm), atau besar (> 25 mm) (Tabel 2).
Implikasi Diagnostik, Prognostik, dan Terapeutik. Prevalensi dari efusi pleura berkisar antara
56% hingga 90% pada AHF, 30% hingga 60% pada saat sebelum dipulangkan, 10% dan 70%
pada pasien rawat jalan dengan gagal jantung kronik yang stabil, atau 25% pada pasien dengan
gagal jantung kanan saja (Tabel 3). Prediktor utama TTE dari efusi pleura adalah peningkatan
tekanan sistolik arteri pulmoner.
Pada pasien dengan gagal jantung, adanya efusi pleura berkaitan dengan tingkat rawat inap yang
lebih tinggi dan jelas perburukan kualitas hidup, yang mana mengalami perbaikan setelah
penurunan efusi pleura dengan terapi medis. Pada pasien dengan AHF dan efusi pleura,
thorakosentesis dengan evakuasi cairan dapat dipertimbangkan apabila memungkinkan untuk
mengurangi sesak. Untuk thorakosentesis, dibutuhkan jarak antar pleura saat inspirasi ≥ 15 mm;
jarum dimasukkan setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti bahwa 6 organ tidak berada pada
jalur dari jarum: diafragma, tentu saja, namun juga jantung, aorta descenden, lien, liver, dan
paru. Kuantifikasi terutama sangat penting untuk menilai variasi pada riwayat perjalanan
penyakit pasien yang sama atau setelah intervensi. Ultrasound paru ideal untuk memandu
thorakosentesis dan drainase efusi. Tidak adanya rongga virtual setelah dilakukan prosedur
(rongga antar pleura > 10 mm) mencerminkan prosedur yang belum tuntas.

Tabel 2. Efusi Perikardial dan Pleura: Kemiripan dan Perbedaan dengan Ultrasound

Kongesti Paru
Makna Patofisiologis. Urutan dari kejadian yang menyebabkan terjadinya APE pada gagal
jantung dapat dikonseptualisasikan sebagai kaskade – yang disebut dengan kaskade cairan paru –
dimana urutan tersebut terungkap dengan adanya ultrasound paru. Kejadian yang mencetuskan
kaskade tersebut adalah peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan
penyempitan kapiler pulmoner (kongesti hemodinamik), akhirnya menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan Starling pada sawar kapiler alveolar, yang dibutuhkan untuk peningkatan
akumulasi cairan paru (Gambar 4). Diantara kongesti paru hemodinamik dan klinis, kejadian
penghubung adalah kongesti pulmoner interstisial yang dapat dideteksi oleh ultrasound paru
yang ditandai dengan garis B multipel, berhubungan secara biofisika terhadap peningkatan rasio
cairan dengan udara tiap unit jaringan volume paru pada septa interlobular subpleura.
Penemuan di Sisi Pasien. Kongesti paru merupakan manifestasi kunci dari AHF, namun temuan
klinis, auskultasi, dan radiografi dada semuanya terlambat, tidak sensitif, dan tanda tidak spesifik
dari kongesti paru. Reproduksibilitas dari temuan buruk untuk crackles dan sedang untuk
radiografi dada, namun tinggi untuk garis B. Kuantifikasi lebih mudah dan lebih efektif pada
ultrasound paru, dan berdasarkan pada jumlah garis B tiap ringga dan perluasan spasial.
Perubagan pada garis B sangat cepat terjadi (contohnya pada saat olahraga atau percobaan
penambahan volume cairan) dan menghilang (contohnya, dengan penggunaan diuretik atau
dialisis), dan karena itu mereka harus diinterpretasikan dalam pandangan intervensi sebelumnya.
Garis B multipel (roket paru) tidak dirancang untuk mengidentifikasi sebuah penyakit, melainkan
sebuah sindorma: sindroma interstisial. Dengan dasar ini, dokter mengetahui bahwa pasien dapat
mengalami APE kardiogenik, ARDS atau pneumonia, atau, yang jarang terjadi, penyakit
interstisial kronik lainnya. Dokter akan menggunakan profil dari protokol BLUE untuk
memperbaharui diagnosis: berhubungan dengan gerakan menggelincir paru, membuat profil B
pada dinding anterior, sangat akurat untuk APE kardiogenik; atau menghilangnya gerakan
menggelincir paru, membuat profil B’, sangat spesifik untuk pneumonia atau ARDS. Meskipun
terdapat peringatan, teknik ini merupakan yang terbaik yang tersedia saat ini untuk deteksi
kongesti pulmoner di sisi pasien.
Metodologi. Pemindai komprehensif 28 lokasi pada dada anterolateral awalnya ditujukan untuk
kondisi kardiologis pada tahun 2004 dan diadopsi pada studi penelitian, namun metode ini masih
terlalu memakan waktu untuk penggunaan secara rutin di laboratorium sehari-hari, terutama saat
melakukan ekokardiografi stress, dimana tekanan waktu lebih tinggi. Informasi serupa bisa
didapatkan pada waktu yang jauh lebih singkat dengan pemindaian 4 lokasi yang sederhana,
termasuk hanya “titik basah” dengan garis B terbanyak (Gambar 2). Dengan cara ini pemetaan
ultrasound paru tidak mengganggu elektroda dari elektrokardiografi dan hanya membutuhkan 20
detik untuk dapat diselesaikan.
Implikasi Diagnostik, Prognostik, dan Terapeutik. AHF bertanggung jawab untuk sekitar 1
juta kunjungan ke instalasi gawat darurat di Amerika Serikat, dan bahkan peptide jantung
dilibatkan ke dalam pemeriksaan klinis untuk sesak akut, tingkat kesalahan klasifikasi masih
berada pada rentang 14% hingga 29%. Sebagaimana ditunjukkan oleh meta analisis terbaru yang
melibatkan 1.914 pasien, profil B mengidentifikasi asal kardiogenik dari sesak dengan
sensitivitas 85% dan spesifisitas 92%, lebih baik dibandingkan dengan efusi pleura dan TTE
(Tabel 4), dan dapat dibandinkan dengan peptida natriuretik jantung. Variabilits dari spesifisitas
yang dilaporkan (berkisar antara 45% hingga 97%) kemungkinan mencerminkan kriteria
pemiliah yang digunakan pada studi lainnya, dengan probabilitas yang tinggi pada pre tes bahwa
kondisi tersebut berasal dari kardiogenik pada pasein dengan kondisi kritis yang dirawat di unit
perawatan intensif dan rendah hingga menengah untuk probabilitas pre tes pada pasien yang
stabil secara klinis yang dievaluasi pada saat dirawat di instalasi gawat darurat.
Profil B sangat berguna untuk melacak perubahan dinamis pada kongesti pulmoner sebagai
respon terhadap tatalaksana, dan jika menetap pada saat pasien akan dipulangkan atau pada
pasien rawat jalan yang stabil secara klinis dengan gagal jantung merupakan penanda prediktif
dari rawat inap atau kematian pasien dengan gagal jantung.
Pertanyaan yang utama adalah apakah profil B dapat digunakan sebagai tujuan pengganti untuk
memandu intervensi, seperti peningkatan terapi diuretik pada pasien dengan gagal jantung atau
dari tingkat dialisis pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis tahap lanjut. Beberapa studi
teracak berskala besar saat ini sedang berlangsung.

Tabel 3. Ultrasound Paru pada Gagal Jantung Kiri dan Kanan

Ultrasound paru merupakan tambahan yang berguna untuk TTE pada saat ekokardiografi stress,
dengan memberikan informasi pada target patofisiologi yang berbeda (sawar kapiler alveolar
dibandingkan dengan stenosis arteri epikardial yang kritis secara fisiologis), dengan tanda yang
berbeda (garis B dibandingkan dengan abnormalitas gerakan dinding regional), dan pada jangka
waktu yang berbeda (setelah puncak stress dibandingkan dengan saat puncak stress). Sebagai
parameter, garis B lebih sesuai, lebih sederhana untuk menggambarkan dan untuk mengukur, dan
pada dasarnya lebih kuantitatif daripada pergerakan dinding regional. Akumulasi dari cairan paru
saat olahraga berhubungan dengan bentuk fungsional yang lebih lanjut dari gagal jantung dan
prognosis yang buruk pada pasien dengan gagal jantung dengan penurunan fungsi ejeksi, dan hal
ini juga ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dengan fraksi ejeksi yang masih baik
(Gambar 5, Video Online 1).

Gambar 4. Kaskade Cairan Paru

Tabel 4. Ultrasound Paru untuk Mengidentifikasi Gagal Jantung Akut pada Pasien dengan
Sesak
Emboli Paru
Ultrasound paru umumnya menunjukkan garis A anterior dan gerakan menggelincir paru
(seperti, profil A) yang normal, seringkali diikuti dengan konsolidasi paru posterior dan efusi
pleura. Ultrasonografi vena (dengan kompresi pada kasus saat trombosis tidak tampak secara
langsung) menunjukkan trombosis vena dalam dengan sensitivitas yang baik. TTE dapat
mendeteksi (dengan spesifisitas yang tinggi namun sensitivitasnya rendah) secara prognostik
relevan dengan beban yang berlebih pada ventrikel kanan dan, yang jarang terjadi, tanda
patognomonik dari trombus serpentin yang bergerak pada sisi kanan dari jantung atau arteri
pulmoner. Pencitraan jantung, paru, dan vena dengan menggunakan ultrasound sebanyak tiga
kali, mungkin memiliki peran sebagai tambahan lini pertama dalam pengujian nilai probabilitas
klinis dan D-dimer.

Gambar 5. Pola Ultrasound Stress Paru

Tabel 5. Garis B Basah dibandingkan dengan Garis B Kering

Penyakit Pulmoner Utama: Penyakit Paru Interstisial, Pneumonia dan ARDS,


Pneumothoraks
Penyakit pulmoner utama yang berbeda tampak sebagai komorbiditas pada gagal jantung atau
sebagai penyebab dari sesak yang dicurigai berasal dari jantung. Ultrasound paru sangat
membantu dalam mengenali penyakit tersebut.
Fibrosis interstisial pulmoner dengan roket paru diikuti dengan garis pleura yang menebal atau
ireguler dapat ditemukan pada 20% hingga 50% dari pasien dengan sclerosis sistemik dan, yang
lebih jarang terjadi, pada penyakit rematologi lainnya. Garis B fibrotik (“kering”) tidak
meningkat dengan olahraga atau menurun dengan posisi tegak atau pemberian diuretik (Tabel
5).
Dengan ultrasound paru, pneumonia dan ARDS kurang lebih tampak sebagai entitas tunggal.
ARDS dapat dipisahkan dari APE kardiogenik berdasarkan pada beberapa fitur ultrasound paru
dan TTE, yang dirangkum dalam Tabel 6.
Berlawanan dengan yang terjadi pada cairan dalam efusi pleura, pada pneumothoraks udara
cenderung berkumpul berdasarkan hokum antigravitasi pada bagian dada yang paling tidak
tergantung. Diagnosis ultrasound dari pneumothoraks berdasarkan pada 2 tanda yang berurutan.
Yang pertama adalah deteksi anterior dari hilangnya gerakan menggelincir paru dengan tidak
adanya garis B (disebut dengan profil A’ pada protokol BLUE). Tanda urutan kedua, hanya
dapat terlihat pada kondisi dimana terdapat profil A’, adalah deteksi dari titik paru, ditandai
dengan penggantian profil A’ secara tiba-tiba dengan pola lainnya, umumnya gerakan
menggelincir paru atau garis B.

Dari Tanda Ultrasound Paru Menjadi Penyakit Spesifik


Penyakit yang berbeda dapat diidentifikasi dengan ultrasound paru berdasarkan pada tanda
utama yang dapat diterjemahkan ke dalam diagnosis spesifik dari penyakit (Tabel 7), jelas
setelah integrasi dengan presentasi klinis, TTE, ultrasound vena untuk deteksi trombosis vena
dalam, dan lainnya.

Tabel 6. Diagnosis Banding dari APE Kardiogenik Dibandingkan dengan ARDS

Rekomendasi Ultrasound Paru pada Sekelompok Ilmuwan


Panduan ultrasound telah “direkomendasikan secara kuat” sejak tahun 2010 oleh British
Thoracic Society untuk semua prosedur pleura dengan cairan pleura karena hal tersebut
berhubungan dengan tingkat kegagalan dan tingkat komplikasi seperti pneumothoraks dan
perdarahan yang lebih rendah. Hal ini menjadi lebih sulit untuk membenarkan melakukan
prosedur tersebut tanpa panduan ultrasound.
Rekomendasi European Association of Cardiovascular Imaging untuk penggunaan alat yang
berukuran kecil dengan tegas memasukkan “semi kuantifikasi dari cairan paru ekstravaskuler”
dengan profil B ke dalam 8 indikasi teratas. Pada ekografi gawat darurat, tidak adanya profil B
mengeksklusi edema kardiogenik dengan nilai prediktif negatif yang mendekati 100%. Dalam
panduan mengenai gagal jantung pada tahun 2016 dari European Society of Cardiology
merekomendasikan ultrasound paru diantara uji diagnostik untuk gagal jantung (Kelas IIb,
Tingkat Bukti: C) sebagai uji yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan AHF untuk
mengkonfirmasi kongesti paru dan transudate pleura. Pada pasien dengan AHF, pada tahun
2015, ultrasound paru direkomendasikan oleh European Society of Cardiology sebagai uji
diagnostik lini pertama untuk menilai kongesti paru pada kecurigaan AHF karena “pada tangan
yang ahli metode ini dapat sama atau lebih informative dibandingkan dengan X-ray dada dan
juga membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat, yang merupakan hal penting”. Konsensus ahli
pada tahun 2017 dari kelompok AHF dari European Society of Cardiology menyimpulkan bahwa
“TTE dan ultrasound paru dapat membantu dalam penilaian cepat pada pasien dengan sesak akut
dan hipotensi dan memiliki potensi untuk mengubah cara dimana klinisi menilai dan
menatalaksana pasien dengan AHF dan syok kardiogenik yang berada dalam kondisi kritis”.

Tabel 7. Dari Tanda Ultrasound Paru Menjadi Penyakit Spesifik


Ilustrasi Utama Bentuk dari Cairan Paru

Berdasarkan pada rekomendasi bersama antara European Association of Cardiovascular


Imaging dan American Society of Echocardiography pada tahun 2016, saat melakukan
ekokardiografi stress dengan olahraga, peningkatan garis B akut yang terdeteksi oleh ultrasound
paru merupakan cara yang sesuai untuk menunjukkan bahwa gejala “sesak saat berolahraga”
berhubungan dengan kongesti paru yang disebabkan oleh gagal jantung dengan arah ke belakang
(backward heart failure).

Keterbatasan Saat Ini


Emfisema subkutan berat dapat menjadi halangan yang absolut. Balutan sebaiknya dibatasi untuk
memberikan keuntungan bagi studi ultrasound. Obesitas morbid bukan merupakan keterbatasan
bagi beberapa area dari ultrasound paru, terutama deteksi dari profil A, profil A’, profil B, dan
profil B’
Roket paru mencerminkan adanya sindroma interstisial yang dapat disebabkan oleh cairan,
inflamasi, atau fibrosis, namun integrasi dengan presentasi klinis, penggunaan sistematis dari
ultrasound paru dengan protokol BLUE, dan hubungan dengan TTE membantu klinisi untuk
mengidentifikasi faktor etiologi yang mendasari dan untuk menjawab pertanyaan klinis pada
sebagian besar waktu.
Ultrasound paru saat ini digunakan oleh berbagai disiplin medis yang berbeda, dari kardiologi
hingga perawatan intensif, dari pneumologi hingga nefrologi, dari rematologi hingga kedokteran
olahraga. Rentang ini menambahkan ketertarikan terhadap teknik ini, namun hal ini dapat
menyebabkan kesulitan komunikasi yang berhubungan dengan heterogenitas dari terminology,
eksekusi, dan pelaporan, dan masih dibutuhkan harmonisasi yang lebih baik. Dalam 3 dekade
terakhir, label terstandarisasi untuk ultrasound paru telah diperbaiki untuk efisiensi yang
maksimal pada bidang yang bebas dari kebingungan.
Ultrasound paru dapat menurunkan resiko medikolegal dengan memperpendek waktu untuk
diagnosis pada pasien dengan kondisi yang mengancam nyawa. Pertahanan terbaik melawan
litigasi adalah untuk mengikuti pelatihan dengan ketat. Gugatan malpraktek telah diajukan untuk
tidak melakukan pemeriksaan dalam waktu yang tepat.

Perspektif
Tekstur gambar adalah, minimal prinsipnya, sesuai untuk tatalaksana dengan analsisis
densitometrik video, dan perangkat lunak cairan paru telah termasuk dalam instrumen yang
tersedia secara komersial untuk memberikan dukungan kuantitatif terhadap pembacaan garis B.
Pilihan ini sangat menarik, namun seperti pada bidang apapun, dan terutama dalam pencitraan,
memeriksa temuan kuantitatif, yang dihasilkan oleh mesin menggunakan pengalaman, kehati-
hatian, dan kebijaksanaan klinis selalu dibutuhkan.
Studi berskala besar, prospektif, internasional, multisenter, dan studi efektivitas saat ini sedang
berjalan dengan garis B saat istirahat dan saat stress pada pasien dengan penyakit atau
kecurigaan gagal jantung dan penyakit arteri koroner dalam studi Stress Echo pada tahun 2020,
yang direncanakan untuk melibatkan 10.000 pasien dalam tahun 2020 dengan standar baru dari
pencitraan ganda, termasuk pergerakan dinding regional dan garis B.
Studi luaran teracak dibutuhkan untuk menilai nilai dari ultrasound paru yang dibutuhkan untuk
menurunkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung kronik atau gagal sirkulasi akut.

Kesimpulan
Setelah membuka celah akustik dari parenkim paru, dokter spesialis jantung menemukan
informasi unik yang sebentar lagi akan mencetuskan mutasi yang tahan lama pada struktur dari
pemeriksaan ultrasound jantung, ditujukan untuk menjadi studi kardiopulmoner (TTE-ultrasound
paru). Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk profesional kardiologi dan kelompok
ekokardiografi untuk memasukkan ultrasound paru ke dalam pembelajaran inti, sertifikasi, dan
pelaporan yang umum diberikan pada TTE. Ultrasound paru dapat memberikan informasi unik di
dalam ruang perawatan kardiologi, unit perawatan intensif, instalasi gawat darurat, laboratorium
ekokardiografi, laboratorium uji stress, klinik rawat jalan, dan mungkin terutama pada perawatan
di rumah dengan alat yang mudah dibawa untuk pasien dengan gagal jantung (Ilustrasi Utama).
Penggunaan dari ultrasound paru akan mengurangi penggunaan teknik yang berdasarkan pada
radiasi pengion, seperti radiografi dada atau computed tomography, dengan demikian
berkontribusi untuk meminimalisir beban kumulatif dari efek yang tidak diinginkan dari paparan
radiasi, terutama relevan pada pasien kardiologi. “Paru basah” dideteksi sebagai profil B oleh
ultrasound paru, pada saat istirahat atau setelah stress, pada pasien stabil dengan gagal jantung
kronik dapat memperkirakan dekompensasi AHF yang akan terjadi dan dapat mencetuskan terapi
dekongesti paru. Tidak ada dokter spesialis jantung yang akan mengevaluasi pasien dengan gagal
jantung tanpa mendengarkan auskultasi lapang paru untuk adanya crackles atau efusi pleura.
Dengan cara yang sama, saat ini tidak ada pemeriksaan TTE komprehensif, terbatas, atau
terfokus yang akan dianggap selesai tanpa adanya penilaian paru, yang walaupun singkat namun
efisien.

Anda mungkin juga menyukai