6. Gangguan tidur
Gangguan tidur pada MSA umum terjadi. Sebenarnya semua pasien dengan MSA mengalami
gangguan perilaku tidur REM, yang mana sebagian besar mengalami gejala dari penyakit (Palma
et al., 2015). Walaupun kuisioner tidur tampaknya memiliki rasio negatif palsu dan positif
sebenarnya yang tinggi, video polisomnografi direkomendasikan untuk mengkonfirmasi RBD
dan mengeksklusi masalah tidur lainnya. Apnea tidur obstruktif lebih sering terjadi dibandingkan
dengan apnea tidur sentral, terjadi mencapai 40% dari pasien dengan MSA (Ferini-Stramvi dan
Marelli, 2012). Banyak perusahaan asuransi membutuhkan konfirmasi dari pernapasan gangguan
tidur dengan polisomnografi sebelum persetujuan penggunaan ventilasi non invasif (seperti,
CPAP atau tekanan jalan napas positif dua tingkat).
Suara bernada tinggi terutama terjadi pada saat inspirasi akibat obstruksi jalan napas atas pada
tingkat bukaan glottis yang ditandai dengan stridor (Ozawa et al., 2016). Prevalensi stridor pada
pasien dengan MSA bervariasi dari 15% hingga 40% (Ghorayeb et al., 2002) dan bisa, pada
beberapa kasus, menjadi gejala yang tampak dari penyakit (Kaufmann et al., 2014).
Laringoskopi indirek berguna dalam mendiagnosa stridor dan pemeriksaan berkala mungkin
dibutuhkan. Pada pasien dengan stridor, pemeriksaan laringoskopi mengungkapkan resriksi dari
abduksi pita suara, pergerakan paradoksal pita suara, dan epiglottis yang terkulai (Isozaki et al.,
1996). Stridor mewakili kondisi yang mengancam nyawa sebagaimana dapat menyebabkan
terjadinya gagal napas (Yamaguchi et al., 2003). Masih belum jelas apakah pemasangan
trakeostomi dapat memperpanjang angka harapan hidup (Giannini et al., 2016).
7. Evaluasi urologi
Semua pasien dengan MSA mengalami disfungsi saluran kemih dan hal ini merupakan gejala
paling awal dari penyakit (Kaufmann et al., 2017b; Kirchhof et al., 2003; Roncevic et al., 2014).
Gejala saluran kemih yang paling sering dilaporkan adalah kesulitan berkemih, terjadi pada 80%
dari pasien diikuti dengan nocturia 74%, urgensi pada 63%, inkontinensia pada 63%, sering
berkemih pada siang hari pada 45%, mengompol pada malam hari pada 19%, dan retensi urin
pada 8% dari pasien (Ogawa et al., 2017). Pasien laku-laki dengan MSA premotorik seringkali
menjalani operasi untuk kecurigaan hiperplasia prostat jinak tanpa menyadari bahwa MSA
merupakan penyebab sesungguhnya dari masalah saluran kemih yang mereka alami. Luaran
operasi urologi jarang sekali menguntungkan untuk pasien dengan MSA. Sekitar 40% dari pasien
dengan MSA memiliki overaktivitas detrusor neurogenik (seperti, kandung kemih yang
overaktif) pada saat fase pengisian, dan hal ini dapat disertai dengan relaksasi spinchter eksterna
yang tidak terhambat, dimana akan memperburuk keparahan dari inkontinensia yang tidak dapat
ditahan (Sakakibara et al., 2001; Stocchi et al., 1997). Kontraksi detrusor yang lemah pada fase
berkemih (seperti, kandung kemih yang kurang aktif) telah diobservasi pada sekitar 70% dari
pasien dengan MSA, menyebabkan sejumlah besar volume sisa paska berkemih di dalam
kandung kemih (Sakakibara et al., 2001). Hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya urosepsis
dan kematian.
Peningkatan volume sisa urin > 100 ml memiliki nilai prediktif positif sebesar 91,6% dan
volume sisa < 100 ml memiliki nilai prediktif negatif sebesar 67,8% untuk membedakan MSA
dengan PD (Hahn dan Ebersbach, 2005). Karena itu, evaluasi dari disfungsi urin pada MSA
harus mencakup pemindaian volume sisa kandung kemih paska berkemih untuk menentukan
apakah terdapat retensi urin yang disebabkan oleh kandung kemih yang kurang aktif. Hal ini juga
berguna untuk menentukan tatalaksana, karena pasien dengan volume sisa kandung kemih paska
berkemih sebesar > 100 ml mendapatkan keuntungan dengan kateterisasi bersih mandiri secara
berkala (Fowler dan O’Malley, 2003). Studi urodinamik dapat membantu untuk menentukan
secara pasti penyebab dari abnormalitas kandung kemih dan menunjukkan pola yang berbeda
dari kegagalan pada pasien dengan MSA dan PD (Ogawa et al., 2017). Abnormalitas utama yang
menyebabkan terjadinya retensi urin kronis pada pasien dengan MSA adalah kurangnya aktivitas
detrusor, disinergi spinchter detrusor, dan hypertonia uretra pada fase berkemih, sementara pada
fase pengisian menghambat relaksasi spinchter eksternal dan terjadi disfungsi leher kandung
kemih. Hiperrefleksia detrusor merupakan temuan yang relatif umum terjadi baik pada pasien
MSA dan PD, terutama pada tahap awal dari penyakit (Ogawa et al., 2017).
8. Evaluasi disfagia
Disfagia berat terjadi pada 32% pasien dengan MSA (O’Sullivan et al., 2008) dan disfagia
merupakan keluhan yang subjektif pada 735 dari pasien dengan MSA pada sebuah studi kecil
dengan konfirmasi diagnostik paska kematian (Muller et al., 2001). Karena disfagia berhubungan
dengan prognosis yang buruk dan waktu bertahan hidup yang singkat, maka seharusnya
didiagnosa dan ditatalaksana dengan segera. Evaluasi disfagia standar harus mencakup
pemeriksaan telan barium termodifikasi atau videofluoroskopi. Jika aspirasi yang terjadi ringan,
mungkin dibutuhkan perubahan diet (seperti, pengental cairan) dan perubahan posisi. Pasien
dengan aspirasi sedang atau berat pada akhirnya akan membutuhkan selang gastrostomi untuk
memastikan nutrisi dan mencegah aspirasi ke dalam jalan napas. Apakah pemasangan selang
gastrostomi memperpanjang angka harapan hidup pada MSA masih belum diketahui.
9. Evaluasi kognitif
Konsensus kriteria diagnostik saat ini untuk MSA mempertimbangkan demensia sebagai gejala
yang tidak mendukung untuk penyakit ini (Gilmann et al., 2008). Namun, terdapat peningkatan
bukti yang menunjukkan bahwa gangguan kognitif merupakan bagian yang sangat penting dari
penyakit (Koga et al., 2017; Stankovic et al., 2014). Gangguan kognitif pada MSA terjadi dalam
spektrum yang luas yang berkisar antara defisit ringan wilayah tunggal hingga gangguan pada
berbagai macam wilayah dan bahkan hingga demensia yang jelas pada beberapa kasus yang
jarang. Disfungsi eksekutif-frontal merupakan presentasi yang paling umum, sementara
kemampuan memori dan visuospasial juga dapat terganggu (Brown et al., 2010; Stankovic et al.,
2014). Dengan demikian, semua pasien dengan MSA seharusnya dilakukan skrining gangguan
kognitif dengan pemeriksaan terstandar, seperti Montreal Cognitive Assessment (MoCA).
Panduan operasional untuk diagnosis dan tatalaksana untuk gangguan kognitif pada MSA masih
kurang.
12. Kesimpulan
Walaupun pemeriksaan tambahan (pemeriksaan olfaktori, pemeriksaan sistem saraf otonom,
neuroimaging, dan evaluasi urologi) dapat membantu dalam diagnosis dan sebaiknya dilakukan
jika memungkinkan, diagnosis dari probabel atau kemungkinan MSA didasarkan pada riwayat
klinis dan pemeriksaan neurologis dan hanya dapat dikonfirmasi secara patologis setelah pasien
meninggal. Laporan terbaru menyatakan bahwa hanya 62% pasien didiagnosa secara klinis
dengan MSA oleh komunitas ahli neurologi yang memiliki diagnosis yang tepat berdasarkan
otopsi (Koga et al., 2015). Penyakit yang paling umum mengalami kesalahan diagnosis adalah
MSA termasuk PD, DLB, dan PSP. Di sisi lain, studi otopsi menunjukkan bahwa ~ 5% dari
pasien yang didiagnosa secara klinis dengan PD pada klinik neurologi umum ternyata mengalami
MSA pada saat diotopsi (Joutsa et al., 2014). Dengan demikian, mempertimbangkan bahwa, di
Amerika Serikat perkiraan titik prevalensi dari PD adalah ~ 100 per 100.000 penduduk yang
berusia antara 50 dan 60 tahun (Pringsheim et al., 2014), dan bahwa perkiraan titik prevalensi
dari MSA adalah 7,8 per 100.000 penduduk di dalam kelompok usia yang sama (Fanciulli dan
Wenning, 2015), kemungkinan terdapat minimal 5 subjek tambahan dengan misdiagnosa MSA
pada PD per 100.000 penduduk. Walaupun ketersediaan kriteria konsensus untuk diagnosis
klinis dan kemajuan terbaru dalam teknik diagnostik, ketepatan diagnostik dari MSA masih
belum optimal. Studi neuropatologi terbaru meningkatkan kemungkinan fenotip tambahan,
termasuk varian “perubahan minimal”, dan varian degenerasi synuclein lobus frontotemporal
(Koga dan Dickson, 2017). Seiring dengan munculnya faktor-faktor lain, termasuk kemungkinan
adanya bawaan genome spesifik (Federoff et al., 2015), pengenalan yang lebih baik dari semua
varian fenotip dari MSA seharusnya memungkinkan. Hal ini memiliki implikasi yang penting
saat merencanakan uji coba klinis dari kemungkinan agen neuroprotektif pada pasien tersebut.