Anda di halaman 1dari 13

3.

Neuroimaging otak dan jantung


Panduan konsensus yang digunakan saat ini mencakup kriteria neuroimaging untuk
mendiagnosis kemungkinan adanya MSA (Gilman et al., 2008) (Tabel 1). Kriteria tersebut
mencakup adanya atrofi dari putamen, pedunkulus serebelum media, pons, atau serebelum pada
magnetic resonance imaging (MRI), dan hipometabolisme dari putamen, batang otak, atau
serebelum pada positron emission tomography (PET) fluorodeoxyglucose (FDG) otak, begitu
juga denervasi dopaminergik pada PET atau single photon emission computed tomography
(SPECT).

3.1. Magnetic resonance imaging otak


MRI otak merupakan teknik pencitraan standar baku emas untuk evaluasi dari penyakit
Parkinson dan sindroma serebelum, termasuk MSA. MRI otak termasuk rangkaian standar dan
diffusion weighted imaging (DWI) seharusnya dimasukkan dalam evaluasi awal pada setiap
pasien dengan kecurigaan mengalami MSA. Beberapa modalitas MR otak saat ini telah tersedia.

3.3.1. Magnetic resonance imaging otak standar


MRI otak 1,5-Tesla dan 3-Tesla menunjukkan beberapa abnormalitas termasuk atrofi dari
putamen, pons, pedunkulus serebelum media, serebelum, medula oblongata, otak tengah, dilatasi
ventrikel keempat, begitu juga dengan perubahan berbagai macam intensitas sinyal pada
sejumlah besar pasien dengan MSA (Brooks et al., 2009; Burk et al., 2005; Lee et al., 2004; Lin
et al., 2016). Sebagai perbandingan, MRI standar khususnya normal pada PD. Karakteristik
abnormalitas intensitas sinyal MRI otak pada pasien dengan MSA mencakup tanda “hot cross
bun”, hipointensitas berbentuk tanda silang/salib pada bagian pons yang menyerupai bentuk kue
paskah, dan tanda “celah putamen”, sinyal hiperintens pada batas dorsolateral dari putamen,
memiliki nilai prediktif positif yang tinggi untuk diagnosis dari MSA (Gambar 2) (Horimoto et
al., 2002; Schrag et al., 2000). Menariknyam pasien dengan tanda awal “hot cross bun”
cenderung lebih mungkin untuk mengalami gejala serebelum yang lebih berat pada perjalanan
penyakit selanjutnya, sementara pasien yang menunjukkan tanda celah putamen bilateral
umumnya mengalami varian parkinsonian dari MSA (Horimoto et al., 2002). Namun, bagian tepi
dari putamen yang hiperintens bisa jadi temuan “normal” non spesifik pada pencitraan MR 3-
Tesla (Lee et al., 2005) dan tanda “hot cross bun” dapat dilihat pada kelainan lainnya seperti
ataxia spinoserebeluar (Burk et al., 2001; Lee et al., 2009), leptomeningeal carcinomatosis
(Zhang et al., 2013), vaskulitis (Muqlt et al., 2001) dan lainnya, Beberapa algoritma MRI untuk
membedakan MSA-P dari PD telah disarankan. Secara umum, semuanya memiliki spesifisitas
yang tinggi namun sensitivitasnya rendah (Bhattacharya et al., 2002; Horimoto et al., 2002; Lee
et al., 2004; Nair et al., 2013; Schocke et al., 2002; Watanabe et al., 2002). Pencitraan MR rutin
memiliki spesifisitas yang rendah untuk membedakan MSA dari sindroma parkinsonian atipikal
lainnya (Schrag et al., 2000; Yekhlef et al., 2003). Peningkatan penggunaan pencitraan MR 7-
Tesla, dan rangkaian yang lebih baik untuk membedakan anatomi batang otak, seharusnya
membantu perkembangan dari algoritma diagnostik yang lebih sensitif dan spesifik (Hoch et al.,
2016; Kim et al., 2016).

3.1.2. Diffusion-weighted imaging dan diffusion tensor imaging


Diffusion-weighted imaging (DWI) merupakan teknik yang digunakan untuk menentukan
pergerakan acak dari molekul air. Kuantifikasi dari difusi dilakukan dengan penghitungan
koefisien difusi nyata (ADC) pada jaringan. Pergerakan molekul air terutama mengalami
peningkatan pada jaringan saraf yang mengalami degenerasi dan iskemia. Dibandingkan dengan
PD, peningkatan difusivitas putamen pada MSA-P telah dilaporkan secara konsisten, bahkan
pada tahapan awal dari penyakit (Barbagallo et al., 2016; Baudrexel et al., 2014; Pellechia et al.,
2009; Schocke et al., 2002; Schocke et al., 2004; Seppi et al., 2004). DWI mungkin berguna
dalam membedakan MSA-P dari PSP (Paviour et al., 2007). Menariknya, studi prospektif
menunjukkan abnormalitas progresif dari difusivitas pada putamen seiring berjalannya waktu,
dengan demikian memungkinkan penggunaan pencitraan DWI sebagai penanda dari
perkembangan penyakit dan pengukuran luaran pada uji coba klinis untuk MSA (Pellecchia et
al., 2011). Diffusion tensor imaging (DTI), merupakan teknik yang serupa dengan DWI dimana
menganalisis bentuk tiga dimensi dari difusi dan menghasilkan gambaran traktus saraf 3-D
(Hulsman, 2010), menjadi lebih sering digunakan untuk membedakan MSA dari PD dan PSP
(Du et al., 2017; Ofori et al., 2017; Planetta et al., 2016; Prodoehl et al., 2013; Worker et al.,
2014).

3.1.3. Magnetic resonance volumetry


Penilaian kuantitatif dengan volumetri MR menggunakan region of interest (ROI) pada pasien
dengan MSA menunjukkan adanya atrofi dari putamen, kaudatus, batang otak, dan serebelum
(Burk et al., 2004; Ghaemi et al., 2002; Huppertz et al., 2016; Sako et al., 2014; Schulz et al.,
1999). Indeks Parkinsonian MR (MRPI), mempertimbangkan volume dari pons, otak tengah, dan
pedunkulus serebelum, hasilnya menunjukkan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk
membedakan antara PSP dan MSA-P atau PD (Hussl et al., 2010; Quattrone et al., 2008). Voxel-
based morphometry (VBM), merupakan metode otomatis yang bergantung pada operator, dapat
mendeteksi perbedaan volume fokal antara dua atau lebih kelompok berdasarkan pada contoh
yang spesifik terhadap studi (Ashburner dan Friston, 2000). Studi menggunakan pendekatan ini
mengkonfirmasi studi volumetrik yang berbasis ROI sebelumnya yang menunjukkan adanya
penurunan volume dari ganglia basalis, infratentorial dan juga kortikal pada pasien dengan MSA
(Minnerop et al., 2007; Moller et al., 2017; Specht et al, 2003; Tzarouchl et al., 2010). Selain
itu, perubahan longitudinal spesifik pada MSA (atrofi ganglia basalis pada fase awal diikuti
dengan atrofi kortikal pada fase selanjutnya) telah diidentifikasi dengan menggunakan teknik ini
(Brennels et al., 2007). Temuan lain seperti degenerasi dari traktus ponto-serebelar dan
abnormalitas substansia alba pada area spesifik telah diidentifikasi dengan menggunakan VBM
(Minnerop et al., 2007; Yu et al., 2015). Gangguan kognitif pada MSA juga berhubungan
dengan perubahan VBM spesifik (Florenzato et al., 2017). Karena membutuhkan perbandingan
kelompok menggunakan contoh yang spesifik terhadap studi dan proses serta analisis yang
canggih, VBM tidak rutin digunakan dalam upaya diagnostik klinis dari pasien dengan MSA
(Hotter et al., 2009).

3.1.4. Magnetic resonance spectroscopy


Magnetic resonance spectroscopy (MRS) mendapatkan sinyal dari proton yang mengikat karbon,
yang tidak dapat ditukar yang berfungsi untuk membedakan molekul berdasarkan pada
karakteristik perubahan kimiawinya (Trabesinger et al., 2003). Di dalam otak, N-asetilaspartat,
cholin, kreatin, dan laktat mencerminkan integritas dan fungsi dari saraf, aktivitas glia,
metabolisme energi, dan glikolisis anaerobic, secara berurutan (Trabesinger et al., 2003). Sebuah
meta-analisis menyimpulkan bahwa MRS dari striatum tidak berguna dalam diagnosis banding
dari gangguan parkinsonian (Clarke dan Lowry, 2001). MRS dari area otak lainnya mungkin
memiliki kapasitas pembeda yang lebih baik (Takado et al., 2011; Watanabe et al., 2004).

3.1.5. Magnetic resonance imaging otak fungsional


Teknik pencitraan MR fungsional (fMRI) dapat mengukur aktivitas otak dengan mendeteksi
perubahan pada aliran darah regional. Hasil dari fMRI umumnya dilakukan saat melakukan tugas
yang spesifik (seperti, tugas motorik). Studi kontrol motorik dengan menggunakan fMRI
memiliki jaringan yang luas yang berhubungan dengan tugas termasuk ganglia basalis,
serebelum, dan korteks motorik pada subjek yang sehat, dan aktivasi defektif dari struktur
tersebut pada PD, MSA, dan PSP (Planetta et al., 2015). Sebuah studi yang menilai perubahan
longitudinal fMRI selama 1 tahun perjalanan penyakit PD, MSA, dan PSP menggunakan
paradigma tangan-genggaman-tekanan menunjukkan penurunan sinyal fMRI dan perubahan
yang lebih luas serta lebih menonjol pada ganglia basalis, serebelum, dan korteks motorik pada
pasien dengan MSA dan PSP dibandingkan dengan PD (Burclu et al., 2016). Teknik ini
kemungkinan berfungsi sebagai penanda dari perkembangan penyakit dan pengukuran luaran
dalam studi klinis.

3.2. Computed tomography otak


Computed tomography (CT) scan otak penggunaannya dibatasi untuk mengevaluasi
neuroanatomi dari fossa posterior. Karena alasan ini, kegunaan dari CT otak pada MSA terbatas,
dan seharusnya hanya digunakan pada pasien dengan kontraindikasi terhadap pencitraan
magnetic resonance (MR) (contohnya, pacu jantung, implan logam). Analisis volumetric otak
didapatkan dari CT scan 3 dimensi, namun, dapat membantu untuk memantau perkembangan
penyakit pada MSA (Miyatake et al., 2010).

3.3. Positron emission tomography otak


15
F-fluorodeoxyglucose positron emission tomography (15FDG-PET) otak telah digunakan secara
luas untuk mendiagnosa banding gangguan parkinsonian (Arbizu et al., 2014). Pada pasien
dengan PD, 15FDG-PET otak hasilnya normal atau menunjukkan peningkatan ambilan pada
nukleus putamen dimana pasien dengan pola hipometabolik yang spesifik terhadap MSA telah
dipastikan. Temuan karakteristik yang paling sering pada pasien dengan MSA-P adalah
penurunan pada ambilan 15FDG-PET pada kedua nukleus putamen dengan gradien rostrokaudal.
Temuan ini memiliki sensitivitas sebesar ~ 95% dan spesifisitas sebesar 100% untuk
membedakan PD dan MSA-P (Brooks et al., 2009). Penurunan ambilan 15FDG-PET juga
terdetelsi pada thalamus, batang otak, dan area kortikal. Dengan demikian, konsensus kriteria
diagnostik untuk MSA yang digunakan saat ini menetapkan bahwa hipometabolisme pada
nukleus putamen, area mesensefalon, dan serebelum sebagai pendukung untuk MSA-P (Gilman
et al., 2008). Pola ini memiliki nilai prediktif positif sebesar 88% pada 2 tahun pertama dari
penyakit dan sebesar 100% setelah 5 tahun (Tang et al., 2010). Pada pasien dengan MSA-C,
hipometabolisme dari hemisfer serebelum anterior dan vermis dapat terlihat setelah 1 tahun dari
onset gejala motorik, walaupun hipometabolisme dari putamen juga dapat dilihat (Eckert et al.,
2005) dan merupakan tanda pendukung untuk diagnosis dari MSA-C (Gilmen et al., 2008).

3.4. Single photon emission computed tomography (SPECT) otak


Telah dilaporkan bahwa single photon emission computed tomography (SPECT) yang
menggunakan perfusi technetium-99 m-ethyl cysteinate dimer menunjukkan pola perfusi yang
berbeda dari putamen pada pasien dengan MSA dibandingkan dengan pasien yang mengalami
PD; namun, akurasi diagnostik cukup rendah (sensitivitas 73,3%, spesifisitas 84%) (Bossman et
al., 2003). Menggabungkan perfusi SPECT dengan modalitas pencitraan lainnya dapat
memperbaiki akurasi diagnostik (Miyoshi et al., 2016; Van Laere et al., 2006).

3.5. Pencitraan dopaminergik striatal


Fungsi neuronal dopaminergik pre- dan post sinaps sebagaimana dinilai dengan teknik
pencitraan nuklir telah didokumentasikan secara luas pada kondisi parkinsonian. Berbagai
macam catatan telah tersedia, termasuk 18F-Dopa (kapasitas penyimpanan dopamin), 11C-
dihydrotetrabenazine (DTBZ, fungsi ttransporter monoamine vesikuler) untuk PET, dan 123I-β-
CIT dan 123I-FPCIT (pengikat transporter dopamin) untuk SPECT (Arbizu et al., 2014; Brooks et
al., 2009). Karena metabplisme dopaminergik pre sinaps terganggu pada semua gangguan
ganglia basalis, penanda dopaminergik pre sinaps tidak dapat membedakan antara sindroma
parkinsonian, walaupun penanda ini dapat digunakan untuk membedakan MSA-C dari ataxia
serebelum onset dewasa lainnya (Gebus et al., 2017). Sebaliknya, penanda radiasi reseptor post
sinaps D2/D3 menunjukkan ikatan yang normal pada pasien dengan PD namun terdapat
penurunan ikatan pada dua pertiga dari pasien dengan MSA (Brooks et al., 2009).

3.6. Neuroimaging sistem saraf simpatis jantung


Berbeda dengan pasien dengan PD, dimana inervasi sistem saraf simpatis post ganglion jantung
mengalami penurunan hampir pada semua kasus, sebagian besar pasien dengan MSA tetap
memiliki inervasi post ganglion yang baik pada jantung, sebagaimana telah dipastikan dengan
hasil PET 18F-dopamine atau scintigrafi 123I-metaiodobenzylguanidine (MIBG) yang normal
(Braune, 2001; Goldstein, 2014; Kaufmann dan Goldstein, 2013; Orimo et al., 2002). Sebuah
metaanalisis menunjukkan bahwa penurunan scintigrafi MIBG jantung memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk membedakan PD dari gangguan neurodegeneratif lainnya (Orimo
et al., 2012). Namun, sekitar sepertiga dari pasien dengan MSA memiliki beberapa derajat
denervasi sistem saraf simpatis pada jantung sebagaimana ditunjukkan dengan penurunan
ambilan MIBG (Nagayama et al., 2010; Nagayama et al., 2008). Menariknya, selain pada GCI
dalam CNS, pasien seperti ini juga memiliki deposisi αSyn di dalam badan Lewy pada ganglion
simpatis atau saraf post ganglionik (Orimo et al., 2007). Karena itu, diagnosis banding dari PD
dan MSA, bukti neuroimaging dari inervasi sistem saraf simpatis jantung yang utuh hampir pasti
dapat mengeksklusi PD, namun bukti neuroimaging yang menunjukkan adanya denervasi sistem
saraf simpatis jantung tidak dapat mengeksklusi MSA (Goldstein, 2014; Kaufmann dan
Goldstein, 2013).

4. Pemeriksaan sistem saraf otonom


Disfungsi sistem saraf otonom merupakan salah satu tanda karakteristik dari MSA. Kohort
retrospektif menunjukkan bahwa gejala sistem saraf otonom merupakan manifestasi pertama dari
MSA pada 43% kasus dengan MSA-P dan 54% dengan MSA-C (Roncevic et al., 2014). Keluhan
sistem saraf otonom yang paling umum dari pasien dengan MSA adalah yang berhubungan
dengan OH, neurogenic bladder (inkontinensia atau pengosongan kandung kemih yang tidak
tuntas), dan konstipasi (Kaufmann et al., 2017b; Low et al., 2015; Roncevic et al., 2014).

4.1. Pemeriksaan sistem saraf otonom kardiovaskuler


Pada pasien dengan MSA, deposisi αSyn dan neurodegenerasi terjadi pada neuron pre ganglionik
di dalam CNS. Hal ini mencegah terjadinya aktivasi normal dari serabut post ganglionik sistem
saraf simpatis saat berdiri. Walaupun serabut post ganglionik sebagian besar masih intak,
hilangnya neuron pada area CNS yang terlibat dalam barorefleks mencegah pelepasan
norepinefrin, neurotransmitter sistem saraf simpatis, yang dibutuhkan pada posisi tegak. Tanpa
vasokonstriksi yang adekuat, terutama pada pembuluh darah splanchnic, tekanan darah (BP)
akan mengalami penurunan saat posisi berdiri. OH neurogenik terjadi pada sekitar ~ 60% pasien
dengan MSA (Wenning et al., 2013), walaupun persentase ini dapat meningkat hingga ~ 70 –
80% pada kohort yang dari klinik otonom, kemungkinan disebabkan oleh bias pemilihan (Low et
al., 2015; Roncevic et al., 2014).
Diagnosis dari OH neurogenik membutuhkan pemeriksaan fungsi sistem saraf otonom dengan
pemantauan BP secara berkelanjutan untuk mengeksklusi penyebab non neurogenik (contohnya,
OH karena faktor lain seperti penurunan volume, anemia, efek samping obat). Diagnosis dari OH
neurogenik pada pasien dengan MSA dibuat dengan mengidentifikasi penurunan yang menetap
minimal 30 mmHg pada BP sistolik atau 15 mmHg pada BP diastolik dalam 3 menit posisi
berdiri. Saat penurunan BP ortostatik terdeteksi, kemudian dapat ditentukan apakah penurunan
ini disebabkan oleh kegagalan kronis inutk meningkatkan aktivitas simpatis terhadap pembuluh
darah saat posisi tegak (seperti, kegagalan sistem saraf otonom). Melakukan maneuver Valsalva
yang terstandar meningkatkan tekanan intra thorakal dan menurunkan aliran balik vena ke
jantung. Dalam kondisi normal, penurunan akut dari tekanan pengisian jantung mencetuskan
refleks kompensasi yang dimediasi oleh barorefleks yang meningkatkan aliran keluar dari
simpatis ke dalam pembuluh darah untuk mempertahankan BP. Saat tekanan Valsalva
dilepaskan, aliran balik vena akan kembali secara tiba-tiba, dan curah jantung akan meningkat
secara akut. Normalnya, BP akan “melampaui” tingkat batas dasar untuk beberapa denyutan,
yang disebabkan oleh vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer. Hal ini dikenal dengan fase IV
melampaui. Saat sistem saraf simpatis tidak dapat diaktivasi, fase IV melampaui BP tidak terjadi
dan penurunan BP pada saat berdiri terjadi akibat dari penyebab neurogenik (Goldstein dan
Cheshire, 2017a). Sekitar 15% dari pasien dengan MSA mengalami kesulitan untuk melakukan
maneuver Valsalva dengan kekuatan pernapasan yang cukup untuk meningkatkan tekanan
intrathorakal.
Walaupun pemeriksaan sistem saraf otonom kardiovaskuler memberikan informasi yang bernilai,
namun seringkali tidak cukup untuk digunakan dalam membedakan MSA dari PD. Pasien
dengan MSA mengalami OH neurogenik lebih sering dibandingkan dengan pasien yang
mengalami PD (~ 70% dibandingkan dengan ~ 50%). Walaupun beberapa laporan abnormalitas
pada maneuver Valsalva dan variabilitas denyut jantung pada saat napas dalam berulang menjadi
lebih buruk pada pasien dengan MSA dibandingkan dengan pasien yang mengalami PD
(Baschieri et al., 2015; De Marinis et al., 2000; Deguchi et al., 2006; Schmidt et al., 2009b),
perbedaannya tidak cukup konsisten untuk membedakan antara kedua kelompok.
Selain dari OH neurogenik, pasien dengan kegagalan sistem saraf otonom seringkali mengalami
hipertensi saat posisi terlentang. Standar baku emas diagnostik untuk mendeteksi hipertensi
nocturnal adalah pemantauan berjalan BP selama 24 jam (ABPM). Hipertensi pada posisi
terlentang tampaknya menjadi sedikit lebih berat pada MSA dibandingkan pada PD (Pilleri et al.,
2014; Schmidt et al., 2009a; Vichayanrat et al., 2017). Selain itu, AMBP dapat membantu dalam
mendeteksi episode hipotensi yang tidak ditemukan pada kunjungan klinik rutin, contohnya
setelah makan (seperti, hipotensi postprandial), dan untuk menentukan tatalaksana lebih lanjut
dari OH dan hipertensi pada posisi terlentang (Fanciulli et al., 2017b; Gibbons et al., 2017;
Jordan dan Biaggioni, 2002; Norcliffe-Kaufmann dan Kaufmann, 2014; Palma dan Kaufmann,
2017; Pavelic et al., 2017; Umehara et al., 2016).
Studi retrospektif terbaru menunjukkan bahwa OH neurogenik dapat menjadi tanda awal dari
MSA (Kaufmann et al., 2017b; Riku et al., 2017). Dari pasien yang pertama kali datang ke klinik
sistem saraf otonom dengan OH neurogenik sebagai gejala klinis satu-satunya, sekitar 6% akan
mengalami MSA dalam 4 tahun. Dari pasien yang pergi untuk mendapatkan diagnosis dari MSA,
semuanya awalnya mengalami gangguan perilaku tidur REM, menunjukkan bahwa proses
neurodegeneratif telah terjadi dalam CNS. Biomarker sistem saraf otonom kardiovaskuler
lainnya berhubungan dengan peningkatan kemungkinan resiko mengalami MSA di masa yang
akan datang pada pasien dengan OH neurogenik termasuk kadar norepinefrin dalam sirkulasi >
110 pg/ml dan denyut jantung pada kondisi istirahat > 70 kali per menit. Diagnosis lengkap dari
MSA umumnya tercapai dalam 5 tahun setelah onset dari OH neurogenik (Kaufmann et al.,
2017b).

4.2. Pemeriksaan termoregulasi dan sudomotor


Hingga 80% dari pasien dengan MSA mengalami penurunan produksi keringat, dengan
anhidrosis global terjadi hingga 45% dari kasus (Iodice et al., 2012). Derajat kehilangan keringat
pada MSA ini lebih tinggi dibandingkan dengan pada PD dan secara klasik dikaitkan dengan lesi
preganglionik (Donadio et al., 2008; Iodice et al., 2012). Lokasi preganglionik dari defisit
tersebut berdasarkan pada temuan dari pemeriksaan keringat termoregulasi (TST, yang
mengukur integritas dari neuron pre dan post ganglionik) yang mana hasilnya abnormal pada
pasien dengan MSA, sementara pemeriksaan refleks akson sudomotor kuantitatif (QSART, yang
mengukur integritas fungsi sudomotor post ganglionik) relatif masih normal. Namun, studi
terbaru menunjukkan QSART abnormal pada ~ 30% dari pasien dengan MSA dan juga studi
histopatologi menunjukkan deposit αSyn pada saraf sudomotor, mendukung keterlibatan dari
serabut sudomotor post ganglionik pada MSA (Coon et al., 2017; Doppler et al., 2015; Provitera
et al., 2014). Sebagian besar studi yang melaporkan beban αSyn pada serabut otonom kutaneus
pada pasien MSA menunjukkan deposisi agregat αSyn terfosforilasi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan PD (Donadio et al., 2010; Haga et al., 2015; Zange et al., 2015).
5. Pemeriksaan Olfaktori
Fungsi olfaktori telah dipelajari secara luas pada kondisi parkinsonian, menunjukkan hiposmia
yang signifikan pada sebagian besar pasien dengan PD (Doty, 2012), dengan normosmia atau
hiposmia ringan pada sebagian besar dari pasien dengan MSA (Glass et al., 2012). Pemeriksaan
fungsi olfaktori memilii spesifisitas yang sangat tinggi dan sensitivitas menengah untuk
membedakan PD dari MSA (Krismer et al., 2017) dan, karena itu, seharusnya termasuk ke dalam
evaluasi rutin dari pasien dengan kecurigaan MSA. Menariknya, penciuman merupakan penanda
yang baik untuk memperkirakan pasien mana yang akan mengalami MSA atau PD/DLB pada
pasien dalam fase premotorik dari synucleinopati (contohnya, PAF dan/atau gangguan perilaku
tidur REM) (Kaufmann et al., 2017b). Karena tingkat kepercayaan dan praktisnya, Pemeriksaan
Identifikasi Penciuman dari Universitas Pennsylvania (UPSIT) merupakan pemeriksaan fungsi
olfaktori yang paling umum dan paling sering dipilih untuk digunakan secara luas (Doty et al.,
1984). Singkatnya, pemeriksaan ini terdiri dari 40 garis “menggaruk dan mengendus” yang
tertandam di dalam microencapsulated odorant. Bau yang dilepaskan menggunakan pensil.
Pasien kemudian membau garis yang terfaruk dan memilih bau dari 4 pilihan. Pemeriksaan
dinilai dari 40 macam jenis. Saat memberikan UPSIT pada pasien dengan bradykinesia, pasien
seharusnya didorong untuk menarik napas dalam dan tidak hanya membau kertas “menggaruk
dan mengendus”. Keterbatasan utama dari UPSIT yang mana sebagian dari bau-bauan tersebut
mungkin tidak dikenali oleh subjek yang bukan warga negara Amerika Serikat (seperti, pai labu,
root beer). UPSIT dengan versi yang serupa menggunakan 12 jenis, Brief Smell Identification
Test (BSIT), merupakan alat pemeriksaan yang dapat digunakan untuk berbagai macam budaya
mungkin lebih sesuai untuk populasi selain dari Amerika Serikat (Doty et al., 1996).

6. Gangguan tidur
Gangguan tidur pada MSA umum terjadi. Sebenarnya semua pasien dengan MSA mengalami
gangguan perilaku tidur REM, yang mana sebagian besar mengalami gejala dari penyakit (Palma
et al., 2015). Walaupun kuisioner tidur tampaknya memiliki rasio negatif palsu dan positif
sebenarnya yang tinggi, video polisomnografi direkomendasikan untuk mengkonfirmasi RBD
dan mengeksklusi masalah tidur lainnya. Apnea tidur obstruktif lebih sering terjadi dibandingkan
dengan apnea tidur sentral, terjadi mencapai 40% dari pasien dengan MSA (Ferini-Stramvi dan
Marelli, 2012). Banyak perusahaan asuransi membutuhkan konfirmasi dari pernapasan gangguan
tidur dengan polisomnografi sebelum persetujuan penggunaan ventilasi non invasif (seperti,
CPAP atau tekanan jalan napas positif dua tingkat).
Suara bernada tinggi terutama terjadi pada saat inspirasi akibat obstruksi jalan napas atas pada
tingkat bukaan glottis yang ditandai dengan stridor (Ozawa et al., 2016). Prevalensi stridor pada
pasien dengan MSA bervariasi dari 15% hingga 40% (Ghorayeb et al., 2002) dan bisa, pada
beberapa kasus, menjadi gejala yang tampak dari penyakit (Kaufmann et al., 2014).
Laringoskopi indirek berguna dalam mendiagnosa stridor dan pemeriksaan berkala mungkin
dibutuhkan. Pada pasien dengan stridor, pemeriksaan laringoskopi mengungkapkan resriksi dari
abduksi pita suara, pergerakan paradoksal pita suara, dan epiglottis yang terkulai (Isozaki et al.,
1996). Stridor mewakili kondisi yang mengancam nyawa sebagaimana dapat menyebabkan
terjadinya gagal napas (Yamaguchi et al., 2003). Masih belum jelas apakah pemasangan
trakeostomi dapat memperpanjang angka harapan hidup (Giannini et al., 2016).

7. Evaluasi urologi
Semua pasien dengan MSA mengalami disfungsi saluran kemih dan hal ini merupakan gejala
paling awal dari penyakit (Kaufmann et al., 2017b; Kirchhof et al., 2003; Roncevic et al., 2014).
Gejala saluran kemih yang paling sering dilaporkan adalah kesulitan berkemih, terjadi pada 80%
dari pasien diikuti dengan nocturia 74%, urgensi pada 63%, inkontinensia pada 63%, sering
berkemih pada siang hari pada 45%, mengompol pada malam hari pada 19%, dan retensi urin
pada 8% dari pasien (Ogawa et al., 2017). Pasien laku-laki dengan MSA premotorik seringkali
menjalani operasi untuk kecurigaan hiperplasia prostat jinak tanpa menyadari bahwa MSA
merupakan penyebab sesungguhnya dari masalah saluran kemih yang mereka alami. Luaran
operasi urologi jarang sekali menguntungkan untuk pasien dengan MSA. Sekitar 40% dari pasien
dengan MSA memiliki overaktivitas detrusor neurogenik (seperti, kandung kemih yang
overaktif) pada saat fase pengisian, dan hal ini dapat disertai dengan relaksasi spinchter eksterna
yang tidak terhambat, dimana akan memperburuk keparahan dari inkontinensia yang tidak dapat
ditahan (Sakakibara et al., 2001; Stocchi et al., 1997). Kontraksi detrusor yang lemah pada fase
berkemih (seperti, kandung kemih yang kurang aktif) telah diobservasi pada sekitar 70% dari
pasien dengan MSA, menyebabkan sejumlah besar volume sisa paska berkemih di dalam
kandung kemih (Sakakibara et al., 2001). Hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya urosepsis
dan kematian.
Peningkatan volume sisa urin > 100 ml memiliki nilai prediktif positif sebesar 91,6% dan
volume sisa < 100 ml memiliki nilai prediktif negatif sebesar 67,8% untuk membedakan MSA
dengan PD (Hahn dan Ebersbach, 2005). Karena itu, evaluasi dari disfungsi urin pada MSA
harus mencakup pemindaian volume sisa kandung kemih paska berkemih untuk menentukan
apakah terdapat retensi urin yang disebabkan oleh kandung kemih yang kurang aktif. Hal ini juga
berguna untuk menentukan tatalaksana, karena pasien dengan volume sisa kandung kemih paska
berkemih sebesar > 100 ml mendapatkan keuntungan dengan kateterisasi bersih mandiri secara
berkala (Fowler dan O’Malley, 2003). Studi urodinamik dapat membantu untuk menentukan
secara pasti penyebab dari abnormalitas kandung kemih dan menunjukkan pola yang berbeda
dari kegagalan pada pasien dengan MSA dan PD (Ogawa et al., 2017). Abnormalitas utama yang
menyebabkan terjadinya retensi urin kronis pada pasien dengan MSA adalah kurangnya aktivitas
detrusor, disinergi spinchter detrusor, dan hypertonia uretra pada fase berkemih, sementara pada
fase pengisian menghambat relaksasi spinchter eksternal dan terjadi disfungsi leher kandung
kemih. Hiperrefleksia detrusor merupakan temuan yang relatif umum terjadi baik pada pasien
MSA dan PD, terutama pada tahap awal dari penyakit (Ogawa et al., 2017).

8. Evaluasi disfagia
Disfagia berat terjadi pada 32% pasien dengan MSA (O’Sullivan et al., 2008) dan disfagia
merupakan keluhan yang subjektif pada 735 dari pasien dengan MSA pada sebuah studi kecil
dengan konfirmasi diagnostik paska kematian (Muller et al., 2001). Karena disfagia berhubungan
dengan prognosis yang buruk dan waktu bertahan hidup yang singkat, maka seharusnya
didiagnosa dan ditatalaksana dengan segera. Evaluasi disfagia standar harus mencakup
pemeriksaan telan barium termodifikasi atau videofluoroskopi. Jika aspirasi yang terjadi ringan,
mungkin dibutuhkan perubahan diet (seperti, pengental cairan) dan perubahan posisi. Pasien
dengan aspirasi sedang atau berat pada akhirnya akan membutuhkan selang gastrostomi untuk
memastikan nutrisi dan mencegah aspirasi ke dalam jalan napas. Apakah pemasangan selang
gastrostomi memperpanjang angka harapan hidup pada MSA masih belum diketahui.

9. Evaluasi kognitif
Konsensus kriteria diagnostik saat ini untuk MSA mempertimbangkan demensia sebagai gejala
yang tidak mendukung untuk penyakit ini (Gilmann et al., 2008). Namun, terdapat peningkatan
bukti yang menunjukkan bahwa gangguan kognitif merupakan bagian yang sangat penting dari
penyakit (Koga et al., 2017; Stankovic et al., 2014). Gangguan kognitif pada MSA terjadi dalam
spektrum yang luas yang berkisar antara defisit ringan wilayah tunggal hingga gangguan pada
berbagai macam wilayah dan bahkan hingga demensia yang jelas pada beberapa kasus yang
jarang. Disfungsi eksekutif-frontal merupakan presentasi yang paling umum, sementara
kemampuan memori dan visuospasial juga dapat terganggu (Brown et al., 2010; Stankovic et al.,
2014). Dengan demikian, semua pasien dengan MSA seharusnya dilakukan skrining gangguan
kognitif dengan pemeriksaan terstandar, seperti Montreal Cognitive Assessment (MoCA).
Panduan operasional untuk diagnosis dan tatalaksana untuk gangguan kognitif pada MSA masih
kurang.

10. Metode diagnostik baru


10.1. Sonografi transkranial
Walaupun sonografi transkranial tidak memungkinkan pada 10 – 20% dari subjek karena
penurunan celah akustik tulang temporal, beberapa studi menyarankan bahwa hiperechogenisitas
substansia nigra kemungkinan bisa menjadi penanda untuk membedakan PD dari sindroma
parkinsonian atipikal (Bouwmans et al., 2010), baik sendirian atau kombinasi dengan modalitas
diagnostik lainnya (Fujita et al., 2016).

10.2. Biomarker plasma dan CSF


Terapat peningkatan ketertarikan dalam perkembangan kemungkinan biomarker pada plasma
dan cairan serebrospinal (CSF) untuk diagnosis dari MSA (Laurent et al., 2015). Yang paling
menjanjikan saat ini termmasuk kadar norepinefrin plasma (Kaufmann et al., 2017b), kadar
penyimpanan vasikuler dari katekolaminergik plasma (Glodstein et al., 2015), protein rantai
ringan neurofilamen (NfL) plasma dan CSF (Hansson et al., 2017; Hu et al., 2017), dan kadar
αSyn plasma dan CSF (Sun et al., 2014). Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk
mengkonfirmasi sensitivitas dan spesifisitas dari metode diagnostik ini.

10.3 Retinal optical coherence tomography


Walaupun pasien dengan MSA sangat jarang mengalami keluhan pengelihatan, studi terbaru dari
retina menggunakan optical coherence tomography (OCT) secara konsisten telah menunjukkan
adanya atrofi pada lapisan serabut saraf retina peripapiler (RNFL) dan pada tingkat yang lebih
rendah kompleks lapisan sel ganglion macula (GCL) (Mendoza-Santiesteban et al., 2017a).
Abnormalitas tersebut berkembang seiring berjalannya waktu dan baru-baru ini dikonfirmasi
dengan pemeriksaan patologi pada retina dari 3 pasien dengan MSA (Mendoza-Santiesteban et
al., 2015; Mendoza-Santiesteban et al., 2017b). OCT mungkin dapat menjadi biomarker dari
perkembangan penyakit pada uji coba klinis pada pasien dengan MSA di masa yang akan datang.

10.4. Biopsi kulit


Studi in vivo menilai deposit αSyn kulit telah melaporkan adanya agregat αSyn pada sistem saraf
otonom kulit pada pasien dengan PD, dengan frekuensi yang bervariasi berkisar antara 0%
hingga 100% (Donadio et al., 2014; Navarro-Otano et al., 2015; Wang et al., 2013; Zange et al.,
2015). Beberapa dari studi tersebut mencakup pasien dengan MSA, yang tidak dideteksi adanya
agregat αSyn. Namun, studi lain telah menemukan agregat αSyn terfosforilasi pada kulit dalam
67% pasien dengan MSA (Doppler et al., 2015). Studi di masa yang akan datang seharusnya
menentukan lokasi biopsi kulit yang optimal, jumlah dari biopsi perlu mendapatkan hasil yang
optimal, metode fiksasi jaringan, dan pilihan dari antibodi untuk imunohistokimia.

11. Diagnosis premotor dari atrofi sejumlah sistem


Panduan konsensus saat ini mencakup kemungkinan, probabel, dan diagnosis definitif dari MSA
namun tidak mencakup kategori prodromal atau premotorik. Kemampuan untuk membuat
diagnosis seperti ini mungkin sudah hampir dikuasai. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa
studi prospektif kohort yang beresiko melaporkan adanya gejala prodromal pada kasus MSA.
Dari studi tersebut, biomarker prospektif telah muncul. Akurasi dari biomarker diagnostik
prediktif akan menentukan kemungkinan kelayakan untuk uji coba modifikasi penyakit. Follow
up pasien dengan RBD idiopatik menyatakan bahwa persentase yang kecil berkembang untuk
menjadi MSA (Iranzo et al., 2014; Postuma et al., 2015) dibandingkan dengan PD atau DLB,
namun karena tingkat fenokonversi yang rendah maka diperlukan adanya tambahan prediktor
untuk mendiagnosa kasus MSA premotorik. Tambahan dari biomarker otonom pada pasien
dengan RBD membantu untuk memperbaiki lebih lanjut resiko fenokonversi di masa yang akan
datang (Kaufmann et al., 2017b). Follow up prospektif dari pasien dengan kegagalan otonom
saja dan RBD menunjukkan kombinasi dari biomarker otonom dan gejala klinis yang memerikan
biomarker prodromal yang sensitif dari MSA. Tantangan masih terus ada pada kondisi klinis
untuk melibatkan pasien untuk uji coba neuroprotektif pada MSA di masa yang akan datang.
Tidak diragukan lagi, dalam fase prodromal ini yang memberikan celah kesempatan untuk
mengintervensi secara dini untuk menghentikan penyebaran dari synuclein di sepanjang CNS
dan mempertahankan fungsi motorik (Muppidi dan Miglis, 2017).

12. Kesimpulan
Walaupun pemeriksaan tambahan (pemeriksaan olfaktori, pemeriksaan sistem saraf otonom,
neuroimaging, dan evaluasi urologi) dapat membantu dalam diagnosis dan sebaiknya dilakukan
jika memungkinkan, diagnosis dari probabel atau kemungkinan MSA didasarkan pada riwayat
klinis dan pemeriksaan neurologis dan hanya dapat dikonfirmasi secara patologis setelah pasien
meninggal. Laporan terbaru menyatakan bahwa hanya 62% pasien didiagnosa secara klinis
dengan MSA oleh komunitas ahli neurologi yang memiliki diagnosis yang tepat berdasarkan
otopsi (Koga et al., 2015). Penyakit yang paling umum mengalami kesalahan diagnosis adalah
MSA termasuk PD, DLB, dan PSP. Di sisi lain, studi otopsi menunjukkan bahwa ~ 5% dari
pasien yang didiagnosa secara klinis dengan PD pada klinik neurologi umum ternyata mengalami
MSA pada saat diotopsi (Joutsa et al., 2014). Dengan demikian, mempertimbangkan bahwa, di
Amerika Serikat perkiraan titik prevalensi dari PD adalah ~ 100 per 100.000 penduduk yang
berusia antara 50 dan 60 tahun (Pringsheim et al., 2014), dan bahwa perkiraan titik prevalensi
dari MSA adalah 7,8 per 100.000 penduduk di dalam kelompok usia yang sama (Fanciulli dan
Wenning, 2015), kemungkinan terdapat minimal 5 subjek tambahan dengan misdiagnosa MSA
pada PD per 100.000 penduduk. Walaupun ketersediaan kriteria konsensus untuk diagnosis
klinis dan kemajuan terbaru dalam teknik diagnostik, ketepatan diagnostik dari MSA masih
belum optimal. Studi neuropatologi terbaru meningkatkan kemungkinan fenotip tambahan,
termasuk varian “perubahan minimal”, dan varian degenerasi synuclein lobus frontotemporal
(Koga dan Dickson, 2017). Seiring dengan munculnya faktor-faktor lain, termasuk kemungkinan
adanya bawaan genome spesifik (Federoff et al., 2015), pengenalan yang lebih baik dari semua
varian fenotip dari MSA seharusnya memungkinkan. Hal ini memiliki implikasi yang penting
saat merencanakan uji coba klinis dari kemungkinan agen neuroprotektif pada pasien tersebut.

Anda mungkin juga menyukai