Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

GIIPIA0 + Gravid Aterm (39 minggu) + Solusio Plasenta + KJDR +


Anemia Dalam Kehamilan

Disusun oleh:
Nama : dr. Nur Indria Resky
Wahana : RSD Konawe Selatan
Tanggal : 10 Mei 2020

RUMAH SAKIT DAERAH KONAWE SELATAN


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Nur Indria Resky


Judul : GIIPIA0 + Gravid Aterm (39 minggu) + Solusio Plasenta + KJDR +
Anemia Dalam Kehamilan
Topik : Obstetri & Gynecologi

Konawe Selatan, Mei 2020

Dokter Pembimbing I Dokter Pembimbing II

dr. Mbayo Ridwan Sandi dr. Farina Dwinanda Faisal

2
BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS
Pada tanggal 15 Juli 2020 telah dipresentasikan laporan kasus oleh:
Nama : dr. Nur Indria Resky
Judul : Eritroderma
Topik : Kulit dan Kelamin
Wahana : RSD Konawe Selatan
No Nama Tanda Tangan
1 dr. Asri Mubarak
2 dr. Eka Rahmawati
3 dr. I Putu Wira Putra Suherman
4 dr. Rizky Nur Caesaria
5 dr. Inda Permatasari Ridwan
6 dr. Risky Aulia
7
8
9
10

BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas

3
Nama : Ny. M
Umur : 26 Tahun
Alamat : Lalembu, Konawe Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
Suku : Bugis
Tanggal masuk : Kamis, 19 Maret 2020 (08.15 WITA)
No. Rekam Medik : 53 76 67

B. Anamnesa
Keluhan Utama
Keluar darah dari jalan lahir
Anamnesis Terpimpin
Pasien rujukan PKM masuk IGD Ponek RS Konawe Selatan dengan keluhan
keluarnya darah dari jalan lahir yang dialami sejak ± 8 jam yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Perdarahan berwarna merah kehitaman sebanyak ± 1
sarung disertai nyeri perut. Pasien merasakan pergerakan janin berkurang
sejak 5 jam sebelumnya. Keluhan lain yang dirasakan pusing (+), lemas (+),
mual (-), muntah (-), BAB dan BAK kesan normal. Pada saat usia kehamilan 2
bulan pasien pernah mengalami perdarahan dari jalan lahir setelah melakukan
pijat urut dengan dukun. Riwayat tranfusi darah 1 kantong dari RS. Konawe.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi, asma, diabetes mellitus, dan hipertensi disangkal. Riwayat
operasi sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)

Riwayat Pemeriksaan Antenatal


Menurut pasien, selama kehamilan kedua ini pasien tidak rutin memeriksakan
dirinya baik ke posyandu maupun ke Puskesmas.

4
Riwayat Obstetri
Pasien lupa kapan mengalami haid pertama kali (menarche) pada umur 14
tahun. Lama haid 4-6 hari, siklus haid teratur 28-30 hari. Ini merupakan
kehamilan yang kedua kali, tidak pernah keguguran sebelumnya. Kehamilan
pertama dibantu oleh bidan di rumah dengan kehamilan aterm dan jenis
persalinan spontan dengan berat badan 3,5 kg serta berjenis kelamin
perempuan. Riwayat HPHT pada tanggal 15 bulan Juli 2019, taksiran
persalinan tanggal 22 bulan Maret 2020 dan usia kehamilan 39 minggu.
Riwayat KB
Pasien tidak memiliki riwayat menggunakan KB .

C. STATUS GENERALIS (19 Agustus 2020, Pukul 08.15 Wita)


1. Keadaan Umum
Sakit sedang, tampak lemah, kesadaran komposmentis.
2. TandaVital
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 78 x/Menit
Frekuensi Nafas : 18 x/Menit
Suhu : 36,6o C
3. Status Generalisata
Kepala : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), edema (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-)
Paru : Bunyi pernapasan vesikuler, whezzing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen : Cembung ikut gerak napas, striae gravidarum (+), linea
nigra (+), peristaltik (+) kesan normal, nyeri tekan regio
suprapubik (+) dan defans muscular (+).
Ekstremitas : Pitting edema pretibial (-/-), reflex patella (+/+)

D. PEMERIKSAAN OBSTETRIK/GINEKOLOGI
1. Pemeriksaan luar
L1= TFU teraba 4 jari bawah proc. xhipoideus

5
L2= Punggung kanan, Denyut Jantung Janin (-)
L3= Bagian terbawah kesan kepala
L4= Kepala belum masuk panggul
Taksiran berat janin 2640 gr
Gerakan janin (-), His (-)
2. Pemeriksaan dalam vagina
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan dalam vagina dari RS Konawe didapatkan tidak ada
pembukaan.

E. Pemeriksaan penunjang
(19/03/2020 di RS. Konawe Selatan)
Darah Rutin

Indikator Nilai Rujukan


WBC 17,45 [10^3/uL] 4,00-10,00
RBC 4,54 [10^3/uL] 4,00-6,00
HGB 6,0 [g/dl] 12,0-16,0
PLT 267 [10^3/uL] 150-400

(21/3/2020 di RS Konawe Selatan)


Darah Rutin

Indikator Nilai Rujukan


WBC 9,64 [10^3/uL] 4,00-10,00
RBC 5,74 [10^3/uL] 4,00-6,00
HGB 9,0 [g/dl] 12,0-16,0
PLT 212 [10^3/uL] 150-400

- USG (-)
F. Diagnosa Sementara
GIIPIA0 + Gravid Aterm + Solusio Plasenta + KJDR + Anemia Dalam
Kehamilan

6
G. Rencana Terapi
 Awasi tanda vital
 Rencana SC
 IVFD RL + Oxitosin 2 Amp/28tpm
 Pasang kateter urin
 Inj. Ranitidin 1 amp/8j/IV
 Inj. Ketorolac 1 amp/8j/IV
 Inj. Cefotaxim 1 gr/12j/IV
 Transfusi PRC 2 Bag

7
H. Perkembangan Pasien
Waktu Perjalanan Penyakit Rencana Terapi
Kamis, S : lemas (+), pusing (+) - Informed Consent
- Rencana cito SC
19/3/2020 O : TD : 140/90 mmHg
N : 78 kali/menit
P : 18 kali/menit
S : 36,6 C
L1= TFU teraba 4 jari bawah proc.
xhipoideus
L2= Punggung kanan, Denyut
Jantung Janin (-)
L3= Bagian terbawah kesan kepala
L4= Kepala belum masuk panggul
Taksiran berat janin 2640 gr
Gerakan janin (-), His (-),DJJJ (-)
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan dalam vagina dari RS
Konawe didapatkan tidak ada
pembukaan.
A : PH0 + GIIPIA0 + Gravid Aterm
+ solusio plasenta + KJDR +
Anemia dalam Kehamilan
Jumat, S : pusing (+), Nyeri bekas operasi Intruksi Post Op :
- Awasi TTV
20/3/2020 O : TD : 120/80 mmHg
- IVFD RL + Oxitosin 2
N : 88 kali/menit
amp/28 tpm
P : 18 kali/menit
- Inj. Ranitidin 1 amp/8j/IV
S : 36,5 C
- Inj. Ketorolac 1 amp/8j/IV
Mammae : bengkak (-/-)
- Inj. Cefotaxim 1 gr/12j/IV
Asi (-/-)
- Transfusi PRC 2 Bag
TFU : 2 jari bawah umbilicus
Verban : kering
Lokia : rubra
BAB : kesan normal
BAK : 300 cc/5 jam

8
A : POH1 + PIIA0 + Post SC +
solusio plasenta + KJDR +
Anemia dalam Kehamilan
Rabu, S : pusing (-), nyeri bekas operasi - Observasi TTV
- Aff infuse
21/3/ 2020 O : TD : 120/100 mmHg
- Aff kateter urin
N : 80 kali/menit - Cek Darah rutin
- Asam mefenamat 3x500 mg
P : 20 kali/menit
- Sulfas Ferrous 2x325 mg
S : 36,5 C
Mammae : bengkak (-/-)
Asi (-/-)
TFU : 1 jari bawah umbilicus
Verban : kering
Lokia : rubra
BAB : kesan normal
BAK : 400 cc/9 jam
A : POH2 + PIIA0 + Post SC +
Solusio Plasenta + KJDR + Anemia
dalam Kehamilan

Kamis, S : Nyeri Bekas Operasi berkurang - GV


22/3/ 2020 O : TD : 130/90 mmHg - Asam mefenamat 3x500 mg
N : 78 kali/menit - Sulfas ferrous 2x325 mg
P : 20 kali/menit - Boleh pulang
S : 36,7 C
Mammae : bengkak (-/-)
Asi (-/-)
TFU : 1 jari bawah umbilicus
Verban : kering
Lokia : rubra
BAB : kesan normal
BAK : kesan normal

A: POH3 + PIIA0 + Post SC +


Solusio Plasenta + KJDR + Anemia

9
dalam Kehamilan

I. Dokumentasi operasi

Gambar 1. Tampak janin Gambar 2. Tampak plasenta


yang telah mati yang telah lepas dan terdapat
bekuan darah (koagulopati)

Gambar 3. Tampak bercak


biru/ungu pada permukaan uterus
(uterus couvelaire)

10
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Pendarahan pada kehamilan lanjut diartikan sebagai tiap perdarahan yang
terjadi setelah usia gestasi 20 minggu dan sebelum awitan persalinan. Kelainan ini
tetap menjadi penyebab signifikan mortalitas dan morbiditas maternal, karena itu,
semua kasus perdarahan harus ditangani secara sungguh-sungguh serta dinilai
derajat perdarahan dan penyebabnya. Insiden hemorrhagia antepartum di Eropa
diperkirakan sekitar 3-5% dari seluruh kehamilan. Insidens sejatinya bisa saja
lebih tinggi karena ada beberapa perempuan yang tidak melaporkan perdarahan
yang minimal. Kebanyakan penderita perdarahan dapat dikelompokkan sebagai
berikut menurut penyebabnya1 :
 Solusio plasenta
 Plasenta previa
 Penyebab setempat yang berkaitan dengan kehamilan
 Penyebab yang tidak diketahui

I. SOLUSIO PLASENTA
A. Definisi
Solusio plasenta atau disebut juga abruption placenta atau
ablasio placenta adalah pemisahan plasenta dari tempat implantasinya
yang normalnya di uterus (korpus uteri) dalam masa kehamilan lebih dari
20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta terdapat banyak
pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu ke
janin, jika plasenta ini terlepas dari implantasi normalnya pada masa
kehamilan maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Hebatnya
perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang terlepas2.
B. Insiden dan epidemiologi
Solusio plasenta didefinisikan sebagai pelepasan plasenta dari
tempat implantasinya normal sebelum kelahiran janin. Terjadi pada 1:86
sampai 1:206 kehamilan lanjut, tergantung kriteria diagnosis yang

11
digunakan dan menyebabkan kira-kira 30% dari semua perdarahan
antepartum . Sekitar 50% solusio terjadi sebelum persalinan tetapi 10%-
15% tidak terdiagnosis sebelum kala dua persalinan3.
C. Etiologi
Belum diketahui dengan jelas, namun terdapat beberapa keadaan
tertentu yang menyertai : hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan merokok,
usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun, multiparitas, tali pusat yang pendek,
defisiensi asam folat, perdarahan retroplasenta, penyalahgunaan alcohol
dan obat-obatan.
Adanya riwayat pelepasan premature plasenta sebelumnya
mempunyai angka kekambuhan 10%-17% setelah dua kali pelepasan
premature sebelumnya, insidennya menjadi >20%. Kehamilan dengan
hipertensi mempunyai insiden solusio plasenta 2,5%-17,9%. Namun dari
kasus-kasus yang cukup berat untuk menyebabkan kematian janin, kira-
kira 50% terkait dengan hipertensi dalam kehamilan (separuh terkait
dengan hipertensi kronis dan separuh terkait dengan hipertensi dipicu
kehamilan). Predisposisi pelepasan plasenta lainnya sering adalah
merokok, peregangan uterus berlebihan (misal, kehamilan multiple,
hidramnion), penyakit vascular (misal, diabetes mellitus, kelainan
kolagen), anemia hemolitik mikroangiopati dan anomali atau tumor uterus.
Terdapat penyebab yang memicu langsung (hanya pada 1%-5%)
terjadinya solusio plasenta yaitu plasenta sirkumvalata, trauma uterus
langsung (misal versi luar, kecelakaan mobil dan kecelakaan lainnya),
pengurangan mendadak cairan amnion atau tali pusat yang pendek3.
D. Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (rupture sinus
marginalis), dapat pula terlepas luas (solusio parsialis), atau bisa seluruh
permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan
yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan
miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan
akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina

12
(reveale hemorrhage)/perdarahan ekternal. Akan tetapi, ada kalanya,
walaupun jarang, perdarahan tersebut tidak keluar melalui vagina sehingga
terjadi perdarahan tersembunyi/(conclead hemorrhage) jika2 :
 Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding
rahim
 Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
 Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah ketuban
pecah
 Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada
segmen bawah rahim.
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya
gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas,
yaitu solusio plasenta ringan, solusio plasenta sedang, solusio plasenta
berat. Yang ringan biasanya baru diketahui setelah plasenta lahir dengan
adanya hematoma yang tidak luas pada permukaan maternal atau adanya
rupture sinus marginalis. Pembagian secara klinis ini baru definitif bila
ditinjau retrospektif karena solusio plasenta sifatnya berlangsung progresif
yang berarti solusio plasenta ringan bisa berkembang menjadi berat dari
waktu ke waktu. Keadaan umum penderita bisa menjadi buruk apabila
perdarahannya cukup banyak pada ketegori concealed hemorrhage.
Berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan :
1. Kelas 0 : asimptomatik. Diagnosis ditegakkan secara retrospektif
dengan menemukan hematoma atau daerah yang mengalami
pendesakan pada plasenta. Rupture sinus marginal juga dimasukkan
dalam kategori ini.
2. Kelas 1 : gejala klinis ringan dan terdapat pada hampir 48% kasus.
Gejala meliputi : tidak ada perdarahan pervaginam sampai
perdarahan pervaginam ringan, uterus sedikit tegang, tekanan darah
dan denyut jantung maternal normal, tidak ada koagulopati dan tidak
ditemukan tanda-tanda fetal distress.

13
3. Kelas 2 : gejala berat dan terdapat pada hampir 24% kasus,
perdarahan pervaginam dari tidak ada sampai berat, uterus tetanik
dan sangat nyeri, syok maternal, hipofibrinogenemi (<150 mg/dl),
koagulopati serta kematian janin.
Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam2 :
1. Solusio plasenta nyata/tampak (revealed). Terjadinya perdarahan
pervaginam, gejala klinis sesuai dengan jumlah kehilangan darah,
tidak terdapat ketegangan uterus atau hanya ringan.
2. Solusio plasenta yang tersembunyi (conclead). Tidak terdapat
perdarahan pervaginam, uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi
fetal distress berat. Tipe ini sering disebut perdarahan retroplasental.
3. Solusio plasenta tipe campuran (mixed). Terjadi perdarahan baik
retroplasental atau pervaginam, uterus tetanik.
Berdasarkan jumlah perdarahan yang terjadi4 :
1. Solusio plasenta ringan : perdarahan pervaginam < 100 ml.
2. Solusio plasenta sedang : perdarahan pervaginam 100-500 ml,
hipersensitifitas uterus atau peningkatan tonus, syok ringan, dapat
terjadi fetal distress.
3. Solusio plasenta berat : perdarahan pervaginam luas > 500 ml,
uterus tetanik, syok maternal sampai kematian janin dan
koagulopati.
Berdasarkan luasnya bagian plasenta yang terlepas dari uterus4 :
1. Solusio plasenta ringan : kurang dari ¼ bagian plasenta yang
terlepas. Perdarahan kurang dari 250 ml.
2. Solusio plasenta sedang : plasenta yang terlepas ¼ - 2/3 bagian
perdarahan < 1000 ml, uterus tegang, terdapat fetal distress akibat
insufisiensi uteroplasenta.
3. Solusio plasenta berat : plasenta yang terlepas > 2/3 bagian,
perdarahan > 1000 ml, terdapat fetal distress sampai dengan
kematian janin, syok maternal serta koagulopati.

14
Derajat solusio plasenta3
Derajat
Temuan klinis
1 2 3
Perdarahan Sedikit Ringan sampai Sedang sampai
pervaginam sedang berat (tetapi
mungkin
tersembunyi)
Uterus Peka Peka, tetanik Tetanik, nyeri
Nadi ibu Normal Meningkat Sangat
meningkat
Tekanan darah Normal Terjaga tetapi Hipotensi
ibu terjadi hipotensi sampai syok
postural
Keadaan janin Normal Gawat janin Kematian janin
(kriteria
berdasarkan
denyut jantung
janin)
Kadar Normal Menurun (150- <150 mg% dan
fibrinogen 250 mg%) trombositopenia
atau kekurangan
faktor)
% total 15 20-40 >45
(perkiraan)

E. Patofisiologi
Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir dari sesuatu proses
yang bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis
plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi
perdarahan. Oleh karena itu, patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada
trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang
disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembekuan thrombosis dalam pembuluh darah desidua atau
dalam vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai
hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali
selapis tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada

15
tingkat permulaan sekali proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa
menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian
plasenta kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru
lahir. Dan beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta
mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi
maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematom yang terbentuk dengan cepat
meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya
sehingga darah yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium
untuk selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage).
Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi mengandung tidak
mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteri spiralis yang terputus.
Walaupun jarang, terdapat perdarahan tinggal terperangkap di dalam uterus
(concealed hemorrhage)3.
F. Gambaran klinik
Gambaran klinis penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan
berat ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Belum
ada uji coba yang khas untuk menentukan diagnosisnya. Gejala dan tanda
klinisnya yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang
berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus), rasa nyeri perut dan uterus
tegang terus menerus mirip his partus prematurus. Sejumlah penderita bahkan
tidak menunjukkan tanda atau gejala klasik, gejala yang lahir mirip tanda
persalinan premature saja. Oleh karena itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang
tinggi diperlukan dari pihak pemeriksa2.
1. Solusio plasenta ringan4
Solusio plasenta ini disebut juga rupture sinus marginalis, dimana
terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak.
Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-
hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit. Atau terasa agak
tegang yang sifatnya terus-menerus. Walaupun demikian, bagian-
bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus

16
selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena
perdarahan yang berlangsung.
2. Solusio plasenta sedang4
Dalam hal ini plasenta terlepas dari ¼ bagian, akan tetapi belum
2/3 luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan
seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga mendadak dengan
gejala sakit perut terus-menerus, yang tidak lama kemudian disusul
dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam
sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000
ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya
yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat.
Dinding uterus teraba tegang terus menerus dan nyeri tekan sehingga
bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Jika janin masih hidup, bunyi
jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal
mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada
solusio plasenta berat.
3. Solusio plasenta berat4
Plasenta telah terlepas lebih dari 2/3 permukaannya. Terjadi sangat
tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya
telah meninggal. Uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri.
Perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada
keadaan-keadaan di atas kemungkinan telah terjadi kelainan pada
pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal.
G. Diagnosis
Berdasarkan gejala dan tanda klinis yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri
pada uterus, kontraksi tetanik pada uterus dan pada solusio plasenta yang berat
terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaam KTG
(kardiotokografi). Namun ada kalanya pasien datang dengan gejala mirip
persalinan premature, ataupun datang dengan perdarahan tidak banyak dengan
perut tegang, tetapi janin telah meninggal. Diagnosis definitif hanya bisa

17
ditegakkan secara retrospektif yaitu setelah partus dengan melihat adanya
hematoma retroplasenta2.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya
dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG
tidak memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta
yang normal mirip dengan gambaran perdarahan retroplasenta pada solusio
plasenta. Kompleksitas gambar normal retroplasenta, kompleksitas vascular
rahim sendiri, desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta
dan memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Disamping itu solusio
plasenta sulit dibedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada
perdarahan baru sering bisa membantu karena gambaran USG dari darah yang
membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam
kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1-2 minggu1.
H. Penatalaksanaan
Semua pasien tersangka menderita solusio plasenta harus dirawat di
rumah sakit yang berfasilitas cukup. Ketika masuk langsung lakukan
pemeriksaan darah dengan memeriksa waktu pembekuan darah, waktu
protrombin, kadar fibrinogen dan kadar hancurnya fibrinogen dalam plasma.
Pemeriksaan dengan USG berguna terutama untuk membedakannya dengan
plasenta previa dan memastikan janin masih hidup.
Penanganan solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala
klinis, yaitu4 :
1. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada
perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin
hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian ditunggu
persalinan spontan. Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus,
gejala solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera
diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan
amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinannya.

18
2. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan,
penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus
oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Apabila diagnosis solusio plasenta
dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000
ml. Maka tranfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan
merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterine. Keluarnya
cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat
implantasinya dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi
ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari
hematom subkhorionik. Persalinan juga dapat dipercepat dengan infus
oksitosin yang memperbaiki kontraksi uterus.
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan
pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas
dari bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya
pada penderita yang memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan
melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah
kelainan pembekuan darah. Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak
berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan,
walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya
cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Uterus Couvelaire tidak
merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat
dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria, tindakan histerektomi perlu
dilakukan.

19
Alur diagnosis dan tatalaksana solusio plasenta5

SOLUSIO PLASENTA

PREDISPOSISI : KELUHAN KLINIK :


1. Trauma Abdomen 1. Perdarahan-nyeri
2. Hipertensi 2. Gangguan dari :
3. Pre-eklamsia dan  Pembekuan darah
eklamsia  Kardiovaskuler
4. Tulang pusat pendek  Janin intrauterin
5. Tekanan vena cava
inferior
6. Trauma tindakan
 Versi luar
 Memecahkan ketuban
 Pada anak kedua hamil
 Pada anak kedua hamil
ganda

DIAGNOSIS SOLUSIO PLASENTA :


1. Anamnesis lengk;ap
2. Gejala klinik tergantung
klasifikasinya :
 Palpasi abdomen
 Auskultasi janin
 Dengan USG
 Periksaan dalam

SOLUSIO PLASENTA RINGAN-SEDANG SOLUSIO PLASENTA BERAT IUFD :


 Persiapan untuk operasi persalinan 1. Perbaiki keadaan umum :
 Infus-tranfusi  Tranfusi pasif
 Fibrinogen
2. Tindakan obstetric :
 Pecahnya ketuban
 Induksi persalinan

SEKSIO SESARIA PERSALINAN PERVAGINAM


 Histerektomi  Lahir dalam 6 jam
 Gangguan jalan lahir

KOMPLIKASI SOLUSIO PLASENTA :


 Perdarahan masif
 Gangguan alat vital
 Infeksi

20
I. Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang
terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti
anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan
darah, gagal ginjal mendadak dan uterus Couvelaire disamping komplikasi
sindroma insufisiensi fungsi plasenta pada janin berupa kematian perinatal
yang tinggi. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang
terhindar dari kematian setelah penderita syok yang berlangsung lama yang
menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio
plasenta3.
Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta
berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah
menderita solusio plasenta sebelumnya4.
Fungsi plasenta akan terganggu bila peredaran darah ke plasenta
mengalami penurunan yang berarti. Sirkulasi darah ke plasenta menurun
manakala ibu mengalami perdarahan banyak dan akut seperti syok. Syok
pada solusio plasenta diperkirakan terjadi akibat pelepasan tromboplastin dari
desidua dan plasenta masuk ke dalam sirkulasi maternal dan mendorong
pembentukan koagulasi intravaskular beserta gambaran klinis lain, sindroma
emboli cairan ketuban termasuk hipotensi4.
J. Prognosis
Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik ibu hamil dan
lebih buruk lagi bagi janin. Solusio plasenta ringan masih mempunyai
prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada kematian dan
morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai prognosis yang
lebih buruk terhadap ibu dan lebih-lebih terhadap janinnya. Umumnya pada
keadaan demikian janin telah mati dan mortalitasnya meningkat akibat salah
satu komplikasi. Pada solusio plasenta sedang dan berat prognosisnya juga
tergantung pada kecepatan dan ketepatan bantuan medis yang diperoleh pasien.

21
Transfusi darah yang banyak dengan segera dan terminasi kehamilan tepat
waktu sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal3.

II. KEMATIAN JANIN DALAM RAHIM (KJDR)


A. Pendahuluan
Intra uterina fetal death (IUFD) atau kematian janin dalam rahim
(KJDR) menimbulkan gangguan aspek emosional terutama dengan kelahiran
mati yang didefinisikan sebagai kematian janin dalam rahim pada usia
kehamilan 20 minngu atau lebih dengan berat janin mencapai 500 gram atau
lebih. Kematian ini merupakan trauma berat bagi penderita maupun keluarga,
sehingga perlu simpati, empati, dan perhatian terhadap guncangan emosional
yang dialami penderita dan keluarga6.
Kelahiran mati merupakan suatu masalah sejak lama. Namun akhir-
akhir ini tingkat kelahiran mati telah turun drastis selama 50-60 tahun terakhir.
Identifikasi penyebab dan faktor risiko diperlukan untuk pencegahan kelahiran
mati. Mengklasifikasikan kelahiran mati menurut penyebab diperlukan untuk
tujuan pencegahan, konseling dan penatalaksanaan. Selain itu, faktor risiko
mungkin berbeda diantara berbagai kelompok penyebab. Namun, menetapkan
satu penyebab kematian merupakan tantangan dalam penggunaan sistem
klasifikasi yang dapat berkontribusi pada proporsi yang lebih tinggi dari
kematian yang tidak dapat dijelaskan6.
B. Definisi
Secara umum, Intra Uterine Fetal Death (IUFD) atau kematian janin
dalam rahim (KJDR) mencakup semua kematian janin yang beratnya 500 gram
atau lebih terjadi selama kehamilan (kematian antepartum) atau selama
persalinan (intrapartum). Tapi kematian janin yang beratnya kurang dari 500
gram (sebelum 22 minggu) telah mendapat etiologi yang berbeda dan biasanya
disebut aborsi6.
Menurut WHO dan American College of Obstetricians and
Gynecologist (1995) menyatakan IUFD ialah janin yang mati dalam rahim
dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada

22
kehamilan 20 minggu atau lebih. IUFD menurut ICD 10 – International
Statistical Classification of Disease and Related Health Problems adalah
kematian fetal atau janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu6,
C. Epidemiologi
Pada tahun 2006, data dari National Vital Statistics Report menunjukkan
tingkat kelahiran rata-rata nasional AS 6,05 per 1000 kelahiran, 3% lebih
rendah dari tahun 2005. Di seluruh dunia, tingkat ini sangat bervariasi
tergantung pada kualitas perawatan medis yang tersedia di negara ini. Pada
tahun 2009, perkiraan jumlah kelahiran mati di dunia adalah 2,64 juta. Angka
kelahiran mati di seluruh dunia menurun sebesar 14,5% dari 22,1 per 1000
kelahiran pada tahun 1995 menjadi 18,9 per 1000 kelahiran pada tahun 20096.
Tingkat kematian janin antara usia kehamilan 20-27 minggu tetap stabil
3,2 per 1.000 kelahiran, sementara tingkat kematian janin di luar usia
kehamilan 28 minggu sedikit menurun dari 4,3 menjadi 3,0 per 1.000 kelahiran
sejak 1990-an. Pada tahun 2001 tingkat kelahiran mati 5.5 per 1000 kelahiran
hidup pada ibu kulit putih dan 12.1 per 1000 pada ibu kulit hitam. Menurut
analisis statistik vital A.S. antara tahun 1995 dan 1998, peningkatan risiko
kelahiran mati pada kulit hitam dibandingkan dengan kelahiran mati pada kulit
putih6.
D. Faktor Risiko
Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini melaporkan sejumlah
faktor risiko kematian janin, khususnya IUFD. Peningkatan usia maternal juga
akan meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35 tahun memiliki risiko
40-50% lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan dengan wanita pada
usia 20-29 tahun. Resiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada pasien
primipara dibanding multipara. Alasan yang mungkin dapat menjelaskan
sebagian risiko terkait usia ini adalah insiden yang lebih tinggi akan terjadinya
kehamilan multiple, diabetes gestasional, hipertensi, preeklampsia dan
malformasi fetal pada wanita yang lebih tua6.
Merokok selama kehamilan berhubungan dengan sejumlah resiko
kematian janin. Merokok meningkatkan risiko retardasi pertumbuhan

23
intrauterine dan solusio plasenta. Merokok menjadi faktor kausatif utama
khususnya pada kehamilan prematur6.
Berat badan ibu pada kunjungan antenatal care juga mempengaruhi resiko
IUFD. Hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dan IUFD telah dilaporkan
oleh Little dan Cnattingius. Stephansson dkk dalam studi kasus kontrol
terhadap 700 primipara dengan IUFD dan 700 kontrol melaporkan bahwa
primipara yang mengalami kelebihan berat badan (IMT 25-29,9) ternyata
memiliki risiko dua kali lipat akan terjadinya IUFD dibandingkan wanita
dengan IMT ≤ 19,9. Resiko ini akan jauh berlipat pada primipara obesitas
(IMT ≥ 30). Kenaikan berat badan yang terjadi selama kehamilan tampaknya
tidak mempengaruhi risiko IUFD6.
Faktor sosial seperti status sosioekonomi dan edukasi juga mempengaruhi
resiko terjadinya IUFD. Mereka yang berada dalam status sosioekonomi
rendah ternyata memiliki risiko dua kali lipat menderita IUFD6.
E. Etiologi
Kematin janin dapat disebabkan oleh faktor maternal (5-10%), fetal (25-
40% ) dan kelainan plasenta (20-30%). Pada 25-35% penyebab kematian janin
tidak diketahui6.
1. Faktor maternal
Meskipun terlihat hanya memberikan sedikit kontribusi pada kematian
janin, faktor maternal sering kurang diperhatikan. Gangguan hipertensi
dan diabetes merupakan dua penyakit maternal yang sering dan
menyebabkan 5-8% kelahiran mati. Wanita dengan berlebihan berat badan
dan obesitas memiliki resiko kelahiran mati yang lebih tinggi. Usia
reproduksi yang ekstrim bahkan bila disesuaikan dengan anomali lain dan
penyakit medis maternal yang berkaitan oleh angka kematian janin yang
lebih tinggi. Antibodi antifosfolipid yang memilki antikoagulan lupus dan
antibodi antikardiolipin menyebabkan vaskulpati desidua, infark plasenta,
perkembangan janin terhambat, abortus berulang dan kematian janin.
Meskipun wanita dengan autoantibodi tersebut dan trombofilia lain jelas
beresiko tinggi mengalami hasil akhir kehamilan yang tidak baik6.

24
2. Faktor fetal
Beberapa tipe abnormalitas janin menyumbang sekitar 25-40% dari
seluruh kelahiran mati. Sebagian besar kelahiran mati yang ditimbulkan
oleh penyebab fetal kelainan kromosom yang teridentifikasi pada saat
autopsi, sedangkan yang lainnya disebabkan oleh anomali struktural defek
tabung saraf dan hidrops non imun merupakan penyebab tersering6.
Kelahiran mati yang disebabkan oleh infeksi janin juga sering
ditemukan, terutama ketika diketahui sumber infeksi bakterial asendens
pada cairan amnion dan plasenta. Infeksi bakteri, virus dan protozoa lainya
yang berpotensi letal meliputi gangguan yang disebabkan oleh
cytomegalovirus, parvovirus B19, rubella, varicella, listerosis, borrelosis,
toksoplasmosis6.
3. Faktor plasenta
Banyak kematian janin akibat abnormalitas plasenta yang juga
dikategorikan sebagai penyebab maternal dan fetal sebagai contoh solusio
plasenta6.
Solusio plasenta merupakan penyebab kematian janin tunggal yang
paling sering teridentifikasi, sekitar 14% kelahiran mati disebabkan oleh
solusio plasenta. Infeksi membrane dan plasenta yang bermakna biasanya
berkaitan dengan infeksi janin. Kelahiran mati kurang bulan kemungkinan
besar disebabkan infeksi tersebut yang meliputi spesies bakteri aerobik
dan anaerobik serta mikoplasma dan ureaplasma6.
Perdarahan fetal maternal yang cukup untuk menimbulkan kematian
janin dilaporkan pada 4,7% dari 319 kematian janin di Los Angeles.
Meskipun biasanya spontan, perdarahan tersebut sering terjadi pasca-
trauma maternal yang berat. Sindrom twin-twin transfusion merupakan
penyebab umum kematian janin pada kehamilan multifetal multikorionik6.

Tabel 1. Kategori dan Penyebab Kematian Janin6


Kategori Penyebab kematian
Maternal Penyakit hipertensi, diabetes, obesitas, usia > 35
tahun,penyakit tiroid, penyakit ginjal, antibodi

25
antifosfolipid, trombofilia, merokok, obat terlarang dan
alkohol, infeksi dan sepsis, persalinan kurang bulan,
persalinan abnormal, ruptur uterin, kelahiran post term

Fetal Anomali kromoson, defek lahir non kromosonal, hidrops


non imun, dan infeksi bakteri, virus dan protoza.

Plasenta Ketuban pecah dini, solusio, perdarahan fetomaternal,


gangguan tali pusat, insufisiensi plasenta, asfiksia
intrapartum, plasenta previa, twin-twin transfusion,
korioamnitis.

Tidak terjelaskan (15-35%)

F. Patomekanisme
1. Maternal
Penyakit hipertensi (hipertensi gestasional, preeklampsia, hipertensi
kronis dan superimposed pre-eklampsia) merupakan komplikasi medis yang
sering dijumpai pada kehamilan dan memicu morbiditas dan mortalitas yang
bermakna. Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling
arteri spiralis” dengan akibat plasenta mengalami iskemik. Plasenta yang
mengalami iskemik dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa elektron atau
atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu
oksidan yang dihasilkan plasenta iskemik adalah radikal hidroksil yang
sangat toksis, khususnya pada membran endotel pembuluh darah, serta
merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh
menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak akan merusak membrane sel,
juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Hal ini memberi
pengaruh buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya
perfusi uteroplasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan endotel
pembuluh darah plasenta. Dampak pada janin bisa menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, solusio plsenta,
prematuritas, sindrom distress pernapasan, dan kematian janin intrauterin6.

26
Diabetes melitus tipe 1 dan 2 dapat meningkatkan risiko IUFD. Risiko
IUFD pada wanita diabetes tipe 1 dilaporkan 4-5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi non diabetik sedangkan diabetes tipe 2 dilaporkan
2,5 kali lipat lebih tinggi daripada wanita non diabetik. Diabetes mellitus
selama kehamilan ditandai dengan adanya resistemsi insulin dan
hiperinsulinemia. Resistensi ini berasal dari hormon diabetogenik hasil
sekresi plasenta yang terdiri atas hormon pertumbuhan, corticotrophin
releasing hormone, placental lactogen, dan hormon progesteron. Hormon
ini akan menyebabkan perubahan dan menjamin pasokan bahan bakar dan
nutrisi janin sepanjang waktu. Akan terjadi diabetes mellitus selama
kehamilan akibat fungsi pankreas yang tidak cukup untuk mengatasi
keadaan resistensi insulin yang diakibatkan oleh perubahan hormon
diabetogenik selama kehamilan. Kadar glukosa yang meningkat pada ibu
hamil sering menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap bayi yang
dikandungnya. Bayi yang lahir dari ibu yang diabetes biasanya lebih besar,
dan bisa terjadi pembesaran organ-organ lainya. Ibu hamil dengan diabetes
mellitus yang tidak terkontrol dengan baik akan meningkatkan resiko
terjadinya keguguran atau bayi lahir mati6..
Infeksi maternal dipertimbangkan berperan penting terhadap kematian
janin. Plasenta dan janin dapat terinfeksi melalui transmisi transplasental
(hematogen). Proporsi kematian janin terkait infeksi dilaporkan berkisar 6-
15 % dari seluruh kasus kematian janin. Infeksi virus kongenital
cytomegalovirus (CMV) juga sering dilaporkan sebagai pemicu kematian
janin. Infeksi maternal primer oleh Toxoplasma gondii juga dapat
ditransmisikan menuju janin dan memicu toksoplasmosis kongenital bahkan
kematian janin. Rubela maternal pada awal kehamilan juga dapat memicu
kematian janin6.
2. Fetal
Kelainan kromosom meningkatkan risiko terjadinya IUFD. Kuleshov
dkk melaporkan bahwa sekitar 14% IUFD terjadi akibat kelainan kariotipe.
Sejumlah kelainan yang paling sering dijumpai memicu IUFD ialah trisomi

27
autosom 21, 18 dan 13. Sebagian besar janin dengan malformasi mengalami
IUFD akibat defek jantung kongenital, hipoplasia paru, dan penyakit genetik
lethal seperti sindrom Potter, anensefali dan hernia diafragmatika6.
Hubungan berat badan kelahiran rendah dan kematian perinatal juga
telah ditegaskan. Janin IUFD juga rata-rata memiliki berat badan yang
kurang dibanding janin normal pada tingkat usia gestasional yang sama. Hal
ini disebabkan karena proses restriksi pertumbuhan yang mungkin berbagi
kausa yang sama dengan insufisiensi plasenta. Pertumbuhan janin terhambat
adalah penyebab penting IUFD. PJT diketahui berhubungan dengan
kehamilan multipel, malformasi kongenital, kelainan kromosom fetal dan
preeklampsia. Dalam studi Gardosi dkk, dilaporkan bahwa 41% kasus IUFD
adalah janin yang kecil untuk usia gestasional dan kelompok ini juga sangat
berisiko memicu terjadinya persalinan prematur. Pada kehamilan postterm,
atau usia gestasi lebih dari 41 minggu, resiko IUFD juga semakin
meningkat6.
3. Plasenta
Sejumlah kelainan plasenta berhubungan dengan IUFD misalnya
inflamasi membran, kompresi tali pusat, lesi akibat insufisiensi vaskular
uteroplasental yang tampak sebagai infark dan arteriopati desidua dan tanda
adanya solusio plasenta6.
Soluisio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan
desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir. Solusio
plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu
keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat
impantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Dari banyak
kejadian perdarahan berasal dari kematian sel yang disebabkan oleh iskemik
dan hipoksia. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses
yang terdiri atas pembentukan hematoma yang bisa menyebabkan pelepasan
yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya
yang berdekatan. Kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan

28
oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua yang mempengaruhi
penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal dan plasenta ke
sirkulasi janin. Fungsi plasenta akan terganggu apabila peredaran darah ke
plasenta mengalami penurunan berarti. Sirkulasi darah ke plasenta menurun
manakala ibu mengalami perdarahan banyak dan akut seperti syok. Pada
keadaan sepert ini darah dari arteriola spiralis tidak lagi bisa mengalir ke
dalam ruang intervillus. Hal ini menyebabkan penerimaan oksigen oleh
darah janin yang berada dalam kapiler vili berkurang yang pada akhirnya
menyebabkan hipoksia janin yang bisa berdampak pada kematian janin6.
Kompresi tali pusat dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke
janin akibat tertekannya arteri umbilikalis sehingga dapat menyebabkan
iskemik, hipoksia dan kematian janin. Lilitan tali pusat juga pernah
dilaporkan sebagai salah satu penyebab kematian pada janin6.
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk memantau kesejahteraan janin, ditanyakan
aktifitas gerakan janin pada ibu hamil, bila mencurigakan dapat dilakukan
pemeriksaan kardiotokografi. Selain itu pentingnya menanyakan riwayat
obstetri, keguguran berulang, anak sebelumnya dengan anomali, kondisi
turun temurun, atau pembatasan pertumbuhan, hipertensi gestasional
sebelumnya atau preeklampsia, diabetes melitus gestasional sebelumnya
(GDM), abrupsi plasenta sebelumnya, kematian janin sebelumnya. Riwayat
kehamilan ibu saat ini seperti usia kehamilan pada kematian janin,
komplikasi kehamilan multifetal, trauma abdomen, infeksi. Riwayat
keluarga aborsi spontan berulang, anomali kongenital atau kariotipe
abnormal, kondisi herediter atau sindrom, keterlambatan perkembangan.
Riwayat medis ibu seperti diabetes mellitus, hipertensi kronis, trombofilia,
penyakit autoimun, epilepsi, anemia berat, penyakit jantung atau merokok,
alkohol, obat-obatan atau penggunaan obat-obatan6.
2. Pemeriksaan Klinis

29
Pada inspeksi abdomen didapatkan tinggi fundus uteri berkurang atau
lebih rendah dari usia kehamilan. Pada palpasi tonus uterus menurun dan
terasa lunak serta kontraksi Braxton-Hicks tidak mudah dirasakan dan tidak
teraba gerakan janin. Pada auskultasi tidak terdengar denyut jantung janin6.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasonografi
Saat dugaan kematian janin, pemeriksaan ultrasonografi harus
dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk menentukan usia
kehamilan dan memperkirakan ukuran janin. Pada saat konfirmasi
ultrasonografi harus mencakup kemungkinan kelainan janin, biometri
janin dan penilaian volume cairan ketuban. Hal ini memungkinkan
visualisasi langsung jantung janin, dan pandangan dapat dilengkapi
dengan warna Doppler pada jantung dan tali pusar6.
Gambaran yang diperoleh dari pemeriksaan berupa kurangnya
gerakan janin (termasuk jantung) selama periode pengamatan 10 menit
dengan sonar real-time merupakan bukti kuat kematian janin, secara
bertahap terdapat oligohidramnion dan hancurnya tulang kranial.
Penggunaan ultrasound juga memfasilitasi visualisasi fitur sekunder
lainnya seperti hidrops janin, polihidramnion, anhidramnion, tulang
tengkorak yang tumpang tindih dan edema kulit6.

30
Gambar 4. Hasil USG menunjukkan tulang
tenggkorak janin yang tumpang tindih

b. Foto Polos Abdomen


Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan. Pada foto polos
didapatkan gambaran berupa Spalding sign gambaran tulang tengkorak
yang saling tumpang tindih dan tidak teratur karena pencairan otak dan
perlunakan struktur ligament. Gambaranan janin ini biasanya muncul
setelah 7 hari setelah kematian janin. Gambaran lain seperti hiperefleksi
tulang belakang (Naujokes’s Sign), hiperekstensi tulang leher (Gerhard’s
Sign), gelembung gas (Robert’s sign) pada bilik jantung dan pembuluh
darah besar yang muncul setelah 12 jam dan femur length yang tidak
sesuai dengan usia kehamilan6.

Gambar 5. Foto Polos Abdomen menunjukan janin tunggal dengan


gambaran tulang tengkorak yang saling tumpang tindih dan tidak teratur
(Spalding sign) dan hiperefleksi tulang belakang (Naujokes’s Sign)

c. Laboratorium
Tes laboratorium harus direkomendasikan untuk mengetahui
tentang penyakit ibu atau faktor resiko yang mungkin menyebabkan
IUFD atau kelahiran mati.
1) Pemeriksaan darah lengkap

31
Pemeriksaan darah lengkap dapat membantu dalam mendeteksi
infeksi sebagai penyebab kematian janin, anemia pada ibu yang
mungkin mengindikasikan kondisi seperti thalassemia, kadar
trombosit rendah, Penanda preeklampsia, penyakit autoimun seperti
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dan Idiopathic Thrombocytopenia
Purpura (ITP). Jumlah trombosit untuk mengetahui DIC (diulang dua
kali seminggu)6
2) Uji koagulasi maternal
Pemeriksaan darah untuk memeriksa kadar fibrinogen dan waktu
tromboplastin parsial secara berkala. Bila kematian janin lebih dari 3-
4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan kecenderungan terjadinya
koagulopati6.
3) Serologi
Serologi untuk Cytomegalovirus, Toxoplasma dan Parvovirus B19
harus dilakukan setelah IUFD. Rubella dan Sifilis juga harus
disertakan jika belum dilakukan selama masa antenatal. Transmisi
toksoplasmosis ibu-janin tergantung pada waktu infeksi ibu, semakin
dini janin memperoleh infeksi, semakin parah konsekuensinya, namun
transmisi ibu-janin lebih mungkin terjadi pada kehamilan lanjut6.
4) Pemeriksaan golongan darah dan antibodi
Pemeriksan golongan darah dan antibodi harus dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit hemolitik karena sensitisasi ibu terhadap
antigen sel darah merah, misalnya Rh D dan Kell6.
5) Fungsi Hati
Kelainan pada fungsi hati juga merupakan penanda hepatitis virus,
sitomegalovirus, dan toxoplasmosis. Fungsi hati yang abnormal juga
telah dikaitkan dengan hati berlemak akut kehamilan dan sindrom
HELLP (Haemolysis, Elevated Liver function, Low Platelet)6
6) HbA1c
Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai intoleransi
karbohidrat dengan tingkat keparahan bervariasi dengan onset atau

32
pengenalan pertama selama kehamilan. HbA1c memantau glikemia
selama 3 bulan sebelumnya dengan merefleksikan konsentrasi glukosa
rata-rata selama umur sel darah merah dan oleh karena itu dapat
memberikan informasi untuk membantu pertimbangan kontribusi
diabetes terhadap kematian janin6.
H. Evaluasi Kelahiran Bayi
Penentuan penyebab kematian janin membantu adaptasi fisiologis
terhadap rasa kehilangan yang besar, membantu mengatasi rasa bersalah yang
merupakan bagian dari rasa berkabung, membuat konseling dengan
memperhatikan rekurensi sehingga lebih akurat,dan dapat memastikan terapi
atau intervensi untuk mencegah hasil akhir yang sama pada kehamilan
berikutnya. Identifikasi sindrom yang diturunkan juga member informasi yang
berguna untuk anggota keluarga yang lain6.
1. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan janin, plasenta, dan membran secara cermat harus
dilakukan saat kelahiran dan dicatat pada status. Rincian kejadin prenatal
yang relevan juga disertakan. Fotograf harus diambil untuk
didokumentasikan bila memungkinkan dan gambaran radiografi janin
secara lengkap “fetogram” dapat dilakukan6.
Bila janin mati dalam kehamilan yang telah lanjut terjadi perubahan-
perubahan berikut :
a. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam) : kulit kemerahan (setengah
matang)
b. Maserasi grade I (durasi > 8 jam) : timbul lepuh-lepuh pada kulit,
mula-mula terisi cairan jernih tapi kemudian menjadi merah dan mulai
mengelupas.
c. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari) : kulit mengelupas luas, efusi cairan
serosa di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan
mewarnai air ketuban menjadi merah coklat.
d. Maserasi grade III (durasi >8 hari) : hepar kuning kecoklatan, efusi
cairan keruh, mungkin terjadi mumifikasi. Badan janin sangat lemas,

33
hubungan antara tulang-tulang sangat longgar dan terdapat edema
dibawah kulit.12,13

Gambar 6. A) Kematian janin < 6 jam tampak kulit hiperemia dan


terdapat peteki pada dada. B) Kematian janin sekitar 8 jam tampak kulit
mengelupas diameter 1 cm. C) Kematian janin 36 jam tampak kulit
mengelupas dan terdapat kompresi tulang tengkorak. D) Kematian janin 3-
4 hari tampak pengelupasan kulit yang luas. E) Kematian janin 1 minggu
tampak pengelupasan kulit, overllaping sutura dan mulut terbuka. F)
Overllaping sutura janin

Tabel 2. Protokol Pemeriksaan Kelahiran Mati6


Deskripsi bayi Malformasi
Pewarnaan pada kulit
Derajat maserasi
Warna (pucat, plektorik)
Korda umbilkius Prolapsus
Lilitan (leher,lengan kaki)
Hematoma atau striktur

34
Jumlah pembuluh darah
Panjang
Wharton jelly (normal/tidak ada)
Cairan amnionik Warna (mekonium, darah)
Konsistensi
Volume
Plasenta Berat
Pewarnaan (mekonium)
Bekuan yang melekat
Abnormalitas structural (lobus circumvallata
atau lobus accecorius, insersi velamentosa)
Membrane Berwarna (mekonium, berkabut)
Menebal

2. Evaluasi Laboratorium
Jika autopsi dan pemeriksaan kromoson dilakukan, hingga 35 %
kelahiran mati diketahui mengalami anomali struktural mayor. Sekitar 20%
menunjukan gambaran dismorfik atau abnormal skeletal dan 8%
mengalami abnormalitas kromosonal. The American College of
Obstetricians dan Gynecologists (2009) merekomendasikan karyotiping
secara ideal pada semua kelahiran mati. Tanpa anomali morfologis, hingga
5% kelahiran mati memilki abnormalitas kromosonal6.
Persetujuan yang sesuai harus dilakukan untuk mengambil sampel
jaringan fetus, termasuk cairan yang didapatkan pasca-mortem oleh aspirasi
jarum. Darah janin sebanyak 3 ml yang diambil dari arteri umbilikalis
(pilihan utama) atau punksi kardiak, diletakan dalam tabung steril yng telah
diheparinisasi untuk pemeriksaan sitogenik. Jika darah tidak bisa
didapatkan, The American College of Obstetricians dan Gynecologists
(2009) merekomendasikan setidaknya satu dari beberapa sampel dibawah
ini6 :
a. Blok plasenta sekitar 1x1 cm yang diambil dibawah insersi tali pusat
pada spesimen yang terpisah.
b. Segmen korda umbilikalis sepanjang sekitar 1,5 cm
c. Spesimen jaringan internal janin seperti taut kostokondral atau patella.

35
Jaringan dicuci dengan salin steril sebelum diberikan larutan Ringer
Laktat atau medium sitogenik yang steril. Peletakan sampel di dalam
formalin atau alkohol dapat membunuh sisa sel yang masih hidup dan
mempersulit analisis sitogenik6.
3. Autopsi
Autopsi lengkap berkemungkinan lebih besar menyediakan informasi
yang bermakna6.
I. Penatalaksanaan
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakan, dilakukan pemeriksaan
tanda vital ibu, dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan darah
dan gula darah. Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang
kemungkinan penyebab kematian janin, rencana tindakan, dukungan mental
emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir
pervaginam. Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2
minggu, umunya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif
dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Induksi
persalinan dapat dikombinasi oksitosin dan misoprostol. Hati hati pada induksi
dengan uterus pasca seksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya
rupture uteri6.
Metode terminasi :
1. Infus oksitosin
Cara ini sering dilakukan dan efektif pada kasus-kasus dimana telah
terjadi pematangan serviks. Pemberian dimulai dengan 5-10 unit oksitosin
dalam 500 ml larutan ringer laktat melalui tetesan infus intravena. Pada
kasus yang induksinya gagal, pemberian dilakukan dengan dosis oksitosin
dinaikkan pada hari berikutnya. Infus dimulai dengan 20 unit oksitosin
dalam 500 ml larutan ringer laktat dengan kecepatan 30 tetes per menit.
Bila tidak terjadi kontraksi setelah botol infus pertama, dosis dinaikkan
menjadi 40 unit. Resiko efek antidiuretik pada dosis oksitosin yang tinggi
harus dipikirkan, oleh karena itu tidak boleh diberikan lebih dari dua botol
pada waktu yang sama. Pemberian larutan ringer laktat dalam volume

36
yang kecil dapat menurunkan resiko tersebut. Apabila uterus masih
refrakter, langkah yang dapat diulang setelah pemberian prostaglandin per
vaginam. Kemungkinan terdapat kehamilan sekunder harus disingkirkan
bila upaya berulang tetap gagal menginduksi persalinan6.
2. Prostaglandin
Pemberian gel prostaglandin (PGE2) per vaginam di daerah forniks
posterior sangat efektif untuk induksi pada keadaan dimana serviks belum
matang. Pemberian dapat diulang setelah 6-8 jam. Pada kematian janin 24-
28 minggu dapat digunakan misoprostol secara vaginal 50-100
mikrogram setiap 4-6 jam dan induksi oksitosin. Pada kehamilan diatas 28
minggu dosis misoprostol 25 mikrogram pervaginam/6jam.6
3. Sectio caesarea
Pada kasus IUFD jarang dilakukan. Operasi ini hanya dilakukan pada
kasus yang dinilai dengan plasenta praevia, bekas SC (dua atau lebih) dan
letak lintang6.
4. Embriotomi
Embriotomi adalah suatu tindakan bantuan persalinan dengan cara
merusak atau memotong bagian-bagian tubuh janin agar dapat lahir
pervaginam, tanpa melukai ibu. Terdapat sejumlah tindakan
pembedahan obstetri yang bertujuan untuk memperkecil ukuran kepala,
memperkecil ukuran bahu atau volume rongga dada pada janin mati
dengan tujuan agar dapat dilahirkan per vaginam. Pada era modern
tindakan ini sudah tidak dilakukan lagi dan digantikan dengan tindakan
sectio caesar yang dianggap lebih aman untuk keselamatan ibu6.
Indikasi:
1. Janin mati dan ibu dalam keadaan bahaya (maternal distress) atau
2. Janin mati dan tak mungkin lahir secara spontan
Syarat:
1. Janin sudah mati, kecuali pada kasus hidrosepalus, hidrops fetalis atau
pada kleidotomi
2. Conjugata vera lebih dari 6 vm

37
3. Pembukaan servik > 7 cm
4. Ketuban sudah pcah
5. Jalan lahir normal
Jenis Tindakan dalam embriotomi adalah6:
a. Kraniotomi
Tindakan untuk memperkecil ukuran kepala janin dengan cara
memberi lubang dan mengeluarkan isi tengkorak, sehingga janin dapat
dilahirkan pervaginam. Tindakan kraniotomi biasanya disusul dengan
ekstraksi kepala dengan menggunakan kranioklast sehingga tindakan
ini lazim disebut sebagai tindakan perforasi & kranioklasi . Alat yang
digunakan yaitu :
1) Pisau bedah (scalpel)
2) Perforator SIMPSON

- Peforator memiliki dua daun dengan tepi tajam dan ujung yang
runcing, masing-masing dibatasi dengan “ bahu penahan “
- Tangkai perforator bila daun sedang dalam keadaan tertutup,
akan dalam keadaan terbuka dengan sebuah “penahan”
- “Penahan” tersebut menjaga agar daun perforator selalu dalam
keadaan tertutup
- Dengan menekan gagang secara serempak, daun perforator
akan terpisah satu sama lain ( terbuka )

3) Kranioklast

38
- Terdiri dari dua daun ( sendok jantan dan betina ) yang
pemasangannya dilakukan secara terpisah.
- Sendok jantan dimasukkan kedalam lubang ditengkorak kepala
janin.
- Sendok betina diletakkan pada daerah muka janin.
- Penguncian dilakukan setelah kedua daun terpasang dengan
benar.

Teknik penggunaan :
 Ibu dalam posisi lithotomi.
 Tangan kiri operator dimasukkan secara obstetrik kedalam
jalan lahir dan diletakkan diantara kepala janin dan bagian
simfisis menghadap ke bawah. Seorang asisten melakukan
fiksasi kepala janin dari sebelah luar disebelah atas simfisis.
 Dengan pisau bedah, dibuat lubang pada ubun-ubun besar atau
sutura sagitalis.
 Perforator Naegele dalam keadaan tertutup dimasukkan jalan
lahir secara horisontal dengan bagian lengkung berada diatas
dan ujung yang runcing mengarah kebawah dibawah
perlindungan telapak tangan kiri ( agar tidak mencederai
dinding vesica urinaria) dan selanjutnya ujung perforator
dalam keadaan tertutup dimaskkan kedalam lubang pada
kepala janin yang sudah dibuat sebelumnya.
 Memasukkan perforator dapat dilakukan tanpa terlebih dulu
membuat lubang pada ubun-ubun besar atau sutura sagitalis
yaitu dengan cara menembuskan langsung perforator ke kepala
janin ; dalam hal ini, agar ujung perforator tidak meleset maka
arah perforator harus tegak lurus dengan kepala janin

39
 Setelah perforator berada didalam tengkorak kepala janin,
lubang perforasi diperlebar dengan cara membuka dan
menutup perforator dalam arah tegak lurus dan horisontal
sedemikian rupa sehingga lubang perforasi berbentuk irisan
silang ( gambar 4 )
 Dengan perlindungan telapak tangan kiri, perforator
dikeluarkan dalam keadaan tertutup dari jalan lahir.
 Jaringan otak tak perlu dikeluarkan secara khusus oleh karena
akan keluar dengan sendirinya saat ekstraksi kepala.

Asisten operator menahan posisi kepala agar tidak tertdorong


keatas saat perforator dimasukkan rongga kepala.

Membuka dan menutup perforator untuk melebarkan lubang perforasi


4) Cunam BOER
5) Cunam Mouzeau

40
Untuk ekstraksi kepala setelah tindakan perforasi hanya boleh
dilakukan dimana kulit kepala masih kuat dan hubungan antara
tulang kepala masih kuat dan kepala janin sudah didasar panggul.16

Teknik penggunaanya yaitu


 Dengan perlindungan spekulum, 2 buah cunam Museux dipasang
satu diatas dan satu dibawah lubang perforasi.
 Setelah cunam menjepit kulit kepala dengan baik, dilakukan traksi
searah sumbu jalan lahir sambil mengikuti gerakan putar paksi
dalam.
 Setelah suboksiput dibawah simfisis, dilakukan elevasi kepala
sehingga secara berurutan lahirlah ubun-ubun besar, dahi, muka
dan dagu.
 Setelah kepala janin lahir, tubuh janin dilahirkan dengan cara
seperti biasa.
Catatan :
 Pada letak sungsang, kraniotomi dikerjakan pada foramen magnum
melalui arah belakang atau dari arah muka dibawah mulut.
 Setelah dikerjakan perforasi, ‘after coming head’ dilahirkan dengan
cara seperti persalinan kepala.
 Bila saat ekstraksi kepala terdapat tulang tengkorak yang terlepas
maka serpihan tulang tersebut diambil dengan cunam BOER agar
tidak melukai jalan lahir saat dilakukan ekstraksi kepala.

41
Melakukan perforasi pada after coming head dari bagian belakang

Melakukan perforasi pada after coming head dari arah depan


b. Dekapitasi
Adalah suatu tindakan untuk memisahkan kepala dari tubuh janin
dengan cara memotong leher janin. Indikasi pada janin letak lintang.16
Teknik yang dapat dilakukan.16
a) Dengan pengait Braun
 Bila letak janin adalah letak lintang dengan tangan
menumbung, maka lengan yang menumbung diikat dulu
dengan tali (dengan ikatan SIEGEMUNDIN agar tidak masuk
kembali kejalan lahir) dan ditarik kearah bokong oleh asisten.
 Tangan operator yangdekat dengan leher janin dimasukkan
kedalam jalan lahir dan langsung mencekap leher janin dengan
ibu jari didepan leher dan jari-jari lain dibelakang leher.
 Tangan lain memasukkan pengait BRAUN kedalam jalan lahir
dengan ujung menghadap kebawah. Pengait dimasukkan jalan

42
lahir dengan cara menyelusuri tangan dan ibu jari operator
yang berada didalam jalan lahir sampai menemui leher dan
kemudian dikaitkan pada leher janin

Dengan pengait ini, leher janin ditarik kebawah sekuat mungkin


dan kemudian diputar kearah kepala janin (pada saat yang sama,
asisten memfiksasi kepala anak dari dinding abdomen) untuk
mematahkan tulang leher janin.

Gambar( kiri ) Memasukkan pengait kedalam jalan lahir


Gambar( kanan ) Memasang pengait pada leher janin

Jaringan lunak leher kemudian dipotong dengan gunting SIEBOLD


secara avue sedikit demi sedikit sampai putus. Setelah kepala anak
terpisah, tubuh dilahirkan dengan menarik lengan janin dan
kemudian kepala dilahirkan secara Mouriceau.
b) Dengan gunting siebold

 Tangan penolong yang dekat dengan kepala janin dimasukkan


kedalam jalan lahir.

43
 Dipasang spekulum vagina.
 Dengan dilindungi oleh telapak tangan yang didalam jalan lahir,
leher janin dipotong sedikit demi sedikit dengan gunting
SIEBOLD secara avue mulai dari kulit, otot dan tulang leher.
 Setelah kepala anak terpisah, tubuh dilahirkan dengan menarik
lengan janin dan kemudian kepala dilahirkan secara Mouriceau.
c) Dengan gergaji gigli
 Gergaji kawat GIGLI dilingkarkan di leher janin.
 Dengan perlindungan dua buah spekulum vagina atas dan
bawah, gergaji dinaik turunkan sampai leher janin putus.
 Badan dan kepala anak dlahirkan dengan yang sudah dijelaskan
diatas

1) Gergaji kawat GIGLI. 2) Pemasangan dan pemotongan


leher dengan kawat
c. Kleidotomi
Adalah Tindakan memotong atau mematahkan 1 atau dua buah
klavikula untuk memperkecil diameter lingkar bahu. Indikasinya pada
distosia bahu.
Instrumen yang digunakan : Gunting Dubois atau Gunting
SIEBOLD.16

44
Teknik yang digunakan :
 Pasien berada pada posisi lithotomi
 Satu tangan operator masuk jalan lahir dan langsung memegang
klavikula bawah
 Dengan spekulum yang terpasang di vagina, tangan lain melakukan
pemotongan klavikula bersamaan dengan tindakan ini, assisten
melakukan fiksasi kepala dari arah luar
 Bila dengan satu klavikula yang terpotong, bahu masih masih
belum dapat dilahirkan maka dapat dilakukan pemotongan
klavikula kontraleteral

d. Eviserasi dan Eksenterasi


Adalah Tindakan merusak dinding abdomen atau thorax untuk
mengeluarkan organ viseral. Indikasi yaitu pada letak lintang6.
e. Spondilotomi
Adalah Tindakan memotong ruas tulang belakang. Indikasi Letak
lintang dorso inferior6.
f. Pungsi
Adalah Tindakan untuk mengeluarkan cairan dari kepala janin.
Indikasi pada janin dengan Hidrocephalus16.

J. Komplikasi

45
Kecemasan psikologis sering menjadi masalah, kematian janin secara
psikologis sangat traumatik untuk wanita dan keluarganya. Stress yang lebih
lanjut terjadi pada interval lebih dari 24 jam antara diagnosis kematian janin
dan induksi persalinan, tidak bisa melihat bayinya seprti yang diinginkan dan
tidak memiliki sesuatu untuk dikenang. Wanita yang mengalami kelahiran mati
atau bahkan keguguran dini beresiko lebih tinggi mengalami depresi pasca
partum dan sebaiknya dilakukan pemantauan secara cermat6
Infeksi terjadi terutama pada saat selaput ketuban pecah, infeksi ini
memmbentuk gas biasa disebabkan oleh organisme seperti Cl. Welchii.3
Kelainan koagulasi darah jarang terjadi. Namun jika janin dipertahankan lebih
dari 4 minggu (10-20%), ada kemungkinan defibrinasi dari 'silent'
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Hal ini karena terjadi secara
bertahap penyerapan tromboplastin, terbebas dari plasenta mati dan desidua, ke
dalam sirkulasi ibu6..
Selama persalinan bisa terjadi inersia uteri sehingga plasenta tertahan dan
menimbulkan perdarahan pascapersalinan.
K. Pencegahan
Upaya pencegahan kematian janin, khususnya yang sudah atau
mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak
bergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi. Kehamilan setelah kelahiran mati sebelumnya yang disebabkan
oleh solusio plasenta dan persalinan kurang bulan memilki kemungkinan
besar untuk berulang sedangkan yang disebabkan oleh infeksi dan kehamilan
multifetal lebih jarang terjadi6.
Beberapa faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti kontrol
hipertensi, dan diabetes telah dilakukan. Hampir seluruh kematian janin
berhubungan dengan perkembangan janin terhambat, penilaian anatomis
dengan ultrasonografi fetal dilakukan pada pertengahan kehamilan dan diikuti
oleh pemeriksaan perkembangan serial yang dimulai pada 28 minggu6.
Risiko kekambuhan kelahiran mati masih bervariasi antara 0-8%. Risiko
kekambuhannya meliputi kelainan keturunan, diabetes, hipertensi, trombofilia,

46
solusio plasenta dan malformasi kongenital janin. Sementara IUFD tidak
dapat dicegah secara total, panduan berikut mungkin bisa membantu untuk
mengurangi kekambuhannya6:
1. Konseling dan perawatan pra-konseptional sangat penting untuk mencegah
terjadinya kelompok risiko tinggi.
2. Diagnosis pralahir atau amniosentesis pada kasus tertentu.
3. Untuk menyaring "ibu yang berisiko" selama perawatan antenatal.

III. ANEMIA DALAM KEHAMILAN


A. Pendahuluan
Kehamilan merupakan kondisi alamiah yang unik karena meskipun
bukan penyakit, tetapi seringkali menyebabkan komplikasi akibat berbagai
perubahan anatomi serta fisiologi dalam tubuh ibu. Salah satu kondisi akibat
berbagai perubahan fisiologi yang terjadi adalah perubahan hemodinamik.
Selain itu darah yang terdiri atas cairan dan sel-sel darah berpotensi
menyebabkan komplikasi perdarahan dan thrombosis jika tidak terjadi
ketidakseimbangan faktor-faktor prokoagulasi dan hemostasis.
Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai
hemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai
hemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada trimester dua. Perbedaan nilai batas
diatas dihubungkan dengan kejadian hemodilusi7.
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan
sel darah merah (eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma
terjadi penurunan konsetrasi hemoglobin (Hb) akibat hemodilusi7.
Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit (Ht),
konsetrasi hemoglobin darah (Hb) dan dihitung eritrosit, tetapi tidak
menurunkan jumlah absolute Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Ekspansi
volume dimulai pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai maksimum pada
minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus meningkat sampai minggu ke-22
ketika titik keseimbangan tercapai. Sebab itu, apabila ekspansi volume plasma

47
yang terus menerus tidak diimbangi dengan peningkatan produksi eritropoetin
sehingga menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah
batas normal, timbulah anemia. Umumnya ibu hamil dianggap anemia jika
kadar hemoglobin di bawah 11 g/dl atau hematokrit kurang dari 33%7.
Penyebab anemia tersering adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Seringkali
defisiensinya bersifat multiple dengan manifestasi klinik yang disertai infeksi,
gizi buruk atau kelainan herediter seperti hemoglobinopati. Namun, penyebab
mendasar anemia nutrisional meliputi asupan yang tidak cukup, absobsi yang
tidak adekuat, bertambahnya zat-zat gizi yang hilang, kebutuhan yang
berlebihan dan kurangnya utilitas nutrisi hematopoetik. Sekitar 75% anemia
pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi yang memperlihatkan
gambaran eritrosit mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Penyebab
tersering kedua adalah anemia megaloblastik yang dapat disebabkan oleh
defisiensi asam folat dan defisiensi vitamin B12. Penyebab anemia lainnya
yang jarang ditemui antara lain adalah hemoglobinopati, proses inflamasi,
toksisitas zat kimia, dan keganasan7.
Akibatnya kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi
peningkatan produksi eritrosit dan rentan untuk terjadinya anemia, terutama
anemia defisiensi besi. Anemia pada kehamilan dapat berakibat buruk baik
terhadap ibu maupun janin yang dikandungnya7.
B. Epidemiologi
Anemia merupakan gangguan kesehatan paling sering dijumpai pada
kehamilan. Menurut The World Health Organization (WHO), diagnosis
anemia dalam kehamilan ditegakkan bila kadar hemoglobin (Hb) < 11 g/dl
(7,45 mmol/L) dan hematokrit < 0,33. Prevalensi umum anemia berbeda-beda
di berbagai negara maju, sekitar 18% ibu hamil menderita anemia tetapi di
negara berkembang mencapai sekitar 56% (35-75%) seluruh ibu hamil.
Namun, banyak di antara mereka yang telah menderita anemia pada saat
konsepsi, dengan perkiraan prevalensi sebesar 43% pada perempuan yang
tidak hamil di negara berkembang dan 12% di negara yang lebih maju.
Anemia jelas menjadi momok karena memiliki dampak yang signifikan bagi

48
mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal di seluruh dunia, terlebih di
negara berkembang7.
C. Perubahan Hemodinamik Pada Ibu Hamil
Pada kehamilan kebutuhan oksigen tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan
sel darah merah (eritropoesis) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma
terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan
eritrosit sehingga terjadi penurunan konsetrasi hemoglobin (Hb) akibat
hemodilusi8.
Ekspansi volume plasma merupakan penyebab anemia fisiologi pada
kehamilan. Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit (Ht),
konsentrasi hemoglobin darah (Hb) dan hitung eritrosit, tetapi tidak
menurunkan jumlah absolute Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Mekanisme
yang mendasari perubahan ini belum jelas. Ada spekulasi bahwa anemia
fisiologi dalam kehamilan bertujuan menurunkan viskositas darah maternal
sehingga meningkatkan perfusi plasental dan membantu penghantaran oksigen
serta nutrisi ke janin8.
Ekspansi volume plasma mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan
mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus
meningkat sampai minggu ke-37 kehamilan. Pada titik puncaknya, volume
plasma sekitar 40% lebih tinggi pada ibu hamil dibandingkan perempuan yang
tidak hamil. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobin dan hitung
eritrosit biasanya tidak tampak pada minggu ke-7 sampai minggu ke-8
kehamilan dan terus menurun sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik
kesembangan tercapai7..
Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit
karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat.
Sedangkan pada awal trimester kedua pertumbuhan janin sangat cepat dan
janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan menelan air ketuban sehingga lebih
banyak kebutuhan oksigen yang diperlukan7.

49
Perbedaan ini terjadi sesuai dengan proses perkembangan dan
pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang cepat
dan penyempurnaan susunan organ tubuh8.
D. Etiologi Anemia8
1. Anemia defisiensi besi
a. Defisiensi besi (iron depletion)
 Feritin serum darah turun
 Hemosiderin sumsum tulang turun
 Parameter status besi normal
 Reabsorbsi meningkat
b. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erytropoesis)
 Cadangan besi kosong (sangat kurang)
 Transportasi besi menurun (serum besi turun)
 Saturasi transferin dan protoporfirin meningkat
 Hemoglobin dan hematokrit normal
 Secara klinis tidak dijumpai anemia
2. Anemia karena infeksi
a. Infeksi cacing tambang
Terjadi perdarahan menahun, kehilangan darah melalui intestinum
b. Infeksi malaria
Kehilangan darah karena terjadi hemolisis eritrosit dalam proses
infeksi
c. Infeksi HIV
 Menimbulkan gangguan sistem eritropoetik
 Mengurangi reaksi terhadap obat antianemia
3. Anemia karena kekurangan asam folat
 Megaloblastik anemia
 Gangguan proses pembentukan eritrosit
 Asam folat makanan kurang karena terlalu lama direbus
 Memanaskan makanan berulang

50
4. Anemia karena kelainan hemoglobin (hemoglobinopathies)
 Siklus sel anemia
 Thalassemia anemia
E. Derajat Anemia
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status
anemia ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun 1972 yang
ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥ 11 gr/dl), anemia ringan (8-
11 gr/dl) dan anemia berat (< 8 gr/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan
darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28
mg/dl, kadar hemoglobin terendah 7,63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl4.
Klasifikasi anemia yang lain adalah :
 Hb 11 gr% : tidak anemia
 Hb 9-10 gr% : anemia ringan
 Hb 7-8 gr% : anemia sedang
 Hb < 7 gr% : anemia berat
Tabel 1. Nilai batas untuk anemia pada kehamilan7
Status kehamilan Hemoglobin (gr/dl) Hematokrit (%)
Tidak hamil 12,0 36
Hamil
 Trimester 1 11,0 33
 Trimester 2 10,5 32
 Trimester 3 11,0 33

F. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia dipaparkan dalam tabel 1. Anemia herediter jarang
dijumpai dan lebih sering terjadi di beberapa daerah geografi tertentu. Contoh,
thalassemia lebih sering terjadi di Asia, sementara hemoglobinopati sel sabit
umum dijumpai di Afrika, khususnya di daerah-daerah dimana malaria
falcifarum lazim dijumpai8.

Tabel 1. Berbagai jenis anemia dalam kehamilan8


I. Penyebab herediter

51
 Thalassemia
 Hemoglobinopati sel sabit
 Hemoglobinopati lainnya
 Anemia hemolitik herediter
II. Penyebab yang didapat
1. Nutrisional
 Anemia defisiensi besi (anemia hipokromik
mikrositik)
 Anemia defisiensi asam folat (anemia
megaloblastik)
2. Anemia akibat kegagalan sumsum tulang
(anemia aplastik atau hipoplastik)
3. Anemia akibat inflamasi, penyakit kronik atau
keganasan
4. Anemia akibat perdarahan akut
5. Anemia hemolitik didapat

G. Pengaruh Anemia Pada Kehamilan Dan Janin


1. Pengaruh anemia terhadap kehamilan9
a. Bahaya selama kehamilan
 Risiko abortus
 Persalinan premature
 Hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim
 Mudah terjadi infeksi
 Ancaman dekompensasi cordis (Hb < 6 gr%)
 Mola hidatinosa
 Hiperemesis gravidarum
 Perdarahan antepartum
 Ketuban pecah dini (KPD)
b. Bahaya saat persalinan
 Gangguan his (kekuatan mengejan)
 Kala I dan Kala II berlangsung lama
 Kala III berisiko untuk terjadi retensio plasenta dan perdarahan
postpartum karena atonia uteri

52
 Kala IV dapat terjadi perdarahan postpartum sekunder dan atonia
uteri
c. Pada waktu nifas
 Terjadi subinvolusi uteri menimbulkan perdarahan postpartum
 Risiko infeksi puerperium
 Produksi ASI berkurang
 Dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan
 Anemia saat nifas
 Mastitis
d. Bahaya terhadap janin
 Abortus
 Intrauterine fetal death (IUFD)
 Persalinan premature
 Berat badan lahir rendah
 Kelahiran dengan anemia
 Dapat terjadi cacat bawaan
 Sistem imun tubuh bayi yang rendah atau mudah terinfeksi
 Tahap intellegensi rendah
H. Diagnosa Anemia
Diagosa anemia dalam kehamilan dapat ditegakkan dengan :
a. Anamnesis
Pada anamnesis akan didapatkan keluhan lelah, sering pusing, mata
berkunang-kunang dan keluhan mual, muntah lebih berat pada hamil
muda. Bila terdapat keluhan lemah, nampak pucat, mudah pingsan,
sementara masih dalam batas normal, maka perlu dicurigai anemia
defisiensi zat besi7.

b. Pemeriksaan darah

53
Pemeriksaan darah Hb dan darah tepi akan memberikan kesan
pertama. Pemeriksaan Hb dengan spektofotometri merupakan standar,
kesulitan adalah alat ini hanya tersedia di kota. Di Indonesia penyakit
kronik seperti : malaria dan tuberculosis (TBC) masih relatif sering
dijumpai sehingga pemeriksaan khusus darah tepi dan sputum perlu
dilakukan. Dengan pemeriksaan khusus untuk membedakan dengan
defisiensi asam folat dan thalassemia. Pemeriksaan Mean Cospuscular
Volume (MCV) penting untuk menyingkirkan thalassemia. Bila terdapat
batas MCV < 80 uL dan kadar RDW (Red cell Distribution Width) > 14 %
mencurigai akan penyakit ini kadar Hemoglobin Fetal (HbF) > 2% dan
HbA2 yang abnormal akan menentukan jenis thalassemia10.

Alur diagnosis dan tatalaksana anemia pada kehamilan7

54
ANEMIA PADA
KEHAMILAN
PEMERIKSAAN :
ANAMNESA ANEMIA : 1. Pemeriksaan fisik
1. Cepat lelah 2. Pemeriksaan lab. Dasar
2. Mata berkunang 3. Periksa faal :
3. Saring pusing  Liver
4. Nafsu Makan kurang
 Ginjal
5. Keluhan hamil  hemopoitisis
bertambah 4. Nafsu Makan kurang

SEBAB ANEMIA :
6. Defisiensi besi
7. Anemia infeksi
8. Kekurangan asam folat
9. Gangguan hemoglobin

ANEMIA ANEMIA ANEMIA


RINGAN : SEDANG : Hb 7- BERAT :
Hb 9-10 gr% 8 gr% Hb <7 gr

PENGOBATAN
ANEMIA :
10. Suplemen Zat besi
11. Transfusi darah
12. Tingkatkan gizi
13. Kesehatan lingkungan
diperbaiki

KOMPLIKASI ANEMIA :
1. Pada trimester pertama berkaitan dengan abortus
2. Trimester II-III
 Persalinan premature
 Pendarahan antepartum
 BBLR
 Gestosis-decompensasi cordis
 IQ rendah
3. Inpartu
 Gangguan kerja sama 3P
 Persalinan dengan tindakan
4. Pasca partus
 Infeksi puerperalis
 Perlukaan
I. PENCEGAHAN DAN sukar sembuh-perdarahan
PENANGANAN ANEMIA

55
1. Pencegahan anemia
Untuk menghindari terjadinya anemia sebaiknya ibu hamil
melakukan pemeriksaan sebelum hamil sehingga dapat diketahui data
dasar kesehatan ibu tersebut, dalam pemeriksaan kesehatan disertai
pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan tinja sehingga diketahui
adanya infeksi parasit8.
2. Penanganan pada anemia sebagai berikut7 :
a. Anemia ringan
Pada kehamilan dengan kadar Hb 9-10 gr masih dianggap ringan
sehingga hanya perlu kombinasi 60 mg/hari zat besi dan 500 mg asam
folat peroral sekali sehari.
b. Anemia sedang
Pengobatan dapat dimulai dengan preparat besi feros 600-1000
mg/hari seperti sulfat ferrous atau glukonas ferrous.
c. Anemia berat
Pemberian preparat besi 60 mg dan asam folat 400 mg, 6 bulan
selama hamil., dilanjutkan sampai 3 bulan setelah melahirkan.

PEMBAHASAN

56
Pasien wanita Ny.M 26 tahun GIIPIA0 masuk rumah sakit tanggal 19
Maret 2020 pukul 08.15 WITA, Pasien rujukan dari PKM masuk RS
Konawe Selatan datang dengan keluarnya darah dari jalan lahir yang
dialami sejak ± 8 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Perdarahan
berwarna merah kehitaman sebanyak ± 1 sarung disertai nyeri perut. Pada
saat usia kehamilan 2 bulan pasien pernah mengalami perdarahan dari jalan
lahir setelah melakukan pijat urut dengan dukun. Pada kasus ini pasien
mengalami perdarahan antepartum berupa solusio plasenta. Solusio plasenta
adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari tempat
implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan
sebelum janin lahir. Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan
merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di
bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis
dan keluar melalui vagina.
Etiologi solusio plasenta pada kasus ini belum diketahui jelas, namun pasien
memiliki riwayat pada saat usia kehamilan 2 bulan pasien pernah mengalami
perdarahan dari jalan lahir setelah melakukan pijat urut dengan dukun. Etiologi
solusio plasenta secara teori belum diketahui dengan jelas, namun terdapat
beberapa keadaan tertentu yang menyertai : hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan
merokok, usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun, multiparitas, tali pusat yang
pendek, defisiensi asam folat, perdarahan retroplasenta, penyalahgunaan alcohol
dan obat-obatan. Predisposisi pelepasan plasenta lainnya sering adalah merokok,
peregangan uterus berlebihan (misal, kehamilan multiple, hidramnion), penyakit
vascular (misal, diabetes mellitus, kelainan kolagen), anemia hemolitik
mikroangiopati dan anomali atau tumor uterus. Terdapat penyebab yang memicu
langsung (hanya pada 1%-5%) terjadinya solusio plasenta yaitu plasenta
sirkumvalata, trauma uterus langsung (misal versi luar, kecelakaan mobil dan
kecelakaan lainnya), pengurangan mendadak cairan amnion atau tali pusat yang
pendek3.

57
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringanya gambaran klinis
sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio plasenta
ringan, sedang dan berat. Berdasarkan gejala klinis pada pasien berupa perdarahan
hebat disertai nyeri dan tegang pada perut dan pasien merasakan pergerakan janin
berkurang sejak 5 jam sebelumnya serta tidak ditemukan Denyut jantung janin
yang menandakan telah terjadi kematian janin dalam rahim maka pasien masuk
dalam klasifikasi solusio plasenta berat. Pada solusio plasenta berat yang di
temukan gejala berat dan terdapat pada hampir 24% kasus, perdarahan
pervaginam dari tidak ada sampai berat, uterus tetanik dan sangat nyeri, syok
maternal, hipofibrinogenemi (<150 mg/dl), koagulopati serta kematian janin.
Keluhan lain yang dirasakan pusing (+), lemas (+), pada pemeriksaan
fisik ditemukan konjungtiva anemis (+/+), riwayat tranfusi darah 1 kantong
dari RS. Konawe dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 6.0
mg/dl yang menandakan pasien menderita anemia dalam kehamilan.
Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai
hemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai
hemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada trimester dua. Penyebab anemia
pada pasien ini karena terjadi perdarahan akut yang masif yang merupakan
komplikasi akibat adanya solusio plasenta. Komplikasi solusio plasenta
berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus berlangsung sehingga
menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia, syok hipovolemik,
insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal ginjal
mendadak dan uterus Couvelaire disamping komplikasi sindroma
insufisiensi fungsi plasenta pada janin berupa kematian perinatal yang
tinggi.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan obsetrik ditemukan pasien dengan
keadaan umum sakit sedang, tampak lemah dengan kesadaran
komposmentis. Tekanan Darah 140/90 mmHg, Nadi 78x/menit, Pernapasan
18x/menit, suhu 36,6, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
Abdomen Cembung ikut gerak napas, striae gravidarum (+), linea nigra (+),
nyeri tekan suprapubik (+), defans muskular (+).TFU teraba 4 jari diatas

58
umbilicus (pertengahan proc.xyphoideus-umbilicus). Punggung kanan,
Denyut Jantung Janin (-), Bagian terbawah kesan kepala, Kepala belum
masuk panggul, Taksiran berat janin 2640 gr, gerakan janin (-), His (-).
Pemeriksaan dalam vagina tidak dilakukan, Pemeriksaan dalam vagina dari
RS Konawe Selatan didapatkan tidak ada pembukaan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik kondisi pasien ini termasuk dalam solusio
plasenta sedang, Dalam hal ini plasenta terlepas dari ¼ bagian, akan tetapi belum
2/3 luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, tetapi dapat juga mendadak dengan gejala sakit perut terus-
menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam.
Walaupun perdarahan pervaginam sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin
telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula
janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat.
Dinding uterus teraba tegang terus menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-
bagian janin sukar untuk diraba. Jika janin masih hidup, bunyi jantung sukar
didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi,
walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat.
Tatalaksana pada kasus ini dilakukan tindakan seksio sesaria karena pasien
termasuk dalam solusio plasenta berat. Penanganan solusio plasenta didasarkan
kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di
rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu
seksio sesaria. Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti
perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka tranfusi darah harus
segera diberikan.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Hollingworth, Toni. 2012. Diagnosis Banding dalam Obstetri dan Ginekologi.


Perdarahan pada Kehamilan Lanjut Hal. 271-274. Jakarta : EGC
2. F. Gant, Norman. F. Gary, Cunningham. 2011. Dasar-dasar Ginekologi dan
Obstetri. Perdarahan Hal 512-515. Jakarta : EGC
3. C. Berson, Raplh. L. Pernoll, Martin. 2009. Buku Saku Obstetri dan
Ginekologi Edisi 9. Komplikasi pada Kehamilan Lanjut Hal. 324-329. Jakarta
: EGC
4. Llewellyn, Derek. Jones. 2001. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi Edisi 6.
Perdarahan Antepartum Hal. 109-112. Jakarta : Penerbit Hipokrates
5. Gede Manuaba, Ida Bagus. 2001. Kapita Selekta Penatalaksaan Rutin
Obstetri Ginekologi dan KB. Obstetri Darurat Hal. 440-443. Jakarta : EGC
6. Cunningham Et all. 2013. Obstetri Williams Edisi 23 Vol 1. Kematian Janin
Hal 568-662. Jakarta: EGC
7. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Kelainan hematologik Hal.
774-780. Jakarta : PT Bina Pustaka Srwono Prawirohardjo
8. N. Schechter, Alan. Hemoglobin research and the origins of molecular
medicine. Molecular Medicine Branch. Bethesda: Blood Journal Vol. 112.
2008. Page 3927-3928
9. Hollingworth, Toni. 2012. Diagnosis Banding dalam Obstetri dan Ginekologi.
Anemia dalam kehamilan Hal. 3-9. Jakarta : EGC
10. Gede Manuaba, Ida Bagus. 2001. Kapita Selekta Penatalaksaan Rutin
Obstetri Ginekologi dan KB. Anemia dalam Kehamilan Hal. 50-55. Jakarta :
EGC

60

Anda mungkin juga menyukai