Anda di halaman 1dari 44

CASE REPORT

P1A0 Partus Maturus d/ SC a.i gagal drip + PEB

Danti Julianti
12100116028

Dokter Pembimbing:
dr. H. Dadan Susandi, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD DR. SLAMET GARUT
2017

0
BAB I

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. V
Umur : 20 thn
Alamat : Pakenjeng
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
No. Medrek : 010122XX
Masuk RS : 02 Mei 2017
Keluar RS : 04 Mei 2017

Nama Suami : Tn. F


Umur : 25 thn
Alamat : Pakenjeng
Pendidikan : STM
Pekerjaan : Wiraswasta

2. Anamnesis
Dikirim oleh : Bidan
Sifat : Rujukan
Keterangan : Tekanan Darah Tinggi

A. Keluhan Utama:
Darah Tinggi

B. Anamnesis Khusus
G1P0A0, mengaku hamil 9 bulan datang dengan keluhan tekanan
darah tinggi. Os mengatakan baru mengetahui memiliki darah tinggi 3 hari
yll ketika kontrol kehamilan ke bidan. Pasien juga mengeluhkan sakit
kepala dan pusing. Pasien menyangkal adanya pandangan kabur, nyeri ulu

1
hati dan kejang. Os mengatakan ada mules-mules sejak 5 jam SMRS,
mules dirasakan semakin sering namun tidak semakin kuat. Os
mengatakan telah keluar lendir campur darah. Os Menyangkal telah keluar
air-air. Gerakan janin dirasakan sejak 4 bulan yll hingga saat ini.
Pasien menyangkal memiliki riwayat darah tinggi diluar
kehamilan.

Riwayat Obstetri

Kehamil Tempat Penolon Cara Cara BB Jenis Usia Keadaan :


an ke g kehamilan persalinan Lahir Kelamin Hidup/Mati

I KEHAMILAN SAAT INI

C. Riwayat Perkawinan :
Status : Perempuan : Menikah pertama kali
Laki- laki : Menikah pertama kali
Usia saat menikah : Perempuan : 20 tahun, SMP, IRT
Laki-laki : 25 tahun, STM, Wiraswasta
D. Haid
Siklus haid : Teratur
Lama haid : 4-5 hari
Banyaknya darah : Sedang, 3X ganti
Nyeri haid : Tidak ada
Menarche usia : 13 tahun
HPHT : 10 08 2016
TP : 17 05 2017

E. Riwayat kontrasepsi
Belum pernah menggunakan kontrasepsi

F. Prenatal Care :
Datang untuk kontrol kehamilan ke Bidan dengan jumlah kunjungan 6x
kali, terakhir 29 April 2017

G. Keluhan selama kehamilan


Tidak ada

H. Riwayat penyakit terdahulu

2
Riwayat penyakit jantung, paru-paru , penyakit ginjal, penyakit liver,
penyakit Diabetes militus, penyakit epilepsi, riwayat asma bronchial
disangkal pasien dan riwayat hipertensi sebelum kehamilan disangkal.

3. Status Praesens
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tensi : 190/120 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : Afebris
Kepala : Konjungtiva Anemis : -/-
Sklera ikterik : -/-
Leher : Tiroid : Tidak ada kelainan
KGB : Tidak ada kelainan
Cor : Bunyi jantung I-II murni reguler
Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : VBS kiri = kanan, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Cembung lembut, NT (-), DM (-)
Hepar dan Lien: Sulit dinilai
Ekremitas : Edema tungkai +/+,
Varises -/-

4. Status Obstetrik
1) Pemeriksaan luar
Tinggi Fundus Uteri : 33 cm
Lingkar Perut : 106 cm
Letak Anak : Kepala, Puka, U
HIS : + ( 1x / 10 m, selama 10 detik )
BJA : 152 x/menit, reguler
2) Inspekulo :
Tidak dilakukan
3) Pemeriksaan Fornises :
Tidak dilakukan
4) Pemeriksaan Dalam : (setelah loading MgSO4)
Vulva : Tidak ada kelainanan
Vagina : Tidak ada kelainanan
Portio : Tebal lunak
Pembukaan : 1 cm
Ketuban : +

3
Bag. Terendah: kepala, puka , st -4

5. Rencana Pengelolaan

1) Rencana persalinan pervaginam


2) Infus RL 500cc/ 20 gtt / menit
3) Nifedipin 3 x 10 mg
4) Metyldopa 3 x 500 mg
5) Loading dose MgSO4 4g dalam RL 100 cc habis dalam 15 menit
6) Maintenance MgSO4 10g dalam 500 cc 20 gtt/menit
7) Observasi KU, TTV, His, DJJ, kemajuan persalinan
8) Motivasi KB Setuju IUD

6. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan:
1) Hematologi (02/05/2017 01:10)
Darah rutin:
a. Hemoglobin : 14.0 mg/dl (13.0 18.0)
b. Hematokrit : 41% (40 52 %)
c. Leukosit : 8750 /mm3 (3.800-10.600)
d. Trombosit : 325.000 /mm3 (150.000-440.000)
e. Eritrosit : 5.01 juta/mm3 (3.3 6.3)
2) Urin rutin:
a. Kimia urin
Berat jenis urine : 1.025 (1.002-1.030)
Blood Urine : POS (+++)
Leukosit esterase : POS (+)
pH urine : 6.5 (4.8-7.3)
Nitrit Urine : Negatif Negatif
Protein urine : Positif (+++) Negatif
Glukosa Urine : Negatif Negatif
Keton urine : Positif (+++) Negatif
Urobilinogen urin: Normal 0.2-1.0
Bilirubin urine : Negatif Negatif
Imunoserologi
HIV : Non Reaktif
Kimia Klinik
AST (SGOT) : 60 U/L s/d 31
ALT ( SGPT) : 20 U/L s/d 31

7. Diagnosa Awal
G2P1A0 parturien 37-38 minggu kala 1 fase laten dengan PEB

4
Pemantauan Persalinan TD N R S HIS DJJ KET

02/05/2017 190/120 96 18 Af - 152 -loading MgSO4


14.35 -Nifedipin 10 mg
-Methyldopa 500mg
-PD : ( setelah loading
MgSO4)
15.00 170/100 88 20 Af 1 x dalam 149 -Maintenance MgSO4
10 menit - V/V : tak
selama 10 145 Portio : tebal lunak
detik Pembukaan : 1 cm
150 Ketuban : +
Bag. Terendah : kepala,
144 station 4
Presentasi : ubun-ubun
kecil
19.00 150/90 92 22 Af 1 -2 x 140 PD :
dalam 10 - V/V : tak
menit 133 Portio : tebal lunak
selama 10 Pembukaan : 1 cm
detik 148 Ketuban : +
Bag. Terendah : kepala,
150 station 3
Presentasi ubun-ubun kecil

23.00 150/90 76 20 Af 2 x dalam 145 - PD :


10 menit V/V : tak
selama 10 150 Portio : tebal, lunak
detik Pembukaan : 2 cm
143 Ketuban +
Bagian terendah : kepala,
148 station -1
Presentasi : ubun2 kecil
Drip oxy 5 unit dlm d5%
labu 1

03.00 160/100 88 22 Af 2 x dalam 150 - PD :


10 menit V/V : tak
selama 30 148 Portio : tebal, lunak
detik Pembukaan : 2-3 cm
154 Ketuban +
Bagian terendah : kepala,
158 station -1
Presentasi : ubun2 kecil
Drip oxy 5 unit dlm d5%
labu 2
07.00 140/90 96 20 Af 2-3 dalam 157 - PD :

5
10 menit V/V : tak
selama 30 Portio : tebal, lunak
detik Pembukaan : 2-3 cm
Ketuban +
Bagian terendah : kepala,
station -1
Presentasi : ubun2 kecil

08.00 140/90 92 18 Af 155 Diputuskan untuk


dilakukan SC

8. Laporan Operasi

Jam Operasi Mulai : 08.50


Nama : Ny. E No. CM : 903xxx
Jam Operasi Selesai :09.50
Umur : 20 Tahun Ruangan : Kalimaya
Lama Operasi : 1 Jam

Akut / Terencana : Akut Tanggal : 3 Mei 2016

Operator : Asisten I : Ibu Elis Perawat Instrumen:


dr. Dhanny, Asisten II : Ibu Ita
Sp.OG

Ahli Anestesi : Asisten Anestesi : Jenis Anestesi : Spinal

dr. Dhadi Sp.An Ibu Fitri Obat Anestesi :

Diagnosa Pra-Bedah : Indikasi Operasi :

G1P0A0 parturien 37-38 minggu Gagal drip +PEB


kala 1 fase laten dengan gagal
drip + PEB
Diagnosa Pasca bedah : Jenis Operasi :

P1A0 Partus Maturus d/ SC ai SCTP + IUD


Gagal drip + PEB + Insersi IUD

Kategori Operasi : Besar


Disinfeksi dengan : Povidone Iodine Jaringan yang di eksisi : Tidak dikirim
PA

6
Laporan Operas Lengkap :
- Dilakukan tindakan a dan antiseptic di daerah abdomen dan sekitarnya.
- Dilakukan insisi mediana pfanensteil sepanjang 10 cm.
- Setelah peritoneum dibuka, tampak dinding uterus.
- Plika vesikouterina disisihkan ke bawah, disayat melintang.
- Kandung kemih disisihkan ke bawah dan ditahan dengan retraktor abdomen.
- SBR disayat konkaf, bagian tengahnya ditembus oleh jari penolong dan
diperlebar ke kanan & kiri.
- Jam 09.05 lahir bayi laki-laki hidup dengan meluksir kepala
BB 3840 gram APGAR : 2-5
PB 49 cm
Disuntikkan Oksitosin 10 IU Intramural. Kontraksi baik.
- Jam 09.07 lahir plasenta dengan tarikan ringan pada tali pusat.
B 650 gram Ukuran 12 x 6 x 2 cm
- SBR dijahit lapis demi lapis. Lapisan pertama dijahit secara jelujur interloking
- Sebelum lapisan pertama dijahit seluruhnya, dipasang IUD COOPER T 380 A
- Lapisan ke-2 dijahit secara jelujur.
- Setelah yakin tidak ada perdarahan, dilakukan reperitonealisasi dengan
peritoneum kandung kencing hingga menutupi uterus.
- Perdarahan dirawat.
- Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah.
- Fascia dijahit dengan safil No 1, kulit dijahit secara subkutikular.
- Perdarahan selama operasi 400 cc
- Diuresis selama operasi 200 cc
INTRUKSI PASCA BEDAH :
Observasi : KU, tensi, Nadi, Respi, suhu, perdarahan
Puasa : -
Infus :
Antibiotik : ceftriaxone 2x1 gr IV, metronidazole 3x500 mg
Lain-lain : kaltrofen 2x1 supp
Lain-lain : Ganti Perban POD 3
Cek Hb post-op, transfusi bila Hb <8 g/dL

9. Diagnosis Akhir
P1A0 Partus Maturus d/ SC a.i gagal drip + PEB + insersi IUD

7
BAB II

PERTANYAAN KASUS

1. Bagaimana penegakkan diagnosis pada kasus ini?

- Pasien mengatakan bahwa ini merupakan kehamilan pertama, belum

pernah melahirkan dan belum pernah mengalami abortus G1P0A0


- HPHT pasien yaitu pada tanggal 10 Agustus 2016, dan pasien datang

pada tanggal 02 Mei 2017. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien

sudah merasa adanya mulas-mulas sejak 5 jam SMRS yang terasa tidak

semakin kuat dan tidak terlalu sering, namun menyangkal adanya keluar

air-air dan menyangkal keluar lendir campur darah G1P0A0 parturien

37-38 minggu
- Dari anamnesis pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi sejak 3

hari yang lalu yang diketahui ketika kontrol ke bidan. Dari pemeriksaan

fisik didapatkan tekanan darah 190/120 dengan hasil tes dipstick (+3),

dilakukan pemeriksaan urin rutin dan didapatkan hasil protein urine POS

+++. Keluhan riwayat darah tinggi sebelum kehamilan disangkal. Pre-

eklamsia berat
- Jadi diagnosis untuk pasien ini: G1P0A0 Parturien 37-38 minggu kala 1

fase laten dengan PEB


- Setelah melihat kemajuan persalinan di Rumah sakit , pada pasien

dengan primigravida diharapkan telah mencapai fase aktif setelah 8 jam

merasakan mule-mules, tetapi pada pasien ini telah mengeluhkan

mules-mules yang jarang dan tidak semakin kuat sejak 5 jam SMRS dan

belum mencapai fase aktif pada pukul 18.00. Saat pemeriksaan fisik

8
didapatkan pasien memiliki HIS 1 x/ 10menit selama 10 detik

sehingga dilakukan augmentasi drip oxy


- Pada pasien setelah 8 jam habis 2 labu drip oxytoxin tidak ada kemajuan

bermakna tidak mencapai fase aktif Gagal Drip


- Gagal drip merupakan salah satu indikasi SC Sehingga pada pasien

dilakukan SC
- Sehingga diagnosis akhirnya P1A0 Partus Maturus dengan SC a.i

Gagal Drip + PEB

2. Apa Faktor Resiko Pada Kasus Ini


- Pasien masih muda = 20 tahun
- Nulipara

3. Bagaimanakah prognosis pada pasien ini?


- Quo ad vitam pada pasien ini dubia ad bonam karena dilakukan

terminasi kehamilan dengan persalinan perabdominam keadaan pasien

hidup dalam kondisi baik. Dengan kondisi bayi 1 hidup dan lahir dengan

Berat badan 3840 gram , Panjang Badan 49cm, dan APGAR score 2-5,

tanpa adanya kelainan kongenital.


- Quo ad functionam pasien ini untuk fungsi reproduksi dubia ad bonam

karena telah dilakukan persalinan perabdominam. Fungsi seksual dan

menstruasi ad bonam. Pada kasus prognosis baik karena telah dilakukan

tatalaksana untuk menstabilkan keadaan umum. Diberikan infus cairan

kristaloid untuk mengganti cairan tubuh. Saran untuk pasien agar

memberikan jarak untuk kehamilan kedua karena dikhawatirkan akan

terjadi PEB berulang walaupun jarang.

9
1. Apakah pengelolaan kasus ini sudah tepat?

- Pengelolaan pasien ini sudah tepat, karena pasien diberikan terapi sesuai

dengan buku panduan praktik klinis obstetri dan ginekologi UNPAD yaitu

diberikan Nifedipine 10 mg dan Metyldopa 300 mg untuk menurunkan

tekanan darah tinggi nya dan pemberian infus RL dan pemberian MgSO4

loading dose intravena 4gram MgSO4 10cc 40% yang dilarutkan ke dalam

100cc RL diberikan selama 15-20 menit serta dosis pemeliharaan yaitu

10gram MgSO4 dalam 500cc RL. Tetapi untuk terminasi kehamilan, pasien

direncanakan untuk dilakukan persalinan pervaginam.


- His pada pasien ini tidak adekuat yaitu 1-2x/ 10 menit dengan durasi 10 detik

maka dapat disimpulkan os mengalami Inersia Uteri Hipotonik (IUH)

sehingga untuk membantu mempercepat persalinan diberikan augmentasi drip

oksitosin.
- Dilakukan observasi terhadap pasien selama pemberian drip oksitosin, dan

didapatkan tidak adanya kemajuan pembukaan yang maksimal setelah 8 jam

diberikan 2 labu oksitosin sehingga pada Pasien dilakukan Persalinan

perabdominam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Preeklamsia Berat

3.1.1 Definisi

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria.

10
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda lain.

Kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg, ataupun kenaikan

tekanan sistolik 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg di atas tekanan yang biasanya

normal.

Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang

kadarnya melebihi 300 mg atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+

atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau

midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya

proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang

serius.

Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis

preeklampsia, namun sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis,

kecuali edema anasarka yang bisa ditandai dengan kenaikan berat badan >500

gr/minggu. Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis pre-

eklampsia, namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di

jaringan tubuh seperti pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan

harus tetap diwaspadai.

Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi

eklampsia, yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Preeklampsia-

eklampsia merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh

kehamilan, hanya saja eklampsia merupakan peningkatan yang lebih berat dan

berbahaya dari preeklampsia.

3.1.2 Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan

11
Berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Education

Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2000 yang

digunakan sebagai acuan klasifikasi di Indonesia, hipertensi dalam kehamilan

dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Hipertensi Kronik

2) Preeklampsia-eklampsia

3) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia

4) Hipertensi gestasional

3.1.3 Klasifikasi Preeklamsia

Dikatakan sebagai preeklampsia-eklampsia apabila memiliki salah satu atau

lebih dari gejala dan tanda-tanda yang ada dibawah ini :

1. Preeklampsia ringan, adalah suatu keadaan pada ibu hamil disertai

kenaikan tekanan darah sistolik 140/90 mm/Hg atau kenaikan

diastolik 15 mm/Hg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mm/Hg atau

setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal

dan adanya proteinuria 300 mg/24 atau lebih /jam atau kuantitatif 1+

pada urin kateter atau midstream.


2. Preeklampsia berat, adalah suatu keadaan pada ibu hamil bila disertai

kenaikan tekanan darah 160/110 mm/Hg atau lebih, adanya

proteiunuria 2 gr atau lebih per liter dalam 24 jam atau kuantitatif 2+,

3+ atau kuantitatif 4+, adanya oliguria (jumlah urin kurang dari 400cc

per jam, adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, rasa nyeri

di epigastrium, adanya tanda sianosis, edema paru, trombositopeni,

12
gangguan fungsi hati, serta yang terakhir adalah pertumbuhan janin

terhambat.
Preeklampsia berat dapat dibagi dalam dua kategori yaitu :
a. Preeklampsia berat tanpa Impending Eklampsia
b. Preeklampsia berat dengan Impending Eklampsia, dengan gejala-

gejala Impending yaitu : nyeri kepala, mata kabur, mual dan

muntah, nyeri epigastrium dan nyeri kuadran kanan atas abdomen


3. Eklampsia merupakan preeklampsia yang disertai kejang dan disusul

dengan koma.

3.1.4 Etiologi

Penyebab eklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara

pasti, beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya eklampsia, hampir

sama dengan terjadinya preeklampsia, diantaranya adalah :

1. Faktor Trofoblast

Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan

terjadinya preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Mola

hidatidosa. Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa

keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir.

2. Faktor Imunologik

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul

lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan

bahwa pada kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies

terhadap antigen plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun

yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada

kehamilan berikutnya, pembentukan Blocking Antibodies akan lebih

13
banyak akibat respon imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti

respons imunisasi.

3. Faktor Hormonal

Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron

antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relatif Aldoteron yang

menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan

Edema.

4. Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia

bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang

menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-

Eklampsia antara lain:

a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-

Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-

Eklampsia.

c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada

anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan

bukan pada ipar mereka.

5. Faktor Gizi

Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung

asam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor

14
sintesis Prostaglandin akan menyebabkan Loss Angiotensin

Refraktoriness yang memicu terjadinya preeklampsia.

6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang

pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan

fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin

akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin.

Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan

serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

3.1.5 Epidemiologi dan Faktor resiko

World Health Organization (WHO) memperkirakan 287.000 kematian ibu

terjadi di 2010. Berbagai faktor risiko (mulai dari 1 dari 3800 di Negara negara

maju sampai dengan 1 dari 39 di sub-Sahara Afrika). Gangguan hipertensi dalam

kehamilan (HDK) terhitung hampir 18% dari seluruh kematian ibu di seluruh

dunia, dengan perkiraan 62.000-77.000 kematian per tahun. Untuk setiap wanita

yang meninggal, diperkirakan 20 orang lain menderita morbiditas berat atau

disability. Proporsi wanita yang masih hidup akibat komplikasi maternal yang

berat (disebut kasus 'near miss) telah diusulkan sebagai ukuran yang lebih akurat

untuk evaluasi kualitas pelayanan kesehatan ibu. Di Indonesia kematian ibu terjadi

setiap 1 jam. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

tahun 2012, AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup

15
tinggi jika dibandingkan dengan negaranegara tetangga di Kawasan ASEAN.

Pada tahun 2007, ketika AKI di Indonesia mencapai 228, AKI di Singapura hanya

6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina

112 per 100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama

mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup. Lima penyebab kematian ibu terbesar

yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet,

dan abortus. Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab

utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan

infeksi.

Perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK

proporsinya semakin meningkat, tahun 2013 Lebih dari 25% kematian ibu di

Indonesia disebabkan oleh HDK. Hipertensi Dalam Kehamilan menempati urutan

pertama penyebab kematian ibu di Jawa Barat (31%) menggantikan perdarahan

(30%) yang biasanya menempati urutan teratas. Perlahan-lahan HDK menjadi

penyebab utama kematian ibu sehingga hal ini perlu menjadi prioritas program

kesehatan ibu dan anak karena seharusnya HDK bisa terjaring pada saat antenatal

care. Berdasarkan data dari RSHS jumlah persalinan Periode 1 Januari 2009 31

Desember 2013 8275 persalinan. Jumlah total kasus preeklamsi dan eklamsi

sebanyak 1811 kasus. Jumlah total kematian ibu selama periode tersebut sebanyak

106 kasus, dan 61 kasus atau 57.5% diantaranya preeklamsi dan eklamsi. Tahun

2014 jumlah kematian ibu di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sebanyak

23 kasus dan Hipertensi dalam Kehamilan menjadi penyebab kematian sebanyak

16
60% kasus. Data tersebut menjelaskan bahwa angka kematian ibu akibat

preeklamsi-eklamsi selama 5 tahun terakhir di RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung

paling tinggi diantara penyebab kematian lainnya

Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan,

preeklampsia atau eklampsia.

a. Usia

Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.

Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada

wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten.

b. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua

risiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia berat.

c. Ras/golongan etnik

Mungkin ada perbedaan perlakuan/akses terhadap berbagai etnik di banyak

Negara

d. Faktor keturunan

Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor

risiko meningkat sampai + 25%

e. Faktor gen

Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip

ibu dan janin.

f. Diet/gizi

17
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).

Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian

yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang

obese/overweight

g. Tingkah laku/sosioekonomi

Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun

merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin

terhambat yang jauh lebih tinggi.

Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama hamil

mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.

h. Hiperplasentosis

Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,

dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

i. Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya

bukan preeklampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskular primer

akibat diabetesnya.

j. Mola hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan

menyebabkan preeklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria

terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan

patologi ginjal juga sesuai dengan pada pre-eklampsia.

k. Riwayat pre-eklampsia.

l. Kehamilan pertama

18
m. Usia lebih dari 40 tahun dan remaja

n. Obesitas

o. Kehamilan multiple

p. Diabetes gestasional

q. Riwayat diabetes, penyakit ginjal, lupus, atau rheumatoid arthritis.

3.1.6 Patofisiologi
a. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada kehamilan normal rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari

cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah

tersebut menembus myometrium berupa arteri arkuata memberi cabang arteri

radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan

arteri basalis memberi cabang menjadi arteri spiralis. Pada hamil normal

dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot

arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga

terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar

arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan

lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi

lumen arteri spiralis memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan

resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta.

Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga

meningkat, sehingga dapat menjamin pertumuhan janin yang baik. Proses ini

dinamakan remodeling arteri spiralis.

Pada hipertensi tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot

arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis

19
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak

memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Diameter rata-rata arteri

spiralis adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklamsi rata-rata 200 mikron.

b. Teori Iskemi Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

Plasenta yang mengalai iskemia akan menghasilkan radikal bebas

salah satunya adalah radikal hidroksil yang sangat toksis terhadap dinding

endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.

Peroksida lemak selain akan merusak mebran sel juga akan merusak nukleus,

dan protein sel endotel. Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak

maka terjadi kerusakan sel endotel yang kerusakannya dimulai dari membran

sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya

fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini

disebut disfungsi endotel. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel maka akan

terjadi :

- Gangguan metabolisme prostaglandin karena salah satu fungsi endotel

adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi

prostasiklin (PGE2), suatu vasodilator kuat


- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami

kerusakan. Agregasi trombosit ini untuk menutupi tempat-tempat di

lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit

memproduksi tromboksan A2 suatu vasodilator kuat


- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomelurus.
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Peningkatn bahan-bahan vasopressor yaitu endotelin

20
- Peningkatan faktor koagulasi
c. Teori Intoleransi Imunologik Antara Ibu dan Janin

Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya

hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya HLA-G yang

berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak

hasil konsepsi. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin

dari lisis oleh NK sel.

Selain itu adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke

dalam jaringan desidua ibu. Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi

penurunan HLA-G yang akan menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua.

d. Teori Adaptasi Kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

bahan vasopressor, atau dibutuhkan kadar vasopressor yang lebih tinggi untuk

menimbulkan respon vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya

refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor adalah akibat dilindungi

oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini

dibuktikan bahwa daya refarakter terhadap bahan vasopressor akan hilang bila

diberi prostaglandin sintesa inhibitor.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap

bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap

bahan-bahan vasopressor. Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap

21
bahan vasopressor hilang hingga pembuluh darah menjadi sangta peka

terhadap bahan vasopressor.

e. Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.

Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara

familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti bahwa ibu

yang mengalami preeklamsia 26 % anak perempuannya akan mengalami

preeklamsia.

f. Teori Defisiensi Gizi

Beberapa penelitian menunjukan bahwa kekurangan defisiensi gizi

berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

g. Teori Stimulus Inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam

sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada

kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa

proses apoptosis dan nekrotik trofoblas akibat reaski stress oksidatif.

Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang

timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal jumlah debris trofoblas

masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas

normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklamsia dimana pada

preeklamsi aterjadi peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris

apoptosis dan nekrotik trofobas juga meningkat. Keadaan ini menimbulkan

beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi lebih besar. Respon inflamasi

22
ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel makrofag yang lebih besar sehingga

terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia

pada ibu.

Perubahan Sistem dan Organ Pada Preeklamsia

Volume plasma

Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna guna

memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Sebaliknya oleh sebab yang tidak

jelas pada preeklamsia terjadi penurunan volume plasma antara 30-40 %

disbanding hamil normal, yang diimbangi dengan vasokontriksi sehingga

terjadi hipertensi

Hipertensi

Pada preeklamsia peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur

kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi didteksi umumnya pada trimester II.

Fungsi Ginjal
- Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi

oligouria menyebabkan anuria


- Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas

membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan

proteinuria
- Terjadi Glomerular Capilarry Endhoteliosis akibal sel endotel

glomelurus membengkak disertai deposit fibril


- Gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus ginjal
- Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat vasopasme

pembuluh darah

23
- Asam urat serum meningkat 5 mg/cc, hal ini disebabkan oleh

hipovolemia yang menimbulkan menurunya aliran darah ginjal dan

mengakibatkan menurunnya filtrasi glomelurus, sehingga menurunkan

sekresi asam urat.


- Kreatinin : Hal ini disebabkan oleh hipovolemia maka aliran darah

ginjal menurun mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus

sehingga menurunnya sekresi kreatinin disertai peningkatan kreatinin

plasma.
- Oligouria dan anuria oleh hipovolemia maka aliran darah ginjal

menurun mengakibatkan produksi urin menurun bahkan dapat

menyebabkan anuria.
Elektrolit

Pada preeklamsia kadar elektrolit total sama sperti hamil normal. Pada

preeklamsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan

keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang eklamsia kadar

bikarbonat menurun disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat

kompensasi hilangnya karbon dioksida.

Tekanan osmotik koloid plasma/ tekanan onkotik

Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur

kehamilan 8 minggu. Pada preeklamsia tekanan onkotik makin menurun

karena kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.

Koagulasi dan fibrinolisis

Gangguan koagulasi pada preeklamsi misalnya trombositopenia jarang

yang berat tetapi sering dijumpai. Pada preeklamsia terjadi peningkatan FDP,

penurunan anti thrombin III dan peningkatan fibronektin

24
Viskositas darah

Pada preeklamsia viskositas darah meningkat mengakibatkan

meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ

Hematokrit

Pada preeklamsia hematokrit meningkat karena hipovolemia yang

menggambarkan beratnya preeklamsia.

Edema

Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel

kapiler. Edema yang patologik adalah edema yang nonpenden pada muka dan

tangan atau edema generalisata dan biasanya terjadi kenaikan berat badan

yang cepat.

Hematologik

Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat

hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala

hemolisis mikroangiopatik.

Hepar

Dasar perubahan pada hepar ialah vasopasme, iskemia, dan

pendarahan. Bila terjadi pendarahan pada sel periportal lobus perifer akan

terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Pendarahan ini dapat

meluas disebut subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan

nyeri di daerah epigastrium dan dapat menyebabkan ruptur hepar.

Neurologik
- Nyeri kepala disebabkan hipoperfusi otak
- Akibat spasme atreri retina dan edema retina terjadi gangguan visus

25
- Hiperrefleksi
- Kejak eklamtik. Penyebab kejang eklamtik belum diketahii dengan

jelas. Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamtik ialah edema

serebri, vasopasme serebri, dan iskemi serebri


Kardiovaskular

Peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac

preload akibat hipovolemia

Paru

Dapat terjadi edema paru. Edema disebakan oleh jantung kiri yang

abnormal, kerusakan endotel pada pembuluh darah kapiler paru dan

menurunya diuresis

Janin
- IUGR
- Kenaikan morbiditas dan mortalitas secara tidak langsung akibat

IUGR, prematuritas, oligohidramnion dan solusio plasenta.


3.1.7 Diagnosis

Terdapat banyak versi kriteria diagnosis dari pre eklampsia berat yang

beredar di lingkungan petugas kesehatan termasuk dokter. Royal College of

Obstetricians and Gynaecologists di UK mendeskripsikan preeklampsia berat

dengan adanya gejala klinis yaitu :

Nyeri kepala yang hebat

Gangguan pada visus

Nyeri epigastrik dan/atau muntah

Tanda akan kejang

Papilloedema

26
Terabanya hati

Penurunan hitung jumlah trombosit hingga dibawah 100x106/l

Enzim liver yang abnormal ( peningkatan ALT/AST > 70 iu/l )

Terdapat sindroma HELLP

Sedangkan Himpunan Kedokteran Feto-Maternal POGI dalam Pedoman

Pengelolaan Hipertensi pada Kehamilan di Indonesia menyatakan bahwa

termasuk ke dalam preeklampsia berat adalah preklampsia dengan salah satu atau

lebih gejala dan tanda dibawah :

Desakan darah : pasien dalam keadaan istirahat desakan sistolik 160

mmHg dan desakan diastolik 90 mmHg

Proteinuria : 5 gr/jumlah urine selama 24 jam. Atau dispstick 4 +

Oliguria : produksi urine < 400 500 cc/24 jam

Kenaikan kreatinin serum

Edema paru dan cyanosis

Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen : disebabkan

teregangnya kapsula Glisoni. Nyeri dapat sebagai gejala awal ruptur hepar dan

biasanya diikuti dengan peningkatan enzim hepar dalam serum, menunjukkan

tanda untuk terminasi kehamilan

Gangguan otak dan visus : perubahan kesadaran nyeri kepala, scotomata, dan

pandangan kabur

Gangguan fungsi hepar : peningkatan alanine atau aspartate amino transferase

Hemolisis makroangiopatik

27

Tombositopenia < 100.000 sel/mm3

Sindroma HELLP

3.1.8 Tatalaksana

Rawat segera bersaaama Bagian Penyakit Dalam dan Penyakit Saraf,

tentukan jenis perawatan/ tindakan,

a. Aktif berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan

dengan pemberian pengobatan medicinal


b. Konservatif berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan

dengan pemberian pengobatan medicinal.

A. Perawatan Aktif

Bila didapatkan satu/lebih keadaan di bawah ini:

a. Ibu:

1. Kehamilan > 37 minggu

2. Adanya tanda-tanda gejala impending eklamsi

3. Kegagalan terapi pada perawatan konseratif

- setelah 6 jam sejak dimulainya pengobatan medicinal terjadi

kenaikan tekanan darah


- setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medicinal. Tidak ada

perbaikan
b. janin:

1. Adanya tanda-tanda gawat janin

2. Adanya tanda-tanda PJT

c. Laboratorik:

28
Adanya HELLP syndrome

B. Perawatan medicinal

1. Infuse dekstrose 5% yang tiap liteeernya diselingi dengan larutan

ringer laktat 500cc (60-125cc/jam).

2. Diet: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam

3. Pemberian obat: MgSO4

Cara pemberian:

a. Dosis awal
4 gram MgSO4 20% (20cc) iv kecepatan 1 gram/menit (kemasan 20%

dalam 25 cc) disusul 8 gram MgSO4 40% (20cc) im diberikan pada

bokong kiri dan kanan masing-masing 4 gram.


b. Dosis pemeliharaan
Diberikan 4 gram i.m setelah 6 jam pemberian dosis awal (loading

dose). Selanjutnya diberikan 4 gram i.m. tiap 6 jam.

Syarat-syarat pemberian MgSO4:

1. Harus tersedia antidotum yaitu kalsium glukonas 10% (1

gram dalam 10cc) diberikan i.v 3 menit ( dalam keadaan siap pakai )

2. Refleks patella (+) kuat

3. Frekwensi pernafasan > 16 kali per menit

4. Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya

(0.5cc/kgBB/jam)

Sulfas magnesius dihentikan bila:

1. Ada tanda-tanda intoksikasi


2. Setelah 24 jam pasca salin

29
3. Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan (normotensif)

Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada:

a. edem paru

b. payah jantung kongestif

c. edem anasarca

Antihipertensi diberikan bila:

1. Tekanan darah:
- Sistolik 180 mmHg, Diastolik > 110 mmHg
Diberikan: Klonidin
- Sistolik 160-180 mmHg, Diastolik 95-110 mmHg
Diberikan: Nifedipin 3 kali 5-10mg SubLingual
2. Obat-obatan antihipertensi yang diberikan:
a. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10cc larutan garam faal atau air untuk

suntikan.Disuntikkan mula-mula 5cc i.v perlahan-lahan selama 5 menit.5

menit kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka

diberikan lagi sisanya 5cc i.v selama 5 menit. Kemudian diikuti dengan

pemberian secara tetes sebanyak 7 ampul dalam 500cc Dextrose 5% atau

Martos 10. Dimulai dengan tetesan 10 tetes mikrodrip/menit kemudian

dinaikkan 5 tetes setiap jam sampai tercapai target tekanan darah yang

diinginkan yaitu penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 10

menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan, kemudian setiap jam

sampai tekanan darah stabil.


Dapat juga diberi pilihan lain seperti :

Obat-obat per oral

- metildopa 500-3000 mg sehari

- betabloker (atenolol 50-100 mg/hari, metoprolol 50-225 mg/hari)

30
- Labetolol 200-400 mg/hari

b. Kardiotonika

Indikasi pemberian kardiotonika ialah bila ada tanda-tanda paying jantung.

Kardiotonika yang diberikan : cedilanid-D. Perawatan dilakukan bersama

bagian penyakit jantung

c. Lain-lain
- Antipiretik
Diberikan bila suhu rectal > 38.50C Dapat dibatu dengan kompres

dingin atau alkohol.


- Antibiotika diberikan atas indikasi
- Antinyeri
Bila pasien gelisah karena konstraksi rahim dapat diberikan petidin

HCl 50-75 mg sekali saja (selambat-lambatnya 2 jamsebelum janin

lahir)
4. Pengelolaan obstetric
Tidak ada tanda-tanda inpartu :
1. Induksi persalinan : amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor

bishop 6

2. Seksio sesarea bila :

- syarat tetes oksitosin tidak dipenuhi atau ada kontra indikasi


- 8 jam sejak dimulainya tetes oksitosin belum masuk fase aktif
- Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi

dengan seksio sesarea

Sudah ada tanda-tanda inpartu :

Kala I

Fase laten : Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor bishop 6

Fase aktif

1. amniotomi

31
2. bila his tidak adekuat beri tetes oksitosin

3. bila 6 jam belum terjadi pembukaan lengkap dilakukan SC

Kala II

Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus

buatan

C. Pengelolaan Konservatif

Gambar 1. Kriteria manajemen konservatif atau terminasi kehamilan pada pasien


PEB

a. Indikasi

Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda

impending eklampsi dan keadaan janin baik

b. Pengobatan medicinal

Sama dengan perawatan medicinal pengelolaan secara katif hanya dosis

awal MgSO4 tidak diberikan iv cukup im saja (MgSO 4 40% 8 gr im).

32
Dihentikan jika sudah mencapai tanda-tanda preeklampsi ringan

selambat-lambatnya 24 jam

c. Pengelolaan obstetric

- Selama perawatan konservatif tindakan observasi dan evaluasi

sama seperti perawatan aktif termasuk pemeriksaan NST dan USG

untuk memantau kesejahteraan janin


- Bila setelah 24 jam tidak ada pebaikan tekanan darah maka

keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medicinal dan

harus diterminasi sesuai dengan pengelolaan aktif

33
Gambar 2. Alur tatalaksana preeklamsia berat

3.1.9 Komplikasi

Untuk ibu :

1. Eklampsi
2. Sindroma HELLP
3. Kardiomiopati peripartum
4. Edema paru
5. Gagal ginjal akut
6. DIC
7. Gagal hati akut
8. Stroke (H-encephalopathy)
9. Solusio plasenta
10. Kematian

Untuk Janin :

1. Preterm
2. IUGR
3. Gawat Janin / Abnormal FHR
4. Absent or reverse end diastolic flow pada gambaran Doppler velocymetri
5. Oligohidramnion
6. IUFD

3.1.10 Prognosis

Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi

janin, ada tidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan bagaimana proses

bersalin dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia. Kematian ibu antara 9.8%-

25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%

Induksi Persalinan

Definisi Induksi Persalinan Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi

uterus untuk memulai terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau

akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan

34
kontraksi uterus dalam persalinan. Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi

kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture

membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang

dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.

Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan

sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya

his. Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap

ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk

merangsang timbulnya atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi

persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai inisiasi persalinan secara buatan

setelah janin viable.

Tindakan induksi persalinan dilakukan bila hal tersebut dapat memberi

manfaat bagi ibu dan atau anaknya.7

Indikasi:

1. Ketuban pecah dini dengan chorioamnionitis

2. Pre-eklampsia berat

3. Ketuban pcah dini tanpa diikuti dengan persalinan

4. Hipertensi dalam kehamilan

5. Gawat janin

6. Kehamilan postterm

Kontra Indikasi:

1. Cacat rahim ( akibat sectio caesar jenis klasik atau miomektomi

intramural)

35
2. Grande multipara

3. Plasenta previa

4. Insufisiensi plasenta

5. Makrosomia

6. Hidrosepalus

7. Kelainan letak janin

8. Gawat janin

9. Ragangan berlebihan uterus : gemeli dan hidramnion

10. Kontra indikasi persalinan spontan pervaginam:

o Kelainan panggul ibu (kelainan bentuk anatomis, panggul sempit)

o Infeksi herpes genitalis aktif

o Karsinoma Servik Uteri

Pematangan Servik Pra Induksi Persalinan

Tingkat kematangan servik merupakan faktor penentu keberhasilan

tindakan induksi persalinan. Tingkat kematangan servik dapat ditentukan secara

kuantitatif dengan BISHOP SCORE yang dapat dilihat pada tabel dibawah,

Nilai > 8 menunjukkan derajat kematangan servik yang paling baik dengan angka

keberhasilan induksi persalinan yang tinggi. Umumnya induksi persalinan yang

dilakukan pada kasus dilatasi servik 2 cm, pendataran servik 80% , kondisi servik

lunak dengan posisi tengah dan derajat stasion -1 akan berhasil dengan baik. Akan

tetapi sebagian besar kasus menunjukkan bahwa ibu hamil dengan induksi

persalinan memiliki servik yang tidak favourable ( Skoring Bishop < 5 ) untuk

dilakukannya induksi persalinan.

36
Induksi Persalinan Dengan Oksitosin7,8

Oksitosin adalah suatu obat yang paling sering digunakan di amerika

serikat. Oksitosin adalah hormone polipeptida yang pertama kali di sintesis.

Hampir semua wania mendapatkan oksitosin setelah melahirkan dan banyak yang

juga mendapatkannya untuk induksi atau augmentasi persalinan. Menurut national

center for health statistics, pada tahun 1995 lebih dari 1.3 juta amerika diberi

oksitosin untuk merangsang persalinan (Ventura.,dkk.1997)

Pada banyak kasus hanya terdapatperbedaan semantic antara induksi dan

augmentasi persalinan. Induksi persalinan mengisyaratkan stimulasi kontraksi

sebelum awitan spontan persalinan, dengan atau tanpa pecahnya ketuban.

Augmentasi merujuk pada stimulasi kontraksi spontan yang dianggap kurang

memadai kareana tidak terjadinya kemajuan pembukaan serviks dan penurunan

janin. Bebrapa dokter menganggap augmentasi mencakup stimulasi kontraksi

setelah pecah ketuban spontan tanpa persalinan. Sementara sebagian dokter

37
menggunakan regimen infus oksitosin yang berbeda-beda untuk masing masing

hal diatas.

Dosis Oksitosin7,8

Menurut American collage of obstetricians and Gynecologists (1999),

regimen oksitosin yang manapun dapat digunakan untuk menginduksi persalinan.

Beberapa regimen disajikan disajikan pada table di bawah ini. Pada athun 1984,

ODriscoll dkk menjelaskan suatu protocol untuk penatalaksanaan aktif

persalianan yang memerlukan oksitosin dengan dosis awal 6 mU permenit dan

ditingkatkan 6 mU permenit setelah protocol ini di publikasikan selama tahun

1990an diadakan uji klinis yang membandingkan regimen dosis tinggi ( 4-6

mU/menit) Versus dosis rendah konvensiolnal (0.5-1.5 mU / menit) baik untuk

induksi maupun augmentasi.

Regimen Dosis awal Peningkatan Interval dosis Dosis

(mU/mnt) bertahan (mnt) maksimum

(mU/mnt) (mU/mnt)
Dosis rendah 0.5-1 1 30-40 20

1-2 2 15 40
Dosis tinggi 6 6,3,1 15-40 42

Tehnik Pemberian Oksitosin Drip

1. Pasien berbaring di tempat tidur dan tidur miring kiri

2. Lakukan penilaian terhadap tingkat kematangan servik.

38
3. Lakukan penilaian denyut nadi, tekanan darah dan his serta denyut jantung

janin

4. Catat semua hasil penilaian pada partogram

5. 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml Dekstrose 5% (atau PZ) dan

diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit.

6. Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai

tercapai kontraksi uterus yang adekuat.

7. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik atau lebih dari 4 kali

kontraksi per 10 menit) hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan

pemberian:

o Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau

o Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit

1. Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat setelah jumlah tetesan mencapai

60 tetes per menit:

2. Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose 5%

(atau PZ) dan sesuaikan tetesan infuse sampai 30 tetes per menit

(15mU/menit)

3. Naikan jumlah tetesan infuse 10 tetes per menit setiap 30 menit sampai

kontraksi uterus menjadi adekuat atau jumlah tetesan mencapai 60 tetes

per menit.

Jika masih tidak tercapai kontraksi uterus adekuat dengan konsentrasi yang

lebih tinggi tersebut maka:

Pada multipgravida : induksi dianggap gagal dan lakukan sectio caesar.

39
Pada primigravida, infuse oksitosin dapat dinaikkan konsentrasinya yaitu :

o 10 Unit dalam 400 ml Dextrose 5% (atau PZ) , 30 tetes permenit

o Naikkan jumlah tetesan dengan 10 tetes permenit setiap 30 menit

sampai tercapai kontraksi uterus adekuat.

o Jika sudah mencapai 60 tetes per menit, kontraksi uterus masih

tidak adekuat maka induksi dianggap gagal dan lakukan Sectio

Caesar.

40
41
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakes C, Markham K., et al. (2011). Maternal Preeclampsia and Neonatal

Outcomes. USA: Hindawi Publishing Corporation Journal of Pregnancy.


2. Brahmham K., et al. (2014). Chronic hypertension and pregnancy outcomes:

systematic review and meta-analysis. United Kingdom: BMJ.


3. Cuninngham. F.G. dkk. (2010). Hipertensi dalam kehamilan Obstetri

Williams. Edisi 23. Vol 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


4. Elosha E, Nzerue C., et al. (2012). Preeclamsia 2012. USA: Hindawi

Publishing Corporation Journal of Pregnancy.


5. Karkata M., et al. (2012). Panduan penatalaksanaan obstetri.Jakarta:

Himpunan kedokteran fetomaternal perkumpulan obstetri ginekologi

indonesia.
6. Mose, J., Irianti, S., et al. (2013). Hipertensi dalam kehamilan Obstetri

Patologi. Edisi 3, hal: 94-111. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


7. Powe C., Levine, R., et al. (2011). Preeclampsia, a Disease of the Maternal

Endothelium The Role of Antiangiogenic Factors and Implications for Later

Cardiovascular Disease. Boston: American heart Association.


8. Hanretty KP. Pertumbuhan Janin. Dalam : Ilustrasi Obstetri. Edisi ke-7.

Singapura: Elsevier. 2013. Hlm. 94-96.


9. Prawirohardjo S. Pertumbuhan Janin Terhambat. Dalam: Ilmu kebidanan.

Edisi ke-4 cetakan ke-2. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009.

Hlm 697-700.
10. Panduan Praktik Klinis Obstetri dan Ginekologi
11. Harper, 2004, Peleg, 1998, Manning, 1995, Wolstenholme, 2000
12. Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, Efendi JS. Kelainan Hasil Kehamilan.

Dalam: Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi.Edisi ke-3. Jakarta:

EGC. 2013. Hlm 53-56.


13. Krisnadi SR, Mose JC, Effendi JS. Pertumbuhan Janin Terhambat. Dalam:

Pedoman Diagnosis Dan Terapi Obstetri Dan Ginekologi Rumah Sakit Dr.

42
Hasan Sadikin.Bandung: Bagian Obgyn Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran. 2005. Hlm 56-59.


14. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Gangguan Pertumbuhan Janin.

Dalam: Obstetri Williams. Edisi 23. Vol 2. Jakarta : EGC. 2009. Hlm. 888-

898.
15. Ross MG. 2013. Fetal Growth Restriction. Diakses tanggal 2 Juni 2015 dari

situs emedicine.medscape.com
16. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, et al. Intrauterine Growth Restriction.

Dalam: Danforths Obtetrics And Gynaecology. Edisi ke-10. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins. 2008. Hlm. 211.


17. Norwitz ER, Schorge JO. Disorders of Fetal Growth. Dalam: Obstetrics and

Gynaecology at a Glance. Malden: Blackwell Science. 2001. Hlm. 104.


18. Lausman A, McCarthy FP, Walker M, et al Screening, Diagnosis, And

Management of Intrauterine Growth Restriction.J Obstet Gynaecol Can.

2012;34(1). Hlm. 1728.


19. Pagano T. 2014. Intrauterine Growth Restriction. Diakses tanggal 2 Juni 2015

dari situs www.webmd.com


20. Permadi, W., et al. (2015). Panduan praktik klinis obstetri & ginekologi.

Bandung : Dep./SMF obstetri & ginekologi fakultas kedokteran universitas

padjajaran.
21. Saifuddin A., et al. (2010). Hipertensi dalam kehamilan Ilmu kebidanan.

Edisi 4. Vol.3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


22. Sastrawinata, S., (1984). Penyakit-penyakit hipertensi dalam kehamilan

Obstetri Patologi. Edisi 1, hal: 91-98. Bandung: Penerbit & percetakan buku

Elstar Offset.
23. Sarwono Prawirohardjo, Prof.Dr.dr, 1992, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina

Pustaka, Jakarta

43

Anda mungkin juga menyukai