Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

SNAKE BITE

Diajukan Untuk Syarat Kegiatan Internsip

Pendamping:

dr. Ani Ruliana

Disusun Oleh:

dr. Erik Widyyantoro

Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo

2020-2021

1
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. M
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Dkh. Krajan, RT/RW 002/001 Pomahan Pulung
No. RM : 5022xx
Tanggal masuk : 31-01-2021

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Kaki kiri nyeri setelah digigit ular sejak 2 jam SMRS
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU ‘Aisyiyah Ponorogo dengan keluhan kaki kiri nyeri
setelah tergigit ular 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit, Penderita mengatakan
digigit ular berwarna hijau berekor merah (ular beji) saat mencari rumput
dihutan. Lokasi gigitan di kaki kiri dibawah mata kaki sebelah dalam. Terasa
nyeri, panas dan kesemutan di tempat gigitan terasa sampai ke lutut, bengkak (+)
diatas mata kaki, pasien mengeluh pusing (+), Mual (+) tapi tidak muntah (-),
perdarahan di tempat gigitan (+) tidak aktif, jantung berdebar-debar (-), lemah
anggota tubuh (-), kencing berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-),
pendarahan konjungtiva (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat tergigit ular sebelumnya : disangkal
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat diabetes : disangkal
- Riwayat sakit asma : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat sakit serupa : disangkal
• Riwayat Diabetes : disangkal
• Riwayat hipertensi : disangkal

2
E. Riwayat Pekerjaan
Pasien merupakan seorang kepala rumah tangga yang bekerja sebagai petani dan
ternak kambing dirumahnya. Sehari-hari pasien tinggal di rumahnya bersama
keluarganya dan setiap hari pasien mencari pakan ternak di hutan
F. Riwayat pengobatan :
Pasien sudah berobat ke puskesmas sebelumnya, dipuskesmas bekas gigitan
dibersihkan dan tungkai bawah diikat dengan tali dari kassa, kemudian pasien
diminta langsung kerumah sakit.

A. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis

Tanda vital
Tekanan darah : 128/ 81 mmHg
Nadi : 120 kali/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
Laju pernafasan : 20 kali/ menit
Suhu : 37,3 ℃
Kepala : mesochepal, rambut hitam pendek
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), air mata (+), reflek
cahaya (+/+) normal, pupil isokor (3mm/ 3mm),
mata cekung (-/-), perdarahan konjungtiva (-/-), ptosis (-/-)
Hidung : bentuk normal, secret (-), darah (-), deformitas (-), nafas cuping
hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+)
Telinga : bentuk normal, secret (-), mastoid pain (-), tragus pain (-)
Tenggorokan : uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil 𝑇1 - 𝑇1
Leher : bentuk normal, kelenjar getah bening tidak membesar, trakea di
tengah, kelenjar thyroid tidak membesar
Thorax
Bentuk : kesan normal, tidak ditemukan deformitas maupun kelainan

Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak

3
Palpasi : ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Kiri bawah : SIC V linea medioclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I-II, intensitas 88x/ menit, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+), suara tambahan (-)
B. Abdomen
Inspeksi : dinding perut setinggi dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit
kembali cepat, ascites (-)
C. Ekstremitas
Akral Hangat, capillary refill time < 2 detik oedema pada pedis sinistra

Status lokalis :
• Region Pedis Sinistra
Inspeksi : tampak dibawah malleolus medialis pedis sinistra, jejas (+), dua
buah bekas gigitan, luka panjang ± 0,5 cm, tampak edema sampai diatas
malleolus, sianosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (+), capillary refill time < 2 detik

4
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah

Hb : 14,0 g/ dL SGOT : 25 U/ L
AE : 5,0 x 106 / µL SGPT : 28 U/ L
AL : 10,4 x 103 / µL UR : 32 mg/ dL
HCT : 46 % CR : 1 mg/ dL
AT : 269 x 103 / µL BUN : 15 mg/dl
GDA : 132 mg/ dL As. Urat : 5,4 mg/dl

B. X-ray Thorak

Ukuran tidak membesar. Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.


Trakea di tengah. Paru Tidak tampak inltrat, kalsikasi maupun nodul di
kedua lapangan paru.hilus kanan kiri normal Corakan bronkovaskular
kedua paru baik. Kedua hemidiafragma domeshape. Kedua sinus
kostofrenikus lancip. Jaringan lunak dinding dada terlihat baik.

KESIMPULAN : Foto thorax normal

5
IV. RESUME

Pasien Tn. M usia 36 tahun datang ke IGD RSU ‘Aisyiyah Ponorogo dengan
keluhan kaki kiri tergigit ular 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit, Penderita
mengatakan digigit ular berwarna hijau berekor merah (ular beji) saat mencari
rumput dihutan. Lokasi gigitan di kaki kiri dibawah mata kaki sebelah dalam. Terasa
nyeri, panas dan kesemutan di tempat gigitan terasa sampai ke lutut, bengkak (+)
diatas mata kaki, pasien mengeluh pusing (+), Mual (+) tapi tidak muntah (-),
perdarahan di tempat gigitan (+) tidak aktif, jantung berdebar-debar (-), lemah
anggota tubuh (-), kencing berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-),
pendarahan konjungtiva (-). Sebelumnya pasien belum pernah mengalami hal
serupa.

Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan

Tekanan darah : 128/81mmHg


Nadi : 120kali/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
Laju pernafasan : 20 kali/ menit
Suhu : 37,3 ℃

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak sakit


sedang. Bentuk thorax tidak didapatkan kelainan. Pengembangan dada kanan = dada
kiri, retraksi intercosta (-). Fremitus raba dada kanan = dada kiri, kualitas normal.
Status lokalis tampak dibawah malleolus medialis pedis sinistra jejas (+), jumlah dua
buah bekas gigitan, luka panjang ± 0,5 cm, tampak edema sampai diatas malleolus,
sianosis (-) nyeri tekan (+), capillary refill time < 2 detik

Laboratorium darah dan X-ray thorak dalam batas normal

6
V. DIAGNOSIS KERJA
Snake bite

VI. PENATALAKSANAAN
• Kie untuk rawat inap di rumah sakit
• Imobilisasi kaki kiri sampai tungkai bawah
• Drip SABU 1 vial dalam 100 cc NACL 0,9 % dengan kecepatan 20 tts/menit
• Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
• Injeksi Acran 2x50 mg
• Injeksi Toramin 2x30 mg
• Injeksi ATS 1 ampul IM

VII. PLANNING
Konsul dokter spesialis bedah :
Edukasi :
• Diagnosis penyakit, komplikasi yang dapat terjadi, dan efek samping
obat dan prognosis
• Motivasi untuk menghindari area yang sekiranya digunakan sebagai
tempat bersarang ular
• Motivasi agar segera dibawa ke rumah sakit jika tergigit ular lagi
atau ada keluarga/ tetangga yang tergigit ular

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsional : bonam

7
IX. FOLLOW UP
31 Januari 2021 01 Februari 2021 02 Februari 2021 03 Februari 2021
SUBYEKTIF kaki kiri tergigit Nyeri (+), Nyeri (+), bengkak Nyeri (-),
ular 2 jam sebelum bengkak (+) Hanya di kaki saja bengkak (+) di
masuk Rumah diatas mata kaki Mual (-) muntah (-) region gigitan
Sakit, Penderita Pusing (-), Mual pusing (-)
mengatakan digigit (-)
ular berwarna hijau
berekor merah (ular
beji) saat mencari
rumput dihutan.
Lokasi gigitan di
kaki kiri dibawah
mata kaki sebelah
dalam. Terasa
nyeri, panas dan
kesemutan di
tempat gigitan
terasa sampai ke
lutut, bengkak (+)
diatas mata kaki,
pasien mengeluh
pusing (+), Mual
(+) tapi tidak
muntah (-),
perdarahan di
tempat gigitan (+)
tidak aktif

OBYEKTIF KU : KU : KU : KU :
Tampak sakit Tampak sakit Tampak sakit baik
sedang ringan sedang VS :
VS : VS : VS : TD: 121/ 82
TD: 128/ 81 mmHg TD: 120/ 80 TD: 120/ 80 mmHg mmHg

8
N: 120 kali/ menit, mmHg N: 89 kali/ menit, N: 86 kali/ menit,
regular, isi dan N: 85 kali/ menit, regular, isi dan regular, isi dan
tegangan cukup regular, isi dan tegangan cukup tegangan cukup
RR: 20 kali/ menit tegangan cukup RR: 20 kali/ menit Rr: 20 kali/ menit
S: 37,3 ℃ RR: 20 kali/ S: 36,4 ℃ S: 36,3 ℃
Ekstremitas : menit Ekstremitas : Ekstremitas :
oedem S: 37 ℃ oedem oedem
Ekstremitas :
+ oedem + -
CRT < 2 detik CRT < 2 detik CRT < 2 detik
Region Pedis + Region Pedis Region Pedis
Sinistra CRT < 2 detik Sinistra Sinistra
Inspeksi : Region Pedis Inspeksi : Inspeksi: tampak
tampak dibawah Sinistra tampak dibawah dibawah
malleolus medialis Inspeksi : malleolus medialis malleolus
pedis dextra jejas tampak dibawah pedis dextra jejas medialis pedis
(+), dua buah bekas malleolus (+), dua buah bekas dextra jejas (+),
gigitan luka, medialis pedis gigitan luka, dua buah bekas
panjang ± 0,5 cm, dextra jejas (+), panjang ± 0,5 cm, gigitan luka,
tampak edema dua buah bekas tampak edema panjang ± 0,5 cm,
sampai diatas gigitan luka, berkurang hanya di bengkak diarea
malleolus, sianosis panjang ± 0,5 cm, kaki kiri saja gigitan saja
(-) tampak atas Palpasi :
Palpasi : meleolus, sianosis nyeri tekan (+),
nyeri tekan (+), (-) capillary refill time
capillary refill time Palpasi : < 2 detik
< 2 detik nyeri tekan (+),
capillary refill
time < 2 detik

PEMR Hb : 14,0 g/ dL
PENUNJANG AE : 5,0 x 106 / µL
AL: 10,4 x 103 / µL

9
HCT : 46 %
AT : 269 x 103 / µL
GDA : 132 mg/ dL
SGOT : 25 U/ L
SGPT : 28 U/ L
UR : 32 mg/ dL
CR : 1 mg/ dL
BUN : 15 mg/dl
As. Urat : 5,4 mg/dl
ASSESMENT Snake bite Snake bite Snake bite Snake bite
TERAPI • Kie untuk rawat • Infus RL 20 • Infus RL 20 • BLPL
inap di rumah tpm tpm • Cefadroxil 2 x
sakit • Inj. Ceftriaxon • Inj. Ceftriaxon 500 mg
• Drip SABU 1 2x1 gr 2x1 gr • Ostelox 2x7,5
vial dalam 100 • Injeksi Acran • Injeksi Acran mg
cc NACL 0,9 % 2x50 mg 2x50 mg • Neurodex 2x1
dengan • Injeksi • Injeksi Toramin tab
kecepatan 20 Toramin 2x30 2x30 mg
tts/menit mg
• Inj. Ceftriaxon
2x1 gr
• Injeksi Acran
2x50 mg
• Injeksi Toramin
2x30 mg
• Injeksi ATS 1
ampul IM
MONITRING KU/ VS KU/VS KU/ VS
EDUKASI • Diagnosis
penyakit,
komplikasi yang
dapat terjadi, dan
efek samping

10
obat dan
prognosis
• Motivasi untuk
menghindari area
yang sekiranya
digunakan
sebagai tempat
bersarang ular
• Motivasi agar
segera dibawa ke
rumah sakit jika
tergigit ular lagi
atau ada
keluarga/
tetangga yang
tergigit ular

11
SNAKE BITE

A. Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut dapat
menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi

B. Jenis ular dan identifikasi


Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan ular
perlu dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa.
Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu
taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung
saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat
dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari korban. Selain melalui taring, bisa
dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra yang meludah dapat memeras
bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan
pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya
tergantung pada spesies, ukuranular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik
gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya
serangan yang terjadi.
Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa,
dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh
dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya
sekitar 250 spesies.
Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke
dalam 4 familli utama yaitu:

12
1. Familli Colubridae, kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini,
misalnya ular pohon, ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis
pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis
geminatus). Pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah.
2. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular
cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok
(Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular welang,
ular anang dan ular cabai.

13
3. Familli Crotalidae/ Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal
dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang
menyerang mangsanya.Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae
dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa
berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan
mata.misalnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris), ular hijau dan ular bandotan puspo.

14
4. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut.
Ketiga family ular berbisa yang disebutkan terakhir ini memiliki jenis bisa
kuat yang terdapat di Indonesia.

Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun,


beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna,
kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri

15
ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan
pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.

Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa


Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Besar ular Sangat bervariasi Sedang
Pupil ular bulat Elips
Ekor ular Bersisik ganda Bentuk sisik tunggal
Agresifitas Mematuk berulang dan Mematuk 1 atau 2 kali
membelit sampai tidak berdaya

C. Bisa Ular
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa

16
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar
adalah protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur
bisa ular yang memiliki efek klinis:
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah
berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin
di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem
fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan,
tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangat rendah (koagulopati
konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat.
Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – memerankan perana penting
pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membrane sel darah
merah dan menyebabkan nekrosis otot
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
– merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium2. Bisa ular
terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase,
5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-

17
ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap
saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi
anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun6.
Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa
ular/ sifat bisa ular dapat dibedakan menjadi:
a. Bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem
pembuluh darah. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular
yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga
sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Yaitu
bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati
dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
c. Bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar.
Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak
gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya.
Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.

18
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan
bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase
telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan
penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu
efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat
venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya
berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi. Efek
blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis
disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.

D. Tanda Dan Gejala Gigitan Ular Berdasarkan Jenis Ular


A. Gigitan Elapidae
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit : muncul gejala sistemik
b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga
sukar berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit

19
dingin, muntah, pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut.
Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

B. Gigitan Viporidae/Crotalidae
Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi pembekuan darah
namun menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell
viper mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade
pembekuan darah. Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah.
Yang kemudian didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system
fibrinolitik tubuh jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau
consumption coagulopathy. Efek racun viper yang lain menyebabkan efek
lokal yang hebat seperti nyeri, bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan
kecenderungan perdarahan sistemik.
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

20
C. Gigitan Hydropiridae
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting
untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung.

E. Diagnosa
A. Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala
dan tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular
(misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda
envenomasi lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?

21
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama
waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di
rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan
sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah
diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan
ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah
persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular
berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa),
bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air
tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan
dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil
ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang
ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut
berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan
ular sama sekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari
rumah sakit.
4. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang
terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah.
Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan
pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah
terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin
sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak
mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan
menandakan telah beredarnya neurotoksin.

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari
tanda bekas gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada

22
waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang
digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya
dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi
kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular
akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa
yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara
lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan
lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh,
infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae). Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis

23
Tanda dan gejala sistemik2 :
a. Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik
spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari
perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan
cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa

24
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis),
serta perdarahan retina.

d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)


Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e. Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.

25
f. Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g. Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism

26
E. Penatatalaksanaan
1. Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan
racun (bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Hal-hal yang harus dilakukan antara lain :
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan
kain (untuk memperlambat penyerapan racun)
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun
yang bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang
menyebabkan nekrosis
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi,
kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di
proksimal lesi)
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3

27
2. Perawatan Di Rumah Sakit
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain :
a. Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC (airway,
breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital
b. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
c. Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular
d. Lakukan pemeriksaan fisik :
- Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun
terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
- Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen
sindrom)
- Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan)
- Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis
bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
- Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
- Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
e. Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi
ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
f. Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit
adalah jenis ular yang tidak berbisa)

3. Terapi Dengan Anti Venom


Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek
lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :

28
a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b. Neurotoksisitas
c. Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e. Gagal ginjal akut
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas,
atau bengkak yang membesar dengan cepat
g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan
enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri

Pilihan Anti Venom:


a. Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b. Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan
untuk memperkirakan jenis ular :
- Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular
kobra/elapidae
- Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
c. Anti venom polivalen jika belum jelas

Dosis Dan Cara Pemberian


Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari
pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a) Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b) Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan
isotonic (5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa
larutkan dalam 500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam

29
c) Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
d) Jangan lakukan uji sensitivitas
e) Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f) Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi
jika terjadi reaksi alergi
g) Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu
diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai
maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa. Cara
lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka
dan 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus
berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati
selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat
pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way
(Depkes, 2001):
• Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
• Derajat II: 3-4 vial SABU
• Derajat III: 5-15 vial SABU
• Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

30
Pedoman terapi SABU menurut Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Ukuran zona edema/ Gejala sistemik
eritemato kulit (cm)

0 0 + +/- < 3 cm/ 12 > 0

I +/- + + 3 – 12 cm/ 12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/ 12 jam Neurotoksik, mual,


pusing, syok

III ++ + +++ >25 cm/ 12 jam ++


Syok, petekia,
ekimosis

IV +++ + +++ < ekstremitas ++


Gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan

Pedoman terapi SABU menurut Luck :


• Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
• Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
• Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
• Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita
dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu
setelah gigitan
• Terapi suportif lainnya pada keadaan :
- Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
- Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
- Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

31
- Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
- Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota
badan
- Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
- Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali
dengan sulfas atropine
- Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
- Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat – obatan narkotik depresan
• Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai
adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis

4. Reaksi Anti Venom


Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
- Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
- Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi
hingga reaksi anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme
dan udema laring
- Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan
adrenalin IM (0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2
mg/kg), dan cairan resusitasi
- Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan
namun dengan dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
- Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam
anti venom
- Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
- Tatalaksana seperti pada kasus diatas
- Bila demam dapat diberikan parasetamol

32
c. Reaksi tipe lambat
- Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
- Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
- Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2
mg/kgBB/hari dibagi dalam 5 dosis
- Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari

5. Terapi Suportif
a. Bersihkan luka dengan antiseptik
b. Analgesik
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Pemberian Anti Tetanus
e. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
f. Buang jaringan nekrosis
g. Atasi keadaan gagal ginjal akut

6. Kesalahan Dalam Penatalaksanaan

a. Memberikan anti venom pada semua kasus gigitan ular


Tidak semua gigitan ular membutuhkan anti venom, kira-kira 30% dari
gigitan ular kobra, dan 50% karena ular tanah tidak memerlukan anti
venom. Selain mahal, anti venom dapat menyebabkan reaksi anafilaktik
yang serius pada pasien. Sebaiknya anti venom hanya diberikan pada pasien
dimana manfaatnya lebih besar dari pada resikonya
b. Menunda memberikan anti venom
Anti bisa ular harus diberikan sesegera mungkin, bahkan pada pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap
c. Pemberian anti venom polivalen pada semua jenis gigitan ular
Anti bisa ular yang polivalen tidak dapat mencakup semua jenis ular. Selalu
perhatikan label dari pabrik saat hendak menggunakan

33
d. Pemberian dosis yang lebih kecil pada anak-anak
Dosis berdasarkan jumlah racun yang masuk, bukan berdasarkan berat
badan
e. Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa ular, karena
gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.

1. Monitoring
- Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa
ular, pemeriksaan penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak
diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi gawat Darurat
selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan.
- Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat
membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-
produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan
proteksi jalan nafas.
- Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
- Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk
menyingkirkan sindroma kompartemen.

34
DAFTAR PUSTAKA

1) WHO. 2016. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The
South East Asia Region.

2) De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta Depkes. 2001.
Penatalaksanaan gigitan ular berbisa.

3) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen


POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit

4) Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and


Critical Care, University of Tennessee School of Medicine.
www.eMedicine.com

5) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104

6) Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :


http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
7) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article :
Current Concept Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No.
5·August 1, 2002

8) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan
Ular. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100

9) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,


Pathmeswaran A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature
Analysis and Modelling Based on Regional Estimates of Envenoming and
Deaths. PLoS Med 5(11): e218. doi:10.1371/journal.pmed.0050218

10) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan.
Availabke from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan

11) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan


Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id
(diakses pada 31 Januari 2021)

12) Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

13) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management :


Experience From Gulu Regional Hospital Uganda.

35
14) Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite
in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre
for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University,
Thailand.

15) Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous


snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 doi:10.1136/bmj.331.7527.1244.
www.bmj.com.

36

Anda mungkin juga menyukai