Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PREEKLAMPSIA

DI
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA : RISMAWATI
NIM : 01902008
JURUSAN : D3 KEBIDANAN
SEMESTER : 3 (TIGA) GANJIL
DOSEN PEMBIMBING
Hj. ROHANA RAHMAN, SKM, M.Kes
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti natikan syafaatnya
di akhirat nanti.
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Preeklampsia merupakan kelainan yang ditemukan pada waktu

kehamilan yang ditandai dengan berbagai gejala klinis seperti hipertensi,

proteinuria, dan edema yang biasanya terjadi setelah umur kehamilan 20

minggu sampai 48 jam setelah persalinan. Sedangkan eklampsia adalah

kelanjutan dari preeklampsia berat dengan tambahan gejala kejang-kejang

atau koma. Menurut World Health Organization (WHO, 2001), angka

kejadian preeklampsia berkisar antara 0,51% - 38,4%. Preeklampsia dan

eklampsia di seluruh dunia diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 14%

(50.000-75.000) kematian maternal setiap tahunnya (Hak lim, 2009).

Angka kejadian preeklampsia di Amerika Serikat sendiri kira-kira 5% dari

semua kehamilan, dengan gambaran insidensinya 23 kasus preeklampsia

ditemukan per 1.000 kehamilan setiap tahunnya (Joseph et al, 2008).

Sementara itu di tiap-tiap negara angka kejadian preeklampsia berbeda-

beda, tapi pada umumnya insidensi preeklampsia pada suatu negara

dilaporkan antara 3-10 % dari semua kehamilan (Prawirohardjo, 2006).

Salah satu penyebab kematian maternal di Indonesia adalah

preeklampsia-eklampsia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh

Angsar (1993), insiden preeklampsia-eklampsia di Indonesia berkisar 10-

13% dari keseluruhan ibu hamil. Sementara itu di dua rumah sakit

pendidikan di Makasar insidensi preeklampsia berat 2,61%, eklampsia

0,84% dan angka kematian akibatnya 22,2% (Lukas dan Rambulangi,

1995). Sedangkan selama periode 1 Januari-31 Desember 2000 di RSU

Tarakan mencatat dari 1431 persalinan terdapat 74 kasus preeklampsia-

eklampsia (5,1%), preeklampsia 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus


(0,9%). Kasus preeklampsia terutama dijumpai pada primigravida dan usia

20-24 tahun (Sudiyana, 2003).

Tahun 2006, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah mencatat

angka kematian ibu akibat preeklampsia/eklampsia sebesar 31,57%.

Sedangkan berdasarkan penelitian pada persalinan dengan komplikasi

tahun 2006 di Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surakarta, mencatat insidensi

preeklampsia sebesar 13,42% dan eklampsia sebesar 0,48%, (Ryadi,

2008).

Faktor predisposisi preeklampsia/eklampsia antara lain adalah

paritas, umur ibu hamil kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun,

diabetes melitus, hipertensi kronik, riwayat keluarga dengan preeklampsia,

dan penyakit vaskuler ginjal (Offord,2002). Catatan statistik seluruh dunia

menunjukkan dari insidensi 5%-8% preeklampsia dari semua kehamilan,

terdapat 12% lebih diantaranya dikarenakan oleh primigravida. Menurut

data The New England Journal of Medicine pada kehamilan pertama risiko

terjadi preeklampsia sebanyak 3,9%, kehamilan kedua 1,7%, dan

kehamilan ketiga 1,8% (Rozikhan, 2006).

Angka kejadian

preeklampsia/eklampsia akan menurun pada ibu dengan paritas 1-3 kali,

namun pada paritas tinggi akan terjadi lagi peningkatan angka kejadian

preeklampsia/eklampsia (Offord, 2002).

Angka kejadian preeklampsia berat ditemukan pada kelompok

paritas 0 sebanyak (5,8%) dan pada kelompok paritas lebih dari atau sama

dengan 5 sebanyak (4,5%) (Roeshadi, 2006). Menurut Offord (2002)

pengaruh paritas sangat besar karena (20%) nullipara pernah menderita

hipertensi atau eklampsia dibanding multipara yang hanya (7%).

Preeklampsia lebih tinggi terjadi pada primigravida dibandingkan dengan

multipara. Resiko preeklampsia/eklampsia pada primigravida dapat terjadi


6 sampai 8 kali dibanding multipara (Chapman, 2006). Sindrom

preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema dan proteinuria sering tidak

diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita yang bersangkutan. Sehingga

tanpa disadari preeklampsia ringan akan berlanjut menjadi preeklampsia

berat, bahkan eklampsia pada ibu hamil (Prawirohardjo, 2006).

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas peneliti berkeinginan

untuk mengetahui apakah ada hubungan paritas dengan angka kejadian

preeklampsia di RS PKU Muhammadiyah Surakarta.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan paritas dengan angka kejadian preeklampsia di


RS PKU Muhammadiyah Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui hubungan paritas dengan angka kejadian preeklampsia

di RS PKU Muhammadiyah Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

tambahan informasi mengenai hubungan paritas dengan angka

kejadian preeklampsia pada ibu hamil.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai bahan masukan dan informasi tentang pentingnya

pelayanan antenatal, intranatal, dan postnatal sebagai deteksi

dini preeklampsia.

b. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan

kepada pihak pengampu kesehatan dalam penanggulangan

masalah preeklampsia pada ibu hamil.


BAB II

PEMBAHASAN

Definisi Preeklampsia

Preeklampsia adalah berkembangnya hipertensi dengan proteinuria atau edema atau kedua-duanya
yang disebabkan oleh kehamilan atau dipengaruhi oleh kehamilan yang sekarang. Biasanya keadaan ini
timbul setelah umur 20 minggu kehamilan tetapi dapat pula berkembang sebelum saat tersebut pada
penyakit trofoblastik. Preeklampsia merupakan gangguan yang terutama terjadi pada
primigravida.1Preeklampsia merupakan suatu kehamilan yang ditandai dengan sindrom multisistem
yaitu penurunan perfusi organ sekunder hingga vasospasme dan aktivasi kaskade koagulasi. Kondisi ini
menjadi komplikasi pada sekitar 3-6% kehamilan dengan insiden 1,5-2 kali lebih besar pada
primigravida.2

Preeklampsia adalah suatu penyakit yang muncul pada awal kehamilan dan berkembang secara
perlahan dan hanya akan menunjukkan gejala jika kondisi semakin memburuk.3

Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan 20 minggu
atau segera setelah persalinan. Saat ini edema pada ibu hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak
spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Proteinuria ditetapkan apabila dalam
urine terdapat protein ≥ 300 mg/ml dalam urine tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl urin acak tengah yang
tidak menunjukan tanda-tanda infeksi saluran kemih.4, 5

Preeklampsia atau preeclamptic toxaemia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu yang
ditandai dengan hipertensi dan proteinuria yang baru muncul saat trimester II kehamilan dan biasanya
pulih pada masa postnatal.6

Patofisiologi Preeklampsia

Preeklampsia seringkali bersifat asimtomatik, sehingga sekalipun sudah muncul sejak trimester pertama,
tanda dan gejala belum ditemukan. Namun demikian plasentasi yang buruk telah terjadi yang dapat
menyebabkan kekurangan oksigen dan nutrisi pada janin, yang menyebabkan gangguan pertumbuhan
janin intra uterin atau yang lebih dikenal dengan pertumbuhan janin terhambat (PJT).7

Awal mula terjadi preeklampsi sebenarnya sejak masa awal terbentuknya plasenta dimana terjadi invasi
trofoblastik yang abnormal seperti dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Invasi Trofoblas pada Preeklampsia

Sumber: Cunningham (2009) 7

Pada kondisi normal, terjadi remodeling anteriol spiralis uterin pada saat diinvasi oleh trofoblast
endovaskuler. Sel-sel tersebut menggantikan endotel pembeluh darah dan garis otot sehingga diameter
pembuluh darah membesar. Vena diinvasi secara superfisial. Pada kasus preeclampsia, terjadi invasi
trofoblast yang tidak lengkap. Invasi terjadi secara dangkal terbatas pada pembuluh darah desidua
tetapi tidak mencapai pembuluh darah myometrium. Pada kehamilan normal tanpa preeklampsia, invasi
trofoblast terjadi secara lengkap mencapai myometrium. 8

Pada Preeklampsia, arteroil pada myometrium hanya memiliki diameter berukuran setengah lebih kecil
dari plasenta yang normal. Selain itu pada awal preeklampsia terjadi kerusakan endotel, insudasi dari
plasma ke dinding pembuluh darah, proliferasi sel miointimal dan nekrosi medial. Lipid dapat terkumpul
pada sel miointimal dan di dalam kantong makrofag. Akibat dari gangguan pembuluh darah tersebut,
terjadi peningkatan tekanan darah serta kurangnya pasokan oksigen dan nutrisi ke plasenta. Kondisi
tertentu membuat plasenta mengeluarkan faktor-faktor tertentu yang dapat memicu inflamasi secara
sistemik.

Adapun kondisi yang terjadi pada preeclampsia antara lain vasospasme, aktivasi sel endoteliel,
peningkatan respon presor dan juga aktivasi endoteliel dan protein angiogenik serta antiangiogenik.
Proses inflamasi yang terjadi secara sistemik memicu terjadinya vasospasme. Kontriksi pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi sehingga tekanan darah meningkat. Kerusakan pada sel endotel
pembuluh darah juga menyebabkan kebocoran interstitial sehingga platelet fibrinogen terdeposit pada
subendotel. Pada kondisi tersebut, ibu dengan preeklampsia akan mengalami gangguan distribusi darah,
iskemia pada jaringan di sekelilingnya sehingga mengakibatkan kematian sel, perdarahan dan gangguan
organ lainnya.7

Sel endotel pada ibu dengan preeklampsia tidak memiliki kemampuan yang baik dalam melepaskan
suatu senyawa pemicu vaso dilatasi, yaitu nitrit oksida. Selain itu endotel tersebut juga menghasilkan
senyawa pencetus koagulasi serta mengalami peningkatan sensitifitas terhadap vasopressor. Pada
preeklampsia, produksi prosasiklin endothelial (PGI2) berkurang disertai peningkatan produksi
tromboksan oleh platelet. Dengan begitu, rasio perbandingan dari prostasiklin : tromboksan berkurang.
Hasil akhir dari semua kejadian tersebut adalah pembuluh darah menyempit, tekanan darah meningkat,
cairan keluar dari ruang pembuluh darah. Jadi meskipun pasien mengalami edema atau bengkak oleh
cairan, sebenarnya dia mengalami kondisi kekurangan cairan di pembuluh darahnya.

Senyawa lain yang meningkat pada preeklampsia adalah endotelin. Endotelin merupakan suatu asam
amino yang bersifat vasokonstriktor poten yang memang dihasilkan oleh endotel manusia. Peningkatan
poten ini terjadi karena proses aktivasi endotel secara sistemik, bukan dihasilkan dari plasenta yang
bermasalah. Pemberian magnesium sulfat pada ibu dengan preeklampsia diteliti mampu menurunkan
kadar endotelin – 1 tersebut.9

Pada penyempurnaan plasenta, terdapat pengaturan tertentu pada protein angiogenik dan
antiangiogenik. Proses pembentukan darah plasenta itu sendiri mulai ada sejak hari ke-21 sejak
konsepsi. Adanya ketidakseimbangan angiogenik pada preeklampsia terjadi karena produksi faktor
antiangiogenik yang berlebihan. Hal ini memperburuk kondisi hipoksia pada permukaan uteroplasenta.

Perubahan yang Terjadi Akibat Preeklampsia

• Sistem Kardiovaskuler

Ventrikel kiri jantung dapat membesar karena adanya peningkatan afterload karena adanya hipertensi,
aktivasi endothelial dengan ekstravasasi cairan intravaskuler terutama paru. Pada kehamilan normal
volume darah mencapai 5000 ml, sedangkan pada wanita yang tidak hamil volume darah 3500 ml. Jadi
terdapat peningkatan 1500 ml. Jika terjadi eklampsia, tambahan volume darah 1500 ml tersebut tidak
terjadi atau terjadi hemokonsentrasi.

Hemokonsentrasi tersebut terkait dengan vasokonstriksi menyeluruh akibat aktivasi endothelial


ditambah kebocoran plasma ke ruang insterstisial karena adanya peningkatan permeabilitas. Pada
preeklampsia bisa saja terjadi penurunan volume darah tersebut sesuai dengan derajat keparahannya.
Jika hanya terjadi hipertensi gestasional, volume darah biasanya normal.

Ibu dengan eklampsia memiliki sensitivitas yang rendah terhadap terapi cairan yang agresif sebagai
upaya meningkatkan volume darah sesuai dengan volume darah kehamilan normal. Ibu dengan
preeklampsia akan sensitif terhadap kehilangan darah dibanding ibu hamil normal.

• Trombositopenia

Trombositopenia merupakan temuan yang umum dijumpai pada preeklampsia. Perubahan lain dapat
berupa penurunan faktor-faktor pembekuan dari plasma, serta perubahan bentuk eritrosit dan
trombosit. Hemolisis dapat dipastikan dengan adanya peningkatan kadar laktat dehydrogenase.
Hemolisis, peningkatan enzim hati serum dan penurunan platelet menjadi manifestasi dari sindrom
HELLP.

• Perubahan hati.

Perdarahan yang tidak teratur, terjadi nekrosis dan thrombosis pada lobus hati. Gejala-gejala seperti
sakit kepala, skotomata, kejang, kebutaan hingga edema serebri menjadi efek berbahaya yang mungkin
terjadi.

• Retina

Spasme arteriol, edema sekitar diskus optikus, ablasio retina (lepasnya retina), menyebabkan
penglihatan kabur. Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan
merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan
tanda preeklampsia berat yang mengarah pada eklampsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan
ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di
korteks serebri atau di dalam retina.

• Otak

Spasme pembuluh darah arteriol otak menyebabkan anemia jaringan otak, perdarahan dan nekrosis,
menimbulkan nyeri kepala yang berat.

• Paru-paru

Berbagai tingkat edema, bronkopneumonia sampai abses, menimbulkan sesak nafas sampai sianosis.

• Jantung

Perubahan degenerasi lemak dan edema, perdarahan subendokardial, menimbulkan dekompensasi


kordis sampai terhentinya fungsi jantung

• Aliran darah ke plasenta

Spasme arteriol yang mendadak menyebabkan asfiksia berat sampai kematian janin. Spasme yang
berlangsung lama, mengganggu pertumbuhan janin.

• Perubahan ginjal.

Terjadi pembesaran glomerulus hingga 20% yang bersifat kurang perdarahan, serta lengkung kapiler
yang berdilatasi dan berkontraksi. Endotel membengkak (glomerular capillary endotheliossi). Endotel
yang membengkak ini seringkali menyebabkan sumbatan pada lumen kapiler. Terdapat deposit protein
dan material seperti fibrin pada subendotel. Biasanya penurunan tidak lebih rendah dari wanita yang
tidak hamil.
Spasme arteriol menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun sehingga filtrasi glomerolus berkurang,
penyerapan air dan garam tubulus tetap, terjadi retensi air dan garam, edema pada tungkai dan tangan,
paru dan organ lain.

• Perubahan pembuluh darah.

Permeabilitasnya terhadap protein makin tinggi sehingga terjadi vasasi protein ke jaringan; protein
ekstravaskular menarik air dan garam menimbulkan edema; hemokonsentrasi darah yang menyebabkan
gangguan fungsi metabolisme tubuh dan trombosis.

Klasifikasi Preeklampsia

Preeklampsia dapat digolongkan menjadi preeklampsia ringan dan berat. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada table 2.1 berikut.10

Tabel 1. Klasifikasi Preeklampsia


Sumber : Manuaba (2010)10

Deteksi Dini Preeklampsia


Deteksi dini terhadap kasus preeklampsia dapat dilakukan melalui beberapa cara mulai dengan cara
yang sederhana seperti pengkajian yang komprehensif agar semua riwayat dan faktor risiko dapat
diketahui, sehingga diagnosis dini dapat ditegakkan dan intervensi yang tepat dapat diberikan. Deteksi
dini terhadap preeklampsia dapat juga dilakukan melalui intervensi medis baik invasive maupun non
invasive. Berikut ini dijelaskan beberapa cara deteksi dini preeklampsia dari berbagai sumber di berbagai
negara antara lain:6, 12-15

• Pengkajian yang komprephensif pada saat pemeriksaan kehamilan, dan jika ditemukan tanda-
tanda preeklampsi ringan maka kunjungan ANC perlu di lakukan lebih sering dengan panduan
dari NICE dianjurkan mengkaji tekanan darah dan dipstik urine pada usia kehamilan
16,28,34,36,38 dan 41 minggu pada secundipara dan seterusnya, sedangkan kunjungan
tambahan diperlukan pada nulipara di usia kehamilan 25 dan 31.

• Peningkatan berat badan 1 kg dalam seminggu atau lebih

• Agregasi platelet yang meningkat secara signifikan.

• Pemeriksaan ultrasonografi dengan doppler pada arteri uterine untuk menemukan adanya
notch pada usia kehamilan 20-24 minggu, juga kecepatan aliran darah serta untuk pemeriksaan
adanya oligohidramnion dan pertumbuhan janin apakah terdapat PJT/IUGR. Gambaran notch
dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Gambaran notch pada arteri uterin Preeklampsia dengan

Pemeriksaan Doppler dengan USG

Sumber : Nakasutka et al (2002)16


• Kombinasi doppler dan faktor angiogenik (PIGF/sEndoglin)

• Pemeriksaan NST

• Pemeriksaan Profil Biofisik

• Gerakan Janin setiap hari tidak boleh kurang dari 15 kali/hari diluar waktu tidur ibu

Upaya Preventif Terhadap Preeklampsia Berat – Eklampsia Setelah Deteksi dan Diagnosi Dini

Tindakan yang dapat diberikan setelah ditemukan adanya predictor preeclampsia seperti Tekadan
darah meningkat, BB meningkat 1 kilo gram dalam seminggu atau lebih, agregasi platelet, notch
dan lain sebagainya dapat diberikan intervensi untuk mencegah terjadinya eklmapsia maupun
mengurangi kejadian mortalitas janin. Dibawah ini akan dijelaskan intervensi tersebut dari berbagai
sumber antara lain:9, 13, 14

1. Pemberian asetilsalisilat (aspirin) 100 mg sebelum 16 minggu kehamilan dapat menurunkan


kejadian preklampsia (RR 0,1 IK 95%; 0,1 – 0,74). Di Prancis pemberian aspirin 75-160 mg/hari
dimulai sebelum kehamilan 20 minggu. Penelitian RCT melaporkan bahwa dari 1317 ibu yang
diteliti, terjadi penurunan risiko preeklampsia sebesar 52% ibu pada kelompok intervensi
aspirin yang dimulai pada usia kehamilan 16 minggu. Tetapi pada kelompok ibu yang diberikan
aspirin setelah 16 minggu kehamilan tidak terdapat pengaruh yang signifikan tehadap
penurunan risiko preeklampsia.

2. Pemberian antioksidan, di Prancis pemberian antioksidan tidak direkomendasikan.


Pemberian antioksidan dari dark chocolate dapat menginduksi nitrit oxide karena
mengandung efek antioksidan, dapat juga mengurangi agregasi platelet dan meningkatkan
fungsi endothelial. Sebaliknya studi lain juga melaporkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan penurunan risiko preeklampsi dengan konsumsi coklat hitam.

3. Pemberian magnesium lebih banyak dilaporkan diberikan pada ibu dengan PEB. Dilaporkan
magnesium dapat menurunkan risiko eklampsi sebesar 50%. Rekomendasi WHO dalam
pemberian magnesium adalah diberikan pada PEB untuk mencegah eklampsi dan pada pasien
eklampsi untuk mencegah kejang.

4. Pemberian kalsium diberikan pada ibu dengan defisiensi kalsium (Prancis). Rekomendasi
WHO, kalsium perlu diberikan pada ibu dengan asupan kalsium yang rendah. Dosis yang
dianjurkan 1,5 – 2 elemen kalsium/hari.

5. Pemberian asam folat dapat menurunkan risiko preeklampsi. Studi di Kanada melaporkan
bahwa ibu hamil yang diberikan asam folat sebelum hamil atau sejak trimester I kehamilan
dan terus mengkonsumsinya hingga trimester III dapat menurunkan kejadian preeklampsia
sebesar 65%. Dosis yang dianjurkan adalah dua kali dosis untuk mencegah neural tube defect
yaitu 1 mg.

6. Pemberian Isosorbid Dinitrat (ISDN) secara transdermal pada ibu dengan PE dapat
menurunkan tekanan darah dan memperbaiki sirkulasi darah uteroplasenta.

Penanganan Preeklampsia

Penanganan preeklampsia dibedakan menurut masa kehamilan, persalinan dan nifas dapat dilihat
berikut ini: 6

1. Penatalaksanaan pada Kehamilan

Observasi secara cermat merupakan komponen utama dalam asuhan antepartum maupun intrapartum.

• Ibu yang diidentifikasi sebagai resiko tinggi yakni termasuk dalam kelompok faktor resiko
preeklampsia harus dirujuk untuk penatalaksanaan tenaga ahli (USG, pemeriksaan elektrolit, PET
Skrining, dan sebagainya).

• Pengkajian untuk profilaksis aspirin atau kalsium

• Skrining doppler pada arteri uterina pada usia 20-24 tahun untuk mengetahui adanya “notch” pada
ibu yang berisiko tinggi diperlukan untuk penatalaksanaan sedini mungkin.

• Apabila didiagnosis preeklampsia, keseimbangan antara keparahan penyakit dan maturitas


keseimbangan janin menentukan waktu kelahiran janin.

• Menurut NICE, jika terdapat resiko rendah pada preeklampsia dianjurkan mengkaji tekanan darah
dan dipstik urine pada usia kehamilan 16,28,34,36,38 dan 41 minggu pada sekundipara dan
seterusnya, sedangkan kunjungan tambahan diperlukan pada nulipara di usia kehamilan 25 dan 31.

• Pengukuran tekanan darah : ketika mengukur tekanan darah selama kehamilan, suara Korotkof 1
harus digunakan – suara pertama kali muncul (untuk tekanan darah sistolik) dan suara Korotkof 5 –
suara menghilang (untuk tekanan darah diastolik). Pengukuran tekanan darah yang akurat penting
untuk penegakan diagnosis secara tepat. Terdapat banyak alat otomatis untuk mengukur tekanan
darah, namun sebagian besar alat tersebut tidak akurat dalam kehamilan.

• Pemeriksaan proteinuria: dipstick urine tetap menjadi metode pilihan untuk pengkajian proteinuria.
Uji ini juga rentan terhadap kesalahan pengobservasi dan penggunaan alat baca uji dipstick otomatis
telah terbukti meningkatan ketepatan.

2. Penatalaksanaan pada Persalinan

• Tekanan darah: terapi iv mungkin diperlukan

• Keseimbangan cairan : keseimbangan cairan perlu diperhatikan dan dipantau secara ketat dengan
menggunakan pemantauan tekanan vena sentral secara invasive
• Profilaksis eklampsia : pemberian magnesium sulfat

• Pemeriksaan biokimia setiap 6 jam

• Persiapan kelahiran prematur jika diperlukan

3. Penatalaksanaan pada Nifas

• Obat penurun tekanan darah dianjurkan terus dikonsumsi hingga hipertensi teratasi

• Direkomendasi untuk melakukan tinjauan postnatal dan perencanaan prakonsepsi

Penanganan preeklampsia dibedakan menurut klasifikasi Pe Ringan dan PE Berat antara lain: 11

1. Pre-eklampsia Ringan Kehamilan kurang dari 37 minggu

Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan:

• Pantau tekanan darah, urine (untuk proteinuria), refleks dan kondisi janin

• Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya preeklampsia dan eklampsia

• Lebih banyak istirahat

• Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)

• Tidak perlu diberi obat-obatan

• Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit:

1. Diet biasa

2. Pantau tekanan darah 2 kali sehari dan urin (untuk proteinuria) sekali sehari

3.Tidak perlu diberi obat-obatan

4.Tidak perlu diuretik. Kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis atau gagal ginjal
akut.

5. Jika tekanan darah diastolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan:

• Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda preeklampsia berat.

• Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan darah, urin, keadaan janin, serta
gejala dan tanda-tanda pre-eklampsia berat.

• Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali.

• Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat


• Lanjutkan penanganan dan observasi kesehatan janin

• Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi


kehamilan. Jika tidak, dirawat sampai aterm

• Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat

Kehamilan lebih dari 37 minggu

• Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin.

• Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan prostaglandin atau kateter foley atau lakukan
seksio sesarea

Preeklampsia Berat dan Eklampsia

Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus berlangsung
dalam 12 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia.

Semua kasus preeklampsia berat harus ditangani secara aktif. Penanganan konservatif tidak dianjurkan
karena gejala dan tanda eklampsia seperti hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering tidak sahih.

Penanganan kejang

• Beri obat anti konvulsan

• Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker dan balon, oksigen)

• Beri oksigen 4-6 liter per menit

• Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat terlalu keras

• Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi risiko aspirasi

• Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokkan jika perlu

Penanganan umum

• Jika tekanan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, berikan obat antihipertensi, sampai tekanan diastolic
diantara 90-100 mmHg
• Pasang infus dengan jarum besar (16 gauge atau lebih besar)

• Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload cairan

• Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria jika jumlah urin kurang dari 30 ml
perjam

• Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan kematian
ibu dan janin

• Observasi tanda-tanda vital, reflex dan denyut jantung janin setiap jam

• Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru

• Hentikan pemberian cairan IV dan berikan diuretic misalnya furosemid 40 mg IV sekali saja jika ada
edema paru

• Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana (bedside clotting test). Jika pembekuan tidak
terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.

Persalinan

• Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedang pada eklampsia dalam 12 jam
sejak gejala eklampsia timbul.

• Jika terdapat gawat janin, atau persalinan tidak dapat terjadi alam 12 jam (pada eklampsia), lakukan
seksio sesarea.

• Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa :

1. Tidak terdapat koagulopati

2. Anastesi yang aman/ terpilih adalah anastesi umum. Jangan lakukan anastesi lokal, sedang
anastesi spinal berhubungan dengan risiko hipotensi.

• Jika anastesia yang umum tidak tersedia, atau janin mati, atau terlalu kecil, lakukan persalinan
pervaginam. Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml dekstrose/ RL 10
tetes/menit atau dengan prostaglandin.

Perawatan postpartum

• Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang terakhir.

• Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolik masih > 110 mmHg dan pantau urine.

Pemberian Magnesium Sulfat untuk Pre-eklampsia dan Eklampsia


Dosis awal

1. MgSO4 4 gr IV sebagai larutan 20% selama 5 menit

2. Diikuti Mg SO4 (50%) 5 g IM dengan 1 ml lignokain 2%

3. Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4

Dosis pemeliharaan

1. MgSO4 (50%) 5g + lignokain 2 % 1 ml IM setiap 4 jam

2. Lanjutkan sampai 24 jam pascapersalinan atau kejang terakhir.

3. Sebelum pemberian MgSO4 periksa :

• Reflek patella positif

• Pernafasan > 16x/mnt

• Produksi urine > 25 – 30 cc/jam

Stop pemberian MgSO4 jika :

1. Frekuensi pernafasan < 16/ menit.

2. Refleks patella (-)

2. Urin < 30 ml/ jam

Siapkan antidotum :

Jika terhenti nafas :

1. Bantu dengan ventilator

2. Beri kalsium glukonat 2 g (20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai pernafasan mulai lagi.

Pemberian Diazepam untuk Pre-eklampsia dan Eklampsia Intravena

Dosis awal

1. Diazepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit

2. Jika kejang berulang ulangi dosis awal


Dosis pemeliharaan

1. Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan RL per infuse

2. Depresi pernafasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg/jam.

3. Jangan berikan > 100 mg/24 jam

Pemberian Diazepan Melalui Rectum

• Jika pemberian IV tidak mungkin, diazepam dapat diberikan per – rektal, dengan dosis awal 20 mg
dalam samprit 10 ml

• Jika masih kejang, beri tambahan 10 mg/jam

Determinan Preeklampsia

1. Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dijumpai kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator
prostasiklin oleh sel-sel endothelial plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin
meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata
dan sekresi aldosteron menurun. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral terhadap
ketidakseimbangan prostasiklin dan tromboksan. Hal ini mengakibatkan pengurangan perfusi plasenta
sebanyak 50%, hipertensi, dan penurunan volume plasma.

2. Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama terjadi
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia terjadi
kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.14

Beberapa studi melaporkan bahwa kemungkinan mal-adaptasi imunologis sebagai patofisiologi dari
preeclampsia. Pada ibu dengan preeklampsia terjadi penurunan T-helper dibandingkan dengan ibu hamil
normotensi yang dimulai sejak awal trimester dua. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada
50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat 15%.17

Radikal bebas yang dilepas oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Radikal bebas-
oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid peroksida yang akan membuat radikal bebas lebih
toksis dalam merusak sel endotel. Hal ini akan menyebabkan ganggguan produksi nitrit oksida oleh
endotel vaskuler yang akan mempengaruhi keseimbangan prostasikin dan tromboksan dimana terjadi
peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel vaskuler.7

3. Genetik
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita preeklampsia adalah peningkatan
Human leukocyte antigen (HLA). Menurut beberapa peneliti, wanita hamil yang mempunyai HLA dengan
haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi menderita preeklampsia dan pertumbuhan
janin terhambat.

Penelitian lain melaporkan bahwa prevalensi preeklampsia meningkat pada anak perempuan yang lahir
dari ibu yang menderita preeklampsia, mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap
kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya berperan tetapi manifestasi pada penyakit
ini secara jelas belum dapat dijelaskan.7

4. Iskemik Plasenta

Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan myometrium dalam 2 tahap.
Pertama sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel,
merusak jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti arteri
dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir semester pertama dan pada masa ini proses
tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.17

Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dair sel trofoblas yang mana sel-sel
trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga ke dalam myometrium. Selanjutnya
terjadi proses seperti tahap pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis
serta perubahan material fibrinoid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang
berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadinya dilatasi secara
pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan, dapat
dilihat pada gambar 3 berikut ini.17

Gambar 3. Plasenta pada kehamilan normotensi dan preeklampsia

Sumber: Reynold et al (2003)18


Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya disebabkan oleh :
(1) tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas, (2) Pada arteri spiralis yang
mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua
tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam myometrium, tetapi mempunyai
dinding muskulo elastic yang reaktif sehingga masih terdapat resistensi vaskuler. Disamping itu terjadi
juga arterosis akut (lesi seperti arteroskllerosis) pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen
arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami obstruksi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran
darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta.14

5. Disfungsi Endotel

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan pada terjadinya preeklampsia. Kerusakan
endotel vaskular pada preeklampsia dapat menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan
aktivitas agregasi trombosit dan fibrinolisis, kemudian diganti oleh trombin dan plasmin. Trombin akan
mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivitas trombosit menyebabkan
pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

6. Usia Ibu

Semakin tua usia ibu, semakin berisiko terjadinya preeklampsia. Usia ibu memiliki risiko 1,40 (IK 95%;
1,31-1,51) terjadi preeklampsia, sementara usia ibu ≥ 35 tahun berisiko 1,95 (IK 95%; 1,80-2,12) terjadi
preeklampsia. Studi lain menginformasikan bahwa usia ibu yang lebih tua yaitu 40 tahun lebih besar
resikonya mengalami preeclampsia atau meningkat 2 kali lipat. Sementara itu studi di Amerika
melaporkan bahwa pada kelompok ibu hamil yang lebih tua lebih banyak mengalami preeklampsia
dibandingkan dengan kelompok ibu yang berusia lebih muda. Namun hal tersebut dipengaruhi oleh
perilaku ibu hamil pada kelompok yang lebih muda sebagai perokok. Pada kelompok tersebut kejadian
preeklampsia justru lebih rendah. Penelitian lain menyebutkan bahwa tidak terbukti merokok dapat
mengurangi risiko kejadian preeklampsi dilaporkan Payne dkk dari penelitian yang dilakukan di beberapa
Negara. Studi lanjut mengenai hal tersebut perlu dilakuan untuk membuktikan hasil penelitian yang
konsisten.2, 6, 14, 19, 20

7. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dilaporkan berhubungan dengan kejadian preeklampsia. Semakin rendah tingkat
pendidikan ibu semakin berisiko terjadi preeklampsia. Ibu yang berpendidikan rendah berisiko 1,22 (IK
95%; 1,07-1,39) terhadap terjadinya preeclampsia.19

8. Indeks Massa Tubuh (IMT)


IMT berhubungan secara signifikan terhadap preeclampsia, IMT ≥ 35 tahun berisiko 3 kali pebih besar
terjadi preeklampsia OR 3,90 (IK 95%; 3,52-4,33) sedangkan IMT 20 sampai < 26 lebih rendah risikonya
terhadap kejadian preeklampsia dengan OR 1,71 (IK 95%; 01,61-1,81). Hal yang sama juga dilaporkan
dari studi kohort yang dilakukan di Amerika bahwa IMT berhungan pereklampsia. Sedangkan sumber
lain menyatakan IMT yang meningkat sebelum kehamilan beresiko mengalami preeklampsia 2,5 kali
lebih besar. Sedangkan jika IMT meningkat selama pemeriksaan Antenatal (ANC) atau juga beresiko 1,5
kali lebih besar mengalami preeclampsia. 2, 6, 14, 19

9. Paritas

Nulipara lebih berisiko terjadinya preeklampsia dengan OR 2,04 (IK 1,92-2,16). Sumber lain melaporkan
bahwa nulipara beresiko mengalami preeklampsia sebanyak 3 kali lipat.6, 19

10. Riwayat Hipertensi Kronik

Ibu dengan riwayat hipertensi kronik sangat tinggi risikonya yakni 7 kali lebih besar terjadi preeklampsia
dengan OR 7,75 (IK 95%; 6,77-8,87). Pada hipertensi kronis terjadi jejas pada endotel vaskuler yang
dapat menyebabkan hipertropi dan proliferasi sel endotel vaskuler hingga kerusakan endotel. Studi lain
menyatakan bahwa jika terjadi peningkatan tekanan darah diastolik lebih dari 80 mmHg, maka resiko
preeklampsia meningkat 1,5 kali lipat.6, 14, 19, 21, 22

11. Riwayat Preeklampsia sebelumnya

Ibu dengan riwayat preeklampsia sebelumnya memiliki risiko 7 kali lipat mengalami preeklampsia pada
kehamilan berikutnya. Penelitian lain melaporkan bahwa ibu dengan riwayat preeklampsia berisiko
terjadi superimposed preeclampsia pada kehamilan berikutnya dengan OR 3,76 (IK 95%; 1,82 – 7,75).6,
23

12. Diabetes Gestasional

Ibu dengan riwayat diabetes gestasional berisiko 2 kali lebih besar terjadi preeklampsia dengan OR 2,00
(IK 95%; 1,63-2,45). Hal yang sama juga dilaporkan dari studi yang lain di Amerika Serikat, bahwa terjadi
peningkatan prevalensi preeklampsia salah satunya disebabkan oleh meningkatnya proporsi ibu hamil
dengan diabetes gestasional. 2, 14, 19

13. Penyakit Jantung


Penyakit jantung memberikan resiko 2 kali lebih besar terhadap kejadian preeklampsia OR 2,38 (IK 95%;
1,86-3,05).14, 19

14. Anemia Berat

Anemia berat memberikan resiko 2 kali lebih besar terjadinya preeklampsia, OR 2,98 (IK 2,47-3,61).19

15. Kunjungan Antenatal

Kunjungan ANC yang rendah lebih berisiko terjadinya preeklampsia dengan OR 1,41 (IK 95%; 1,26-
1,57).19

16. Tingkat Pendapatan

Semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin berisiko terjadinya preeklampsia. Pendapatan rendah-
menengah OR 2,24 (IK 95%; 1,03-4,02) sedangkan pendapatan menengah ke atas OR 3,55 (OR 95%; 1,57
– 8,02).19

17. Kehamilan Kembar

Pada kehamilan ganda ditemukan peningkatan kadar aktivin A yang menggambarkan adanya kelaianan
plasentosis dan fungsi trofoblas. Pada kehamilan ganda terjadi hiperplasia plasenta yang diikuti dengan
peningkatan jumlah produk yang dihasilkan plasenta termasuk aktivin A. Sumber lain melaporkan bahwa
kehamilan kembar beresiko mengalami preeclampsia 3 kali lipat dibandingkan kehamilan tunggal.6, 14,
24

Referensi lainnya membagi faktor risiko menjadi 3 bagian yaitu risiko yang berhubungan dengan
pasangan/ suami, risiko yang berhubungan dengan riwayat pneyakit terdahulu, dan risiko yang
berhubungan dengan kehamilan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:5

1. Risiko yang berhubungan dengan pasangan:

primigravida, umur yang ekstrim: terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan, pasangan/suami yang
pernah menikah wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklampsia, inseminasi donor dan
donor oocyte

2. Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu:

berupa riwayat pernah preeklampsia, hipertensi kronis, penyakit ginjal, obesitas dan diabetes
gestasional.
3. Risiko yang berhubungan dengan kehamilan :

kehamilan kembar dan mola hidatidosa serta hydrops fetalis.

Faktor resiko preeklampsi menurut tingkat resiko dapat dilihat dibawah ini:13

Risiko Sedang

1. Usia 40 tahun atau lebih

2. Primigravida

3. Kehamilan Kembar

4. Interval kehamilan lebih dari 10 tahun atau lebih

5. IMT 35 atau lebih

6. Riwayat keluarga dengan Preelampsia

Resiko Tinggi

1. Hipertensi kronis

2. Penyakit ginjal kronis

3. Hipertensi selama kehamilan sebelumnya

4. Diabetes

5. Penyakit Autoimun
Dibawah ini dapat digambarkan kerangka pemikiran terjadi Preeklmapsia berdasarkan teori-toeri yang
telah disebutkan di atas.

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Sumber : Bothamley and Boyle,25 Cunningham et al,7 WHO,9 Bilano et al,19 Ananth et al,2 Himpunan
Kedokteran Feto Maternal Indonesia,5 dan Boyce et al.6

Anda mungkin juga menyukai