Laporan Kasus
Disusun oleh:
dr. Grace Natalia Dumat
Pembimbing
dr. Nova Wulur, Sp.OG(K)
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Klasifikasi
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca
persalinan.
b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
c. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang atau
koma.
d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi
kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
e. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi
tanpa proteinuria.
2.1.3. Faktor Risiko
Dari berbagai macam faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan
maka dapat dikelompokkan sebagai berikut:7
a. Primigravida
b. Hiperplasentosis, seperti molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim dan obesitas
d. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia dan eklampsia
e. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
5
G. Teori Genetik
Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami pereeklampsia, maka 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8%
anak menantu mengalami preeklampsia.7
sirkulasi ibu. Peristiwa ini disebut sebagai kekacauan adaptasi dari proses
inflamasi intravaskular pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan
menyeluruh.7
Kebanyakan penelitian melaporkan terjadi kenaikan kadar TNF-alpha
pada PE dan IUGR. TNF-alpha dan IL-1 meningkatkan pembentukan trombin,
platelet-activating factor (PAF), faktor VIII related anitgen, PAI-1, permeabilitas
endotel, ekspresi ICAM-1, VCAM-1, meningkatkan aktivitas sintetase NO, dan
kadar berbagai prostaglandin. Pada waktu yang sama terjadi penurunan aktivitas
sintetase NO dari endotel. Apakah TNF-alpha meningkat setelah tanda-tanda
klinis preeklampsia dijumpai atau peningkatan hanya terjadi pada IUGR masih
dalam perdebatan. Produksi IL-6 dalam desidua dan trofoblas dirangsang oleh
peningkatan TNF-alpha dan IL-1. IL-6 yang meninggi pada preeklampsia
menyebabkan reaksi akut pada preeklampsi dengan karakteristik kadar yang
meningkat dari ceruloplasmin, alpha1 antitripsin, dan haptoglobin,
hipoalbuminemia, dan menurunnya kadar transferin dalam plasma. IL-6
menyebabkan permeabilitas sel endotel meningkat, merangsang sintesis platelet
derived growth factor (PDGF), gangguan produksi prostasiklin. Radikal bebas
oksigen merangsang pembentukan IL-6. Disfungsi endotel menyebabkan
terjadinya produksi protein permukaan sel yang diperantai oleh sitokin. Molekul
adhesi dari endotel antara lain E-selektin, VCAM-1 dan ICAM-1. ICAM-1 dan
VCAM-1 diproduksi oleh berbagai jaringan sedangkan E-selectin hanya
diproduksi oleh endotel. Interaksi abnormal endotel-leukosit terjadi pada sirkulasi
maternal preeklampsia.8
2.2. Preeklampsia
2.2.1. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan
vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi
organ. 9 Preeklampsia didefinisikan sebagai suatu sindrom yang dijumpai pada ibu
hamil di atas 20 minggu terdiri dari huipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa
edema.8
Sindroma ini terjadi selama kehamilan, dimana gejala klinis timbul pada
kehamilan setelah 20 minggu atau segera setelah persalinan. Diagnosis
preeklampsia berat adalah keadaan preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110mmHg, dengan atau tanpa kadar
proteinuria > 5 gr/24jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif, oliguria (produksi
9
urine < 500cc dalam 24 jam) disertai kenaikan kadar kreatinin plasma, terdapat
gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
abdomen, edema paru atau sianosis, pertumbuhan janin terhambat dan sindroma
HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzym, Low Platet Count).
2.2.2. Epidemiologi9
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak
faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia
sekitar 3-10%, sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian
preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan, yaitu 23,6 kasus per 1.000
kelahiran. Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda, Sudinaya (2000)
mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan
Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1
Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus
(4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada
usia 20-24 tahun dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa,
kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia. Peningkatan
kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya
hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan superimposed PIH.
2.2.4. Patofisiologi11
Etiologi dan faktor pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui
secara pasti. Teori timbulnya preeklampsia harus dapat menjelaskan beberapa hal,
yaitu sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnya frekuensi
dengan bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengan kematian janin
intrauterin, sebab timbulnya tanda-tanda preeklampsia. Itulah sebabnya kenapa
penyakit ini disebut “the disease of theories”.
5) Kejang
Kejang tanpa penyebab lain merupakan diagnosis eklampsia, kejang
merupakan salah satu tanda dari gejala gangguan serebral pada
16
2) Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih
5g/24 jam.
Diagnosa preeklampsia berat ditegakkan dengan kriteria:
a) Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110
17
Rawat Inap
Kriteria preeklampsia ringan yang dirawat di rumah sakit yaitu:
a. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama
2 minggu
b. Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
c. Kenaikan berat badan ibu ≥ 1 kg perminggu selama 2 kali
berturut-turut
- Terapi medikamentosa: Bila penderita sudah kembali menjadi
preeklampsia ringan, maka masih akan dirawat 2-3 hari lagi, baru
diizinkan pulang
- Perawatan dirumah sakit:
1) Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik :
a) Nyeri kepala
b) Penglihatan kabur
c) Nyeri perut kuadran kanan atas
d) Nyeri epigastrium
2) Kenaikan berat badan dengan cepat
3) Menimbang berat badan ketika masuk rumah sakit dan diikuti
setiap harinya
4) Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulangi
setiap 2 hari.
Perawatan Obstetrik
a. Kehamilan preterm (kehamilan antara 22 minggu sampai ≤ 37
minggu), bila tekanan darah mencapai normotensif,
persalinannya ditunggu hingga aterm
b. Kehamilan preterm yang tekanan darah turun selama perawatan
tetapi belum mencapai normotensif, terminasi kehamilan
dilakukan pada kehamilan 37 minggu
c. Kehamilan aterm (> 37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi inpartu atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat
20
2. Pre-eklamsia Berat
Penderita preeklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi (kiri). 7 Perawatan yang penting pada
preeklamsia berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeclampsia dan
eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oliguria adalah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik
koloid/pulmonary capillary wedge pressure.
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah
Furosemide.
Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu
selama 48 jam (6 gr/12 jam IM sebanyak 4 kali) untuk pematangan paru janin.
Glukokortikoid juga diberikan pada sindroma HELLP.
22
Perawatan Aktif10,12,13
Terminasi kehamilan dilakukan 1-2 jam setelah pemberian MgSO4 atau setelah
terjadi stabilisasi hemodinamik. Pemberian MgSO4 diteruskan sampai 24 jam
pascapersalinan. Perawatan aktif dilakukan dengan indikasi :
a. Ibu
- Kehamilan > 37 minggu
- Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
1) Dalam waktu atau selama 6 jam sejak dimulai pengobatan
medisinal terjadi kenaikan TD yang persisten, atau
2) Setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak ada
perbaikan gejala-gejala.
- Muncul tanda dan gejala Impending Eklampsia: PE berat disertai
gejala nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah, nyeri epigastrium,
kenaikan TD yang preogresif
- Dijumpai gangguan fungsi hati/ginjal
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul inpartu, ketuban pecah, atau perdarahan
- HELLP Syndrome
b. Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda PJT
- NST non reaktif dan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidramnion
Manajemen persalinan
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat
dilaksanakan cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu
diadakan induksi dengan amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari
serangan kejang selama 12 jam dan keadaan serviks mengizinkan. Tetapi, apabila
serviks masih lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih
tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik, sebaiknya dilakukan seksio
sesarea. Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk
mempercepat partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi
vakum atau cunam. Sikap dasar adalah bila kehamilan diakhiri bila sudah terjadi
stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu dapat
dicapai dalam 4-8 jam setelah salah satu atau lebih dari keadaan berupa 1.)
setelah pemberian
2
obat anti kejang terakhir; 2.)setelah kejang terakhir; 3.) setelah pemberian obat
anti hipertensi terakhir; 4.) penderita mulai sadar (responsif dan orientasi).
Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah dihentikan dan
diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan,
tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi.
Pada ibu aterm namun belum inpartu, induksi persalinan dapat dilakukan bila hasil KTG normal.
Pemberian drip oksitosin dilakukan bila nilai skor pelvik ≥5. Bila perlu, dilakukan pematangan
cervix dengan balon kateter no. 24 diisi dengan 40 cc aquadest. Pada skor pelvik yang rendah
dan kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan
pervaginam. Seksio sesaria dilakukan bila : (1) induksi persalinan gagal (6jam setelah diinduksi
tidak tercapai his yang adekuat); (2) terjadi maternal/fetal distress.
Pada ibu aterm yang sudah inpartu, dilakukan pemantauan kemajuan persalinan dengan
menggunakan partograf. Kemudian persalinan kala II dipersingkat denga EV/EF. Seksio sesaria
dilakukan bila: (1) terjadi maternal/fetal distress; (2) 6jam tidak masuk fase aktif; (3)
penyimpangan partograf.
Seksio sesaria primer dilakukan apabila kontraindikasi persalinan pervaginam atau usia
kehamilan < 34 minggu.
2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi dapat terjadi pada ibu maupun
janin/anak.8,12
Maternal
a) Eklampsia
Eklampsia adalah kejang grand mal akibat spasme serebrovaskular. Kematian disebabkan oleh
hipoksia dan komplikasi dari penyakit berat yang menyertai.
b) Perdarahan serebrovaskular
Perdarahan serebrovaskular terjadi karena kegagalan autoregulasi aliran darah otak pada MAP (Mean
Arterial Pressure) diatas 140 mmHg.
c) HELLP Syndrome
d) Gagal ginjal
Diperlukan hemodialisis pada kasus yang berat.
e) Edema paru
f) Ablasio retina
g) Solusio plasenta
2
h) Koma
i) Trombosis vena
Kematian maternal
Munculnya satu atau lebih dari komplikasi tersebut dan muncul secara bersamaan, merupakan
indikasi untuk terminasi kehamilan berapapun umur gestasi.
Fetal
a) Pertumbuhan janin terhambat
Pada usia kehamilan 36 minggu, masalah utama adalah IUGR. IUGR terjadi karena plasenta
iskemi yang terdiri dari area infark.
b) Persalinan prematur
c) Perdarahan serebral
d) Pneumorhorax
e) Serebral Palsy
2.2.9. Prognosis
Kematian ibu pada preeklampsia 3x lipat dari kematian dalam obstetri dan pada eklampsia angka
kematian ibu berkisar 7-17%. Angka kematian perinatal pada preeklampsia berkisar 10%. Prematuritas
merupakan penyebab utama kematian perinatal. Angka kejadian prematuritas pada preeklampsia paling
sedikit 2x kehamilan normal. Angka kematian bayi prematur lebih kurang 22%. Kejang merupakan faktor
utama sebagai penyebab kematian ibu. Kriteria yang dapat meningkatkan angka kematian ibu (Kriteria
Eden) antara lain:8
1. Kejang 10x atau lebih
2. Koma 6 jam atau lebih
3. Temperatur ≥39oC
4. Nadi ≥120x per menit
5. Pernafasan ≥40x per menit
6. Edema pulmonal
7. Sianosis
8. Urin ≤30ml/jam
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP, tanpa memandang umur kehamilan, harus segera
diakhiri. Persalinan dapat dilakukan secara pervaginam maupun perabdominam. Perlu diperhatikan adanya
gangguan pembekuan darah bila hendak melakukan anestesi regional (spinal).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan gangguan pada saluran pernapasan akut yang
disebabkan oleh Virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang terjadi
pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada Desember 2019 dan menyebar dengan cepat di
seluruh dunia. Kasus infeksi ini pertama kali berasal dari sebuah Pasar yang menjual berbagai seafood dan
hewar liar di kota tersebut. Berdasarkan analisis sampel Swab oleh Chines Centre for Disease Control and
Prevention (CCDC) diketahui terdapat sekuens genome SARS-CoV-2 pada subjek penderita dan juga
kelelawar yang dicurigai sebagai hospes revoir. Hingga saat ini, SARS-CoV-2 dapat tertransmisi dari
manusia 1 ke manusia. Badan kesehatan dunia, WHO, mengumumkan COVID-19 sebagai wabah pandemi
pada tanggal 30 Januari 2020. Hal ini disebabkan karena begitu cepatnya perkembangan kasus COVID-19
dalam 2 2 minggu dan telah menyebar di seluruh dunia. Data menyebutkan bahwa terdapat 7.734 kasus
yang telah terkonfirmasi di Cina pada hari itu. Pada tanggal 30 Maret 2020, WHO mengkonfirmasi
terdapat 632.146 kasus dengan 30.105 kasus kematian di 3 203 Negara di seluruh dunia. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa terdapat total 1.285 terkonfirmasi positif dengan 114
kematian pada 4 hari itu. Sebanyak 80% infeksi COVID-19 tergolong asimptomatis maupun dengan
gejala ringan (mild), 15% sedang (severe) yang membutuhkan oksigen, dan 5% berat yang membutuhkan
ventilator (WHO, 2020). Gejala COVID-19 muncul setelah masa inkubasi (1–5 hari) yaitu masa dimana
virus SARS-CoV-2 masuk dan menginfeksi saluran pernapasan pasien. Gejala COVID-19 dapat terjadi
pada hari ke 7 hingga ke 14 tergantung dari status sistem imun seseorang. Gejala klinis COVID-19 yang
sering muncul yaitu panas tinggi (>37.5°C), bersin, sesak napas, dan batuk kering. Manifestasi klinis lain
yang mungkin muncul pada pasien diantaranya diare, limfopenia, dan kerusakan paru-paru yang
ditunjukkan dari pemeriksaan foto 5 toraks. Wanita hamil merupakan kelompok yang rentan mengalami
gangguan kesehatan khususnya penyakit infeksi dikarenakan adany aperubahan fisiologi tubuh 6 dan
mekanisme respon imun di dalam tubuhnya. Selain itu juga terdapat perubahan imunitas tubuh dari arah 7
2
Th1 ke arah Th2. Berdasarkan data kasus wanita terkonfirmasi positif di Amerika Serikat pada Agustus
2020 sejumlah 15.735 jiwa (0,3% dari total kasus 8 terkonfirmasi positif). Menurut data Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Jakarta, 13,7% perempuan hamil lebih mudah terinfeksi Covid-
19, 9 dibandingkan mereka yang tidak hamil.
2.4.2. Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Coronavirus
merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein
utama pada Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S
(spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu
alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-
19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus),
HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63 (alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-
CoV (betacoronavirus), dan MERS-CoV (betacoronavirus). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19
termasuk dalam genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan
berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus
yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu
Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama
penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2. Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19
bertahan di atas permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya
coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu
atau kelembapan lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARSCoV-2 dapat
bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan
kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARSCOV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet
dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%,
ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali khlorheksidin).
Bagaimana infeksi COVID-19 pada kehamilan masih terbatas, karena data dan penelitian masih
terus dilakukan, virus masuk melalui sel host melalui beberapa tahapan proses diantaranya: 1.
attachment : SARS-CoV-2 - S protein yang berikatan dengan ACE-2 reseptor yang terdapat di
saluran napas bagian bawah, 2. penetrasi, 3. biosintesis, 4. maturasi dan 5.terakhir akan
merelease virus baru, di awal tubuh akan timbul respon imun: salah satunya adalah innate
immunity atau imunitas didapat terutama : yang berasal dari salauran napas paling luar yaitu
epithelial yang akan merangsang pengeluaran Macrophage dan Dendritic Cells kemudian
muncul T cell response yang akan mengaktifkan CD4 T cell Activate B virus spesifik
Antibodi Cells CD8 membunuh virus; tetapi apabila tidak berhasil makan akan menyebabkan
pengeluaran sitokin Pro-inflammatory diantaranya adalah IL-6, IL-10, GCSF, Chemokines,
TNF-alpha yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada paru paru, kenaikan D-Dimer,
penurunan fibrinogen, thrombosis, emboli paru dan kegagalan multi organ. Pada kondisi yang
berat akan menyebabkan sitokin storm (badai sitokin), hubungan dengan fisiologi kehamilan
bahwa pada awal kehamilan pada kondisi trimester awal, ibu hamil dalam kondisi pro-inflamasi
banyak ditemukan sitokin tipe 1 (implantasi) masuk pada trimester ke-2 kondisi akan
cenderungan anti-inflamatory invoirement (sitokin tipe 2) pada akhir kehamilan akan kembali
dalam keadaaan pro-inflamasi (sitokin tipe-1). Apakah wanita hamil menjadi rentan pada awal
kehamilan dan akhir kehamilan masih terus dalam penelitian.
2.4.3. Penularan
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan
bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia.
Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.
2
Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun dapat
mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh
konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai
dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala.
Sebuah studi Du Z et. al, (2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimptomatik.
Penting untuk mengetahui periode presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet
atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang
tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah akan tetapi masih ada
kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID-19 utamanya
ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet.
Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi ketika
seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan
(misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi
droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda
yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer). Dalam konteks
COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam keadaan khusus dimana prosedur atau
perawatan suportif yang menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka,
pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi
tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif non-invasif, trakeostomi, dan resusitasi
kardiopulmoner. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai transmisi melalui udara.
Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap. Beberapa orang
yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling
umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan
sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman
dan pembauan atau ruam kulit. Tidak ada perbedaan antara populasi umum dengan ibu hamil terhadap
gejala yang mungkin tibul. Berdasarkan RCOG 2020 menyatakan bahwa kehamilan dan persalinan tidak
meningkatkan risiko infeksi terhadap COVID-19. Perubahan sisitem imun fisiologis pada ibu hamil,
berhubungan dengan gejala infeksi COVID-19 yang lebih besar. Kebanyakan ibu hamil hanya mengalami
gejala cold/flu-like sympthomps derajat ringan sampai dengan sedang. Pada telaah sistematis pada 108
kasus kehamilan terkonfirmasi covid-10 didapatkan gejala klinis paling sering didapatkan adalah demam
3
dan batuk (tabel 2.2.) (1). Lebih dari 90% tidak memerlukan terminasi kehamilan. Risiko akan meningkat
pada kehamilan dengan komorbid. Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi,
40% kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia,
15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan
gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal ginjal atau gagal
jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang
sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker
berisiko lebih besar mengalami keparahan. Tabel 2.2. Gejala Klinis pada Kehamilan terkonfirmasi Covid-
19 (1)
2.4.5. Diagnosis
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi
COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification
Test) seperti pemeriksaan RT-PCR.
3
Keterangan algoritma: pada semua ibu hamil yang datang ke RS harus dikategorikan status Covidnya
di triage Instalasi Gawat Darurat RS. Idealnya semua ibu hamil dilakukan pemeriksaan RT-PCR
melalui Swab, sehinggga dapat diketahui statusnya terkonfirmasi covid (+) atau kasus non covid. Jika
hal ini tidak bisa dikerjakan, maka dapat dilakukan skrining awal terlebih dahulu dengan pemeriksaan
klinis, tes serologis, dan CT-scan atau foto thoraks, dan dilakukan konsultasi dengan Satgas covid atau
dokter spesialis Paru. Jika pasien dikategorikan sebagai kasus non Covid maka penanganan obsetri
dikerjakan seperti biasa di kamar bersalin. Jika pasien dikategorikan sebagai kasus suspek, maka harus
dilakukan penegakan diagnosa dengan RT-PCR swab (skrining dua tahap). Pasien suspek harus
diperlakukan sebagai pasien positif covid sampai hasil swab menyatakan sebaliknya. Indikasi
hospitalisasi pada kasus suspek adalah adanya kegawat daruratan obstetrik, atau skor MEOWS >4,
dan atau gejala covid sedang-berat. Pasien dengan gejala ringan dan tanpa ada kegawat daruratan
obstetrik dapat dipulangkan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari, dengan
melakukan pemantauan gerak janin.
MEOW Score 3 2 1 0 1 2 3
MEOWS 2-3 Normal dan stabil, laporan kondisi pasien bisa dalam 1 hari
MEOWS 4-5 Abnormal dan tidak stabil, harus dievaluasi dalam 30 menit
MEOWS >6 Abnormal dan tidak stabil, harus dievaluasi dalam 10 menit
2.4.10. Dexamethasone
diikuti oleh prednisolon (40 mg per hari secara oral) ) atau hidrokortison (80 mg
intravena dua kali sehari) untuk menyelesaikan pemberin steroid ibu. Hal ini untuk
menghindari paparan deksametason atau betametason yang berkepanjangan
terhadap janin, yang melalui sawar plasenta dalam bentuk aktif secara metabolik
dan mungkin memiliki efek buruk (misalnya, peningkatan risiko kelahiran
prematur, gangguan perkembangan saraf jangka panjang).1
Remdesivir
adalah analog nukleotida yang memiliki aktivitas melawan SARS-CoV-2
secara in vitro dan coronaviruses terkait (termasuk sindrom pernapasan akut parah
[SARS] dan Timur Tengah terkait sindrom pernapasan coronavirus [MERS-CoV])
baik secara in vitro dan dalam penelitian hewan. Remdesivir mengikat RNA-
dependent RNA polymerase virus, menghambat replikasi virus melalui terminasi
dini proses transkripsi RNA. Remdesivir belum mendapat persetujuan dari Food
and Drug Administration (FDA). Namun dapat digunakan dengan aturan khusus
FDA (emergency use authorization) untuk penanganan orang dewasa, anak-anak,
dan ibu hamil yang terinfeksi Covid-19 dan saat ini sedang dalam uji klinis.
Beberapa data pendahuluan dari studi RCT multinasional (Adaptive COVID-19
Treatment Trial [ACTT]) menunjukkan bahwa pasien Covid-19 yang mendapat
remdezivir memiliki waktu pulih secara klinis lebih pendek dibandingkan yang
mendapat plasebo. Namun data uji klinis untuk menilai efektifitas remdesivir pada
pasien dengan gejala ringan dan sedang masih sangat terbatas. Obat ini telah
digunakan tanpa laporan tentang toksisitas janin pada wanita hamil dengan Ebola
dan infeksi virus Margburg. Hampir semua uji acak dari obat selama pandemi
COVID-19 telah mengecualikan wanita hamil dan menyusui.
Karena persediaan remdesivir terbatas, direkomendasikan agar remdesivir
diprioritaskan untuk digunakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
COVID-19 yang membutuhkan oksigen tambahan tetapi yang tidak menggunakan
oksigen aliran tinggi, ventilasi noninvasif, ventilasi mekanis, atau oksigenasi
membran ekstrakriloreal (ECMO). Penggunaan selama 5 hari atau sampai keluar
rumah sakit (AI). Jika pasien yang menggunakan oksigen tambahan saat menerima
remdesivir berkembang hingga membutuhkan oksigen aliran tinggi, ventilasi
mekanis noninvasif atau invasif, atau ECMO, maka pemberian remdesivir harus
dihentikan.2
Lopinavir / Ritonavir
adalah terapi kombinasi antiprotease dan merupakan rejimen obat yang
disukai karena diketahui relatif aman dalam kehamilan. Obat ini adalah inhibitor
SARS-CoV 3CLpro in vitro, dan protease ini juga memiliki ikatan kuat terhadap
SARS-CoV 2. Dosis yang dianjurkan adalah dua kapsul Lopinavir /Ritonavir (200
mg / 50 mg per kapsul) secara oral bersama dengan nebulisasi inhalasi interferon-α
(5 juta IU dalam 2 mL air steril untuk injeksi) dua kali sehari. Obat ini sudah
banyak digunakan dalam terapi ibu hamil dengan HIV, dan tidak ada bukti
teratogenesitas karena transfer plasentanya rendah. Namun data yang menunjukkan
efikasi leponavir/ritonavir pada pasien dengan Covid-19 sangat terbatas, dan
kemungkinan dosis yang lebih tinggi dibandingkan terapi HIV diperlukan untuk
tatalaksana SARS-CoV 2.
3
2.4.12. Antibiotik
Kerusakan paru-paru yang luas oleh virus secara substansial meningkatkan risiko
pneumonia bakteri sekunder. Antibiotik diindikasikan hanya jika ada bukti infeksi bakteri
sekunder. Namun, antibiotik harus diberikan tanpa penundaan jika sepsis bakteri
dicurigai. Ceftriaxone intravena dapat diberikan pada awalnya sambil menunggu hasil
kultur dan sensitivitas.4
2.4.13. Imunomodulator
Plasma Konvalens
Rawat
Monitoring ibu inapkemajuan persalinan
Evaluasi Monitoring janin
Terapi dipertahankanTerapi
antiviral
SpO2 harus pada saturasi Remdesivir,Lopinavir/Rit
≥95 %
Jika SpO2 turun di bawah 95 %, diperlukan pemeriksaan analisa gas darah
Terapi oksigen sampai target minimal 95% Antibiotik Vitamin C, D, Zinc
Obat-obatan lain
Kortikosteroid Deksametason
Untuk profilaksis antepartum yg tidak termasuk berat atau kritikal yang akan melahirkan dalam beb
Thromboembolic Low molecular weight heparin 40 mg per hari untuk yang belum melahirkan dalam waktu dekat ata
Plasma konvalesens
3
BAB 3
LAPORAN KASUS
Umur : 38 tahun
Suku : Minahasa
Alamat : Tataaran
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Tanggal masuk : 26 Juli
2021
Anamnesa Penyakit
Ny. O.S, 38 tahun, G3P2A0, Minahasa, Kristen Protestan, IRT, pasien masuk RS
dan di diagnosis dengan G3P2A0 38 tahun hamil 38-39 minggu + Hipertensi
Urgency
Keluhan utama : Nyeri perut ingin melahirkan
Telaah : Keluhan dirasakan oleh os sejak pagi tadi. Os datang ke RS
dengan diantar oleh keluarga. OS datang dalam keadaan
kepala bayi sudah turun didepan jalan lahir. Riwayat tekanan
darah tinggi sebelum hamil (-). Riwayat sakit kepala (-).
Riwayat nyeri ulu hati (-). Riwayat pandangan kabur (-).
Riwayat mual muntah (+) 2x. Riwayat trauma (-). Riwayat
mules-
3
RIWAYAT HAID
- HPHT : ?/10/2020
- TTP : ?/7/ 2021
- ANC : Bidan
RIWAYAT PERSALINAN
1. Hamil ini
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENS
Sens : compos mentis Anemis :-
TD : 234/162 mmHg Ikterik :-
HR : 122x/i Sianosis :+
RR : 34x/i Dyspnoe :-
T : 36 0C Oedema :+
STATUS GENERALISATA
Kepala : dbn
Mata : Konjungtiva anemis
(-/-) Sklera ikterik (-/-)
Refleks pupil (+/+), isokor, ka=ki
Leher : Pembesaran KGB (-/-)
TVJ R-2 cmH2O
Thorax : SP: vesikular
ST: -/-
STATUS OBSTETRI
Abdomen : Membesar dengan arah memanjang
TFU : teraba 2 jari di bawah umbilikus,
Teregang : pemeriksaan leopold TDE
Terbawah : pemeriksaan leopold TDE
Gerak :+
His :+
DJJ : 110 x/i
STATUS GINEKOLOGIS
VT : Cervix dilatasi dengan pembukaan lengkap, Air ketuban
LABORATORIUM
25 Juli 2021 (IGD)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah rutin
WBC 13410 4000-1000/μL
RBC 4,74 4-5 x 106/μL
HGB 16,6 12-14 gr/dL
HCT 45,3 36-42 %
PLT 211000 150000-440000/μL
MCV 95,6 80 .0 – 100.0 / fL
MCH 35,5 27,0 – 35,0 / pg
MCHC 36,6
GDS 126 < 200
HbsAg NON REAKTIF NON REAKTIF
Test HIV NON REAKTIF NON REAKTIF
DIAGNOSA SEMENTARA
G3P2A0 hamil 38-39 minggu + hipertensy urgency
TERAPI
- Inj MgSO4 40% dalam RL 28gtt
- - Nifedipin 10mg, berikan nifedipin 10 mg per 30 menit, max.
120 mg/24 jam
- O2 10lt NRM
- IVFD RL 20gtt
4
RENCANA
- EKG
- Konsul Interna dan Kardiologi
- Observasi his, DJJ pada kala II dan lakukan partus pervaginam
Follow up
Laporan Persalinan
Jam :-
Lama persalinan :
Jam :
Jam 17.05 :
Perdarahan : ±250cc
RENCANA
- Cek darah rutin, panell HELLP, albumin
- Observasi vital sign, kontraksi, dan tanda-tanda perdarahan
4
FOLLOW UP PASIEN
Status Lokalisata :
Kepala : Normocephal
Mata : palpebral inferior anemis -/-
T/H/M : dbn/nasal kanul terpasang/dbn
Thorax : SP: vesikuler, ST: (-)
Abdomen : Lihat status obstetri
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2dt , Oedem pretibial (+)
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+)
kuat P/V : (-) lochia (+) rubra
BAK : (-) via kateter
BAB : (-) flatus (+)
R/
Pantau TTV ketat
Oksigenasi adekuat
Albumin 20% 3FLs (1Fls/hr)
jantung ukuran kesan tidak membesar. Aorta baik. Mediastinum tidak melebar.Trakea ditengah. Kedua hillu suram. Tam
Kesan : Dibandingkan dengan x-foto thorax sebelumnya tangal 25/07/2021 (admitted to HP) saat ini infiltrat di kedua pa
4
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) rubra
BAK : (+) baik, berwarna kuning keruh
BAB : (-) flatus (+)
R/
TFG
Priksa : SGOT, SGPT, Ur, Cr
Cek X-Foto Thorax Kemarin (Hasil Print Out + Ekspertisi)
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
Venflon
Konsul TS Kardiologi
4
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
AFF IVFD
Hasil Laboratorium Urinalisis (30/07/2021)
Warna: Kuning
Kejernihan: Jernih Leukosit Esterase: NEGATIF Nitrit: NEGATIF
Urobilinogen: 0,1 ( 0 – 0,2 )
Protein: TRACE
pH: 5,0 ( 5 – 8 )
darah / Hb: NEGATIF
Keton: NEGATIF
Billirubin: NEGATIF
Glukosa: NEGATIF
4
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 154 /122 mmHg Dyspnoe :-
HR : 74 x/i Oedem :+
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-
SpO2 : 96%
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
AFF Venflon
S Sesak berkurang
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 140 /107 mmHg Dyspnoe :-
HR : 74 x/i Oedem :+
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
ASI : (+/+)
R/
PX
HL
Urin Acid
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 140 / 80 mmHg Dyspnoe :-
HR : 75 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36 oC Sianosis :-
SpO2 : 96%
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
(-)
5
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 121 / 96 mmHg Dyspnoe :-
HR : 95 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,7 oC Sianosis :-
SpO2 : 97 %
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
Priksa Lab D-Dimer
5
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 121 / 96 mmHg Dyspnoe :-
HR : 95 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,7 oC Sianosis :-
SpO2 : 97 %
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
Diet ↑ kalium
Lapor hasil kalium ke dokter penyakit dalan
Lapor untuk terapi lanjut bidang TS penyakit dalam :
1. Furosemide
2. Spironolactone
5
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 175 / 153 mmHg Dyspnoe :-
HR : 109 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-
SpO2 : 95 %
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
Hasil lab D-Dimer
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 154 / 103 mmHg Dyspnoe :-
HR : 100 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36 oC Sianosis :-
SpO2 : 94 %
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
(-)
5
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 143 / 120 mmHg Dyspnoe :-
HR : 112 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,3 oC Sianosis :-
SpO2 : 95 %
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
R/
(-)
5
S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 143 / 116 mmHg Dyspnoe :-
HR : 113 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,6 oC Sianosis :-
SpO2 : 96 %
Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) Alba
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
BAB 4
ANALISA KASUS
Ny. O.S, 38 tahun, G3P2A0, Minahasa, Kristen Protestan, IRT, pasien masuk RS
dan di diagnosis dengan G3P2A0 38 tahun hamil 38-39 minggu + Hipertensi
Urgency
Os datang dengan keluhan nyeri perut ingin melahirkan. Keluhan dirasakan oleh Os
sejak pagi tadi. Os datang ke RS dengan diantar oleh keluarga. OS datang dalam
keadaan kepala bayi sudah turun didepan jalan lahir. Riwayat tekanan darah tinggi
sebelum hamil (-). Riwayat sakit kepala (-). Riwayat nyeri ulu hati (-). Riwayat
pandangan kabur (-). Riwayat mual muntah (-). Riwayat trauma (-). Riwayat mules-
mules mau melahirkan (+). Riwayat keluar lendir darah dari kemaluan (-). Riwayat
keluar air dari jalan lahir (-). BAK (+) N, BAB (+) N
Pemeriksaan fisik didapati tekanan darah 234/162 mmHg dan oedem pada
kedua ekstremitas. Pemeriksaan obstetrikus dengan kesan DJJ 110kali/menit.
Pemeriksaan ginekologis dengan kesan cervix terbuka.
Hasil laboratorium dengan kesan peningkatan enzim hati. Pemeriksaan
urin dengan kesan dalam batas normal. Sehingga pasien di diagnosa dengan PEB
dengan sindroma HELLP Parsial. Pasien datang dengan keadaan pembukaan
lengkap dan langsung dipimpin partus pervaginam di IGD. Lahir bayi laki-laki,
BB 2290 gr, PB 47 cm . A/S : 7/9, anus (+).
DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
Preeklampsia berat ialah preeklampsia Pada kasus ini ditemukan
dengan tekanan darah sistolik ≥160 tekanan darah saat masuk
mmHg dan tekanan darah diastolik 234/162 mmHg namun tidak
≥110 mmHg disertai proteinuria lebih
disertai proteinuria dan tidak
5g/24 jam.
ditemukan riwayat hipertensi
sebelumnya.
Disebut preeklampsia berat dengan Pasien mengeluhkan mual
impending eclampsia bila preeklampsia
muntah 2x per sebelum masuk
berat disertai gejala- gejala subjektif
RS sehingga OS didiagnosa
berupa nyeri kepala hebat, gangguan
dengan preeklampsia berat
visus, muntah- muntah, nyeri
epigatrium, dan kenaikan progresif
tekanan darah.
5
TEORI KASUS
Sindrom HELLP berkembang dengan Pada kasus ini ditemukan
frekuensi puncak antara minggu ke-27 kemungkinan HELLP sindrom
dan ke-37. Sekitar 30% pasien postpartum dengan adanya tanda
sindrom HELLP mengalami sindrom
kegagalan organ seperti
ini setelah melahirkan, biasanya dalam
komplikasi edema paru bilateral,
48 jam. Wanita dengan sindrom
kenaikan fungsi hati yang
HELLP postpartum memiliki insiden
disertai dengan anemia hemolitik
komplikasi yang lebih tinggi secara
dan trombositopenia yang
signifikan seperti edema paru, gagal
ginjal, koagulasi intravaskular mendukung kriteria diagnostik
diseminata (DIC), dan hematoma hati pasien ini dengan HELLP
subkapsular, dan sindrom HELLP syndrome postpartum.
dikaitkan dengan morbiditas ibu yang
serius dan komplikasi ibu Pada pasien ini ditemukan
anemia hemolitik dari hasil
Sindrom ini tampaknya merupakan pemeriksaan laboratorium
manifestasi akhir dari kerusakan yang
tanggal 25 Juli (16,6) dan turun
mengarah pada kerusakan endotel
menjadi 12,7 pada pemeriksaan
mikrovaskular dan agregasi trombosit
tanggal 31 Juli 2021.
intravaskular. Setelah diaktifkan oleh
Pemeriksaan Trombosit pada
trombin, fibrinogen berpolimerisasi
menjadi untaian fibrin, yang awal masuk mendukung teori
membentuk penghalang seperti jaring yang ada dimana pasien ini
di pembuluh darah kecil, ditemukan tombositopenia
mengakibatkan kerusakan sel darah dengan jumlah trombosit
merah dan karakteristik anemia 211.000 pada pemeriksaan
hemolitik mikroangiopatik dari laboratorium tanggal 25 juli dan
sindrom tersebut. Trombosit
213000 ditanggal 31 juli 2021
menempel pada struktur fibrin,
namun belum signifikan namun
menyebabkan jumlah trombosit yang
penurunan trombosit terlihat
rendah. Pembentukan bekuan dalam
pada hasil pemeriksaan pertama
pembuluh darah hati menyebabkan
penurunan perfusi hati. dan kedua. Peningkatan enzim
hati juga ditemukan pada pasien
ini dimana SGOT 118 dan SGPT
97 pada pemeriksaan tanggal 28
juli 2021.
5
Pada Ibu hamil dengan Covid-19 Pada keadaan pasien saat ini
sedang, berat, dan kritis yang dipertimbangkan kemungkinan
dilakukan perawatan inap di rumah sudah melewati masa virulensi
sakit direkomendasikan untuk dengan melihat sudah tidak ada
segera diberikan tromboprofilakis keadaan akut yang ada. Namun
LMWH. American Society of mengarah keperburukan dimana
Hematology, Society of Critical pada pasien ini sendiri sudah
Care Medicine, dan International sudah masuk diminggu pertama
Society of Thrombosis and dimana yang diatasi saat ini
Haemostasis merekomendasikan adalah inflamasinya bukan
terapi profilaksis tromboemboli terfokus pada virusnya. Maka
vena secara rutin pada pasien yang pada pasien ini langsung diterapi
dirawat di RS dengan COVID-19 dengan penggunaan
kecuali ada kontraindikasi dexametasone dan heparin
(misalnya, perdarahan, dengan tujuan profilaksis
1
trombositopenia berat). Semua walaupun pada saat itu belum
ibu hamil dengan COVID-19, ada hasil pemeriksaan D-Dimer
harus dilakukan penilaian namun hal yang menjadi
kemungkinan terjadinya
6
hamil serta pria dan wanita yang dan suda melewati fase virulensi
PERMASALAHAN
DAFTAR PUSTAKA
L., editor. Obstetrics & Gynaecology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishing,
2008: 165-169.
13. Institute of Obstetricians and Gynaecologists. The Diagnosis And
Management Of Pre-Eclampsia And Eclampsia Clinical Practice Guideline.
2013. Available at http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/97892415483
35_en g.pdf [Accesed 15th June 2015]
14. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE. Diagnosis, Evaluation, and
Management of the Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive
Summary. 2014. Available at http://sogc.org/wp-content/uploads/2014/05/
gui307CPG1405E1.pdf [Accesed 15th June 2015]