Anda di halaman 1dari 64

1

Laporan Kasus

PEB dengan HELLP Syndrome postpartum


Pada Pasien Terkonfrimasi Covid-19

Laporan Kasus ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti


Internship di RSU. GMIM Bethesda Tomohon

Disusun oleh:
dr. Grace Natalia Dumat

Pembimbing
dr. Nova Wulur, Sp.OG(K)

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSU. GMIM BETHESDA
TOMOHON
2021
2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Preeklampsia sampai saat ini masih merupakan ”the disease of theories”,
penelitian telah begitu banyak dilakukan namun angka kejadian preeklampsia
tetap tinggi dan mengakibatkan angka morbiditas dan mortilitas maternal yang
tinggi baik diseluruh dunia maupun di Indonesia.1 Preeklamsia didefinisikan
sebagai gangguan luas kerusakan endotel pembuluh darah dan vasospasme yang
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu dan dapat juga dijumpai pada akhir 4-6
minggu post partum. Hal ini secara klinis didefinisikan adanya hipertensi dan
proteinuria, dengan atau tanpa edema patologis.2
Di seluruh dunia preeklamsi menyebabkan 50.000 – 76.000 kematian
maternal dan 900.000 kematian perianal setiap tahunnya. 3 Hal ini terjadi pada 3-
5% dari kehamilan dan merupakan penyebab utama kematian ibu, terutama di
negara-negara berkembang.4 Angka kejadian di Indonesia bervariasi di beberapa
rumah sakit di Indonesia yaitu diantaranya 5 – 9 % dan meningkat sebesar 40 %
selama beberapa tahun terakhir ini di seluruh dunia. Di Indonesia masih
merupakan penyebab kematian nomer dua tertinggi setelah perdarahan.5
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini masih disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga
oleh perawatan dalam persalinan oleh petugas non-medik dan sistem rujukan yang
belum sempurna.4
Sampai sekarang penyebab preeklamsi masih belum diketahui dengan
jelas. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui penyebab preeklamsi
dan banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya preeklamsi sehingga
disebut sebagai disease of theory, namun tidak ada satupun yang dianggap mutlak
benar.6
Hipertensi dan proteinuria pada preeklamsia adalah tanda yang
menunjukkan banyak perubahan internal untuk sistem tubuh. Preeklamsia sering
dianggap sebagai gangguan dengan dua komponen, implantasi plasenta yang
abnormal ditambah dengan disfungsi endotel rumit oleh faktor-faktor maternal.
Pada kenyataannya hal tersebut jauh lebih kompleks. Ada perubahan terlihat pada
sistem ginjal dan pembuluh darah secara keseluruhan.7
3

Banyak komplikasi yang disebabkan preeklamsi berat salah satu diantaranya


adalah HELLP Sindrom. Sindrom HELLP ialah pereklamsi-eklamsi disertai
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopeni.
Kematian ibu bersalin pada sindrom hellp cukup tinggi, yaitu 24%. Penyebab
kematian dapat berupa kegagalan cardio pulmonal, gangguan pembekuan darah,
perdarahan otak, ruptur hepar dan kegagalan multipel. Demikian juga kematian
perinatal pada sindrom HELLP cukup tinggi terutama disebabkan persalinan
preterm.
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan gangguan saluran
pernapasan akut yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 dan telah menjadi
pandemi di seluruh dunia. COVID-19 telah menjangkit seluruh penduduk dunia
tidak terkecuali wanita hamil. Kerentanan wanita hamil terhadap infeksi menjadi
latar belakang perlunya studi tentang pengaruh COVID-19 baik pada ibu, janin,
maupun bayi yang dilahirkan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
kasus COVID-19 pada ibu hamil, potensi transmisi vertikal, ada tidaknya asam
nukleat SARS-CoV-2 pada ASI, pengaruh COVID-19 pada perkembangan janin,
serta pengobatan ibu hamil dengan COVID-19.

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memahami aspek teori
tentang preeklampsia berat, sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat Penulisan
a. Sebagai informasi bagi penulis dan pembaca tentang preeklampsia berat
b. Untuk menambah wawasan serta ilmu bagi penulis dan pembaca tentang
preeklampsia berat
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi dalam Kehamilan


2.1.1 Definisi
Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.7

2.1.2. Klasifikasi
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca
persalinan.
b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
c. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang atau
koma.
d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi
kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
e. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi
tanpa proteinuria.
2.1.3. Faktor Risiko
Dari berbagai macam faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan
maka dapat dikelompokkan sebagai berikut:7
a. Primigravida
b. Hiperplasentosis, seperti molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim dan obesitas
d. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia dan eklampsia
e. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
5

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan


Banyak teori yang dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yaitu:

A. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta


Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi
trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi
lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga
memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi
hambur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.
Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan
tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah pada
daerah utero plasenta.Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan
otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri
spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya,
arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan
“remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampaknya akan menimbulkan
perubahan pada hipertensi dalam kehamilan.7
Adanya disfungsi endotel ditandai dengan meningginya kadar
fibronektin, faktor Von Willebrand, t-PA dan PAI-1 yang merupakan marker dari
sel-sel endotel. Patogenesis plasenta yang terjadi pada preeklampsia dapat
dijumpai sebagai berikut:8
a. Terjadi plasentasi yang tidak sempurna sehingga plasenta tertanam
dangkal dan arteri spiralis tidak semua mengalami dilatasi.
b. Aliran darah ke plasenta kurang, terjadi infark plasenta yang luas.
c. Plasenta mengalami hipoksia sehingga pertumbuhan janin terhambat.
d. Deposisi fibrin pada pembuluh darah plasenta, menyebabkan penyempitan
pembuluh darah.
6

B. Teori Iskemia Plasenta dan pembentukan radikal bebas


Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah
radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak, Peroksida lemak selain
akan merusak sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produksi
oksidan dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi anti
oksidan.7

C. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E
pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan
yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan
merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami
kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung berhubungan dengan
aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak
jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi peroksida lemak.7

D. Disfungsi sel endotel


- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi
prostasiklin yang merupakan vasodilator kuat.
- Agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan
untuk menutup tempat-tempat dilapisan endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan yang merupakan
suatu vasokonstriktor kuat.
- Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus.
- Peningkatan permeabilitas kapilar
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor
- Peningkatan faktor koagulasi7
7

E. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin


Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam
kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang kemudian
menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan
jika dibandingkan dengan suami sebelumnya.7
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada
kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan
aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.7

F. Teori Adaptasi Kardiovaskular


Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap
bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan
vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopresor. Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi
dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu.
Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.7

G. Teori Genetik
Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami pereeklampsia, maka 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8%
anak menantu mengalami preeklampsia.7

H. Teori Defisiensi Gizi

Konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeklampsia dan


beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa defisiensi kalsium mengakibatkan
risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.7

I. Teori Stimulus Inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Disfungsi endotel pada preeklampsia akibat produksi debris trofoblas plasenta
berlebihan tersebut diatas, mengakibatkan aktifitas leukosit yang tinggi pada
8

sirkulasi ibu. Peristiwa ini disebut sebagai kekacauan adaptasi dari proses
inflamasi intravaskular pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan
menyeluruh.7
Kebanyakan penelitian melaporkan terjadi kenaikan kadar TNF-alpha
pada PE dan IUGR. TNF-alpha dan IL-1 meningkatkan pembentukan trombin,
platelet-activating factor (PAF), faktor VIII related anitgen, PAI-1, permeabilitas
endotel, ekspresi ICAM-1, VCAM-1, meningkatkan aktivitas sintetase NO, dan
kadar berbagai prostaglandin. Pada waktu yang sama terjadi penurunan aktivitas
sintetase NO dari endotel. Apakah TNF-alpha meningkat setelah tanda-tanda
klinis preeklampsia dijumpai atau peningkatan hanya terjadi pada IUGR masih
dalam perdebatan. Produksi IL-6 dalam desidua dan trofoblas dirangsang oleh
peningkatan TNF-alpha dan IL-1. IL-6 yang meninggi pada preeklampsia
menyebabkan reaksi akut pada preeklampsi dengan karakteristik kadar yang
meningkat dari ceruloplasmin, alpha1 antitripsin, dan haptoglobin,
hipoalbuminemia, dan menurunnya kadar transferin dalam plasma. IL-6
menyebabkan permeabilitas sel endotel meningkat, merangsang sintesis platelet
derived growth factor (PDGF), gangguan produksi prostasiklin. Radikal bebas
oksigen merangsang pembentukan IL-6. Disfungsi endotel menyebabkan
terjadinya produksi protein permukaan sel yang diperantai oleh sitokin. Molekul
adhesi dari endotel antara lain E-selektin, VCAM-1 dan ICAM-1. ICAM-1 dan
VCAM-1 diproduksi oleh berbagai jaringan sedangkan E-selectin hanya
diproduksi oleh endotel. Interaksi abnormal endotel-leukosit terjadi pada sirkulasi
maternal preeklampsia.8

2.2. Preeklampsia
2.2.1. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan
vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi
organ. 9 Preeklampsia didefinisikan sebagai suatu sindrom yang dijumpai pada ibu
hamil di atas 20 minggu terdiri dari huipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa
edema.8
Sindroma ini terjadi selama kehamilan, dimana gejala klinis timbul pada
kehamilan setelah 20 minggu atau segera setelah persalinan. Diagnosis
preeklampsia berat adalah keadaan preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110mmHg, dengan atau tanpa kadar
proteinuria > 5 gr/24jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif, oliguria (produksi
9

urine < 500cc dalam 24 jam) disertai kenaikan kadar kreatinin plasma, terdapat
gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
abdomen, edema paru atau sianosis, pertumbuhan janin terhambat dan sindroma
HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzym, Low Platet Count).

2.2.2. Epidemiologi9
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak
faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia
sekitar 3-10%, sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian
preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan, yaitu 23,6 kasus per 1.000
kelahiran. Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda, Sudinaya (2000)
mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan
Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1
Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus
(4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada
usia 20-24 tahun dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa,
kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia. Peningkatan
kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya
hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan superimposed PIH.

2.2.3. Faktor Risiko Preeklampsia


Wanita yang memiliki risiko sedang terhadap terjadinya preeklampsia,
memiliki salah satu kriteria dibawah ini:10
a. Primigravida
b. Umur ≥40 tahun
c. Interval kehamilan ≥ 10 tahun
d. BMI saat kunjungan pertama ≥35 kg/m2
e. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia
f. Kehamilan ganda

Wanita yang memiliki risiko tinggi terjadinya preeklampsia adalah yang


memiliki salah satu dari kriteria dibawah ini:10
a. Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya
b. Penyakit ginjal kronik
c. Penyakit autoimun seperti SLE atau Sindrom Antifosfolipid
d. Diabetes Tipe1 atau Tipe 2
e. Hipertensi Kronik
10

2.2.4. Patofisiologi11
Etiologi dan faktor pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui
secara pasti. Teori timbulnya preeklampsia harus dapat menjelaskan beberapa hal,
yaitu sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnya frekuensi
dengan bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengan kematian janin
intrauterin, sebab timbulnya tanda-tanda preeklampsia. Itulah sebabnya kenapa
penyakit ini disebut “the disease of theories”.

Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya


spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme
arteriolar juga ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan
darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer
agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan
edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang
interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin
yang tinggi dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk
mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air serta natrium. Pada
preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
11

Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi


perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan
akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar
vasokonstriktor seperti angiotensin II, adrenalin, dan noradrenalin, dan atau
menurunnya respon terhadap zat-zat vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan
meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada
trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti
tekanan darah sebelum hamil.
1) Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada
derajat mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat
mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika dijumpai edema
interstitial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita
hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu
penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi
tanda awal hipertensi.
2) Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia
dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan
wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).
3) Aliran Darah di Organ-Organ
a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%.
Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang
mungkin merupakan suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada
preeklampsia maupun perdarahan otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering
menjadi penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah
efektif ginjal rata-rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi
600ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang rata-rata 30%, dari 170
menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus
berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi
nekrosis tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang
12

fungsinya mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan


menjamin perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin
plasma, angiotensinogen,angiotensinogen II, dan aldosteron meningkat
nyata di atas nilai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini merupakan
kompensasi akibat meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi.
Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin,
angiotensin, dan aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada
preeklampsia.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia
adalah iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara
massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah
plasenta yang berkurang. Apabila terjadi hipoperfusi uterus, akan
dihasilkan lebih banyak renin uterus yang mengakibatkan
vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan pembuluh darah.
Disamping itu angiotensin menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus
akibat efek prostaglandin sebagai mekanisme kompensasi dari
hipoperfusi uterus.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal
meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas
atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat
yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada
perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal.
Dijumpai pula peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan
sampai sedang. Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom
nefrotik pada kehamilan. Penurunan hemodinamik ginjal dan
peningkatan protein urin adalah bagian dari lesi morfologi khusus yang
13

melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler glomerulus yang


merupakan tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.

c. Aliran darah uterus dan choriodesidua


Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan
patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan
faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang disayangkan adalah
belum ada satu pun metode pengukuran arus darah yang memuaskan
baik di uterus maupun di desidua.
d. Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena
edema paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.
e. Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital.
Bila terjadi hal hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya
preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah
skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri
atau dalam retina.
14

2.2.5. Gejala dan Tanda Klinis


Sesuai dengan definisi preeklampsia, gejala utama preeklampsia adalah
hipertensi, proteinuria dan edema yang dijumpai pada kehamilan semester 2 atau
kehamilan diatas 20 minggu dengan atau tanpa edema karena edema dijumpai
80% pada kehamilan normal dan edema tidak meningkatkan morbiditas dan
mortalitas maternal maupun perinatal. Gejala-gejala dan tanda-tanda lain yang
timbul pada preeklampsia sesuai dengan kelainan-kelainan organ yang terjadi
akibat preeklampsia:8
1) Hipertensi
Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer pada lengan kanan
dalam keadaan berbaring terlentang setelah istirahat 15 menit. Disebut
hipertensi bila tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih, atau tekanan
darah diastolik 90 mmHg.
2) Proteinuria
Pada wanita tidak hamil dijumpai protein dalam urin sekitar 18 mg/24 jam.
Disebut proteinuria positif/patologis bila jumlah protein dalam urin
melebihi 300 mg/24 jam. Proteinuria dapat dideteksi dengan cara dipstick
reagents test, tetapi dapat memberikan 26% false positif karena adanya
sel-sel pus. Untuk menghindari hal tersebut, maka diagnosis proteinuria
dilakukan pada urin tengah (midstream) atau urine 24 jam.Deteksi
proteinuria penting dalam diagnosis dan penanganan hipertensi dalam
15

kehamilan. Proteinuria merupakan gejala yang terahir timbul. Eklampsia


bisa terjadi tanpa proteinuria. Proteinuria pada preeklampsia merupakan
indikator adanya bahaya pada janin. Berat badan lahir rendah dan
kematian perinatal meningkat pada preeklampsia dengan proteinuria.
Diagnosis preeklampsia ditegakkan bila ada hipertensi dengan proteinuria.
Adanya kelainan cerebral neonatus dan retardasi intra uterin. Proteinuria
juga ada hubungannya dengan meningkatnya risiko kematian janin dalam
kandungan. Risiko terhadap ibu juga meningkat jika dijumpai proteinuria.
3) Edema
Edema bukan merupakan syarat untuk diagnosa preeklampsia karena
edema dijumpai 60-80% pada kehamilan normal. Edema juga tidak
meningkatkan risiko hipertensi dalam kehamilan.Edema yang dijumpai
pada tangan dan muka selain pagi hari merupakan tanda patologis.
Kenaikan berat badan melebihi 1 kg per minggu atau kenaikan berat badan
yang tiba-tiba dalam 1 atau 2 hari harus dicurigai kemungkinan adanya
preeklampsia. Edema yang masif meningkatkan risiko terjadinya edema
paru terutama pada masa post partum. Pada 15-39 % kasus preeklampsia
berat tidak dijumpai edema.
4) Oliguria
Urin normal pada wanita hamil adalah 600-2000 ml dalam 24 jam.
Oliguria dan anuria meurpakan tanda yang sangat penting pada
preeklampsia dan merupakan indikasi untuk terjadi terminasi sesegera
mungkin. Walaupun demikian, oliguria atau anuria dapat terjadi karena
sebab prerenal, renal dan post renal. Pada preeklampsia, hipovolemia
tanpa vasokonstriksi yang berat, intrarenal dapat menyebabkan oliguria.
Kegagalan ginjal akut merupakan komplikasi yang jarang pada
preeklamspia, biasanya disebabkan nekrosis tubular, jarang karena
nekrosis kortikal. Pada umumnya kegagalan ginjal akut ditandai dengan
jumlah urin dibawah 600 ml/24 jam dan 50% dari kasus tersebut terjadi
sebagai komplikasi koagulasi intravaskular yang luas disebaban solusio
plasenta.

5) Kejang
Kejang tanpa penyebab lain merupakan diagnosis eklampsia, kejang
merupakan salah satu tanda dari gejala gangguan serebral pada
16

preeklampsia. Tanda-tanda serebral yang lain antara lain, sakit kepala,


pusing, tinnitus, hiperrefleksia, gangguan visus, gangguan mental,
parestesia dan klonus. Gejala yang paling sering mendahului kejang adalah
sakit kepala, gangguan visus dan nyeri perut atas.
6) Asam Urat
Korelasi meningkatnya asam urat dengan gejala-gejala kilinis dari
toksemia gravidarum mula-mula didapatkan oleh williams. Kadar asam
urat juga mempunyai korelasi dengan beratnya kelainan pada biopsi ginjal.
Kelainan patologis pembuluh darah uteroplasenta dan berkorelasi dengan
luaran janin pada preeklampsia. Hiperuricemia menyebabkan kematian
perinatal.
7) Gangguan Visus
Gangguan visus pada preeklampsia berat dapat merupakan flashing.
Cahaya berbagai warna, skotoma, dan kebutaan sementara. Penyebabnya
adalah spasme arteriol, iskemia dan edema retina. Tanpa tindakan operasi
penglihatan akan kembali normal dalam 1 minggu.8

2.2.6 Klasifikasi dan Diagnosis


Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan
dan preeklampsia berat.7
1) Preeklampsia Ringan
Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ
yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi
endotel.
Diagnosa preeklampsia ringan ditegakkan dengan kriteria:
a) Hipertensi: Sistolik/diastolik ≥ 140/90mmHg.
b) Proteinuria: ≥300mg/24 jam atau ≥1+ dipstik.
c) Edema: Edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia,
kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata

2) Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih
5g/24 jam.
Diagnosa preeklampsia berat ditegakkan dengan kriteria:
a) Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110
17

mmHg. Tekanan darah tidak menurun meskipun sudah dirawat


dirumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
b) Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c) Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d) Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e) Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma dan pandangan kabur.
f) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
tegangnya kapsula Glisson).
g) Edema paru-paru dan sianosis.
h) Hemolisis mikroangiopatik.
i) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 penurunan
trombosit dengan cepat
j) Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar
alanin dan aspartat aminotransferase
k) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
l) Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme,
Trombositopenia)

Preeklampsia berat dibagi menjadi:


- Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
- Preeklampsia berat dengan impending eclampsia

Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-


gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-
muntah, nyeri epigatrium, dan kenaikan progresif tekanan darah
2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit pre-
eklamsia adalah:
1. Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, dan gangguan fungsi organ vital
pada ibu
2. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya.
3. Melahirkan bayi sehat
4. Pemulihan sempurna kesehatan ibu.
18

Penanganan menurut berdasarkan klasifikasinya :


1. Pre-eklamsia Ringan
 Rawat Jalan
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat
jalan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kehamilan, sehingga
mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
Dianjurkan ibu hamil banyak beristirahat (berbaring/tidur miring ke kiri),
tetapi tidak harus mutlak tirah baring.
Pada kehamilan >20 minggu, tirah baring dengan posisi miring
menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior, sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal
ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli
dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya akan
meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular,
sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan
meningkatkan pula aliran darah rahim.

Pada preeklampsia tidak diperlukan restriksi garam selama fungsi


ginjal masih normal. Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 NaCl
(garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang
garam melalui ginjal, tetapi pertumbuhan janin justru membutuhkan lebih
banyak konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi,
hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu
atau air buah. Diet untuk penderita preeklampsia ringan adalah makanan
biasa, dan dapat diberikan roborantia sekali perhari.

Penderita preeklampsia ringan hendaknya diperiksa sekali


seminggu dan dilakukan pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, trombosit,
asam urat, urine lengkap (Msu), fungsi hati, dan fungsi ginjal)
19

 Rawat Inap
 Kriteria preeklampsia ringan yang dirawat di rumah sakit yaitu:
a. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama
2 minggu
b. Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
c. Kenaikan berat badan ibu ≥ 1 kg perminggu selama 2 kali
berturut-turut
- Terapi medikamentosa: Bila penderita sudah kembali menjadi
preeklampsia ringan, maka masih akan dirawat 2-3 hari lagi, baru
diizinkan pulang
- Perawatan dirumah sakit:
1) Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik :
a) Nyeri kepala
b) Penglihatan kabur
c) Nyeri perut kuadran kanan atas
d) Nyeri epigastrium
2) Kenaikan berat badan dengan cepat
3) Menimbang berat badan ketika masuk rumah sakit dan diikuti
setiap harinya
4) Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulangi
setiap 2 hari.

5) Pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan lab sesuai dengan


standard yang telah ditentukan
6) Pemeriksaan ultrasound sonography (USG) khususnya
pemeriksaaan:
- Ukuran biometrik janin
- Volume air ketuban
7) Penderita boleh dipulangkan: Penderita dapat dipulangkan
apabila 3 hari bebas gejala–gejala preeklampsi berat

 Perawatan Obstetrik
a. Kehamilan preterm (kehamilan antara 22 minggu sampai ≤ 37
minggu), bila tekanan darah mencapai normotensif,
persalinannya ditunggu hingga aterm
b. Kehamilan preterm yang tekanan darah turun selama perawatan
tetapi belum mencapai normotensif, terminasi kehamilan
dilakukan pada kehamilan 37 minggu
c. Kehamilan aterm (> 37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi inpartu atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat
20

dilakukan secara spontan dengan mempersingkat kala II, yaitu


dengan ekstraksi vakum atau ekstraksi forceps. SC dilakukan
apabila ada indikasi obstetri.

2. Pre-eklamsia Berat
Penderita preeklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi (kiri). 7 Perawatan yang penting pada
preeklamsia berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeclampsia dan
eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oliguria adalah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik
koloid/pulmonary capillary wedge pressure.

Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi.

Cairan yang diberikan dapat berupa:


a) 5 % Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan : < 125
cc/jam atau
b) Infus Dekstrose 5 % yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse
Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc//24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

Pemberian obat anti kejang7


Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium
sulfat (MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar
asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan mengambat transmisi
neuromuscular. Transmisi neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps.
Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium,
sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion
kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap
menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklamsia.
Banyak cara pemberian magnesium sulfat.
21

Cara pemberian magnesium sulfat regimen:


a)
Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4 intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit.
b)
Maintenance dose : Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam;
atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan
4 gram i.m. tiap 4-6 jam.
c)
Syarat-syarat pemberian MgSO4
a.
Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium glukonas 10 %=1 gram (10 % dalam 10 cc) diberikan i.v. 3
menit.
b.
Reflex patella (+) kuat
c.
Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress
napas.
d)
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24
jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
e)
Dosis terapeutik dan toksis
Dosis terapeutik 4-7 mEq/liter 4,8-8,4 mEq/dl
Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18 mg/dl
Terhentinya jantung > 30 mEq/liter > 36 mg/dl
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian magnesium sulfat, maka
diberikan salah satu obat berikut : thiopental sodium, sodium amobarbital,
diazepam, atau fenitoin.
Pemberian antihipertensi7
Antihipertensi diberikan jika tekanan sistolik ≥ 160
mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.
a) Antihipertensi lini pertama
Nifedipine
Dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam. Tidak boleh diberikan secara sublingual karena efek
vasodilatasi sangat cepat maka hanya boleh diberikan per oral.
b) Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside: 0,25 μg i.v./kg/menit, infuse; ditingkatkan 0,25 μg
i.v./kg/5 menit.
Diazokside: 30-60 mg mg i.v./5 menit; atau i.v infuse 10 mg/menit dititrasi

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah
Furosemide.
Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu
selama 48 jam (6 gr/12 jam IM sebanyak 4 kali) untuk pematangan paru janin.
Glukokortikoid juga diberikan pada sindroma HELLP.
22

Perawatan Aktif10,12,13

Terminasi kehamilan dilakukan 1-2 jam setelah pemberian MgSO4 atau setelah
terjadi stabilisasi hemodinamik. Pemberian MgSO4 diteruskan sampai 24 jam
pascapersalinan. Perawatan aktif dilakukan dengan indikasi :
a. Ibu
- Kehamilan > 37 minggu
- Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
1) Dalam waktu atau selama 6 jam sejak dimulai pengobatan
medisinal terjadi kenaikan TD yang persisten, atau
2) Setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak ada
perbaikan gejala-gejala.
- Muncul tanda dan gejala Impending Eklampsia: PE berat disertai
gejala nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah, nyeri epigastrium,
kenaikan TD yang preogresif
- Dijumpai gangguan fungsi hati/ginjal
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul inpartu, ketuban pecah, atau perdarahan
- HELLP Syndrome
b. Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda PJT
- NST non reaktif dan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidramnion

Manajemen persalinan
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat
dilaksanakan cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu
diadakan induksi dengan amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari
serangan kejang selama 12 jam dan keadaan serviks mengizinkan. Tetapi, apabila
serviks masih lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih
tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik, sebaiknya dilakukan seksio
sesarea. Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk
mempercepat partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi
vakum atau cunam. Sikap dasar adalah bila kehamilan diakhiri bila sudah terjadi
stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu dapat
dicapai dalam 4-8 jam setelah salah satu atau lebih dari keadaan berupa 1.)
setelah pemberian
2

obat anti kejang terakhir; 2.)setelah kejang terakhir; 3.) setelah pemberian obat
anti hipertensi terakhir; 4.) penderita mulai sadar (responsif dan orientasi).
Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah dihentikan dan
diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan,
tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi.
 Pada ibu aterm namun belum inpartu, induksi persalinan dapat dilakukan bila hasil KTG normal.
Pemberian drip oksitosin dilakukan bila nilai skor pelvik ≥5. Bila perlu, dilakukan pematangan
cervix dengan balon kateter no. 24 diisi dengan 40 cc aquadest. Pada skor pelvik yang rendah
dan kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan
pervaginam. Seksio sesaria dilakukan bila : (1) induksi persalinan gagal (6jam setelah diinduksi
tidak tercapai his yang adekuat); (2) terjadi maternal/fetal distress.
 Pada ibu aterm yang sudah inpartu, dilakukan pemantauan kemajuan persalinan dengan
menggunakan partograf. Kemudian persalinan kala II dipersingkat denga EV/EF. Seksio sesaria
dilakukan bila: (1) terjadi maternal/fetal distress; (2) 6jam tidak masuk fase aktif; (3)
penyimpangan partograf.
 Seksio sesaria primer dilakukan apabila kontraindikasi persalinan pervaginam atau usia
kehamilan < 34 minggu.

2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi dapat terjadi pada ibu maupun
janin/anak.8,12
Maternal
a) Eklampsia
Eklampsia adalah kejang grand mal akibat spasme serebrovaskular. Kematian disebabkan oleh
hipoksia dan komplikasi dari penyakit berat yang menyertai.
b) Perdarahan serebrovaskular
Perdarahan serebrovaskular terjadi karena kegagalan autoregulasi aliran darah otak pada MAP (Mean
Arterial Pressure) diatas 140 mmHg.
c) HELLP Syndrome
d) Gagal ginjal
Diperlukan hemodialisis pada kasus yang berat.
e) Edema paru
f) Ablasio retina
g) Solusio plasenta
2

h) Koma
i) Trombosis vena

Kematian maternal
Munculnya satu atau lebih dari komplikasi tersebut dan muncul secara bersamaan, merupakan
indikasi untuk terminasi kehamilan berapapun umur gestasi.
Fetal
a) Pertumbuhan janin terhambat
Pada usia kehamilan 36 minggu, masalah utama adalah IUGR. IUGR terjadi karena plasenta
iskemi yang terdiri dari area infark.
b) Persalinan prematur
c) Perdarahan serebral
d) Pneumorhorax
e) Serebral Palsy

2.2.9. Prognosis
Kematian ibu pada preeklampsia 3x lipat dari kematian dalam obstetri dan pada eklampsia angka
kematian ibu berkisar 7-17%. Angka kematian perinatal pada preeklampsia berkisar 10%. Prematuritas
merupakan penyebab utama kematian perinatal. Angka kejadian prematuritas pada preeklampsia paling
sedikit 2x kehamilan normal. Angka kematian bayi prematur lebih kurang 22%. Kejang merupakan faktor
utama sebagai penyebab kematian ibu. Kriteria yang dapat meningkatkan angka kematian ibu (Kriteria
Eden) antara lain:8
1. Kejang 10x atau lebih
2. Koma 6 jam atau lebih
3. Temperatur ≥39oC
4. Nadi ≥120x per menit
5. Pernafasan ≥40x per menit
6. Edema pulmonal
7. Sianosis
8. Urin ≤30ml/jam

2.3. Sindroma HELLP


Terminologi ini diperkenalkan oleh Weinsten tahun 1982 yang merupakan kumpulan gejala
multisistem dengan karakteristik anemia hemilitik, mikroangiopati, gangguan fungsi hepar dan
2

trombositopenia. Sindroma ini terdapat pada 10% dari pasien PE.8


Hemolisis belum diketahui penyebabnya, kemungkinan disebabkan oleh kerusakan sel hati yang
mengakibatkan kenaikan kadar produk penghancuran fibrin, menyebabkan penurunan kadar dari faktor
pembekuan darah di plasma dan terjadinya trombositopenia ataupun hemolisis disebabkan eritrosit
mengalami trauma sehingga berubah bentuknya dan cepat mengalami hemolisis.8
Kenaikan dari kadar enzim hepar akibat dari nekrosis hemoragia periportal pada bagian lobulus
hepar. Perdarahan dari lesi ini dapat meluas ke bawah kapsula hepar dan membentuk hematoma
subkapsuler dapat berlanjut menjadi ruptur dari kapsul hepar yang fatal dan memerlukan tindakan bedah.
Trombositopenia akibat dari vasospasme berat menyebabkan pecahnya lapisan endotel yang disertai
dengan perlengketan trombosit dan penimbunan fibrin ataupun akibat dari proses imunologis.
Trombositopenia berat <100.000 per µl merupakan tanda buruk bagi ibu hamil.8
Diagnosis sindroma HELLP yaitu:
 Didahului tadna dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah
(semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus)
 Adanya tanda dan gejala preeklampsia
 Tanda-tanda hemolisis intravaskular: kenaikan LDH, AST, dan bilirubin indirek
 Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan ALT, AST, LDH
 Trombositopenia ( trombosit ≤ 150.000/ml)
 Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, tanpa
memandang ada atau tidaknya tanda dan gejala preeklampsia, harus dipertimbangkan
sindroma HELLP
Diagnosis dini sangat penting pada sindroma HELLP. Pengobatan sindroma HELLP juga harus
memperhatikan cara-cara perawatan dan pengelolaan pada preeklampsia dan eklampsia. Pemberian cairan
intravena harus sangat hati- hati karena sudah terjadi vasospasme dan kerusakan endotel. Cairan yang
diberikan adalah RD 5%, bergantian RL 5% dengan kecepatan 100 ml/jam dengan produksi urin
dipertahankan sekurang-kurangnya 20 ml/jam. Bila hendak dilakukan seksio sesaria dan bila trombosit <
50.000/ml, maka perlu diberi transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/ml, dan akan dilakukan seksio
sesaria maka perlu diberi transfusi darah segar. Dapat pula diberikan plasma exchange dengan fresh frozen
plasma dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati.
Doublestrength dexamethasone diberikan 10 mg IV tiap 12 jam segera setelah diagnosis sindroma
HELLP ditegakkan. Kegunaan doublestrength dexamethasone ialah untuk (1) kehamilan preterm,
meningkatkan pematangan paru janin, dan (2) untuk sindroma HELLP sendiri dapat mempercepat
perbaikan gejala klinik dan laboratorik.
Pada sindroma HELLP post partum diberikan deksametason 10 mg IV setiap 12 jam 2 kali, disusul
2

pemberiam 5 mg deksametason 2 x selang 12 am (tappering off).


Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason dapat diketahui dengan: meningkatnya
produksi urin, trombosit > 100.000/ml, menurunnya tekanan darah, menurunnya kadar LDH, dan AST.
Bila terjadi ruptur hepar sebaiknya segera dilakukan pembedahan lobektomi.

Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP, tanpa memandang umur kehamilan, harus segera
diakhiri. Persalinan dapat dilakukan secara pervaginam maupun perabdominam. Perlu diperhatikan adanya
gangguan pembekuan darah bila hendak melakukan anestesi regional (spinal).

2.4. COVID 19 dalam kehamilan

2.4.1. Definisi Covid 19

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan gangguan pada saluran pernapasan akut yang
disebabkan oleh Virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang terjadi
pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada Desember 2019 dan menyebar dengan cepat di
seluruh dunia. Kasus infeksi ini pertama kali berasal dari sebuah Pasar yang menjual berbagai seafood dan
hewar liar di kota tersebut. Berdasarkan analisis sampel Swab oleh Chines Centre for Disease Control and
Prevention (CCDC) diketahui terdapat sekuens genome SARS-CoV-2 pada subjek penderita dan juga
kelelawar yang dicurigai sebagai hospes revoir. Hingga saat ini, SARS-CoV-2 dapat tertransmisi dari
manusia 1 ke manusia. Badan kesehatan dunia, WHO, mengumumkan COVID-19 sebagai wabah pandemi
pada tanggal 30 Januari 2020. Hal ini disebabkan karena begitu cepatnya perkembangan kasus COVID-19
dalam 2 2 minggu dan telah menyebar di seluruh dunia. Data menyebutkan bahwa terdapat 7.734 kasus
yang telah terkonfirmasi di Cina pada hari itu. Pada tanggal 30 Maret 2020, WHO mengkonfirmasi
terdapat 632.146 kasus dengan 30.105 kasus kematian di 3 203 Negara di seluruh dunia. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa terdapat total 1.285 terkonfirmasi positif dengan 114
kematian pada 4 hari itu. Sebanyak 80% infeksi COVID-19 tergolong asimptomatis maupun dengan
gejala ringan (mild), 15% sedang (severe) yang membutuhkan oksigen, dan 5% berat yang membutuhkan
ventilator (WHO, 2020). Gejala COVID-19 muncul setelah masa inkubasi (1–5 hari) yaitu masa dimana
virus SARS-CoV-2 masuk dan menginfeksi saluran pernapasan pasien. Gejala COVID-19 dapat terjadi
pada hari ke 7 hingga ke 14 tergantung dari status sistem imun seseorang. Gejala klinis COVID-19 yang
sering muncul yaitu panas tinggi (>37.5°C), bersin, sesak napas, dan batuk kering. Manifestasi klinis lain
yang mungkin muncul pada pasien diantaranya diare, limfopenia, dan kerusakan paru-paru yang
ditunjukkan dari pemeriksaan foto 5 toraks. Wanita hamil merupakan kelompok yang rentan mengalami
gangguan kesehatan khususnya penyakit infeksi dikarenakan adany aperubahan fisiologi tubuh 6 dan
mekanisme respon imun di dalam tubuhnya. Selain itu juga terdapat perubahan imunitas tubuh dari arah 7
2

Th1 ke arah Th2. Berdasarkan data kasus wanita terkonfirmasi positif di Amerika Serikat pada Agustus
2020 sejumlah 15.735 jiwa (0,3% dari total kasus 8 terkonfirmasi positif). Menurut data Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Jakarta, 13,7% perempuan hamil lebih mudah terinfeksi Covid-
19, 9 dibandingkan mereka yang tidak hamil.

2.4.2. Etiologi

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Coronavirus
merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein
utama pada Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S
(spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu
alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-
19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus),
HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63 (alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-
CoV (betacoronavirus), dan MERS-CoV (betacoronavirus). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19
termasuk dalam genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan
berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus
yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu
Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama
penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2. Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19
bertahan di atas permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya
coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu
atau kelembapan lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARSCoV-2 dapat
bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan
kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARSCOV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet
dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%,
ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali khlorheksidin).

Gambar 2.2. Struktur Coronavirus


2

Sumber: Shereen, et al. (2020) Journal of Advanced Research 24

Gambar 2.3. Gambaran mikroskopis SARS-CoV-2.


Sumber: CDC (2020)

Bagaimana infeksi COVID-19 pada kehamilan masih terbatas, karena data dan penelitian masih
terus dilakukan, virus masuk melalui sel host melalui beberapa tahapan proses diantaranya: 1.
attachment : SARS-CoV-2 - S protein yang berikatan dengan ACE-2 reseptor yang terdapat di
saluran napas bagian bawah, 2. penetrasi, 3. biosintesis, 4. maturasi dan 5.terakhir akan
merelease virus baru, di awal tubuh akan timbul respon imun: salah satunya adalah innate
immunity atau imunitas didapat terutama : yang berasal dari salauran napas paling luar yaitu
epithelial yang akan merangsang pengeluaran Macrophage dan Dendritic Cells kemudian
muncul T cell response yang akan mengaktifkan CD4 T cell  Activate B  virus spesifik
Antibodi Cells CD8  membunuh virus; tetapi apabila tidak berhasil makan akan menyebabkan
pengeluaran sitokin Pro-inflammatory diantaranya adalah IL-6, IL-10, GCSF, Chemokines,
TNF-alpha yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada paru paru, kenaikan D-Dimer,
penurunan fibrinogen, thrombosis, emboli paru dan kegagalan multi organ. Pada kondisi yang
berat akan menyebabkan sitokin storm (badai sitokin), hubungan dengan fisiologi kehamilan
bahwa pada awal kehamilan pada kondisi trimester awal, ibu hamil dalam kondisi pro-inflamasi
banyak ditemukan sitokin tipe 1 (implantasi) masuk pada trimester ke-2 kondisi akan
cenderungan anti-inflamatory invoirement (sitokin tipe 2) pada akhir kehamilan akan kembali
dalam keadaaan pro-inflamasi (sitokin tipe-1). Apakah wanita hamil menjadi rentan pada awal
kehamilan dan akhir kehamilan masih terus dalam penelitian.

2.4.3. Penularan

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan
bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia.
Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.
2

Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun dapat
mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh
konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai
dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala.
Sebuah studi Du Z et. al, (2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimptomatik.
Penting untuk mengetahui periode presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet
atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang
tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah akan tetapi masih ada
kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID-19 utamanya
ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet.
Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi ketika
seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan
(misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi
droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda
yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer). Dalam konteks
COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam keadaan khusus dimana prosedur atau
perawatan suportif yang menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka,
pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi
tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif non-invasif, trakeostomi, dan resusitasi
kardiopulmoner. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai transmisi melalui udara.

2.4.4. Manefestasi Klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap. Beberapa orang
yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling
umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan
sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman
dan pembauan atau ruam kulit. Tidak ada perbedaan antara populasi umum dengan ibu hamil terhadap
gejala yang mungkin tibul. Berdasarkan RCOG 2020 menyatakan bahwa kehamilan dan persalinan tidak
meningkatkan risiko infeksi terhadap COVID-19. Perubahan sisitem imun fisiologis pada ibu hamil,
berhubungan dengan gejala infeksi COVID-19 yang lebih besar. Kebanyakan ibu hamil hanya mengalami
gejala cold/flu-like sympthomps derajat ringan sampai dengan sedang. Pada telaah sistematis pada 108
kasus kehamilan terkonfirmasi covid-10 didapatkan gejala klinis paling sering didapatkan adalah demam
3

dan batuk (tabel 2.2.) (1). Lebih dari 90% tidak memerlukan terminasi kehamilan. Risiko akan meningkat
pada kehamilan dengan komorbid. Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi,
40% kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia,
15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan
gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal ginjal atau gagal
jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang
sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker
berisiko lebih besar mengalami keparahan. Tabel 2.2. Gejala Klinis pada Kehamilan terkonfirmasi Covid-
19 (1)

Gejala Klinis Jumlah Gejala/Total Kasus


n/N (%)
Demam 63/92 (68%)
Batuk 37/108 (34%)
Malaise 14/108 (13%)
Sesak nafas (dyspnea) 13/108 (12%)
Nyeri otot (mialgia) 11/108 (10%)
Nyeri tenggorokan 8/108 (7%)
Diare 7/108 (6%)

2.4.5. Diagnosis

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi
COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification
Test) seperti pemeriksaan RT-PCR.
3

2.4.6. Screening dan Diagnosis Pada Maternal

Table 1. Algoritma Skrining & Diagnosis Ibu Hamil Datang ke RS

Keterangan algoritma: pada semua ibu hamil yang datang ke RS harus dikategorikan status Covidnya
di triage Instalasi Gawat Darurat RS. Idealnya semua ibu hamil dilakukan pemeriksaan RT-PCR
melalui Swab, sehinggga dapat diketahui statusnya terkonfirmasi covid (+) atau kasus non covid. Jika
hal ini tidak bisa dikerjakan, maka dapat dilakukan skrining awal terlebih dahulu dengan pemeriksaan
klinis, tes serologis, dan CT-scan atau foto thoraks, dan dilakukan konsultasi dengan Satgas covid atau
dokter spesialis Paru. Jika pasien dikategorikan sebagai kasus non Covid maka penanganan obsetri
dikerjakan seperti biasa di kamar bersalin. Jika pasien dikategorikan sebagai kasus suspek, maka harus
dilakukan penegakan diagnosa dengan RT-PCR swab (skrining dua tahap). Pasien suspek harus
diperlakukan sebagai pasien positif covid sampai hasil swab menyatakan sebaliknya. Indikasi
hospitalisasi pada kasus suspek adalah adanya kegawat daruratan obstetrik, atau skor MEOWS >4,
dan atau gejala covid sedang-berat. Pasien dengan gejala ringan dan tanpa ada kegawat daruratan
obstetrik dapat dipulangkan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari, dengan
melakukan pemantauan gerak janin.

Tabel 3.1. Modified Early Obstetric Warning Score (MEOWS)

MEOW Score 3 2 1 0 1 2 3

Saturasi O2 (%) < 85 86-89 90-95 > 96


Laju Nafas < 10 10-14 15-20 21-29 >30
(x/menit)
Nadi (x/menit) <40 41-50 51-100 101-110 110-129 >130
Tekanan darah <70 71-80 81-100 101-139 140-149 150-159 >160
sistolik (mmHg)
Tekanan darah <49 50-89 90-99 100-109 >110
diastolik (mmHg)
3

Diuresis 0 <20 <35 35-200 >200


(mL/jam)
Sistim Saraf Pusat Agitasi Sadar Respons Respons Tidak
hanya hanya ada
terhada terhada respon
p p s
stimulus stimulus
verbal nyeri
Suhu ('C) <35 35-36 36-37.4 37.5-38.4 >38.5
MEOWS 0-1 Normal

MEOWS 2-3 Normal dan stabil, laporan kondisi pasien bisa dalam 1 hari
MEOWS 4-5 Abnormal dan tidak stabil, harus dievaluasi dalam 30 menit
MEOWS >6 Abnormal dan tidak stabil, harus dievaluasi dalam 10 menit

3.2. Severitas Covid-19 dilihat dari Gejala Klinis


Severitas Gejala dan Tanda Klinis
Ringan  Asimptomatik
 Demam ringan, batuk ringan, pilek
Sedang  Demam tinggi
 Sesak ringan
 Batuk berat
Berat  Kesulitan bernafas, sesak
 Hipotensi
 Batuk berdarah
 Kecurigaan superimposed infeksi bakterial
 Kegagalan sistim organ - ginjal, liver
 Dehidrasi
 Kebingungan, penurunan respon
3

2.4.7. Penatalaksanaan Covid-19 dalam Kehamilan

 Terapi Medis dan Suportif

Ibu hamil dengan penyakit ringan namun mempunyai


komorbiditas (misalnya, hipertensi yang tidak terkontrol atau
diabetes gestasional atau pregestasional, penyakit ginjal kronis,
penyakit kardiopulmoner kronis, keadaan imunosupresif) atau
penyakit sedang sampai kritis harus dirawat di rumah sakit.
Pasien rawat inap yang hamil dengan penyakit berat, yang
mendapat terapi oksigen disertai komorbiditas, atau dalam kondisi
kritis harus dirawat oleh tim multi disiplin di rumah sakit rujukan
tingkat lanjut tipe B atau A dengan layanan obstetri dan unit
perawatan intensif orang dewasa (ICU). Status COVID-19 saja tidak
selalu menjadi alasan untuk memindahkan wanita hamil yang tidak
kritis dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19.
Klasifikasi keparahan penyakit menurut US National Institutes
of Health, adalah sebagai berikut:1,2
 Ringan – setiap tanda dan gejala (misalnya, demam, batuk, sakit
tenggorokan, malaise, sakit kepala, nyeri otot) tanpa sesak
napas, dyspnea, atau foto thoraks abnormal.
 Sedang – adanya bukti gangguan saluran napas bawah dengan
penilaian klinis atau pencitraan dan saturasi oksigen (SpO2) >
93 % pada suhu kamar.
 Berat – frekuensi pernapasan > 30 kali per menit, SpO2 ≤ 93
persen pada suhu kamar, rasio PaO2/FiO2 < 300, atau infiltrasi
paru > 50 %.
 Penyakit kritis – kegagalan pernafasan, syok sepsis, dan/atau beberapa
disfungsi organ.
Definisi lain dari keparahan (misalnya, berat = saturasi oksigen
periferal ibu [SpO2] ≤ 94 persen pada suhu, memerlukan oksigen
tambahan, ventilasi mekanis, atau oksigenasi membran
ekstrorporeal)
3

2.4.8. Terapi Oksigen


Selama kehamilan, saturasi oksigen perifer ibu (SpO2) harus dijaga pada
≥95 persen, yang melebihi kebutuhan pengiriman oksigen ibu, untuk kebutuhan
janin.
Jika SpO2 turun di bawah 95 persen, analisis gas darah arteri (AGD) diperlukan
untuk mengukur tekanan parsial oksigen (PaO2): Maternal PaO2 > 70 mmHg
diperlukan untuk mempertahankan gradien difusi oksigen dari ibu ke sisi janin
dari plasenta.1

2.4.9. Profilaksis Tromboemboli Vena

Data tentang risiko tromboemboli pada COVID-19 walaupun


masih terbatas namun menunjukkan peningkatan risiko. American
Society of Hematology, Society of Critical Care Medicine, dan
International Society of Thrombosis and Haemostasis
merekomendasikan terapi profilaksis tromboemboli vena secara rutin
pada pasien yang dirawat di RS dengan COVID-19 kecuali ada
kontraindikasi (misalnya, perdarahan, trombositopenia berat).1
Semua ibu hamil dengan COVID-19, harus dilakukan penilaian
kemungkinan terjadinya tromboemboli vena (VTE).3 Pemberian
profilaksis VTE antepartum untuk yang tidak sakit parah atau kritis
dan akan segera melahirkan dapat diberikan unfractioned heparin
5000 unit secara subkutan setiap 12 jam.1
Low molecular weight heparin 40 mg per hari untuk yang
belum melahirkan atau yang postpartum. Semua wanita hamil yang
telah dirawat di rumah sakit dan telah terkonfirmasi COVID-19
diberikan tromboprofilaksis selama 10 hari setelah keluar dari rumah
sakit. Untuk wanita dengan morbiditas persisten, pertimbangkan
durasi tromboprofilaksis yang lebih lama. Pertimbangkan untuk
memperpanjang ini sampai 6 minggu pascapersalinan untuk wanita
dengan morbiditas berkelanjutan yang signifikan.3

2.4.10. Dexamethasone

Deksametason 6 mg setiap hari selama 10 hari atau sampai keluar dari RS


direkomendasikan untuk pasien tidak hamil yang sakit parah yang menggunakan
oksigen tambahan atau dukungan ventilasi. Glukokortikoid juga dapat berperan
dalam manajemen syok refraktori pada pasien sakit kritis dengan COVID-19.1
Pada ibu hamil yang memenuhi kriteria untuk penggunaan glukokortikoid
untuk perawatan ibu COVID-19 (seperti yang disebutkan di atas), dan berisiko
lebih tinggi untuk kelahiran preterm dalam tujuh hari, direkomendasikan memulai
terapi dengan dosis biasa dexamethasone (empat dosis 6 mg yang diberikan secara
intramuskuler 12 jam terpisah) atau betametason (dua dosis 12 mg yang diberikan
secara intramuskuler 24 jam terpisah) untuk menginduksi pematangan paru janin
3

diikuti oleh prednisolon (40 mg per hari secara oral) ) atau hidrokortison (80 mg
intravena dua kali sehari) untuk menyelesaikan pemberin steroid ibu. Hal ini untuk
menghindari paparan deksametason atau betametason yang berkepanjangan
terhadap janin, yang melalui sawar plasenta dalam bentuk aktif secara metabolik
dan mungkin memiliki efek buruk (misalnya, peningkatan risiko kelahiran
prematur, gangguan perkembangan saraf jangka panjang).1

2.4.11. Terapi Anti Viral

 Remdesivir
adalah analog nukleotida yang memiliki aktivitas melawan SARS-CoV-2
secara in vitro dan coronaviruses terkait (termasuk sindrom pernapasan akut parah
[SARS] dan Timur Tengah terkait sindrom pernapasan coronavirus [MERS-CoV])
baik secara in vitro dan dalam penelitian hewan. Remdesivir mengikat RNA-
dependent RNA polymerase virus, menghambat replikasi virus melalui terminasi
dini proses transkripsi RNA. Remdesivir belum mendapat persetujuan dari Food
and Drug Administration (FDA). Namun dapat digunakan dengan aturan khusus
FDA (emergency use authorization) untuk penanganan orang dewasa, anak-anak,
dan ibu hamil yang terinfeksi Covid-19 dan saat ini sedang dalam uji klinis.
Beberapa data pendahuluan dari studi RCT multinasional (Adaptive COVID-19
Treatment Trial [ACTT]) menunjukkan bahwa pasien Covid-19 yang mendapat
remdezivir memiliki waktu pulih secara klinis lebih pendek dibandingkan yang
mendapat plasebo. Namun data uji klinis untuk menilai efektifitas remdesivir pada
pasien dengan gejala ringan dan sedang masih sangat terbatas. Obat ini telah
digunakan tanpa laporan tentang toksisitas janin pada wanita hamil dengan Ebola
dan infeksi virus Margburg. Hampir semua uji acak dari obat selama pandemi
COVID-19 telah mengecualikan wanita hamil dan menyusui.
Karena persediaan remdesivir terbatas, direkomendasikan agar remdesivir
diprioritaskan untuk digunakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
COVID-19 yang membutuhkan oksigen tambahan tetapi yang tidak menggunakan
oksigen aliran tinggi, ventilasi noninvasif, ventilasi mekanis, atau oksigenasi
membran ekstrakriloreal (ECMO). Penggunaan selama 5 hari atau sampai keluar
rumah sakit (AI). Jika pasien yang menggunakan oksigen tambahan saat menerima
remdesivir berkembang hingga membutuhkan oksigen aliran tinggi, ventilasi
mekanis noninvasif atau invasif, atau ECMO, maka pemberian remdesivir harus
dihentikan.2

 Lopinavir / Ritonavir
adalah terapi kombinasi antiprotease dan merupakan rejimen obat yang
disukai karena diketahui relatif aman dalam kehamilan. Obat ini adalah inhibitor
SARS-CoV 3CLpro in vitro, dan protease ini juga memiliki ikatan kuat terhadap
SARS-CoV 2. Dosis yang dianjurkan adalah dua kapsul Lopinavir /Ritonavir (200
mg / 50 mg per kapsul) secara oral bersama dengan nebulisasi inhalasi interferon-α
(5 juta IU dalam 2 mL air steril untuk injeksi) dua kali sehari. Obat ini sudah
banyak digunakan dalam terapi ibu hamil dengan HIV, dan tidak ada bukti
teratogenesitas karena transfer plasentanya rendah. Namun data yang menunjukkan
efikasi leponavir/ritonavir pada pasien dengan Covid-19 sangat terbatas, dan
kemungkinan dosis yang lebih tinggi dibandingkan terapi HIV diperlukan untuk
tatalaksana SARS-CoV 2.
3

 Chloroquine dan hydroxychloroquine


telah dievaluasi untuk pengobatan COVID-19 dalam uji klinis acak kecil,
seri kasus, dan studi observasi. Hydrochloroquine (HCQ) adalah analog
chloroquine yang digunakan untuk terapi penyakit autoimun, seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) dan Rheumatoid Arthritis (RA). Hydrochloroquine
memiliki keuntungan dengan efek toksisitas berat yang lebih ringan dan interaksi
obat yang lebih sedikit dibandingkan chloroquine. Hydrochloroquine adalah obat
yang sedang dalam penelitian untuk terapi Covid-19 dan sampai saat ini belum
terbukti efektif pada kehamilan. HCQ teramsuk aman dalam kehamilan, sudah
dibuktikan melalui terapi SLE dan penyakit rematik pada kehamilan. Selain itu
HCQ juga aman pada ibu menyusui karena kadar yang terdeteksi di air susu ibu
sangat sedikit.
Direkomendasikan untuk tidak menggunakan klorokuin atau
hydroxychloroquine untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AII).
Panel merekomendasikan untuk tidak menggunakan klorokuin dosis tinggi (600 mg
dua kali sehari selama 10 hari) untuk pengobatan COVID-19 (AI).
Direkomendasikan pula untuk tidak menggunakan hydroxychloroquine plus
azithromycin untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AIII).2
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian aritmia pada pasien covid-19
yang mendapat terapi HCQ atau chloroquine, sering pada kombinasi dengan
azithromycin dan obat lain yang memperpanjang interval QTc, karena itu FDA
merekomendasikan untuk tidak menggunakan HCQ atau chloroquine untuk terapi
covid-19 di luar rumah sakit atau uji klinis.

2.4.12. Antibiotik
Kerusakan paru-paru yang luas oleh virus secara substansial meningkatkan risiko
pneumonia bakteri sekunder. Antibiotik diindikasikan hanya jika ada bukti infeksi bakteri
sekunder. Namun, antibiotik harus diberikan tanpa penundaan jika sepsis bakteri
dicurigai. Ceftriaxone intravena dapat diberikan pada awalnya sambil menunggu hasil
kultur dan sensitivitas.4
2.4.13. Imunomodulator
Plasma Konvalens

Mengikuti protokol transfusi plasma konvalesens. Sampai saat ini belum


cukup data untuk merekomendasikan penggunaan atau tidak dari terapi ini untuk
tatalaksana Covid-19.
3

Interleukin-1 dan Interleukin-6 Inhibitor


Sampai saat ini belum cukup data untuk merekomendasikan penggunaan
atau tidak Interleukin-1 inhibitor (seperti anakinra) dan Interleukin-6 inhibitor
(seperti sarilumab, siltuximab, tocilizumab) untuk tatalaksana Covid-19. Sehingga
pemakaiannya secara rutin untuk penanganan Covid-19 pada kehamilan tidak
dianjurkan, melainkan hanya untuk uji klinis. Dari beberapa obat ini, hanya
Tocilizumab yang digunakan sebagai obat off-label untuk ibu hamil dengan gejala
berat atau kritis dengan kecurigaan adanya sindroma aktivasi sitokin
(cytokinestorm) dengan peningkatan kadar IL-6 sebagai upaya terakhir atau
berdasar protokol penelitian.

Disertai gejala klinis

Rawat
Monitoring ibu inapkemajuan persalinan
Evaluasi Monitoring janin

Bantuan pernapasan ibu (Maternal respiratory support)


D
JJ

Terapi dipertahankanTerapi
antiviral
SpO2 harus pada saturasi Remdesivir,Lopinavir/Rit
≥95 %
Jika SpO2 turun di bawah 95 %, diperlukan pemeriksaan analisa gas darah
Terapi oksigen sampai target minimal 95% Antibiotik Vitamin C, D, Zinc
Obat-obatan lain

Kortikosteroid Deksametason

Untuk profilaksis antepartum yg tidak termasuk berat atau kritikal yang akan melahirkan dalam beb
Thromboembolic Low molecular weight heparin 40 mg per hari untuk yang belum melahirkan dalam waktu dekat ata

Plasma konvalesens
3

BAB 3
LAPORAN KASUS

STATUS IBU HAMIL


Anamnesa Pribadi
Nama : Ny. O.S

Umur : 38 tahun

Suku : Minahasa

Alamat : Tataaran

Agama : Kristen Protestan


Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMA

Status : Menikah
Tanggal masuk : 26 Juli
2021

Jam masuk : 16.30 WITA

Anamnesa Penyakit
Ny. O.S, 38 tahun, G3P2A0, Minahasa, Kristen Protestan, IRT, pasien masuk RS
dan di diagnosis dengan G3P2A0 38 tahun hamil 38-39 minggu + Hipertensi
Urgency
Keluhan utama : Nyeri perut ingin melahirkan
Telaah : Keluhan dirasakan oleh os sejak pagi tadi. Os datang ke RS
dengan diantar oleh keluarga. OS datang dalam keadaan
kepala bayi sudah turun didepan jalan lahir. Riwayat tekanan
darah tinggi sebelum hamil (-). Riwayat sakit kepala (-).
Riwayat nyeri ulu hati (-). Riwayat pandangan kabur (-).
Riwayat mual muntah (+) 2x. Riwayat trauma (-). Riwayat
mules-
3

mules mau melahirkan (+). Riwayat keluar lendir darah dari


kemaluan (-). Riwayat keluar air dari jalan lahir (-). BAK (+)
N, BAB (+) N
Riwayat penyakit terdahulu : -
Riwayat pemakaian obat :-

RIWAYAT HAID
- HPHT : ?/10/2020
- TTP : ?/7/ 2021
- ANC : Bidan

RIWAYAT PERSALINAN
1. Hamil ini

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENS
Sens : compos mentis Anemis :-
TD : 234/162 mmHg Ikterik :-
HR : 122x/i Sianosis :+
RR : 34x/i Dyspnoe :-
T : 36 0C Oedema :+

STATUS GENERALISATA
Kepala : dbn
Mata : Konjungtiva anemis
(-/-) Sklera ikterik (-/-)
Refleks pupil (+/+), isokor, ka=ki
Leher : Pembesaran KGB (-/-)
TVJ R-2 cmH2O
Thorax : SP: vesikular
ST: -/-

Abdomen: lihat status obstetri


Ekstremitas : Akral hangat, Capillary Refill Time < 2 detik
Oedem pretibial (-/-), oedem pada tungkai (+/+)
4

STATUS OBSTETRI
Abdomen : Membesar dengan arah memanjang
TFU : teraba 2 jari di bawah umbilikus,
Teregang : pemeriksaan leopold TDE
Terbawah : pemeriksaan leopold TDE
Gerak :+
His :+
DJJ : 110 x/i

STATUS GINEKOLOGIS
VT : Cervix dilatasi dengan pembukaan lengkap, Air ketuban

(-) ST : lendir darah (-)

LABORATORIUM
25 Juli 2021 (IGD)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah rutin
WBC 13410 4000-1000/μL
RBC 4,74 4-5 x 106/μL
HGB 16,6 12-14 gr/dL
HCT 45,3 36-42 %
PLT 211000 150000-440000/μL
MCV 95,6 80 .0 – 100.0 / fL
MCH 35,5 27,0 – 35,0 / pg
MCHC 36,6
GDS 126 < 200
HbsAg NON REAKTIF NON REAKTIF
Test HIV NON REAKTIF NON REAKTIF

Hasil pemeriksaan screening COVID-19 ( 25 Juli 2021 IGD )

SARS-COVID-2 Antigen: POSITIF

DIAGNOSA SEMENTARA
G3P2A0 hamil 38-39 minggu + hipertensy urgency

TERAPI
- Inj MgSO4 40% dalam RL 28gtt
- - Nifedipin 10mg, berikan nifedipin 10 mg per 30 menit, max.
120 mg/24 jam
- O2 10lt NRM
- IVFD RL 20gtt
4

RENCANA
- EKG
- Konsul Interna dan Kardiologi
- Observasi his, DJJ pada kala II dan lakukan partus pervaginam

Follow up

Laporan Persalinan

Tanggal : 27 Juli 2021

Diagnosis : G3P2A0 hamil 38-39 minggu + Preeklamsia


+ HELLP Syndrome + Covid 19 terkonfrimasi Swab Antigen

Uraian Persalinan Kala I


KK pecah tanggal :-

Jam :-

Warnanya : Hijau Kental (+)

Macam persalinan : Aterm Spontan LBK

Lama persalinan :

Jam :

Uraian Persalinan Kala II


Jam 16.35 :
- lahir bayi laki-laki, menangis setelah jalan napas
dibersihkan kemudian tali pusat bayi diklem dan bayi
diserahkan kepada perawat neonati
- Melayani inj. oxcytocin 1 amp secara I.M dipaha kiri
- Mengeluarkan urine sebanyak ±80cc

Uraian Persalinan Kala III


Jam 16.45 :
- Keadaan ibu tampak lemah, sianosis (+). Ibu mengeluh
sesak nafas (+). Terpasang O2 NRM 10lt/menit belum ada
tanda-tanda pelepasan placenta.
- Lapor DPJP untuk dilakukan manual placenta.
Jam 16.55 :
- Melakukan manual placenta
4

Jam 17.05 :

- Placenta dan selaput lahir dengan kesan tidak lengkap


- Perdarahan (+) ±250cc. Kontraksi uterus tampak tidak baik.
Terpasang tampon 2.
- TD : 140/120 mmHg

Uraian Persalinan Kala IV

Keadaan Umum : Tampak Lemah

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital : TD. 140/120 mmHg, N. 120x/m, R. 34x/m, Sb. 36c

Perdarahan : ±250cc

Tidak terdapat ruptur perineum (-)

RENCANA
- Cek darah rutin, panell HELLP, albumin
- Observasi vital sign, kontraksi, dan tanda-tanda perdarahan
4

FOLLOW UP PASIEN

27 Juli 2021 – Raber Interna


S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 210/157 mmHg Dyspnoe :-
HR : 120 x/i Oedem :+
RR : 26 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-
SpO2 : 99 %

Status Lokalisata :
Kepala : Normocephal
Mata : palpebral inferior anemis -/-
T/H/M : dbn/nasal kanul terpasang/dbn
Thorax : SP: vesikuler, ST: (-)
Abdomen : Lihat status obstetri
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2dt , Oedem pretibial (+)

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+)
kuat P/V : (-) lochia (+) rubra
BAK : (-) via kateter
BAB : (-) flatus (+)

A Covid 19 terkonfrimasi swab antigen


Post Partum H+2 a/i PEB + HELLP Sindrome
P Th/
 Dopamet 3 x 250mg
 Nifedipin 3 x 10mg
 Inj. Furosemid 2-2-0 IV

R/
 Pantau TTV ketat
 Oksigenasi adekuat
 Albumin 20% 3FLs (1Fls/hr)

Hasil Ekpertisi X-Foto Thorax dijabarkan sebagai berikut :


Ket : print out CXR tidak dapat di cantumkan dilaporan

jantung ukuran kesan tidak membesar. Aorta baik. Mediastinum tidak melebar.Trakea ditengah. Kedua hillu suram. Tam

Kesan : Dibandingkan dengan x-foto thorax sebelumnya tangal 25/07/2021 (admitted to HP) saat ini infiltrat di kedua pa
4

28 Juli 2021 – Raber Interna


S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 165 / 130 mmHg Dyspnoe :-
HR : 122 x/i Oedem :+
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 37 oC Sianosis :-
SpO2 : 94%

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) rubra
BAK : (+) baik, berwarna kuning keruh
BAB : (-) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab antigen


- Impending ALO
- Post Partum H+3 a/i PEB + HELLP Sindrome
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu sc (H+1)
 Inj. Dexametasone 1 x 1 ½ amp IV (H+1)
 Inj. Omeprazole 1 x 40mg IV
 Inj. Furosemid 2-2-0 IV
 Alprazolam 0,5mg 0-0-1 PO
 Favipiravir 2 x 1600mg (H+1) kemudian lanjut 2 x 600mg
 Terapi lain lanjut sesuai TS OBSGYN

R/
 TFG
 Priksa : SGOT, SGPT, Ur, Cr
 Cek X-Foto Thorax Kemarin (Hasil Print Out + Ekspertisi)

Hasil Laboratorium (28/07/2021)


SGOT : 118 U/L N: 15-37 U/L
SGPT : 97 U/L N: 30-65 U/L
Ur : 40 mg/dl N: 15-39 mg/dl
Cr : 1,1 mg/dl N: 0,6-1,0 mg/dl
4

29 Juli 2021 – Raber Interna


S Nyeri Belakang
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 143 /100 mmHg Dyspnoe :-
HR : 100 x/i Oedem :+
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,8 oC Sianosis :-
SpO2 : 95%

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab antigen


- Impending ALO
- Post Partum H+4 a/i PEB + HELLP Sindrome
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu 1cc sc (H+2)
 Inj. Dexametasone 1 x 1 ½ amp IV (H+2)
 Inj. Omeprazole 1 x 40mg IV
 Inj. Furosemid 2-2-0 IV
 Aprazolam 0,5mg 1-0-1 PO
 Favipiravir 2 x 600mg (H+2)
 Dopamed 3 x 500mg PO
 Nifedipin 1 x 10mg PO
 Terapi lain lanjut sesuai TS OBSGYN

R/
 Venflon
 Konsul TS Kardiologi
4

30 Juli 2021 – Raber Interna


S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 136 /105 mmHg Dyspnoe :-
HR : 103 x/i Oedem :+
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 37 oC Sianosis :-
SpO2 : 97%
GDP 97

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab antigen


- Impending ALO
- Post Partum H+5 a/i PEB + HELLP Sindrome
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu sc (H+3)
 Inj. Dexametasone 1 x 1 ½ amp IV (H+3)
 Inj. Omeprazole 1 x 40mg IV
 Inj. Furosemid 2-2-0 IV
 Aprazolam 0,5mg 1-0-1 PO
 Favipiravir 2 x 600mg (H+3)
 Dopamed 3 x 500mg PO
 Nifedipin 1 x 10mg PO
 Terapi lain lanjut sesuai TS OBSGYN

R/
 AFF IVFD
Hasil Laboratorium Urinalisis (30/07/2021)

Warna: Kuning
Kejernihan: Jernih Leukosit Esterase: NEGATIF Nitrit: NEGATIF
Urobilinogen: 0,1 ( 0 – 0,2 )
Protein: TRACE
pH: 5,0 ( 5 – 8 )
darah / Hb: NEGATIF
Keton: NEGATIF
Billirubin: NEGATIF
Glukosa: NEGATIF
4

31 Juli 2021 – Raber Interna

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 154 /122 mmHg Dyspnoe :-
HR : 74 x/i Oedem :+
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-
SpO2 : 96%

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab antigen


- Impending ALO
- Post Partum H+6 a/i PEB + HELLP Sindrome
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu sc (H+4)
 Inj. Dexametasone 1 x 1 ½ amp IV (H+4)
 Inj. Omeprazole 1 x 40mg IV
 Inj. Furosemid 1-1-0 IV
 Aprazolam 0,5mg 0-0-1 PO
 Favipiravir 2 x 600mg (H+4)
 Dopamed 3 x 500mg PO
 Nifedipin 1 x 10mg PO
 Amlodipin 1 x 5mg PO

R/
 AFF Venflon

Laboratorium (30 Juli 2021)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Kimia Klinik
Asam Urat 8,1 2,6 – 6,2 mg/dL
SGOT 56 15 - 37 U/L
SGPT 45 30 – 65 U/L
Elektrolit
Natrium 139 135 – 153 mEq/L
Kalium 2,7 3,5 – 5,3 mEq/L
Klorida 114 98 – 109 mEq/L
4

31 Juli 2021 – OBSGYN

S Sesak berkurang
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 140 /107 mmHg Dyspnoe :-
HR : 74 x/i Oedem :+
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)
ASI : (+/+)

A - P3A0 38 Tahun Post Partum H+6 dengan PEB + Swab Antigen


Positif + Post Manual Plasenta a/i Retensio Plasenta dengan
HELLP Syndrome
-
P Th/
 Terapi lanjut

R/
 PX
 HL
 Urin Acid

LABORATORIUM ( 31 Juli 2021 )


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah rutin
WBC 8580 4000-10000/μL
RBC 3,61 4-5 x 106/μL
HGB 12,7 12-14 gr/dL
HCT 35,1 36-42 %
PLT 213000 150000-440000/μL
MCV 97,2 80 .0 – 100.0 / fL
MCH 35,2 27,0 – 35,0 / pg
MCHC 36,2
4

2 Agustus 2021 – Raber Interna

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 140 / 80 mmHg Dyspnoe :-
HR : 75 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36 oC Sianosis :-
SpO2 : 96%

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab antigen


- Impending ALO
- Post Partum H+8 a/i PEB + HELLP Sindrome
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu sc (H+6)
 Inj. Dexametasone 1 x 1 ½ amp IV (H+6) -> STOP
 Inj. Furosemid 1-0-0 IV
 Omeprazole 1 x 20mg
 Aprazolam 0,5mg 0-0-1 PO
 Favipiravir 2 x 600mg (H+5 terakhir)
 Dopamed 3 x 500mg PO
 Amlodipin 1 x 5mg PO

R/
 (-)
5

3 Agustus 2021 – Raber Interna

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 121 / 96 mmHg Dyspnoe :-
HR : 95 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,7 oC Sianosis :-
SpO2 : 97 %

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan PCR


- Impending ALO
- Post Partum H+9 a/i PEB + HELLP Sindrome
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu sc (H+7)
 Inj. Furosemid 1-0-0 IV
 Omeprazole 1 x 20mg
 Favipiravir 2 x 600mg (Hari terakhir)
 Dopamed 3 x 500mg PO
 Amlodipin 1 x 5mg PO
 Spironolactone 1 x 25mg

R/
 Priksa Lab D-Dimer
5

3 Agustus 2021 – OBSGYN

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 121 / 96 mmHg Dyspnoe :-
HR : 95 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,7 oC Sianosis :-
SpO2 : 97 %

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Post Partum H+9 dengan indikasi :


1. PEB + HELLP syndrome
2. Retentio Placenta
3. Covid-19 terkonfrimasi Swab Antigen (+)
4. Hipokalemia
P Th/
 Dopamed 3 x 500mg -> STOP

R/
 Diet ↑ kalium
 Lapor hasil kalium ke dokter penyakit dalan
 Lapor untuk terapi lanjut bidang TS penyakit dalam :
1. Furosemide
2. Spironolactone
5

4 Agustus 2021 – Raber Interna

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 175 / 153 mmHg Dyspnoe :-
HR : 109 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-
SpO2 : 95 %

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan PCR


- Post Impending ALO
- Post Partum H+10 a/i PEB + HELLP Sindrome
- AKI
P Th/

 Amlodipin 1 x 5mg -> STOP


 Inj. Heparin 2 x 5000 iu sc (H+8)
 Spironolactone 1 x 25mg
 (+) Adalat oros 1x 30mg
 (+) Furosemide 2 x 40mg PO
 (+) KSR 1 x 1 (H1) selama 3hari

R/
 Hasil lab D-Dimer

Hasil Pemeriksaan Hematologi (04/08/2021) D-Dimer : 2,066 ng/mL FEU


5

5 Agustus 2021 – Raber Interna

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 154 / 103 mmHg Dyspnoe :-
HR : 100 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36 oC Sianosis :-
SpO2 : 94 %

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab PCR


- Post Impending ALO
- Post Partum H+11 a/i PEB + HELLP Sindrome
- AKI
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu sc (H+9)
 Spironolactone 1 x 25mg
 Adalat oros 1x 30mg
 Furosemide 2 x 40mg PO
 KSR 1 x 1 (H+2) selama 3hari
 Alprazolam 0-0-1 x 0,5mg (k/p)

R/
 (-)
5

6 Agustus 2021 – Raber Interna

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 143 / 120 mmHg Dyspnoe :-
HR : 112 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,3 oC Sianosis :-
SpO2 : 95 %

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) sanguilenta
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab PCR


- Post Impending ALO
- Post Partum H+12 a/i PEB + HELLP Sindrome
- AKI
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu 1cc (H+10)
 Spironolactone 1 x 25mg
 Adalat oros 1x 30mg
 Furosemide 2 x 40mg PO
 KSR 1 x 1 (H+3) -> STOP
 Alprazolam 0-0-1 x 0,5mg (k/p)

R/
 (-)
5

7 Agustus 2021 – Raber Interna

S (-)
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 143 / 116 mmHg Dyspnoe :-
HR : 113 x/i Oedem :-
RR : 20 x/i Ikterik :-
T : 36,6 oC Sianosis :-
SpO2 : 96 %

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel, Peristaltik Usus (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
P/V : (-) lochia (+) Alba
BAK : (+) baik
BAB : (+) flatus (+)

A - Covid-19 terkonfrimasi dengan swab PCR


- Post Impending ALO
- Post Partum H+13 a/i PEB + HELLP Sindrome
- AKI
P Th/
 Inj. Heparin 2 x 5000 iu 1cc (H+11)
 Spironolactone 1 x 25mg
 Adalat oros 1x 30mg
 Furosemide 2 x 40mg PO
R/
 Rawat Jalan
5

BAB 4
ANALISA KASUS

Ny. O.S, 38 tahun, G3P2A0, Minahasa, Kristen Protestan, IRT, pasien masuk RS
dan di diagnosis dengan G3P2A0 38 tahun hamil 38-39 minggu + Hipertensi
Urgency
Os datang dengan keluhan nyeri perut ingin melahirkan. Keluhan dirasakan oleh Os
sejak pagi tadi. Os datang ke RS dengan diantar oleh keluarga. OS datang dalam
keadaan kepala bayi sudah turun didepan jalan lahir. Riwayat tekanan darah tinggi
sebelum hamil (-). Riwayat sakit kepala (-). Riwayat nyeri ulu hati (-). Riwayat
pandangan kabur (-). Riwayat mual muntah (-). Riwayat trauma (-). Riwayat mules-
mules mau melahirkan (+). Riwayat keluar lendir darah dari kemaluan (-). Riwayat
keluar air dari jalan lahir (-). BAK (+) N, BAB (+) N

Pemeriksaan fisik didapati tekanan darah 234/162 mmHg dan oedem pada
kedua ekstremitas. Pemeriksaan obstetrikus dengan kesan DJJ 110kali/menit.
Pemeriksaan ginekologis dengan kesan cervix terbuka.
Hasil laboratorium dengan kesan peningkatan enzim hati. Pemeriksaan
urin dengan kesan dalam batas normal. Sehingga pasien di diagnosa dengan PEB
dengan sindroma HELLP Parsial. Pasien datang dengan keadaan pembukaan
lengkap dan langsung dipimpin partus pervaginam di IGD. Lahir bayi laki-laki,
BB 2290 gr, PB 47 cm . A/S : 7/9, anus (+).

DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
 Preeklampsia berat ialah preeklampsia  Pada kasus ini ditemukan
dengan tekanan darah sistolik ≥160 tekanan darah saat masuk
mmHg dan tekanan darah diastolik 234/162 mmHg namun tidak
≥110 mmHg disertai proteinuria lebih
disertai proteinuria dan tidak
5g/24 jam.
ditemukan riwayat hipertensi
sebelumnya.
 Disebut preeklampsia berat dengan  Pasien mengeluhkan mual
impending eclampsia bila preeklampsia
muntah 2x per sebelum masuk
berat disertai gejala- gejala subjektif
RS sehingga OS didiagnosa
berupa nyeri kepala hebat, gangguan
dengan preeklampsia berat
visus, muntah- muntah, nyeri
epigatrium, dan kenaikan progresif
tekanan darah.
5

 Penderita preeklampsia berat harus Pada pasien ini telah dilakukan


dirawat inap dan diberikan terapi pemberian medikamentosa berupa Inj
Medikamentosa yang diberikan MgSO4 40% dalam RL 28gtt dan obat
yaitu anti-konvulsan dan anti anti-hipertensi yaitu Nifedipin 10mg,
hipertensi berikan nifedipin 10 mg per 30 menit,
max. 120 mg/24 jam

 Indikasi dilakukannya perawatan  Pada kasus ini dari hasil


aktif pada ibu antara lain pemeriksaan laboratorium
kehamilan>37 minggu, pre- didadapati trombosit
eklamsia berat, kegagalan pada 211.000/mm3, SGOT 118 U/I,
perawatan konservatif, dan HELLP SGPT 97 U/I dan LDH tidak
Syndrome diperiksa, sehingga OS
didiagnosis dengan preeklampsia
berat + sindroma HELLP Parsial,
kemudian dilakukan stabilisasi,
Kondisi pasien saat datang sudah
dengan pembukaan lengkap maka
dengan posisi kepala bayi sudah
didepan jalan lahir dan dipimpin
partus pervaginam. Lahir bayi
laki-laki BB 2290 gr, PB 47 cm .
A/S : 7/9, anus (+), Tunggal
Hidup.
5

TEORI KASUS
 Sindrom HELLP berkembang dengan  Pada kasus ini ditemukan
frekuensi puncak antara minggu ke-27 kemungkinan HELLP sindrom
dan ke-37. Sekitar 30% pasien postpartum dengan adanya tanda
sindrom HELLP mengalami sindrom
kegagalan organ seperti
ini setelah melahirkan, biasanya dalam
komplikasi edema paru bilateral,
48 jam. Wanita dengan sindrom
kenaikan fungsi hati yang
HELLP postpartum memiliki insiden
disertai dengan anemia hemolitik
komplikasi yang lebih tinggi secara
dan trombositopenia yang
signifikan seperti edema paru, gagal
ginjal, koagulasi intravaskular mendukung kriteria diagnostik
diseminata (DIC), dan hematoma hati pasien ini dengan HELLP
subkapsular, dan sindrom HELLP syndrome postpartum.
dikaitkan dengan morbiditas ibu yang
serius dan komplikasi ibu  Pada pasien ini ditemukan
anemia hemolitik dari hasil
 Sindrom ini tampaknya merupakan pemeriksaan laboratorium
manifestasi akhir dari kerusakan yang
tanggal 25 Juli (16,6) dan turun
mengarah pada kerusakan endotel
menjadi 12,7 pada pemeriksaan
mikrovaskular dan agregasi trombosit
tanggal 31 Juli 2021.
intravaskular. Setelah diaktifkan oleh
Pemeriksaan Trombosit pada
trombin, fibrinogen berpolimerisasi
menjadi untaian fibrin, yang awal masuk mendukung teori
membentuk penghalang seperti jaring yang ada dimana pasien ini
di pembuluh darah kecil, ditemukan tombositopenia
mengakibatkan kerusakan sel darah dengan jumlah trombosit
merah dan karakteristik anemia 211.000 pada pemeriksaan
hemolitik mikroangiopatik dari laboratorium tanggal 25 juli dan
sindrom tersebut. Trombosit
213000 ditanggal 31 juli 2021
menempel pada struktur fibrin,
namun belum signifikan namun
menyebabkan jumlah trombosit yang
penurunan trombosit terlihat
rendah. Pembentukan bekuan dalam
pada hasil pemeriksaan pertama
pembuluh darah hati menyebabkan
penurunan perfusi hati. dan kedua. Peningkatan enzim
hati juga ditemukan pada pasien
ini dimana SGOT 118 dan SGPT
97 pada pemeriksaan tanggal 28
juli 2021.
5

 Kombinasi hemolisis,  Pada pasien ini ditegakan


trombositopenia, dan peningkatan diagnosis HELLP syndrome
berdasarkan kesesuaian
enzim hati menunjukkan sindrom pemeriksaan fisik dan
HELLP postpartum. laboratorium yang memenuhi
kriteria HELLP syndrome
postpartum seperti yang sudah
dijabarkan sebelumnya.

 Keadaan yang ditandai dengan  Pada pasien ini juga diagnosis


disfungsi sel endotel sistemik, dengan impending accute lung
odema (ALO) maka diterapi
peningkatan resistensi vaskular
dengan diuretik pemberian
sistemik dan peningkatan Injeksi. Furosemid selama 8hari
permeabilitas kapiler, semuanya dan furosemid 40mg per oral
selama 4hari yang
mengarah pada ekstravasasi
dikombinasikan dengan
berlebihan dan dengan demikian pemberian spironolactone
meningkatkan risiko edema paru. Jika dengan dosis rendah yaitu
1x25mg. Dimana pemberian
terjadi edema paru, terapinya meliputi kombinasi kedua obat diuretik ini
oksigenasi, diuretik, restriksi cairan diberikan dengan pertimbangan
keadaan pasien dan gangguan
untuk menurunkan preload dan
elektrolit yang disebabkan
afterload dan ventilasi tekanan positif karena pemberian furosemid
intermitten. dapat menyebabkan penurunan
kadar kalium darah menjadi
hipokalemi sedangkan untuk
pemberian spironolactone sendiri
bekerja sebaliknya untuk
mempertahankan kadar kalium
darah agar tidak terlalu rendah.
Pemberian kedua obat ini juga
untuk obat anti-hipertensi untuk
post HELLP syndrome akibat
PEB selain pemberian dopamed
3x250mg pasien juga diberikan
obat anti hipertensi amlodipin
1x10mg dengan pertimbangan
Tekanan darah yang belum
kunjung stabil normal dengan
pemberian obat diatas.
 Pemberian oksigenasi adekuat
mengunakan NRM 10lt untuk
mengevaluasi sesak dan
meningkatkan kadar oksigenasi
dalam darah.
6

 Coronavirus Disease 2019 (COVID-  Adapun pasien ini juga


19) merupakan penyakit menular yang terkonfirmasi covid-19 pada
disebabkan oleh Coronavirus jenis awal masuk rumah sakit pada
baru. WHO merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid
pemeriksaan molekuler untuk seluruh
antigen dengan status ; Severe
pasien yang terduga terinfeksi
Covid-19 dimana keadaan pasien
COVID-19. Metode yang dianjurkan
setelah post partum mengalami
adalah metode deteksi
penurunan yang disebabkan
molekuler/NAAT (Nucleic Acid
Amplification Test) seperti karena komplikasi lanjut dari
pemeriksaan RT-PCR / Rapid Antigen pada HELLP syndrome akibat
PEB setelah postpartum. Pasien
kemudian di followup dengan
pemeriksaan swab PCR dan
didiagnosis dengan pasien
terkonfirmasi Covid-19 dengan
PCR test (+) positif.

 Pada Ibu hamil dengan Covid-19  Pada keadaan pasien saat ini
sedang, berat, dan kritis yang dipertimbangkan kemungkinan
dilakukan perawatan inap di rumah sudah melewati masa virulensi
sakit direkomendasikan untuk dengan melihat sudah tidak ada
segera diberikan tromboprofilakis keadaan akut yang ada. Namun
LMWH. American Society of mengarah keperburukan dimana
Hematology, Society of Critical pada pasien ini sendiri sudah
Care Medicine, dan International sudah masuk diminggu pertama
Society of Thrombosis and dimana yang diatasi saat ini
Haemostasis merekomendasikan adalah inflamasinya bukan
terapi profilaksis tromboemboli terfokus pada virusnya. Maka
vena secara rutin pada pasien yang pada pasien ini langsung diterapi
dirawat di RS dengan COVID-19 dengan penggunaan
kecuali ada kontraindikasi dexametasone dan heparin
(misalnya, perdarahan, dengan tujuan profilaksis
1
trombositopenia berat). Semua walaupun pada saat itu belum
ibu hamil dengan COVID-19, ada hasil pemeriksaan D-Dimer
harus dilakukan penilaian namun hal yang menjadi
kemungkinan terjadinya
6

tromboemboli vena (VTE).3 pertimbangan adalah kondisi


Pemberian profilaksis VTE pasien yang postpartum dengan
antepartum untuk yang tidak sakit keadaan severe. Pemberian
parah atau kritis dan akan segera Heparin dimulai dengan dosis
melahirkan dapat diberikan inj. 5000 iu diberikan secara
unfractioned heparin 5000 unit (SC) dimulai pada hari ke-2
secara subkutan setiap 12 jam. perawatan MRS sampai selesai
Low molecular weight heparin 40 hari ke 11. Sedangkan untuk
mg per hari untuk yang belum penggunaan Dexametasone
melahirkan atau yang postpartum. sendiri diberikan dengan dosis 1
Semua wanita hamil yang telah x 1 ½ amp (IV) selama 5 hari.
dirawat di rumah sakit dan telah
terkonfirmasi COVID-19 diberikan
tromboprofilaksis selama 10 hari.

 Heparin telah dilaporkan menghambat  Pada pasien ini sudah berada


aktivasi sejumlah jenis sel inflamasi pasien stadium severe covid-19
dan menunjukkan berbagai efek
dimana sudah dengan ancaman
imunologi, termasuk penghambatan
terjadi badai sitokin maka
TNF-α dan IL-6, yang dapat
pemberian heparin sebagai
berkontribusi untuk mengurangi risiko
antikoagulan segera diberikan.
badai sitokin

 Favipiravir adalah antivirus  Pada pasien ini pengobatan

spektrum luas yang menunjukkan antiviral yang diberikan adalah

aktivitas in vitro terhadap SARS- dengan penggunan antivirus

CoV-2.7,1. Namun, favipiravir Favipiravir dengan pertimbangan

dikontraindikasikan pada pasien saat ini pasien sudah postpartum

hamil serta pria dan wanita yang dan suda melewati fase virulensi

ingin hamil karena karena sudah tidak ada keadaan

teratogenisitasnya yang kuat. Saat akut yang ada adalah keadaan

ini, remdesivir dapat mewakili terapi pasien yang mengarah ke


yang menjanjikan untuk COVID-19 peruburukan dan pertimbangan
karena spektrumnya yang luas dan pengobatan sekarang untuk
telah menunjukkan aktivitas in vitro keadaan inflamasinya bukan lagi
terhadap beberapa novel CoronaVirus dengan virusnya dan
6

(nCOV), termasuk SARS-CoV-2. pertimbangan kedua adalah


Remdesivir bekerja dengan kelangkaan antivirus resemdivir
menghambat RNA polimerase maka dipilih penggunan dengan
dependen dengan mengurangi
favipiravir.
replikasi virus di dalam sel inang dan
meningkatkan MERS/CoV
menyebabkan kerusakan paru-paru.
Remdesivir mengurangi keparahan
penyakit, replikasi virus dan
kerusakan paru-paru ketika diberikan
sebagai profilaksis sebelum pajanan
dan pengobatan terapeutik pada kera
rhesus.

PERMASALAHAN

1) Apakah penanganan untuk pasien ini sudah tepat?


 Penangan pasien ini sudah tepat karena walaupun pasien datang dan
langsung partus spontan tanpa kendala, penatalaksanaan yang
dilakukan untuk PEB serta HELLP sindrom dan juga COVID-19
pada saat masa nifas sudah sesuai dengan literatur yang ditemukan.
2) Sebagai dokter umum di level puskesmas, apabila menemukan kasus
seperti ini apa yang harus dilakukan?

 Apabila ditemukan pasien seperti ini difasilitas pertama maka


sebaiknya harus dipertimbangkan untuk pemberian MgSO4 sesuai
protokol serta melakukan terminasi kehamilan segera
6

DAFTAR PUSTAKA

1. Gant C, Gilstrap L, Wenstrom H. Hypertensive disorders in pregnancy.


In: Williams Obstetrics. 21stEd. New York: McGraw-Hill. 2001: pp. 567-
609
2. Lim, Kee-Hak. Preeclampsia. 2014. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview. [Accesed 15th
June 2015]
3. Chappel, S. Morgan,L. Searching for genetic clues to the causes of
preeclamsia. Clinical Science. 2006: 443-458
4. Powe, CE. Levine, RJ. Karumanchi SA. Preeclampsia, a Disease of the
Maternal Endothelium. The Role of Antiangiogenic Factors and Implications
for Later Cardiovascular. 2011. Available at http://circ.aha
journals.org/content/123/24/2856.full.pdf+html. [Accesed 15th June 2015]
5. Depkes RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI. 2001.
6. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension in
pregnancy : The management of hypertensive disorders during pregnancy.
2011. Available at http://www.nice.org.uk/guidance/cg107/resources/
guidance-hypertension-in-pregnancy-pdf [Accesed 15th June 2015]
7. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
8. Tanjung, MT. Preeklampsia: Studi Tentang Hubungannya dengan Faktor
Fibrinolisis Ibu dan Gas Darah Tali Pusat. Medan: Pustaka Bangsa Press.
2004.
9. Indriani N. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Preeklampsia/Eklampsia pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah
Kardinah Kota Tegal. 2011.
10. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension in
pregnancy : The management of hypertensive disorders during pregnancy.
2011. Available at http://www.nice.org.uk/guidance/cg107/resources/
guidance-hypertension-in-pregnancy-pdf [Accesed 9th February 2015]
11. World Health Organization. WHO recommendations for Prevention and
treatment of pre-eclampsia and eclampsia. 2011. Available at
http://www.hse.ie/eng/about/Who/clinical/natclinprog/obsandgynaeprogram
me/guideeclamspsia.pdf [Accesed 15th June 2015]
12. Impey, L., and Child, T. Hypertensive Disorders in Pregnancies. In: Impey,
6

L., editor. Obstetrics & Gynaecology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishing,
2008: 165-169.
13. Institute of Obstetricians and Gynaecologists. The Diagnosis And
Management Of Pre-Eclampsia And Eclampsia Clinical Practice Guideline.
2013. Available at http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/97892415483
35_en g.pdf [Accesed 15th June 2015]
14. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE. Diagnosis, Evaluation, and
Management of the Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive
Summary. 2014. Available at http://sogc.org/wp-content/uploads/2014/05/
gui307CPG1405E1.pdf [Accesed 15th June 2015]

Anda mungkin juga menyukai