Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

STEMI ANTERIOR WALL ONSET 3 JAM KILLIP I

OLEH :
Yuniarni S. C014172149

SUPERVISOR :
dr. Julius Patimang, SpA, SpJP(K),FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPENITERAAN


KLINIK
BAGIAN KARDIOVASKULAR
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Yuniarni S.

NIM : C014172149

Universitas : Universitas Hasanuddin

Judul Laporan Kasus : ST-Elevation Myocardial Inferior Onset 3 jam


KILLIP I

telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Kardiologi dan


Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 4 Oktober 2018

Supervisor Pembimbing,

dr. Julius Patimang, SpA, SpJP(K),FIHA

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. HP
TanggalLahir / Usia : 06-08-1971/ 47 tahun
No.RekamMedis : 856759
Pendidikan : S1 POLRI
Pekerjaan : POLRI
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Makassar
Telp/HP : 085299029670
Masuk RS : 23-09-2018 (11:07 WITA)
B. ANAMNESIS
KeluhanUtama
Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada sebelah kiri dirasakan 3 jam sebelum masuk Rumah Sakit, nyeri

dirasakan seperti rasa berat di dada sebelah kiri tembus ke belakang dan

menjalar ke lengan kiri, durasi > 20 menit, VAS 7. Nyeri dada disertai sesak

napas dan keringat dingin. Tidak ada rasa berdebar-debar. Demam tidak ada,

mual dan muntah tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil normal
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat nyeri dada ada sejak 14 hari sebelum masuk Rumah sakit, nyeri

dirasakan seperti rasa berat di dada sebelah kiri tembus ke belakang dan

menjalar ke lengan kiri, nyeri muncul ketika beraktivitas dan berkurang dengan

istirahat, durasi nyeri <5 menit, VAS 3.


Riwayat Hipertensi tidak ada
Riwayat diabetes melitus tidak ada
Riwayat hiperkolesterolemia tidak ada
Riwayat merokok ada sejak 20 tahun yang lalu, 16 batang perhari (Indeks

brinkman: perokok sedang)


Riwayat penyakit jantung tidak ada
Riwayat sering konsumsi makanan berkolesterol tinggi ada.
Riwayat Penyakit jantung dalam keluarga ada, yaitu ayah pasien (Penyakit

jantung koroner)

C. PEMERIKSAAN FISIK
KeadaanUmum

3
Sakit sedang/gizi baik/GCS 15 (compos mentis)

Status Antropometri
-
Tinggi Badan : 173 cm
-
Berat Badan : 68 kg
-
Indeks Massa Tubuh : 22,7 kg/m2

Tanda-tanda Vital
-
Tekanan darah : 128/74 mmHg
-
Frekuensi nadi : 65 kali/menit, reguler
-
Frekuensi napas: 22 kali/menit ; Sp02: 100%
-
Suhu (aksilla) : 36,5oC

4
Kepala

Deformitas : Tidak ada Mata

Simetris muka : Simetris Eksoftalmus : Tidak ada

Rambut : Sukar dicabut Konjungtiva : Anemis (-)

Ukuran : Normocephal Kornea : Refleks kornea (+)

Bentuk : Mesocephal Enoptalmus : Tidak ada

Sklera : Ikterus (-)

Pupil : Isokor 2,5 mm/2,5 mm

Telinga Hidung

Pendengaran: Dalam batas normal Epistaksis : Tidak ada

Otorrhea : Tidak ada Rhinorrhea:Tidakada

5
Mulut

Bibir : Kering (-) Lidah : Kotor (-)

Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis Faring : Tidak Hiperemis

Leher

KGB : Tidak ada pembesaran DVS : R+2 cmH2O

Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran Kaku kuduk : Tidak Ada

Dada

Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan

Buah dada : Simetris kira sama dengan kanan, tidak ada kelainan

Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan

Pulmo

Inspeksi : Simetris kanan dan kiri

Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan

Nyeri tekan tidak ada

Perkusis : Batas paru hepar ICS VI dekstra

Batas paru belakang kanan ICS IX

Batas paru belakang kiri ICS X

Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler

Bunyi Tambahan : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

6
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis sinistra

Batas kanan ICS IV linea parasternalis dekstra

Batas kiri bawah ICS V linea parasternalis sinistra

Aukultasi : BJ I/II murni reguler

Bising jantung (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, ikut gerak napas

Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba

Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani (+)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Ekstremitas

Tidak ada udem

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrokardiogram

7
Interpretasi
1. Irama : Sinus Rhytme
2. Laju QRS :70 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : normoaksis
5. Interval P-R : 0,16 detik
6. QRS rate : durasi 0,08 detik
7. Segmen ST : ST elevasi pada lead V1-V4
8. Gelombang T : T inverted tidak ada

Kesimpulan: SR, HR 91x/mnt, normoaxis, STEMI anteriorseptal

Interpretasi
1. Irama : Sinus Rhytme
2. Laju QRS : 60 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : normoaksis
5. Interval P-R : 0,16 detik
6. QRS rate : durasi 0,08 detik

8
7. Segmen ST : ST elevasi pada lead V1-V4
8. Gelombang T : T inverted tidak ada

Kesimpulan: SR, HR 91x/mnt, normoaxis, STEMI anteriorseptal

2. Laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL NORMAL

RBC 4,95 (10^6/UL) 4.00 – 6.00 10^6/uL

HGB 15.1 (g/dL) 12.0 - 16.0 gr/dl

MCV 88.3 Fl 80.0 - 97.0 fL

MCH 30.5 pg 26.5 - 33.5 pg

MCHC 34.6 (g/dl) 31.5-35.0 g/dl

WBC 13.84 (10^3/UL) 4.00 - 10.0 10^3/ul

NEUT 80.1% 52.0 - 75.0 %

LYMP 11.1% 20.0 - 40.0 %

MONO 6.9% 2.00 - 8.00 %

EOS 1.4% 1.00 - 3.00 %

BASO 0.5% 0.00 - 0.10 %

HCT 43.7% 37.0 - 48.0 %

PLT 258 (10^3/UL) 150 - 400 10^3/ul

PT 10.3 10-14 detik

INR 0.97 -

APTT 26.9 22.0 – 30.0

9
GDS 115 140 mg/dl

Ureum 26 10-50 mg/dl

Kreatinin 0.73 L(<1.3); P(<1.1) mg/dl

SGOT 22 <38 U/L

SGPT 24 <41 U/L

CK 400.76 L(<190);P(<167) U/L

CK-MB 45.7 <25 U/L

Hs Troponin I 1089.9 L(17-50);P(8-29) ng/l

Natrium 141 136-145

Kalium 4.2 3.5-5.1

Clorida 106 97-111

3. Radiologi

10
Kesan: Cardiomegaly dengan tanda-tanda bendungan paru

Dilatatio aortae

4. Echocardiography

11
Kesan:

Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun dan ventrikel kanan baik

Hipertrofi ventrikel kiri konsentrik

Hipokinetik segmental

E. Assessment

1. ST elevasi miokard infark anteroseptal wall onset 3 jam KILLIP I

F. Terapi

 Initial terapi

1. Tirah Baring

2. IVFD Nacl 0.9% 20 TPM

12
3. Loading dose aspilet 160 mg

4. Loading dose clopidogrel 300 mg

5. Trombolitic

Alteplase 15 mg bolus

Alteplase 50 mg dalam 30 menit

Alteplase 35 mg dalam 60 menit

 Terapi

1. Aspilet 80mg/24 jam/oral

2. clopidogrel 75 mg/24 jam/oral

3. Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral

4. Captopril 12.5 mg/8 jam/oral

5. Fondaparinux 2.5/24 jam

G. Planning
- periksa lipid profil
- periksa GDP
- Angiografi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infark miokard akut adalah kerusakan jaringan akibat gangguan aliran darah

koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Apabila A.koronaria yang

utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard transmural yang mana

kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard. Pada EKG tampak ST-

segmen elevasi dan gelombang Q-patologis yang disebut STEMI (ST-segmen

13
elevasi miokard infark). STEMI merupakan bagian dari sindrom koroner akut

(SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut tanpa

elevasi ST (NSTEMI) dan infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI)

(Kabo, 2012; Liwang & Wijaya, 2014).

B. Patofisiologi

Adanya penumpukan lemak yang berlebihan serta infiltasi sel busa

berhubungan dengan fissure dan ruptur plak. Trombosis lokal akan terbentuk

karena ruptur plak yang sudah ada sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan

perubahan komposisi plak dan penipisan fibrous cap (protein matriks

ekstraselular) yang menutupi plak tersebut. Penelitian histologis menunjukkan

plak coroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis

dan inti kaya lipid (lipid rich core). Inti lipid yang terdapat pada plak matur

merupakan substrat utama pembentukan thrombus yang kaya platelet. Pada lokasi

ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi

trombosit, yang selanjutnya akan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor

lokal dan poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
14
reseptor glikoprotein IIb/IIIa sehingga memiliki afinitas tinggi terhadap factor von

Willebrand (VWF) dan fibrinogen. Faktor ini akan menunjang adhesi platelet

pada permukaan trombosit dan jaringan kolagen sehingga menghasilkan aggregasi

platelet (Alwi, 2009; Kabo, 2012)


Apabila terjadi kontak dengan darah, tissue factor pada endotel yang rusak

berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade enzimatik yang

mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi

fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh

trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin (Kabo, 2012; Alwi, 2009).
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada

sebelumnya. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada

lokasi injuri vascular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti

merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2009).

C. Faktor risiko
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,

yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner

meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum

usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat

memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah abnormalitas

kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial,

konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol dan aktivitas.


Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama

kali tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama

ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang yang mulai muncul pada

wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya realtif kebal terhadap

15
penyakit ini sampai menopouse, dan kemudian menjadi sama rentanya seperti

pria. Hal ini diduga karena adanya efek perlindungan estrogen.


Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah

hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau

trigliserida serum diatas batas normal. The National Cholesterol Education

Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit

jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan

bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark

miokard.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg

atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik

meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri.

Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk

meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka

penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen

karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang

tersedia.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 50%.

seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard.


Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-

49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan

peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >

25-49 kg/m2 dan obesitas dengan IMT >30 kg/m 3. Obesitas sentral adalah obesitas

dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga

berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,

16
peurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin

dan diabetes melitus tipe II.


Faktor psikososial seperti peningkatan seperti peningkatan steres kerja,

rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi

secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis.


Resiko terkena penyakit infark miokard meningkat pada pasien yang

mengkonsumsi diet ang rendah serat , kurang vitamin C dan E dan bahan-bahan

polisistemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata

sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun, bila mengonsumsi

berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil perhari, pasien memiliki peningkatan

resiko terkena penyakit.


Faktor Resiko

Tidak dapat diubah Dapat diubah

- Usia (laki-laki >45 tahun - Hiperlipidemia (LDL-C) :


- Perempuan >55 tahun atau
batas atas 130-159 mg/dl,
menopause prematur tanpa
tinggi >160 mg/dl
terapi penggantian estrogen - HDL-C rendah : < 30 mg/dl
- Riwayat CAD - Hipertensi
- Merokok sigaret
- Diabetes Melitus
- Obesitas

D. Manifestasi Klinik
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah

sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau kanan, ke rahang, ke bahu kiri dan kanan

dan pada lengan. Penderita menggambarkan seperti tertekan, terhimpit, diremas-

remas atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Walau sifatnya dapat

ringan, tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari setengah jam. Jarang ada

17
hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian

nitrat.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin

dan lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa

dingin. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat

nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai.

Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu

beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.


Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.

Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi

sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan

suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan

paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel

jantung.
Gejala klinis menurut buku Ilmu Penyakit Dalam :
1. STEMI

Gejalanya yang ditimbulkan yaitu :

 Plak arteriosklerosis mengalami fisur

 Rupture atau ulserasi

 Jika kondisi lokal atau sistemik akan memicu trombogenesis,

sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang

mengakibatkan oklusi arteri koroner.

2. NSTEMI
Gejala yang ditimbulkan yaitu :
Nyeri dada dengan lokasi khas atau kadang kala diepigastrium dengan ciri

seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul,

rasa penuh, berat atau tertekan.

18
E. PATOFISIOLOGI

Sebagian besar Sindrom Koroner Akut adalah manifestasi akut dari plak

ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan

perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak

tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi

jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).

Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total

maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner

yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan

vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.

Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan

oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium

mengalami nekrosis (infark miokard). (PERKI, 2015)

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah

koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat

menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).

Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium

karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan

remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian

pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka

mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri

koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa

spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
19
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti

demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus

terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. (PERKI,

2015)

Faktor-faktor yang berperan dalam progresi SKA :

Pembentukan Plak Aterosklerosis

Patofisiologi terjadinya infark miokard akut disebabkan karena

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard akibat

aterosklerosis atau plak. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak

di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung lama

sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA.

Beberapa faktor risiko sindrom koroner, seperti hipertensi,

hiperkolesterolemia, diabetes, kebiasaan merokok, infeksi dan stres oksidatif

dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan

disfungsi endotel. Disfungsi endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi

dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya

menyebabkan pertumbuhan plak.

Tanda endotel yang mengalami disfungsi adalah sebagai berikut :

1. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi

endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis

vaskuler

20
2. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin,

molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah,

seperti Vascular Cell AdhesionMolecules-1 [VCAM-1])

3. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa

substansi aktif lokal.

Selanjutnya, terjadi perubahan kondisi endotel, seperti peningkatan

adhesivitas endotel, peningkatan permeabilitas endotel (sehingga

memudahkan migrasi LDL dan monosit ke tunika intima pembuluh darah),

migrasi dan proliferasi sel otot polos dan makrofag, pelepasan enzim

hidrolitik, sitokin,dan faktor pertumbuhan, nekrosis fokal dinding

pembuluh darah, dan kemudian perbaikan jaringan dengan fibrosis.

(Jeremy, 2010)

Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi

menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul

adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini

mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL

teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel

foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi

ini melepas-kan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte

chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan

c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses inflamasi dengan

mendatangkan lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh

darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat

terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika
21
media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul

fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari

aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks

metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan

menyebabkan terjadinya disrupsi plak. (Jeremy, 2010)


Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel

otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas

plak dan kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang

termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons

inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak

migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami

modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan

memproduksi matriks metalloproteinase (MMPs) yang mendegradasi

kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang

membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul

fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran

darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan ter-

bentuknya bekuan. Proses pro Inflamatorik ini menyebabkan

pembentukan plak dan instabilitas.


Sebaliknya ada proses anti inflamatorik yang membatasi

pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4

dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak.

Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.

Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah

22
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh

darah dan menjadi rentan mengalami ruptur. (Jeremy, 2010)


Gejala oklusi oleh plak aterosklerosis muncul bila stenosis lumen

mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak

aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang

dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak

yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan

inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur.

(Jeremy, 2010)
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks

subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini

menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi

trombosit, selanjutnya terbentuk thrombus. Trombosit berperan dalam

proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga

melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan

jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan

dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. (Jeremy,

2010)

Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk :

1. Trombus putih merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya

menyebabkan oklusi sebagian

2. Trombus merah merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk karena

aktifasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini

23
bersuperimposisi dengan trobus putih, menyebabkan terjadinya oklusi

total. (Jeremy, 2010)

F. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Nyeri dada khas infark miokard berupa nyeri dada substernal dan menjalar

ke lengan kiri, bahu, atau leher. Kualitas nyeri berupa nyeri tumpul seperti rasa

tertindih, atau rasa berat yang berlangsung lebih dari 20 menit dengan

intensitas nyeri makin lama makin bertambah. Tidak hilang dengan istirahat

atau pemberian nitrat. Disertai gejala otonom seperti keringat dingin, mual,

muntah, sesak, berdebar-debar, atau lemas. Kadang-kadang rasa nyeri tidak

ada dan penderita hanya mengeluh lemah,banyak keringat, pusing, palpitasi,

dan perasaan akan mati.

2. Pemeriksaan fisik

Penderita nampak sakit, muka pucat, kulit basah, dan dingin.Tekanan

darah bisa tinggi, normal, atau rendah. Dapat ditemui bunyi jantung kedua

yang pecah paradoksal, irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi

diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.

3. EKG

Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard

infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner

menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi

segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil

berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi

dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.


24
4. Pemeriksaan laboratorium

Nekrosis miokardium menyebabkan pelepasan protein intraseluler, protein

intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi

sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik. Oleh sebab itu,

nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang

disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate

aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme

MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light

chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). TnT adalah

yang paling sensitif dan dapat terdeteksi di dalam darah dalam waktu 2-4 jam

setelah IMA muncul. Nilai positif troponin adalah diatas 0,1 ug/dl.

Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark

miokard.

G. Penatalaksanaan

1. Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan

derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien

STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang

maligna.

Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi

fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI

dapat dicapai dalam 90 menit.

Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting

terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam


25
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan

dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan

infark miokard dan menurunkan angka kematian.

Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada

pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik),

semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin

kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi

reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya

fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat

dikerjakan.

a. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)

Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului

fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam

mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama

infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka

arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka

pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika

terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko

perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam

jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat

fibrinolitik.

26
b. Fibrinolitik

Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door

to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya

adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa

macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),

streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan

memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus

fibrin.

Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan

penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.

Kontraindikasi terapi fibrinolitik :

A. Kontraindikasi absolut

1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral

2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)

3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial

4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam

5) Dicurigai diseksi aorta

6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)

7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

B. Kontraindikasi relatif

1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali

27
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau

TDS>110 mmHg)

3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui

patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi

4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi

besar (<3 minggu)

5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu

6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi

7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya

atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini

8. Kehamilan

9. Ulkus peptikum aktif

10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko

perdarahan.

C. Obat Fibrinolitik

1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang

pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya

karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.

Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan

intrakranial yang rendah.

2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies

to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan

mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA

28
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan

risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.

3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan

sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis

bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.

4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki

spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator

inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan

tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan

yang sama dibandingkan dengan tPA.

Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang

manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti

perdarahan.

2. Terapi lainnya

ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien

dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,

clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin

(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta,

ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.

a. Anti trombotik

Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI

berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner

29
yang terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.

Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler

sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.

Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi

trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL

membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan

hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari

dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stentin.

Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah

unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai

tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif,

membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri

yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg

(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum

1000 U/jam).Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan

harus mencapai 1,5-2 kali.

Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal

jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2

dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru

sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh

(UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3

bulan.

b. Thienopiridin

30
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien

dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI

yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.

Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators

mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI

yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan

penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,

reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian

terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang

memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).

c. Penyekat Beta

Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu

manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan

dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah

infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan

oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan

menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.

Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar

pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien

dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik

ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat

asma).

d. Inhibitor ACE

31
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat

terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.

Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada

pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark

sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang

juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.

Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan

bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging

menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat

abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.

H. Komplikasi

1. Disfungsi Ventrikular

Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan

ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini

disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal

jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.

Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan

ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks

ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih

sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.

2. Gangguan Hemodinamik

32
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di

rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi

dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)

dan sesudahnya

3. Syok kardiogenik

Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%

terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok

kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

4. Infark ventrikel kanan

Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang

berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau

tanpa hipotensi.

5. Aritmia paska STEMI

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem

saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona

iskemi miokard.

6. Ekstrasistol ventrikel

33
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien

STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam

mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.

7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel

Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia

sebelumnya dalam 24 jam pertama.

8. Fibrilasi atrium

9. Aritmia supraventrikular

10. Asistol ventrikel

11. Bradiaritmia dan Blok

12. Komplikasi Mekanik

Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding

ventrikel.

I. Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :


1. Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana ; S3

gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik


2. Klasifikasi Forrester, berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung

dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

34
3. TIMI risk score, adalah sistem prognostik paling akhir yang

menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai

pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

TABEL .Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Klas Defenisi Mortalitas %

I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6

II + S3 dan atau ronki basah 17

III Edema paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

TABEL Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut

Klas Indeks kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas %

(L/min/m2)

I >2,2 <18 3

II >2,2 >18 9

III <2,2 <18 23

IV <2,2 >18 51

35
DAFTAR PUSTAKA

Liwang, Frans & Ika Wijaya. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. 2012. Jakarta:
Media Aesculapius
Alwi, Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Interna Publishing
Kabo, Peter. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional.
2012, Balai Penerbit FKUI
Aaronson PI, Ward JPT. 2010. At A Glance: Sistem Kardiovaskular, Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga
Kabo peter. 2014. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara
Rasional. Jakarta: FKUI
Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal Medicine.
New South Wales: McGraw Hill. 2010.
Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the ACC/AHA
2004 guidelines for the management of the patients with ST- elevation
myocardial infarction : a report of the American College of Cardiology
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
2008;51:210–247.
Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for reperfusion
therapy in emergency department patients with suspected acute myocardial
infarction. American College of Emergency Physicians Clinical Policies
Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion Therapy in Emergency
Department Patients with Suspected Acute Myocardial Infarction. Ann
Emerg Med. 2006;48:358–383.
Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment
elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment Elevation
Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur
Heart J 2008;29:2909–2945.
ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous streptokinase, oral
aspirin, both or neither among 17.187 cases of suspected AMI. Lancet.1986;
1:397.

36
Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL (Ab ciximab
before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction Regarding
Acute and Long-Term Follow Up) Investigators. Platelet Glycoprotein
IIb/IIIa inhibition with coronary stenting for acute myocardial infarction. N
Engl J Med. 2001;344:1895-903.
Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS) registry
investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital survivors
of acute ST-segment elevation myocardial infarction in clinical practice. Eur
Heart J 2006;27:2661–66.
Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto By, Tobing DPL, Firman D, et al.
Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. 3rd ed. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015
Aaronson P, Jeremy . At a Glance Edisi Ketiga Sistem Kardiovaskuler. Erlangga
Medicine Series. 2010. p. 80-2

37

Anda mungkin juga menyukai