Anda di halaman 1dari 18

Referat

INFESTASI SKABIES DAN CUTANEUS


LARVA MIGRAN

Oleh:
Afrida Yolanda Putri, S.Ked
04054822022138

Pembimbing:
dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK(K), FINSDV

BAGIAN/KSM DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Judul

INFESTASI SKABIES DAN CUTANEUS


LARVA MIGRAN

Oleh:
Afrida Yolanda Putri, S.Ked
04054822022138

Pembimbing
dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK(K), FINSDV

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Univesitas Sriwijaya/Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
Periode 26 Oktober–11 November 2020.

Palembang, 2 November 2020


Pembimbing

dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK(K), FINSDV

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Infestasi Skabies dan Cutaneus
Larva Migran”. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Inda Astri Aryani,
Sp.KK(K), FINSDV selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan
selama penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
referat ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan agar laporan ini dapat
memberi manfaat bagi para pembaca.

Palembang, 2 November 2020

Penulis

3
INFESTASI SKABIES DAN CUTANEUS
LARVA MIGRAN

PENDAHULUAN

Skabies merupakan infestasi manusia yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei


hominis yang menjalani seluruh siklus hidupnya di dalam epidermis.1 Skabies dapat
menyerang orang dengan berbagai golongan umur, ras dan tingkat ekonomi soial.
Dilaporkan setiap tahunnya bahwa terdapat sekitar sebanyak 300 juta kasus skabies
di seluruh dunia. Prevalensinya sangat bervariasi dengan beberapa negara
terbelakang memiliki tingkat 4% sampai 100% dari populasi umum. Skabies sering
diabaikan oleh masyarakat, sehingga penyakit ini menjadi salah satu masalah di
seluruh dunia. Penyakit ini lebih banyak terjadi di negara berkembang, terutama di
daerah endemis dengan iklim tropis dan subtropis, seperti Afrika, Amerika Selatan,
dan Indonesia. Berdasarkaan data dari Depkes RI, data puskesmas dari seluruh
Indonesia menyatakan bahwa angka kejadian skabies pada tahun 2008 adalah 5,6%-
12,95%. Di Indonesia, skabies menduduki urutan ke tiga dari dua belas penyakit
tersering. Predileksi tersering skabies yaitu di jari, pergelangan tangan, aksila, areola,
umbilikus, perut bagian bawah, genital dan bokong. Pada orang dewasa, kulit kepala
dan wajah biasanya tidak terkena, tetapi pada bayi, lesi biasanya muncul di seluruh
permukaan kulit.1,2,3

Cutaneus Larva Migran atau Creeping eruption adalah istilah yang diberikan
pada lesi kulit linier yang berputar dan berkelok-kelok yang dihasilkan oleh liang
larva. Penyakit ini sering ditemukan pada orang-orang yang bertelanjang kaki di
pantai, anak-anak yang bermain di pasir, penjaga dan tukang ledeng yang bekerja
di bawah rumah dan tukang kebun. Cutaneus larva migrans sering dijumpai di
negara-negara tropis dan subtropis yang memiliki iklim yang hangat dan
danlembab seperti Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, India, Afrika
dan Asia Tenggara. Terdapat sekitar 576-740 juta orang didunia terinfeksi
cacing tambang. Di Indonesia prevalensi infeksi cacing tambang sekiar 30-
50% dimana pada daerah perkebunan memiliki prevalensi yang lebih tinggi.1,4
4
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2019, cutaneus
larva migran dan skabies merupakan infestasi parasit dengan standar kompetensi 4A
yaitu lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan
menguasai seluruh teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan,
komplikasi, dan pengendalian komplikasi. Tujuan dari penulisan referat ini ialah
untuk mengetahui dan memahami infestasi parasit sehingga dapat membantu
menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat.

5
INFESTASI SKABIES
ETIOLOGI

Skabies merupakan infestasi tungau sarcoptes scabiei varietas homini, famili


Sarcoptidae, kelas Arachnida subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan famili
Sarcoptidae1,2 Tungau berbentuk seperti mutiara, bening, putih, tanpa mata, dan
berbentuk lonjong dengan 4 pasang kaki yang pendek dan gemuk. Tungau betina
dewasa berukuran 0,4 × 0,3 mm dengan tungau jantan sedikit lebih kecil. Tungau
mampu hidup selama 3 hari dari inangnya dalam tabung reaksi yang steril, dan
selama 7 hari jika ditempatkan dalam wadah oli mineral. Tungau tidak dapat terbang
atau melompat1,3,5

PATOGENESIS
Siklus hidup S. scabiei terdiri tadi telur, larva, nimfa, dan tungau dewasa.
Infestasi dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita skabies ke
orang sehat. Tungau betina dewasa akan berjalan di permukaan kulit untuk mencari
daerah untuk digali; lalu melekatkan dirinya di permukaan kulit menggunakan
ambulakral dan membuat lubang di kulit dengan menggigitnya. Tungau akan
menggali terowongan sempit dan masuk ke dalam kulit; penggalian biasanya malam
hari sambil bertelur atau mengeluarkan feses. Tungau betina hidup selama 30-60 hari
di dalam terowongan dan selama itu tungau tersebut terus memperluas
terowongannya3,5
Siklus hidup tungau seluruhnya pada kulit manusia. Tungau betina, dengan
kombinasi gerakan mengunyah dan gerakan tubuh, mampu menggali liang sloping
0,5 sampai 5 mm / hari di stratum korneum ke batas stratum granulosum. Sepanjang
jalur ini, yaitu 1 cm, dia bertelur di mana saja dari 0-4 telur perhari, atau sampai 50
telur selama rentang hidupnya selama 30 hari. Telur menetas dalam 10 hingga 12
hari dan larva meninggalkan liang untuk matang di permukaan kulit. Setelah larva
meranggas, mereka menjadi nimfa yang hanya dapat bertahan hidup 2 sampai 5 hari
dari inang. Tungau jantan hidup di permukaan kulit dan memasuki liang untuk
berkembang biak. Skabies dapat menginfestasi siapa saja, namun beberapa kelompok
yang memiliki kerentanan dan lebih berisiko untuk terinfeksi adalah anak-anak/usia
6
muda, dewasa muda yang aktif secara seksual, penghuni rumah jompo, fasilitas
kesehatan jangka panjang, sekolah berasrama, dan tempat huni lain yang ramai
dengan kebersihan rendah, sistem kekebaan tubuh yang rendah, pendapatan keluarga
yang rendah, kebersihan yang buruk seperti berbagi pakaian dan handuk serta
frekuensi mandi yang jarang.5,6

GAMBARAN KLINIS

Diagnosis skabies dapat diawali oleh pruritus yang berhubungan dengan


distribusi karakteristik lesi dan riwayat epidemiologi. Onsetnya biasanya berbahaya,
dengan pasien mengeluhkan pruritus nokturnal yang intens. Pruritus biasanya
muncul 4-6 minggu setelah infestasi awal, meskipun banyak pasien mungkin tidak
mengalami gejala selama 3 bulan; bila terjadi re-infestasi tungau, gejala dapat
muncul lebih cepat dalam 2 hari. Serupa dengan respons manusia terhadap serangga
pada umumnya, beberapa individu asimptomatik dan dianggap sebagai carrier. Pada
pemeriksaan fisik, pasien didapatkan kelainan kulit menyerupai dermatitis, yaitu lesi
papul, vesikel, urtika, dan bila digaruk timbul lesi sekunder berupa erosi, eksoriasi,
dan krusta yang dapat muncul di sisi jari, bagian volar pada pergelangan tangan dan
telapak tangan lateral, siku, aksila, skrotum, penis, labia dan aerola pada wanita. Pada
orang dewasa kepala dan leher biasanya tidak terkena, tetapi pada bayi, lansia dan
dan pasien imunokompromais dapat menyerang seluruh permukaan tubuh. Pada bayi
dan anak-anak dapat ditemukan juga nodul yang tidak beraturan dan berkrusta di
daerah batang tubuh. Pada skabies berkrusta, plak hiperkeratotik berkembang secara
difus pada regio palmar dan plantar, dengan penebalan dan distrofi pada kuku kaki
dan kuku jari tangan3,5-7
Dalam sejumlah kecil kasus, hiperinfestasi dapat terjadi yang mengarah ke
skabies berkrusta, di mana inang dapat berkoloni dengan jutaan tungau. Hal ini
berbeda dengan skabies klasik di mana inangnya akan menampung rata-rata 10–15
tungau. Skabies berkrusta sering terjadi, meskipun tidak secara eksklusif, dalam
keadaan imunosupresi, misalnya pada mereka yang mengalami infeksi HIV lanjut
atau keganasan, dan pada orang tua. Skabies berkrusta secara klinis muncul sebagai
dermatosis hiperkeratotik, biasanya melibatkan telapak tangan dan telapak kaki,
7
seringkali dengan celah kulit yang dalam. Sering ditemui limfadenopati umum,
eosinofilia darah tepi dan peningkatan kadar IgE serum dan infeksi bakteri sekunder
sering terjadi dan berhubungan dengan kematian yang signifikan6,7

Gambar 1. Skabies berkrusta, Plak hiperkeratotik yang dihuni ribuan tungau7

DIAGNOSIS
Diagnosis pada skabies dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan penunjang. Diagnosis skabies dapat
ditegakkan dengan adanya 2 dari 4 tanda kardinal (tanda utama), yaitu:7

1. Gejala gatal pada malam hari (pruritus nokturna), disebabkan aktivitas tungau
skabies yang lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas7

2. Gejala yang sama pada satu kelompok manusia. Penyakit ini menyerang
sekelompok orang yang tinggal berdekatan, seperti sebuah keluarga,
perkampungan, panti asuhan, atau pondok pesantren7

3. Terbentuknya terowongan atau kunikulus di tempat-tempat predileksi,


terowongan berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 2 cm,
putih atau keabu-abuan. Predileksi di bagian stratum korenum yang tipis, yaitu:

8
sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat
ketiak bagian depan, umbilikus, bokong, perut bagian bawah, areola mammae
pada wanita dan genitalia eksterna pada laki-laki.7

4. Ditemukan tungau Sarcoptes scabiei, dapat ditemukan satu atau lebih stadium
hidup.7

Diagnosis pasti dibuat dengan identifikasi mikroskopis dari tungau, telur,


atau kotoran feses (scybala). Ini dilakukan dengan menempatkan setetes minyak
mineral di atas liang dan kemudian mengikis secara membujur dengan pisau bedah
nomor 15 di sepanjang liang atau area kulit yang dicurigai. Kerokan paling baik
diambil dari liang, papula, atau vesikel yang tidak mengalami ekskoriasi. Kerokan
tersebut kemudian diaplikasikan pada kaca objek dan diperiksa dengan daya rendah.
Mikroskopi confocal dan dermoscopy juga dapat digunakan untuk memeriksa
tungau di vivo. Penemuan dermoscopic klasik adalah tanda “delta-wing jet” dari
bagian kepala dan tubuh tungau, telur, atau terowongan. Biopsi kulit dapat
mendiagnosis skabies, apabila tungau kebetulan ditranseksi di stratum korneum.7,8,9

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada skabies yaitu dermatitis atopik, pyoderma,
Dyshidrotic eczema, Dermatitis kontak, id reaction, varisela, miliaria dan reaksi
gigitan serangga.3,10

PENATALAKSANAAN

Pada beberapa kasus, infestasi tungau dapat asimptomatik atau tidak


bergejala tetapi individu sudah terinfeksi. Mereka dianggap sebagai pembawa
(carrier). Oleh karena itu, pengobatan juga dilakukan kepada seluruh penghuni
rumah karena kemungkinan karier di penghuni rumah dan untuk mencegah re-
infestasi karier. Terapi utama pada skabies adalah agen topikal. Pemilihan terapi
dapat dilihat pada tabel berikut.7,10

9
Tabel 1. Terapi pada Skabies
Rute Dosis dan Cara
Usia Terapi Frekuensi Komentar
Pemberian Pemberian
Lini Pertama
Aplikasikan ke Memiliki efek
Krotamiton Diulang setiap
≤2 seluruh tubuh, antipruritus.
10 % Topikal hari selama 3
tahun dibasuh setelah 24 Efektivitas
(krim) hari
jam rendah
Terapi paling
Dapat diulang
Aplikasi ke seluruh sering
>2 Permetrin setelah 7-14
Topikal tubuh, dibasuh digunakan,
tahun 5% (krim) hari jika gejala
setelah 8 jam kategori B untuk
masih timbul
kehamilan.
Lini Kedua
Kadar 6,25% untuk
usia ≥ 6 bulan - 2
tahun Kadar 12,5%
Benzil Diulang satu Dapat terjadi
≥6 untuk usia 2-12
Benzoas Topikal kali setelah 7- reaksi iritasi
bulan tahun
25% 14 hari kulit
Aplikasi ke seluruh
tubuh, dibilas
setelah 24 jam
Lini Ketiga
Kontraindikasi
200 μg/kg Diulang satu jika berat badan
>5
Ivermectin Oral dua dosis, dengan kali setelah 7- <15 kg, wanita
tahun
jarak 1 minggu. 14 hari. hamil, ibu
menyusui,

• Krim Permetrin 5% : tatalaksana lini pertama adalah agen topikal krim


permetrin kadar 5%, aplikasi ke seluruh tubuh (kecuali area kepala dan leher
pada dewasa) dan dibersihkan setelah 8 jam dengan mandi.
• Krotamiton 10% : Agen topikal ini memiliki dua efek sebagai antiskabies
dan antigatal.6 Aplikasi dilakukan ke seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24
jam dan diulang sampai 3 hari. Penggunaan dijauhkan dari area mata, mulut,
dan uretra.
• Belerang Endap (Sulfur Presipitatum) 5%- 10% : Belerang endap (sulfur
presipitatum) dengan kadar 5-10% dalam bentuk salep atau krim. Preparat
ini tidak efektif untuk stadium telur, digunakan 3 hari berturut-turut.

10
Kekurangan preparat ini adalah berbau, mengotori pakaian, dan terkadang
dapat menimbulkan dermatitis iritan, tetapi harga preparat ini murah dan
merupakan pilihan paling aman untuk neonatus dan wanita hamil.8
• Emulsi Benzil Benzoas 25% : Agen ini efektif terhadap seluruh stadia,
diberikan setiap malam selama 3 hari. Agen ini sering menyebabkan iritasi
kulit, dan perlu dilarutkan bersama air untuk bayi dan anak-anak.
• Lindane (Gammexane) 1% : Lindane 1% dalam bentuk losio, efektif untuk
semua stadia, mudah digunakan, dan jarang mengiritasi. US Food and Drug
Administration (FDA) telah memasukkan obat ini dalam kategori “black
box warning”, dilarang digunakan pada bayi prematur, individu dengan
riwayat kejang tidak terkontrol. Selain itu, obat ini tidak dianjurkan pada
bayi, anak-anak, lanjut usia, individu dengan berat kurang dari 50 kg karena
risiko neurotoksisitas, dan individu yang memiliki riwayat penyakit kulit
lainnya seperti dermatitis dan psoriasis
• Ivermectin : Ivermectin merupakan agen antiparasit golongan macrocyclic
lactone yang merupakan produk fermentasi bakteri Streptomyces
avermitilis.7 Agen ini dapat menjadi terapi lini ketiga pada usia lebih dari 5
tahun, terutama pada penderita persisten atau resisten terhadap terapi topikal
seperti permethrin.5,7,10

KOMPLIKASI
Kerusakan pada epidermis akibat infeksi skabies, dapat mempermudah
infeksi Streptococcus pyogenes (Group A Streptococcus) atau Staphylococcus
aureus.5 Keduanya dapat menyebabkan infeksi lokal pada jaringan yaitu seperti
impetigo, selulitis, dan abses, serta dapat menyebar secara sistemik melalui aliran
darah dan limfe (terutama pada skabies berkrusta dapat terjadi limfadenitis dan
septikemia). Infeksi kulit pada Group A Streptococcus dapat menimbulkan
komplikasi akhir berupa post-streptococcal glomerulonephritis yang dapat
berkembang menjadi gangguan ginjal kronis.5,7,10

11
PROGNOSIS
Infestasi skabies dapat disembuhkan. Seseorang dengan skabies, jika
dirawat dengan benar, memiliki prognosis yang baik, dan rasa gatal serta eksim
dapat hilang. Namun, di daerah endemik, reinfeksi oleh kontak di masa depan
sangat mungkin terjadi.9

INFESTASI CUTANEUS LARVA MIGRAN

ETIOLOGI
Cutaneus larva migran atau yang biasa disebut creeping eruption merupakan
penyakit kulit yang disebabkan oleh larva cacing tambang (Ancylostoma braziliense
dan Ancylostoma caninum) yang berasal dari kotoran anjing atau kucing. Selain itu
terdapat larva nematoda lainnya yang dapat menyebabkan cutaneus larva migran,
seperti genus Gnathostoma (gnathostomiasis), hookworm, Paragonimus
westermani (paragonimiasis), Spirometra (sparganosis) dan Strongyloides
stercoralis (strongyloidiasis). Larva tersebut dapat menginvasi apabila terdapat
kontak langsung antara kulit dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi. Adapun
tempat predileksinya di kaki, tangan, bokong atau abdomen. Penyakit ini
didapat dari kontak langsung kulit terhadap tanah atau pasir yang
terkontaminasi larva cacing tambang.1,11

PATOGENESIS
Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing. Kemudian telur cacing
tersebut dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing pada kondisi yang
menguntungkan (lembab, hangat dan pada tempat yang teduh). Siklus hidup parasit
dimulai saat telur berpindah dari kotoran hewan ke tanah yang hangat, lembab,
berpasir, tempat larva menetas. Mereka awalnya memakan bakteri tanah dan berganti
kulit dua kali sebelum tahap ketiga yang infektif. Dengan menggunakan protease
mereka, larva menembus folikel, celah, atau kulit dari inang baru. Setelah menembus
stratum korneum, larva melepaskan kutikula alaminya. Biasanya, mereka memulai
12
migrasi dalam beberapa hari. Telur akan menetas menjadi larva rabditiform
kemudian akan menjadi larva filariform yang infektif. Apabila terjadi kontak
langsung antara kulit dengan tanah yang terkontaminasi larva filariform maka akan
menyebabkan cutaneus larva migran. Gejala pruritik terjadi akibat respons kekebalan
terhadap larva dan produknya.1,11,12.

GAMBARAN KLINIS
Temuan awal yang paling umum adalah papula kemerahan kecil yang
berkembang menjadi ruam gatal berbentuk serpiginosa dengan kecepatan
perkembangan yang lambat dari kurang dari 1 hingga 2 cm per hari. Lesi vesikuler,
papular atau bulus dapat terlihat di tempat penetrasi kulit larva hingga 15% pasien
dengan cutaneus larva migran. Lesi memiliki lebar sekitar 3 mm dan panjangnya bisa
mencapai 15 sampai 20 cm.11 Lesi bisa tunggal atau multipel, sangat gatal, dan
mungkin nyeri. Presentasi awal dapat bervariasi tergantung pada spesies. Penyakit
A. braziliense bermanifestasi dalam waktu 1 jam, sedangkan lesi papular mungkin
membutuhkan waktu berhari-hari untuk muncul ketika U. stenocephala adalah
organisme yang menginfeksi seseorang. Dapat juga muncul vesikobula dan
peradangan papulopustular pada folikel, meskipun hal ini tidak umum. Letak lesi
yang paling umum (biasanya 3 sampai 4 cm dari tempat penetrasi) termasuk kaki
dan bokong.4,12,13

13
Gambar 2. Pada jari kaki menunjukkan karakteristik berkelok-kelok, sedikit meninggi dan eritema4

DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya ditegakkan secara klinis berdasarkan riwayat perjalanan
terakhir ke daerah endemik, riwayat berjalan tanpa alas kaki yang dikombinasikan
dengan ditemukannya ruam serpiginous klasik. Ruamnya sangat gatal, timbul, dan
memiliki kecepatan lambat, dari milimeter hingga 2 cm per hari. Ini membedakannya
dari infeksi migrasi lainnya. Tomografi koherensi optik non-invasif telah digunakan
untuk menegakkan diagnosis, meskipun ini jarang digunakan. Biopsi kulit kadang-
kadang dilakukan dan dapat menunjukkan larva nematoda di dalam saluran
melingkar. Biopsi tidak sensitif, dan sementara perubahan sekunder dan infiltrasi
membantu diagnosis, tidak perlu untuk memastikan diagnosis klinis ini.12,13,14

14
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding mencakup semua penyakit kulit yang menyebabkan
timbulnya creeping dermatitis, yaitu lesi kulit yang bermigrasi serabut atau linier.
Dari sudut pandang parasitologis, diagnosis banding meliputi penyakit di mana
creeping eruption mungkin disebabkan oleh larva nematoda (selain cacing tambang),
nematoda dewasa, bentuk larva trematoda, belatung lalat, dan artropoda. Skabies,
loiasis, miasis, skistosomiasis, tinea korporis dan dermatitis kontak memiliki
beberapa gejala yang tumpang tindih dengan cutaneus larva migran.4,14,15

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan cutaneus larva migran dapat menggunakan albendazole (400
mg per hari selama 3 hari) dan ivermectin (200 μg / kg sehari selama 1 atau 2 hari)
pengobatan tersebut terapi yang efektif untuk cutaneus larva migran yang
berhubungan dengan cacing tambang. Pengobatan folikulitis cacing tambang
mungkin memerlukan perawatan berulang. Terapi topikal dengan thiabendazole,
10% albendazole, atau ivermectin juga dapat digunakan, tetapi mungkin kurang
efektif dibandingkan terapi oral. Eksisi bedah atau cryotherapy tidak
disarankan.14,16,17

KOMPLIKASI
Komplikasi termasuk infeksi sekunder, paling sering dengan Staphylococcus
aureus dan spesies Streptokokus. Impetiginisasi sekunder terjadi hingga 8% kasus.
Jika infeksi berkepanjangan dapat menjadi glomerulonephritis pasca
septrococcus.14,18

PROGNOSIS
Penyakit ini sering sembuh sendiri, namun, migrasi dapat berlanjut selama
berbulan-bulan, dan selama waktu ini, pruritus dapat menjadi parah, sehingga
seringkali mengganggu tidur. Pengobatan, topikal atau sistemik menghasilkan angka
kesembuhan mendekati 100%, dan meskipun kekambuhan dapat terjadi, hal itu juga

15
dapat dicegah dengan baik dan responsif dengan terapi sistemik.16

KESIMPULAN
Cutaneus larva migran dan skabies adalah kelainan kulit yang umumnya
merupakan infestasi parasit. Skabies disebabkan oleh sarcoptes scabiei varietas
homini, famili Sarcoptidae, kelas Arachnida subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan
famili Sarcoptidae1,2 Diagnosis pada skabies dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan penunjang. Diagnosis
skabies dapat ditegakkan dengan adanya 2 dari 4 tanda kardinal (tanda utama)7 Pada
beberapa kasus, infestasi tungau dapat asimptomatik atau tidak bergejala tetapi
individu sudah terinfeksi. Mereka dianggap sebagai pembawa (carrier). Oleh karena
itu, pengobatan juga dilakukan kepada seluruh penghuni rumah karena
kemungkinan karier di penghuni rumah dan untuk mencegah re-infestasi karier.
Terapi utama pada skabies adalah agen topikal7,8,9

Cutaneus larva migran atau yang biasa disebut creeping eruption merupakan
penyakit kulit yang disebabkan oleh larva cacing tambang (Ancylostoma braziliense
dan Ancylostoma caninum) yang berasal dari kotoran anjing atau kucing. Temuan
awal yang paling umum adalah papula kemerahan kecil yang berkembang menjadi
ruam gatal berbentuk serpiginosa dengan kecepatan perkembangan yang lambat
dari kurang dari 1 hingga 2 cm per hari.1,11 Diagnosis biasanya ditegakkan secara
klinis berdasarkan riwayat perjalanan terakhir ke daerah endemik, riwayat berjalan
tanpa alas kaki yang dikombinasikan dengan ditemukannya ruam serpiginous
klasik.12,13 Penatalaksanaan cutaneus larva migran dapat menggunakan albendazole
(400 mg per hari selama 3 hari) dan ivermectin (200 μg / kg sehari selama 1 atau 2
hari) pengobatan tersebut terapi yang efektif untuk cutaneus larva migran yang
berhubungan dengan cacing tambang.14,16 Prognosis pada kedua penyakit ini baik,
apabila diterapi dengan baik dan tepat18

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Wheat CM, Burkhart CN, Burckhat CG, Cohenm BA. Scabies, Other Mites,
and Pediculosis. In: Kang, S. Amagai, M, Bruckner AL, et al, editors.
Fitzpatrick's Dermatology Vol. 1. Edisi ke-9. New York:McGraw-Hill
Professional;2019. h.3264-3278.
2. Richards RN. Skabies: Diagnostic and Therapeutic Update. In: Journal of
Cutaneous Medicine and Surgery; 2020;10.1177/1203475420960446.
3. Mutiara H, Syailindra F. Skabies. Dalam: Jurnal Majority, 2016;5(2), 37-42.
4. Maxfield L, Crane JS. Cutaneous Larva Migrans. In: StatPearls Treasure Island;
2020; 29939528.
5. Sungkar S. Skabies: Etiologi, patogenesis, pengobatan, pemberantasan, dan
pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016;48-57.
6. Kurniawan M, Ling MSS. Diagnosis dan Terapi Skabies. Dalam: Cermin
Dunia Kedokteran. 47(2)2020;104-107.
7. Hardy, M, Engelman, D. Skabies: a clinical update. Australian family
physician. 2017; 46(5), 264.
8. Arlian LG, Morgan MS, Rider SD. Sarcoptes scabiei: genomics to proteomics
to biology. In: Parasites & vectors; 2016. 9(1), 380.
9. Chandler DJ, Fuller LC. A review of skabies: an infestation more than skin
deep." In: Dermatology. 2019; 235(2) 79-90.
10. Tarbox M, Walker K, Tan M. Scabies. In: Jama Network; 2018. 320(6),
612-612.
11. Leung AK, Barankin B, Hon KL. Cutaneous larva migrans. In: Recent Patents
on Inflammation & Allergy Drug Discovery. 2017; 11(1), 2-11.
12. Kokollari F, Gercari A, Blyta Y, et al. Falls in Diagnosis of Cutaneous Larva
Migrans–a Case Report from Kosovo. Medical Archives. 2015: 69(4) 271.
13. Shahmoradi Z, Abtahi BN, Pourazizi M. Creeping eruption of the hand in an
Iranian patient: Cutaneous larva migrans. In: Advanced biomedical research.
2014;3.

17
14. Kincaid L, Klowak M. Management of imported cutaneous larva migrans: a
case series and mini-review. Travel medicine and infectious disease.
2015;13(5), 382-387.
15. Eksomtramage T, Aiempanakit K. Bullous and pustular cutaneous larva
migrans: two case reports and a literature review. In: IDCases. 2018;12, 130-
132.
16. Prickett KA, Ferringer TC. What's eating you? Cutaneous larva migrans. In:
Cutis. 2015;95(3), 126-8.
17. Gupta, M. Bullous cutaneous larva migrans–A case report. In: Journal of
Dermatology & Dermatologic Surgery, 2016;20(1), 65-66.
18. Belizario V, delosTrinos JPC, Garcia NB, et al. Cutaneous manifestations of
selected parasitic infections in western Pacific and southeast Asian regions. In:
Current infectious disease reports. 2016;18(9), 30.

18

Anda mungkin juga menyukai