Anda di halaman 1dari 37

RESPONSI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN SCABIES

DISUSUN OLEH:
Mentari Maratus Sholihah G991905040

PEMBIMBING:
dr. Alamanda Murasmita, Sp.KK.

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI
Kasus responsi yang berjudul: Scabies, Mentari Maratus Sholihah,
NIM G991905040 Periode: 11 Mei 2020 – 6 Juni 2020

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
Kelamin
RSUD Dr. Moewardi – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Yang bertanda tangan di bawah ini:

Surakarta, Mei 2020

Dokter Pemeriksa Staff Pembimbing

dr. Triasari Oktavriana, M.Sc., Sp.KK dr. Alamanda Murasmita, Sp.K

2
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : dr. Alamanda Murasmita, Sp.KK.
Nama Mahasiswa : Mentari Maratus Sholihah
NIM : G991905040

SCABIES

I. DEFINISI
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite)
Sarcoptes scabei, yang termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini
berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat
mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan. Penyakit ini juga
mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan
sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui
sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui
baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah dipergunakan
penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya.
Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela-sela jari,siku,
selangkangan (Yosefw, 2007).
Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % -
27 % populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja.
Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1983 diketahui bahwa disepanjang
sungai Ucayali, Peru, ditemukan beberapa desa di mana semua anak-anak dari
penduduk asli desa tersebut mengidap skabies. Behl ada tahun 1985
menyatakan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak di desa-desa Indian
adalah 100%. Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada kelompok
umur 10-19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paolo, Brazil insiden tertinggi
terdapat pada anak dibawah umur 9 tahun. Di India, Gulati melaporkan

3
prevalensi tertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan
laporan Srivatava yang menyatakan prevalensi skabies tertinggi terdapat pada
anak dibawah 5 tahun. Di negara maju prevalensi skabies sama pada semua
golongan umur (Maibach, 1997).
Pada tahun 1975 terjadi wabah skabies di perkampungan Indian di
Kepulauan San Blas, Panama. Penduduk didaerah tersebut hidup dalam
lingkungan yang padat dengan jumlah penghuni tiap rumah 13 orang atau
lebih. Pada survei pertama didapatkan prevalensi skabies sebesar 28% pada
suatu kelompok dan pada kelompok yang lain 42%. Dua tahun kemudian
dilakukan survei pada pulau Van lebih besar yang berpenduduk 2.000 orang.
Pada survei tersebut ditemukan bahwa 90% penduduk mengidap skabies.
Pada tahun 1986 survei di Indian lainnya berpenduduk 756 orang didapatkan
bahwa prevalensi skabies anak-anak yang berumur 10 tahun adalah 61% dan
pada bayi yang kurang dari 1 tahun adalah 84% (Orkin, 1997).
Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat.
Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia.
Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda,
insidennya sama terjadi pada pria dan wanita. Insiden skabies di negara
berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat
dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu endemik dan permulaan epidemik
berikutnya kurang lebih 10-15 tahun (Harahap, 2000) Menurut Departemen
Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun
1986 adalah 4,6%-12,9%, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12
penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada
tahun 1988, dijumpai 734 kasus scabies yang merupakan 5,77% dari seluruh
kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6% dan
3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat
kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai
(Depkes. RI, 2000).

4
II. EPIDEMIOLOGI
Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % -
27 % populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja.
Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1983 diketahui bahwa disepanjang
sungai Ucayali, Peru, ditemukan beberapa desa di mana semua anak-anak dari
penduduk asli desa tersebut mengidap skabies. Behl ada tahun 1985
menyatakan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak di desa-desa Indian
adalah 100%. Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada kelompok
umur 10-19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paolo, Brazil insiden tertinggi
terdapat pada anak dibawah umur 9 tahun. Di India, Gulati melaporkan
prevalensi tertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan
laporan Srivatava yang menyatakan prevalensi skabies tertinggi terdapat pada
anak dibawah 5 tahun. Di negara maju prevalensi skabies sama pada semua
golongan umur (Maibach, 1997).
Pada tahun 1975 terjadi wabah skabies di perkampungan Indian di
Kepulauan San Blas, Panama. Penduduk didaerah tersebut hidup dalam
lingkungan yang padat dengan jumlah penghuni tiap rumah 13 orang atau
lebih. Pada survei pertama didapatkan prevalensi skabies sebesar 28% pada
suatu kelompok dan pada kelompok yang lain 42%. Dua tahun kemudian
dilakukan survei pada pulau Van lebih besar yang berpenduduk 2.000 orang.
Pada survei tersebut ditemukan bahwa 90% penduduk mengidap skabies.
Pada tahun 1986 survei di Indian lainnya berpenduduk 756 orang didapatkan
bahwa prevalensi skabies anak-anak yang berumur 10 tahun adalah 61% dan
pada bayi yang kurang dari 1 tahun adalah 84% (Orkin, 1997).
Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit
ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies
banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi
pada pria dan wanita. Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan
siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara

5
akhir dari suatu endemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-
15 tahun (Harahap, 2000) Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi
skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,9%,
dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di
Bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus
scabies yang merupakan 5,77% dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan
1990 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi
pada lingkungan dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan
kebersihan yang kurang memadai (Depkes. RI, 2000).

III. ETIOLOGI
Sarcoptes scabiei merupakan Arthropoda yang masuk ke dalam kelas
Arachnida, sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata dan famili Sarcoptidae.
Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Adapun jenis Sarcoptes
scabei var. animalis yang kadang-kadang bisa menulari manusia terutama
bagi yang memelihara hewan peliharaan seperti anjing (Djuanda dan Hamzah,
2005).

Gambar 1. Sarcoptes scabiei var. hominis


Sarcoptes scabiei merupakan tungau putih, kecil, transparan, berbentuk
bulat agak lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau

6
betina besarnya 2 kali daripada yang jantan. Badan tungau berwarna putih
suram dan terdapat gambaran gelombang transversal yang jelas. Pada bagian
dorsal ditutupi rambut-rambut halus dan duri-duri, yang disebut dentikel.
Tungau dewasa mempunyai empat asang kaki; dua pasang kaki depan sebagai
alat untuk melekat. Pada tungau betina, terdapat rambut-rambut halus yang
disebut setae di ujung dua pasang kaki belakang, sedangkan pada tungau
jantan terdapat rambut-rambut halus di ujung pasangan kaki ketiga dan alat
perekat di ujung kaki keempat (Burns, 2004).

IV. CARA PENULARAN


Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun
kontak tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung yang saling
bersentuhan atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan
pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual
antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika Serikat dilaporkan,
bahwa skabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual meskipun bukan
merupakan akibat utama (Brown, 1999).
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan
lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama
disatu tempat yang relative sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki
oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan
penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang,
kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan
terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program
kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang
permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada (Benneth, 1997).
Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat
tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang
menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas
kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Di Jerman terjadi peningkatan

7
insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak langsung seperti tidur
bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di
lingkungan padat penduduk (Meyer, 2000).

V. PATOGENESIS
Setelah terjadi perkawinan (kopulasi) biasanya tungau jantan akan mati,
namun kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan
yang digali oleh betina. Setelah tungau betina dibuahi, tungau ini akan
membentuk terowongan pada kulit sampai perbatasan stratum korneum dan
stratum granulosum dengan panjangnya 2-3 mm perhari serta bertelur
sepanjang terowongan sampai sebanyak 2 atau 4 butir sampai sehari mencapai
40-50 butir. Telur-telur ini akan menetas dalam waktu 3-5 hari dan menjadi
larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva tersebut sebagian ada yang tetap
tinggal dalam terowongan dan ada yang keluar dari permukaan kulit,
kemudian setelah 2-3 hari masuk ke stadium nimfa yang mempunyai 2
bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Waktu yang diperlukan mulai
dari telur menetas sampai menjadi dewasa sekitar 8-12 hari (Burns, 2004;
Itzhak, 1995).

8
Gambar 2. Siklus hidup Sarcoptes scabei
Siklus hidup tungau paling cepat terjadi selama 30 hari dan selama itu
juga tungau-tungau tersebut berada dalam epidermis manusia. Tungau yang
berpindah ke lapisan kulit teratas memproduksi substansi proteolitik (sekresi
saliva) yang berperan dalam pembuatan terowongan dimana saat itu juga
terjadi aktivitas makan dan pelekatan telur pada terowongan tersebut. Tungau-
tungau ini memakan jaringan-jaringan yang hancur, namun tidak mencerna
darah. Feses (Scybala) tungau akan ditinggalkan di sepanjang perjalanan
tungau menuju ke epidermis dan membentuk lesi linier sepanjang terowongan
(Hicks et al., 2009).
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi
juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh
sensitisasi terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-
kira sebulan setelah infestasi. Sensitisasi terjadi pada penderita yang terkena
infeksi scabies pertama kali. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai
dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan

9
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.Apabila
terjadi immunocompromised pada host, respon imun yang lemah akan gagal
dalam mengontrol penyakit dan megakibatkan invasi tungau yang lebih
banyak bahkan dapat menyebabkan crusted scabies. Jumlah tungau pada
pasien crusted scabies bisa melebihi 1 juta tungau (Harahap, 2000).

VI. MANIFESTASI KLINIS


Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda
cardinal sebagai berikut:
1. Pruritus nocturnal
Gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab. Gejala ini adalah
yang sangat menonjol. Sensasi gatal yang hebat seringkali
mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah (Djuanda dan
Hamzah, 2005; Ammirudin, 2003).
2. Sekelompok Orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya
dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena
infeksi. Begitu juga dalam sebuah perkampungan yang padat
penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang
oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh
anggota keluarganya terkena. Walaupun mengalami infestasi tungau,
tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai
pembawa (carrier) bagi individu lain (Djuanda dan Hamzah, 2005).
3. Terowongan (kanalikulus)
Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat-tempat
predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis
lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu
ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder, ruam
kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi dan lain-lain). Umumnya

10
tempat predileksi tungau adalah lapisan kulit yang tipis, seperti di sela-
sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak
depan, pinggang, punggung, pusar, dada termasuk daerah sekitar alat
kelamin pada pria dan daerah periareolar pada wanita. Telapak tangan,
telapak kaki, wajah, leher dan kulit kepala adalah daerah yang sering
terserang tungau pada bayi dan anak-anak (Djuanda dan Hamzah,
2005).
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik
Apabila kita dapat menemuan terwongan yang masih utuh
kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva,
nimfa dan ini merupakan hal yang paling diagnostik. Akan tetapi
kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan karena hampir
sebagian besar pendeita pada umumnya datang dengan lesi variatif dan
tidak spesifik (Djuanda dan Hamzah, 2005; Walton et al., 2007;
Amirrudin, 2003).

Gambar 3. Kelainan kulit pada scabies

11
Gambar 4. Tampak kelainan yang ditimbulkan oleh scabies pada daerah axilla (sekitar
ketiak), genitalia (penis dan scrotum) danglutea ( sekitar bokong).

VII. BENTUK-BENTUK SCABIES


Skabies merupakan penyakit kulit yang manifestasi klinisnya sering
menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga disebut the great imitator.
Terdapat berbagai bentuk skabies atipik yang sulit dikenal sehingga dapat
menimbulkan kesalahan diagnosis. Berikut ini disampaikan bentuk-bentuk
skabies.
1. Scabies pada orang bersih
Skabies pada orang bersih atau scabies of cultivated biasanya
ditemukan pada orang dengan tingkat kebersihan yang baik. Penderita
skabies mengeluh gatal di daerah predileksi scabies seperti sela-sela
jari tangan dan pergelangan tangan. Rasa gatal biasanya tidak terlalu
berat. Manifestasi skabies pada orang bersih adalah lesi berupa papul
dan terowongan dengan jumlah sedikit sehingga sulit diidentifikasi
dan sering terjadi kesalahan diagnosis karena gejala yang tidak khas.
Dari terowongan dari 1000 penderita scabies of cultivated, hanya
ditemukan 7% terowongan.
2. Scabies incognito
Skabies incognito sering menunjukkan gejala klinis yang tidak
biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain. Bentuk
incognito terdapat pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid
sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan

12
masih dapat menularkan skabies. Di sisi lain, pengobatan steroid
topikal jangka panjang mengakibatkan lesi bertambah parah karena
penurunan respons imun seluler.
Penggunaan kortikosteroid yang dioleskan di kulit mampu
mempengaruhi sistem imun seperti menurunnya respons inflamasi dan
tertekannya respons imun selular. Kortikosteroid topical menghalangi
produksi dan pelepasan sitokin seperti interleukin IL-1,2,3,6 dan
tumor nekrosis alfa (TNFα). Penggunaan steroid topikal menghambat
fagositosis dan stabilisasi membran sel fagosit lisosom sehingga
respons pro-inflamasi dan fagositosis terhambat dan akhirnya tidak
dapat mengontrol infestasi skabies.
Karaca et al melaporkan seorang perempuan berusia 75 tahun
yang datang ke poliklinik rawat jalan dengan keluhan gatal dan plak
kemerahan disertai lenting di daerah kulit kepala. Penderita sudah
diberikan obat antihistamin dan salep klobetasol propionate selama
tiga minggu. Penderita awalnya didiagnosis xerosis dan pruritus
namun setelah diberikan pengobatan tersebut keluhan semakin hebat.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi berbentuk anular, serpiginosa,
vesikel, pustul eritematosa, ekskoriasi karena bekas garukan, serta
papul ekskoriasi di sekitar ketiak dan badan. Pemeriksaan
laboratorium darah menunjukkan hasil normal akan tetapi hasil
mikroskopik kerokan plak kemerahan ditemukan ribuan S.scabiei dan
telurnya di berbagai lapang pandang. Penderita didiagnosis sebagai
skabies incognito dan diobati dengan salep keratolitik 2x/hari dan
losio permetrin 5%.
Salah satu manifestasi skabies incognito adalah subcorneal
pustular dermatosis-like eruption yang ditandai dengan erupsi pustular
di kulit normal atau sedikit kemerahan. Erupsi pustular tipikal terdapat
di daerah fleksor dan proksimal anggota gerak, menimbulkan rasa
gatal dan iritasi. Pustul terletak di permukaan kulit, mudah pecah dan

13
menimbulkan krusta superfisial, berbentuk anular seperti lingkaran
atau berpola serpiginosa.
Terapi imunosupresi dapat menyamarkan gambaran klinis
skabies dan memberikan gambaran klinis yang tidak khas seperti
skabies incognito. Pada bayi, orang lanjut usia, dan immune
compromised host, semua permukaan kulit dapat terinfestasi termasuk
kulit kepala dan wajah. Pada skabies incognito dapat dijumpai lesi di
kulit kepala tanpa rasa gatal yang membedakannya dengan manifestasi
skabies klasik.
3. Scabies nodularis
Skabies nodularis pertama kali dilaporkan pada tahun 1923
oleh Ayres dan Anderson. Disebut skabies nodularis karena lesinya
berupa nodus coklat kemerahan yang gatal di daerah tertutup pakaian.
Terbentuknya nodus disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas kulit
terhadap S.scabiei dan produknya. Lesi nodularis terjadi pada 7-10%
penderita skabies. Nodus memiliki diameter 5-20mm dan terowongan
biasanya ditemukan pada awal nodus terbentuk. Tungau jarang
ditemukan di dalam nodus.
Dalam klasifikasi penyakit, skabies nodularis merupakan
bagian dari pseudo limfoma kutaneus, bersama dengan persistent
nodular arthropodbite reactions dan dermatitis kontak limfomatoid.
Pseudolimfoma kutaneus merupakan sekelompok proses
limfoproliferatif heterogen dari sel limfosit T atau limfosit B yang
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan dan menyerupai limfoma
kutaneus baik secara klinis maupun histologis. Pseudolimfa kutaneus
dibagi dua yaitu pseudolimfoma kutaneus sel limfosit T dan sel
limfosit B. Skabies nodular termasuk pseudolimfoma kutaneus sel
limfosit T yang berarti secara histologis infiltrat radang yang timbul
pada skabies nodular didominasi oleh komponen sel limfosit T.

14
Pada skabies nodular, dermis superfisial dan dermis dalam
memperlihatkan infiltrat nodular interstitial dan perivaskular moderat
hingga padat yang terdiri atas limfosit (dominan sel limfosit T),
histiosit, sel plasma dan eosinofil. Selain itu, large atypical
mononuclear cells yang menyerupai sel reed-sternberg juga dapat
dijumpai sehingga secara keseluruhan skabies nodular dapat
menyerupai limfoma Hodgkin atau non-hodgkin.
Predileksi skabies nodularis adalah di penis, skrotum, aksila,
pergelangan tangan, siku, areola mamae, dan perut. Setelah terapi,
penampilan kulit mirip dengan kondisi penyembuhan erupsi
eksematosa. Nodus skabies dapat bertahan selama beberapa bulan atau
bahkan beberapa tahun walaupun telah diberikan obat anti skabies.
Penyebab nodus persisten tersebut belum diketahui dengan pasti
namun diduga sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat
terhadap komponen tungau skabies. Karena obat antiskabies tidak
efektif untuk scabies nodularis, maka terapinya adalah dengan
menyuntikkan kortikosteroid intralesi. Meskipun demikian, nodus
skabies dapat menetap selama beberapa bulan bahkan hingga satu
tahun walaupun telah diberi skabisida dan kortikosteroid
4. Scabies bulosa
Skabies yang menginfestasi bayi dan individu
immunocompromised memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mengalami skabies bulosa. Bula yang terbentuk mirip dengan bula
pada pemfigoid bulosa yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan lepuh
berukuran besar. Walaupun secara klinis dan histopatologis skabies
bulosa mirip dengan pemfigoid bulosa, keduanya tidak mirip apabila
diperiksa dengan immunofluorensi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Perbedaan lain antara skabies bulosa dengan pemfigoid
bulosa adalah lokasi lesi, gejala, dan usia penderita. Skabies bulosa
biasanya tersebar di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan

15
genital sedangkan pemfigoid bulosa tersebar di daerah badan dan
ekstremitas.
Gejala skabies bulosa adalah gatal pada waktu malam hari dan
riwayat keluarga positif skabies sedangkan penderita pemfigoid bulosa
biasanya mengeluh gatal sepanjang hari dan tidak ada keluarga yang
menderita skabies. Skabies bulosa dapat menyerang semua usia
sedangkan pemfigoid bulosa lebih sering ditemukan pada orang
berusia lanjut dan jarang pada anak-anak serta orang dewasa. Lesi bula
skabies terasa gatal dan dinding bula dapat tegang atau kendur. Di
dalam bula dapat ditemukan darah; bula dapat pula berkrusta.
Predileksi scabies bulosa sama dengan skabies tipikal.
Lesi bula pada skabies tipikal jarang terjadi. Penyebab
terbentuknya bula adalah superinfeksi tungau oleh bakteri S.aureus
seperti pada pemfigoid bulosa. Pembentukan bula yang diperantarai
oleh auto antibodi mungkin akibat pajanan antigen zona membran
basal akibat luka mekanik yang disebabkan oleh gigitan tungau atau
lisis oleh enzim. Kemungkinan lain adalah reaksi silang antara antigen
tungau dengan antigen zona membran basal. Bula mungkin juga
terbentuk karena proses skabid yaitu reaksi tubuh terhadap tungau.
Diagnosis scabies bulosa harus dipertimbangkan pada semua kasus
penyakit kulit yang memiki bula disertai papul dan rasa gatal yang
resisten terhadap pengobatan steroid.
Pengobatan skabies bulosa sama seperti pengobatan scabies
pada umumnya yaitu menggunakan krim permetrin 5%, krotamiton
10%, benzil benzoat, sulfur 6% atau ivermektin. Meskipun mekanisme
pembentukan bula diperantarai oleh sistem imun, skabies bulosa tidak
memberikan respons terhadap glukokortikoid dan immunoglobulin.
5. Scabies yang ditularkan oleh hewan
Skabies dapat menginfeksi binatang seperti anjing, kuda,
kambing, kelinci, monyet dan lain-lain. Sumber utama skabies pada

16
binatang di Amerika adalah anjing. Penyebab skabies pada binatang
mirip dengan yang menginfestasi manusia tetapi berbeda strain.
Manusia dapat menularkan skabies ke binatang peliharaan, namun
yang lebih sering adalah infestasi silang dari binatang peliharaan
seperti anjing ke manusia.
Gejala skabies yang ditularkan melalui hewan berbeda dengan
skabies klasik pada manusia. Pada skabies binatang tidak terdapat
terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lokasi
lesi biasanya di tempat kontak saat memeluk binatang peliharaan yaitu
lengan, dada, perut, dan paha. Tungau skabies binatang menyebabkan
papul eritematosa dan pruritus. Tungau tinggal di kulit manusia dalam
jangka waktu yang pendek namun pada penderita imunodefisiensi
manifestasi klinis skabies binatang pada manusia dapat lebih parah.
Cara penularan skabies hewan lebih mudah dan masa
inkubasinya lebih pendek. Lesi bersifat sementara (4-8 minggu) dan
dapat sembuh sendiri karena S.scabiei varietas binatang tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya pada manusia. Pencegahan dilakukan
dengan mencegah kontak dengan hewan penyebab, mengobati
binatang yang terinfeksi dan memandikannya dengan bersih dan
teratur.
Dua populasi manusia yang lebih rentan terjangkit zoonotic
scabies adalah orang yang bekerja menangani hewan domestik dan
yang memelihara anjing. Penularan skabies hewan domestik ke
manusia contohnya pada peternak babi dan tukang potong hewan.
6. Scabies pada orang terbaring di tempat tidur
Skabies pada orang yang terbaring di tempat tidur (bedridden)
banyak dijumpai pada orang yang menderita penyakit kronik atau
orang berusia lanjut yang berbaring di tempat tidur dalam jangka
waktu lama. Lesi pada skabies bedridden hanya terbatas.

17
Diagnosis skabies pada penderita berusia lanjut sering tertunda
karena manifestasi klinis mirip penyakit kulit lain sehingga diagnosis
sulit ditetapkan. Untuk mengatasi kesulitan diagnosis, Katsumata et al
mencari uji alternatif untuk mendiagnosis skabies pada penderita
berusia lanjut yang tirah baring dalam waktu lama. Katsumata et al
menggunakan pita perekat (selotip) sebagai alat untuk menemukan
tungau dengan menempelkannya di lesi kulit yang merupakan
predileksi skabies misalnya sela-sela jari tangan. Setelah ditempelkan,
pita dicabut mendadak lalu ditempelkan ke kaca objek, ditetesi KOH
lalu diperiksa dengan mikroskop. Deteksi tungau dengan pita perekat
dapat diaplikasikan pada orang berusia lanjut karena mempunyai kulit
yang tipis dan kering.
7. Scabies pada acquired immunodeficiency syndrome
Pada penderita AIDS sering dijumpai skabies atipik dan
pneumonia Pneumocystis carinii. Diagnosis skabies atipik dapat
digunakan sebagai salah satu petunjuk adanya infeksi oportunistik-
AIDS. HIV merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi di dunia,
begitu juga dengan skabies. Fernandez-sanchez et al. melakukan
observasi terhadap kasus skabies krustosa pada penderita HIV berusia
28 tahun. Berdasarkan observasi tersebut disimpulkan bahwa skabies
krustosa pada penderita immunocompromised yang sedang diobati
dengan antiretroviral merupakan bagian dari spektrum immune
reconstitution inflammatory syndrome (IRIS).
Presentasi skabies atipik pada penderita yang sedang menjalani
pengobatan antiretroviral yang sebelumnya tidak tampak memiliki
penyakit kulit merupakan unmasking crusted scabies-associated IRIS.
Pada keadaan tersebut muncul infeksi yang semula tidak tampak
ditandai dengan inflamasi berlebihan dan atipik atau timbul presentasi
klinis yang dipercepat. Kejadian itu merupakan restorasi imunitas
spesifik.

18
Kebanyakan kasus IRIS terkait obat antiretroviral dihubungkan
dengan infeksi bakteri, virus dan jamur namun infeksi dapat meluas
pada infeksi parasitik seperti leismaniasis, strongiloidiasis,
skistomiasis, dan toksoplasmosis. Jadi skabies krustosa pada penderita
HIV dalam pengobatan ARV dapat dianggap sebagai infeksi parasit
yang berkontribusi pada IRIS sekaligus merupakan spektrum dari
IRIS.
8. Scabies yang disertai penyakit menular seksual lain
Skabies dapat disertai penyakit menular seksual lain seperti
sifilis, gonorhea, herpes genitalis, pedikulosis pubis, dan sebagainya.
Oleh karena itu, apabila ditemukan lesi skabies di daerah genitalia
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa biakan untuk gonore dan
pemeriksaan serologis untuk sifilis pada orang-orang yang berisiko
tinggi. Pada skabies tipikal terowongan dan papul sering ditemukan di
glans penis, skrotum, dan penis.
9. Scabies pada bayi dan orang usia lanjut
Lesi skabies pada bayi dan orang lanjut usia dapat timbul di
telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan kulit kepala. Pada orang
berusia lanjut infestasi tungau akan menjadi lebih berat. Lesi kulit
pada skabies biasanya khas dan memberikan rasa gatal hebat terutama
malam hari akan tetapi pada bayi, anak kecil dan orang berusia lanjut
gambaran skabies dapat tidak khas. Lesi atipik sering menyerupai
dermatitis seboroik, dermatitis eksematosa, impetigo, gigitan
serangga, dan langerhans cell histiocytosis (LCH).
Pada laporan kasus di Korea, bayi dengan skabies didiagnosis
sebagai LCH karena manifestasi klinis dan histopatologi yang mirip.
Pada laporan tersebut, bayi perempuan berusia 6 bulan memiliki papul
dan nodus kemerahan di badan selama satu bulan. Bayi mendapat
terapi krim kortikosteroid karena awalnya didiagnosis sebagai
dermatitis kontak akan tetapi lesi meluas dengan cepat ke daerah

19
tangan dan kaki dengan skuama dan plak eritematosa sehingga
dilakukan abdominal punch biopsy. Pemeriksaan histopatologi
menunjukkan infiltrat sel di dermis atas dengan distribusi perivascular
yang terdiri atas histiosit, limfosit, dan eosinofil. Histiosit di dermis
atas menunjukkan hasil positif dengan pewarnaan CD1a dan S-100
sehingga bayi tersebut didiagnosis LCH.
Beberapa waktu kemudian ibu bayi tersebut mengeluh
munculnya lesi di sela-sela jari tangan dan daerah periumbilikal yang
disertai rasa gatal. Selanjutnya pada ibu tersebut dilakukan
dermoscopyassisted skin scraping di telapak tangan dan periumbilikal.
Pada pemeriksaan dermoscopy ditemukan telur dan tungau skabies di
kedua lesi sehingga penderita didiagnosis sebagai skabies, bukan
LCH. Selanjutnya penderita diobati dengan krim krotamiton 10% dan
sembuh setelah satu minggu pengobatan.
Manifestasi skabies infantil menyerupai lesi pada penyakit
kulit lain sehingga diagnosis sulit ditetapkan hanya berdasarkan
manifestasi klinis. Temuan histopatologis skabies terkadang tidak
spesifik dan tidak menunjang diagnosis seperti reaksi eksematosa di
epidermis, area perivaskular dan infiltrat sel inflamasi di dermis. Sel
infiltrat biasanya menunjukkan histiosit positif pada pewarnaan CD1
dan S-100 yang sering terdapat pada LCH. Berdasarkan hal tersebut,
dokter harus dapat membedakan skabies infantil dengan LCH melalui
anamnesis yang teliti terutama faktor risiko skabies dan pemeriksaan
penunjang seperti pewarnaan CD30, mikroskop elektron untuk
menemukan granula birbeck yang merupakan tanda khas LCH dan
dermoscopy-assisted skin scraping untuk mendiagnosis skabies.
10. Scabies krustosa
Skabies krustosa ditandai dengan lesi berupa krusta yang luas,
skuama generalisata dan hiperkeratosis yang tebal. Skabies krustosa
pertama kali dilaporkan oleh Danielsen dan Boeck pada tahun 1848

20
pada seorang warga Norwegia yang mengalami morbus hansen
(kusta/lepra) sehingga skabies krustosa disebut juga Norwegian
scabies.
Skabies krustosa sering terdapat pada orang dengan retardasi
mental, dementia senilis, dan penyakit neurologis lainnya. Selain itu
skabies krustosa juga sering diderita oleh penderita leukemia,
penderita yang mendapat terapi imunosupresan misalnya penderita
autoimun atau penderita yang menjalani transplantasi organ, dan
penderita HIV-AIDS. Berdasarkan hal tersebut, skabies krustosa
sering dihubungkan dengan kondisi sistem imunitas tubuh yang
kurang (immunocompromised host).
Pada skabies krustosa penderita umumnya mengalami
defisiensi imunologi sehingga sistem imun tidak mampu menghambat
proliferasi sehingga tungau berkembang biak dengan mudah dan
cepat. Skabies krustosa hampir selalu menyerang orang yang
mengalami immunocompromised seperti orang berusia lanjut,
penderita AIDS, retardasi mental, limfoma, dan segala kondisi yang
dapat menurunkan efektivitas sistem imun.
Gejala utama skabies klasik adalah rasa gatal hebat yang
terutama dirasakan pada malam hari. Berbeda dengan scabies klasik,
rasa gatal pada skabies krustosa biasanya ringan bahkan tidak ada
sama sekali sehingga penderita tidak merasakan keluhan yang
berakibat diagnosis terlambat ditegakkan. Pada scabies krustosa
keterlambatan diagnosis sering menimbulkan wabah karena jumlah
tungau yang menginfestasi penderita sangat banyak sehingga sangat
menular.
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menemukan tungau dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Kerokan kulit dapat dilakukan di daerah sekitar papula yang lama maupun
yang baru. Hasil kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan

21
KOH 10% kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah
mikroskop. Diagnosis scabies positif jika ditemukan tungau, nimpa, larva,
telur atau kotoran S. scabiei.
2. Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung pada kertas putih
kemudian dilihat dengan kaca pembesar.
3. Dengan membuat biopsi irisan, yaitu lesi dijepit dengan 2 jari kemudian
dibuat irisan tipis dengan pisau kemudian diperiksa dengan mikroskop
cahaya.
4. Dengan biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan Hematoxylin
Eosin.
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara
menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang
telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh
menit, kemudian tinta diusap/ dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol.
Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk
gambaran khas berupa garis zig-zag (Djuanda dan Hamzah, 2005).
Strategi lain untuk melakukan diagnosis skabies adalah
videodermatoskopi, biopsi kulit dan mikroskopi epiluminesken.
Videodermatoskopi dilakukan menggunakan sistem mikroskop video dengan
pembesaran seribu kali dan memerlukan waktu sekitar lima menit. Umumnya
metode ini masih dikonfirmasi dengan basil kerokan kulit. Pengujian
menggunakan mikroskop epiluminesken dilakukan pada tingkat papilari
dermis superfisial dan memerlukan waktu sekitar lima menit serta mempunyai
angka positif palsu yang rendah. Kendati demikian, metode-metode diagnosis
tersebut kurang diminati karena memerlukan peralatan yang mahal.

IX. DIAGNOSIS BANDING


Penyakit skabies juga ada yang menyebutnya sebagai the great
imitator karena dapat mencakup hampir semua dermatosis pruritik berbagai
penyakit kulit dengan keluhan gatal. Adapun diagnosis banding yang biasanya

22
mendekati adalah prurigo, pedikulosis corporis, dermatitis dan lain-lain
(Djuanda dan Hamzah, 2005).
Karena lesi skabies dapat menyerupai berbagai lesi penyakit kulit lain,
hampir semua penyakit kulit yang memiliki gejala gatal dianggap sebagai
diagnosis banding skabies. Diagnosis banding scabies adalah prurigo,
impetigo, folikulitis, pioderma, tinea korporis, sifilis, pedikulosis pubis,
gigitan serangga, urtikaria papular, reaksi alergi, psoriasis, eksem, dermatitis
atopik, dematitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis eksematoid
infeksiosa, lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa, papulosis
limfomatoid, dermatitis herpetiformis, liken planus, ekskoriasi-neurotik,
langerhans cell histiositosis, penyakit darier, sezary syndrome, mastositosis,
akropustulosis infantil, pruritus karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik
pada kehamilan, dan vaskulitis.
Diagnosis skabies pada anak-anak sering terlewatkan dan baru
dipikirkan ketika terdapat orang di sekitarnya yang mengalami gejala serupa.
Karena lesi kulit tipikal maupun atipik tersebar di kulit kepala, wajah, telapak
tangan, telapak kaki dan daerah lipatan kulit, maka diagnosis skabies pada
anak sering salah dan didiagnosis sebagai dermatitis atopik atau
akropustulosis infantil. Hal tersebut disebabkan akropustulosis infantil
merupakan penyakit dengan karakter utama berupa pustul dan vesikel yang
tersebar dari akral, terasa gatal dan akropustulosis infantil memang dapat
terjadi setelah infeksi skabies.
Pada penderita berusia lanjut, diagnosis skabies juga sulit ditegakkan
karena presentasi skabies dapat berupa lesi kulit atipikal karena perubahan
respons imun pada penuaan. Tertundanya diagnosis pada penderita skabies
yang berusia lanjut biasanya karena keluhan gatal sering dianggap sebagai
bagian dari pruritus atau gangguan cemas. Diagnosis skabies yang terlambat
pada orang tua yang tinggal di institusi perawatan misalnya panti jompo dapat
menularkan skabies ke penghuni lain bahkan dapat menimbulkan wabah di
institusi tersebut. Kesalahan diagnosis pada orang usia lanjut menyebabkan

23
dokter memberikan kortikosteroid topikal jangka panjang yang menyebabkan
lesi tipikal skabies berubah menjadi atipik yang semakin sulit dikenali.
Brenaut et al. mengemukakan karakteristik gatal pada penyakit non-
atopik eksem, psoriasis, skabies, atopik dermatitis, dan urtikaria. Pada
dermatitis atopik keluhan gatal diiringi banyak keringat dan nyeri kepala;
nyeri lebih sering ditemukan dibandingkan penyakit kulit lainnya. Pada
urtikaria, sensasi panas lebih sering ditemukan dibandingkan dengan skabies
sedangkan rasa gatal seperti tersengat, tercubit dan tertusuk lebih sering
terjadi pada dermatitis atopik dibandingkan penyakit lain.
Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh dalam modulasi rasa gatal.
Berkeringat meningkatkan rasa gatal pada 80% penderita atopik dermatitis,
73% penderita skabies, 62% non-atopik eksem, 58% psoriasis dan hanya 30%
pada penderita urtikaria. Gerakan fisik mempunyai pengaruh yang berbeda
pada penyakit tersebut. Pada atopik dermatitis gerakan fisik meningkatkan
keparahan rasa gatal, sedangkan psoriasis lebih meringankan rasa gatal.
Pada semua penyakit, penggunaan air dingin dapat mengurangi rasa
gatal, sedangkan penggunaan air panas meningkatkan keparahan rasa gatal.
Air panas meningkatkan rasa gatal sebesar 50% pada penderita dermatitis
atopik dan 67% pada penderita skabies namun pada penderita psoriasis
pengggunaan air panas dapat meringankan keluhan gatal.
Kondisi kulit yang kering memicu eksaserbasi gatal terutama psoriasis
94%, atopik dermatitis 93%, 64% non-atopik eksem, dan 69% pada skabies.
Stres memicu rasa gatal pada semua dermatitis. Menggaruk merupakan
tindakan yang melegakan bagi penderita. Lesi bekas garukan secara signifikan
ditemukan pada skabies dan dermatitis atopik dibandingkan eksem, psoriasis
dan urtikaria.

24
X. TATALAKSANA
Syarat obat yang ideal untuk skabies adalah :
1. Harus efektif terhadap semua stadium tungau
2. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik
3. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian
4. Mudah diperoleh dan harganya murah
Cara pengobatannya ialah seluruh anggota badan harus diobati (termasuk
penderita yang hiposensitisasi).
Jenis obat topikal yang dapat diberikan kepada pasien adalah :
1. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk
salep atau krim. Preparatini tidak efektif terhadap stadium telur, maka
penggunaannya tidak boleh kurang dari 3 hari. Kekurangannya ialah
berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.
Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
2. Emulsi benzyl-benzoas (20-25%) efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering
memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.
3. Gama Benzena Heksa klorida (gameksan=gammexane) kadarnya 1%
dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap
semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini
tidak dianjurkan pada anak dibawah enam tahun dan wanita hamil, karena
toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberiannya cukup sekali, kecuali
jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan anti gatal, dipakai selama 24
jam, harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.
5. Permetrin 5% dalam krim, kurang toksik jika dibandingkan gameksan,
efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila
belum sembuh diulangi selama seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi
dibawah umur 2 tahun.

25
Bila disertai infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika. Untuk rasa
gatal dapat diberikan antihistamin per oral. Perlu diperhatikan jika diantara
anggota keluarga ada yang menderita skabies juga harus diobati. Karena
sifatnya yang sangat mudah menular, maka apabila ada salah satu anggota
keluarga terkena skabies, sebaiknya seluruh anggota keluarga tersebut juga
harus menerima pengobatan. Pakaian , alat-alat tidur, dan lain-lain hendaknya
dicuci dengan air panas (Djuanda dan Hamzah, 2005; Siregar, 2004).

XI. PENCEGAHAN
Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara
menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan
barang-barang penderita secara bersama-sama. Pakaian, handuk dan barang-
barang lainnya yang pernah digunakan oleh penderita harus diisolasi dan
dicuci dengan air panas. Pakaian dan barang-barang yang berbahan kain
dianjurkan untuk disetrika sebelum digunakan. Sprai penderita harus sering
diganti dengan yang baru maksimal tiga hari sekali. Benda-benda yang tidak
dapat dicuci dengan air (bantal, guling, selimut) disarankan dimasukkan ke
dalam kantung plastik selama tujuh hari, selanjutnya dicuci kering atau
dijemur di bawah sinar matahari sambil dibolak batik minimal dua puluh
menit sekali.
Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup
yang sehat akan mempercepat kesembuhan dan memutus siklus hidup S.
scabiei. Umumnya, penderita masih merasakan gatal selama dua minggu
pascapengobatan. Kondisi ini diduga karena masih adanya reaksi
hipersensitivitas yang berjalan relatif lambat. Apabila lebih dari dua minggu
masih menunjukkan gejala yang sama, maka dianjurkan untuk kembali
berobat karena kemungkinan telah terjadi resistensi atau berkurangnya khasiat
obat tersebut. Kegagalan pengobatan pada skabies krustasi secara topikal
diduga karena obat tidak mampu berpenetrasi ke dalam kulit akibat tebalnya
kerak.

26
XII. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta
syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat
di berantas dan memberikan prognosis yang baik (Harahap, 2000).
Menurut WHO saat ini skabies termasuk dalam daftar penyakit tropis
terabaikan (neglected tropical diseases) karena kurangnya kesadaran
mengenai dampak morbiditas padahal skabies menurunkan kualitas hidup
penderita. Di daerah endemis skabies, infestasi skabies dianggap suatu hal
yang lumrah dan telah menjadi bagian hidup sehingga semakin besar
prevalensi di suatu area, semakin sedikit dorongan untuk mencari pengobatan.
Gatal hebat mengganggu tidur sehingga keesokan harinya penderita
mengantuk, pusing dan keluhan akibat kurang tidur lainnya. Lesi scabies juga
menurunkan rasa percaya diri pada sebagian besar penderita. Penderita
perempuan merasa malu akan kondisinya dan 30% menarik diri dari aktivitas
sosial karena tidak percaya diri.
Komplikasi skabies tidak hanya perasaan tidak nyaman dan tidur yang
tidak nyenyak karena gatal, namun terdapat keadaan lain yang lebih
berbahaya. Di kulit yang mengalami ekskoriasi, dapat terjadi infeksi sekunder
oleh bakteri. Bakteri juga dapat berasal dari tungau itu sendiri karena
Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A dapat diisolasi dari tungau
dan feses tungau.
Komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri harus diperhatikan terutama
di daerah iklim tropis dan jarang turun hujan. Apabila telah dicurigai infeksi
bakteri, maka pemberian antibakteri topikal atau sistemik harus diberikan
secepatnya. Hal tersebut disebabkan pioderma akibat infeksi bakteri dapat
meluas, invasif bahkan fatal. Dapat terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis
bahkan sepsis. Di Gambia dilaporkan terdapat hubungan antara septikemia
fatal pada bayi yang disebabkan oleh S.aureus dengan ruam kulit yang
dicurigai skabies.

27
Studi pada masyarakat Aborigin Australia 80% hasil kultur dari
pioderma pada penderita skabies adalah Streptococcus grup A.Pada penelitian
Romani et al19 di Fiji diperoleh hasil bahwa skabies berasosiasi kuat dengan
impetigo. Penelitian tersebut dilakukan di daerah perkotaan dan pedesaan
yang mencakup 75 komunitas. Berdasarkan survei nasional di Fiji, terdapat
93,1% population attributable risk dan scabies menjadi risiko terjadinya
impetigo. Romani et al. mengatakan bahwa anak-anak merupakan populasi
yang paling rentan mengalami skabies dan impetigo, terutama pada rentang
usia 5-9 tahun namun tidak ada kelompok umur yang bebas dari skabies dan
impetigo. Skabies dan impetigo memiliki prevalensi tinggi di setiap wilayah
geografis, gender dan kelompok etnis di Fiji.
Infeksi sekunder dapat memicu komplikasi sistemik yang berat
misalnya penyakit ginjal dan penyakit jantung rheumatik. Sekitar 50% kasus
glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus disebabkan infeksi kulit.
Wabah glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus biasanya terjadi
bersamaan dengan wabah skabies. Penyakit ginjal akut yang asimtomatik juga
sering timbul bersama dengan wabah skabies. Cedera di ginjal pada masa
anak-anak dapat mengakibatkan penyakit ginjal kronik pada masa dewasa.
Pencegahan skabies di masyarakat tanpa pengobatan infeksi sekunder oleh
bakteri dapat mengurangi angka kejadian infeksi kulit oleh Streptococcus dan
haematuria.
Glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus dapat berkembang
menjadi penyakit ginjal kronik di kemudian hari. Suatu penelitian yang
dilakukan di Taiwan dengan desain kohort retrospektif mengemukakan bahwa
terdapat peningkatan risiko penyakit ginjal kronik pada penderita skabies.
Pada penelitian tersebut, sebanyak 5071 penderita skabies diikuti selama 5
tahun untuk mengetahui kejadian penyakit ginjal kronik (PGK). Hasilnya
menunjukkan insidens PGK adalah 9,66 per 1000 orang per tahun dengan
hazard ratio sebesar 1,34. PGK meningkatkan risiko rawat inap di rumah
sakit, morbiditas serta mortalitas. Penderita PGK dapat berkembang menjadi

28
end-stage renal disease (ESRD) yang menimbulkan beban berat karena
memerlukan dialisis rutin atau transplantasi ginjal.
Komplikasi skabies lainnya adalah hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi akibat inflamasi. Selain itu dapat pula terjadi pruritus pasca-
skabies yaitu pruritus yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu
setelah infestasi primer akibat hipersensitivitas terhadap tungau dan produk
tungau. Dokter harus dapat membedakan pruritus pasca-skabies dengan gagal
terapi untuk menghindari pemberian skabisida yang berlebihan. Pruritus
pascaskabies dapat diatasi dengan antihistamin oral atau kortikosteroid dan
fototerapi dapat dicoba pada kasus yang resisten. Infestasi skabies dapat
menyebabkan stres emosi yang serius, meliputi perasaan malu, bersalah, dan
delusi parasitosis persisten.
Penyakit kulit dapat menyebabkan masalah dalam hubungan personal
dan pasangan seksual karena adanya lesi di area genital. Oleh karena itu
konsekuensi psikososial penyakit kulit kronik merupakan aspek penting yang
perlu diperhatikan. Konsekuensi psikososial tersebut mempunyai efek
langsung terhadap kualitas hidup penderita.
Kualitas hidup adalah multidimensi yang belum dapat diukur secara
langsung, tetapi dapat diperkirakan dari faktor-faktor yang memengaruhi.
Untuk membatasi masalah psikososial penderita dianjurkan memakai baju
yang menutupi lesi. Hal tersebut lebih sering dilakukan penderita perempuan
dibandingkan laki-laki. Daerah Timur Laut Brazil. memiliki iklim yang panas
dan kering sehingga penduduk lebih menyukai pakaian terbuka. Laki-laki dan
perempuan lebih sering memakai baju tanpa lengan, celana pendek, dan
sandal terbuka padahal bagian tubuh yang tidak tertutup baju itulah yang
sering menjadi lokasi lesi skabies. Kegiatan aktivitas santai juga terganggu
karena jika pergi ke pantai, pakaian yang dipakai biasanya lebih terbuka
sehingga memakai baju tertutup akan menarik perhatian orang lain.
Penelitian di Sri Lanka menunjukkan bahwa penderita scabies sering
dikucilkan sehingga sering marah-marah dan depresi. Hampir seperempat dari

29
penderita skabies mengalami stigma yang membuat mereka malu dan merasa
terisolasi dari masyarakat. Cara terbaik pencegahan komplikasi tersebut
adalah dengan edukasi kepada penderita untuk mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kepatuhan berobat agar lebih cepat sembuh.
Komplikasi skabies bukan hanya berhubungan dengan infeksi, tetapi
juga berkaitan dengan kerugian ekonomi rumah tangga terutama pada
masyarakat yang kurang mampu. Penelitian di daerah rural Meksiko
menunjukkan bahwa terdapat pengeluaran rumah tangga yang signifikan
terhadap pengobatan skabies yang tidak efektif. Hal tersebut berdampak pada
kemampuan membeli kebutuhan pokok seperti makanan untuk keluarga
menjadi berkurang. Skabies di lingkungan yang buruk merupakan masalah
morbiditas potensial dan sumber beban finansial.
Prognosis skabies sangat baik jika diagnosis dan terapi tepat, namun
pada penderita immunocompromised atau penderita yang tinggal di panti
asuhan atau asrama, angka kejadian infestasi ulang tinggi khususnya pada
penderita yang kembali ke lingkungan asalnya yang belum dilakukan
eradikasi skabies.

30
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin. 5-10

Burns DA. 2004. Disease Caused By Arthropods And Other Noxious Animals, In:
Rooks Textbook Of Dermatology. Vol 2. USA; Blackwell Publishing 37-47

Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta :
FKUI;.119-22

Fauziah., Tony., Yuli, S. 2013. AngkaKejadian Dan KarakteristikPasienSkabies di


RumahSakit Al-Islam Bandung. Bandung : FK UNISBA

Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Ed 1. Jakarta: Hipokrates, 109-13

Hicks MI, Elston DM. 2009. Scabies. Dermatoogic Therapy. November:22/279-292

Itzhak Brook. 1995. Microbiology Of Secondary Bacterial Infection In Scabies


Lesions. J Clin Microbiol. August:33/2139-2140

Orkin Miltoin, Howard L. Maibach. 2008. Scabies And Pedicuosis. Fitzpatrick’s


Dermatology In General Medicine, 7th. USA:Mcgrawhill .2029-31

Siregar, R.S. 2004. Penyakit Kulit Karena Parasit Dan Insecta. Dalam : Atlas
Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC

Stone, S.P, Scabies And Pedikulosis, In : Freedberg, Et Al. Fitzpatrick’s


Dermatology In General Medicine 6th Edition. Volume 1. Mcgraw-Hil

Walton SF, Currie BJ. 2007. Problems In Diagnosing Scabies, A Global Disease In
Human And Animal Ppulations. Clin Microbiol Rev. 268-79

31
LAPORAN KASUS
A. Anamnesis
1. Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Periksa : 15 Mei 2020
No RM : 0517xx
2. Keluhan Utama
Gatal terutama pada kedua lengan yang memberat sejak 1 minggu.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli kulit RS UNS dengan keluhan gatal terutama
pada kedua lengan yang memberat sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan
gatal juga dirasakan pada sela-sela jari tangan, telapak tangan, punggung,
perut, dada, kelamin dan paha sekitar selangkangan. Pasien merasakan
gatal semakin hari semakin memberat, terutama pada malam hari. Pasien
terganggu tidurnya pada malam hari karena gatal namun masih dapat
tidur. Pasien selalu menggaruk bagian yang terasa gatal hingga muncul
plenting berisi nanah dan terkadang berdarah. Awalnya berupa bintik-
bintik merah di sela-sela jari tanagan yang terasa gatal pada malam hari,
namun semakin lama meluas ke bagian tubuh yang lain.
Sebelum berobat ke poli kulit RS UNS, pasien berobat ke puskesmas
dan diberikan bedak salicyl namun keluhan tidak membaik dan gatal
semakin bertambah dan meluas. Sebelum mengalami keluhan ini, anak
pasien mengalami keluhan serupa yaitu gatal-gatal terutama pada malam
hari. Anak pasien sudah berobat ke poli kulit RSUD Dr Moewardi,
diberikan pengobatan, dan saat ini sudah tidak mengeluhkan gatal. Pasien

32
tinggal satu rumah dengan anaknya tersebut. Anak pasien merupakan
penyandang disabilitas yang kurang bisa merawat kebersihan diri, pasien
setiap hari tidur sekasur bersama dengan anaknya yang pernah menderita
gatal-gatal. Namun pasien mengaku memakai baju dan handuk yang
terpisah dari anaknya. Pasien sehari-hari bekerja sebagai pekerja jasa
bersih-bersih, terkadang pasien mengumpulkan barang-barang rongsokan
dan jasa sol sepatu, pasien mengaku sering bersentuhan dengan
lingkungan yang kotor. Pasien mengaku mandi 2x setiap hari, pagi dan
sore. Pasien menyangkal keluhan hipertensi, diabetes mellitus dan alergi
obat maupun makanan. Pasien juga masih bisa beraktivitas seperti biasa,
makan dan minum seperti biasa, dan tidak ada keluhan mual, muntah,
pusing, demam, batuk dan gangguan BAB dan BAK.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : (+) anak pasien
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku mandi 2 kali sehari pagi dan sore hari. Pasien juga
mengganti baju setelah mandi. Pasien mandi menggunakan sabun mandi
serta mengaku mengeringkan badan menggunakan handuk setelah mandi.
Handuk diganti sekitar dua minggu sekali. Handuk dan pakaian juga

33
dipisahkan dari anak pasien, namun pasien tidur sekasur dengan anaknya
yang menderita gatal-gatal, pasien mengaku sprei kasur jarang diganti.
Riwayat mengaku jarang merokok dan olahraga.

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang wiraswasta yang bekerja sebagai jasa bersih-
bersih. Pasien berobat di RS UNS dengan BPJS PBI.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : sakit ringan, compos mentis GCS E4V5M6,
gizi kesan cukup
b. Vital Sign :
TD : 120/71 mmHg RR : 18 x/menit
BB : 49 kg Nadi : 78 x/menit
TB : 160 cm Suhu : 36,3°C
c. Kepala : Dalam batas normal
d. Mata : Dalam batas normal
e. Hidung : Dalam batas normal
f. Mulut : Dalam batas normal
g. Wajah : Dalam batas normal
h. Leher : Dalam batas normal
i. Punggung : Lihat status dermatologis
j. Dada : Lihat status dermatologis
k. Gluteus, anogenital : Lihat status dermatologis
l. Abdomen : Lihat status dermatologis
m. Ekstremitas atas : Lihat status dermatologis
n. Ekstremitas bawah : Lihat status dermatologis

34
2. Status Dermatologis

35
Regio thorax et abdomen et dorsal et gluteal et genital et ekstremitas
superior et femoralis anterior dextra et sinistra tampak papul
hiperpigmentasi, erosi dan ekskoriasi disertai pustul, sebagian tertutup
krusta kehitaman dan skuama, berjumlah multiple dan tersebar diskret.
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan kerokan kulit dengan menggunakan KOH 10% dibawah
mikroskop → plan
2. Imunoserologi HIV: negatif
D. Diagnosis Banding
1. Prurigo nodularis
2. Pedikulosis corporis
3. Dermatitis kontak iritan
E. Diagnosis Kerja
Scabies dengan infeksi sekunder
F. Terapi
1. Non Medikamentosa
a. Edukasi pasien terkait penyakit, pengobatan, prognosis, dan rekurensi.
Sehingga pasien mengenal dan memahami pengobatan serta
komplikasi yang dapat terjadi.
b. Edukasi pasien untuk rutin memakai salep dan meminum obat yang
diberikan.
c. Edukasi pasien untuk memisahkan pakaian, handuk dan barang-barang
lainnya yang pernah digunakan oleh pasien, harus diisolasi dan
direndam dengan air panas terlebih dahulu sebelum dicuci.
d. Edukasi pasien untuk sering mengganti sprei dengan yang baru
maksimal setiap 3 hari sekali serta menjemur kasur dibawah sinar
matahari.
e. Edukasi pasien untuk menghindari kontak langsung dengan penderita
lain (anak pasien) seperti bersentuhan dan tidur bersama.

36
f. Edukasi terhadap pasien untuk berobat secara rutin dan kontrol teratur
ke poli kulit dan kelamin.
2. Medikamentosa
a. Permetrin cream 5% 1x sehari malam hari
b. Cream racikan: desoxymetason 20 gram + asam fusidat 20 gram oles
area lesi 2x sehari pagi-sore setelah mandi
c. Chlorpheniramine maleate tablet 4 mg/ 8 jam
d. Cefadroxil kapsul 500 mg/12 jam
G. Plan
1. Kontrol rutin ke poli kulit RS UNS
2. Pemeriksaan kerokan kulit dengan menggunakan KOH 10% dibawah
mikroskop
H. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad kosmetikam : dubia ad bonam

37

Anda mungkin juga menyukai