Anda di halaman 1dari 11

Ulkus diabetikum

Patofisiologi

Patogenesis utama dari ulkus diabetikum adalah neuropati yang terjadi pada 23-
50% pasien DM. Disusul iskemia pembuluh darah perifer. Lebih dari 60% UKD
disebabkan neuropati yang berupa neuropati sensorik, motorik dan otonom
(Bowering, 2001; Conway dan Harding, 2008; Reiber et al., 1999). Hilangnya sensasi
nyeri dan suhu akibat neuropati sensorik menyebabkan hilangnya kewaspadaan
terhadap trauma atau benda asing, akibatnya banyak luka yang tidak diketahui secara
dini dan semakin memburuk karena terus-menerus mengalami penekanan
(Bowering, 2001; Bader, 2008; Jeffcoat dan Hading, 2003). Kerusakan inervasi otot-
otot intrinsik kaki akibat neuropati motorik menyebabkan ketidakseimbangan antara
fleksi dan ekstensi kaki serta deformitas kaki, yang kemudian menyebabkan
terjadinya perubahan distribusi tekanan sehingga memicu timbulnya kalus. Kalus
yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber trauma bagi kaki tersebut
(Waspadji 2009; Bowering 2001; Clayton dan Elasi, 2009).

Neuropati otonom menyebabkan penurunan fungsi kelenjar keringat dan sebum


untuk melembabkan kulit sehingga kulit menjadi kering dan pecah-pecah akhirnya
mudah terinfeksi (Conway dan Harding, 2008; Clayton dan Elasi, 2009). Penyakit
arteri perifer (PAP) merupakan faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan
ulkus diabetikum tetapi tidak berdiri sendiri. Merokok, hipertensi dan hyperlipidemia
memberikan kontribusi pada perkembangan PAP. Adanya iskemia akibat insufisiensi
arteri perifer menyebabkan terjadinya penurunan oksigenasi di daerah ulkus yang
mempersulit penyembuhan serta sulitnya pengaliran antibiotik ke daerah infeksi
(Lipsky 2008; Frykberg et al., 2000; Waspadji, 2009; Amstrong dan Lavery, 1998).

Neuropati sensori perifer dan trauma merupakan penyebab utama terjadinya


ulkus. Neuropati lain yang dapat menyebabkan ulkus adalah neuropati motorik dan
otonom. Neuropati adalah sindroma yang menyatakan beberapa gangguan pada saraf.
Pada pasien dengan diabetes beberapa kemungkinan kondisi dapat menyebabkan
neuropati:

a) Pada kondisi hiperglikemia aldose reduktase mengubah glukosa menjadi


sorbitol, sorbitol banyak terakumulasi pada endotel yang dapat mengganggu
suplai darah pada saraf sehingga axon menjadi atropi dan memperlambat
konduksi impuls saraf.
b) Pengendapan advanced glycosylation end-product(AGE-P) menyebabkan
penurunan aktifitas myelin (demielinasi). Neuropati sensori menyebabkan
terjadinya penurunan sensitifitas terhadap tekanan atau trauma, neuropati
motorik menyebabkan terjadinya kelainan bentuk pada sendi dan tulang.
Neuropati menyebabkan menurunnya fungsi kelenjar keringat pada perifer
yang menyebabkan kulit menjadi kering dan terbentuknya fisura. Penyakit
vaskuler yang terdiri dari makroangiopati dan mikroangiopati menyebabkan
terjadinya penurunan aliran darah pada organ. Adanya neuropati, penyakit
vaskuler dan trauma menyebabkan terjadinya ulkus pada ekstremitas
(Rebolledo et al., 2011).

Tipe neuropati terbagi atas 3 (tiga) yaitu :

a) Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf
sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang
menyebabkan distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf
tipe A akan menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan,
tekanan, vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul
gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan
dalam analisis sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan
menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat
dan menyebabkan trauma berulang pada kaki. Neuropati perifer dapat
dideteksi dengan hilangnya sensasi terhadap 10g nylon monofilament pada 2-
3 tempat pada kaki. Selain dengan 10g nylon monofilament, dapat juga
menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork untuk mengukur getaran.
b) Neuropati motorik
Neuropati motoric terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan
kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling
sering terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi
dari otot intraosseus menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-
phalangeal joint kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan
gangguan distribusi tekanan kaki saat melangkah dan dapat menyebabkan
kallus pada bagian-bagian kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah
kalus akan mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan
menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan kelainan anatomi kaki
berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus peroneus lateral yang
menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur dengan
menggunakan pressure mat atau platform untuk mengukur tekanan pada
plantar kaki.
c) Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi
kering. Kaki yang kering sangat berisikountuk pecah dan terbentuk fisura
pada kalus. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-
saraf yang mengontrol distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-
venularshunting. Hal ini menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun
sehingga terjadi iskemi pada kaki, keadaan ini mudah dikenali dengan
terlihatnya distensi vena-vena pada kaki (Robelledo et al., 2011; Reiber et al.,
2008).

Selain neuropati penyakit peripheral vascular desease (penyakit vascular perifer)


juga menjadi penyebab terjadinya ulkus. Penyakit vascular perifer terjadi dari dua,
yaitu:
a) Mikroangiopati yang merupakan kondisi dimana terjadi penebalan membran
basalis kapiler dan peningkatan aliran darah sehingga menyebabkan edema
neuropati.
b) Makroangiopati, yaitu terjadinya ateriosklerosis yang menyebabkan
penurunan aliran darah (iskemia). Trauma dan kerusakan respon terhadap
proses infeksi menjadi penyebab terjadinya luka diabetes selain neuropati dan
penyakit vaskuler perifer (Rebolledo et al., 2011).

Pasien diabetes melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah biasanya ada
gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala, sebagian lain dengan gejala iskemik, yaitu:

a) Intermitten Claudication
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan hilang saat berhenti
berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika Ankle-Brachial Index <
0,75.
b) Kaki terasa dingin
c) Nyeri
Terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan panas, aktivitas,
dan elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri atau kaki menggantung.
d) Nyeri iskemia nocturnal
Terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah berkurang sehingga
terjadi neuritis iskemik.
e) Pulsasi arteri tidak teraba
f) Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan Capillary Refilling
Time(CRT) yang memanjang.
g) Atropi jaringan subkutan
h) Kulit terlihat licin dan berkilat
i) Rambut di kaki dan ibu jari menghilang
j) Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur
Untuk memastikan adanya iskemia pada kaki diabetik perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan lanjutan, terutama jika diperlukan rekonstruksi vaskuler. Pemeriksaan
penunjang lanjutan yang noninvasive antara lain:

1) Palpasi dari denyut perifer


Apabila denyut kaki bisa di palpasi, maka PAP tidak ada. Jika denyut
dorsalis pedis dan tibial posterial tidak teraba maka dibutuhkan pemeriksaan
yang lebih lanjut.
2) Doppler flowmeter
Dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif dan semikuantitatif melalui
analisis gelombang doppler. Frekuensi sistolik dopplerdistal dari arteri yang
mengalami oklusi menjadi rendah dan gelombangnya menjadi monofasik.
3) Ankle Brachial Index(ABI)
Tekanan diukur di beberapa tempat di ekstremitas menggunakan manset
pneumatik dan flow sensor, biasanya doppler ultrasound sensor. Tekanan
sistolik akan meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan
diastolik akan turun. Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki lebih
tinggi dibanding Brachium. Jika terjadi penyumbatan, tekanan sistolik akan
turun walaupun penyumbatan masih minimal. Rasio antaratekanan sistolik
di pergelangan kaki dengan tekanan sistolik di arteri brachialis (Ankle
Brachial Index) merupakan indikator sensitif untuk menentukan adanya
penyumbatan atau tidak.
4) Transcutaneous Oxymetri (TcPO2)
Berhubungan dengan saturasi O2 kapiler dan aliran darah ke jaringan. TcPO2
pada arteri yang mengalami oklusi sangat rendah. Pengukuran ini sering
digunakan untuk mengukur kesembuhan ulkus maupun luka amputasi.
5) Magnetic Resonance Angiography (MRA)
Merupakan teknik yang baru, menggunakan magnetic resonance, lebih
Sensitif dibanding angiografi standar. Arteriografi dengan kontras adalah
pemeriksaan yang invasif, merupakan standar baku emas sebelum
rekonstruksi arteri. Namun, pasien-pasien diabetes memiliki risikoyang tinggi
untuk terjadinya gagal ginjal akut akibat kontras meskipun kadar kreatinin
normal

Infeksi juga berperan dalam pathogenesis ulkus DM. Infeksi dapat dibagi menjadi
tiga yaitu superfisia dan lokal, selulitis dan osteomyelitis. Infeksi akut pada
penderita yang belum mendapatkan antibiotik biasanya monomikrobial sedangkan
pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan osteomyelitis bersifat polimikrobial.
Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi ringan adalah Staphylococcus
Aereus dan streptococcal serta isolation of Methycillin-resstant Staphyalococcus
aereus (MRSA). Jika penderita sudah mendapat antibiotik sebelumnya atau pada
ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negatif (Enterobactericeae,
enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa). (Rebolledo et al., 2011; Katsilambors
et al., 2003; Waspadji, 2009; Boulton, 2004; Clayton dan Elasi, 2009).
Gambar. Mekanisme Kaki Diabetik

Manifestasi klinis + klasifikasi

Tanda dan gejala kaki diabetes mellitus seperti sering kesemutan, nyeri pada kaki
saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan
denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi,
dingin dan kuku menebal serta kulit kering (Waspadji, 2009; Clayton dan Elasi,
2009).

Klasifikasi ulkus kaki diabetik diperlukan untuk berbagai tujuan, diantaranya


yaitu untuk mengetahui gambaran lesi agar dapat dipelajari lebih dalam tentang
bagaimana gambaran dan kondisi luka yang terjadi. Terdapat beberapa klasifikasi
luka yang sering dipakai untuk mengklasifikasikan luka diabetes dalam penelitian-
penelitian terbaru, diantaranya termasuk klasifikasi Kings College Hospital,
University of Texas klasifikasi, klasifikasi PEDIS, dll. Tetapi tedapat dua sistem
klasifikasi yang paling sering digunakan, dianggap paling cocok dan mudah
digunakan yaitu klasifikasi menurut Wagner-Meggitt dan University of Texas
(Rebolledo, 2011).

Gambar. Klasifikasi Ulkus Diabetikum Wagner-Meggitt


Klasifikasi University of Texas merupakan kemajuan dalam pengkajian
kakidiabetes. Sistem ini menggunakan empat nilai, masing-masing yang
dimodifikasi oleh adanya infeksi (StageB), iskemia (StageC), atau keduanya
(StageD). Sistem ini telah divalidasi dan digunakan pada umumnya untuk mengetahui
tahapan luka dan memprediksi hasil dari luka yang bisa cepat sembuh atau luka
yang berkembang kearah amputasi (James, 2008).

Gambar. Klasifikasi Ulkus Diabetikum University of texas

Penegakan diagnosis

Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki diabetik
ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki diabetes mellitus dapat
ditegakkan melalui beberapa tahap pemeriksaan sebagai berikut

Riwayat kesehatan pasien dan keluarga

Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi:

- Lama diabetes
- Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
- Olahraga dan obat-obatan
- Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
- Alergi
- Pola hidup
- Medikasi terakhir
- Kebiasaan merokok
- Minum alkohol

Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki, pernah
terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala neuropati dan
gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan
ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus,
temperatur dan bau.

Pemeriksaan fisik

a) Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti
warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi;
adanyakalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada
otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki
membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara
berjalan; dan kekuatan kaki.
b) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki
untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
c) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada
arteri kaki, capillary refilingtime, perubahan warna, atropi kulit dan kuku
dan pengukuran ankle brachial index.
d) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yangsesuai dan nyaman,
tipe sepatu dan ukurannya.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien,
yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darahpuasa atau sewaktu,
glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood Count(CBC), urinalisis, dan lain-lain.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan


laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetic menjadi infeksi dan menentukan
kuman penyebabnya.

Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki diabetik adalah
dengan menilai Ankle Brachial Index(ABI) yaitu pemeriksaan sistolik brachial
tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi dibandingkan
dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya adalah
O,9-1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita diabetes
melitus memiliki penyakit kaki diabetik dengan melihat gangguan aliran darah
pada kaki. Alat pemeriksaan yang digunakan ultrasonic doppler. Doppler dapat
dikombinasikan dengan manset pneumatic standar untuk mengukur tekanan darah
ekstremitas bawah.

Daftar pustaka

Bader MS (2008). Diabetic foot infection. American Family Physicians. 78(1):71-9

Boulton AJ (2004) .The diabetic foot: from art to science. The 18th Camillo
Golgi lecture. Diabetologia, 47:1343-53.

Bowering CC (2001). Diabetic foot ulcers pa-thophysiology, assessment and


therapy. Canadian Family Phycisian. 47:1007-16.

Clayton W dan Elasi TA (2009). A review of pathophysiology, classification


and treatment of foot ulcers in diabetic patients. Clinical Diabetes. 27(2):52-8
Conway KP dan Harding KG (2008). Wound healing in the diabetic foot. In:
Browker JH, Pfeifer MA, editors. Levin and O’Neal’s The Diabetic Foot
(Seventh Edition). Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 319-28.

Frykberg RG, Amstrong DG, Giurini JM, Zgonis T, Driver VR, Kravitz SR,
et al (2000). Diabetic foot disorders a clinical practice guidelines. The
Journal of Foot and Ankle Surgery. 35(5):S2-59.

Katsilambors N, Dounis E, Tsapogas P dan Tentolouris N (2003). Atlas of the


Diabetic Foot. London: John Willey and sons LTD.

Lipsky BA (2008). Infectious problems of the foot in diabetic patients. In:


Browker JH, Pfeifer MA, editors. Levin and O’Neal’s The Diabetic
Foot(Seventh Edition). Philadelphia: Mosby Elsevier, 305-18.

Rebolledo FA, Terán Soto JM dan De la Peña JE (2011). The Pathogenesis of the
Diabetic Foot Ulcer: Prevention and Management. Global Perspective on
Diabetic Foot Ulcerations, 9: 155-178.

Reiber GE et al (2008). Epidemiology and economic impact of foot ulcers and


amputations in people with diabetes. In: Browker JH, Pfeifer MA, editors.
Levinand O’Neal’s The Diabetic Foot (Seventh Edition). Philadelphia: Mosby
Elsevier, 3-22.

Reiber GE, Vileikyte L, Boyko EJ, del Aguila M, Smith DG, Lavery LA, et al
(1999). Causal pathways for incident lower extremity ulcers in patients
with diabetes from two settings. Diabetes Care. 22:157-62.

Waspadji S (2009). Kaki diabetes. Dalam: Sudayo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi
V Jilid III). Jakarta: Internal Publishing, :961-7.

Anda mungkin juga menyukai