Anda di halaman 1dari 41

Tinjauan Kepustakaan

Terapi dan Eradikasi Skabies dengan Ivermektin

Oleh :

Rafael Bisma Bratajaya Tanjoto, S.Ked

NIM. 1830912310145

Pembimbing :

dr. Sukses Hadi, Sp. KK

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Oktober, 2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II. PEMBAHASAN ........................................................................... 3

BAB III. PENUTUP ................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Skabies adalah suatu penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh

tungau Sarcoptes scabiei (S.scabiei). Manifestasi penyakit predominan

diperantarai melalui reaksi peradangan dan menyerupai alergi terhadap produk-

produk tungau, menyebabkan lesi yang sangat gatal. Skabies ditularkan melalui

kontak tubuh langsung dari seorang penderita ke individu lainnya1 dan melalui

kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau

handuk.2

Prevalensi dan komplikasi yang dapat terjadi, membuat skabies menjadi

masalah kesehatan publik yang signifikan di negara berkembang, dengan jumlah

yang lebih tinggi pada anak – anak yang tinggal di daerah miskin, tropis dan padat

penduduk. Jumlah yang pasti dari kasus skabies di seluruh dunia tidak diketahui,

namun diperkirakan hingga 300 juta kasus per tahun. 3

Skabies didiagnosis secara klinis dengan gejala utama berupa pruritus pada

malam hari karena aktivitas tungau meningkat pada suhu kulit yang lebih hangat.4

Selain itu, tungau sensitif terhadap sinar matahari pada siang hari sehingga lebih

aktif pada malam hari.4 Lesi khas skabies adalah papul yang gatal sepanjang

terowongan yang berisi tungau dengan tempat predileksi pada daerah sela jari

tangan, fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan, areola mammae, umbilikus,

penis, aksila, abdomen bagian bawah dan bokong. Lesi yang patognomonik untuk

skabies adalah terowongan yang hampir tidak terlihat oleh mata, berupa lesi yang

1
agak meninggi, lurus atau berkelok – kelok dan berwarna keabu – abuan.5

Terowongan sering berbentuk seperti huruf “s” atau “z” yang khas ditemukan

pada daerah sela – sela jari tangan, aksila, bokong, skrotum dan inframammae.6,7

Skabies dikonfirmasi melalui pemeriksaan mikroskopis dari kerokan pada kulit

yang terdapat terowongan dengan penambahan minyak mineral atau salin.

Penemuan tungau, telur atau feses menegaskan diagnosis. 6 Akan tetapi, metode ini

dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan takut, terutama pada pasien yang

berusia lebih muda.8

Pemeriksaan dermoskopi adalah suatu teknik alternatif dalam

mendiagnosis skabies.6 Dermoskopi merupakan suatu teknik yang akurat, tidak

invasiv, dan mudah untuk digunakan dalam mendiagnosis skabies baik sebagai tes

diagnostik atau untuk memandu tes diagnostik tradisional. 7 Diperlukan sebuah

kaca pembesar yang disinari cahaya lampu, juga dikenal sebagai epiluminescent

stereomicroscope dengan pembesaran 20 sampai 60 x. Perangkat ini dirancang

pada tahun 1996 oleh seorang ahli dermatologi bernama JF Kreusch, cara

pemakaiannya dengan digenggam dan dipegang tegak lurus terhadap kulit. Pada

pembesaran 20 sampai 40 x, tampak tampilan yang khas dari kepala tungau dan 2

pasang kaki depan yang menyerupai bentuk segitiga pesawat layang (delta wing

sign/jet with contrail).6

Penelitian yang dilakukan Walter B dkk pada tahun 2008 di Brazil

mengenai perbandingan dermoskopi, kerokan kulit dan plester perekat dalam

mendiagnosis skabies pada suatu daerah yang miskin didapatkan bahwa

sensitivitas dermoskopi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan tes

2
plester perekat dan kerokan kulit yaitu sebesar 83%, namun spesifisitasnya lebih

rendah dibandingkan dengan tes plester perekat dan kerokan kulit yaitu sebesar

46%.9

Neynaber dan Wolff pada tulisannya mengenai diagnosis skabies dengan

dermoskopi menyatakan bahwa sensitivitas dermoskopi untuk skabies adalah 91%

dan spesifisitasnya adalah 86%.6 Pada penelitian yang dilakukan Lacarrubba dkk

di Illinois terhadap 100 orang anak yang berusia 1 bulan sampai 16 tahun yang

diduga menderita skabies, didapatkan hasil bahwa dengan pemeriksaan

menggunakan videodermatoskopi pembesaran tinggi, pengidentifikasian yang

cepat dan jelas terhadap tungau, terowongan, telur dan feses dijumpai pada 62

pasien. Tidak ada seorang pun dari 38 pasien dengan penemuan negatif yang

menunjukkan adanya tanda – tanda infestasi 2 minggu setelah pemeriksaan.10

Dari penelitian yang dilakukan Dupuy dkk sejak bulan Januari 2004

sampai April 2005 di Paris terhadap 238 pasien yang diduga menderita skabies,

didapatkan bahwa pada pemeriksaan dengan menggunakan dermoskopi dengan

pembesaran 10 x setelah pengaplikasian minyak parafin pada piring kaca

dermoskopi dan kerokan kulit, diperoleh hasil sensitivitas dermoskopi mencapai

91% dan kerokan kulit sebesar 90%. Namun spesifisitas dermoskopi sebesar 86%

sedangkan kerokan kulit mencapai 100%.11

Pemeriksaan dermoskopi adalah suatu metode yang mudah dan sangat

bermanfaat dan sangat sensitif dalam mendiagnosis skabies. Dermoskopi

memungkinkan untuk menegakkan diagnosis berdasarkan bukti ditemukannya

3
tungau dan terowongan tungau, dan juga bermanfaat dalam memonitor efikasi

terapi.12

Skabies atau dikenal juga dengan kudis, gudig, dan budug, adalah penyakit

kulit yang disebabkan oleh infeksi kutu Sarcoptes scabiei varietas hominis.

Skabies sering diabaikan oleh masyarakat, sehingga penyakit ini menjadi salah

satu masalah di seluruh dunia. Penyakit ini lebih banyak terjadi di negara

berkembang, terutama di daerah endemis dengan iklim tropis dan subtropis,

seperti Afrika, Amerika Selatan, dan Indonesia.1,35

Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di

puskesmas. Pada tahun 2008, prevalensi skabies di seluruh puskesmas di

Indonesia adalah 5,6 - 12,9%, merupakan penyakit kulit terbanyak urutan ketiga.

Beberapa faktor yang berpengaruh pada prevalensi skabies antara lain

keterbatasan air bersih, perilaku kebersihan yang buruk, dan kepadatan penghuni

rumah. Dengan tingginya kepadatan penghuni rumah, interaksi dan kontak fisik

erat yang akan memudahkan penularan skabies, oleh karena itu penyakit ini

banyak terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, dan pengungsian. 1,35

4
BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Skabies adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh penetrasi tungau

parasit obligat S. scabiei varian hominis, yaitu suatu arthropoda dari orde Acarina,

ke dalam epidermis.13-15 Skabies telah diketahui manusia sejak zaman dahulu

dengan Aristotle (384 sampai 322 SM), orang pertama yang mengidentifikasi

tungau skabies, mendeskripsikannya sebagai “lice in the flesh” dan menggunakan

istilah “akari”. Pada tahun 1687, Bonomo dan Cestoni secara akurat

mendeskripsikan penyebab skabies pada sebuah surat. Mereka menjelaskan

tentang sifat parasit, penularan, kemungkinan penyembuhan, dan gambaran

mikroskopis dari tungau dan telur S. Scabiei, yang diyakini menjadi yang pertama

disebutkan pada teori parasit dari penyakit infeksi. Dua abad kemudian, penyebab

skabies ditetapkan dengan publikasi dari suatu risalah oleh Hebra. 1,16

Epidemiologi

Skabies paling banyak ditemukan di negara – negara tropis dengan jumlah

300 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya di dunia.13-18 Prevalensi skabies di

puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6% sampai 12,95%. 19

Skabies dapat dijumpai pada semua usia namun paling sering menyerang anak-

anak.16,20 Selain faktor imunitas yang belum memadai, faktor penularan dari

orang tua, terutama ibu, serta faktor anak yang sudah mulai beraktivitas di luar

5
rumah dan di sekolah juga ikut berperan terhadap timbulnya skabies. Insidensi

pada pria dan wanita adalah sama.16

Perbedaan etnis dalam epidemiologi skabies paling mungkin berhubungan

dengan perbedaan pada faktor kepadatan penduduk yang berlebihan, perumahan,

sosial ekonomi dan perilaku dibandingkan dengan asal ras. 16,17 Faktor predisposisi

yang paling sering adalah kepadatan penduduk, imigrasi, kebersihan yang buruk,

status gizi yang buruk, tunawisma, demensia, dan kontak seksual.16 Penularan

penyakit ini terjadi melalui kontak langsung kulit ke kulit atau dari barang yang

dipakai secara bersama – sama.16

Beberapa laporan dalam literatur menunjukkan bagaimana skabies dapat

menjadi ancaman pada suatu institusi terutama rumah sakit, penjara, taman kanak-

kanak, dan rumah jompo.16 Suatu studi epidemiologi yang melibatkan tentara

Israel dan studi – studi regional di Inggris dan Denmark mengajukan suatu pola

penyakit 20-28 tahun pada kelompok – kelompok ini.17,18 Penelitian yang

dilakukan Alsamarai tahun 2009 di Irak mendapatkan tingginya frekwensi pasien

skabies yang datang ke klinik dermatologi dan sering dijumpai pada orang yang

dipenjara.21 Hasil penelitian K. Makigami dkk. pada beberapa rumah sakit jiwa

dan rumah sakit untuk perawatan jangka panjang di Jepang mendapatkan bahwa

sekitar 41% dari rumah sakit responden melaporkan sedikitnya satu atau lebih

kasus skabies pada tahun 2004, menyiratkan bahwa skabies telah menjadi suatu

penyakit yang sering terjadi di kalangan institusi perawatan kesehatan di Jepang.22

Di Indonesia skabies menempati urutan ketiga dari 12 penyakit kulit yang sering

6
terjadi dan prevalensi di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah

4,6% sampai 12,95%.19

Pada populasi tertentu secara khusus berisiko tinggi terjadinya keparahan

atau skabies berkrusta. Bentuk infeksi skabies hiperkeratotik ini pertama kali

dijelaskan pada pasien kusta di Norwegia. Pasien – pasien yang mendapat

glukokortikoid sistemik atau topikal yang poten, resipien transplantasi organ,

retardasi mental atau lumpuh, individu yang terinfeksi human immunodeficiency

virus (HIV) atau human T-lymphotropic virus-1, dan individu dengan berbagai

keganasan hematologi berisiko tinggi mengalami skabies berkrusta. 18

Etiologi

Skabies disebabkan oleh S. scabiei yang termasuk famili Sarcoptidae

dalam kelas Arachnida. Tungau betina panjangnya berkisar 0,4 mm, lebar 0,3 mm

sedangkan tungau jantan ukurannya lebih kecil dari betina dengan panjang 0,2

mm, lebar 0,3 mm.16,17,23 S. scabiei memiliki bentuk tubuh oval, mendatar

secara dorsoventral.23 Tubuhnya berwarna putih krem dan ditandai dengan

kerutan melintang, dan pada permukaan bagian dorsal terdapat bulu dan

denticle.23 Tungau ini memiliki empat pasang kaki, dua pasang dibagian anterior

berakhir dengan ujung peduncle yang memanjang dengan alat penghisap kecil. 23

Pada betina, dua pasang kaki bagian belakang berakhir dengan bulu, dimana pada

jantan berada pada pasangan kaki ketiga dan peduncle dengan alat penghisap pada

pasangan kaki keempat.23 Meskipun tungau ini tidak dapat terbang atau lompat,

namun dapat merangkak dengan kecepatan 2-5 cm per menit pada kulit yang

7
hangat dan dapat bertahan hidup 24-36 jam pada suhu kamar.13,17 Suhu

lingkungan yang ideal bagi tungau adalah bila udara terasa hangat dan pasien

berkeringat, sebab itu S. scabiei bergerak pada malam hari.24 Pada suhu kamar S.

scabiei dapat bertahan selama 3 hari3 dan akan mati pada suhu 500C selama 10

menit.5,25,26

Siklus hidup S. scabiei dimulai dengan perkawinan tungau jantan dan

betina.16 Setelah kopulasi, tungau jantan mati dan tungau betina mulai meletakkan

telurnya pada terowongan di kulit dan menetap selama 4 sampai 6 minggu.

Tungau betina memproduksi 1 sampai 3 telur per hari sampai mencapai jumlah 40

yang akan menetas setelah 3-4 hari kemudian.16,17 Larva berubah menjadi suatu

protonymph yang setelah 2-5 hari berubah menjadi tritonymph, larva ini nantinya

menembus atap terowongan dan mencapai permukaan kulit.16 Setelah 5-6 hari,

larva berubah menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Secara keseluruhan,

tungau dewasa yang matur berkembang dalam 10-14 hari.17 Populasi tungau

mencapai 25 dewasa setelah 50 hari dan sampai 500 tungau dalam 100 hari. 16

Namun rata – rata pada seorang host normal adalah 10-12 tungau. Pada umumnya

setelah 3 bulan, jumlah tungau berkurang dengan cepat.16

8
Gambar 2.1. (A) Potongan mikroskopis tungau Sarcoptes scabiei menunjukkan
kedelapan kaki dan alat untuk menggigit. (B) Kerokan kulit setelah diberi
potasium hidroksida 10% menunjukkan telur, nymph, dan scybalae (faecal pellet).
(C) Potongan histologi (pewarnaan hematoksilin dan esoin) menunjukkan sebuah
terowongan dengan tungau skabies pada bagian atas epidermis.

Transmisi

Penyakit ini ditularkan melalui kontak langsung kulit ke kulit yang

menyebabkan seringnya terjadi transmisi diantara anggota keluarga. 16 Berbagi

tempat tidur dengan orang yang terinfestasi tungau, dengan atau tanpa kontak

seksual dapat menyebabkan infestasi. Namun, hanya dengan berpegangan tangan

juga dapat mentransmisikan tungau.4

9
Peranan fomite, yaitu semua benda atau bahan yang dapat membawa

organisme yang infeksius dan memindahkannya dari satu individu ke individu

lain,27 masih kontroversial.16 Beberapa penulis mengklaim bahwa hal ini

kemungkinan karena tungau dapat bertahan hidup lebih dari 3 hari diluar tubuh

manusia.16 Beberapa studi telah membuktikan keberadaan tungau hidup pada

tilam, pakaian, gorden, lantai, perabotan, dan kain – kain yang digunakan untuk

tempat tidur di rumah pasien skabies dan rumah jompo. 16,18,27 Tetapi untuk

beberapa penulis, penularan melalui fomite jarang terjadi, namun dapat terjadi

pada kasus skabies berkrusta.16 Transmisis seksual juga dapat terjadi karena

terjadinya kontak yang erat yang memungkinkan terjadinya transmisi tungau. 16,17

Gambaran klinis

Skabies dapat dicurigai bila pada pasien terdapat satu atau lebih tanda dari

gejala – gejala berikut ini :4

1. Gatal yang memburuk pada malam hari setelah pasien berbaring di tempat

tidur, adalah suatu gambaran yang konsisten. Keparahan dapat bervariasi namun

sering kali intens.4

2. Timbulnya gejala biasanya memakan waktu 4 sampai 6 minggu jika pasien

tidak pernah terserang skabies. Timbulnya gejala lambat dan terkadang pasien

tidak dapat memastikan waktu tepatnya. Pada pasien yang mengalami reinfestasi,

gejala muncul kembali dengan cepat (dalam beberapa jam), tergantung pada status

imunologi host.4

10
3. Erupsi kulit:, meskipun lesi diatas leher jarang dijumpai, pada daerah yang

beriklim lebih hangat dapat terjadi, terutama pada orang – orang yang selalu

terbaring di tempat tidur dan anak – anak. Pada pasien-pasien khusus tersebut,

lipatan retroaurikular sering menjadi tempat persembunyian tungau. Lesi yang

dapat diobservasi bervariasi. Lesi yang paling khas adalah terowongan, berkelok

atau papul linear sampai sepanjang 1 cm dengan vesikel pada ujungnya. Namun

pada iklim tropis yang panas lebih sering ditemukan papul eritematosa. Lesi-lesi

lainnya termasuk: papul, skuama, vesikel, bula, krusta, pustul, nodul dan

ekskoriasi.4 Tempat predileksi: lipatan aksila anterior, puting susu dan areolae

pada wanita, umbilicus, siku, bagian volar pergelangan tangan, sela – sela jari,

paha, bokong, penis, skrotum, dan pergelangan kaki.16,17,28 Pada bayi, skabies

biasanya menyerang aksila, kepala wajah, daerah popok, kadang-kadang telapak

tangan dan telapak kaki, dan lesinya berupa vesikel, pustul, dan nodul. 17

4. Gejala klinis yang sama pada anggota keluarga lainnya pada waktu yang

sama.16

11
Gambar 2.2. (A) Skabies yang khas pada sela – sela jari tangan. (B) Keterlibatan
genitalia pada seorang pasien pria dengan lesi berupa papul dan ekskoriasi. (C)
Payudara seorang wanita dengan lesi berupa papul pada daerah puting dan areolar.
(D) Terowongan linier skabies yang spesifik dan khas dengan vesikel pada ujung
distal. (E) Pruritus kronis pada skabies dengan cepat mengakibatkan terjadinya
garukan.

Bentuk – bentuk skabies

1. Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated)

Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit

jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.29 Skabies nodular. Berupa

nodul – nodul berwarna ungu, gatal, dapat menetap beberapa minggu

sampai beberapa bulan setelah pengobatan.

2. Skabies nodular kemungkinan menunjukkan suatu bentuk respon cell-

mediated immune terhadap antigen tungau, kemungkinan diinduksi oleh

garukan.16,30 Paling sering ditemukan pada sela paha, aksila dan pada

genitalia pria.15,16 Lesi skabies nodular secara klinis dan histologi dapat

menyerupai langerhans’cell histiocytosis, insect bite reaction, non-

Langerhans’cell histiocytosis, lymphoma atau urtikaria pigmentosa.30

Terapi dapat diberikan ivermectin oral30, pimekrolimus topikal.31

12
Gambar 2.3. Gambaran klinis skabies nodular

3. Skabies bulosa. Meskipun lesi vesikular sering ditemukan pada bayi dan

anak – anak, lesi berupa bula jarang ditemukan pada skabies. Skabies

bulosa dapat dijumpai pada bayi, anak – anak, orang tua, dan terkadang

pada orang dewasa yang mendapat terapi imunosupresi. Pada komunitas

dimana skabies bukan merupakan penyakit endemis sehingga kurang

dicurigai, skabies bulosa dapat disalahdiagnosiskan dengan pemfigoid

bulosa, insect bite, linear IgA dermatosis, epidermolysis bullosa atau

chronic bullous disease of childhood (CBDC).32

4. Scabies incognito

Disebabkan pemakaian kortikosteroid topikal dan oral.16 Terdapat

hubungan dengan hipereosinofilia disebabkan terjadinya sedikit penurunan

imunitas.16

5. Skabies pada bayi dan anak – anak

13
Lesi berupa vesikel, pustul, dan nodul terutama tersebar pada tangan, kaki

dan lipatan tubuh. Pruritus dapat menjadi sangat berat sehingga pasien

dapat menjadi pemarah dan tidak mau makan.15,16 Pada pemeriksaan

histologi dapat dijumpai infiltrat sel langerhans yang padat, berpotensi

untuk terjadinya kesalahan diagnosis sebagai langerhans cell

histiocytosis.16

6. Skabies pada orang tua.

Sering disalahdiagnosiskan dengan pruritus senilis, sehingga pasien

diterapi dengan kortikosteroid poten untuk jangka waktu yang lama yang

dapat menyebabkan skabies berkrusta. Gambaran klinis lainnya yaitu

skabies bulosa yang dapat menyerupai pemfigoid bulosa.16

7. Skabies pada skalp.

Dapat berhubungan atau bersamaan dengan dermatitis seboroik atau

dermatomiositis pada skalp. Sering mengenai orang tua, anak – anak, bayi,

pasien – pasien imunokompromais dan pasien dengan skabies

berkrusta.15,16

8. Skabies berkrusta.

Skabies berkrusta atau skabies Norwegia meskipun parah namun jarang

ditemukan, infeksi disebabkan oleh infestasi masif dengan S. scabiei

varian hominis. Skabies berkrusta merupakan suatu bentuk fulminan dan

sangat infeksius, disebabkan kegagalan respon imun host untuk mengatur

proliferasi tungau skabies di kulit, sehingga menyebabkan hiperinfestasi. 34

14
Skabies berkrusta dapat ditemukan pada pasien leukemia, infeksi HIV,

sindrom Down, kusta tipe lepromatosa dan diabetes.34 Secara klinis

berupa plak hiperkeratotik, skuama, berwarna abu – abu, tebal atau plak

berkrusta pada tangan, kaki, lutut, siku, badan, skalp, nail bed dan

terkadang seluruh tubuh.16 Skabies berkrusta menyebabkan tingginya

mortalitas yang berhubungan dengan sepsis sekunder. 16

Gambar 2.5. Gambaran klinis skabies berkrusta

9. Skabies subungual.

Manifestasi skabies subungual berupa distrofi kuku yang menetap bahkan

setelah pengobatan berhasil.16 Bentuk ini dapat mengenai beberapa kuku

jari tangan dan/atau kuku jari kaki, terjadi penebalan kuku, kuku jadi

tampak memutih dengan atau tanpa deformitas nail plate dan/atau

subungual horny debris.16


15
Gambar 2.6. Gambaran klinis skabies subungual

Pemeriksaan

Pemeriksaan penunjang

Selama ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda – tanda klinis dan

pemeriksaan mikroskop dari kerokan kulit, namun sensitivitas dari tes tradisional

ini kurang dari 50%.1 Mendeteksi lesi viabel dapat menjadi sulit sebab sering

dikaburkan dengan ekzema atau impetigo atau lesi yang tidak khas. Deteksi

terowongan dengan menggunakan tinta India telah dilakukan selama lebih dari 20

tahun yang lalu, namun tes tersebut sering tidak dilakukan secara rutin. Diagnosis

dugaan (suspect) dapat dibuat berdasarkan riwayat gatal yang khas yaitu pada

malam hari, distribusi papul inflamatorik dan riwayat kontak dengan penderita

skabies lainnya.1 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :

1. Kerokan kulit

16
Diagnosis pasti skabies ditegakkan berdasarkan pengidentifikasian tungau,

telur, fragmen cangkang telur, atau fecal pellet tungau dari kerokan kulit. Metode

ini memberikan spesifisitas yang sangat baik namun memiliki sensitivitas yang

rendah karena dipengaruhi beberapa faktor seperti presentasi klinis, jumlah lokasi

sampel yang diambil dan/atau pengulangan kerokan, dan pengalaman orang yang

mengambil sampel.1

Aturan yang paling penting dalam pemilihan tempat untuk melakukan

kerokan kulit adalah menghindari lesi ekskoriasi karena tungau biasanya terangkat

oleh garukan36,37 dan pada lesi dengan infeksi sekunder terdapat pus yang bersifat

akarisidal sehingga tungau tidak ditemukan pada lesi tersebut. 37 Idealnya, bahan

diperoleh dari papul yang baru terbentuk atau terowongan. Papul yang terbaik

adalah berbentuk lonjong tanpa tanda – tanda di permukaan seperti titik coklat

kecil atau krusta.36

Dalam melakukan kerokan kulit, penggunaan minyak mineral memberikan

hasil yang lebih unggul dan dipilih dibandingkan larutan potasium hidroksida atau

air karena alasan berikut :36

1. Tungau menempel pada minyak dan dapat lebih mudah diambil. Tungau akan

tetap hidup dan motil, bukannya terpecah – pecah pada suatu kerokan yang

kering.

2. Skuama dari kulit bercampur dengan minyak mineral dan lebih banyak bahan

yang tersedia untuk pemeriksaan mikroskopis.

17
3. Perbedaan refraksi antara tungau dan minyak mineral lebih besar daripada

tungau dan potasium hidroksida atau air.

4. Minyak mineral tidak melarutkan fecal pellet yang merupakan diagnostik,

bahkan jika tungau atau telur tidak ditemukan.

Apabila daerah yang tepat telah dipilih, teteskan satu tetes minyak mineral

pada skalpel steril. Biarkan minyak mineral mengalir pada papul atau daerah lain

yang akan dikerok. Berikutnya, lakukan pengerokan sekitar 6 atau 7 kali untuk

mengangkat atap papul, akan terlihat bintik – bintik kecil darah dalam minyak.36

Kemudian, dengan skalpel, pindahkan minyak dan bahan kerokan ke gelas

objek.36 Hal tersebut dapat dilakukan secara lembut dengan menggunakan ujung

kayu dari aplikator. Tambahkan satu atau dua tetes lagi minyak mineral dan aduk

campuran untuk mendapatkan distribusi bahan kerokan yang merata dalam

minyak. Letakkan kaca penutup pada gelas objek dengan hati – hati untuk

menghindari gelembung udara dan memeriksa untuk tungau, telur dan fecal

pellet.36 Pertama, periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran paling rendah,

melihat seluruh kaca objek, tetap mengingat bahwa ukuran tungau bervariasi

tergantung pada jenis kelamin dan maturitas. Ukuran terbesar sampai terkecil

yaitu betina, jantan, nimfa, larva dan telur. Berikut ini adalah ukuran rata – rata

dari bentuk – bentuk S. scabiei.36 Bila ditemukan telur dari S. scabiei, dapat

ditegakkan suatu diagnosis positif skabies, bahkan jika tidak ditemukan tungau

dewasa. Dengan pengalaman, skabies dapat didiagnosis dengan menemukan fecal

pellet yang khas (skibala), yang berwarna coklat kekuningan.36

18
2. Tes tinta pada terowongan

Tes ini memungkinkan untuk mendeteksi terowongan. Sapukan bagian

bawah cartridge pena yang penuh dengan tinta berwarna hitam atau biru ke atas

papul yang dicurigai, kemudian bersihkan dengan kapas alkohol untuk menghapus

tinta dari permukaan lesi. Tes dikatakan positif jika terbentuk garis menyerupai

bentuk zig-zag berwarna gelap.4

3. Shave biopsy

Dilakukan dengan mengangkat papul atau terowongan dengan jari telunjuk

dan ibu jari. Potong bagian atas papul atau seluruh terowongan menggunakan

skalpel no.15 yang dipegang sejajar terhadap kulit dengan gerakan yang halus.

Karena biopsi yang dilakukan sangat superfisial, tidak perlu dilakukan anestesi.

Tempatkan spesimen pada slide mikroskop, letakkan kaca penutup di atasnya.

Spesimen dapat dibersihkan dengan beberapa tetes potasium hidroksida 15-20%.

Panaskan slide dengan hati – hati (60- 800C) selama 2-5 menit. Periksa dengan

menggunakan mikroskop cahaya.4

4. Superficial cyanoacrylate biopsy (SCAB)

Dilakukan dengan menentukan lesi non ekskoriasi yang paling sugestif. Rambut

disekitar lesi tersebut harus dibersihkan seperlunya. Kemudian kulit dibersihakan

menggunakan alkohol. Teteskan sedikit lem cyanoacrylate ke slide kaca dan

segera tekan pada lesi kulit. Setelah sekitar 30 detik, slide dilepas dari kulit

19
dengan gerakan yang cepat. Prosedur diulangi dengan cara yang sama pada daerah

lainnya yang dicurigai. Kemudian slide diperiksa dengan mikroskop biasa.38

5. Plester perekat

Teknik ini menggunakan plester perekat transparan yang dipotong sesuai ukuran

slide mikroskop (25 x 50 mm). Plester ditekan kuat pada lesi, kemudian tarik

dengan cepat. Letakkan plester pada slide dan simpan pada suhu 10-14oC sampai

saatnya dibacakan. Slide diperiksa 3 jam kemudian. Slide diamati dengan

pembesaran 40x. Jika diduga ditemukan tungau, pembesaran ditingkatkan menjadi

100x.9,39

6. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR ini bertujuan untuk mendeteksi deoxyribonucleic acid (DNA)

tungau. Untuk pemeriksaan ini, lebih baik menggunakan skuama pada kulit

dibandingkan dengan biopsi kulit. Prosedur nonivasiv ini dapat membantu pasien

yang sangat dicurigai menderita skabies, namun diagnosisnya tidak dapat

dibuktikan secara klinis atau melalui pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan ini juga

dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien skabies sudah mendapatkan

pengobatan yang tepat dan sudah tidak terdapat tungau. 16

7. Pemeriksaan dermoskopi

Teknik standar untuk mendiagnosis skabies melibatkan pengidentifikasian

tungau, telur atau eksreta dengan pemeriksaan mikroskopis yang diperoleh dari

20
kerokan kulit, namun metode ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa

takut, terutama pada pasien yang berusia lebih muda. Oleh karena hasil

pemeriksaan pada umumnya tergantung pada daerah yang dikerok, terkadang

diperlukan tes yang berulang untuk suatu diagnosis pasti. Untuk alasan ini,

kerokan kulit tidak diterima dengan baik oleh pasien yang mungkin tidak

kooperatif atau bahkan menolak pemeriksaan.8

Pemeriksaan dermoskopi adalah suatu teknik nonivasiv yang

memungkinkan dilakukannya observasi kulit in vivo yang diperbesar dan cepat

dengan visualisasi morfologi yang sering tidak terlihat dengan mata telanjang.

Dermoskopi telah meningkatkan keakuratan diagnostik lesi kulit berpigmen, dan

baru – baru ini evaluasi kelainan kulit yang tidak berpigmen. Dermoskopi

biasanya dilakukan sesuai dengan teknik mikroskop epiluminescence dengan

pengaplikasian cairan (minyak, alkohol atau air) pada kulit untuk menghilangkan

pantulan cahaya.40 Namun, baru – baru ini, metode ini telah digantikan dengan

sistim baru yang menggunakan cahaya terpolarisasi, bukannya cairan, dengan

hasil yang sebanding. Selama beberapa tahun terakhir, dermoskopi telah terbukti

bermanfaat pada berbagai kelainan kulit termasuk infestasi ektoparasit,

abnormalitas rambut dan kuku, psoriasis dan lain – lain.40

Dermoskopi merupakan alat diagnostik yang menjanjikan dan bermanfaat

untuk skabies.40 Keefektivannya telah dibuktikan oleh berbagai penelitian.

Dermoskopi memungkinkan dilakukannya pengidentifikasian tungau yang tampak

sebagai struktur segitiga, berwarna kecoklatan, berbentuk seperti pesawat layang,

yang sesuai dengan bagian anterior S. scabiei (delta wing sign/jet with contrail).8
21
Pemeriksaan dermoskopi memberikan beberapa keunggulan dibandingkan

teknik kerokan kulit tradisional. Pertama, tidak invasiv dan diterima dengan baik

oleh pasien, terutama oleh anak – anak dan pasien yang lebih sensitif yang

mungkin memiliki hasil pemeriksaan kerokan kulit berulang negatif, karena tidak

menyebabkan ketidaknyamanan fisik atau psikologis. Kedua, dermoskopi mudah

dan cepat untuk dilakukan, memungkinkan pemeriksaan seluruh permukaan kulit

yang biasanya dalam beberapa menit dan secara signifikan memakan waktu yang

lebih pendek dari pemeriksaan mikroskopis ex vivo. Ketiga, dermoskopi

bermanfaat untuk pemeriksaan tanpa menimbulkan trauma pada anggota kelurga

yang asimtomatis, yang kemungkinan menolak pemeriksaan kerokan kulit.

Keempat, karena dermoskopi merupakan teknik non invasiv, dapat meminimalisir

risiko infeksi yang tidak disengaja dari agen – agen yang dapat ditransmisikan

dari darah seperti human immunodeficiency virus (HIV). Kelima dermoskopi telah

bermanfaat dalam mendiagnosis skabies melalui teknik teledermatologi.8

Bila kita menggunakan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies,

kemungkinan dapat terjadi kontaminasi secara tidak langsung dari pasien melalui

peralatan, karena tungau dapat bertahan hidup di lingkungan luar (jauh dari host)

sampai 72 jam. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan desinfeksi

pada peralatan setiap selesai pemeriksaan. 8

22
Gambar 2.7. Tampak tungau S. scabiei di ujung terowongan dengan pembesaran
200x

Gambar 2.8 Dermoskopi merk Handyscope

Diagnosis banding

Diagnosis Banding Skabies

Paling menyerupai

23
1. Dermatitis atopi

2. Reaksi gigitan serangga

3. Dermatitis kontak

4. Dermatitis herpetiformis

5. Dyshidrotic eczema

Sering dianggap

1. Psoriasis, terutama pada skabies berkrusta

2. Pemfigoid bulosa, bila terdapat vesikel dan bula

3. Erupsi obat

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah impetigenisasi sekunder dan

biasanya memberikan respon yang baik pada pemberian antibiotik topikal atau

oral. Dapat terjadi lymphangitis dan septikemia terutama pada skabies berkrusta,

post-streptococcal glomerulonephritis yang berasal dari pioderma yang dipicu

skabies yang disebabkan oleh streptococcus pyogenes.13 Komplikasi lainnya

termasuk hiperpigmentasi pasca inflamasi dan atau hipopigmentasi dan prurigo

nodularis.17

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara umum

24
Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan mandi secara

teratur setiap hari. Semua pakaian, seprei, dan handuk yang telah digunakan harus

dicuci secara teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula

halnya dengan anggota keluarga yang berisiko tinggi untuk tertular, terutama bayi

dan anak – anak, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu

menghindari terjadinya kontak langsung. Selain itu juga ditekankan untuk

mengobati semua anggota keluarga secara bersamaan dan obat yang digunakan

jumlahnya harus dibatasi untuk menghindari over treatment atau efek keracunan.42

Penatalaksanaan secara khusus

Pengobatan ideal untuk skabies haruslah efektif melawan tungau dewasa

dan telur, mudah digunakan, tidak toksik, tidak menyebabkan iritasi, aman untuk

segala usia, dan ekonomis. Tetap saja, kita belum memiliki skabisida yang ideal.15

Skabies pada bayi merupakan suatu masalah yang memerlukan penatalaksanaan

yang tepat karena dapat menjadi luas. Penting untuk mengobati ibu dan bayi

tersebut sendiri. Terdapat beberapa macam obat skabies, antara lain :

Topikal

1. Permetrin 5%

Permetrin 5% merupakan pyrethroid sintetis dan insektisida poten yang

kemungkinan pengobatan topikal paling efektif untuk skabies dan memiliki

toksisitas yang rendah pada mamalia. Obat ini diabsorbsi kulit dalam jumlah kecil

dan dimetabolisme oleh esterase pada kulit yang akhirnya diekskresikan kembali

25
pada urin. Faktor utama yang membatasi absorpsi sistemik adalah penetrasi

lambat melalui kulit yang tidak tergantung pada dosis yang digunakan.

Mekanisme kerjanya adalah dengan mengganggu fungsi voltage-gated sodium

channel dari arthropoda, menyebabkan depolarisasi yang lama dari membran sel

saraf dan mengganggu transmisi neuron. Permetrin tersedia dalam bentuk krim

5% yang digunakan sepanjang malam atau sedikitnya selama 8-12 jam, setelah itu

harus dibersihkan dan pemakaiannya diulang 1 minggu kemudian. Krim ini harus

digunakan di seluruh tubuh, termasuk kepala pada bayi. Permetrin 5% dapat

diberikan pada wanita hamil dengan lama pemakaian yang diperpendek sampai 2

jam dan secara luas digunakan pada anak – anak. Permetrin 5% ditoleransi dengan

baik dengan efek samping minimal dan dapat diterima secara kosmetik. Beberapa

pasien pernah mengalami iritasi, rasa terbakar, rasa kesemutan namun semuanya

terjadi tidak lama dan kemungkinan besar berhubungan dengan penggunaan pada

kulit yang sudah sensitif, terjadi ekskoriasi dan pruritus disebabkan infeksi

skabies.15

2. Sulfur presipitatum 2-10% dalam petrolatum

Sulfur presipitatum 2-10% dalam petrolatum merupakan modalitas

pengobatan skabies yang tertua, yang bila kontak dengan jaringan hidup akan

membentuk hidrogen sulfida dan asam pentationat yang bersifat germisid dan

fungisid.15,42 Obat ini aman digunakan pada wanita hamil, bayi, dan anak – anak

dengan konsentrasi 2-4% (anak), 6-8% (wanita), dan 10% (pria).42 Selain itu juga

efektif untuk pengobatan skabies berkrusta dan pasien yang sulit disembuhkan

dengan pengobatan lain. Ointment ini digunakan pada seluruh permukaan tubuh
26
selama 2 sampai 3 malam berturut – turut.15 Kekurangannya adalah kotor, bau,

mewarnai pakaian dan dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan. 15

3. Lindane (gamma benzen heksaklorida 1%)

Lindane bekerja pada sistim saraf pusat tungau, menimbulkan rangsangan,

konvulsi dan kematian. Obat ini diserap oleh membran mukosa, seperti paru –

paru dan mukosa intestinal, dan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh dengan

konsentrasi tertinggi pada jaringan yang banyak mengandung lemak dan kulit.

Lindane dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses. Pemberiannya

cukup sekali dengan lama pemakaian 6 jam, setelah itu harus dibersihkan dengan

sabun dan air, beberapa penulis merekomendasikan pengulangan pemberian 1

minggu kemudian. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1%, losion 1% atau sampo

1%, tidak menyebabkan iritasi dan mudah digunakan. Penyerapan dari kulit

bervariasi dari 10 hingga 90% tergantung pada pelarut yang digunakan dengan

waktu paruh 21-26 jam. Pemakaian obat ini harus dihindari pada kulit yang

mengalami inflamasi, ekskoriasi, skabies berkrusta, anak – anak yang sakit, bayi

dan wanita menyusui.15

Kekurangan dari obat ini dapat menyebabkan toksisitas sistim saraf pusat,

seperti konvulsi dan kematian yang dilaporkan terjadi pada anak – anak atau bayi

dengan paparan berlebihan atau perubahan sawar kulit yang akan meningkatkan

penyerapannya. Juga terdapat laporan mengenai pasien usia tua yang meninggal

setelah menggunakan lindane pada daerah kepala. Jika obat ini tertelan dapat

menyebabkan keracunan karena diserap oleh mukosa, menyebabkan gejala


27
neurologi, termasuk konvulsi; kelopak mata berkedut; gelisah; pusing; sakit

kepala; mual; muntah; lemah; tremor; disorientasi; kegagalan pernafasan; koma

dan kematian. Dermatitis kontak iritan ulcerative dari pemakaian obat ini pernah

dilaporkan.4 United State Food and Drug Administration (FDA)

merekomendasikan lindane sebagai terapi lini kedua untuk skabies terutama pada

anak – anak dan orang tua. Obat ini dilarang di California.15

4. Benzil benzoat 10-25%

Benzil benzoat 10-25% merupakan suatu ester dari asam benzoat dan

benzil alkohol yang diperoleh dari balsam Peru dan Tolu, yang neurotoksik

terhadap tungau. Obat ini digunakan sebagai emulsi 25%, 3 kali dalam 24 jam

dengan lama pemakaian 24 jam, tanpa dibersihkan terlebih dahulu.15 Pada anak-

anak, dosisnya dapat diturunkan sampai 12,5%. Obat ini sangat efektif jika

digunakan secara benar, dan jika tidak, dapat menyebabkan kegagalan pengobatan

dan dermatitis kontak iritan pada wajah dan skrotum. Komplikasi pemakaian obat

ini adalah dapat terjadi dermatitis kontak alergi. Produk ini tidak aman digunakan

pada wanita hamil dan menyusui, bayi dan anak – anak berusia dibawah 2 tahun

karena hubungannya dengan efek samping neurologi yang berat pada anak – anak.

Beberapa penelitian menemukan bahwa obat ini efektif dalam menangani skabies

berkrusta yang resisten terhadap permetrin dan dalam kombinasi dengan

ivermectin pada pasien yang mengalami relaps setelah pengobatan dengan

ivermectin dosis tunggal.15

28
5. Monosulfiram 5 – 25%

Obat ini secara kimia berhubungan dengan antabuse, dan untuk alasan ini,

minuman beralkohol harus dihindari selama pengobatan karena akan menghambat

aldehyde dehydrogenase di hati dan setelah mengkonsumsi etanol, acetaldehyde

berakumulasi menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan termasuk

kemerahan, mual, muntah dan takikardi yang disebut sebagai reaksi disulfiram.

Obat ini digunakan diseluruh tubuh setelah mandi, 1 kali sehari untuk 2 atau 3

hari berturut – turut. Sabun yang mengandung monosulfiram pernah digunakan

pada masa lampau sebagai pencegahan di komunitas yang terinfeksi. 15

6. Krotamiton 10% (Crotonyl-N-ethyl-o-toluidine)

Obat ini digunakan setelah mandi dan berganti pakaian dalam sediaan

krim atau losion 10%, 2 kali sehari selama 5 hari berturut – turut,15, bersifat

skabisid namun tidak mempunyai efektivitas yang tinggi terhadap skabies, tidak

mempunyai efek sistemik, serta aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan

anak – anak.42 Efek samping berupa iritasi bila digunakan dalam jangka waktu

lama.42

7. Malathion 0,5%

Malathion 0,5% merupakan suatu insektisida organofosfat yang

menghambat enzim acethylcholinesterase secara irreversible. Obat ini sering

digunakan untuk mengobati pedikulosis, namun sedikit informasi mengenai

manfaatnya pada skabies.15 Malathion tidak boleh digunakan pada bayi,

29
keamanannya pada ibu menyusui dan anak – anak berusia kurang dari 6 tahun

belum dapat dipastikan. Untuk pemberian pada ibu hamil, obat ini termasuk dalam

kategori B.44

8. Esdepallethrin 0,63%

Esdepallethrin 0,63% merupakan pyrethroid sintetis yang menargetkan

sodium channel pada akson. Obat ini tersedia dalam bentuk aerosol dan dapat

digunakan pada anak yang berumur diatas 2 tahun.15

9. Ivermectin 1%

Terdapat satu penelitian yang dipublikasikan mengenai pemakaian

ivermectin topikal 400 mcg/kg/dosis dalam 10 ml propylene glycol yang

digunakaan pada daerah fleksura, pinggang, genital, tangan dan kaki. Pasien tidak

boleh mandi selama 2 jam dan pemberian obat diulangi 1 minggu kemudian.15

Oral

Ivermectin

Ivermectin adalah suatu agen antibiotik oral macrocycliclactone

semisintetis. Ivermectin berikatan secara selektif pada reseptor di sinaps motor

perifer, menghambat transmisi kimia dari asam γ aminobutirat (GABA)-gated

chloride channels yang berada di sistim saraf pusat. Hal tersebut merangsang

pelepasan GABA pada ujung saraf endoparasit, meningkatkan afinitas GABA

pada reseptor di sinaps dan menyebabkan gangguan impuls saraf, menimbulkan

paralisis dan kematian parasit.15


30
Ivermectin mudah diserap pada perut yang kosong, dimetabolisme di hati

dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Puncaknya sekitar 4 sampai 5 jam

setelah dimakan dan memiliki waktu paruh 36 jam. Konsentrasi tertinggi

ditemukan pada sebum, keringat dan sisik pada dahi, delapan jam setelah dosis

pertama. Obat ini relatif aman untuk dikonsumsi. 15 Efek samping yang dapat

terjadi termasuk demam, sakit kepala, menggigil, arthralgia, ruam kulit,

eosinofilia dan anoreksia. Sebagian besar gejala – gejala tersebut diduga lebih

kepada akibat dari kematian parasit dibandingkan reaksi obat. Efek samping

lainnya yang lebih serius adalah ataksia, tremor, mydriasis, depresi dan pada

kasus yang berat dapat terjadi koma dan kematian. 15

Ivermectin diberikan secara oral 200 mcg/kg pada sebagian besar pasien

sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada malam hari ketika tungau bergerak aktif di

tubuh. Ivermectin memiliki waktu paruh plasma 36 jam setelah digunakan secara

oral, dan diyakini bahwa tungau mendapat makanan dengan memakan keratinosit

dan cairan interselular dalam epidermis yang mengandung banyak ivermectin,

sehingga menjadi efektif terhadap tungau fertil yang membentuk terowongan,

karena diyakini bahwa ivermectin tidak memiliki efek ovisidal dan telur menetas

setiap 6-7 hari, maka direkomendasikan untuk mengulangi pengobatan 2 atau 3

kali dengan interval 1 atau 2 minggu.15

Ivermectin telah berhasil digunakan untuk mengeradikasi skabies pada

keadaan epidemis dan endemis pada institusi seperti rumah jompo dan penjara.

Karena ivermectin mudah digunakan, beberapa klinisi menggunakannya sebagai

pengobatan lini pertama untuk kasus skabies pada rumah jompo dan institusi,
31
meskipun terdapat satu laporan yang mengajukan bahwa ivermectin dapat

menyebabkan kematian pada orang tua.15

Ivermectin oral menawarkan beberapa keuntungan melebihi skabisida

topikal standar, seperti efikasi yang tinggi, penggunaannya mudah dan cepat,

terhindar dari iritasi akibat pengobatan topikal, terhindar dari perlunya untuk

menjamin pemakaian yang tepat dan mudah ditoleransi. 15

Agar pengobatan skabies memberikan hasil yang memuaskan, terdapat

beberapa hal yang perlu diperhatikaan yaitu :45

1. Cara pemakaian obat yang salah dapat menyebabkan kegagalan pengobatan.

Oleh karena itu penderita perlu dijelaskan mengenai cara pemakaian obat yang

benar.

2. Gatal biasanya masih menetap, meskipun parasit telah hilang, karena

hipersensitivitas terhadap tungau dan produknya tidak segera hilang. Penderita

perlu diberitahu mengenai hal tersebut untuk menghindarkan pemakaian obat

yang berlebihan. Hal ini dapat dibatasi dengan membatasi pemberian obat.

Biasanya preparat topikal 30 gram cukup untuk dioleskan ke seluruh badan

seorang penderita dewasa.

3. Mengingat masa inkubasi yang lama, semua orang yang kontak dengan

penderita perlu diobati meskipun tidak didapatkan gejala. Hal ini perlu dilakukan

untuk menghindarkan terjadinya reinfeksi.

32
4. Kegagalan juga dapat terjadi karena penetrasi obat terganggu seperti pada lesi

yang berkrusta atau dengan infeksi sekunder. Pada keadaan ini penderita perlu

diberikan antibiotika.

Prognosis

Prognosis skabies adalah baik dengan diagnosis dan pengobatan yang

tepat, kecuali pada pasien imunokompromais. 17 Jika dibiarkan tanpa pengobatan,

kondisi ini dapat menetap sampai bertahun – tahun.13 Persentase terjadinya

reinfestasi sangat tinggi, terutama jika pasien kembali ke lingkungannya, dimana

eradikasi belum dilakukan dengan benar. 17 Pada individu imunokompeten jumlah

tungau dapat berkurang dari waktu ke waktu.13

33
BAB III

PENUTUP

Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi Sarcoptes

scabiei var. hominis di kulit, ditandai adanya gatal dan erupsi kulit dengan derajat

keparahan bervariasi. Awitan gejala klinis biasanya menandai terbentuknya

respons imun terhadap kutu dan produknya yang berada di epidermis. Penyakit ini

ditemukan di seluruh belahan dunia, dan masih merupakan masalah kesehatan

utama di negara dengan sanitasi buruk, kepadatan penduduk tinggi, dan sosial

ekonomi rendah, serta masih merupakan penyakit endemik di beberapa negara

berkembang. Angka kejadian skabies di seluruh dunia diperkirakan sebesar 300

juta kasus dengan tingkat infeksi yang bervariasi antar-negara maupun antar-

daerah dalam suatu negara. Permetrin masih merupakan terapi topikal yang paling

banyak digunakan dan efektif dalam penatalaksanaa skabies, namun kepatuhan

pasien dan ketepatan dalam penggunaan krim permetrin merupakan masalah yang

sering dihadapi. Selain itu terdapat laporan adanya peningkatan toleransi in vitro

kutu skabies terhadap permetrin, sehingga perlu dipikirkan alternatif terapi lain

yang lebih mudah digunakan, sederhana, dan risiko resistensi yang rendah.

Ivermectin adalahsalah satu pilihan terapi alternatif dengan efektivitas yang sudah

teruji. Sayangnya, hingga saat ini penggunaan ivermectin untuk skabies masih

belum diakui di banyak negara kecuali Perancis, Selandia Baru, Brazil, dan

Jepang. Selain ivermectin, dilaporkan juga keberhasilan terapi skabies


34
menggunakan albendazol dengan dosis 800–1000 mg/hari yang diberikan selama

3 hari berurutan.43

35
Daftar Pustaka

1. Walton SF, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies a global disease in


human and animal populations. Clinical Microbiology Reviews
2007;20(2):268-79.
2. Sungkar S. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia;
1995.h. 9-10.
3. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. Scabies in the developing
world – its prevalence, complications and management. Clinical
Microbiology Infection 2012;18:313-23.
4. Soedarto M. Skabies. Dalam: Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Judanarso
J, penyunting. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; 2005.h.179-85.
5. Neynaber S, Wolff H. Diagnosis of scabies with dermoscopy. Canadian
Medical Association Journal 2008;178(12):1540-1.
6. Alendar F, Drljevic I, Helppikangas H, Alendar T. Dermoscopy of scabies.
N Dermatol Online. 2011;2(2):74-5.
7. Lacarruba F, Pulvirenti N, Micali G. Videodermatoscopy and scabies.
Dalam: Micali G, Lacarruba F, penyunting. Dermatoscopy in Clinical
Practice. London. Informa UK Ltd;2010.h.11-5.
8. Walter B, Heukelbach J, Fengler G, Worth C, Hengge U, Feldmeier H.
Comparison of dermoscopy, skin scraping, and the adhesive tape test for
the diagnosis of scabies in a resource – poor setting. Arch Dermatol.
2011;147(4):468-73.
9. Wagner AM, Cunningham B. High – magnification videodermatoscopy : a
new noninvasive diagnostic tool for scabies in children. Pediatric
Dermatology 2001;18(5):439-41.
10. Dupuy A, Dehen L, Bourrat A, Lacroix C, Benderdouche M,Dubertret
Ldkk. Accuracy of standard dermoscopy for diagnosing scabies. Journal
of American Academy Dermatology 2007;56:53-62.
36
11. Towersey L, Feldmen CA, Berger TG, da Cunha MX, de Castro CGC.
Dermoscopy of Norwegian scabies in a patient with acquired
immunodeficiency syndrome. Brazilian Annals of Dermatology
2010;85(2):221-3.
12. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, other mites, and
pediculosis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008.h.2029-37.
13. Ribeiro FDAQ, Taciro E, Guerra MRM, Eckley CA. Oral ivermectin for
the treatment and prophylaxis of scabies in prison. Journal of
Dermatological Treatment 2005;16:138-41.
14. Chosidow O. Scabies. The New England Journal of Medicine
2006;354:1718-27.
15. Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy 2009;22:279-92.
16. Hengge UR, Currie BJ, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous
neglected skin disease. Lancet Infect Dis. 2006;6:769-79.
17. Leone PA. Scabies and pediculosis pubis: an update of treatment regimens
and general review. Clinical Infectious Diseases 2007;44:S153-9.
18. Chandra EN. Uji banding efektifitas krim permetrin 5% dan salep 2-4 pada
pengobatan skabies. Laporan Penelitian. Semarang: Universitas
Diponegoro, 2004.
19. Karthikeyan K. Scabies in children. Arch Dis Child Educ Pract.
2007;92:ep65–ep69.
20. Alsamarai AM. Frequency of scabies in Iraq: Survey in a dermatology
clinic. J Infect Dev Ctries. 2009; 3(10):789-783.
21. Makigami K, Ohtaki N, Ishii N, Yasumura S. Risk factors of scabies in
psychiatric and long-term care hospitals: A nationwide mail-in survey in
Japan. The Journal of Dermatology 2009;3:491–8.
22. Burns DA. Diseases caused by arthropods and other noxious animals.
Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s

37
Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Singapore: Wiley-
Blackwell;2010.h.38.1-38.61.
23. Sungkar S. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia;
1995.h. 7-9.
24. Mellanby K. Biology of the parasite. Dalam: Orkin M, Maibach HI, Parish
LC, Schwartzman RM, penyunting. Scabies and Pediculosis. Philadelphia:
J.B. Lippincott Company; 1997.h.8-16.
25. The Japanese Dermatological Association. Guideline for the diagnosis and
treatment of scabies in Japan (second edition). Journal of Dermatology
2008;35:378–93.
26. Wolf R, Davidovici B. Treatment of scabies and pediculosis: Facts and
controversies. Clinics in Dermatology 2010;28:511–8.
27. Chouela E, Abeldaño A, Pellerano G, Hernández MI. Diagnosis and
treatment of scabies A Practical Guide. Am J Clin Dermatol. 2002;3(1):9-
18.
28. James WD, Berger TG, Elston DM. Parasitic infestations, stings, and bites.
Dalam: James WD, Berger TG, Elston DM, penyunting. Andrews'
Diseases of the skin Clinical Dermatology. Edisi ke-10. Canada:
Elsevier;2006.h.421-57.
29. Sungkar S. Dalam : Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter
Indonesia; 1995.h.12-5.
30. Fernandez CM, Ocariz MS, Jurado RR, McKinster CD, Covarrubias LO,
Maldonado RR. Nodular scabies mimicking urticaria pigmentosa in an
infant. Clinical and Experimental Dermatology 2005;30: 595–6.
31. Almeida HL. Treatment of steroid-resistant nodular scabies with topical
pimecrolimus. J Am Acad Dermatol. 2005;53(2): 357-8.
32. Jena DK, Dash ML, Chhetia R. Bullous scabies in a patient on anticancer
therapy. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2005;7(1):53-4.
33. Ansarin H, Jalali MHA, Mazloomi S, Arabshahi RS, Setarehshenas R.
Scabies presenting with bullous pemphigoidlike lesions. Dermatology
Online Journal 2006;12(1):19.
38
34. Sampathkumar K, Mahaldar AR, Ramakrishnan M, Prabahar S.
Norwegian scabies in a renal transplant patient. Indian Journal of
Nephrology 2010; 20(2): 89–91.
35. Marsha Kurniawan, Michael Sie Shun Ling, Franklind. Diagnosis dan
Terapi Skabies. CDK. 283/ vol. 47 no. 2 th. 2020
36. Muller GH. Laboratory diagnosis of scabies. Dalam: Orkin M, Maibach
HI, Parish LC, Schwartzman RM Scabies and Pediculosis. Philadelphia:
J.B. Lippincott Company; 1997.h.99- 104.
37. Sungkar S. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia;
1995.h. 19-20.
38. Neynaber S, Muehlstaedt M, Flaig MJ, Herzinger T. Use of superficial
cyanoacrylate biopsy (SCAB) as an alternative for mite identification in
scabies. Arch Dermatol. 2008;144(1):114-5.
39. Katsumata K, Katsumata K. Simple method of detecting Sarcoptes scabiei
var hominis mites among bedridden elderly patients suffering from severe
scabies infestation using an adhesive-tape. Internal Medicine 2006;857-59.
40. Micali G, Lacarruba F, Massimino D, Schwartz RA.Dermatoscopy :
alternative uses in daily clinical practice.Journal of American Academy
Dermatology 2011;64:1135-46
41. Dahlan MS. Besar sampel pada penelitian diagnostik. Dalam: Dahlan MS,
penyunting. Penelitian Diagnostik. Jakarta: Salemba Medika; 2009.h.31-
48.
42. Tabri F. Skabies pada bayi dan anak. Dalam : Boediardja SA, Sugito TL,
Kurniati DD, Elandari, penyunting. Infeksi kulit pada bayi dan anak.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.h.62-80.
43. Miratri W Risadini, Moerbono Mochtar, Retno Danarti. Perbandingan
Penggunaan Tablet Albendazol Dengan Krim Permetrin 5% Untuk
Pengobatan Skabies Di Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta. Mdvi
Vol. 44 No. 3 Tahun 2017; 108 - 112

39

Anda mungkin juga menyukai