Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Menurut klasifikasi dalam Helminthologi kedokteran dikenal 31 spesies Nematoda yang


dapat menginfeksi manusia, namum tidak semua spesies memiliki masalah epidemologi
yang luas. Dari sekian banyak ordo yang dikenal dalam class phasmidia, hanya dua ordo
utama yang penting bagi Helminthologi kedokteran yaitu ordo Rhabditida dan ordo
Spirurida. Dari dua ordo ini terdapat 9 superfamilia yang terdiri dari 20 spesies yang
menginfeksi manusia dan yang penting ditinjau dari segi epidemologisnya. Superfamilia
tersebut diantaranya adalah Strongyloides Stercoralis yang akan dibahas pada makalah ini.
Strongyloides Stercoralis merupakan salah satu parasit yang termasuk dalam klasifikasi
nematode usus dalam superfamilia Rhabditoidea, strongyloides stercoralis menyebabkan
penyakit yang disebut strongyloidiasis atau cochen china diarrhea.
Pada penderita yang sering menggunakan obat golongan steroid atau mereka yang
mempunyai gangguan kekebalan tubuh sering meninggal dunia akibat infeksi cacing
strongyloides stercoralis.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Pengenalan cacing strongyloides stercoralis


2. Distribusi geografis strongyloides stercoralis
3. Siklus hidup strongyloides stercoralis
4. Morfologi strongyloides stercoralis
5. Manifestasi klinis
6. Diagnose laboratories
7. Pengobatan
8. Epidemologi
9.
1.3 TUJUAN

1. Mengetahui cacing strongyloides stercoralis.


2. Dapat mengetahui Distribusi geografis strongyloides stercoralis.
3. Mengetahui siklus hiduo serta morfologi dari cacing strongyloides stercoralis.
4. Mengetahui Diagnose laboratories dan pengobatannya.
5. Agar dapat mengetahui Manifestasi klinis dan epidemologi cacing strongyloides stercoralis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 STRONGYLOIDES STERCORALIS


Satu – satunya cacing yang penting dalam ilmu kedokteran dan termasuk dalam super
familia Rhabditoidea familia strongyloididae adalah strongyloides stercoralis dan
strongyloides fuelleborni. Penyakit yang ditimbulikan disebut strongyloidiasis atau cochen
china diarrhea dan nampaknya prevalensinya makin bertambah akhir – akhir ini karena
makin sering digunakannya obat – obat golongan immunosuppressive. Pada awalnya
penyakit ini sering dijumpai pada para tentara yang dikirimkan ke timur jauh selama perang
dunia II.
2.2 DISTRIBUSI GEOGRAFIS STRONGYLOIDES STERCORALIS
Strongyloidiasis sering dijumpai di daerah tropis dan sub tropis serta beberapa daerah
yang beriklim dingin. Sampai saat ini diperkirakan lebih dari 35 juta orang yang terinfeksi
setiap tahunnya. Strongyloidiasis yang disebabkan oleh strongyloides fuelleborni lebih
sering dijumpai di daerah pasifik.
2.3 SIKLUS HIDUP STRONGYLOIDES STERCORALIS
Dikenal empat macam siklus hidup cacing strongyloides stercoralis yaitu :
a. Siklus hidup secara langsung
b. Siklus hidup secara tidak langsung
c. External autoreinfection
d. Internal autoreinfection.
Keempat jenis siklus hidup dapat terjadi bersamaan atau sendiri – sendiri atau
merupakan kombinasi dari keempatnya tergantung pada kondisi hidupnya saat itu.
a. Siklus hidup secara langsung
Siklus hidup secara langsung paling sering terjadi. Siklus ini dimulai dengan larva
rhabditiform yang dikeluarkan dari tubuh host bersama tinja. Larva ini bila tiba dilingkungan
yang cukup baik dan dapat menunjang kelangsungan hidupnya akan berkembang menjadi
larva yang lebih dewasa, yang dinamakan larva filariform, dalam waktu 24 jam. Larva
filariform merupakan larva yang infeksius dan siap menginfeksi host ( manusia ) yang lain.
Biasanya larva ini memasuki tubuh host dengan cara penetrasi kulit untuk selanjutnya
memasuki peredaran darah atau limfe. Dengan mengikuti aliran darah sampailah larva ini di
jantung dan paru. Didalam paru, larva filariform ini tinggal di alveolus selama 10 – 24 hari
kemudian bermigrasi ke saluran nafas. Dari saluran nafas, larva yang telah lebih dewasa ini
bergerak menuju glottis dan bila tertelan sampailah dia dilambung dan akhirnya di usus halus.
Di usus halus larva ini berkembang menjadi cacing dewasa. Biasanya diperlukan waktu
sekitar 28 hari mulai dari larva rhabditiform sampai menjadi cacing dewasa. Cacing betina
menghasilkan telur yang dalam waktu singkat menetas menjadi larva rhabditiform dalam usus
host. ( beberapa pakar mengatakan bahwa cacing betina ini parthenogenesis ). Selanjutnya
siklus hidup cacing dimulai lagi seperti yang diuraikan diatas.
b. Siklus hidup secara tidak langsung
Siklus hidup secara tidak langsung juga dimulai dengan larva rhabditiform yang keluar
bersama – sama tinja host. Apabila larva masuk ke dalam lingkungan yang cocok, ia akan
tumbuh menjadi larva filariform dan selanjutnya menjadi cacing dewasa yang hidup ditanah
sebagai free living hookworm. Cacing free living ini tentu saja dapat menghasilkan larva
rhabditiform dan filariform sebagai generasi free living berikutnya. Disamping itu larva
filariform yang ada dapat pula menginfeksi host baru dan melangsungkan siklus hidup seperti
siklus hidup secara langsung. Siklus hidup secara tidak langsung lebih sering terjadi
dilingkungan yang kurang optimal seperti misalnya di daerah beriklim dingin.
c. Siklus hidup secara external autoreinfection
Siklus hidup secara external autoreinfection terjadi pada kasus tertentu saja. Pada siklus
cara ini, larva rhabditiform yang dikeluarkan bersama tinja akan tinggal di perianal dan
menjadi larva filariform. Larva filariform kemudia akan melakukan penetrasi mukosa
perianal, masuk ke pembuluh darah, jantung, paru dan kembali ke usus untuk menjadi cacing
dewasa.
d. Siklus hidup internal autoreinfection
Siklus hidup ini hanya terjadi pada kasus dengan immune deficient dan orang yang
mendapat banyak obat immune suppressive. Pada siklus ini larva rhabditiform setelah
menetas berkembang menjadi larva rhabditiform yang kerdil. Larva terakhir ini langsung
melakukan penetrasi mukosa usus colon serta rectum dan melanjutkan siklus hidupnya sperti
yang telah diuraikan pada siklus hidup secara langsung. Siklus hidup dengan cara
autoreinfection ini menyebabkan peningkatan jumlah cacing secara cepat dan terjadi tanpa
kontaminasi antara penderita dengan tanah terlebih dahulu. Diperkirakan infeksi dengan cara
ini dapat berlangsung sampai 40 tahun atau lebih.
2.4 MORFOLOGI STRONGYLOIDES STERCORALIS
Cacing jantan yang parasitic maupun yang free living memiliki bentuk yang sama dan
berukuran 0,7 mm. pada bagian interior tubuhnya terlihat adanya buccal cavity yang pendek
atau bahkan tidak ada. Esophagusnya bertipe rhabditiform. Terdapat sepasang spicule yang
diliput gubernaculums. Disamping itu dapat pula ditemukan adanya anal papillae.
Cacing betina yang free living dan yang parasitic dibedakan berdasarkan ukuran. Bentuk
esofagus dan letak vulvanya. Cacing betina yang parasitic berukuran 2,2 x 0,04 mm.
esofagusnya panjang bertipe filariform dan vulvanya terletak di 1/3 anterior dari tubuhnya.
Sedangkan yang free living berukuran lebih kecil yaitu 1 x 0,06 mm, esofagusnya bertipe
rhabditiform dan vulvanya terletak di 2/5 anterior tubuhnya.
Larva rhabditiform strongyloides stercoralis dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk
buccal cavitynya yang pendek dan genital premordialnya yang besar mengandung banyak
sel. Esophagus larva ini sesuai namanya adalah tipe rhabditiform. Larva inilah yang
merupakan diagnostic penyakit strongyloidiasis, karena sering ditemukan dalam tinja.
Bentuk larva ini perlu dibedakan dari larva cacing tambang ( hookworm ) pada umunya.
Larva rhabditiform hookworm memiliki buccal cavity yang panjang dan genital premodial
yang lebih kecil.
Larva filariform cacing ini memiliki buccal cavity yang pendek sperti larva
rhabditiformnya, namun memiliki esophagus bertipe filariform. Ciri khasnya adalah ekornya
yang bercabang ( fork shape tail ). Bentuk ekor yang bercabang inilah yang membedakannya
dari larva filariform hookworm.
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Larva filariform yang menembus kulit sewaktu menginfeksi manusia menimbulkan
perasaan gatal dan erythema. Kelainan kulit yang ditimbulkan dinamakan larva currens
dengan bentuk seperti ereeping eruptions.
Sewaktu larva mencapai paru, larva ini akan menetap selama 10 – 14 hari dan
menimbulkan gejala kelainan paru yang cukup serius seperti misalnya batuk, demam,
eosinifilia, perdarahan dan pneumonia. Kelainan ini sangat mungkin disebabkan oleh proses
allergi. Disamping keadaan ini, septicemia dengan kuman gram negative sering menyertai
gejala – gejala tadi. Oleh karena itu terjadinya meningitis dan pneumonia sering dianggap
sebagai komplikasi dari migrasi larva ditubuh penderita.
Di usus cacing ini menyebabkan kerusakan sebagai akibat mekanis maupun lisis.
Kerusakan selaput lender usus ini menimbulkan perlukaan usus. Bila perjalanan penyakit
cukup lama akibat yang ditimbulkannya berupa fibrosis usus dan tidak jarang steatorrhoea.
Kelainan ini semua dinamakan pan mucosal duodenitis yang ditandai dengan diare yang
mengandung lender, rasa sakit perut seperti kelaparan, animea dan penurunan berat badan.
Diare semacam ini disebut coechen china diarrhea.
Para penderita yang sering menggunakan obat golongan steroid atau mereka yang
mempunyai gangguan kekebalan tubuh sering meninggal dunia akibat infeksi cacing ini.
Hyperinfection dapat terjadi sebagai akibat dari internal autoreinfection. Hyperinfection
pada umunya menyebabkan timbunan larva yang massive di paru penderita dan berakhir
dengan kematian. Dilaporkan juga bahwa 10 – 40% penderita yang mengalami gangguan
kekebalan tubuh tidak menunjukkan adanya eosinofilia. Infeksi kronis dengan cacing ini
tidak jarang menimbulkan ras yang kumat – kumatan di daerah lipat paha.
2.6 DIAGNOSE LABORATORIES
Diagnose strongyloidiasis ditegakkan dengan memeriksa tinja penderita dan
menemukan adanya larva. Namun larva ini harus dibedakan dengan larva cacing tambang (
hookworm ). Cara lain untuk menegakkan diagnose adalah dengan melakukan enterotest.
Pada cara pemeriksaan ini, penderita diminta untuk menelan kapsul gelatin yang diberi
benang nylon. Setelah kapsul tadi mencapai usus halus, benang tadi ditarik dan lendir yang
menempel di benang diperiksa di bawah mikroskop untuk menemukan adanya larva.
2.7 PENGOBATAN
Thiabendazole dan mebendazole sering digunakan orang untuk mengobati
strongyloidiasis. Selain kedua jenis obat tersebut WHO juga merekomendasikan pemberian
albendazole. Disamping itu perlu juga diberikan terapi penunjang seperti misalnya
antibiotika bila diketahui telah terjadi autoreinfection dan obat untuk mengatasi animia.
2.8 EPIDEMOLOGI
Selain penularan melalui tanah, dikenal pada penularan melalui air susu ( transmammary
) dan penularan melalui oral – anal sex. Beberapa pakar mengatakan bahwa anjing dan
kucing sering bertindak sebagai reservoir dalam infeksi pada manusia.
Pencegahan penularan terutama ditujukan pada pengawasan pembuangan tinja manusia,
dan cara berperilaku yang higienis.
Berhubung hyperinfection sering dijumpai pada penderita yang harus diberi obat – obat
corticosteroid, maka sebaiknya terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap terjadinya
infeksi cacing ini dan apabila memang benar terjadi harus dilakukan pengobatan dengan
baik.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Satu – satunya cacing yang penting dalam ilmu kedokteran dan termasuk dalam super
familia Rhabditoidea familia strongyloididae adalah strongyloides stercoralis dan
strongyloides fuelleborni. Penyakit yang ditimbulikan disebut strongyloidiasis atau cochen
china diarrhea.
Dikenal empat macam siklus hidup cacing strongyloides stercoralis yaitu :
1. Siklus hidup secara langsung
2. Siklus hidup secara tidak langsung
3. External autoreinfection
4. Internal autoreinfection.
Thiabendazole dan mebendazole sering digunakan orang untuk mengobati
strongyloidiasis. Selain kedua jenis obat tersebut WHO juga merekomendasikan pemberian
albendazole.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna namun penulis berharap
makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Tidak lupa penulis mengharapkan saran dan
kritik yang sifatnya membangun agar penulisan makalah – makalah kedepannya bisa lebih baik
lagi. Demikian penulis mengucapkan terimakasi.
DAFTAR PUSTAKA

Bashar ,Yazhid. Strongyloides stercoralis.(http://www.atlm.web.id/2013/04/makalah-


strongyloides-stercoralis.html) di akses pada tanggal 16 mei 2018

Muchlas,Fadhlan. Strongyloides stercoralis.(https://crocodilusdaratensis.wordpress.com/2010/08


/17/218/) di akses pada tanggal 16 mei 2018

Muti.2016.pemberantasan penyakit menular.(https://penyakitdalam.wordpress.com/category/ma


nual-pemberantasan-penyakit-menular/strongyloidiasis/) di akses pada tanggal 16 mei 2018

Radian,Ami.2017. cacing tambang.(http://amiradian.blogspot.co.id/2017/05/makalah-tentang-


cacing-tambang-dan.html) di akses pada tanggal 16 mei 2018

Rahmah.2011. strongyloides stercoralis.(http://rahmah20.blogspot.co.id/2011/12/strongyloides-


stercoralis.html) di akses pada tanggal 16 mei 2018
trongiloidiasis merupakan infeksi yang terjadi pada tubuh akibat cacing gelang
spesiesStrongyloides stercoralis. Cacing ini dapat hidup pada tubuh manusia yang dijadikan
inang sebagai parasit dan mengambil nutrisi yang diperoleh manusia melalui makanan. Selain
cacing jenis Strongyloides stercoralis, strongiloidiasis juga dapat disebabkan oleh cacing
jenis Strongyloides fulleborni. Namun, infeksi strongiloidiasis oleh cacing jenis tersebut jarang
terjadi. Cacing Strongyloides umumnya hidup di daerah dengan iklim tropis dan subtropis,
namun tak jarang pula ditemukan di daerah beriklim sedang.

Cacing S. stercoralis dapat menginfeksi manusia melalui kulit oleh larva cacing yang bersifat
sangat infektif. Larva cacing Strongyloides dapat menembus organ tubuh manusia, kemudian
mencapai usus dan bersarang di usus. Setelah mencapai usus, larva cacingStrongyloides akan
bermetamorfosis menjadi cacing dewasa dan bertelur. Telur akan menetas menjadi larva di
saluran pencernaan dan terbawa bersama feses keluar tubuh manusia. Akan tetapi larva cacing
juga dapat menembus kembali lapisan epitel usus dan kulit sekitar anus, yang menyebabkan
infeksi cacing bertambah lama. Siklus hidup larva yang menembus usus ini disebut sebagai
infeksi perpetua atau siklus autoinfeksi.

Gejala Strongiloidiasis
Umumnya strongiloidiasis tidak menimbulkan gejala sama sekali (asimptomatik). Namun, pada
beberapa kasus, penderita infeksi ini mengalami gejala-gejala seperti:
 Nyeri perut bagian atas atau sensasi terbakar.

 Diare dan konstipasi yang bergantian secara berkala.

 Batuk.

 Ruam.

 Bercak merah pada kulit di dekat anus.

 Muntah.

 Kehilangan berat badan.

Penyebab Strongiloidiasis
Strongiloidiasis disebabkan oleh cacing genus Strongyloides, yaitu S. stercoralis serta S.
fulleborni. Siklus hidup cacing Strongyloides yang dapat terjadi pada tubuh manusia adalah
sebagai berikut:

 Larva cacing berukuran kecil menembus kulit dan masuk melalui aliran darah.

 Cacing dapat juga masuk melalui makanan yang tidak dimasak dengan baik yang kemudian
bersarang di usus.

 Cacing bergerak melalui aliran darah dan melewati jantung serta paru-paru.

 Cacing bergerak dari paru-paru menuju tenggorokan dan mulut.

 Cacing bergerak menuju usus halus.

 Cacing bertelur di usus halus yang kemudian menetas menjadi larva.

 Larva cacing dapat dibuang bersama feses dan menjadi cacing dewasa yang dapat menginfeksi
orang lain.

 Larva cacing dapat juga masuk kembali dengan menembus kulit di sekitar anus (autoinfeksi).

Meskipun cacing Strongyloides bersifat parasit, cacing jenis ini juga dapat hidup dan
berkembang biak di tanah tanpa bergantung kepada inang.
Seseorang dapat lebih mudah terkena infeksi strongiloidiasis jika mengalami atau menderita hal-
hal sebagai berikut:

 Memiliki sistem imun yang lemah akibat HIV/AIDS atau infeksi lainnya.

 Tidak mempraktekan pola hidup bersih dan sehat.


 Bepergian ke daerah dengan sanitasi yang buruk.

 Sering berjalan atau bepergian tanpa alas kaki.

 Sering terpapar kotoran manusia secara langsung.

 Memiliki pekerjaan yang di dalamnya ada risiko kontak dengan kotoran manusia atau tanah yang
terkontaminasi, seperti tanah pertanian atau pertambangan.

Selain itu, pada beberapa studi, diketahui bahwa risiko terkena strongiloidiasis lebih besar pada
seseorang yang juga terkena infeksi virus Human T-Cell LymphotropicVirus-1 (HTLV-1). Pada
orang dengan infeksi HTLV-1, akan lebih mudah terkena strongiloidiasis berat jika terjadi
infeksi cacing Strongyloides.

Diagnosis Strongiloidiasis
Untuk memastikan apakah seseorang terkena infeksi cacing Strongyloides atau tidak dapat
dilakukan langkah-langkah berikut ini:

 Aspirasi duodenal. Metode ini dilakukan dengan mengambil cairan dari duodenum, kemudian
dianalisis di laboratorium untuk mendeteksi keberadaan cacingStrongyloides.
 Tes cairan tubuh. Cairan tubuh seperti ingus, ludah, dan cairan paru-paru dapat diambil untuk
mendeteksi keberadaan larva cacing terutama Strongyloides stercoralis.
 Tes Darah. Tes darah untuk menghitung kadar sel darah putih, terutama eosinofil, dapat
dilakukan pada pasien yang diduga mengalami strongiloidiasis. Pada infeksi strongiloidiasis akut
dan kronis, akan terjadi peningkatan jumlah eosinofil. Peningkatan eosinofil dapat terjadi sekitar
10-80 persen pada infeksi strongiloidiasis akut. Sedangkan pada penderita strongiloidiasis kronis,
peningkatan eosinofil hanya terjadi sewaktu-waktu (intermittent). Pemeriksaan kultur darah
sangat dianjurkan bagi penderita strongiloidiasis, karena biasanya juga terdapat koinfeksi dengan
bakteri coli,Klebsiella, dan bakteri enterik lain.
 Tes antigen. Tes antigen yang diambil dari darah dapat menunjukkan terjadinya infeksi
cacing Strongyloides pada pasien. Akan tetapi, metode tes antigen tidak dapat membedakan
infeksi yang sedang terjadi saat ini atau yang pernah terjadi sebelumnya.
 Studi sampel feses. Larva cacing Strongyloides akan ikut terbawa bersama feses keluar dari
tubuh manusia. Feses dari penderita strongiloidiasis dapat diuji dengan menggunakan mikroskop
untuk mengamati keberadaan larva cacing stercoralis dan telur cacing S. fulleborni. Untuk
memperoleh hasil pengamatan sampel feses yang akurat, diperlukan setidaknya tiga kali
pemeriksaan dengan menggunakan tiga sampel feses yang diambil pada waktu berbeda. Hal
tersebut bertujuan agar hasil studi feses lebih akurat karena cacing Strongyloides hanya bertelur
pada waktu tertentu saja.
 Kultur sampel feses. Tujuan dari metode diagnosis ini adalah untuk mendeteksi keberadaan
cacing dengan membiakkan larva atau telur dari feses pada medium khusus untuk cacing.
Cacing Strongyloides dapat bermetagenesis menjadi cacing yang hidup bebas dan dapat
dibiakkan di kultur.

Pengobatan Strongiloidiasis
Tujuan pengobatan strongiloidiasis yang paling utama adalah menghilangkan cacing di dalam
tubuh tanpa menimbulkan komplikasi dan kematian penderita. Penderita strongiloidiasis harus
segera diobati sedini mungkin pada penderita yang terduga mengalaminya, meskipun tidak
menimbulkan gejala.

Perlu diingat bahwa cacing genus Strongyloides merupakan salah satu golongan cacing yang
paling sulit dibasmi. Penderita strongiloidiasias harus diisolasi dari kontak dengan orang lain
agar memperkecil kemungkinan penularan melalui ludah, feses, cairan tubuh dan muntahan.
Penderita juga harus diobati dengan baik untuk mencegah autoinfeksi akibat strongiloidiasis atau
infeksi sekunder akibat patogen lain.
Beberapa jenis obat yang dapat digunakan untuk mengobati penderita strongiloidiasis adalah
sebagai berikut:

 Antelmintik. Terapi antelmintik merupakan pengobatan paling utama dalam menyembuhkan


penderita strongiloidiasis. Beberapa jenis antelmintik yang biasa digunakan adalah:
 Benzimidazole. Obat ini membasmi cacing dengan cara mencegah cacing menghasilkan energi
untuk keperluan tubuhnya. Benzimidazole tidak hanya membunuh cacing dewasa, namun juga
dapat membasmi larva dan telur cacing. Contoh obat ini
adalah thiabendazole, mebendazole, dan albendazole.
 Ivermectin. Obat ini merupakan obat antiparasit berspektrum luas yang juga dapat membasmi
cacing parasit. Dalam membasmi cacing Strongyloides,Ivermectin bekerja dengan cara
menghambat sistem koordinasi, khususnya neurotransmitter organisme
tersebut. Ivermectin memiliki kemampuan membasmi cacing dengan sangat baik hingga
mencapai 97%.
 Cyclosporine A. Cyclosporine A merupakan obat imunosupresan yang juga memiliki
kemampuan antelmintik. Cyclosporine A dapat digunakan pada penerima transplantasi organ
yang diduga juga mengalami infeksi strongiloidiasis.
 Antibiotik. Antibiotik dapat diberikan kepada penderita strongiloidiasis jika diduga juga
mengalami infeksi sekunder, terutama dari bakteri enterik. Antibiotik dapat diberikan selama 2-4
minggu jika penderita menunjukkan gejala meningitis atau bakteremia pada saat pengobatan
strongiloidiasis dilakukan.
Komplikasi Strongiloidiasis
Jika tidak diobati dengan baik, infeksi Strongyloides dapat menimbulkan komplikasi pada
penderitanya. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat strongiloidiasis adalah:

 Pneumonia eosinofilik. Komplikasi ini dapat terjadi sebagai respons tubuh yang memproduksi
eosinofil dalam jumlah tinggi untuk membasmi cacing. Pneumonia eosinofilik dapat terjadi jika
cacing memasuki paru-paru, sehingga eosinofilik di paru-paru akan meningkat dan menyebabkan
pembengkakan organ tersebut.
 Malnutrisi. Cacing Strongyloides yang tinggal di dalam usus dapat menyebabkan usus tidak
dapat menyerap nutrisi dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan penderita kekurangan gizi
akibat penyerapan makanan yang terganggu.
 Strongiloidiasis terdiseminasi. Komplikasi ini terjadi jika cacing Strongyloidestersebar ke
berbagai organ dalam tubuh saat sistem imun terganggu akibat imunosupresan atau infeksi virus.
Strongiloidiasis terdiseminasi dapat terjadi pada saat cacing berganti siklus hidup (metagenesis)
yang menyebabkan cacing masuk ke dalam usus dan memasuki aliran darah kembali. Gejala
strongiloidiasis terdiseminasi adalah nyeri dan pembengkakan abdomen, syok, komplikasi saraf
dan paru-paru, serta bakteremia atau sepsis.

https://www.alodokter.com/strongiloidiasis

trongyloides stercoralis. Organisme memiliki 2 habitat, yaitu sebagai parasit di dalam tubuh
manusia, dan dapat hidup bebas di alam bebas (Free living)

Cacing Strongyloides yang hidup bebas (Free living)


Cacing Strongyloides yang hidup di usus halus manusia

Rhabditiform larva Strongyloides stercoralis

Transmisi

Jika larva filariform penetrasi melalui kulit yang tidak tertutup / dilindungi, bentuk penularan
mirip dengan cacing tambang (Hookworm), Bentuk infektif : Larva filariform
*dapat terjadi autoinfection dengan 2 cara ;
a. External autoinfection : Dimana filariform tidak dikeluarkan dari feses dan menginvasi ulang
daerah usus / kulit di daerah peri anal (cutaneous larva migrans)
b. Internal autoinfection : Dimana cacing menetap di usus dan melakukan invasi serta
memproduksi progeni baru lagi

Patologi dan patogenesis

Siklus hidup :

1. Larva rhabditiform terdapat pada feses halo pasien yang terinfeksi


2. Parasit berkembang menjadi yang hidup bebas (Free living), parasit juga dapat berkembang
menjadi larva filariform yang akan menginfeksi manusia (Nomor 6)
3. Cacing free living dapat bx1ertelur ketika cacing kawin
4. Telur menetas menjadi larva rhabditiform
5. Larva rhabditiform berkembang menjadi larva filariform
6. Larva filariform menginfeksi manusia
7. Larva filariform di dalam tubuh manusia, dapat mengalami migrasi paru ataupun dapat
langsung berada di usus halus
*Migrasi paru (Lung migration) : Usus halus -> Peredaran darah sistemik -> Paru -> Trakea ->
Laring -> Faring -> Menuju mulut dan tertelan -> Esofagus -> Lambung -> dan akhirnya tinggal
di usus halus manusia
8. Cacing dewasa berada di usus halus
9. Cacing dewasa bertelur di bagian mukosa, telur menetas kemudian bermigrasi ke lumen usus
halus
10. Auto infeksi dapat terjadi jika larva rhabditiform di usus besar/ di daerah perianal
berkembang menjadi larva filariform dan menginvasi jaringan usus halus kembali

http://anakfk.weebly.com/strongyloidiasis.html

Anda mungkin juga menyukai