Anda di halaman 1dari 8

STRONGYLOIDIASIS

Definisi
Strongyloidiasis adalah Penyakit yang dimtimbulkan oleh parasit cacing
Strongyloides Stercoralis. Manusia merupakan hospes atau jasad tempat utama
berkembangnya cacing Strongyloides Stercoralis. Nematoda atau cacing penyebab
infeksi strongyloidiasis ini terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik
sedangkan di daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan.

Bentuk atau morfologi dan daur hidup cacing
Hanya Strongyloides Stercoralis dewasa betina yang hidup sebagai parasit
di usus bagian vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform,
halus, tidak berwana dan panjangnya kira-kira 2 mm.
Cara berkembang biak Strongyloides Stercoralis diduga secara partenogenesis
yaitu perkembangan individu dari sebuah telur tanpa melalui fertilisasi. Telur
bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas
menjadi larva rabditiform dan masuk ke rongga usus yang selanjutnya dikeluarkan
bersama kotoran manusia atau tinja. Parasit cacing Strongyloides Stercoralis
mempunyai tiga macam daur hidup yaitu siklus hidup langsung, siklus hidup tak
langsung dan autoinfeksi.

Siklus atau daur hidup langsung

Sesudah 2 sampai 3 hari berada di tanah, larva rabditiform yang berukuran
kira-kira 225.x 16 mikron, akan berubah menjadi larva filariform dengan bentuk
langsing dan merupakan bentuk infektif, panjang badannya kira-kira 700 mikron.
Apabila larva filariform Strongyloides Stercoralis menembus kulit manusia, larva
akan tumbuh dan masuk ke dalam peredaran darah pembuluh darah vena dan
kemudian menuju ke jantung kanan sehingga sampai ke paru-paru. Dari paru-paru
parasit Strongyloides Stercoralis mulai menjadi dewasa dan menembus alveolus,
masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai pada bagian laring terjadi refleks
batuk, akibat reflek batuk ini kemudian parasit tertelan, ksehingga masuk dan
sampai di usus halus bagian atas dan menjadi cacing Strongyloides Stercoralis
dewasa. Cacing Strongyloides Stercoralis betina dapat bertelur kira-kira 28 hari
sesudah menginfeksi manusia.

Siklus Strongyloides Stercoralis tidak langsung
Pada siklus hidup Strongyloides Stercoralis tidak langsung, larva
rabditiform yang berada di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina
bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Panjang
Cacing Strongyloides Stercoralis yang betina 1 x 50 - 75 mikron, yang jantan
berukuran 0,75 x 40 - 50 mikron. Parasit cacing ini mempunyai ekor melengkung
dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing Strongyloides Stercoralis
betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Bentuk Larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang
infektif [dapat menginfeksi manusia] dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva
rabditiform tersebut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak
langsung Strongyloides Stercoralis terjadi apabila keadaan lingkungan sekitamya
optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas
parasit ini, terutama pada tempat-tempat yang bersuhu tropik dengan beriklim
lembab.
Sedangkan pada siklus hidup Strongyloides Stercoralis langsung sering
terjadi pada tempat-tempat atau wilayah atau negara yang lebih dingin dengan
keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut hidup.

Daur hidup Autoinfeki
Larva bentuk rabditiform Strongyloides Stercoralis kadang-kadang
menjadi larva bentuk filariform pada usus manusia atau pada daerah sekitar anus
(perianal). Apabila larva bentuk filariform ini menembus mukosa usus atau kulit
perianal, maka dapat terjadi suatu daur hidup perkembangan cacing bentuk di
dalam hospes. Adanya daur hidup autoinfeksi strongyloides strepcoralis ini dapat
menyebabkan strongyloidiasis kronis atau menahun pada penderita yang terinfeksi
yang hidup di daerah nonendemik.

Patologi penyakit dan gejala klinik strongyloidiasis
Apabila larva bentuk filariform dalam jumlah yang besar menembus kulit
manusia, maka akan timbul kelainan kulit yang dinamakan "creeping eruption"
yang ditandai dengan adanya gejala klinik berupa rasa gatal yang hebat.
Strongyloides strepcoralis dewasa dapat menyebabkan kelainan pada
mukosa usus. Infeksi ringan Strongyloides kebanyakan kasus terjadi tanpa
diketahui oleh penderita sebagai hospes dari strongyloides strepcoralis karena
infeksi ringan strongyloidiasis tidak menimbulkan gejala dan tanda klinis
penyakit. Infeksi strongyloidiasis sedang dapat menimbulkan gejala dan tanda
seperti rasa sakit seperti tertusuk-tusuk pada daerah epigastrium tengah dan tidak
menjalar. Mungkin juga akan disertai rasa mual dan muntah; diare dan konstipasi
saling bergantian. Pada strongyloidiasis dapat terjadi kemungkinan terjadinya
autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada kejadian hiperinfeksi cacing strongyloides
dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh saluran
penceranaan atau traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat
atau organ dalam seperti pada paru-paru, hati, kandung empedu, dll). Hasil
pemeriksaan laboratorium pada darah penderita mungkin ditemukan eosinofilia
[kekurangan sel eosinofil darah putih] atau hipereosinofilia [kelebihan sel
eosinofil] meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.

Penegakan diagnosis Strongyloidiasis
Untuk menegakkan diagnosis bahwa seseorang terinfeksi Strongyloidiasis
oleh karena strongyloides stercoralis tidak hanya dari gejala dan tanda klinik yang
dirtasakan penderita. Karena Strongyloidiasis tidak memberikan gejala dan tanda
klinik yang nyata. Diagnosis pasti Strongyloidiasis adalah apabila ditemukan larva
rabditiform dalam tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum.
Dengan biakan tinja atau feses selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam akan dapat
menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa strongyloides stercoralis yang
hidup bebas.

Pengobatan infeksi Strongyloidiasis
Hingga saat ini para dokter memberikan obat cacing tiabendazol sebagai
pilihan pengobatan cacingan strongyloidiasis. Perlu juga dilakukan pengobatan
untuk ngobati orang yang mengandung parasit strongyloides, meskipun kadang-
kadang tidak atau tanpa gejala dan tanda apapun. Hal ini penting untuk mencegah
dan menghindari terjadinya autoinfeksi. Selain itu perlu juga untuk menjaga
kebersihan anus dan mencegah terjadinya konstipasi.

Prognosis Penyakit Strongyloidiasis
Pada kasus infeksi berat strongyloidiasis dapat menyebabkan kematian.

Penyebaran dan pencegahan penyakit cacing Strongyloides
Daerah-daerah yang panas, dengan kelembaban tinggi dan kebersihan atau
sanitasi yang kurang, adalah merupakan tempat-tempat yang sangat mendukung
dan menguntungkan bagi cacing Strongvloides sehingga dapat terjadi daur hidup
yang tidak langsung.
Tanah yang mendukung dan baik untuk pertumbuhan larva Strongyloides
adalah tanah yang gembur, berpasir dan humus.
Upaya Pencegahan terhadap infeksi cacing strongyloidiasis sangat
tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan usaha untuk melindungi kulit dari
tanah yang terkontaminasi cacing ini, misalnya dengan memakai alas kaki atau
sepatu. Usaha pendidikan dan penerangan kepada masyarakat mengenai cara
penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting untuk
pencegahan penyakit strongyloidiasis.


SCHISTOSOMIASIA JAPONICUM

Pada manusia ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum,
Schistosoma mansoni, dan Schistosoma haematobium.
Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang
hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.

Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan
sebagai hospes reservoar.
Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau
bilharziasis.

Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman,
berukuran 9,5-19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada
kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di
bagian ventral badan terdapat tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya.
Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina,
sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing jantan.
Cacaing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0-26,0 mm x 0,3
mm. Pada umumnya uterus berisi 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup
di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat dengan
permukaan selput lendir usus atau kandung kemih.
Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak
mempunyai operkulum. Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi
duri dan tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95 135 x 50 60 mikron.
Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan
akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian ditemukan di
dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air; dan larva yang keluar disebut
mirasidium.
Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong
air, tidak terdapat hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh
keong air dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan kemudian
menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk infektif cacing
Schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada
waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang
diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit,
larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah
masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri; kemudian masuk
ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan menjadi
dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus
atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur setelah berkopulasi.

Schistosoma Japonicum
Hospes dan Nama Penyakit
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing,
kucing, rusa, tikus sawah (rattus), sapi, babi rusa, dan lain-lain.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai,
Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.
Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau
Lindu, dan Lembah Napu.

Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira
1,9 cm, hidupnya di vena mesenterika superior. Telur ditemukan di dinding usus
halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati, paru, dan otak.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada
stadium I adalah gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai demam
hepatomegali dan eosinofilia tinggi.
Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau
stadium menahun ditemukan sirosis hati dna splenomegali; biasanya penderita
menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-
lain.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau
jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk
membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT
(Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT
(Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme
linked immuno sorbent assay).

Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi
Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu
penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain
sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah
(rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga
mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis
Lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di
daerah danau Lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi,
atau di pinggir parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.
Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan
sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan
oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan
hasil cukup baik. Prevalensi dari kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5%
setelah pengobatan

Anda mungkin juga menyukai