Anda di halaman 1dari 9

ASKARIASIS

A. Definisi
Askariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides.

B. Epidemiologi
1. Kosmopolitan dalam distribusi, terutama pada daerah tropis seperti India.
2. Diperkirakan 1,47 miliar orang terinfeksi secara global di mana 120 – 250 juta bergejala.
3. Survei yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi
A.lumbricoides masih cukup tittggi, sekitar 60-90%.

C. Etiologi

Askariasis disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides. Cacing ini merupakan soil-
transmitted nematode dengan stadium infektifnya adalah telur matang yang mengandung
L2.
Penularan ascariasis dapat tejadi melalui beberapa jalan yaitu masuknya telur yang
infektif ke dalam mulut bersama makanan atau minuman yarg tercemar, tertelan telur
melalui tangan yang kotor, dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur
infektif tersebut akar menetas pada saluan penapasan bagian atas.

D. Faktor Resiko
1. Anak-anak
2. Higienitas buruk
3. Malnutrisi

E. Gejala Klinis
1. Gejala akibat migrasi larva
Efek patogen dari migrasi larva adalah karena reaksi alergi dan bukan karena keberadaan
larva. Paparan awal Ascaris lumbricoides biasanya tanpa gejala.
a. Gejala pulmonal
Gejala pulmonal (paru-paru) diamati di minggu kedua setelah menelan telur.
Larva yang bermigrasi di paru-paru akan memicu respons hipersensitivitas yang
diperantarai imun. Gejala umum termasuk batuk tidak produktif, rasa tidak nyaman
di dada, dan demam.
b. Pneumonia eosinofilik (loeffler’s syndrome)
Pada kasus yang parah, pasien akan mengalami dyspnea dan infiltrasi akan
terlihat pada rontgen dada bersama dengan eosinofilia perifer.
2. Gejala akibat cacing dewasa
a. Asimptomatik
Umumnya terjadi pada kasus infeksi yang ringan.
b. Malnutrisi
Efek malnutrisi dapat timbul apabila cacing sudah dalam jumlah yang besar,
terkadang lebih dari 500. Cacing menempati sebagian besar saluran usus dan
mengganggu pencernaan & penyerapan makanan. Hal ini akan menyebabkan
malnutrisi kronis dan retardasi pertumbuhan, khususnya pada anak-anak.
c. Efek mekanis
Efek mekanis disebabkan oleh massa cacing yang menyebabkan oklusi luminal.
Cacing dewasa akan bersarang di bagian atas usus dan mempertahankan posisi akibat
tonus otot tubuh cacing. Cacing akan merangsang peristaltik refleks dan
menyebabkan nyeri kolik yang berulang. Massa cacing akan mengisi lumen dan
menyebabkan volvulus, intususepsi, atau obstrukti dan perforasi usus.
d. Komplikasi ekstraintestinal

Cacing dapat naik ke kerongkongan, trakea, dan paru-paru. Cacing yang


bermigrasi menyebabkan obstruksi atau abses paru. Apabila cacing bermigrasi ke
bawah, dapat menyebabkan apendisitis obstruktif. Peritonitis juga dapat terjadi
apabila terjadi perforasi usus.
e. Reaksi alergi/efek toksik
Manifestasi alergi seperti demam, urtikaria, edema angioneurotik, dan
konjungtivitis dapat terjadi karena cairan beracun seperti ascaron atau ascarase yang
dikeluarkan oleh cacing dewasa.

F. Diagnosis
1. Deteksi parasit
a. Deteksi telur
 Metode natif (direct slide)
Metode natif (direct slide) merupakan gold standard pemeriksaan kualitatif
tinja karena sensitif, murah, mudah dan pengerjaan cepat, namun kurang sensitif
pada infeksi ringan. Telur yang dibuahi maupun tidak dibuahi dapat dideteksi
dengan pemeriksaan tinja dengan saline dan yodium.
 Metode apung (floatation method)
Metode apung merupakan metode dengan dasar telur cacing disuspensikan
dalam cairan dengan berat jenis lebih tinggi dan telur akan mengapung. Larutan
yang biasa digunakan adalah NaCl atau kadang-kadang MgSO 4. Metode ini
hanya dapat melihat infeksi dengan telur yang dibuahi karena telur yang tidak
dibuahi tidak dapat mengapung di atas larutan garam jenuh.
b. Cacing dewasa
Kadang-kadang, cacing dewasa dapat dideteksi di tinja atau dahak pasien dengan
mata telanjang. Barium meal Xray dari GIT dapat menunjukkan cacing dewasa di
usus. Selain itu, ultrasonografi (USG) atau cholangiopancreatography harus
dilakukan untuk mendeteksi cacing dewasa di ekstraintestinal.
c. Larva
Pada tahap awal infeksi, saat larva bermigrasi menyebabkan sindrom Loeffler,
diagnosis dapat dibuat dengan:
 Adanya larva dalam dahak
 Adanya kristal Charcot-Leyden dalam dahak

 Rontgen dada dapat menunjukkan infiltrat paru yang tidak merata.


2. Pemeriksaan serologi
Antibodi dapat dideteksi dengan metode berikut.
a. ELISA
b. IFA (Tes antibodi fluoresen tidak langsung)
c. IHA (Uji hemaglutinasi tidak langsung)
d. Uji presipitasi mikro menggunakan larva
Serologi berguna pada fase pulmonal (jika pemeriksaan mikroskopis tinja gagal) dan
untuk tujuan seroepidemiologis

G. Tatalaksana
Beberapa obat yang aman dan efektif sekarang tersedia untuk pengobatan ascariasis,
antara lain sebagai berikut.
1. Pyrantel pamoat 11mg/kg sekali; maksimum 1 g
2. Albendazole (400 mg sekali)
3. Mebendazole (100 g dua kali sehari selama 3 hari atau 500 mg sekali), atau
4. Ivermectin (150-200 mg/kg sekali).
5. Obstruksi usus parsial harus ditangani dengan nasogastric suction , pemberian cairan
intravena dan pemberian piperazin melalui selang nasogastrik.
6. Obstruksi total memerlukan pembedahan segera intervensi.

H. Prognosis
Pengobatan dosis tunggal dengan albendazole memiliki tingkat kesembuhan >95% dalam
sebagian besar kasus. Dibutuhkan sanitasi yang baik untuk mencegah terjadinya
kekambuhan.

I. Pencegahan
1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanarnan.
2. Mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan/mempersiapkan makanan
3. Sebelum mengonsumsi sayuran segar (mentah), dicuci bersih dan disiram menggunakan
air hangat terlebih dahulu.

Referensi
1. Apurba Sankar Sastry, et al. Essentials of Medical Parasitology. New Delhi Etc., Japee
Brothers Medical Publishers, Cop, 2014.
2. C K Jayaram Paniker, and Sougata Ghosh. Paniker’s Textbook of Medical Parasitology.
New Delhi, Jaypee/The Health Sciences Publisher, 2018.
3. de Lima Corvino, Daniela F., and Shawn Horrall. “Ascariasis.” PubMed, StatPearls
Publishing, 2020, www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430796/.
4. Beeching, Nick. Peters’ Atlas of Tropical Medicine and Parasitology. Elsevier, 2018.
5. Misra, Vatsala, et al. “Significance of Charcot Leyden Crystals in Hepatic Aspirates.”
Journal of Cytology / Indian Academy of Cytologists, vol. 26, no. 2, 2009, pp. 77–79,
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3168024/, 10.4103/0970-9371.55227. Accessed 5
July 2021.
6. Putra, Teuku Romi Imansyah. “Ascariasis.” Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, vol. 10, no. 2,
2010.
7. Radswiki, T., Bandura, P. Ascariasis. Reference article, Radiopaedia.org. (accessed on 10
Aug 2022) https://doi.org/10.53347/rID-11406
8. Regina, Marieta Puspa, et al. “PERBANDINGAN PEMERIKSAAN TINJA ANTARA
METODE SEDIMENTASI BIASA DAN METODE SEDIMENTASI FORMOLETHER
DALAM MENDETEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH.” JURNAL KEDOKTERAN
DIPONEGORO, vol. 7, no. 2, May 2018, pp. 527–537. Accessed 10 Aug. 2022.
9. Sungkar, Saleha. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 2017. 4th ed., Jakarta, Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Taylor, M A, et al. Veterinary Parasitology. 4th ed., Chichester, Wiley Blackwell, 2016.

Anda mungkin juga menyukai