Anda di halaman 1dari 219

MODUL KESADARAN MENURUN

&
NYERI PINGGANG

KELOMPOK III
UWAYS AL-QARNI BAYAN (09401711003)
CHENTIA LELY GAMGENORA (09401711004)
INDI BELA ANUGRA (09401711023)
FAREL ABUKARIM (09401711025)
NAISYAH MARADJABESSY (09401711027)
ANDIKA ISRA NUGRAHA (09401711029)
VIVI CHRISTIN LONGGORUNG (09401711030)
DARA PUSPITA IRBANI (09401711034)
RATYH JIHAN SAFIRA (09401711042)
PUTRI ASSAYIDATINA F. ABAS (09401711043)

KEGAWATDARURATAN DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2019

PENDAHULUAN
Modul ini merupakan bagian dari Blok Kegawatdaruratan dan Traumatologi yang diberikan
untuk mempermudah mahasiswa dalam kegiatan tutorial. Pada modul ini diberikan skenario
yang menunjukkan suatu gejala klinik dari kondisi pasca trauma pada beberapa penyakit.
Mahasiswa diharapkan mendiskusikan bukan hanya pada inti masalah tapi juga semua hal yang
berhubungan dengan permasalahan tersebut, misalnya patomekanisme penyakit yang
memerlukan pengetahuan anatomi, histologi, fisiologi, serta proses biokimia yang terjadi. Hal
yang ditekankan disini adalah bagaimana memecahkan masalah yang diberikan dan bukan untuk
diagnosisnya.

Mahasiswa harus membaca Tujuan Instruksional Umum (TIU) terlebih dahulu sehingga
diharapkan diskusi tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran serta tercapainya kompetensi
yang diharapkan. Bahan untuk diskusi dapat diperoleh dari bahan perkuliahan yang telah
diberikan serta referensi yang diberikan oleh masing-masing dosen pemberi kuliah.

Penyusun mengharapkan modul ini dapat membantu mengarahkan mahasiswa


dalammemecahkan masalah dan menegakkan diagnosa penyakit sistem terkait serta bagaimana
penanganannya.

Ternate, 10 Januari 2019

Penyusun

dr. Marwa Widuri Anwar

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

1
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan
menjelaskan tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan kesadaran menurun dan
nyeri pinggang post trauma, kemudian menilai, dan melakukan tindakan yang cepat dan tepat.

STRATEGI PEMBELAJARAN

1. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor.


2. Diskusi kelompok tanpa tutor.
3. Konsultasi pada pakar.
4. Kuliah khusus dalam kelas.
5. Aktifitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan menggunakan buku
ajar, majalah, slide, tape atau video, internet.
6. Latihan keterampilan klinik di Laboratorium.

SKENARIO
Skenario 1
Seorang laki-laki 25 tahun dibawa ke Puskesmas dalam keadaan tidak sadar. Setelah tiba di
Puskesmas, dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasien, namun pasien tidak memberikan respon
dan terdengar suara mendengkur dengan frekuensi napas 42 kali/menit. Wajah pasien terlihat pucat
dan nadi radialisnya tidak teraba. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan jejas pada pelipis kiri sampai ke
bahu kiri. Menurut keterangan orang yang mengantar, pasien mengalami kecelakaan motor.

Skenario 2

Seorang laki-laki 30 tahun dibawa ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri
pinggang dan perut bagian bawah serta tidak dapat berkemih. 6 jam sebelumnya pasien
menabrak pohon. Bagian pinggang kiri pasien terbentur pada setang motor dan jatuh dengan
panggul membentur tanah. Dilakukan tindakan kateterisasi namun gagal.

TUGAS MAHASISWA

2
1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa mendiskusikan hal
tersebut dalam satu kelompok diskusi yang terdiri dari 12-15 orang, dipimpin oleh seorang
ketua dan seorang penulis yang dipilih oleh anggota kelompok mahasiswa sendiri. Ketua
dan penulis ini sebaiknya berganti setiap kali diskusi. Diskusi kelompok ini bisa dipimpin
oleh seorang tutor atau secara mandiri.
2. Melakukan aktifitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan
menggunakan buku ajar, majalah, slide, tape atau video, internet dan sebagainya, untuk
mencari informasi tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri tanpa tutor, melakukan curah pendapat
bebas antar anggota kelompok untuk menganalisis atau mensintesis informasi dalam
menyelesaikan masalah.
4. Berkonsultasi pada nara sumber yang ahli pada permasalahan dimaksud untuk
memperoleh pengertian yang lebih mendalam (tanya pakar).
5. Mengikuti kuliah khusus (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang belum
jelas atau tidak ditemukan jawabannya.

PROSES PEMECAHAN MASALAH

Dalam diskusi kelompok dengan memakai metode curah pendapat., mahasiswa


diharapkan dapat memecahkan masalah yang terdapat dalam skenario ini, yaitu dengan
mengikuti 7 langkah penyelesaian masalah di bawah ini :

1. Mengklarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, kemudian tentukan
kata/kalimat kunci skenario
2. Mengidentifikasi dasar masalah skenario diatas dengan membuat beberapa
pertanyaan penting
3. Melakukan analisis dengan mengklasifikasi semua informasi yang didapat
4. Melakukan sintesis informasi yang terkumpul
5. Menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh kelompok mahasiswa
atas kasus diatas bila informasi belum cukup.
Langkah 1 s/d 5 dilakukan dalam diskusi mandiri dan diskusi pertama bersama tutor.
6. Mahasiswa mencari tambahan informasi tentang kasus diatas diluar kelompok
tatap muka
7. Mahasiswa melaporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi baru yang
ditemukan Langkah 7 dilakukan dalam kelompok diskusi dengan tutor Keterangan:
Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi yang diperlukan
untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6 bisa diulangi, dan selanjutnya dilakukan lagi
langkah 7.

Kedua langkah diatas bisa diulang-ulang pada tutorial atau diluar tutorial, dan setiap akhir
diskusi tentukan tujuan pembelajaran berikutnya. Setelah informasi dirasa cukup maka pelaporan
dilakukan dalam diskusi akhir, yang biasanya dilakukan dalam bentuk diskusi panel dimana
semua pakar duduk bersama untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang masih belum jelas.

3
JADWAL KEGIATAN

Sebelum dilakukan pertemuan antara kelompok mahasiswa dan tutor, mahasiswa dibagi
menjadi kelompok-kelompok diskusi yang terdiri dari 9-10 orang tiap kelompok. Modul
dibagikan kepada mahasiswa, mahasiswa telah membahas sKenario (pertanyaan dan jawaban)
sebelum masuk ke dalam tutorial

Pendahuluan dilakukan di kelas besar dengan tatap muka satu arah untuk penjelasan dan
tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara menyelesaikan modul, dan
membagi kelompok diskusi. Pada pertemuan buku modul dibagikan.
1. Pertemuan pertama : diskusi tutorial 1Tujuan: untuk melaporkan informasi baru yang
diperoleh dari pembelajaran mandiri dan melakukan klasifikasi, analisa dan sintese dari
semua informasi skenario 1
2. Pertemuan kedua : diskusi tutorial 2 seperti pada tutorial 1. Tujuan: untuk melaporkan
informasi baru yang diperoleh dari pembelajaran mandiri dan melakukan klasifikasi, analisa
dan sintese dari semua informasi skenario 2
3. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari informasi baru yang
diperlukan,
4. Diskusi mandiri ; dengan proses sama dengan diskusi tutorial. Bila informasi telah
cukup, diskusi mandiri digunakan untuk membuat laporan penyajian dan laporan tertulis.
Diskusi mandiri bisa dilakukan berulang-ulang diluar jadwal.
5. Pertemuan keempat : diskusi panel dan tanya pakar. Tujuan: untuk melaporkan hasil
analisa dan sintese informasi yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah pada skenario.
Bila ada masalah yang belum jelas atau kesalahan persepsi, bisa diselesaikan oleh para pakar
yang hadir pada pertemuan ini. Laporan penyajian dibuat oleh kelompok dalam bentuk
sesuai urutan yang tercantum pada buku kerja.

6. Masing-masing mahasiwa kemudian diberi tugas untuk menuliskan laporan tentang salah
satu penyakit yang memberikan gambaran seperti pada skenario yang didiskusikan pada
kelompoknya. Laporan ditulis dalam bentuk laporan penyajian dan laporan lengkap.

4
BAHAN BACAAN DAN REFERENSI

1. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular


Care, volume 102, Number, August 22, 2000
2. Kattwinkel, John (ed)., Textbook of Neonatal Resuscitation, 4th ed., American
Academy of Pediatrics, diterjemahkan dalam Buku Panduan Resusitasi Neonatus, Edisi ke 4,
Perinasia, Jakarta, 2001
3. Tintinalli, JE. (ed), Kelen, GD., Stapczynski, JS., Emergency Medicine, International
ed., 5th edition, McGraw-Hill, 2000
4. Amcan college of surgeons, Advance Trauma Life Support Program for Doctors, 6th
edition, USA, 1997
5. Rahardjo, Eddy, dkk, Seri PPGD Penanggulangan Penderita Gawat Darurat/General
Emergency Life Support (GELS), Materi Teknis Medis Standar (ABCDE), Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik, Dept. Kesehatan RI, 2003

5
DOSEN
PENGAMPU
NO. NAMA DEPARTEMEN KETERANGAN
1. dr. Marhaeni Hasan, Ilmu Kesehatan Anak Dekan
Sp.A, MM.
2. dr. Dwi Handoko, Sp.P Fisiologi / Ilmu Penyakit Paru
3. dr. Ferdian Hidayat, Anatomi / Ilmu Bedah
Sp.B
4. dr. Abdul M. Pattiiha, Ilmu Bedah Koordinator Blok
Sp.B
5. dr. Diadon Mitaart, Anatomi / Ilmu Bedah
Sp.B
dr. Fasni Halil, M.Kes, Histologi / Patologi Klinik
6.
Sp.PK
dr. Andi Sitti Nur Biokimia / Patologi Klinik
7.
Afiah, M.Kes, Sp.PK
8. dr. Dewi Damayanti, Anatomi/ Ilmu Radiologi
Sp.Rad
9. dr. Husein Assagaf, Ilmu Kesehatan Anak
M.Kes, Sp.A
10. dr. Endang Kristanti, Neurologi
Sp.S
11. Dosen UNHAS Ortopedi, Anestesi, Mata
12. dr. Wahyunita Do Histologi / Mikrobiologi Sekretaris Blok
Toka
13. dr. Nurmala Dewi MEU
14. dr. Fera The, M.Kes Biokimia/ MEU
15. dr. Dian Megasari Anatomi / MEU
16. dr. Nur Upik En Fisiologi / MEU
Masrika

I. KLARIFIKASI KATA SULIT

6
-

II. KLARIFIKASI KATA / KALIMAT KUNCI

Skenario I
1. Seorang laki-laki 25 tahun
2. keadaan tidak sadar
3. Hasil pemeriksaan:
 Pasien tidak memberikan respon
 Terdengar suara mendengkur
 Frekuensi napas 42 kali/menit
 Wajah pucat
 Nadi radialis tidak teraba
-Pemeriksaan fisik : jejas di pelipis kiri sampai di bahu kiri
-Pasien mengalami kecelakaan motor.

Skenario II
1. Seorang laki-laki 30 tahun
2. dibawa ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri pinggang dan perut bagian bawah
3. tidak dapat berkemih
4. 6 jam sebelumnya pasien menabrak pohon
5. Bagian pinggang kiri pasien terbentur pada setang motor
6. jatuh dengan panggul membentur tanah
7. Dilakukan tindakan kateterisasi namun gagal

7
III. PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING

Skenario I
1.Bagaimana Penanganan Awal Dan Lanjutan Dari Skenario ?
2. Jelaskan Neuroanatomi Dari Skenario ?
3. Sebutkan Dan Jelaskan Kualitas Kedaran ?
4. Jelaskan Patomekanisme Penurunan Kesadaran ?
5. Jelaskan Etiologi Penurunan Kesadaran ?
6. Jelaskan Diferensial Diagnosis Dari Skenario?

Skenario II
1. Jelaskan anatomi pelvis dan regio abdomen?
2. Bagaimana penanganan awal dan kegawatdaruratan ortopedi dari skenario?
3. Jelaskan patomekanisme dari skenario?
4. Apa penyebab retensi urin dan bagaimana penatalaksanaanya?
5. Apa diferensial diagnosis dari skenario ?
 Definisi ?
 Etiologi ?
 Manifestasi klinik ?
 Langkah diagnosis ?
 Penatalaksanaan ?
 Komplikasi ?
 Prognosis ?

IV. JAWABAN PERTANYAAN SKENARIO I

8
1. Bagaimana penatalaksanaa awal pada skenario ?
Primary survey :

Tujuan dari primary survei adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera
masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primari survey antara lain
(fulde, 2009):
1) Airway maintenance dengan cervical spine protection
2) Breathing dan oxygenation
3) Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4) Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5) Exposure dengan kontrol lingkungan

A. AIRWAY
Periksa apakah terdapat sumbatan jalan napas atau tidak, terdapat suara napas tambahan
atau tidak dan apakah terdapat benda asing yang dapat membuat jalan napas tersumbat.
Pengelolaan Gangguan Pada Jalan Napas

Tanpa Menggunakan Alat:

1. Manipulasi Dengan Menggunakan Tangan


HEAD TILT
- Baringkan korban terlentang
- Letakkan: telapak tangan menahan dahi korban ke belakang
- Letakkan jari telunjuk dan jari tengah menahan dagu kedepa
- Evaluasi jalan napas.

CHIN LIFT
- Jari jari telunjukdan jari tengah diletakkan di bawah rahang
- Secara hati-hati dagu diangkat ke atas untuk membawa kearah depan

9
- Ibu jari tangan yang sama menekan bibir bawah untuk membuka mulut
- Ibu jari dapat juga diletakkan dibelakang gigi seri (incisor) bawah
- Secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat

Tekhnik pembebasan jalan napas head tilt/ chin lift.

JAW THRUST
 Baringkan korban terlentang
 Sudah dilakukan head tilt dan chin lift namun jalan napas belum bebas sempurna
 Dorong ramus vertikalis mandibula kiri dan kanan ke depan
 Sehingga barisan gigi bawah di depan barisan gigi atas
 Evaluasi jalan napas

2. MEMBERSIHKAN JALAN NAPAS DARI BENDA ASING


BENDA ASING CAIR:
 Baringkan korban, terlentang atau miring.
 Bila mungkin kepala lebih rendah.
 Dengan sapuan jari tangan dan mempergunakan bahan yang dapat meresap cairan
misalnya kain, kasa , kapas, tissue.
 Memakai pipa , hisap dengan mulut.
 Memakai pipa hisap dengan alat pengisap mekanik, elektrik.
3. Dengan alat bantu
 Pipa orofaring
 Pipa nasofaring
 Intibasi endotrakeal
 Krikotirotomi

10
 Trakeostomi

B. BREATHING
Apakah pasien bernapas cukup?
Apakah ada pengembangan dada?
Pengembangan simetris atau tidak?

Pertukaran Udara Harus Adekuat, dengan :


• memaksimalkan oksigenasi
• memaksimalkan pengeluaran CO2

Perlu pemeriksaan fisis yang tepat dan cepat pada :


• Paru
• Dinding Dada
• Diafragma

Alat napas buatan:


1. Mulut penolong ke mulut / hidung korban
2. Mulut penolong ke masker pada korban
3. Ambu-bag / self inflating bag
4. Jackson-Reese, Water’s dan alat anestesi dengan reservoir O2
5. Ventilator

C. CIRCULATION
Periksa TD, Nadi, CRT, warna kulit, turgor kulit, pendarahan dan produksi urine.

Volume Darah dan Curah Jantung

a. Tingkat Kesadaran
Perfusi otak terganggu

b. Skin Colour
Vasokontriksi:
• Basah/dingin, pucat/kelabu
• Capillary Refill Time

Pengembalian volume sikulasi yang efektif dan adekuat dengan menentukan derajat
kehilangan cairan

<5% Riwayat + Fisis - Rehidrasi


melalui
oral
Turgor kulit Mukosa Laju jantung Tekanan darah Jalur Terapi
mulut
7%  Kering N/ N Jalur

11
intravena
perifer
10%  Kering   Jalur
intravena
perifer
12%  Kering   Pertimbang
kan Kateter
Vena
Sentral

Tahap terapi :

 Darurat
 penggantian
 Rumatan/ pemeliharaan

D. DISABILITY (STATUS NEUROLOGI)


- AVPU (Cepat Dan Sederhana)
A. ALERT
B. Responds To VOCAL
C. Responds To PAIN
D. UNResponsive
- Refleks Pupil

E. EXPOSURE
Evaluasi Dari Kepala Sampe Kaki

SECONDARY SURVEY

1. ANAMNESIS

Setiap pemeriksaan yang lengkap membutuhkan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.


Selain itu riwayat AMPLE perlu ditanyakan.

Riwayat “AMPLE” terdiri atas :


A : Alergi
M : Medication
P : Past illness ( penyakit penyerta ) / pregnancy
L : Last meal
E :Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan riwayat
perlukaan/ cedera.

12
2. PEMERIKSAAN FISIS

 Inspeksi : Multiple trauma : jejas pada pelipis kiri , bahu kiri.


 Palpasi : Adanya krepitasi pada daerah tulang yang mengalami trauma.
Kemungkinan di daerah pelipis, dan sekitar clavicula yang mengalami fraktur. Terdapat
juga nyeri pada daerah yang fraktur.
 Perkusi : terdengar redup pada daerah yang mengalami perdarahan intaabdominal
 Auskultasi : suara tambahan serta irama denyut jantung pada gangguan hemodinamik,
serta menghilangnya suara bising usus.

Head:
Observasi dan palpasi, ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani diperiksa untuk
melihat adanya darah atau CSF. Battle s sign (ecchymosis di mastoid) yg menunjukkan
adanya Fraktur Basis Cranii. Serta diperiksa dan dicari Cedera di daerah Maxillofacial dan
cervical spine.
Neck:
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cer vical. Rontgen cervical lateral (C1-C7) harus
dikerjakan.

Chest:
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta t horaks foto. Diperiksa dan dicari Pelebaran
mediastinum, fractur costae, flail segment, haemothorax, pneumothorax, dan contusio paru.

Abdomen:
fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan intervensi bedah.
Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, Ct-Scan, atau laparotomi cito harus segera
diambil.

Rectal:
Adanya darah menunjukkan perforasi rektum, prostat letaktinggi menandakan adanyaruptur
uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rektum menunjukkan adanya fraktur pelvis.

Examination of Extremities:
Dicari adanya cedera vaskular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakanindikasi dilakukannya aortografi.

Neurologic examination:
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebralhemispheric, brainstem dan spinallevels

Re-Evaluasi
1.Penurunan keadaan dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus ,
sehingga gejala yg baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditanganisecepatnya.

13
2. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin org dewasasebaiknya
dijaga ½ cc/kgBB/jam, pd anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderitadalam keadaan kritis dapat
dipakai pulse oximeter dan end tidal CO2 monitoring.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiat atau anxiolitika
harusdiberikan secara I.V dan sebaiknya jangan I.M.

Terapi Definitif
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untukkeputusan
merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila keputusanmerujuk
penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok
untukpenanganan pasien.

Rujukan
Bila cedera penderita terlalu sulit untuk dapat ditangani , penderita harus dirujuk.Proses
rujukan ini harus dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan , karena menundarujukan
akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita. Tentukan : indikasi rujukan.
prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan, dan cara komunikasi dg dokter
yang akan dirujuk.

Transportasi
Syarat Transportasi PenderitaMemenuhi syarat
- Gangguan Pernapasan & CV t elah ditanggulangi Resusitasi bila perlu
- Perdarahan dihentikan
- Luka ditutup
- Patah tulang difiksasi Selama Tranportasi

Monitor:
- Kesadaran
- Pernapasan
- Tekanan Darah dan Denyut nadi
- Daerah perlukaan

Syarat Alat Transportasi Kendaraan


- Darat (Ambulance,Pick up, truck ,gerobak ,dll)
- Laut (perahu,rakit,kapal, perahu motor dll)
- Udara (Pesawat terbang,helikopter)
Yang terpenting adalah:
-Penderita dapat terlentang
-Cukup luas minimal untuk 2 penderita & petugas dapat bergerak leluasa
- Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infus dapat jalan
- Dapat melakukan komunikasi ke sentral komunikasi dan rumah sakit

14
- Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulan lain

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Radiologi : CT-SCAN kepala, foto servical lateral, foto thorax AP, foto abdomen, foto
pelvis
 DPL (Diagnostic peritoneal lavage): untuk menilai trauma tembus atau trauma tumpul,
dan adanya perdarahan intraperitoneal.
 Pemeriksaan Analisa Gas Darah: utuk mengetahui kadar CO2 dalam darah
 Hematokrit: untuk menilai sejauh mana kehilangan darah pasien dan seberapa banyak
transfusi yang dibutuhkan.

4. OBAT-OBAT EMERGENCY

Epinephrin
 Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau syok
anfilaktik, hipotensi.
 Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan intratrakeal atau
transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena. Untuk reaksi reaksi atau syok
anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi
bradikardi atau hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1 mg =
1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1 μg/mnt dititrasi sampai
menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 μg/mnt
 Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan meningkatkan aliran
darah ke otak dan jantung

Lidokain (lignocaine, xylocaine)


 Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT, Ventrikel
Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T
 Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit sampai dosis total 3
mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
 Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama idioventrikuler

Sulfas Atropin
 Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim
konduksi AtrioVentrikuler
 Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok
derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan
iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat (atropinisasi)
 Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III.
15
 Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-0,04 mg/kg
BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg.
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
diencerkan menjadi 10 cc

Dopamin
 Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah
jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat
 Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul
dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa

Magnesium Sulfat
 Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel takikardi,
keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia
 Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5% diberikan selama
5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam

Morfin
 Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest.
 Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit

Kortikosteroid
 Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk
mengurangi edema cerebri

Natrium bikarbonat
 Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul pada
henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III) dan
overdosis antidepresi trisiklik.
 Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.
 Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.
Kalsium gluconat/Kalsium klorida
 Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel otot jantung
terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi
akibat darah donor yang disimpan lama
 Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan menggunakan drip
 Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk Kalsium klorida.
Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan 1 ampul Kalsium gluconat

Furosemide
 Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak

16
 Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah hipotensi, dehidrasi
dan hipokalemia
 Dosis 20 – 40 mg intra vena
Diazepam
 Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan tetanus
 Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan
 Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit.

2.Jelaskan Neuroanatomi Dari Skenario ?

A. Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os occipitale
sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia
temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas
skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica),
loose connective tissue (jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut
dengan scalp (Moore & Agur).

B. Tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk mandibula. Kranium mempunyai
dua bagian besar, yakni kalvaria (atap tengkorak) yang sering disebut neurokranium dan
selaput otak.

1.Tengkorak atau Kalvaria Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal,


parietal dan oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe.
Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap kranium,
sementara diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan memberi tempat untuk
memproduksi sumsum darah.

2. Kranium Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal
yang membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita; os parietal
yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang membentuk dasar dan
bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan struktur penyangga penting dari
rongga nasal dan berperan dalam pembentukan orbita mata dan os sfenoid yang
membentuk dasar anterior kranium (Moore & Agur).

a. Aspek Anterior Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os


zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula (Moore & Agur).

b. Aspek Lateral Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah ,Os
kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior, linea temporalis
inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion, processus mastoideus ossis
temporalis, meatus acusticus externus dan processus styloideus ossis temporalis. Os
wajah yakni mandibula terletak dua bagian: bagian horisontal, yakni corpus mandibulae
dan bagian vertikal, yakni ramus mandibulae (Moore & Agur).

17
c. Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os parietale dan os
temporale. Protuberentia occipitalis externa adalah benjolan yang mudah diraba di
bidang median. Linea nuchalis superior yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke
lateral dari protuberentia occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu
jelas (Moore & Agur).

d. Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os parietale dextra
dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior. Sutura coronalis memisahkan os
frontale dari os parietale; sutura sagitalis 11 memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu
dari yang lain; dan sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os
occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan sutura coronalis.
Titik vertex merupakan titik teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di
dekat titik tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu antara sutura lamboidea
dan sutura sagitalis (Moore & Agur).

C. Meningen merupakan selaput atau membarne yang terdiri dari connective tissue yang
melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu duramater, araknoid, dan
piamater.

1. Duramater: adalah selaput keras terdiri dari jaringan fibrosa yang melekat erat dengan
bagian dalam kranium.

2. araknoid:merupakan Jaringan ikat tipis (transparan)

3. piamater: merupakan Jaringan Ikat tipis yang Melekat pada medula spinalis

D. Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon,
pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan
arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks
serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil
yang disebut lobus. (Moore & Argur).

Otak terdiri dari 3 bagian, yaitu:

1. Serebrum (Otak Besar) Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing
hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian
lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing
adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC).
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal
bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik
dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini

18
berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis).
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum.
Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini
terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas
intelektual (Ellis).
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis
yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal
berperan penting dalam kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa
dalam bentuk suara (Ellis).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini
berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis).
2. Serebelum (Otak Kecil) Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di
bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh
dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis
otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan
tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya (Clark).

3. Batang Otak Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar
dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan
darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat
massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat
wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun
(CDC).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan IV
diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, 12 pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran (Moore & Argur).

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan medulla
oblongata.Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan
dengan pons (Moore & Argur).

c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan
berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial

19
posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII
berada pada perhubungan dari pons dan medulla (Moore & Argur ).

e. Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
yang bertujuan melindungi otak dari benturan, bakteri dan juga berperan sebagai
pembersih lingkungan otak. Jumlah cairan serebrospinal pada orang dewasa berkisar
antara 75-150 ml. Jumlah ini konstan sesuai hukum monroe-kelli kecuali jika terdapat
kondisi yang tidak seimbang antara komponen parenkim, darah dan cairan serebrospinal.
Produksi cairan serebrospinal berkisar 0,35 ml permenit atau sekitar 500 ml per hari.

3. Sebutkan dan Jelaskan Kualitas Kesadaran ?

DERAJAT KESADARAN

Secara Kualitatif

1. ComposMentis
(conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.

2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen(Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6.Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).

4. Jelaskan Patomekanisme Penurunan Kesadaran !


Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri
dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua
sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan.

Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network system
yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain
stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla,
pons, mesencephalon menuju ke

subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.


Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,

20
monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).Kesadaran ditentukan oleh interaksi
kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas),
dengan ascending reticular activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari
pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-
jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks

serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap
sadar (awake).

Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. Korteks
serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini
berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau input-input rangsangan
sensoris, hal ini disebut juga sebagai awareness.

Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya
pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak,
terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon.

Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat
(kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness, alertness)
kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.

5. Jelaskan Etiologi Penurunan Kesadaran ?


Mekanisme Dan Penyebab Utama Koma (Kumar & Clark, 2006)

NO MEKANISME ETIOLOGI

1. Disfungsi otak difus - Overdosis obat, alcohol abuse

- Keracunan CO, gas anestesi

- Hipoglikemia, hiperglikemia

- Hipoksia, cedera otak iskemik

- Ensefalopati hipertensif

- Uremia berat

- Gagal hepatoselular

- Gagal napas dengan retensi CO2

- Hiperkalsemia, hipokalsemia

21
- Hiponatremia, hipernatremia

-Hipoadrenalisme,hipopituarisme,
hipotiroidisme

- Asidosis metabolik

- Hipotermia, hipertermia

- Trauma kepala tertutup

- Epilepsi pascabangkitan umum

- Ensefalitis, malaria serebral, septikemia

- Perdarahan subaraknoid

- Gangguan metabolik lainnya (mis. porfiria)

- Edema otak karena hipoksia kronik

2. Efek langsung di - Perdarahan atau infark


batang otak
- Neoplasma misalnya glioma

- Demielinasi

- Sindrom Wernicke-Korsakoff

- Trauma

3. Tekanan terhadap -Tumor hemisfere, infark, abses, hematoma,


batang otak ensefalitis atau trauma

6. Jelaskan Diferensial Diagnosis Dari Skenario?

22
1.EPIDURAL HEMATOM

Adanya penumpukan darah pada duramater dan tabula interna. Paling sering terjadi pada
Frontal dan Temporal. Sumber perdarahan dari arteri Meningea Media yang disebabkan oleh
fraktur tulang, dapat juga oleh vena atau diploe.

Karena duramater berlekatan erat dengan permukaan dalam melekat, diperlukan tekanan
yang cukup besar untuk menimbulkan kumpulan cairan pada lokasi ini.

Penyebabnya hampir selalu robekan di arteri meningea media, pembuluh darah mengingea
terbesar. Fraktur seperti ini sering terjadi tanpa menimbulkan cedera serius lain pada otak.
Dengan demikian, banyak pasien dengan hematom epidural tetap sadar segera setelah
kejadian traumatic dan tidak kehilangan kesadaran hingga beberapa saat kemudian (yang
disebut “lucid interval”). Pasien tersebut kemudian dapat meninggal akibat akibat
peningkatan tekanan intracranial yang cepat kecuali hematoma segera didiagnosis dan
diangkat melalui operasi. Terapi yang tepat memberikan prognosis yang baik.

2. KONTUSIO SEREBRI
Definisis

Kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater

Etiologi

Kecelakaan, jatuh dan trauma

Manifestasi Klinis

Bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila
kondisi berangsur kembali , maka tingkat kesadaran pun akan berangsur kembali tetapi akan
memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti
biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila Terjadi edema
serebral. Gejala lain yang sering muncul:

 Gangguan kesadaran lebih lama

23
 Kelainan neurologik positip, reflek patologik positif, lumpuh konvulsi
 Gejala TIK meningkat
 Amnesia retrograd lebih nyata
 Tidak sadarkan diri
 Denyut nadi lemah
 Pernafasan dangkal
 Kulit dingin dan pucat
 sakit kepala

Bentuk Klinis

kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma scale (GCS)
 Ringan : GCS 13-15 ( dapat kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma)
 Sedang : GCS 9-12 ( Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak
 Berat : GCS 3-8 (kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga
meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

Diagnosis

Anamnesis :

Riwayat trauma kepala, keluhan subjektif (+)

Pemeriksaan Fisik :
Hilang kesadaran menit, jam, hari, minggu tergantung berat trauma, amnesia, defisit
neurologi berupa refleks patologi (+), pada keadaan yang sangat berat dimana edema sudah
demikian hebat disertai meningkatnya tekanan intrakranial maka akan didapatkan
gejala/deserebrasi dan gangguan fungsi vital.

Pemeriksaan penunjang :

 EEG Abnormal
 Rotgen kepala : fraktur cranii
 LCS : Darah/xanthocrom
 CT-SCAN : tampak hiperdens di girus-girus
Penatalaksanaan
Konservatif
Medikamentosa : terapi steroid, analgetik, terapi osmotik, terapi diuretik, terapi simtomatik,
terapi profilaksis terhadap infeksi.
Komplikasi

Benturan yang berat dan tidak segera diobati dapat menyebabkan edema serebri bertambah
hebat, tekanan intrakranial meningkat, dan dapat terjadi kematian.

Prognosis

24
Tergantung berat ringan trauma.
3. HEMATOMA SUBDURAL
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural Hematom yang
terbentuk karena perdarahan yang terjadi antara duramater dan arakhnoid ( di dalam ruang
sub arakhnoid ), waktunya lebih panjang jadi masih ada waktu untuk pengobatan atau
operasi. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arachnoid, sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya
darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya
disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang
menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif
yang menunjukkan lokasi gumpalan darah..

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk
akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai
akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural
pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural
akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup.
Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Hematoma subdural merupakan bentuk trauma intrakranial yang paling sering, hematoma
subdural tidak hanya terjadi pada cidera kepala berat tetapi juga dapat terjadi pada orang
dengan cidera kepala yang tidak terlalu berat seperti pasien tua atau yang menerima terapi
antikoagulan. Hematoma subdural mungkin juga terjadi secara spontan atau disebabkan oleh
prosedur diagnostik seperti fungsi lumbal. Secara umum, hematoma subdural
diklasifikasikan menjadi fase akut (terjadi dalam kurang 48 jam), fase subakut (terjadi antara
2 sampai 14 hari), dan fase kronik (berkembang selama berminggu-minggu dan lesi
hipodens). Presentasi dari hematoma subdural akut bervariasi sangat luas, beberapa pasien
datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma. Sebanyak 50% pasien trauma kepala
memerlukan operasi bedah saraf yang diklasifikasikan berdasarkan berat atau ringannya
trauma kepala (berdasarkan skor GCS). Dan beberapa dari pasien mengalami lesi
intrakranial.
Epidemiologinya Estimasi insiden hematoma subdural kronik sebesar 13,1 per 100.000
pertahun, dengan insiden 3,1 per 100.000 pertahun pada pasien usia kurang dari 65 tahun dan
58,1% per 100.000 per tahun pada pasien yang lebih tua. Insiden pada pasien trauma kepala
di Amerika Serikat diperkirakan 200 per 100.000 orang. Studi dari universitas California,
Los Angeles pada tahun 2006 mengevaluasi pasien trauma tumpul yang menjalani CT-Scan
cranial, 8,7% didapati memiliki trauma otak akut yang signifikan. Studi sebelumnya
menyatakan insiden trauma kepala tertinggi pada usia 10-29 tahun.
Pada pasien yang mengalami hematoma intracranial memerlukan dekompresi emergensi.
Hematoma subdural akut paling banyak dihubungkan dengan trauma otak yang luas, 82%
pada pasien koma dengan hematoma subdural terdapat kontusio parenkim. Tingkat
keparahan dari pada keterlibatan parenkim sangat berhubungan dengan prognosis pasien

25
nantinya. Hematoma subdural akut merupakan tipe trauma intracranial yang paling banyak,
terjadi pada 24% pasien dengan keadaan koma. Hematoma subdural juga berhubungan kuat
dengan kerusakan otak. Trauma yang signifikan tidak hanya menyebabkan hematoma
subdural. Hematoma subdural kronik dapat terjadi pada pasien tua setelah mengalami trauma
kepala yang tidak signifikan. Hematoma subdural kronik merupakan penyebab terbanyak
dimensia, dan sebagia kecil hematoma subdural kronik disebabkan oleh hematoma subdural
akut yang terapinya tidak adekuat.

Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural akut
dapat terjadi pada
• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia, kelainan
hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma serebral, malfromasi
arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural.
• Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal, lumboperitoneal
shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui
Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :
• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol kronis,
epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit
kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus.
Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan pembekuan, dan
terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada
pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang
lebih tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien
dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin.

Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di
dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan
cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus
pada tempat di mana vena tersebut menembus duramater. Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

26
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal. Sebagian
kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau
diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan
diantara hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi
traumatik dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik
akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil
perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan
karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan terbentuk
jaringan ikat yang menyerupai kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung sehingga memberikan gejala seperti tumor serebri
karena tekanan intrakranial yang meningkat secara perlahan-lahan.

Gambar 2.4. Proses Terjadinya Hematoma Subdural

Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Bridging vein
dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak mengecil, sehingga walaupun
hanya mengalami trauma ringan dapat menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena
perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga berlangsung lebih
lama dibandingkan pada perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa
hari. Pada hematoma subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula baik
pada bagian dalam dan bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah
pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari cairan
cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan

27
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang
cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang
yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral. Lebih lanjut dapat terjadi
herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada hematoma subdural kronik, didapatkan juga
bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalia lebih terganggu dibandingkan dengan
daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya
normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa
terjadi perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik. Faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsula dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan pada
perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara bertahap meluas ke seluruh
permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir
dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis, yang
menempel pada dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga
mengakibatkan skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan
perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan subdural
ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu
sendiri.

Klasifikasi
Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari 48 jam setelah trauma.
Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat sehingga dapat mengakibatkan perburukan
lebih lanjut pada pasien, serta baik kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi hiperdens.
Hematoma Subdural Subakut

28
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar 2 sampai 14 hari
sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar, kemudian mengalami
perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita
akan memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon
terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi
dan menekan batang otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens.
Lesi isodens ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah trauma atau lebih. Gejala
umumnya muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas. Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, hematoma atau perdarahan yang terjadi
lama kelamaan dapat membesar secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan
penekanan dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat yang terbentuk mengelilingi
hematoma. Pada hematoma yang lebih baru, kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk
atau dalam ukuran yang masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembus dinding ini dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan meningkatnya volume hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subarachnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada
tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada saat
benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang
menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita dengan
hematoma subdural yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu
sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial impact).
Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan
penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan trauma yang ringan tidak akan
kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan
lesi massa intrakranial lainnya yang dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan
penurunan kesadaran setelah terjadinya trauma.
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat cedera otak primer
dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik

29
yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak
umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit
motorik. Akan tetapi, gambaran pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan
indikator yang mutlak dalam menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak
sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau
karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas tentorium.
Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma
menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil ini lebih
dipercaya sebagai indikator letak hematoma subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada tingkat yang ringan
(sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran pada hematoma subdural
tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali apabila terdapat efek massa
atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
peningkatan tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya
a.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam pasca
trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun dalam jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan
adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang

30
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. 9,12,13
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, trauma yang
terjadi dianggap ringan, sehingga selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis seperti:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Langkah Langkah Diagnosis


Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari jatuh, kekerasan, atau
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan terhadap terjadinya subdural hematom akut
muncul kapapun ketika pasien mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat.
Gambaran klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi tersebut.
Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah kejadian. Beberapa pasien
dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam masa perburukan yang muncul perlahan
seiring perluasan hematoma. Pasien yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut
dibanding pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi menunjukkan rerata umur
pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa kejadian subdura hematoma akut adalah 26
tahun, sedangkan rerata umur yang mengalami subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh
karena itu pasien usia tua menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan subdural hematom
akut setelah cedera kepala.14 Hal ini diperkirakan terjadi karena pada pasien tua memiliki
otak yang lebih atrofi, sehingga mengakibatkan robekan yang lebih mudah terjadi pada
bridging vein segera setelah cedera kepala terjadi.
Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul antara 4 hingga 21 hari
setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik ditentukan sebagai SDH yang muncul pada 21 hari
atau lebih setelah cedera terjadi. Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH
yang lebih akurat jika menggunakan CT-scan.
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala atau
tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika
ada pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah
apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan lamanya
periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai
muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.

31
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama
penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses
intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit
kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.
Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang
dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan
tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau
syok harus segeradilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.
Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan Cushing respon yaitu
peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.Pemeriksaan neurologis yang
meliputkankesadaran penderita dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter
kedua pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala
GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien
terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan fungsi ARAS, batang otak dan kortes).
Pemeriksaan diameter kedua pupil dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah telah
terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex
menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Apabila terjadi trauma langsung pada mata
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Tabel 2.1 Gejala-gejala pada Hematoma Subdural

32
Gejala Umum Gejala Ringan Gejala Akut/Berat
(sering) (sering) (jarang)
Sakit kepala Konfusi Hemiplegi
Tampak lelah Gangguan gaya Afasia
jalan
Mual/Muntah Penurunan Kejang
keadaan mental
Vertigo Kesulitan Koma
berbicara
Kelemahan
anggota gerak
Inkontinensia

Pemeriksaan Penunjang
Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh sebelumnya,cedera kepala minor,
onset dan perjalanan gejala klinis, penyakit kardiovaskular, gangguan pendarahan,
pengobatan,penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang; pemeriksaan fisik; dan
pemeriksaan darah; imaging otak perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. CT-
scan (Computed Tomography scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk
evaluasi awal cSDH.
Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain injury, kontusio pada otak
disertai dengan LCS dan darah yang mengalir keluar ke dalam ruang subdural dari ruang
subarachnoid pada korban cedera kepala sedang, sedangkan robekan arachnoid disekitar
bridging vein menyebabkan akumulasi sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan
cedera kepala ringan pada subdural.Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau
densitas yang bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang jelas, dan tidak
melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar SDH terjadi pada
permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat juga muncul antara hemisphere atau lapisan
diatas tentorium.Densitas hematoma bervariasi tergantung dari stadium evolusi hematoma.
Sebuah SDH akut (< 3 hari; gambaran hiperden pada CT -scan polos), berlanjut hingga
sekitar 3 minggu menjadi SDH subakut (3- 3minggu; gambaran isoden pada CT scan polos),
dan akhirnya menjadi SDH kronis (>3 minggu; gambaran hipoden pada CT scan polos)
(Gambar 2.5)
Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat gambaran SDH akut,
subakut, dan kronis(Gambar 2.6). Perhatian khusus pada gambaran isoden dari SDH
subakut karenadapat terlewat saat awal pemindaian. Magnetic resonance imaging (MRI)
memiliki tingkat keakuratan lebih baik daripada CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur
secara tepatsehingga gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah dikenali.
Pada hampir semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi oada MRI, tetapi hanya 27%
dapat ditemukanpada CT scan.
Meskipun begitu CT-scan tetap pilihan yang paling sering digunakan dalam menegakkan
diagnosis SDH karena harganya yang lebih murah, mudah di akses, dan lebih cepat. Ketika
menggunakan MRI, pemeriksaan ini berfungsi untuk menggambarkan batas SDH kronis dan
menentukkan struktur yang terdapat didalam hematoma.

33
Gambar 2.5. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.
Less 3 days old, hyperdens (A); subacute SDH, 3 days to 3 weeks old, isodens (B), and SDH
more than 3 weeks old, hypodens (C).

Gambar 2.6. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan Penurunan
Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient
sustained a fall 4 weeks before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute
component is slightly denser and is seen as the hyperdense area in the dependent portion.
Rontgen kepala adanya pergeseran dari glandula pincalis

Lakukan juga pemeriksaan LCS jernih dengan tekanan meninggi mengandung darah atau
xantochrom , pemeriksaan EEG abnormal tampak perlambatan fokal sampai difus dan pada
pemeriksaan Arteriografi karotis terlihat hematom berupa area avaskuler berbentuk
bikonveks antara jaringan otak dan tulang cranium.

Penatalaksanaan
Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi terhadap status
neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis dengan kompressi pada otak dan
midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis masih merupakan hal yang
controversial.
 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift > 5mm pada CT scan
dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat GCS pasien. (surgical
guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9) harus
dilakukan monitor tekanan intracranial.

34
 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan midline shift
< 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor GCS berkurang dan/atau
pasien menunjukkan pupil yang anisokor dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai terhadap SDH.
Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah anatesi
local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang terutama memiliki
polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang kontinyu dan
memberikan brain expansion setelah operasi.TDC dilakukan dengan membuat lubang
kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana
hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering digunakan
untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat
dengan lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran
30mm pada tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya
solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari
seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan
dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini juga
merupakan metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi, besarnya
jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian
besar dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika terdapat
rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi, kegagalan otak
untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau terdapat membran yang tebal.
Pada craniostomy dibuat sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu
dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan suatu
defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga dilakukan craniectomy, dimana bagian
tengkorak yang dianagkat akan ditanam pada peritoneum, sambil menunggu
hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.
 Subtemporal decompressive craniectomy
 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.
Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan, dan elvauasi yang
dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi tertentu.
Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang asimtomatik, pasien
yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki resiko tinggi untuk dilakukan

35
operasi. Meskipun metoda drainase operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH
kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan terapi
konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang muncul seperti
hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda – tanda yang
menunjukkan herniasi transtentorial seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda
kepada tenaga medis untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain
itu pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur memberikan
perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara umum terapi konservatif
dapat diberikan pada pasien dengan
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:


 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan koagulopati dan
memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya. Perbaikan terhadap faal
hemostasis sangatlah penting pada semua psien dengan subdural hematoma. Semua
pasien yang sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan penggunaan
antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus dilakukan pemeriksaan
serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial thromboplastin time), INR, dan level
platelet dan fibrinogen.
 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor penting
dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue plasminogen activator,
Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat
oleh kortikosteroid.

 Penatalaksanaan tekanan intrakranial


Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang terfixiri
dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan menggunakan doktrin
Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume otak, cairan likuor
cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk volume intrakranial.
Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah
Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume tersebut meningkat,
maka volume lain akan terdesak dan akhirnya tekanan intrakranial akan segera
meningkat. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro
Vascular Resistant) sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion pressure dan tubuh akan
mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing response.

36
CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial Pressure) - ICP
(Intracranial Pressure)
Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dengan meningkatkan MAP, sehingga tekanan darah akan meningkat disetai
dengan bradikardia, dan bradipnea. Oleh karena itu untuk mempertahankan aliran darah
ke otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan dimana tekanan perfusi otak bernilai
sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial <20mmHg.Beberapa upaya yang bisa di
lakukan untuk mencegah dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:
 Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg jika terdapat
intsabilitas spinal
 Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat dimonitor dengan analisis
gas darah serial)
 Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB, untuk
membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga beban cairan akan ditarik
masuk kedalam ruang intravaskular. Sebelum memilih menggunakan manitol perlu
untuk mengetahui fungsi ginjal pasien.
 Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan intrakranial,oleh
karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau analgesia akanmengurangi kecemasan
, ketakutan dan respon terhadap nyeri berupa postural spontan yang merupakan
factor yang mempengaruhi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dapat ditangani
dengan menggunakan morphine 2-5 mg/kg/jam dan vecuronium 10 mg/jam
 Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.
 Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan phenytoin 18
mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.
 Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk menururnkan TIK, dengan
metoda operatif ventriculostomy (burr hole).
Komplikasi

Jika diagnose dapat segera ditegakkan dan tindakan operatif cepat dilakukan maka
komplikasi tidak akan terjadi

Prognostik
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak
berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya
menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasusyang lain, memerlukan
tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.Tindakan operasi pada hematoma subdural
kronik memberikan prognosisyang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan
sembuh total.23Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka
mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1cm),
prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan
subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation) mempunyai prognosa baik dan
mendapatkan penyembuhan sempurna.16,23 Perdarahan subdural akut yang sederhana

37
(simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%.Perdarahan subdural akut
yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio
atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada
penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural
hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling penting untuk
meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.Angka mortalitas
pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan menyebabkan penekanan (mass
effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4
jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah
kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian.
Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor
yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma ekstra
axial di ruang subdural. Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-
satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome) penderita SDH akut.
Penderita yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita
SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%.
Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi.
Pada penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil
bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival sebesar 10%.
 Hematom subdural akut : 90% mortalitas
 Hematom subdural subakut : mortalitas 20% dan post operatif sembuh dengan baik
 Hematom subdural kronis : biasanya post operatif bisa sembuh dengan baik.

4. HEMATOMA SUBARAKNOID
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga 

subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid ditandai 

dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan 

dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan  bagian selaput

 yang membungkus otak.

Etiologi

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV)

Diagnosis

Anamnesa :

Didapatkan nyeri kepala yang ringan kemudian berkembang menjadi nyeri kepala hebat
dan mendadak.

Pemeriksaan fisik:

38
Fotofobia, meningismus,mual dan muntah .

Pemeriksaan penunjang :

CT scan ,pungsi lumbal, angiografi, MRI

Penatalaksanaan

Cari sumber perdarahan mengunakanyang dapat diintervensi dengan pembedahan maupun


tindakan vaskuler lainya.

Medikamentosa

 Paracetamol per os atau intravena pilihan utama untuk headcache

 Hipertensi harus diterapi dengan obat labetalol atau urapidil

 Pemberian PPI diindikasikan untuk mencegah ulkus peptik

 Pemberian nimodipine 60 mg per oral setiap 4 jam selama 21 hari

untuk mengurangi resiko iskemik serebral delayed akibat vasospasme

Fisioterapi

Jika ada gangguan /gejala sisa neurofisik

Komplikasi

Vasospasme dan perdarahan ulang (70%) ini merupakan komplikasi tersering dari
hematom subaracnoid Ada juga bebrapa komplikasi lainya seperti hidrocefalus
,hiperglikemi , epilepsi

Prognosis

Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi
bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu
pertama, dan 60% dalam 2 bulan pertama.

5. FRAKTUR BASIS CRANII


Definisi

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang dapat terjad pada dasar tulang tengkorak
yang tebal.

Manifestasi Klinis

39
 perdarahan dari telinga,hidung dan mulut
 keluar cairan dari telinga
 ekimosis preorbita
 ekinosis retroauricular(battle sign)dan otorhea
 parese nervus cranialis(Nervus I,II,III,IV,VII,dan VIII)
Diagnosis

Anamnesis

 Adanya riwayat trauma kepala


 fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang berbeda(fosa
anterior,fosa media,dan fosa posterior)
Pemeriksaan fisik

 Gejala penyerta :hematoma epidural dan subdural,comusio dan contusio cerebri


 hilang kesadaran
 refleks babinski(+)
 perdarahan dari telinga,hidung dan mulut
 keluar cairan dari telinga
 ekimosis preorbita
 ekinosis retroauricular(battle sign)dan otorhea
 parese nervus cranialis tergantung tempat fraktur(Nervus I,II,III,IV,VII,dan VIII)
Pemeriksaan penunjang

-CT scan

-LCS bercampur darah

-EEC

Penatalaksanaan

-Non medikamentosa

Cegah atau hentikan perdarahan,dan jika perlu konsul ke THT

-Medikamentosa

Karbosokrom Na-sulfonat(adona AC)dan asam treksamat

Antibiotik yang adekuat untuk mecegah terjadinya komplikasi

Obat-obat untuk gejala penyerta,misalnya KIR untuk contusio

Komplikasi

Bisa terjadi meningitis akibat infeksi dari luar.

Prognosis

40
Tergantung berat ringannya fraktur yang terjadi dan bisa sembuh tetapi masih meningalkan
gejala berupa lesi nn.cranialis dan sindroma cerebral post trauma.

6. COMMUTIO CEREBRI (GEGAR OTAK )


Commutio Cerebri atau Gegar Otak adalah cedera otak traumatis yang mengakibatkan fungsi
otak tidak normal. Kondisi ini biasanya terjadi akibat kepala terbentur, terpukul, atau jika
tubuh bagian atas terguncang keras, tidak ada jaringan otak yang rusak, hanya kehilangan
fungsi otak sesaat.

Manifestasi klinis

 Riwayat Trauma kepala


 Hilang kesadaran <30 menit (rata-rata 10-15 menit)
 Kel.subjektif berupa : mual, muntah, pusing
 Disertai atau tanpa Amnesia Retrograd/Anterograd
 Tidak ada lesi struktural pada otak

Pemeriksaan Penunjang

CT-Scan kepala dan MRI untuk mengamati apakah terjadi perdarahan di dalam kepala untuk
memeriksa komplikasi lebih lanjut setelah gegar otak.

Penatalaksanaan
Perawatan
 Bed rest
 Mobilisasi
 Selama perawatan di lakukan observasi paling sedikit 2x24 jam terhadap kesadaran,
tekanan darah, nadi, pernapasan, gejala tekanan intrakranial meningkat, defisit neurologis
yang timbul progresif , pupil mata.

Medikamentosa

Pengobatan terhadap luka dan perdarahan dengan antibiotik untuk

Pencegahan :

 Antikoagulan
 Ampisilin/amoksisilin
 Tetracycline
 ATS profilaksis

Hemostatistika :

 Karbasokrom Na-sulfonat (adona AC 17)


 Asam treneksamat

41
 Vit. B1, B6 dan B12 à untuk neurologis
 Obat encephalotropik

Pengobatan simptomatik, hanya diperlukan pada keadaan terpaksa/sangat diperlukan :

 Analgetika : metampyron, paracetamol, asam mefenamat.Antimuntah : metoklopramid,


dimenhidrinat (dramamine)Tranquilizer : diazepam
Prognosis

Sembuh sempurna bila di tangani dengan baik dan tepat, gegar otak apabila tidak di tangani
dengan baik dapat menibulkan komplikasi yang parah.

SKENARIO II

1. Jelaaskan Anatomi pelvis dan regio Abdomen ?


Pelvis / panggul
Pelvis (panggul) tersusun atas empat tulang: sakrum, koksigis, dan dua tulang inominata
yang terbentuk oleh fusi ilium, iskium, dan pubis. Tulang-tulang inominata bersendi dengan

42
sakrum pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang inominata sebelahnya di
simfisis pubis (Cunningham, et al, 2010). Panggul dibagi menjadi dua regio oleh bidang imajiner
yang ditarik dari promontorium sakrum ke pinggir atas simfisis pubis, yaitu:
a. Panggul palsu ,Terletak di atas bidang, berfungsi untuk menyokong intestinum.
b. Panggul sejati, Terletak di bawah bidang, memiliki dua bukaan yaitu: arpertura pelvis
superior (pintu atas panggul) dan arpetura pelvis inferior (pintu bawah panggul) (Baun, 2005).
Selama proses kelahiran pervaginam, bayi harus dapat melewati kedua pembukaan
panggul sejati ini (Amatsu Therapy Association and Amatsu Association of Ireland, 2006).

Gambar 2.1. Gambaran anteroposterior panggul normal wanita dewasa. Digambarkan


diameter anteroposterior (AP) dan Transversal (T) pintu atas panggul. Sumber:
Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed

Fungsi Pelvis
 Penyangga berat tubuh bagian atas
 Melindungi pelvic viscera
 Gerakan tubuh (duduk/berlutut/berjalan/berlari)
 Menyediakan perlekatan otot Proses kehamilan dan Kelahiran Pada wanita
Perbedaan antara pelvis pria dan wanita

43
1. Tulang Pelvis: Ileum (Tulang Usus)
• ASIS (Anterior superior iliac spine)
• AIIS (Anterior inferior iliac spine)
• PSIS (Posterior superior iliac spine)
• PIIS (Posterior inferior iliac spine)

2. Tulang Ischium (Tulang Duduk)

3. Sacrum
Terdiri dari 5 vertebrae yang menyatu. Berbentuk segitiga. Terbagi atas Lateral Mass & Central
Mass

Klasifikasi Pelvic

1. Greater(false) :Panggul yang lebih, besar Bagian dari rongga perut


2. Lesser( true) : Panggul yang lebih kecil/rendah Terletak di bagian, inferior pelivic
brim atau inlet pelvic. Terdiri dari: Pintu Atas Panggul( Pelvic Inlet) Pintu Bawah
Panggul(Pelvic Outlet)

44
Region abdomen

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks dan pelvis.
rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot abdomen,
columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen,
yang paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan
horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding
anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones).

Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang
bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh
yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio
abdomen tersebut adalah: 1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4)
lumbalis dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica/hipogastrica,
9) inguinalis sinistra

45
Gambar Pembagian anatomi abdomen berdasarkan lokasi organ yang ada di dalamnya (Griffith,
2003)

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian duodenum
fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari hepar.

3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis
kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.

4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian
duodenum dan jejenum.

5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.

6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum
dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.

8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.

Dengan mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat memprediksi organ mana
yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada
daerah atau regio tersebut (Griffith, 2003)
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari
bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua
yaitu bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian

46
kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ reproduksi pada wanita
(Trauma, 2012).
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena
cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan paskaerior kolon
ascenden dan descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga
pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga
peritoneal dan retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ
reproduksi interna pada wanita (Griffith, 2003).

2. Jelaskan penanganan awal pada skenario ?


Penatalaksanaan awal

PPGD memiliki tujuan, antara lain:


1. Mencegah terjadinya kematian
2. Mencegah terjadinya cacat tubuh;
3. Mencegah kerusakan yang lebih luas;
4. Mencegah terjadinya infeksi;
5. Mencegah rasa sakit pada korban.

Primary survey

Airway

Periksa apakah terdapat


sumbatan jalan napas atau tidak,
terdapat suara napas tambahan
atau tidak dan apakah terdapat
benda asing yang dapat membuat
jalan napas tersumbat. Pengelolaan
gangguan pada jalan napas tanpa
menggunakan alat:
Manipulasi dengan menggunakan
tangan

 Head tilt
- Baringkan korban terlentang
- Letakkan: telapak tangan menahan dahi korban ke belakang
- Letakkan jari telunjuk dan jari tengah menahan dagu kedepa
- Evaluasi jalan napas
 Chin Lift
- Jari jari telunjukdan jari tengah diletakkan di bawah rahang
- Secara hati-hati dagu diangkat ke atas untuk membawa kearah depan
- Ibu jari tangan yang sama menekan bibir bawah untuk membuka mulut
47
- Ibu jari dapat juga diletakkan dibelakang gigi seri (incisor) bawah
- Secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat

Tekhnik pembebasan jalan napas head tilt/ chin lift

 Jaw thrust
- Baringkan korban terlentang
- Sudah dilakukan head tilt dan chin lift namun jalan napas belum bebas sempurna
- Dorong ramus vertikalis mandibula kiri dan kanan ke depan
- Sehingga barisan gigi bawah di depan barisan gigi atas
- Evaluasi jalan napas

Membersihkan Jalan Napas Dari Benda Asing

Benda Asing Cair :


 Baringkan korban, terlentang atau miring.
 Bila mungkin kepala lebih rendah.
 Dengan sapuan jari tangan dan mempergunakan bahan yang dapat meresap cairan
misalnya kain, kasa , kapas, tissue.
 Memakai pipa , hisap dengan mulut.
 Memakai pipa hisap dengan alat pengisap mekanik, elektrik.
Dengan Alat Bantu :
 Pipa orofaring
 Pipa nasofaring
 Intibasi endotrakeal
 Krikotirotomi
 Trakeostomi

48
Breathing

 Apakah pasien bernapas cukup?


 Apakah ada pengembangan dada?
 Pengembangan simetris atau tidak?

Pertukaran Udara Harus Adekuat, dengan :

• memaksimalkan oksigenasi
• memaksimalkan pengeluaran CO2

Perlu pemeriksaan fisis yang tepat dan cepat pada :

• Paru
• Dinding Dada
• Diafragma

Alat napas buatan:

 Mulut penolong ke mulut / hidung korban


 Mulut penolong ke masker pada korban
 Ambu-bag / self inflating bag
 Jackson-Reese, Water’s dan alat anestesi dengan reservoir O2
 Ventilator

Circulation

Periksa TD, Nadi, CRT, warna kulit, turgor kulit, pendarahan dan produksi urine.

a. Volume Darah dan Curah Jantung


b. Tingkat Kesadaran
c. Perfusi otak terganggu
d. Skin Colour
e. Vasokontriksi:
f. Basah/dingin, pucat/kelabu
g. Capillary Refill Time

Pengembalian volume sikulasi yang efektif dan adekuat dengan menentukan derajat
kehilangan cairan

<5% Riwayat + Fisis - Rehidrasi


melalui oral
Turgor kulit Mukosa Laju jantung Tekanan darah Jalur Terapi
mulut
7%  Kering N/ N Jalur intravena
perifer
10%  Kering   Jalur intravena
perifer

49
12%  Kering   Pertimbangkan
Kateter Vena
Sentral
Tahap terapi :

 Darurat
 penggantian
 Rumatan/ pemeliharaan

Disability (Status Neurologi)

AVPU (Cepat Dan Sederhana)

- Alert
- Responds to vocal
- Responds to pain
- Unresponsive
Refleks Pupil

Exposure (Evaluasi Dari Kepala Sampe Kaki)

Kegawatdaruratan Ortopedi

Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak dijumpai. Penanganan


emergency orthopedics telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam
bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang penanganan
emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan
yang adekuat terkait dengan proses perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang
komprehensif, yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang
tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi
hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency orthopedics, yaitu open
fracture, compartment syndrome, dislokasi dan fractur dislokasi, lesi vascular besar, septic
arthritis, acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat emboli, unstable cervical spine, dan traumatic
amputasi.

Berdasar sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua, yaitu sifatnya yang
mengancam jiwa (life threatening ) dan yang mengancam kelangsungan ekstremitas ( limb
threatening). Kejadian fraktur banyak ditemukan saat ini, begitu juga kasus open fraktur di IGD.
Kalau tidak ditangani akan menjadikannya infeksi kronis yang berkepanjangan.“Once
osteomyelitis, forever” : Appley. Jangan sampai melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada
awalnya infestasi kuman masih melekat secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan
sulit dibersihkan dengan pencucian saja.

Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada yang tidak. Fraktur
yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan tindakan konservatif, fraktur intra artikuler,

50
fraktur joint depressed lebih dari 5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan ligament, dan fraktur
dengan atrioventriculer node disturbances.

Elemen Manajemen Fraktur Awal


Faktor yang paling penting dalam penyembuhan fraktur adalah suplai darah dan
kesehatan jaringan lunak, dan manajemen awal anggota tubuh yang terluka harus memiliki tujuan
untuk mempertahankan atau meningkatkan ini.
Manajemen awal fraktur terdiri dari penataan kembali segmen patah tungkai (jika sangat
cacat) dan kemudian Imobilisasi ekstremitas fraktur dalam belat. Status neurologis dan vaskular
distal harus dinilai secara klinis dan didokumentasikan sebelum dan setelah penataan kembali dan
belat.

Pedoman saat ini untuk perawatan luka dari British Orthopedic Association :

Terapi Nonoperatif
Manajemen fraktur dini umumnya ditujukan untuk mengendalikan perdarahan,
memberikan penghilang rasa sakit, mencegah cedera iskemia-reperfusi, dan menghilangkan
sumber kontaminasi potensial (benda asing dan jaringan yang tidak dapat hidup). Setelah tugas-
tugas ini selesai, fraktur harus dikurangi dan pengurangan harus dipertahankan, yang akan
mengoptimalkan kondisi untuk penyatuan fraktur dan meminimalkan potensi komplikasi.
Tujuan akhir dari manajemen fraktur adalah untuk memastikan bahwa segmen anggota
tubuh yang terlibat, ketika disembuhkan, telah kembali ke fungsi semaksimal mungkin. Hal ini
dicapai dengan mendapatkan dan selanjutnya mempertahankan pengurangan fraktur dengan
teknik imobilisasi yang memungkinkan fraktur sembuh dan, pada saat yang sama, memberikan
pasien aftercare fungsional. Baik cara nonoperatif atau bedah dapat digunakan.
Terapi nonoperatif (tertutup) terdiri dari casting dan traksi (traksi kulit dan tulang).

Terapi Bedah

3. Jelaskan patomekanisme dari skenario ?

51
kateterisasi
Tidak dapat
Nyeri
Fraktur namun
Keluhan
perut
pelvis gagal.
berkemih
nyeri
bagianpinggang,
bawah hematuri,
serta tidak
Anuri dapat
Trauma tumpul
berkemih.
Retensi urin

Trauma
ruptur uretra
ginjal

Patomekanisme

52

Riwayat Trauma
53
54
55
56
Retensi Urine

57
Pengertian

Retensi urin adalah kesulitan miksi (berkemih) karena kegagalan mengeluarkan urin dari
vesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Etiologi

Retensi urin dapat dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf:

a) Supravesikal

Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–S4 setinggi Th1- L1.
Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya.

b) Vesikal

Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan masa
kehamilan dan proses persalinan (trauma obstetrik).

c) Infravesikal (distal kandung kemih)

Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra,trauma uretra, batu uretra,
sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis) (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Klasifikasi

a) Retensi urin akut

Pada retensi urin akut penderita seakan-seakan tidak dapat berkemih (miksi). Kandung
kemih perut disertai rasa sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat
disertai mengejan. Sering kali urin keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000). Pada kasus akut, bila penyebabnya tidak segera ditemukan maka kerusakan
lebih berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena otot detrusor atau ganglia parasimpatik
pada dinding kandung kemih menjadi tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronis

Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat berkemih (miksi),
merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit tidak sama sekali walaupun kandung kemih
penuh (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Pada retensi urin kronik, terdapat masalah khusus
akibat peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks uretra, infeksi saluran kemih
atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011). Retensi urin juga dapat terjadi sebagian atau
total a) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin tetapi terdapat sisa
urin yang cukup banyak di dalam kandung kemih. b) Retensi urin total yaitu penderita sama
sekali tidak dapat mengeluarkan urine

Gambaran klinis

a) Ketidaknyamanan daerah pubis

58
b) Distensi vesika urinaria

c) Ketidaksanggupan berkemih

d) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)

e) Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya

f) Meningkat keresahan dan keinginan berkemih

g) Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

Pemeriksaan retensi urin

a) Pemeriksaan subjektif

Pemeriksaan subjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien dan
yang digali melalui anamnesis yang sistematik.

b) Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadapa pasien untuk
mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien.

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai pemeriksaan yang


dapat menunjang diagnosis, diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging).
Pada beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang yang lebih bersifat
spesialistik, yakni urolometri atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi

Penatalaksanaan

a) Retensi urin akut

Pada pasien dengan retensi akut, terapi segera perlu dilakukan adalah mendrainase
kandung kemih. Karena resiko pendarahan kandung kemih, hipotensi, atau drainase pasca
obstruktif, dekompresi kandung kemih secara cepat biasanya dihindari. Pada banyak kasus,
drainase terus menerus dengan kateter folley atau kateter intermitten, perlu dilakukan sampai
fungsi kandung kemih kembali normal, biasanya 48-72 jam.

Pemberian antibiotik juga perlu dipertimbangkan dalam penanganan retensi urin ini
(Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronik

Pada kasus ini perlu adanya intervensi medis jangka panjang secara langsung mencegah
kerusakan ginjal dan mengkoreksi penyebab yang mendasari terjadinya retensi urin. Beberapa
intervensi terapi spesifik yang dapat dilakukan diantaranya terapi farmakologik, katerisasi,
neuromodulasi radiks saraf, dan bahkan intervensi bedah

4. Jelaskan differensial diagnosa dari skenario ?


A. Trauma Renal
59
Definisi

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam trauma baik
tumpul maupun tajam.

Epidemiologi

Trauma ginjal merupakan trauma yang paling sering terjadi.

Etiologi

penyebab dari trauma ginjal , yaitu

1.Trauma tajam :luka tembak atau luka tusuk

2.Trauma tumpul :kecelakaan lalu lintas,jatuh,cedera olah raga,atau penyerangan

3.Trauma iatrogenic :biasanya terjadi akibat tindakan medis misalnya,pemasangan kateter,operasi

Patogenesis

1.Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada
ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang maupun
luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.

Pada trauma tembak,seperti peluru,yang memiliki energy kinetic lebih besar,dapat mendestruksi
parenkim ginjal lebih hebat dan menyebabkan kerusakan diberbagai organ.Luka tembak
kecepatan rendah berhubungan dengan destruksi yang luas akibat efek ledakan,sementara luka
tembak kecepatan tinggi berkaitan dengan pengikisan jaringan yang luas dan tingginya jejas lain

2.Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung
biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal
biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung
misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam
rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan traksi arteri renalis,menyobek lapisan
intima,dan menimbulkan perdarahan.kompresi arteri renalis diantara dinding anterior perut dan
korpus vertebra juga dapat menyebabkan thrombosis arteri renalis dekstra.

3.Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi,
dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan
percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas,
insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan
ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal

Klasifikasi

Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pedoman dalam menentukan
terapi dan prognosis.

60
 Grade I : Kontusio atau hematoma subkapsular yang tidak meluas,tidak ada laserasi
 Grade II : Hematom subkapsular atau perineal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan
parenkim. Laserasi korteks <1 cm tanpa ekstravasasi
 Grade III : Laserasi ginjal >1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks dan tidak terjadi
ekstravasasi.
 Grade IV : Laserasi > 1cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin.
Laserasi yang mengenai korteks,medulla dan pelviokaliks
 Grade V: Laserasi ginjal rusak atau Vaskular jejas pedikel renalis atau avulsi

Gejala Klinik

Pada trauma tumpul dapat ditemukan adanya jejas di daerah lumbal, sedangkan pada
trauma tajam tampak luka.

Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal, ketegangan otot pinggang, sedangkan
massa jarang teraba. Massa yang cepat menyebar luas disertai tanda kehilangan darah merupakan
petunjuk adanya cedera vaskuler.

Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian atas, dengan
intenitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa ditemukan adanya tanda
perdarahan dalam perut. Bila terjai cedera Tr. Digestivus ditemukan adanya tanda rangsang
peritoneum.

Fraktur costae terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan sebaiknya
diperhatikan keadaan paru apakah terdapat hematothoraks atau pneumothoraks. Hematuria
makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih. Derajat hematuria tidak berbanding
dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan
cedera berat seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda shock.

Diagnosis

Diagnosis ditegakan melalui anamnesis,pemeriksaan fisis,dan pemeriksaan penunjang

Anamnesis

 Riwayat jatuh,kecelakaan lalu lintas,atau adanya trauma langsung pada daerah pinggang ;
61
 Untuk kecelakaan lalu linta :mekanisme kecelakaan,berapa kecepatan kendaraan,dan
apakah pasienmerupakan pengendara atau penumpang ;
 Pada trauma tajam:ukuran senjata pada kasus penusuksn,atau tipe dan caliber pistol yang
digunakan;
 Kondisi medis sebelumnya,apakah pasien memiliki kelainan ginjal tertentu

Pemeriksaan Fisis

 Hematuria,nyeri pada daerah pinggang(flank).ekimosis pinggang,abrasi pinggang,fraktur


iga,distensi abdomen,massa abdomen,dan nyeri tekan abdomen

Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium :hematocrit dan kreatinin,untuk mengevaluasi trauma ginjal;


 Urinalisis :hematuria merupakan tanda utama trauma tetapi tidak spesifik dan sensitive ;
 USG ginjal
 Pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi tertentu,yaitu hematuria
makroskipis,hematuria makroskopis yang disertai syok,atau adanya jejas lain yang
berat.pada pasien dengan kondisi tidak stabil yang memerlukan operasi,dapat dilakukan
tindakan single-shot IVP,dengan injeksi 2 mL kontras per kilogram berat badan.Trauma
ginjal terlihat berupa ekskresi kontraks yang berkurang(bandingkan dengan
kontralateral),garis psoas atau kontur ginjal menghilang,atau scoliosis kea rah
kontralateral karena kontraksi otot polos ;
 Radiologi

Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai menderita trauma ginjal,
yaitu:

1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang tepat dan menentukan
prognosisnya

2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma

3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral

4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya

Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :

 Grade I
- Hematom minor di perinephric , pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran ginjal yang
abnormal
- Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
- Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau
terlihat mirip dengan kontusi ginjal
- Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat menunjukkan
gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah karena penderit grade
I memang tidak memerlukan tindakan operasi .

62
- Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara
parenkim ginjal
 Grade II
- Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi
- Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke daerah
perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.
- Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
- Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
- Akumulasi masif dari kontras, terutama pada ½ medial daerah perinefron, dengan
parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat
terjadinya avulsi ureteropelvic junction
 Grade III
- Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi shock
dan sering teraba massa pada daerah flank.dapat disertai dengan hematuria.
- Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat
gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total
- Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis.
Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.
- Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi
memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel akan
terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen diantaranya berarti
merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.
 Grade IV
- Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.
- Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah
perinefron tanpa pengisian ureter.

Sebagai kesimpulan, sampai sekarang belum ada pembatasan yang jelas kapan seorang
penderita yang diduga trauma ginjal memerlukan IVP atau CT Scan sebagai pemeriksaan
penunjangnya. Keputusan tersebut harus didasarkan kepada pemeriksaan manakah yang lebih
tersedia.

CT San biasanya diambil sebagai pemeriksaan penunjang pertama pada psien yang
mengalami trauma multiple organ intra abdomen, dan pasien yang diduga trauma ginjal Grade
III atau IV.

CT Scan berfungsi sebagai pemeriksaan kedua setelah IVP pada pasien yang pada IVP
memperlihtkan gambaran kerusakan luas parenkim ginjal dan pasien yang keadaan umumnya
menurun.

Tatalaksana

Pada pasien trauma,stabilitas hemodinamik merupakan trget awal yang paling


penting.tanda-tanda vital perlu terus dipantau sepanjang pemeriksaan.hamipir 90% trauma ginjal
merupakan trauma minor yang hanya memerlukan tindakan konserfati seperti :

63
 Lesi minor, grade 1, biasanya diobati secara konservatif. Pengobatan konservatif tersebut
meliputi istirahat di tempat tidur, analgesik untuk menghilangkan nyeri, serta observasi
status ginjal dengan pemeriksaan kondisi lokal, kadar hemoglobin, hematokrit serta
sedimen urin.
 Penanganan trauma ginjal grade 2 masih menimbulkan suatu kontroversi. Penenganan
secara operatif biasanya dilakukan apabila pasien tidak memberikan respon positif
terhadap pengobatan konservatif, seperti kehilangan darah yang terus bertambah,
bertambah besarnya massa pada regio flank, rasa sakit yang terus menerus dan disertai
dengan adanya demam. Pengecualian dari indikasi diatas adalah oklusi pada A. Renalis
( grade 3 ). Tindakan konservatif ini dilakukan untuk menghindari dilakukannya tindakan
nephrektomi.
 Penanganan trauma ginjal unuk grade 3,4,dan 5 memerlukan tindakan operatif berupa
laparotomi.

Komplikasi

 Komplikasi awal: Perdarahan yang masiv sangat sering terjadi, terutama di


retroperitoneal. Persisten retroperitoneal persisten atau gross hematuri yang berat, indikasi
untuk dilakukan operasi.
 Komplikasi lanjut: hypertensi, hydronephrosis, arteriovenous fistula, pembentukan
calculus, dan pyelonephritis. renal atrophy dapat muncul dari vascular compromise dan
dapat diditeksi dengan urography. Perdarahan yang berat dan lanjut dapat muncul setelah
1-4 minggu.

B. Fraktur Pelvis

Definisi

Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang tua,
penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari
kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.

Etiologi

Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi sendi


panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat. Patah tulang pelvis
harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila
terdapat luka serut, memar, atau hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum.

Epidemiologi

64
Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Sepuluh persen
diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra,buli-buli,rektum
serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar 10 %.

Mekanisme Trauma

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:

a. Kompresi Antero-Posterior (APC) Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara
seorang pejalan kaki kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur , tulang inominata
terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan
parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
b. Kompresi Lateral (LC) Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami
keretakan . Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau fraktur
ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
Sehingga Adanya rotasi internal pada hemipelvis sehingga menyebabkan pubis terdorong
ke dalam sistem genitourinary bawah. Bentuk fraktur “Closed.
c. Trauma Vertikal Shear (SV) Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan
secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang
sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.sehingga
terjadi instabilitas pelvis
d. Trauma Kombinasi (CM) Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi
kelainan diatas.

Tipe Cidera/ Klasifikasi Fraktur

Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

1. Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh

a. Fraktur avulsi

Tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya ditemukan pada
olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina iliaca anterior superior, rektus
femoris menarik spina iliaca anterior inferior , adductor longus menarik sepotong pubis, dan urat-
urat lurik menarik bagian-bagian iskium. Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi
pada apofisis iskium oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam hal ini
reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan.

a. Fraktur langsung
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat menyebabkan
fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest total sampai nyeri mereda.
b. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan yidak nyeri. Pada pasien
osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit didiagnosis adalah frakturtekanan

65
disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua
yang menderita osteoporosis.

2. Fraktur pada cincin pelvis

Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat cincin
pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan langsung atau fraktur pada
anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastic. Tetapi, patahan kedua sering tidak
ditemukan, baik karena fraktur tereduksi segera atau karena sendi sacroiliaca hanya rusak
sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat
stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang
jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi kedalam fraktur
cincin tunggal dan ganda.

Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal saat
kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan berotasi
keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut “open book”. Bagian posterior
ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior ilium.
Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan patah. Di
bagian anterior rami pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur dan di bagian posterior
terdapat strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi yang sama seperti
fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada pelvis. Apabila terjadi pergeseran sendi
sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak stabil.

Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertical,
menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah sacroiliaca
pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu kaki saat terjatuh dari
ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan robekan jaringan lunak dan
perdarahan retroperitoneal.

Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang secara rotasi
tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.

a) Tipe A/stabil : ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau
tanpa pergeseran.
 A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
 A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur.
b) Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang
mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut fraktur
open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur
pada rami iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi
tida ada pembukaan simfisis.
 B1 : open book
 B2 : kompresi lateral  ipsilateral
 B3 : kompresi lateral  kontralateral (bucket-handle).

66
c) Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament
posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertical
pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.
 C1 : unilateral
 C2 : bilateral
 C3 : disertai fraktur asetabulum

Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell:

a) Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin


1. Fraktur avulsi
 Spina iliaka anterior posterior
 Spina iliaka anterior inferior
 Tuberositas ischium
2. Fraktur pubis dan ischium
3. Fraktur sayap ilium
4. Fraktur sacrum
5. Fraktur dan dislokasi tulang cocsigeus
b) Keretakan tunggal pada cincin panggul
 Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
 Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
 Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
c) Fraktur bilateral cincin panggul
 Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
 Fraktur ganda dan atau dislokasi
 Fraktur multiple yang hebat
d) Fraktur asetabulum
 Tanpa pergeseran
 Dengan pergeseran

Gambaran Klinik

Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yangdapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul.

Keluhan berupa gejala pembengkakan ,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar


panggul. Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat.
Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul
dibagi dalam 3 jenis :

1. Dislokasi posterior

 Tanpa fraktur
 Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar
67
 Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau tanpakerusakan pada
dasar asetabulum.
 Disertai fraktur kaput femur

Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput femur dipaksa
keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur
dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi fleksi. Trauma biasanya terjadi karena
kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras
yang berada dibagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor.
50% dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar.
Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan deformitas pada
daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi adduksi, fleksi
dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak bawah. Dengan pemeriksaan rontgen akan
diketahui jenis dislokasi dan apakahdislokasi disertai fraktur atau tidak.

2. Dislokasi anterior

 Obturator
 Iliaka
 Pubik
 Disertai fraktur kaput femur

3. Dislokasi sentral asetabulum

 Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum


 Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
 Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang komunitif.

Mekanisme trauma Fraktur dislokasi sentral adalah terjadi apabila kaput femur terdorong
ke dinding medial asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul tetap utuh. Fraktur asetabulum
terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dariketinggian pada satu sisi atau suatu
tekanan yang melalui femur dimana keadaan abduksi. Didapatkan perdarahan dan pembengkakan
di daerah tungkai bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah trokanter.
Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Dengan pemeriksaan radiologis didapatkan adanya
pergeseran dari kaput femur menembus panggul.

Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha
berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis. Foto
polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.

Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapt
bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat
nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf
skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral,
perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga
cukup tinggi.(Apley, 1995).
68
Diagnosis :

Anamnesis

1. Riwayat dan Keadaan, waktu trauma


2. Miksi terakhir.
3. Hematuria

Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum
a. Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi
b. Lakukan survey kemungkinan trauma lainnya
2. Lokal
a) Pemeriksaan nyeri :
 Tekanan dari samping cincin panggul
 Tarikan pada cincin panggul
b) Inspeksi perineum untuk mengetahui asanya Perdarahan, pembengkakan dan deformitas.
c) Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis
pubis
d) Pemeriksaan colok dubur ( menilai tulang sacrum dan tulang pubis.)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan pergerakan
abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan ke medial secara
hatihati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke
belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini
menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya patah tulang panggul.

Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau perdarahan melalui
uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan penilaian pada sakrum, atau
tulang pubis dari dalam. Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur
ipsilateral atau kontra lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi
sacroiliaca atau kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat cidera.

Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anterior-


posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM)
(gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada
meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar.

Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke
arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca
anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale.

69
Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-
cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian
sacroiliaca anterior.

Gambar. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi


anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi
anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II.
F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-
masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi
benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta
pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah
besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera
LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis


mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur
pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.

Penatalaksanaan

1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggul

2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:

a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, pelvic
sling

b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan
oleh grup ASIF

Berdasarkan klasifikasi Tile:

1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan
traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan
penopang.

2. Fraktur Tipe B:

70
1. Fraktur tipe open book

Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan
posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan
pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada
kedua ala ossis ilii.

2. Fraktur tipe close book

Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan
tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata
maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.

3. Fraktur Tipe C

Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang
dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu.
Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan
satu atau lebih plat kompresi dinamis.

Komplikasi

1. Komplikasi segera

a.Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan antikoagulan
secara rutin untuk profilaktik.

b.Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian
tulang panggul yang tajam.

c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars
membranosa.

d. Trauma rektum dan vagina

e.Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok. f.
Trauma pada saraf :

1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka
waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.

2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal
disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.

2. Komplikasi lanjut

a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak yang
hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.

b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.

71
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada daerah
asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan,
maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta
osteoartritis dikemudian hari.

d. Skoliosis kompensator

C. Ruptur Uretra

Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas rupture uretra posterior yang terletak
proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak distal diafragma
urogenital. Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanta robekan mukosa baik parsial
atau total. Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis.

Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranesa karena prostat bersama
uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranesa
terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada
rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-
buli dan prostat terlepas ke kranial.

Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra
terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu, atau palang sepeda, denga tulang simfisis.

Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh
instrumentasi urologic, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.

Gambaran klinis

Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik
dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur
kandung kemih bias ditemukan tanda rangsang peritoneum.

Pada rupture uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan
skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila
terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bias buang air kecil sejak terjadi trauma, dan
nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan kandung
kemih yang penuh.

Cedera uretra karena kateterisasi dapatbmenyebabkan obstruksi karena udem atau bekuan
darah.abses periuretra atau sepsis mengakibatkan demam.ekstrafasasi urin dengan atau tanpa
darah dapat meluas jauh,tergantung fasia yang turut rusak.pada ekstrafasasi ini mudah timbul
infiltrate yang disebut infiltrate urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi
infeksi.

Diagnosis

Ruptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit dimeatus uretra disertai
patah tulang pelvis.selain tanda setempat,pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat
seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diagfragma urogenital.kadang sama sekali

72
tidak terba prostat lagi karena pindah kekranial.pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan
hati karena fragmen tulang dapat mencedrai organ lain,seperti rectum.

Kecurigaan rupture uretra anterior timbul bila ada riwayat kangkang atau istrumentasi
dan darah yang menetes dari meatus uretra.

Pemeriksaan radiologi dengan uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan
tipe rupture uretra

Terapi

Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau organ
lain,cukup dilakukan sistostomi.respirasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan
anastomosis ujung ke ujung ,dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu,bila disertai
cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan respirasi 2-3 hari kemudian,sebaiknya
dipasang kateter secara langsir(railroading)

Pada rupture uretra anterior total,langsung dilakukan pemulihan uretra dengan


anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal.dipasangn kateter silicon selama 3
minggu.bila rupture parsial,dilakukan sistomi dan pemasangan voley diuretra selama 7-10
hari,sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera.kateter sistostomi baru dicabu bila saat kateter
sistostomi diklem ternyata penderita bias buang air kecil.

Komplikasi

Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi,hematoma,abses

DAFTAR PUSTAKA

Carpentio, L,J.diagnosa keperawatan aplikasi pada praktek klinis: TIM PSIK UNPAD
edisi periuretra,fisteluretrokutan,dan epididymitis.

Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra,khusus pada rupture
uretra posterior,dapat timbul komplikasi impotensi dan inkontinensia.

 6, EGC, jakarta.

73
 Departemen kesehatan. Seri PPGD edisi 3. Jakarta.2006
 Initial Assesment dan Resusitasi dalam Advence trauma life Support (ATLS) Manual untuk
Peserta Kursus. Jakarta : American College of Surgeons;2005
 Utama, Harry SY, Diagnosis and Treatment of Head Injury. 2012/07/cidera-kepala-
diagnosa-html.
 Moore KL., Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.
 https://id.scribd.com/doc/226469252/REFERAT-Trauma-Kapitis.
 Departemen kesehatan. Seri PPGD edisi 3. Jakarta.2006
 Richard Buckley. 2018. TREATMENT FRACTURE.
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall Diakses tanggal 12
April 2019.
 American College of Surgeons(ACS)Comminttees on Trauma.Advanced trauma life
suppors(ATLS) student course manual.Edisi ke-9
 Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-deJONG.Edisi ke-3.Jakarta :ECG
 Ningrum, Manajemen Perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam jiwa. Diakses
dari:www.ejournal.unid.ac.id/manajemen%20%20perdarahan%padafrakturpelvis
%20mengancam%20jiwa%.html. 2. Fraktur pelvis.
http://www.scribd.com/doc/52302577/24/Fraktur-tulang-panggul
 Sulistyanto R. Fraktur Pelvis. 2010. Diakses dari : http://fraktur
%20pelvis/frakturpelvis.html
 Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6
 https://www.academia.edu/29434934/Laporan_Pendahuluan_Fraktur_Pelvis

MODUL KESADARAN MENURUN


&
NYERI PINGGANG

74
KELOMPOK III
UWAYS AL-QARNI BAYAN (09401711003)
CHENTIA LELY GAMGENORA (09401711004)
INDI BELA ANUGRA (09401711023)
FAREL ABUKARIM (09401711025)
NAISYAH MARADJABESSY (09401711027)
ANDIKA ISRA NUGRAHA (09401711029)
VIVI CHRISTIN LONGGORUNG (09401711030)
DARA PUSPITA IRBANI (09401711034)
RATYH JIHAN SAFIRA (09401711042)
PUTRI ASSAYIDATINA F. ABAS (09401711043)

KEGAWATDARURATAN DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2019

PENDAHULUAN

Modul ini merupakan bagian dari Blok Kegawatdaruratan dan Traumatologi yang diberikan
untuk mempermudah mahasiswa dalam kegiatan tutorial. Pada modul ini diberikan skenario
yang menunjukkan suatu gejala klinik dari kondisi pasca trauma pada beberapa penyakit.
Mahasiswa diharapkan mendiskusikan bukan hanya pada inti masalah tapi juga semua hal yang

75
berhubungan dengan permasalahan tersebut, misalnya patomekanisme penyakit yang
memerlukan pengetahuan anatomi, histologi, fisiologi, serta proses biokimia yang terjadi. Hal
yang ditekankan disini adalah bagaimana memecahkan masalah yang diberikan dan bukan untuk
diagnosisnya.

Mahasiswa harus membaca Tujuan Instruksional Umum (TIU) terlebih dahulu sehingga
diharapkan diskusi tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran serta tercapainya kompetensi
yang diharapkan. Bahan untuk diskusi dapat diperoleh dari bahan perkuliahan yang telah
diberikan serta referensi yang diberikan oleh masing-masing dosen pemberi kuliah.

Penyusun mengharapkan modul ini dapat membantu mengarahkan mahasiswa


dalammemecahkan masalah dan menegakkan diagnosa penyakit sistem terkait serta bagaimana
penanganannya.

Ternate, 10 Januari 2019

Penyusun

dr. Marwa Widuri Anwar

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan
menjelaskan tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan kesadaran menurun dan
nyeri pinggang post trauma, kemudian menilai, dan melakukan tindakan yang cepat dan tepat.

STRATEGI PEMBELAJARAN

76
7. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor.
8. Diskusi kelompok tanpa tutor.
9. Konsultasi pada pakar.
10. Kuliah khusus dalam kelas.
11. Aktifitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan menggunakan buku
ajar, majalah, slide, tape atau video, internet.
12. Latihan keterampilan klinik di Laboratorium.

SKENARIO
Skenario 1
Seorang laki-laki 25 tahun dibawa ke Puskesmas dalam keadaan tidak sadar. Setelah tiba di
Puskesmas, dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasien, namun pasien tidak memberikan respon
dan terdengar suara mendengkur dengan frekuensi napas 42 kali/menit. Wajah pasien terlihat pucat
dan nadi radialisnya tidak teraba. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan jejas pada pelipis kiri sampai ke
bahu kiri. Menurut keterangan orang yang mengantar, pasien mengalami kecelakaan motor.

Skenario 2

Seorang laki-laki 30 tahun dibawa ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri
pinggang dan perut bagian bawah serta tidak dapat berkemih. 6 jam sebelumnya pasien
menabrak pohon. Bagian pinggang kiri pasien terbentur pada setang motor dan jatuh dengan
panggul membentur tanah. Dilakukan tindakan kateterisasi namun gagal.

TUGAS MAHASISWA
6. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa mendiskusikan hal
tersebut dalam satu kelompok diskusi yang terdiri dari 12-15 orang, dipimpin oleh seorang
ketua dan seorang penulis yang dipilih oleh anggota kelompok mahasiswa sendiri. Ketua
dan penulis ini sebaiknya berganti setiap kali diskusi. Diskusi kelompok ini bisa dipimpin
oleh seorang tutor atau secara mandiri.

77
7. Melakukan aktifitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan
menggunakan buku ajar, majalah, slide, tape atau video, internet dan sebagainya, untuk
mencari informasi tambahan.
8. Melakukan diskusi kelompok mandiri tanpa tutor, melakukan curah pendapat
bebas antar anggota kelompok untuk menganalisis atau mensintesis informasi dalam
menyelesaikan masalah.
9. Berkonsultasi pada nara sumber yang ahli pada permasalahan dimaksud untuk
memperoleh pengertian yang lebih mendalam (tanya pakar).
10. Mengikuti kuliah khusus (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang belum
jelas atau tidak ditemukan jawabannya.

PROSES PEMECAHAN MASALAH

Dalam diskusi kelompok dengan memakai metode curah pendapat., mahasiswa


diharapkan dapat memecahkan masalah yang terdapat dalam skenario ini, yaitu dengan
mengikuti 7 langkah penyelesaian masalah di bawah ini :

8. Mengklarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, kemudian tentukan
kata/kalimat kunci skenario
9. Mengidentifikasi dasar masalah skenario diatas dengan membuat beberapa
pertanyaan penting
10. Melakukan analisis dengan mengklasifikasi semua informasi yang didapat
11. Melakukan sintesis informasi yang terkumpul
12. Menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh kelompok mahasiswa
atas kasus diatas bila informasi belum cukup.
Langkah 1 s/d 5 dilakukan dalam diskusi mandiri dan diskusi pertama bersama tutor.
13. Mahasiswa mencari tambahan informasi tentang kasus diatas diluar kelompok
tatap muka
14. Mahasiswa melaporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi baru yang
ditemukan Langkah 7 dilakukan dalam kelompok diskusi dengan tutor Keterangan:
Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi yang diperlukan
untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6 bisa diulangi, dan selanjutnya dilakukan lagi
langkah 7.

Kedua langkah diatas bisa diulang-ulang pada tutorial atau diluar tutorial, dan setiap akhir
diskusi tentukan tujuan pembelajaran berikutnya. Setelah informasi dirasa cukup maka pelaporan
dilakukan dalam diskusi akhir, yang biasanya dilakukan dalam bentuk diskusi panel dimana
semua pakar duduk bersama untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang masih belum jelas.

JADWAL KEGIATAN

Sebelum dilakukan pertemuan antara kelompok mahasiswa dan tutor, mahasiswa dibagi
menjadi kelompok-kelompok diskusi yang terdiri dari 9-10 orang tiap kelompok. Modul

78
dibagikan kepada mahasiswa, mahasiswa telah membahas sKenario (pertanyaan dan jawaban)
sebelum masuk ke dalam tutorial

Pendahuluan dilakukan di kelas besar dengan tatap muka satu arah untuk penjelasan dan
tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara menyelesaikan modul, dan
membagi kelompok diskusi. Pada pertemuan buku modul dibagikan.
7. Pertemuan pertama : diskusi tutorial 1Tujuan: untuk melaporkan informasi baru yang
diperoleh dari pembelajaran mandiri dan melakukan klasifikasi, analisa dan sintese dari
semua informasi skenario 1
8. Pertemuan kedua : diskusi tutorial 2 seperti pada tutorial 1. Tujuan: untuk melaporkan
informasi baru yang diperoleh dari pembelajaran mandiri dan melakukan klasifikasi, analisa
dan sintese dari semua informasi skenario 2
9. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari informasi baru yang
diperlukan,
10.Diskusi mandiri ; dengan proses sama dengan diskusi tutorial. Bila informasi telah
cukup, diskusi mandiri digunakan untuk membuat laporan penyajian dan laporan tertulis.
Diskusi mandiri bisa dilakukan berulang-ulang diluar jadwal.
11.Pertemuan keempat : diskusi panel dan tanya pakar. Tujuan: untuk melaporkan hasil
analisa dan sintese informasi yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah pada skenario.
Bila ada masalah yang belum jelas atau kesalahan persepsi, bisa diselesaikan oleh para pakar
yang hadir pada pertemuan ini. Laporan penyajian dibuat oleh kelompok dalam bentuk
sesuai urutan yang tercantum pada buku kerja.

12.Masing-masing mahasiwa kemudian diberi tugas untuk menuliskan laporan tentang salah
satu penyakit yang memberikan gambaran seperti pada skenario yang didiskusikan pada
kelompoknya. Laporan ditulis dalam bentuk laporan penyajian dan laporan lengkap.

BAHAN BACAAN DAN REFERENSI

6. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular


Care, volume 102, Number, August 22, 2000

79
7. Kattwinkel, John (ed)., Textbook of Neonatal Resuscitation, 4th ed., American
Academy of Pediatrics, diterjemahkan dalam Buku Panduan Resusitasi Neonatus, Edisi ke 4,
Perinasia, Jakarta, 2001
8. Tintinalli, JE. (ed), Kelen, GD., Stapczynski, JS., Emergency Medicine, International
ed., 5th edition, McGraw-Hill, 2000
9. Amcan college of surgeons, Advance Trauma Life Support Program for Doctors, 6th
edition, USA, 1997
10. Rahardjo, Eddy, dkk, Seri PPGD Penanggulangan Penderita Gawat Darurat/General
Emergency Life Support (GELS), Materi Teknis Medis Standar (ABCDE), Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik, Dept. Kesehatan RI, 2003

DOSEN
PENGAMPU
NO. NAMA DEPARTEMEN KETERANGAN
1. dr. Marhaeni Hasan, Ilmu Kesehatan Anak Dekan

80
Sp.A, MM.
2. dr. Dwi Handoko, Sp.P Fisiologi / Ilmu Penyakit Paru
3. dr. Ferdian Hidayat, Anatomi / Ilmu Bedah
Sp.B
4. dr. Abdul M. Pattiiha, Ilmu Bedah Koordinator Blok
Sp.B
5. dr. Diadon Mitaart, Anatomi / Ilmu Bedah
Sp.B
dr. Fasni Halil, M.Kes, Histologi / Patologi Klinik
6.
Sp.PK
dr. Andi Sitti Nur Biokimia / Patologi Klinik
7.
Afiah, M.Kes, Sp.PK
8. dr. Dewi Damayanti, Anatomi/ Ilmu Radiologi
Sp.Rad
9. dr. Husein Assagaf, Ilmu Kesehatan Anak
M.Kes, Sp.A
10. dr. Endang Kristanti, Neurologi
Sp.S
11. Dosen UNHAS Ortopedi, Anestesi, Mata
12. dr. Wahyunita Do Histologi / Mikrobiologi Sekretaris Blok
Toka
13. dr. Nurmala Dewi MEU
14. dr. Fera The, M.Kes Biokimia/ MEU
15. dr. Dian Megasari Anatomi / MEU
16. dr. Nur Upik En Fisiologi / MEU
Masrika

V. KLARIFIKASI KATA SULIT

VI. KLARIFIKASI KATA / KALIMAT KUNCI

81
Skenario I
4. Seorang laki-laki 25 tahun
5. keadaan tidak sadar
6. Hasil pemeriksaan:
 Pasien tidak memberikan respon
 Terdengar suara mendengkur
 Frekuensi napas 42 kali/menit
 Wajah pucat
 Nadi radialis tidak teraba
-Pemeriksaan fisik : jejas di pelipis kiri sampai di bahu kiri
-Pasien mengalami kecelakaan motor.

Skenario II
8. Seorang laki-laki 30 tahun
9. dibawa ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri pinggang dan perut bagian bawah
10. tidak dapat berkemih
11. 6 jam sebelumnya pasien menabrak pohon
12. Bagian pinggang kiri pasien terbentur pada setang motor
13. jatuh dengan panggul membentur tanah
14. Dilakukan tindakan kateterisasi namun gagal

VII. PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING

Skenario I
1.Bagaimana Penanganan Awal Dan Lanjutan Dari Skenario ?

82
2. Jelaskan Neuroanatomi Dari Skenario ?
3. Sebutkan Dan Jelaskan Kualitas Kedaran ?
4. Jelaskan Patomekanisme Penurunan Kesadaran ?
5. Jelaskan Etiologi Penurunan Kesadaran ?
6. Jelaskan Diferensial Diagnosis Dari Skenario?

Skenario II
6. Jelaskan anatomi pelvis dan regio abdomen?
7. Bagaimana penanganan awal dan kegawatdaruratan ortopedi dari skenario?
8. Jelaskan patomekanisme dari skenario?
9. Apa penyebab retensi urin dan bagaimana penatalaksanaanya?
10. Apa diferensial diagnosis dari skenario ?
 Definisi ?
 Etiologi ?
 Manifestasi klinik ?
 Langkah diagnosis ?
 Penatalaksanaan ?
 Komplikasi ?
 Prognosis ?

VIII. JAWABAN PERTANYAAN SKENARIO I

6. Bagaimana penatalaksanaa awal pada skenario ?


Primary survey :

83
Tujuan dari primary survei adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera
masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primari survey antara lain
(fulde, 2009):
6) Airway maintenance dengan cervical spine protection
7) Breathing dan oxygenation
8) Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
9) Disability-pemeriksaan neurologis singkat
10) Exposure dengan kontrol lingkungan

F. AIRWAY
Periksa apakah terdapat sumbatan jalan napas atau tidak, terdapat suara napas tambahan
atau tidak dan apakah terdapat benda asing yang dapat membuat jalan napas tersumbat.
Pengelolaan Gangguan Pada Jalan Napas

Tanpa Menggunakan Alat:

4. Manipulasi Dengan Menggunakan Tangan


HEAD TILT
- Baringkan korban terlentang
- Letakkan: telapak tangan menahan dahi korban ke belakang
- Letakkan jari telunjuk dan jari tengah menahan dagu kedepa
- Evaluasi jalan napas.

CHIN LIFT
- Jari jari telunjukdan jari tengah diletakkan di bawah rahang
- Secara hati-hati dagu diangkat ke atas untuk membawa kearah depan
- Ibu jari tangan yang sama menekan bibir bawah untuk membuka mulut
- Ibu jari dapat juga diletakkan dibelakang gigi seri (incisor) bawah

84
- Secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat

Tekhnik pembebasan jalan napas head tilt/ chin lift.

JAW THRUST
 Baringkan korban terlentang
 Sudah dilakukan head tilt dan chin lift namun jalan napas belum bebas sempurna
 Dorong ramus vertikalis mandibula kiri dan kanan ke depan
 Sehingga barisan gigi bawah di depan barisan gigi atas
 Evaluasi jalan napas

5. MEMBERSIHKAN JALAN NAPAS DARI BENDA ASING


BENDA ASING CAIR:
 Baringkan korban, terlentang atau miring.
 Bila mungkin kepala lebih rendah.
 Dengan sapuan jari tangan dan mempergunakan bahan yang dapat meresap cairan
misalnya kain, kasa , kapas, tissue.
 Memakai pipa , hisap dengan mulut.
 Memakai pipa hisap dengan alat pengisap mekanik, elektrik.
6. Dengan alat bantu
 Pipa orofaring
 Pipa nasofaring
 Intibasi endotrakeal
 Krikotirotomi
 Trakeostomi

85
G. BREATHING
Apakah pasien bernapas cukup?
Apakah ada pengembangan dada?
Pengembangan simetris atau tidak?

Pertukaran Udara Harus Adekuat, dengan :


• memaksimalkan oksigenasi
• memaksimalkan pengeluaran CO2

Perlu pemeriksaan fisis yang tepat dan cepat pada :


• Paru
• Dinding Dada
• Diafragma

Alat napas buatan:


6. Mulut penolong ke mulut / hidung korban
7. Mulut penolong ke masker pada korban
8. Ambu-bag / self inflating bag
9. Jackson-Reese, Water’s dan alat anestesi dengan reservoir O2
10. Ventilator

H. CIRCULATION
Periksa TD, Nadi, CRT, warna kulit, turgor kulit, pendarahan dan produksi urine.

Volume Darah dan Curah Jantung

c. Tingkat Kesadaran
Perfusi otak terganggu

d. Skin Colour
Vasokontriksi:
• Basah/dingin, pucat/kelabu
• Capillary Refill Time

Pengembalian volume sikulasi yang efektif dan adekuat dengan menentukan derajat
kehilangan cairan

<5% Riwayat + Fisis - Rehidrasi


melalui
oral
Turgor kulit Mukosa Laju jantung Tekanan darah Jalur Terapi
mulut
7%  Kering N/ N Jalur
intravena
perifer

86
10%  Kering   Jalur
intravena
perifer
12%  Kering   Pertimbang
kan Kateter
Vena
Sentral

Tahap terapi :

 Darurat
 penggantian
 Rumatan/ pemeliharaan

I. DISABILITY (STATUS NEUROLOGI)


- AVPU (Cepat Dan Sederhana)
A. ALERT
B. Responds To VOCAL
C. Responds To PAIN
D. UNResponsive
- Refleks Pupil

J. EXPOSURE
Evaluasi Dari Kepala Sampe Kaki

SECONDARY SURVEY

5. ANAMNESIS

Setiap pemeriksaan yang lengkap membutuhkan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.


Selain itu riwayat AMPLE perlu ditanyakan.

Riwayat “AMPLE” terdiri atas :


A : Alergi
M : Medication
P : Past illness ( penyakit penyerta ) / pregnancy
L : Last meal
E :Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan riwayat
perlukaan/ cedera.

6. PEMERIKSAAN FISIS

87
 Inspeksi : Multiple trauma : jejas pada pelipis kiri , bahu kiri.
 Palpasi : Adanya krepitasi pada daerah tulang yang mengalami trauma.
Kemungkinan di daerah pelipis, dan sekitar clavicula yang mengalami fraktur. Terdapat
juga nyeri pada daerah yang fraktur.
 Perkusi : terdengar redup pada daerah yang mengalami perdarahan intaabdominal
 Auskultasi : suara tambahan serta irama denyut jantung pada gangguan hemodinamik,
serta menghilangnya suara bising usus.

Head:
Observasi dan palpasi, ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani diperiksa untuk
melihat adanya darah atau CSF. Battle s sign (ecchymosis di mastoid) yg menunjukkan
adanya Fraktur Basis Cranii. Serta diperiksa dan dicari Cedera di daerah Maxillofacial dan
cervical spine.
Neck:
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cer vical. Rontgen cervical lateral (C1-C7) harus
dikerjakan.

Chest:
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta t horaks foto. Diperiksa dan dicari Pelebaran
mediastinum, fractur costae, flail segment, haemothorax, pneumothorax, dan contusio paru.

Abdomen:
fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan intervensi bedah.
Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, Ct-Scan, atau laparotomi cito harus segera
diambil.

Rectal:
Adanya darah menunjukkan perforasi rektum, prostat letaktinggi menandakan adanyaruptur
uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rektum menunjukkan adanya fraktur pelvis.

Examination of Extremities:
Dicari adanya cedera vaskular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakanindikasi dilakukannya aortografi.

Neurologic examination:
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebralhemispheric, brainstem dan spinallevels

Re-Evaluasi
1.Penurunan keadaan dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus ,
sehingga gejala yg baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditanganisecepatnya.
2. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin org dewasasebaiknya
dijaga ½ cc/kgBB/jam, pd anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderitadalam keadaan kritis dapat
dipakai pulse oximeter dan end tidal CO2 monitoring.

88
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiat atau anxiolitika
harusdiberikan secara I.V dan sebaiknya jangan I.M.

Terapi Definitif
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untukkeputusan
merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila keputusanmerujuk
penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok
untukpenanganan pasien.

Rujukan
Bila cedera penderita terlalu sulit untuk dapat ditangani , penderita harus dirujuk.Proses
rujukan ini harus dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan , karena menundarujukan
akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita. Tentukan : indikasi rujukan.
prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan, dan cara komunikasi dg dokter
yang akan dirujuk.

Transportasi
Syarat Transportasi PenderitaMemenuhi syarat
- Gangguan Pernapasan & CV t elah ditanggulangi Resusitasi bila perlu
- Perdarahan dihentikan
- Luka ditutup
- Patah tulang difiksasi Selama Tranportasi

Monitor:
- Kesadaran
- Pernapasan
- Tekanan Darah dan Denyut nadi
- Daerah perlukaan

Syarat Alat Transportasi Kendaraan


- Darat (Ambulance,Pick up, truck ,gerobak ,dll)
- Laut (perahu,rakit,kapal, perahu motor dll)
- Udara (Pesawat terbang,helikopter)
Yang terpenting adalah:
-Penderita dapat terlentang
-Cukup luas minimal untuk 2 penderita & petugas dapat bergerak leluasa
- Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infus dapat jalan
- Dapat melakukan komunikasi ke sentral komunikasi dan rumah sakit
- Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulan lain

89
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Radiologi : CT-SCAN kepala, foto servical lateral, foto thorax AP, foto abdomen, foto
pelvis
 DPL (Diagnostic peritoneal lavage): untuk menilai trauma tembus atau trauma tumpul,
dan adanya perdarahan intraperitoneal.
 Pemeriksaan Analisa Gas Darah: utuk mengetahui kadar CO2 dalam darah
 Hematokrit: untuk menilai sejauh mana kehilangan darah pasien dan seberapa banyak
transfusi yang dibutuhkan.

8. OBAT-OBAT EMERGENCY

Epinephrin
 Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau syok
anfilaktik, hipotensi.
 Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan intratrakeal atau
transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena. Untuk reaksi reaksi atau syok
anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi
bradikardi atau hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1 mg =
1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1 μg/mnt dititrasi sampai
menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 μg/mnt
 Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan meningkatkan aliran
darah ke otak dan jantung

Lidokain (lignocaine, xylocaine)


 Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT, Ventrikel
Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T
 Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit sampai dosis total 3
mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
 Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama idioventrikuler

Sulfas Atropin
 Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim
konduksi AtrioVentrikuler
 Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok
derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan
iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat (atropinisasi)
 Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III.
 Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-0,04 mg/kg
BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg.

90
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
diencerkan menjadi 10 cc

Dopamin
 Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah
jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat
 Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul
dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa

Magnesium Sulfat
 Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel takikardi,
keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia
 Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5% diberikan selama
5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam

Morfin
 Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest.
 Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit

Kortikosteroid
 Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk
mengurangi edema cerebri

Natrium bikarbonat
 Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul pada
henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III) dan
overdosis antidepresi trisiklik.
 Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.
 Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.
Kalsium gluconat/Kalsium klorida
 Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel otot jantung
terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi
akibat darah donor yang disimpan lama
 Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan menggunakan drip
 Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk Kalsium klorida.
Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan 1 ampul Kalsium gluconat

Furosemide
 Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak
 Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah hipotensi, dehidrasi
dan hipokalemia
 Dosis 20 – 40 mg intra vena

91
Diazepam
 Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan tetanus
 Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan
 Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit.

2.Jelaskan Neuroanatomi Dari Skenario ?

C. Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os occipitale
sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia
temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas
skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica),
loose connective tissue (jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut
dengan scalp (Moore & Agur).

D. Tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk mandibula. Kranium mempunyai
dua bagian besar, yakni kalvaria (atap tengkorak) yang sering disebut neurokranium dan
selaput otak.

1.Tengkorak atau Kalvaria Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal,


parietal dan oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe.
Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap kranium,
sementara diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan memberi tempat untuk
memproduksi sumsum darah.

2. Kranium Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal
yang membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita; os parietal
yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang membentuk dasar dan
bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan struktur penyangga penting dari
rongga nasal dan berperan dalam pembentukan orbita mata dan os sfenoid yang
membentuk dasar anterior kranium (Moore & Agur).

a. Aspek Anterior Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os


zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula (Moore & Agur).

b. Aspek Lateral Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah ,Os
kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior, linea temporalis
inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion, processus mastoideus ossis
temporalis, meatus acusticus externus dan processus styloideus ossis temporalis. Os
wajah yakni mandibula terletak dua bagian: bagian horisontal, yakni corpus mandibulae
dan bagian vertikal, yakni ramus mandibulae (Moore & Agur).

c. Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os parietale dan os


temporale. Protuberentia occipitalis externa adalah benjolan yang mudah diraba di
bidang median. Linea nuchalis superior yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke

92
lateral dari protuberentia occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu
jelas (Moore & Agur).

d. Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os parietale dextra
dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior. Sutura coronalis memisahkan os
frontale dari os parietale; sutura sagitalis 11 memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu
dari yang lain; dan sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os
occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan sutura coronalis.
Titik vertex merupakan titik teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di
dekat titik tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu antara sutura lamboidea
dan sutura sagitalis (Moore & Agur).

C. Meningen merupakan selaput atau membarne yang terdiri dari connective tissue yang
melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu duramater, araknoid, dan
piamater.

1. Duramater: adalah selaput keras terdiri dari jaringan fibrosa yang melekat erat dengan
bagian dalam kranium.

2. araknoid:merupakan Jaringan ikat tipis (transparan)

3. piamater: merupakan Jaringan Ikat tipis yang Melekat pada medula spinalis

D. Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon,
pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan
arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks
serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil
yang disebut lobus. (Moore & Argur).

Otak terdiri dari 3 bagian, yaitu:

1. Serebrum (Otak Besar) Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing
hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian
lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing
adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC).
e. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal
bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik
dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini
berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis).

93
f. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum.
Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini
terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas
intelektual (Ellis).
g. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis
yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal
berperan penting dalam kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa
dalam bentuk suara (Ellis).
h. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini
berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis).
7. Serebelum (Otak Kecil) Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di
bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh
dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis
otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan
tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya (Clark).

8. Batang Otak Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar
dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan
darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat
massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat
wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun
(CDC).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan IV
diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, 12 pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran (Moore & Argur).

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan medulla
oblongata.Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan
dengan pons (Moore & Argur).

c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan
berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial
posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII
berada pada perhubungan dari pons dan medulla (Moore & Argur ).

94
e. Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
yang bertujuan melindungi otak dari benturan, bakteri dan juga berperan sebagai
pembersih lingkungan otak. Jumlah cairan serebrospinal pada orang dewasa berkisar
antara 75-150 ml. Jumlah ini konstan sesuai hukum monroe-kelli kecuali jika terdapat
kondisi yang tidak seimbang antara komponen parenkim, darah dan cairan serebrospinal.
Produksi cairan serebrospinal berkisar 0,35 ml permenit atau sekitar 500 ml per hari.

3. Sebutkan dan Jelaskan Kualitas Kesadaran ?

DERAJAT KESADARAN

Secara Kualitatif

6. ComposMentis
(conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.

7. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh.
8. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
9. Somnolen(Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
10. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6.Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).

9. Jelaskan Patomekanisme Penurunan Kesadaran !


Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri
dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua
sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan.

Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network system
yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain
stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla,
pons, mesencephalon menuju ke

subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.


Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).Kesadaran ditentukan oleh interaksi
kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas),
dengan ascending reticular activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari

95
pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-
jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks

serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap
sadar (awake).

Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. Korteks
serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini
berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau input-input rangsangan
sensoris, hal ini disebut juga sebagai awareness.

Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya
pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak,
terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon.

Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat
(kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness, alertness)
kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.

10. Jelaskan Etiologi Penurunan Kesadaran ?


Mekanisme Dan Penyebab Utama Koma (Kumar & Clark, 2006)

NO MEKANISME ETIOLOGI

1. Disfungsi otak difus - Overdosis obat, alcohol abuse

- Keracunan CO, gas anestesi

- Hipoglikemia, hiperglikemia

- Hipoksia, cedera otak iskemik

- Ensefalopati hipertensif

- Uremia berat

- Gagal hepatoselular

- Gagal napas dengan retensi CO2

- Hiperkalsemia, hipokalsemia

- Hiponatremia, hipernatremia

-Hipoadrenalisme,hipopituarisme,

96
hipotiroidisme

- Asidosis metabolik

- Hipotermia, hipertermia

- Trauma kepala tertutup

- Epilepsi pascabangkitan umum

- Ensefalitis, malaria serebral, septikemia

- Perdarahan subaraknoid

- Gangguan metabolik lainnya (mis. porfiria)

- Edema otak karena hipoksia kronik

2. Efek langsung di - Perdarahan atau infark


batang otak
- Neoplasma misalnya glioma

- Demielinasi

- Sindrom Wernicke-Korsakoff

- Trauma

3. Tekanan terhadap -Tumor hemisfere, infark, abses, hematoma,


batang otak ensefalitis atau trauma

6. Jelaskan Diferensial Diagnosis Dari Skenario?

1.EPIDURAL HEMATOM

97
Adanya penumpukan darah pada duramater dan tabula interna. Paling sering terjadi pada
Frontal dan Temporal. Sumber perdarahan dari arteri Meningea Media yang disebabkan oleh
fraktur tulang, dapat juga oleh vena atau diploe.

Karena duramater berlekatan erat dengan permukaan dalam melekat, diperlukan tekanan
yang cukup besar untuk menimbulkan kumpulan cairan pada lokasi ini.

Penyebabnya hampir selalu robekan di arteri meningea media, pembuluh darah mengingea
terbesar. Fraktur seperti ini sering terjadi tanpa menimbulkan cedera serius lain pada otak.
Dengan demikian, banyak pasien dengan hematom epidural tetap sadar segera setelah
kejadian traumatic dan tidak kehilangan kesadaran hingga beberapa saat kemudian (yang
disebut “lucid interval”). Pasien tersebut kemudian dapat meninggal akibat akibat
peningkatan tekanan intracranial yang cepat kecuali hematoma segera didiagnosis dan
diangkat melalui operasi. Terapi yang tepat memberikan prognosis yang baik.

2. KONTUSIO SEREBRI
Definisis

Kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater

Etiologi

Kecelakaan, jatuh dan trauma

Manifestasi Klinis

Bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila
kondisi berangsur kembali , maka tingkat kesadaran pun akan berangsur kembali tetapi akan
memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti
biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila Terjadi edema
serebral. Gejala lain yang sering muncul:

 Gangguan kesadaran lebih lama


 Kelainan neurologik positip, reflek patologik positif, lumpuh konvulsi
 Gejala TIK meningkat

98
 Amnesia retrograd lebih nyata
 Tidak sadarkan diri
 Denyut nadi lemah
 Pernafasan dangkal
 Kulit dingin dan pucat
 sakit kepala

Bentuk Klinis

kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma scale (GCS)
 Ringan : GCS 13-15 ( dapat kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma)
 Sedang : GCS 9-12 ( Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak
 Berat : GCS 3-8 (kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga
meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

Diagnosis

Anamnesis :

Riwayat trauma kepala, keluhan subjektif (+)

Pemeriksaan Fisik :
Hilang kesadaran menit, jam, hari, minggu tergantung berat trauma, amnesia, defisit
neurologi berupa refleks patologi (+), pada keadaan yang sangat berat dimana edema sudah
demikian hebat disertai meningkatnya tekanan intrakranial maka akan didapatkan
gejala/deserebrasi dan gangguan fungsi vital.

Pemeriksaan penunjang :

 EEG Abnormal
 Rotgen kepala : fraktur cranii
 LCS : Darah/xanthocrom
 CT-SCAN : tampak hiperdens di girus-girus
Penatalaksanaan
Konservatif
Medikamentosa : terapi steroid, analgetik, terapi osmotik, terapi diuretik, terapi simtomatik,
terapi profilaksis terhadap infeksi.
Komplikasi

Benturan yang berat dan tidak segera diobati dapat menyebabkan edema serebri bertambah
hebat, tekanan intrakranial meningkat, dan dapat terjadi kematian.

Prognosis
Tergantung berat ringan trauma.
3. HEMATOMA SUBDURAL

99
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural Hematom yang
terbentuk karena perdarahan yang terjadi antara duramater dan arakhnoid ( di dalam ruang
sub arakhnoid ), waktunya lebih panjang jadi masih ada waktu untuk pengobatan atau
operasi. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arachnoid, sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya
darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya
disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang
menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif
yang menunjukkan lokasi gumpalan darah..

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk
akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai
akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural
pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural
akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup.
Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Hematoma subdural merupakan bentuk trauma intrakranial yang paling sering, hematoma
subdural tidak hanya terjadi pada cidera kepala berat tetapi juga dapat terjadi pada orang
dengan cidera kepala yang tidak terlalu berat seperti pasien tua atau yang menerima terapi
antikoagulan. Hematoma subdural mungkin juga terjadi secara spontan atau disebabkan oleh
prosedur diagnostik seperti fungsi lumbal. Secara umum, hematoma subdural
diklasifikasikan menjadi fase akut (terjadi dalam kurang 48 jam), fase subakut (terjadi antara
2 sampai 14 hari), dan fase kronik (berkembang selama berminggu-minggu dan lesi
hipodens). Presentasi dari hematoma subdural akut bervariasi sangat luas, beberapa pasien
datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma. Sebanyak 50% pasien trauma kepala
memerlukan operasi bedah saraf yang diklasifikasikan berdasarkan berat atau ringannya
trauma kepala (berdasarkan skor GCS). Dan beberapa dari pasien mengalami lesi
intrakranial.
Epidemiologinya Estimasi insiden hematoma subdural kronik sebesar 13,1 per 100.000
pertahun, dengan insiden 3,1 per 100.000 pertahun pada pasien usia kurang dari 65 tahun dan
58,1% per 100.000 per tahun pada pasien yang lebih tua. Insiden pada pasien trauma kepala
di Amerika Serikat diperkirakan 200 per 100.000 orang. Studi dari universitas California,
Los Angeles pada tahun 2006 mengevaluasi pasien trauma tumpul yang menjalani CT-Scan
cranial, 8,7% didapati memiliki trauma otak akut yang signifikan. Studi sebelumnya
menyatakan insiden trauma kepala tertinggi pada usia 10-29 tahun.
Pada pasien yang mengalami hematoma intracranial memerlukan dekompresi emergensi.
Hematoma subdural akut paling banyak dihubungkan dengan trauma otak yang luas, 82%
pada pasien koma dengan hematoma subdural terdapat kontusio parenkim. Tingkat
keparahan dari pada keterlibatan parenkim sangat berhubungan dengan prognosis pasien
nantinya. Hematoma subdural akut merupakan tipe trauma intracranial yang paling banyak,
terjadi pada 24% pasien dengan keadaan koma. Hematoma subdural juga berhubungan kuat

100
dengan kerusakan otak. Trauma yang signifikan tidak hanya menyebabkan hematoma
subdural. Hematoma subdural kronik dapat terjadi pada pasien tua setelah mengalami trauma
kepala yang tidak signifikan. Hematoma subdural kronik merupakan penyebab terbanyak
dimensia, dan sebagia kecil hematoma subdural kronik disebabkan oleh hematoma subdural
akut yang terapinya tidak adekuat.

Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural akut
dapat terjadi pada
• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia, kelainan
hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma serebral, malfromasi
arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural.
• Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal, lumboperitoneal
shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui
Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :
• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol kronis,
epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit
kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus.
Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan pembekuan, dan
terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada
pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang
lebih tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien
dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin.

Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di
dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan
cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus
pada tempat di mana vena tersebut menembus duramater. Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal. Sebagian
kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau

101
diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan
diantara hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi
traumatik dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik
akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil
perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan
karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan terbentuk
jaringan ikat yang menyerupai kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung sehingga memberikan gejala seperti tumor serebri
karena tekanan intrakranial yang meningkat secara perlahan-lahan.

Gambar 2.4. Proses Terjadinya Hematoma Subdural

Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Bridging vein
dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak mengecil, sehingga walaupun
hanya mengalami trauma ringan dapat menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena
perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga berlangsung lebih
lama dibandingkan pada perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa
hari. Pada hematoma subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula baik
pada bagian dalam dan bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah
pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari cairan
cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang
cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu

102
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang
yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral. Lebih lanjut dapat terjadi
herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada hematoma subdural kronik, didapatkan juga
bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalia lebih terganggu dibandingkan dengan
daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya
normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa
terjadi perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik. Faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsula dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan pada
perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara bertahap meluas ke seluruh
permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir
dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis, yang
menempel pada dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga
mengakibatkan skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan
perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan subdural
ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu
sendiri.

Klasifikasi
Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari 48 jam setelah trauma.
Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat sehingga dapat mengakibatkan perburukan
lebih lanjut pada pasien, serta baik kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi hiperdens.
Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar 2 sampai 14 hari
sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar, kemudian mengalami
perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita

103
akan memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon
terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi
dan menekan batang otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens.
Lesi isodens ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah trauma atau lebih. Gejala
umumnya muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas. Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, hematoma atau perdarahan yang terjadi
lama kelamaan dapat membesar secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan
penekanan dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat yang terbentuk mengelilingi
hematoma. Pada hematoma yang lebih baru, kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk
atau dalam ukuran yang masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembus dinding ini dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan meningkatnya volume hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subarachnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada
tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada saat
benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang
menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita dengan
hematoma subdural yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu
sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial impact).
Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan
penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan trauma yang ringan tidak akan
kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan
lesi massa intrakranial lainnya yang dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan
penurunan kesadaran setelah terjadinya trauma.
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat cedera otak primer
dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik
yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak
umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit
motorik. Akan tetapi, gambaran pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan

104
indikator yang mutlak dalam menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak
sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau
karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas tentorium.
Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma
menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil ini lebih
dipercaya sebagai indikator letak hematoma subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada tingkat yang ringan
(sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran pada hematoma subdural
tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali apabila terdapat efek massa
atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
peningkatan tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya
a.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam pasca
trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun dalam jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan
adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. 9,12,13

105
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, trauma yang
terjadi dianggap ringan, sehingga selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis seperti:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Langkah Langkah Diagnosis


Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari jatuh, kekerasan, atau
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan terhadap terjadinya subdural hematom akut
muncul kapapun ketika pasien mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat.
Gambaran klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi tersebut.
Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah kejadian. Beberapa pasien
dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam masa perburukan yang muncul perlahan
seiring perluasan hematoma. Pasien yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut
dibanding pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi menunjukkan rerata umur
pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa kejadian subdura hematoma akut adalah 26
tahun, sedangkan rerata umur yang mengalami subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh
karena itu pasien usia tua menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan subdural hematom
akut setelah cedera kepala.14 Hal ini diperkirakan terjadi karena pada pasien tua memiliki
otak yang lebih atrofi, sehingga mengakibatkan robekan yang lebih mudah terjadi pada
bridging vein segera setelah cedera kepala terjadi.
Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul antara 4 hingga 21 hari
setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik ditentukan sebagai SDH yang muncul pada 21 hari
atau lebih setelah cedera terjadi. Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH
yang lebih akurat jika menggunakan CT-scan.
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala atau
tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika
ada pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah
apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan lamanya
periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai
muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama
penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses
intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit

106
kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.
Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang
dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan
tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau
syok harus segeradilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.
Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan Cushing respon yaitu
peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.Pemeriksaan neurologis yang
meliputkankesadaran penderita dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter
kedua pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala
GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien
terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan fungsi ARAS, batang otak dan kortes).
Pemeriksaan diameter kedua pupil dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah telah
terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex
menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Apabila terjadi trauma langsung pada mata
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Tabel 2.1 Gejala-gejala pada Hematoma Subdural

Gejala Umum Gejala Ringan Gejala Akut/Berat


(sering) (sering) (jarang)
Sakit kepala Konfusi Hemiplegi

107
Tampak lelah Gangguan gaya Afasia
jalan
Mual/Muntah Penurunan Kejang
keadaan mental
Vertigo Kesulitan Koma
berbicara
Kelemahan
anggota gerak
Inkontinensia

Pemeriksaan Penunjang
Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh sebelumnya,cedera kepala minor,
onset dan perjalanan gejala klinis, penyakit kardiovaskular, gangguan pendarahan,
pengobatan,penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang; pemeriksaan fisik; dan
pemeriksaan darah; imaging otak perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. CT-
scan (Computed Tomography scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk
evaluasi awal cSDH.
Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain injury, kontusio pada otak
disertai dengan LCS dan darah yang mengalir keluar ke dalam ruang subdural dari ruang
subarachnoid pada korban cedera kepala sedang, sedangkan robekan arachnoid disekitar
bridging vein menyebabkan akumulasi sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan
cedera kepala ringan pada subdural.Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau
densitas yang bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang jelas, dan tidak
melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar SDH terjadi pada
permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat juga muncul antara hemisphere atau lapisan
diatas tentorium.Densitas hematoma bervariasi tergantung dari stadium evolusi hematoma.
Sebuah SDH akut (< 3 hari; gambaran hiperden pada CT -scan polos), berlanjut hingga
sekitar 3 minggu menjadi SDH subakut (3- 3minggu; gambaran isoden pada CT scan polos),
dan akhirnya menjadi SDH kronis (>3 minggu; gambaran hipoden pada CT scan polos)
(Gambar 2.5)
Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat gambaran SDH akut,
subakut, dan kronis(Gambar 2.6). Perhatian khusus pada gambaran isoden dari SDH
subakut karenadapat terlewat saat awal pemindaian. Magnetic resonance imaging (MRI)
memiliki tingkat keakuratan lebih baik daripada CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur
secara tepatsehingga gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah dikenali.
Pada hampir semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi oada MRI, tetapi hanya 27%
dapat ditemukanpada CT scan.
Meskipun begitu CT-scan tetap pilihan yang paling sering digunakan dalam menegakkan
diagnosis SDH karena harganya yang lebih murah, mudah di akses, dan lebih cepat. Ketika
menggunakan MRI, pemeriksaan ini berfungsi untuk menggambarkan batas SDH kronis dan
menentukkan struktur yang terdapat didalam hematoma.

108
Gambar 2.5. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.
Less 3 days old, hyperdens (A); subacute SDH, 3 days to 3 weeks old, isodens (B), and SDH
more than 3 weeks old, hypodens (C).

Gambar 2.6. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan Penurunan
Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient
sustained a fall 4 weeks before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute
component is slightly denser and is seen as the hyperdense area in the dependent portion.
Rontgen kepala adanya pergeseran dari glandula pincalis

Lakukan juga pemeriksaan LCS jernih dengan tekanan meninggi mengandung darah atau
xantochrom , pemeriksaan EEG abnormal tampak perlambatan fokal sampai difus dan pada
pemeriksaan Arteriografi karotis terlihat hematom berupa area avaskuler berbentuk
bikonveks antara jaringan otak dan tulang cranium.

Penatalaksanaan
Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi terhadap status
neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis dengan kompressi pada otak dan
midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis masih merupakan hal yang
controversial.
 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift > 5mm pada CT scan
dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat GCS pasien. (surgical
guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9) harus
dilakukan monitor tekanan intracranial.

109
 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan midline shift
< 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor GCS berkurang dan/atau
pasien menunjukkan pupil yang anisokor dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai terhadap SDH.
Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah anatesi
local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang terutama memiliki
polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang kontinyu dan
memberikan brain expansion setelah operasi.TDC dilakukan dengan membuat lubang
kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana
hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering digunakan
untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat
dengan lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran
30mm pada tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya
solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari
seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan
dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini juga
merupakan metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi, besarnya
jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian
besar dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika terdapat
rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi, kegagalan otak
untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau terdapat membran yang tebal.
Pada craniostomy dibuat sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu
dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan suatu
defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga dilakukan craniectomy, dimana bagian
tengkorak yang dianagkat akan ditanam pada peritoneum, sambil menunggu
hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.
 Subtemporal decompressive craniectomy
 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.
Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan, dan elvauasi yang
dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi tertentu.
Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang asimtomatik, pasien
yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki resiko tinggi untuk dilakukan

110
operasi. Meskipun metoda drainase operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH
kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan terapi
konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang muncul seperti
hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda – tanda yang
menunjukkan herniasi transtentorial seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda
kepada tenaga medis untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain
itu pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur memberikan
perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara umum terapi konservatif
dapat diberikan pada pasien dengan
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:


 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan koagulopati dan
memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya. Perbaikan terhadap faal
hemostasis sangatlah penting pada semua psien dengan subdural hematoma. Semua
pasien yang sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan penggunaan
antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus dilakukan pemeriksaan
serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial thromboplastin time), INR, dan level
platelet dan fibrinogen.
 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor penting
dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue plasminogen activator,
Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat
oleh kortikosteroid.

 Penatalaksanaan tekanan intrakranial


Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang terfixiri
dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan menggunakan doktrin
Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume otak, cairan likuor
cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk volume intrakranial.
Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah
Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume tersebut meningkat,
maka volume lain akan terdesak dan akhirnya tekanan intrakranial akan segera
meningkat. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro
Vascular Resistant) sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion pressure dan tubuh akan
mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing response.

111
CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial Pressure) - ICP
(Intracranial Pressure)
Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dengan meningkatkan MAP, sehingga tekanan darah akan meningkat disetai
dengan bradikardia, dan bradipnea. Oleh karena itu untuk mempertahankan aliran darah
ke otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan dimana tekanan perfusi otak bernilai
sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial <20mmHg.Beberapa upaya yang bisa di
lakukan untuk mencegah dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:
 Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg jika terdapat
intsabilitas spinal
 Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat dimonitor dengan analisis
gas darah serial)
 Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB, untuk
membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga beban cairan akan ditarik
masuk kedalam ruang intravaskular. Sebelum memilih menggunakan manitol perlu
untuk mengetahui fungsi ginjal pasien.
 Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan intrakranial,oleh
karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau analgesia akanmengurangi kecemasan
, ketakutan dan respon terhadap nyeri berupa postural spontan yang merupakan
factor yang mempengaruhi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dapat ditangani
dengan menggunakan morphine 2-5 mg/kg/jam dan vecuronium 10 mg/jam
 Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.
 Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan phenytoin 18
mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.
 Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk menururnkan TIK, dengan
metoda operatif ventriculostomy (burr hole).
Komplikasi

Jika diagnose dapat segera ditegakkan dan tindakan operatif cepat dilakukan maka
komplikasi tidak akan terjadi

Prognostik
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak
berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya
menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasusyang lain, memerlukan
tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.Tindakan operasi pada hematoma subdural
kronik memberikan prognosisyang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan
sembuh total.23Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka
mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1cm),
prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan
subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation) mempunyai prognosa baik dan
mendapatkan penyembuhan sempurna.16,23 Perdarahan subdural akut yang sederhana

112
(simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%.Perdarahan subdural akut
yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio
atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada
penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural
hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling penting untuk
meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.Angka mortalitas
pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan menyebabkan penekanan (mass
effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4
jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah
kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian.
Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor
yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma ekstra
axial di ruang subdural. Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-
satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome) penderita SDH akut.
Penderita yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita
SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%.
Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi.
Pada penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil
bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival sebesar 10%.
 Hematom subdural akut : 90% mortalitas
 Hematom subdural subakut : mortalitas 20% dan post operatif sembuh dengan baik
 Hematom subdural kronis : biasanya post operatif bisa sembuh dengan baik.

4. HEMATOMA SUBARAKNOID
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga 

subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid ditandai 

dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan 

dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan  bagian selaput

 yang membungkus otak.

Etiologi

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV)

Diagnosis

Anamnesa :

Didapatkan nyeri kepala yang ringan kemudian berkembang menjadi nyeri kepala hebat
dan mendadak.

Pemeriksaan fisik:

113
Fotofobia, meningismus,mual dan muntah .

Pemeriksaan penunjang :

CT scan ,pungsi lumbal, angiografi, MRI

Penatalaksanaan

Cari sumber perdarahan mengunakanyang dapat diintervensi dengan pembedahan maupun


tindakan vaskuler lainya.

Medikamentosa

 Paracetamol per os atau intravena pilihan utama untuk headcache

 Hipertensi harus diterapi dengan obat labetalol atau urapidil

 Pemberian PPI diindikasikan untuk mencegah ulkus peptik

 Pemberian nimodipine 60 mg per oral setiap 4 jam selama 21 hari

untuk mengurangi resiko iskemik serebral delayed akibat vasospasme

Fisioterapi

Jika ada gangguan /gejala sisa neurofisik

Komplikasi

Vasospasme dan perdarahan ulang (70%) ini merupakan komplikasi tersering dari
hematom subaracnoid Ada juga bebrapa komplikasi lainya seperti hidrocefalus
,hiperglikemi , epilepsi

Prognosis

Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi
bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu
pertama, dan 60% dalam 2 bulan pertama.

5. FRAKTUR BASIS CRANII


Definisi

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang dapat terjad pada dasar tulang tengkorak
yang tebal.

Manifestasi Klinis

114
 perdarahan dari telinga,hidung dan mulut
 keluar cairan dari telinga
 ekimosis preorbita
 ekinosis retroauricular(battle sign)dan otorhea
 parese nervus cranialis(Nervus I,II,III,IV,VII,dan VIII)
Diagnosis

Anamnesis

 Adanya riwayat trauma kepala


 fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang berbeda(fosa
anterior,fosa media,dan fosa posterior)
Pemeriksaan fisik

 Gejala penyerta :hematoma epidural dan subdural,comusio dan contusio cerebri


 hilang kesadaran
 refleks babinski(+)
 perdarahan dari telinga,hidung dan mulut
 keluar cairan dari telinga
 ekimosis preorbita
 ekinosis retroauricular(battle sign)dan otorhea
 parese nervus cranialis tergantung tempat fraktur(Nervus I,II,III,IV,VII,dan VIII)
Pemeriksaan penunjang

-CT scan

-LCS bercampur darah

-EEC

Penatalaksanaan

-Non medikamentosa

Cegah atau hentikan perdarahan,dan jika perlu konsul ke THT

-Medikamentosa

Karbosokrom Na-sulfonat(adona AC)dan asam treksamat

Antibiotik yang adekuat untuk mecegah terjadinya komplikasi

Obat-obat untuk gejala penyerta,misalnya KIR untuk contusio

Komplikasi

Bisa terjadi meningitis akibat infeksi dari luar.

Prognosis

115
Tergantung berat ringannya fraktur yang terjadi dan bisa sembuh tetapi masih meningalkan
gejala berupa lesi nn.cranialis dan sindroma cerebral post trauma.

6. COMMUTIO CEREBRI (GEGAR OTAK )


Commutio Cerebri atau Gegar Otak adalah cedera otak traumatis yang mengakibatkan fungsi
otak tidak normal. Kondisi ini biasanya terjadi akibat kepala terbentur, terpukul, atau jika
tubuh bagian atas terguncang keras, tidak ada jaringan otak yang rusak, hanya kehilangan
fungsi otak sesaat.

Manifestasi klinis

 Riwayat Trauma kepala


 Hilang kesadaran <30 menit (rata-rata 10-15 menit)
 Kel.subjektif berupa : mual, muntah, pusing
 Disertai atau tanpa Amnesia Retrograd/Anterograd
 Tidak ada lesi struktural pada otak

Pemeriksaan Penunjang

CT-Scan kepala dan MRI untuk mengamati apakah terjadi perdarahan di dalam kepala untuk
memeriksa komplikasi lebih lanjut setelah gegar otak.

Penatalaksanaan
Perawatan
 Bed rest
 Mobilisasi
 Selama perawatan di lakukan observasi paling sedikit 2x24 jam terhadap kesadaran,
tekanan darah, nadi, pernapasan, gejala tekanan intrakranial meningkat, defisit neurologis
yang timbul progresif , pupil mata.

Medikamentosa

Pengobatan terhadap luka dan perdarahan dengan antibiotik untuk

Pencegahan :

 Antikoagulan
 Ampisilin/amoksisilin
 Tetracycline
 ATS profilaksis

Hemostatistika :

 Karbasokrom Na-sulfonat (adona AC 17)


 Asam treneksamat

116
 Vit. B1, B6 dan B12 à untuk neurologis
 Obat encephalotropik

Pengobatan simptomatik, hanya diperlukan pada keadaan terpaksa/sangat diperlukan :

 Analgetika : metampyron, paracetamol, asam mefenamat.Antimuntah : metoklopramid,


dimenhidrinat (dramamine)Tranquilizer : diazepam
Prognosis

Sembuh sempurna bila di tangani dengan baik dan tepat, gegar otak apabila tidak di tangani
dengan baik dapat menibulkan komplikasi yang parah.

SKENARIO II

5. Jelaaskan Anatomi pelvis dan regio Abdomen ?


Pelvis / panggul
Pelvis (panggul) tersusun atas empat tulang: sakrum, koksigis, dan dua tulang inominata
yang terbentuk oleh fusi ilium, iskium, dan pubis. Tulang-tulang inominata bersendi dengan

117
sakrum pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang inominata sebelahnya di
simfisis pubis (Cunningham, et al, 2010). Panggul dibagi menjadi dua regio oleh bidang imajiner
yang ditarik dari promontorium sakrum ke pinggir atas simfisis pubis, yaitu:
a. Panggul palsu ,Terletak di atas bidang, berfungsi untuk menyokong intestinum.
b. Panggul sejati, Terletak di bawah bidang, memiliki dua bukaan yaitu: arpertura pelvis
superior (pintu atas panggul) dan arpetura pelvis inferior (pintu bawah panggul) (Baun, 2005).
Selama proses kelahiran pervaginam, bayi harus dapat melewati kedua pembukaan
panggul sejati ini (Amatsu Therapy Association and Amatsu Association of Ireland, 2006).

Gambar 2.1. Gambaran anteroposterior panggul normal wanita dewasa. Digambarkan


diameter anteroposterior (AP) dan Transversal (T) pintu atas panggul. Sumber:
Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed

Fungsi Pelvis
 Penyangga berat tubuh bagian atas
 Melindungi pelvic viscera
 Gerakan tubuh (duduk/berlutut/berjalan/berlari)
 Menyediakan perlekatan otot Proses kehamilan dan Kelahiran Pada wanita
Perbedaan antara pelvis pria dan wanita

118
4. Tulang Pelvis: Ileum (Tulang Usus)
• ASIS (Anterior superior iliac spine)
• AIIS (Anterior inferior iliac spine)
• PSIS (Posterior superior iliac spine)
• PIIS (Posterior inferior iliac spine)

5. Tulang Ischium (Tulang Duduk)

6. Sacrum
Terdiri dari 5 vertebrae yang menyatu. Berbentuk segitiga. Terbagi atas Lateral Mass & Central
Mass

Klasifikasi Pelvic

3. Greater(false) :Panggul yang lebih, besar Bagian dari rongga perut


4. Lesser( true) : Panggul yang lebih kecil/rendah Terletak di bagian, inferior pelivic
brim atau inlet pelvic. Terdiri dari: Pintu Atas Panggul( Pelvic Inlet) Pintu Bawah
Panggul(Pelvic Outlet)

119
Region abdomen

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks dan pelvis.
rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot abdomen,
columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen,
yang paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan
horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding
anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones).

Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang
bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh
yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio
abdomen tersebut adalah: 1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4)
lumbalis dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica/hipogastrica,
9) inguinalis sinistra

120
Gambar Pembagian anatomi abdomen berdasarkan lokasi organ yang ada di dalamnya (Griffith,
2003)

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian duodenum
fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari hepar.

3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis
kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.

4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian
duodenum dan jejenum.

5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.

6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum
dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.

8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.

Dengan mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat memprediksi organ mana
yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada
daerah atau regio tersebut (Griffith, 2003)
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari
bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua
yaitu bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian

121
kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ reproduksi pada wanita
(Trauma, 2012).
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena
cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan paskaerior kolon
ascenden dan descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga
pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga
peritoneal dan retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ
reproduksi interna pada wanita (Griffith, 2003).

6. Jelaskan penanganan awal pada skenario ?


Penatalaksanaan awal

PPGD memiliki tujuan, antara lain:


1. Mencegah terjadinya kematian
2. Mencegah terjadinya cacat tubuh;
3. Mencegah kerusakan yang lebih luas;
4. Mencegah terjadinya infeksi;
5. Mencegah rasa sakit pada korban.

Primary survey

Airway

Periksa apakah terdapat


sumbatan jalan napas atau tidak,
terdapat suara napas tambahan
atau tidak dan apakah terdapat
benda asing yang dapat membuat
jalan napas tersumbat. Pengelolaan
gangguan pada jalan napas tanpa
menggunakan alat:
Manipulasi dengan menggunakan
tangan

 Head tilt
- Baringkan korban terlentang
- Letakkan: telapak tangan menahan dahi korban ke belakang
- Letakkan jari telunjuk dan jari tengah menahan dagu kedepa
- Evaluasi jalan napas
 Chin Lift
- Jari jari telunjukdan jari tengah diletakkan di bawah rahang
- Secara hati-hati dagu diangkat ke atas untuk membawa kearah depan
- Ibu jari tangan yang sama menekan bibir bawah untuk membuka mulut
122
- Ibu jari dapat juga diletakkan dibelakang gigi seri (incisor) bawah
- Secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat

Tekhnik pembebasan jalan napas head tilt/ chin lift

 Jaw thrust
- Baringkan korban terlentang
- Sudah dilakukan head tilt dan chin lift namun jalan napas belum bebas sempurna
- Dorong ramus vertikalis mandibula kiri dan kanan ke depan
- Sehingga barisan gigi bawah di depan barisan gigi atas
- Evaluasi jalan napas

Membersihkan Jalan Napas Dari Benda Asing

Benda Asing Cair :


 Baringkan korban, terlentang atau miring.
 Bila mungkin kepala lebih rendah.
 Dengan sapuan jari tangan dan mempergunakan bahan yang dapat meresap cairan
misalnya kain, kasa , kapas, tissue.
 Memakai pipa , hisap dengan mulut.
 Memakai pipa hisap dengan alat pengisap mekanik, elektrik.
Dengan Alat Bantu :
 Pipa orofaring
 Pipa nasofaring
 Intibasi endotrakeal
 Krikotirotomi
 Trakeostomi

123
Breathing

 Apakah pasien bernapas cukup?


 Apakah ada pengembangan dada?
 Pengembangan simetris atau tidak?

Pertukaran Udara Harus Adekuat, dengan :

• memaksimalkan oksigenasi
• memaksimalkan pengeluaran CO2

Perlu pemeriksaan fisis yang tepat dan cepat pada :

• Paru
• Dinding Dada
• Diafragma

Alat napas buatan:

 Mulut penolong ke mulut / hidung korban


 Mulut penolong ke masker pada korban
 Ambu-bag / self inflating bag
 Jackson-Reese, Water’s dan alat anestesi dengan reservoir O2
 Ventilator

Circulation

Periksa TD, Nadi, CRT, warna kulit, turgor kulit, pendarahan dan produksi urine.

a. Volume Darah dan Curah Jantung


b. Tingkat Kesadaran
c. Perfusi otak terganggu
d. Skin Colour
e. Vasokontriksi:
f. Basah/dingin, pucat/kelabu
g. Capillary Refill Time

Pengembalian volume sikulasi yang efektif dan adekuat dengan menentukan derajat
kehilangan cairan

<5% Riwayat + Fisis - Rehidrasi


melalui oral
Turgor kulit Mukosa Laju jantung Tekanan darah Jalur Terapi
mulut
7%  Kering N/ N Jalur intravena
perifer
10%  Kering   Jalur intravena
perifer

124
12%  Kering   Pertimbangkan
Kateter Vena
Sentral
Tahap terapi :

 Darurat
 penggantian
 Rumatan/ pemeliharaan

Disability (Status Neurologi)

AVPU (Cepat Dan Sederhana)

- Alert
- Responds to vocal
- Responds to pain
- Unresponsive
Refleks Pupil

Exposure (Evaluasi Dari Kepala Sampe Kaki)

Kegawatdaruratan Ortopedi

Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak dijumpai. Penanganan


emergency orthopedics telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam
bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang penanganan
emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan
yang adekuat terkait dengan proses perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang
komprehensif, yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang
tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi
hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency orthopedics, yaitu open
fracture, compartment syndrome, dislokasi dan fractur dislokasi, lesi vascular besar, septic
arthritis, acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat emboli, unstable cervical spine, dan traumatic
amputasi.

Berdasar sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua, yaitu sifatnya yang
mengancam jiwa (life threatening ) dan yang mengancam kelangsungan ekstremitas ( limb
threatening). Kejadian fraktur banyak ditemukan saat ini, begitu juga kasus open fraktur di IGD.
Kalau tidak ditangani akan menjadikannya infeksi kronis yang berkepanjangan.“Once
osteomyelitis, forever” : Appley. Jangan sampai melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada
awalnya infestasi kuman masih melekat secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan
sulit dibersihkan dengan pencucian saja.

Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada yang tidak. Fraktur
yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan tindakan konservatif, fraktur intra artikuler,

125
fraktur joint depressed lebih dari 5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan ligament, dan fraktur
dengan atrioventriculer node disturbances.

Elemen Manajemen Fraktur Awal


Faktor yang paling penting dalam penyembuhan fraktur adalah suplai darah dan
kesehatan jaringan lunak, dan manajemen awal anggota tubuh yang terluka harus memiliki tujuan
untuk mempertahankan atau meningkatkan ini.
Manajemen awal fraktur terdiri dari penataan kembali segmen patah tungkai (jika sangat
cacat) dan kemudian Imobilisasi ekstremitas fraktur dalam belat. Status neurologis dan vaskular
distal harus dinilai secara klinis dan didokumentasikan sebelum dan setelah penataan kembali dan
belat.

Pedoman saat ini untuk perawatan luka dari British Orthopedic Association :

Terapi Nonoperatif
Manajemen fraktur dini umumnya ditujukan untuk mengendalikan perdarahan,
memberikan penghilang rasa sakit, mencegah cedera iskemia-reperfusi, dan menghilangkan
sumber kontaminasi potensial (benda asing dan jaringan yang tidak dapat hidup). Setelah tugas-
tugas ini selesai, fraktur harus dikurangi dan pengurangan harus dipertahankan, yang akan
mengoptimalkan kondisi untuk penyatuan fraktur dan meminimalkan potensi komplikasi.
Tujuan akhir dari manajemen fraktur adalah untuk memastikan bahwa segmen anggota
tubuh yang terlibat, ketika disembuhkan, telah kembali ke fungsi semaksimal mungkin. Hal ini
dicapai dengan mendapatkan dan selanjutnya mempertahankan pengurangan fraktur dengan
teknik imobilisasi yang memungkinkan fraktur sembuh dan, pada saat yang sama, memberikan
pasien aftercare fungsional. Baik cara nonoperatif atau bedah dapat digunakan.
Terapi nonoperatif (tertutup) terdiri dari casting dan traksi (traksi kulit dan tulang).

Terapi Bedah

7. Jelaskan patomekanisme dari skenario ?

126
kateterisasi
Tidak dapat
Nyeri
Fraktur namun
Keluhan
perut
pelvis gagal.
berkemih
nyeri
bagianpinggang,
bawah hematuri,
serta tidak
Anuri dapat
Trauma tumpul
berkemih.
Retensi urin

Trauma
ruptur uretra
ginjal

Patomekanisme

127

Riwayat Trauma
128
129
130
131
Retensi Urine

132
Pengertian

Retensi urin adalah kesulitan miksi (berkemih) karena kegagalan mengeluarkan urin dari
vesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Etiologi

Retensi urin dapat dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf:

a) Supravesikal

Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–S4 setinggi Th1- L1.
Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya.

b) Vesikal

Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan masa
kehamilan dan proses persalinan (trauma obstetrik).

c) Infravesikal (distal kandung kemih)

Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra,trauma uretra, batu uretra,
sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis) (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Klasifikasi

a) Retensi urin akut

Pada retensi urin akut penderita seakan-seakan tidak dapat berkemih (miksi). Kandung
kemih perut disertai rasa sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat
disertai mengejan. Sering kali urin keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000). Pada kasus akut, bila penyebabnya tidak segera ditemukan maka kerusakan
lebih berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena otot detrusor atau ganglia parasimpatik
pada dinding kandung kemih menjadi tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronis

Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat berkemih (miksi),
merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit tidak sama sekali walaupun kandung kemih
penuh (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Pada retensi urin kronik, terdapat masalah khusus
akibat peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks uretra, infeksi saluran kemih
atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011). Retensi urin juga dapat terjadi sebagian atau
total a) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin tetapi terdapat sisa
urin yang cukup banyak di dalam kandung kemih. b) Retensi urin total yaitu penderita sama
sekali tidak dapat mengeluarkan urine

Gambaran klinis

a) Ketidaknyamanan daerah pubis

133
b) Distensi vesika urinaria

c) Ketidaksanggupan berkemih

d) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)

e) Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya

f) Meningkat keresahan dan keinginan berkemih

g) Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

Pemeriksaan retensi urin

a) Pemeriksaan subjektif

Pemeriksaan subjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien dan
yang digali melalui anamnesis yang sistematik.

b) Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadapa pasien untuk
mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien.

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai pemeriksaan yang


dapat menunjang diagnosis, diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging).
Pada beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang yang lebih bersifat
spesialistik, yakni urolometri atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi

Penatalaksanaan

a) Retensi urin akut

Pada pasien dengan retensi akut, terapi segera perlu dilakukan adalah mendrainase
kandung kemih. Karena resiko pendarahan kandung kemih, hipotensi, atau drainase pasca
obstruktif, dekompresi kandung kemih secara cepat biasanya dihindari. Pada banyak kasus,
drainase terus menerus dengan kateter folley atau kateter intermitten, perlu dilakukan sampai
fungsi kandung kemih kembali normal, biasanya 48-72 jam.

Pemberian antibiotik juga perlu dipertimbangkan dalam penanganan retensi urin ini
(Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronik

Pada kasus ini perlu adanya intervensi medis jangka panjang secara langsung mencegah
kerusakan ginjal dan mengkoreksi penyebab yang mendasari terjadinya retensi urin. Beberapa
intervensi terapi spesifik yang dapat dilakukan diantaranya terapi farmakologik, katerisasi,
neuromodulasi radiks saraf, dan bahkan intervensi bedah

8. Jelaskan differensial diagnosa dari skenario ?


D. Trauma Renal
134
Definisi

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam trauma baik
tumpul maupun tajam.

Epidemiologi

Trauma ginjal merupakan trauma yang paling sering terjadi.

Etiologi

penyebab dari trauma ginjal , yaitu

1.Trauma tajam :luka tembak atau luka tusuk

2.Trauma tumpul :kecelakaan lalu lintas,jatuh,cedera olah raga,atau penyerangan

3.Trauma iatrogenic :biasanya terjadi akibat tindakan medis misalnya,pemasangan kateter,operasi

Patogenesis

1.Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada
ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang maupun
luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.

Pada trauma tembak,seperti peluru,yang memiliki energy kinetic lebih besar,dapat mendestruksi
parenkim ginjal lebih hebat dan menyebabkan kerusakan diberbagai organ.Luka tembak
kecepatan rendah berhubungan dengan destruksi yang luas akibat efek ledakan,sementara luka
tembak kecepatan tinggi berkaitan dengan pengikisan jaringan yang luas dan tingginya jejas lain

2.Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung
biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal
biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung
misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam
rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan traksi arteri renalis,menyobek lapisan
intima,dan menimbulkan perdarahan.kompresi arteri renalis diantara dinding anterior perut dan
korpus vertebra juga dapat menyebabkan thrombosis arteri renalis dekstra.

3.Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi,
dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan
percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas,
insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan
ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal

Klasifikasi

Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pedoman dalam menentukan
terapi dan prognosis.

135
 Grade I : Kontusio atau hematoma subkapsular yang tidak meluas,tidak ada laserasi
 Grade II : Hematom subkapsular atau perineal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan
parenkim. Laserasi korteks <1 cm tanpa ekstravasasi
 Grade III : Laserasi ginjal >1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks dan tidak terjadi
ekstravasasi.
 Grade IV : Laserasi > 1cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin.
Laserasi yang mengenai korteks,medulla dan pelviokaliks
 Grade V: Laserasi ginjal rusak atau Vaskular jejas pedikel renalis atau avulsi

Gejala Klinik

Pada trauma tumpul dapat ditemukan adanya jejas di daerah lumbal, sedangkan pada
trauma tajam tampak luka.

Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal, ketegangan otot pinggang, sedangkan
massa jarang teraba. Massa yang cepat menyebar luas disertai tanda kehilangan darah merupakan
petunjuk adanya cedera vaskuler.

Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian atas, dengan
intenitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa ditemukan adanya tanda
perdarahan dalam perut. Bila terjai cedera Tr. Digestivus ditemukan adanya tanda rangsang
peritoneum.

Fraktur costae terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan sebaiknya
diperhatikan keadaan paru apakah terdapat hematothoraks atau pneumothoraks. Hematuria
makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih. Derajat hematuria tidak berbanding
dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan
cedera berat seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda shock.

Diagnosis

Diagnosis ditegakan melalui anamnesis,pemeriksaan fisis,dan pemeriksaan penunjang

Anamnesis

 Riwayat jatuh,kecelakaan lalu lintas,atau adanya trauma langsung pada daerah pinggang ;
136
 Untuk kecelakaan lalu linta :mekanisme kecelakaan,berapa kecepatan kendaraan,dan
apakah pasienmerupakan pengendara atau penumpang ;
 Pada trauma tajam:ukuran senjata pada kasus penusuksn,atau tipe dan caliber pistol yang
digunakan;
 Kondisi medis sebelumnya,apakah pasien memiliki kelainan ginjal tertentu

Pemeriksaan Fisis

 Hematuria,nyeri pada daerah pinggang(flank).ekimosis pinggang,abrasi pinggang,fraktur


iga,distensi abdomen,massa abdomen,dan nyeri tekan abdomen

Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium :hematocrit dan kreatinin,untuk mengevaluasi trauma ginjal;


 Urinalisis :hematuria merupakan tanda utama trauma tetapi tidak spesifik dan sensitive ;
 USG ginjal
 Pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi tertentu,yaitu hematuria
makroskipis,hematuria makroskopis yang disertai syok,atau adanya jejas lain yang
berat.pada pasien dengan kondisi tidak stabil yang memerlukan operasi,dapat dilakukan
tindakan single-shot IVP,dengan injeksi 2 mL kontras per kilogram berat badan.Trauma
ginjal terlihat berupa ekskresi kontraks yang berkurang(bandingkan dengan
kontralateral),garis psoas atau kontur ginjal menghilang,atau scoliosis kea rah
kontralateral karena kontraksi otot polos ;
 Radiologi

Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai menderita trauma ginjal,
yaitu:

1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang tepat dan menentukan
prognosisnya

2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma

3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral

4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya

Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :

 Grade I
- Hematom minor di perinephric , pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran ginjal yang
abnormal
- Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
- Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau
terlihat mirip dengan kontusi ginjal
- Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat menunjukkan
gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah karena penderit grade
I memang tidak memerlukan tindakan operasi .

137
- Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara
parenkim ginjal
 Grade II
- Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi
- Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke daerah
perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.
- Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
- Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
- Akumulasi masif dari kontras, terutama pada ½ medial daerah perinefron, dengan
parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat
terjadinya avulsi ureteropelvic junction
 Grade III
- Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi shock
dan sering teraba massa pada daerah flank.dapat disertai dengan hematuria.
- Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat
gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total
- Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis.
Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.
- Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi
memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel akan
terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen diantaranya berarti
merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.
 Grade IV
- Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.
- Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah
perinefron tanpa pengisian ureter.

Sebagai kesimpulan, sampai sekarang belum ada pembatasan yang jelas kapan seorang
penderita yang diduga trauma ginjal memerlukan IVP atau CT Scan sebagai pemeriksaan
penunjangnya. Keputusan tersebut harus didasarkan kepada pemeriksaan manakah yang lebih
tersedia.

CT San biasanya diambil sebagai pemeriksaan penunjang pertama pada psien yang
mengalami trauma multiple organ intra abdomen, dan pasien yang diduga trauma ginjal Grade
III atau IV.

CT Scan berfungsi sebagai pemeriksaan kedua setelah IVP pada pasien yang pada IVP
memperlihtkan gambaran kerusakan luas parenkim ginjal dan pasien yang keadaan umumnya
menurun.

Tatalaksana

Pada pasien trauma,stabilitas hemodinamik merupakan trget awal yang paling


penting.tanda-tanda vital perlu terus dipantau sepanjang pemeriksaan.hamipir 90% trauma ginjal
merupakan trauma minor yang hanya memerlukan tindakan konserfati seperti :

138
 Lesi minor, grade 1, biasanya diobati secara konservatif. Pengobatan konservatif tersebut
meliputi istirahat di tempat tidur, analgesik untuk menghilangkan nyeri, serta observasi
status ginjal dengan pemeriksaan kondisi lokal, kadar hemoglobin, hematokrit serta
sedimen urin.
 Penanganan trauma ginjal grade 2 masih menimbulkan suatu kontroversi. Penenganan
secara operatif biasanya dilakukan apabila pasien tidak memberikan respon positif
terhadap pengobatan konservatif, seperti kehilangan darah yang terus bertambah,
bertambah besarnya massa pada regio flank, rasa sakit yang terus menerus dan disertai
dengan adanya demam. Pengecualian dari indikasi diatas adalah oklusi pada A. Renalis
( grade 3 ). Tindakan konservatif ini dilakukan untuk menghindari dilakukannya tindakan
nephrektomi.
 Penanganan trauma ginjal unuk grade 3,4,dan 5 memerlukan tindakan operatif berupa
laparotomi.

Komplikasi

 Komplikasi awal: Perdarahan yang masiv sangat sering terjadi, terutama di


retroperitoneal. Persisten retroperitoneal persisten atau gross hematuri yang berat, indikasi
untuk dilakukan operasi.
 Komplikasi lanjut: hypertensi, hydronephrosis, arteriovenous fistula, pembentukan
calculus, dan pyelonephritis. renal atrophy dapat muncul dari vascular compromise dan
dapat diditeksi dengan urography. Perdarahan yang berat dan lanjut dapat muncul setelah
1-4 minggu.

E. Fraktur Pelvis

Definisi

Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang tua,
penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari
kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.

Etiologi

Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi sendi


panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat. Patah tulang pelvis
harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila
terdapat luka serut, memar, atau hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum.

Epidemiologi

139
Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Sepuluh persen
diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra,buli-buli,rektum
serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar 10 %.

Mekanisme Trauma

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:

e. Kompresi Antero-Posterior (APC) Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara
seorang pejalan kaki kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur , tulang inominata
terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan
parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
f. Kompresi Lateral (LC) Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami
keretakan . Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau fraktur
ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
Sehingga Adanya rotasi internal pada hemipelvis sehingga menyebabkan pubis terdorong
ke dalam sistem genitourinary bawah. Bentuk fraktur “Closed.
g. Trauma Vertikal Shear (SV) Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan
secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang
sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.sehingga
terjadi instabilitas pelvis
h. Trauma Kombinasi (CM) Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi
kelainan diatas.

Tipe Cidera/ Klasifikasi Fraktur

Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

1. Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh

c. Fraktur avulsi

Tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya ditemukan pada
olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina iliaca anterior superior, rektus
femoris menarik spina iliaca anterior inferior , adductor longus menarik sepotong pubis, dan urat-
urat lurik menarik bagian-bagian iskium. Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi
pada apofisis iskium oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam hal ini
reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan.

a. Fraktur langsung
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat menyebabkan
fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest total sampai nyeri mereda.
d. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan yidak nyeri. Pada pasien
osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit didiagnosis adalah frakturtekanan

140
disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua
yang menderita osteoporosis.

2. Fraktur pada cincin pelvis

Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat cincin
pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan langsung atau fraktur pada
anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastic. Tetapi, patahan kedua sering tidak
ditemukan, baik karena fraktur tereduksi segera atau karena sendi sacroiliaca hanya rusak
sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat
stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang
jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi kedalam fraktur
cincin tunggal dan ganda.

Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal saat
kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan berotasi
keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut “open book”. Bagian posterior
ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior ilium.
Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan patah. Di
bagian anterior rami pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur dan di bagian posterior
terdapat strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi yang sama seperti
fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada pelvis. Apabila terjadi pergeseran sendi
sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak stabil.

Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertical,
menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah sacroiliaca
pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu kaki saat terjatuh dari
ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan robekan jaringan lunak dan
perdarahan retroperitoneal.

Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang secara rotasi
tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.

d) Tipe A/stabil : ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau
tanpa pergeseran.
 A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
 A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur.
e) Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang
mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut fraktur
open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur
pada rami iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi
tida ada pembukaan simfisis.
 B1 : open book
 B2 : kompresi lateral  ipsilateral
 B3 : kompresi lateral  kontralateral (bucket-handle).

141
f) Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament
posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertical
pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.
 C1 : unilateral
 C2 : bilateral
 C3 : disertai fraktur asetabulum

Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell:

e) Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin


6. Fraktur avulsi
 Spina iliaka anterior posterior
 Spina iliaka anterior inferior
 Tuberositas ischium
7. Fraktur pubis dan ischium
8. Fraktur sayap ilium
9. Fraktur sacrum
10. Fraktur dan dislokasi tulang cocsigeus
f) Keretakan tunggal pada cincin panggul
 Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
 Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
 Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
g) Fraktur bilateral cincin panggul
 Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
 Fraktur ganda dan atau dislokasi
 Fraktur multiple yang hebat
h) Fraktur asetabulum
 Tanpa pergeseran
 Dengan pergeseran

Gambaran Klinik

Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yangdapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul.

Keluhan berupa gejala pembengkakan ,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar


panggul. Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat.
Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul
dibagi dalam 3 jenis :

1. Dislokasi posterior

 Tanpa fraktur
 Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar
142
 Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau tanpakerusakan pada
dasar asetabulum.
 Disertai fraktur kaput femur

Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput femur dipaksa
keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur
dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi fleksi. Trauma biasanya terjadi karena
kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras
yang berada dibagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor.
50% dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar.
Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan deformitas pada
daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi adduksi, fleksi
dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak bawah. Dengan pemeriksaan rontgen akan
diketahui jenis dislokasi dan apakahdislokasi disertai fraktur atau tidak.

2. Dislokasi anterior

 Obturator
 Iliaka
 Pubik
 Disertai fraktur kaput femur

3. Dislokasi sentral asetabulum

 Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum


 Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
 Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang komunitif.

Mekanisme trauma Fraktur dislokasi sentral adalah terjadi apabila kaput femur terdorong
ke dinding medial asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul tetap utuh. Fraktur asetabulum
terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dariketinggian pada satu sisi atau suatu
tekanan yang melalui femur dimana keadaan abduksi. Didapatkan perdarahan dan pembengkakan
di daerah tungkai bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah trokanter.
Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Dengan pemeriksaan radiologis didapatkan adanya
pergeseran dari kaput femur menembus panggul.

Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha
berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis. Foto
polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.

Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapt
bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat
nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf
skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral,
perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga
cukup tinggi.(Apley, 1995).
143
Diagnosis :

Anamnesis

4. Riwayat dan Keadaan, waktu trauma


5. Miksi terakhir.
6. Hematuria

Pemeriksaan fisik

3. Keadaan umum
c. Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi
d. Lakukan survey kemungkinan trauma lainnya
4. Lokal
e) Pemeriksaan nyeri :
 Tekanan dari samping cincin panggul
 Tarikan pada cincin panggul
f) Inspeksi perineum untuk mengetahui asanya Perdarahan, pembengkakan dan deformitas.
g) Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis
pubis
h) Pemeriksaan colok dubur ( menilai tulang sacrum dan tulang pubis.)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan pergerakan
abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan ke medial secara
hatihati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke
belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini
menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya patah tulang panggul.

Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau perdarahan melalui
uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan penilaian pada sakrum, atau
tulang pubis dari dalam. Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur
ipsilateral atau kontra lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi
sacroiliaca atau kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat cidera.

Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anterior-


posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM)
(gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada
meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar.

Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke
arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca
anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale.

144
Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-
cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian
sacroiliaca anterior.

Gambar. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi


anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi
anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II.
F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-
masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi
benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta
pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah
besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera
LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis


mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur
pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.

Penatalaksanaan

1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggul

2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:

a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, pelvic
sling

b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan
oleh grup ASIF

Berdasarkan klasifikasi Tile:

1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan
traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan
penopang.

2. Fraktur Tipe B:

145
1. Fraktur tipe open book

Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan
posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan
pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada
kedua ala ossis ilii.

2. Fraktur tipe close book

Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan
tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata
maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.

3. Fraktur Tipe C

Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang
dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu.
Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan
satu atau lebih plat kompresi dinamis.

Komplikasi

1. Komplikasi segera

a.Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan antikoagulan
secara rutin untuk profilaktik.

b.Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian
tulang panggul yang tajam.

c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars
membranosa.

d. Trauma rektum dan vagina

e.Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok. f.
Trauma pada saraf :

1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka
waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.

2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal
disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.

2. Komplikasi lanjut

a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak yang
hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.

b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.

146
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada daerah
asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan,
maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta
osteoartritis dikemudian hari.

d. Skoliosis kompensator

F. Ruptur Uretra

Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas rupture uretra posterior yang terletak
proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak distal diafragma
urogenital. Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanta robekan mukosa baik parsial
atau total. Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis.

Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranesa karena prostat bersama
uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranesa
terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada
rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-
buli dan prostat terlepas ke kranial.

Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra
terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu, atau palang sepeda, denga tulang simfisis.

Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh
instrumentasi urologic, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.

Gambaran klinis

Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik
dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur
kandung kemih bias ditemukan tanda rangsang peritoneum.

Pada rupture uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan
skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila
terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bias buang air kecil sejak terjadi trauma, dan
nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan kandung
kemih yang penuh.

Cedera uretra karena kateterisasi dapatbmenyebabkan obstruksi karena udem atau bekuan
darah.abses periuretra atau sepsis mengakibatkan demam.ekstrafasasi urin dengan atau tanpa
darah dapat meluas jauh,tergantung fasia yang turut rusak.pada ekstrafasasi ini mudah timbul
infiltrate yang disebut infiltrate urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi
infeksi.

Diagnosis

Ruptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit dimeatus uretra disertai
patah tulang pelvis.selain tanda setempat,pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat
seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diagfragma urogenital.kadang sama sekali

147
tidak terba prostat lagi karena pindah kekranial.pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan
hati karena fragmen tulang dapat mencedrai organ lain,seperti rectum.

Kecurigaan rupture uretra anterior timbul bila ada riwayat kangkang atau istrumentasi
dan darah yang menetes dari meatus uretra.

Pemeriksaan radiologi dengan uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan
tipe rupture uretra

Terapi

Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau organ
lain,cukup dilakukan sistostomi.respirasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan
anastomosis ujung ke ujung ,dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu,bila disertai
cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan respirasi 2-3 hari kemudian,sebaiknya
dipasang kateter secara langsir(railroading)

Pada rupture uretra anterior total,langsung dilakukan pemulihan uretra dengan


anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal.dipasangn kateter silicon selama 3
minggu.bila rupture parsial,dilakukan sistomi dan pemasangan voley diuretra selama 7-10
hari,sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera.kateter sistostomi baru dicabu bila saat kateter
sistostomi diklem ternyata penderita bias buang air kecil.

Komplikasi

Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi,hematoma,abses

DAFTAR PUSTAKA

Carpentio, L,J.diagnosa keperawatan aplikasi pada praktek klinis: TIM PSIK UNPAD
edisi periuretra,fisteluretrokutan,dan epididymitis.

Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra,khusus pada rupture
uretra posterior,dapat timbul komplikasi impotensi dan inkontinensia.

 6, EGC, jakarta.

148
 Departemen kesehatan. Seri PPGD edisi 3. Jakarta.2006
 Initial Assesment dan Resusitasi dalam Advence trauma life Support (ATLS) Manual untuk
Peserta Kursus. Jakarta : American College of Surgeons;2005
 Utama, Harry SY, Diagnosis and Treatment of Head Injury. 2012/07/cidera-kepala-
diagnosa-html.
 Moore KL., Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.
 https://id.scribd.com/doc/226469252/REFERAT-Trauma-Kapitis.
 Departemen kesehatan. Seri PPGD edisi 3. Jakarta.2006
 Richard Buckley. 2018. TREATMENT FRACTURE.
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall Diakses tanggal 12
April 2019.
 American College of Surgeons(ACS)Comminttees on Trauma.Advanced trauma life
suppors(ATLS) student course manual.Edisi ke-9
 Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-deJONG.Edisi ke-3.Jakarta :ECG
 Ningrum, Manajemen Perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam jiwa. Diakses
dari:www.ejournal.unid.ac.id/manajemen%20%20perdarahan%padafrakturpelvis
%20mengancam%20jiwa%.html. 2. Fraktur pelvis.
http://www.scribd.com/doc/52302577/24/Fraktur-tulang-panggul
 Sulistyanto R. Fraktur Pelvis. 2010. Diakses dari : http://fraktur
%20pelvis/frakturpelvis.html
 Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6
 https://www.academia.edu/29434934/Laporan_Pendahuluan_Fraktur_Pelvis

&
NYERI PINGGANG

149
KELOMPOK III
UWAYS AL-QARNI BAYAN (09401711003)
CHENTIA LELY GAMGENORA (09401711004)
INDI BELA ANUGRA (09401711023)
FAREL ABUKARIM (09401711025)
NAISYAH MARADJABESSY (09401711027)
ANDIKA ISRA NUGRAHA (09401711029)
VIVI CHRISTIN LONGGORUNG (09401711030)
DARA PUSPITA IRBANI (09401711034)
RATYH JIHAN SAFIRA (09401711042)
PUTRI ASSAYIDATINA F. ABAS (09401711043)

KEGAWATDARURATAN DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2019

PENDAHULUAN

Modul ini merupakan bagian dari Blok Kegawatdaruratan dan Traumatologi yang diberikan
untuk mempermudah mahasiswa dalam kegiatan tutorial. Pada modul ini diberikan skenario
yang menunjukkan suatu gejala klinik dari kondisi pasca trauma pada beberapa penyakit.
Mahasiswa diharapkan mendiskusikan bukan hanya pada inti masalah tapi juga semua hal yang

150
berhubungan dengan permasalahan tersebut, misalnya patomekanisme penyakit yang
memerlukan pengetahuan anatomi, histologi, fisiologi, serta proses biokimia yang terjadi. Hal
yang ditekankan disini adalah bagaimana memecahkan masalah yang diberikan dan bukan untuk
diagnosisnya.

Mahasiswa harus membaca Tujuan Instruksional Umum (TIU) terlebih dahulu sehingga
diharapkan diskusi tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran serta tercapainya kompetensi
yang diharapkan. Bahan untuk diskusi dapat diperoleh dari bahan perkuliahan yang telah
diberikan serta referensi yang diberikan oleh masing-masing dosen pemberi kuliah.

Penyusun mengharapkan modul ini dapat membantu mengarahkan mahasiswa


dalammemecahkan masalah dan menegakkan diagnosa penyakit sistem terkait serta bagaimana
penanganannya.

Ternate, 10 Januari 2019

Penyusun

dr. Marwa Widuri Anwar

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan
menjelaskan tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan kesadaran menurun dan
nyeri pinggang post trauma, kemudian menilai, dan melakukan tindakan yang cepat dan tepat.

STRATEGI PEMBELAJARAN

151
1. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor.
2. Diskusi kelompok tanpa tutor.
3. Konsultasi pada pakar.
4. Kuliah khusus dalam kelas.
5. Aktifitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan menggunakan buku ajar,
majalah, slide, tape atau video, internet.
6. Latihan keterampilan klinik di Laboratorium.

SKENARIO
Skenario 1
Seorang laki-laki 25 tahun dibawa ke Puskesmas dalam keadaan tidak sadar. Setelah tiba di
Puskesmas, dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasien, namun pasien tidak memberikan respon
dan terdengar suara mendengkur dengan frekuensi napas 42 kali/menit. Wajah pasien terlihat pucat
dan nadi radialisnya tidak teraba. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan jejas pada pelipis kiri sampai ke
bahu kiri. Menurut keterangan orang yang mengantar, pasien mengalami kecelakaan motor.

Skenario 2

Seorang laki-laki 30 tahun dibawa ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri
pinggang dan perut bagian bawah serta tidak dapat berkemih. 6 jam sebelumnya pasien
menabrak pohon. Bagian pinggang kiri pasien terbentur pada setang motor dan jatuh dengan
panggul membentur tanah. Dilakukan tindakan kateterisasi namun gagal.

TUGAS MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa mendiskusikan hal tersebut
dalam satu kelompok diskusi yang terdiri dari 12-15 orang, dipimpin oleh seorang ketua
dan seorang penulis yang dipilih oleh anggota kelompok mahasiswa sendiri. Ketua dan
penulis ini sebaiknya berganti setiap kali diskusi. Diskusi kelompok ini bisa dipimpin oleh
seorang tutor atau secara mandiri.

152
2. Melakukan aktifitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan menggunakan buku
ajar, majalah, slide, tape atau video, internet dan sebagainya, untuk mencari informasi
tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri tanpa tutor, melakukan curah pendapat bebas antar
anggota kelompok untuk menganalisis atau mensintesis informasi dalam menyelesaikan
masalah.
4. Berkonsultasi pada nara sumber yang ahli pada permasalahan dimaksud untuk memperoleh
pengertian yang lebih mendalam (tanya pakar).
5. Mengikuti kuliah khusus (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang belum jelas atau
tidak ditemukan jawabannya.

PROSES PEMECAHAN MASALAH

Dalam diskusi kelompok dengan memakai metode curah pendapat., mahasiswa


diharapkan dapat memecahkan masalah yang terdapat dalam skenario ini, yaitu dengan
mengikuti 7 langkah penyelesaian masalah di bawah ini :

1. Mengklarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, kemudian tentukan
kata/kalimat kunci skenario
2. Mengidentifikasi dasar masalah skenario diatas dengan membuat beberapa pertanyaan
penting
3. Melakukan analisis dengan mengklasifikasi semua informasi yang didapat
4. Melakukan sintesis informasi yang terkumpul
5. Menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh kelompok mahasiswa atas kasus
diatas bila informasi belum cukup.
Langkah 1 s/d 5 dilakukan dalam diskusi mandiri dan diskusi pertama bersama tutor.
6. Mahasiswa mencari tambahan informasi tentang kasus diatas diluar kelompok tatap muka
7. Mahasiswa melaporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi baru yang ditemukan
Langkah 7 dilakukan dalam kelompok diskusi dengan tutor Keterangan:
Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi yang diperlukan
untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6 bisa diulangi, dan selanjutnya dilakukan lagi
langkah 7.

Kedua langkah diatas bisa diulang-ulang pada tutorial atau diluar tutorial, dan setiap akhir
diskusi tentukan tujuan pembelajaran berikutnya. Setelah informasi dirasa cukup maka pelaporan
dilakukan dalam diskusi akhir, yang biasanya dilakukan dalam bentuk diskusi panel dimana
semua pakar duduk bersama untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang masih belum jelas.

JADWAL KEGIATAN

Sebelum dilakukan pertemuan antara kelompok mahasiswa dan tutor, mahasiswa dibagi
menjadi kelompok-kelompok diskusi yang terdiri dari 9-10 orang tiap kelompok. Modul
dibagikan kepada mahasiswa, mahasiswa telah membahas sKenario (pertanyaan dan jawaban)
sebelum masuk ke dalam tutorial
153
Pendahuluan dilakukan di kelas besar dengan tatap muka satu arah untuk penjelasan dan
tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara menyelesaikan modul, dan
membagi kelompok diskusi. Pada pertemuan buku modul dibagikan.
1. Pertemuan pertama : diskusi tutorial 1Tujuan: untuk melaporkan informasi baru yang
diperoleh dari pembelajaran mandiri dan melakukan klasifikasi, analisa dan sintese dari
semua informasi skenario 1
2. Pertemuan kedua : diskusi tutorial 2 seperti pada tutorial 1. Tujuan: untuk melaporkan
informasi baru yang diperoleh dari pembelajaran mandiri dan melakukan klasifikasi, analisa
dan sintese dari semua informasi skenario 2
3. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari informasi baru yang
diperlukan,
4. Diskusi mandiri ; dengan proses sama dengan diskusi tutorial. Bila informasi telah cukup,
diskusi mandiri digunakan untuk membuat laporan penyajian dan laporan tertulis. Diskusi
mandiri bisa dilakukan berulang-ulang diluar jadwal.
5. Pertemuan keempat : diskusi panel dan tanya pakar. Tujuan: untuk melaporkan hasil
analisa dan sintese informasi yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah pada skenario.
Bila ada masalah yang belum jelas atau kesalahan persepsi, bisa diselesaikan oleh para pakar
yang hadir pada pertemuan ini. Laporan penyajian dibuat oleh kelompok dalam bentuk
sesuai urutan yang tercantum pada buku kerja.

6. Masing-masing mahasiwa kemudian diberi tugas untuk menuliskan laporan tentang salah
satu penyakit yang memberikan gambaran seperti pada skenario yang didiskusikan pada
kelompoknya. Laporan ditulis dalam bentuk laporan penyajian dan laporan lengkap.

BAHAN BACAAN DAN REFERENSI

1. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular


Care, volume 102, Number, August 22, 2000

154
2. Kattwinkel, John (ed)., Textbook of Neonatal Resuscitation, 4th ed., American Academy of
Pediatrics, diterjemahkan dalam Buku Panduan Resusitasi Neonatus, Edisi ke 4, Perinasia,
Jakarta, 2001
3. Tintinalli, JE. (ed), Kelen, GD., Stapczynski, JS., Emergency Medicine, International ed.,
5th edition, McGraw-Hill, 2000
4. Amcan college of surgeons, Advance Trauma Life Support Program for Doctors, 6th
edition, USA, 1997
5. Rahardjo, Eddy, dkk, Seri PPGD Penanggulangan Penderita Gawat Darurat/General
Emergency Life Support (GELS), Materi Teknis Medis Standar (ABCDE), Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik, Dept. Kesehatan RI, 2003

DOSEN
PENGAMPU
N NAMA DEPARTEMEN KETERANGA
O. N

155
1. dr. Marhaeni Hasan, Ilmu Kesehatan Anak Dekan
Sp.A, MM.
dr. Dwi Handoko, Fisiologi / Ilmu Penyakit
2.
Sp.P Paru
3. dr. Ferdian Hidayat, Anatomi / Ilmu Bedah
Sp.B
4. dr. Abdul M. Pattiiha, Ilmu Bedah Koordinator Blok
Sp.B
5. dr. Diadon Mitaart, Anatomi / Ilmu Bedah
Sp.B
dr. Fasni Halil, Histologi / Patologi Klinik
6.
M.Kes, Sp.PK
dr. Andi Sitti Nur Biokimia / Patologi Klinik
7.
Afiah, M.Kes, Sp.PK
8. dr. Dewi Damayanti, Anatomi/ Ilmu Radiologi
Sp.Rad
9. dr. Husein Assagaf, Ilmu Kesehatan Anak
M.Kes, Sp.A
10. dr. Endang Kristanti, Neurologi
Sp.S
11. Dosen UNHAS Ortopedi, Anestesi, Mata
12. dr. Wahyunita Do Histologi / Mikrobiologi Sekretaris Blok
Toka
13. dr. Nurmala Dewi MEU
14. dr. Fera The, M.Kes Biokimia/ MEU
15. dr. Dian Megasari Anatomi / MEU
16. dr. Nur Upik En Fisiologi / MEU
Masrika

I. KLARIFIKASI KATA SULIT

156
II. KLARIFIKASI KATA / KALIMAT KUNCI

Skenario I
1. Seorang laki-laki 25 tahun
2. keadaan tidak sadar
3. Hasil pemeriksaan:
 Pasien tidak memberikan respon
 Terdengar suara mendengkur
 Frekuensi napas 42 kali/menit
 Wajah pucat
 Nadi radialis tidak teraba
-Pemeriksaan fisik : jejas di pelipis kiri sampai di bahu kiri
-Pasien mengalami kecelakaan motor.

Skenario II
1. Seorang laki-laki 30 tahun
2. dibawa ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri pinggang dan perut bagian bawah
3. tidak dapat berkemih
4. 6 jam sebelumnya pasien menabrak pohon
5. Bagian pinggang kiri pasien terbentur pada setang motor
6. jatuh dengan panggul membentur tanah
7. Dilakukan tindakan kateterisasi namun gagal

III. PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING

157
Skenario I
1.Bagaimana Penanganan Awal Dan Lanjutan Dari Skenario ?
2. Jelaskan Neuroanatomi Dari Skenario ?
3. Sebutkan Dan Jelaskan Kualitas Kedaran ?
4. Jelaskan Patomekanisme Penurunan Kesadaran ?
5. Jelaskan Etiologi Penurunan Kesadaran ?
6. Jelaskan Diferensial Diagnosis Dari Skenario?

Skenario II
1. Jelaskan anatomi pelvis dan regio abdomen?
2. Bagaimana penanganan awal dan kegawatdaruratan ortopedi dari skenario?
3. Jelaskan patomekanisme dari skenario?
4. Apa penyebab retensi urin dan bagaimana penatalaksanaanya?
5. Apa diferensial diagnosis dari skenario ?
 Definisi ?
 Etiologi ?
 Manifestasi klinik ?
 Langkah diagnosis ?
 Penatalaksanaan ?
 Komplikasi ?
 Prognosis ?

IV. JAWABAN PERTANYAAN SKENARIO I

11. Bagaimana penatalaksanaa awal pada skenario ?


Primary survey :

158
Tujuan dari primary survei adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera
masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primari survey antara lain
(fulde, 2009):
11) Airway maintenance dengan cervical spine protection
12) Breathing dan oxygenation
13) Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
14) Disability-pemeriksaan neurologis singkat
15) Exposure dengan kontrol lingkungan

K. AIRWAY
Periksa apakah terdapat sumbatan jalan napas atau tidak, terdapat suara napas tambahan
atau tidak dan apakah terdapat benda asing yang dapat membuat jalan napas tersumbat.
Pengelolaan Gangguan Pada Jalan Napas

Tanpa Menggunakan Alat:

7. Manipulasi Dengan Menggunakan Tangan


HEAD TILT
- Baringkan korban terlentang
- Letakkan: telapak tangan menahan dahi korban ke belakang
- Letakkan jari telunjuk dan jari tengah menahan dagu kedepa
- Evaluasi jalan napas.

CHIN LIFT
- Jari jari telunjukdan jari tengah diletakkan di bawah rahang
- Secara hati-hati dagu diangkat ke atas untuk membawa kearah depan
- Ibu jari tangan yang sama menekan bibir bawah untuk membuka mulut
- Ibu jari dapat juga diletakkan dibelakang gigi seri (incisor) bawah

159
- Secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat

Tekhnik pembebasan jalan napas head tilt/ chin lift.

JAW THRUST
 Baringkan korban terlentang
 Sudah dilakukan head tilt dan chin lift namun jalan napas belum bebas sempurna
 Dorong ramus vertikalis mandibula kiri dan kanan ke depan
 Sehingga barisan gigi bawah di depan barisan gigi atas
 Evaluasi jalan napas

8. MEMBERSIHKAN JALAN NAPAS DARI BENDA ASING


BENDA ASING CAIR:
 Baringkan korban, terlentang atau miring.
 Bila mungkin kepala lebih rendah.
 Dengan sapuan jari tangan dan mempergunakan bahan yang dapat meresap cairan
misalnya kain, kasa , kapas, tissue.
 Memakai pipa , hisap dengan mulut.
 Memakai pipa hisap dengan alat pengisap mekanik, elektrik.
9. Dengan alat bantu
 Pipa orofaring
 Pipa nasofaring
 Intibasi endotrakeal
 Krikotirotomi
 Trakeostomi

160
L. BREATHING
Apakah pasien bernapas cukup?
Apakah ada pengembangan dada?
Pengembangan simetris atau tidak?

Pertukaran Udara Harus Adekuat, dengan :


• memaksimalkan oksigenasi
• memaksimalkan pengeluaran CO2

Perlu pemeriksaan fisis yang tepat dan cepat pada :


• Paru
• Dinding Dada
• Diafragma

Alat napas buatan:


11. Mulut penolong ke mulut / hidung korban
12. Mulut penolong ke masker pada korban
13. Ambu-bag / self inflating bag
14. Jackson-Reese, Water’s dan alat anestesi dengan reservoir O2
15. Ventilator

M. CIRCULATION
Periksa TD, Nadi, CRT, warna kulit, turgor kulit, pendarahan dan produksi urine.

Volume Darah dan Curah Jantung

e. Tingkat Kesadaran
Perfusi otak terganggu

f.Skin Colour
Vasokontriksi:
• Basah/dingin, pucat/kelabu
• Capillary Refill Time

Pengembalian volume sikulasi yang efektif dan adekuat dengan menentukan derajat
kehilangan cairan

<5% Riwayat + Fisis - Rehidrasi


melalui
oral
Turgor kulit Mukosa Laju jantung Tekanan darah Jalur Terapi
mulut
7%  Kering N/ N Jalur
intravena
perifer

161
10%  Kering   Jalur
intravena
perifer
12%  Kering   Pertimbang
kan Kateter
Vena
Sentral

Tahap terapi :

 Darurat
 penggantian
 Rumatan/ pemeliharaan

N. DISABILITY (STATUS NEUROLOGI)


- AVPU (Cepat Dan Sederhana)
A. ALERT
B. Responds To VOCAL
C. Responds To PAIN
D. UNResponsive
- Refleks Pupil

O. EXPOSURE
Evaluasi Dari Kepala Sampe Kaki

SECONDARY SURVEY

9. ANAMNESIS

Setiap pemeriksaan yang lengkap membutuhkan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.


Selain itu riwayat AMPLE perlu ditanyakan.

Riwayat “AMPLE” terdiri atas :


A : Alergi
M : Medication
P : Past illness ( penyakit penyerta ) / pregnancy
L : Last meal
E :Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan riwayat
perlukaan/ cedera.

10. PEMERIKSAAN FISIS

162
 Inspeksi : Multiple trauma : jejas pada pelipis kiri , bahu kiri.
 Palpasi : Adanya krepitasi pada daerah tulang yang mengalami trauma.
Kemungkinan di daerah pelipis, dan sekitar clavicula yang mengalami fraktur. Terdapat
juga nyeri pada daerah yang fraktur.
 Perkusi : terdengar redup pada daerah yang mengalami perdarahan intaabdominal
 Auskultasi : suara tambahan serta irama denyut jantung pada gangguan hemodinamik,
serta menghilangnya suara bising usus.

Head:
Observasi dan palpasi, ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani diperiksa untuk
melihat adanya darah atau CSF. Battle s sign (ecchymosis di mastoid) yg menunjukkan
adanya Fraktur Basis Cranii. Serta diperiksa dan dicari Cedera di daerah Maxillofacial dan
cervical spine.
Neck:
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cer vical. Rontgen cervical lateral (C1-C7) harus
dikerjakan.

Chest:
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta t horaks foto. Diperiksa dan dicari Pelebaran
mediastinum, fractur costae, flail segment, haemothorax, pneumothorax, dan contusio paru.

Abdomen:
fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan intervensi bedah.
Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, Ct-Scan, atau laparotomi cito harus segera
diambil.

Rectal:
Adanya darah menunjukkan perforasi rektum, prostat letaktinggi menandakan adanyaruptur
uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rektum menunjukkan adanya fraktur pelvis.

Examination of Extremities:
Dicari adanya cedera vaskular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakanindikasi dilakukannya aortografi.

Neurologic examination:
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebralhemispheric, brainstem dan spinallevels

Re-Evaluasi
1.Penurunan keadaan dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus ,
sehingga gejala yg baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditanganisecepatnya.
2. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin org dewasasebaiknya
dijaga ½ cc/kgBB/jam, pd anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderitadalam keadaan kritis dapat
dipakai pulse oximeter dan end tidal CO2 monitoring.

163
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiat atau anxiolitika
harusdiberikan secara I.V dan sebaiknya jangan I.M.

Terapi Definitif
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untukkeputusan
merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila keputusanmerujuk
penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok
untukpenanganan pasien.

Rujukan
Bila cedera penderita terlalu sulit untuk dapat ditangani , penderita harus dirujuk.Proses
rujukan ini harus dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan , karena menundarujukan
akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita. Tentukan : indikasi rujukan.
prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan, dan cara komunikasi dg dokter
yang akan dirujuk.

Transportasi
Syarat Transportasi PenderitaMemenuhi syarat
- Gangguan Pernapasan & CV t elah ditanggulangi Resusitasi bila perlu
- Perdarahan dihentikan
- Luka ditutup
- Patah tulang difiksasi Selama Tranportasi

Monitor:
- Kesadaran
- Pernapasan
- Tekanan Darah dan Denyut nadi
- Daerah perlukaan

Syarat Alat Transportasi Kendaraan


- Darat (Ambulance,Pick up, truck ,gerobak ,dll)
- Laut (perahu,rakit,kapal, perahu motor dll)
- Udara (Pesawat terbang,helikopter)
Yang terpenting adalah:
-Penderita dapat terlentang
-Cukup luas minimal untuk 2 penderita & petugas dapat bergerak leluasa
- Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infus dapat jalan
- Dapat melakukan komunikasi ke sentral komunikasi dan rumah sakit
- Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulan lain

164
11. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Radiologi : CT-SCAN kepala, foto servical lateral, foto thorax AP, foto abdomen, foto
pelvis
 DPL (Diagnostic peritoneal lavage): untuk menilai trauma tembus atau trauma tumpul,
dan adanya perdarahan intraperitoneal.
 Pemeriksaan Analisa Gas Darah: utuk mengetahui kadar CO2 dalam darah
 Hematokrit: untuk menilai sejauh mana kehilangan darah pasien dan seberapa banyak
transfusi yang dibutuhkan.

12. OBAT-OBAT EMERGENCY

Epinephrin
 Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau syok
anfilaktik, hipotensi.
 Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan intratrakeal atau
transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena. Untuk reaksi reaksi atau syok
anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi
bradikardi atau hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1 mg =
1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1 μg/mnt dititrasi sampai
menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 μg/mnt
 Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan meningkatkan aliran
darah ke otak dan jantung

Lidokain (lignocaine, xylocaine)


 Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT, Ventrikel
Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T
 Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit sampai dosis total 3
mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
 Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama idioventrikuler

Sulfas Atropin
 Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim
konduksi AtrioVentrikuler
 Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok
derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan
iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat (atropinisasi)
 Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III.
 Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-0,04 mg/kg
BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg.

165
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
diencerkan menjadi 10 cc

Dopamin
 Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah
jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat
 Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul
dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa

Magnesium Sulfat
 Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel takikardi,
keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia
 Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5% diberikan selama
5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam

Morfin
 Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest.
 Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit

Kortikosteroid
 Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk
mengurangi edema cerebri

Natrium bikarbonat
 Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul pada
henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III) dan
overdosis antidepresi trisiklik.
 Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.
 Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.
Kalsium gluconat/Kalsium klorida
 Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel otot jantung
terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi
akibat darah donor yang disimpan lama
 Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan menggunakan drip
 Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk Kalsium klorida.
Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan 1 ampul Kalsium gluconat

Furosemide
 Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak
 Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah hipotensi, dehidrasi
dan hipokalemia
 Dosis 20 – 40 mg intra vena

166
Diazepam
 Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan tetanus
 Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan
 Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit.

2.Jelaskan Neuroanatomi Dari Skenario ?

A. Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os occipitale
sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia
temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas
skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica),
loose connective tissue (jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut
dengan scalp (Moore & Agur).

B. Tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk mandibula. Kranium mempunyai
dua bagian besar, yakni kalvaria (atap tengkorak) yang sering disebut neurokranium dan
selaput otak.

1.Tengkorak atau Kalvaria Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal,


parietal dan oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe.
Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap kranium,
sementara diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan memberi tempat untuk
memproduksi sumsum darah.

2. Kranium Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal
yang membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita; os parietal
yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang membentuk dasar dan
bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan struktur penyangga penting dari
rongga nasal dan berperan dalam pembentukan orbita mata dan os sfenoid yang
membentuk dasar anterior kranium (Moore & Agur).

a. Aspek Anterior Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os


zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula (Moore & Agur).

b. Aspek Lateral Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah ,Os
kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior, linea temporalis
inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion, processus mastoideus ossis
temporalis, meatus acusticus externus dan processus styloideus ossis temporalis. Os
wajah yakni mandibula terletak dua bagian: bagian horisontal, yakni corpus mandibulae
dan bagian vertikal, yakni ramus mandibulae (Moore & Agur).

c. Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os parietale dan os


temporale. Protuberentia occipitalis externa adalah benjolan yang mudah diraba di
bidang median. Linea nuchalis superior yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke

167
lateral dari protuberentia occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu
jelas (Moore & Agur).

d. Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os parietale dextra
dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior. Sutura coronalis memisahkan os
frontale dari os parietale; sutura sagitalis 11 memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu
dari yang lain; dan sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os
occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan sutura coronalis.
Titik vertex merupakan titik teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di
dekat titik tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu antara sutura lamboidea
dan sutura sagitalis (Moore & Agur).

C. Meningen merupakan selaput atau membarne yang terdiri dari connective tissue yang
melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu duramater, araknoid, dan
piamater.

1. Duramater: adalah selaput keras terdiri dari jaringan fibrosa yang melekat erat dengan
bagian dalam kranium.

2. araknoid:merupakan Jaringan ikat tipis (transparan)

3. piamater: merupakan Jaringan Ikat tipis yang Melekat pada medula spinalis

D. Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon,
pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan
arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks
serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil
yang disebut lobus. (Moore & Argur).

Otak terdiri dari 3 bagian, yaitu:

1. Serebrum (Otak Besar) Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing
hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian
lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing
adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC).
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal
bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik
dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini
berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis).

168
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum.
Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini
terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas
intelektual (Ellis).
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis
yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal
berperan penting dalam kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa
dalam bentuk suara (Ellis).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini
berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis).
12. Serebelum (Otak Kecil) Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di
bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh
dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis
otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan
tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya (Clark).

13. Batang Otak Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol
tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila
terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan
otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika
bangun (CDC).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan IV
diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, 12 pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran (Moore & Argur).

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan medulla
oblongata.Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan
dengan pons (Moore & Argur).

c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan
berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial
posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII
berada pada perhubungan dari pons dan medulla (Moore & Argur ).

169
e. Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
yang bertujuan melindungi otak dari benturan, bakteri dan juga berperan sebagai
pembersih lingkungan otak. Jumlah cairan serebrospinal pada orang dewasa berkisar
antara 75-150 ml. Jumlah ini konstan sesuai hukum monroe-kelli kecuali jika terdapat
kondisi yang tidak seimbang antara komponen parenkim, darah dan cairan serebrospinal.
Produksi cairan serebrospinal berkisar 0,35 ml permenit atau sekitar 500 ml per hari.

3. Sebutkan dan Jelaskan Kualitas Kesadaran ?

DERAJAT KESADARAN

Secara Kualitatif

1. ComposMentis
(conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.

2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen(Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6.Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).

14. Jelaskan Patomekanisme Penurunan Kesadaran !


Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri
dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua
sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan.

Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network system
yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain
stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla,
pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).Kesadaran ditentukan oleh interaksi
kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas),
dengan ascending reticular activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari

170
pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-
jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks
serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap
sadar (awake).

Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. Korteks
serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini
berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau input-input rangsangan
sensoris, hal ini disebut juga sebagai awareness.

Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya
pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak,
terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon.

Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat
(kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness, alertness)
kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.

15. Jelaskan Etiologi Penurunan Kesadaran ?


Mekanisme Dan Penyebab Utama Koma (Kumar & Clark, 2006)

NO MEKANISME ETIOLOGI

1. Disfungsi otak difus - Overdosis obat, alcohol abuse

- Keracunan CO, gas anestesi

- Hipoglikemia, hiperglikemia

- Hipoksia, cedera otak iskemik

- Ensefalopati hipertensif

- Uremia berat

- Gagal hepatoselular

- Gagal napas dengan retensi CO2

- Hiperkalsemia, hipokalsemia

- Hiponatremia, hipernatremia

-Hipoadrenalisme,hipopituarisme,

171
hipotiroidisme

- Asidosis metabolik

- Hipotermia, hipertermia

- Trauma kepala tertutup

- Epilepsi pascabangkitan umum

- Ensefalitis, malaria serebral, septikemia

- Perdarahan subaraknoid

- Gangguan metabolik lainnya (mis. porfiria)

- Edema otak karena hipoksia kronik

2. Efek langsung di - Perdarahan atau infark


batang otak
- Neoplasma misalnya glioma

- Demielinasi

- Sindrom Wernicke-Korsakoff

- Trauma

3. Tekanan terhadap -Tumor hemisfere, infark, abses, hematoma,


batang otak ensefalitis atau trauma

6. Jelaskan Diferensial Diagnosis Dari Skenario?

1.EPIDURAL HEMATOM

172
Adanya penumpukan darah pada duramater dan tabula interna. Paling sering terjadi pada
Frontal dan Temporal. Sumber perdarahan dari arteri Meningea Media yang disebabkan oleh
fraktur tulang, dapat juga oleh vena atau diploe.

Karena duramater berlekatan erat dengan permukaan dalam melekat, diperlukan tekanan
yang cukup besar untuk menimbulkan kumpulan cairan pada lokasi ini.

Penyebabnya hampir selalu robekan di arteri meningea media, pembuluh darah mengingea
terbesar. Fraktur seperti ini sering terjadi tanpa menimbulkan cedera serius lain pada otak.
Dengan demikian, banyak pasien dengan hematom epidural tetap sadar segera setelah
kejadian traumatic dan tidak kehilangan kesadaran hingga beberapa saat kemudian (yang
disebut “lucid interval”). Pasien tersebut kemudian dapat meninggal akibat akibat
peningkatan tekanan intracranial yang cepat kecuali hematoma segera didiagnosis dan
diangkat melalui operasi. Terapi yang tepat memberikan prognosis yang baik.

2. KONTUSIO SEREBRI
Definisis

Kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater

Etiologi

Kecelakaan, jatuh dan trauma

Manifestasi Klinis

Bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila
kondisi berangsur kembali , maka tingkat kesadaran pun akan berangsur kembali tetapi akan
memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti
biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila Terjadi edema
serebral. Gejala lain yang sering muncul:

 Gangguan kesadaran lebih lama


 Kelainan neurologik positip, reflek patologik positif, lumpuh konvulsi
 Gejala TIK meningkat

173
 Amnesia retrograd lebih nyata
 Tidak sadarkan diri
 Denyut nadi lemah
 Pernafasan dangkal
 Kulit dingin dan pucat
 sakit kepala

Bentuk Klinis

kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma scale (GCS)
 Ringan : GCS 13-15 ( dapat kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma)
 Sedang : GCS 9-12 ( Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak
 Berat : GCS 3-8 (kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga
meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

Diagnosis

Anamnesis :

Riwayat trauma kepala, keluhan subjektif (+)

Pemeriksaan Fisik :
Hilang kesadaran menit, jam, hari, minggu tergantung berat trauma, amnesia, defisit
neurologi berupa refleks patologi (+), pada keadaan yang sangat berat dimana edema sudah
demikian hebat disertai meningkatnya tekanan intrakranial maka akan didapatkan
gejala/deserebrasi dan gangguan fungsi vital.

Pemeriksaan penunjang :

 EEG Abnormal
 Rotgen kepala : fraktur cranii
 LCS : Darah/xanthocrom
 CT-SCAN : tampak hiperdens di girus-girus
Penatalaksanaan
Konservatif
Medikamentosa : terapi steroid, analgetik, terapi osmotik, terapi diuretik, terapi simtomatik,
terapi profilaksis terhadap infeksi.
Komplikasi

Benturan yang berat dan tidak segera diobati dapat menyebabkan edema serebri bertambah
hebat, tekanan intrakranial meningkat, dan dapat terjadi kematian.

Prognosis
Tergantung berat ringan trauma.
3. HEMATOMA SUBDURAL

174
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural Hematom yang
terbentuk karena perdarahan yang terjadi antara duramater dan arakhnoid ( di dalam ruang
sub arakhnoid ), waktunya lebih panjang jadi masih ada waktu untuk pengobatan atau
operasi. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arachnoid, sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya
darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya
disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang
menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif
yang menunjukkan lokasi gumpalan darah..

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk
akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai
akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural
pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural
akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup.
Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Hematoma subdural merupakan bentuk trauma intrakranial yang paling sering, hematoma
subdural tidak hanya terjadi pada cidera kepala berat tetapi juga dapat terjadi pada orang
dengan cidera kepala yang tidak terlalu berat seperti pasien tua atau yang menerima terapi
antikoagulan. Hematoma subdural mungkin juga terjadi secara spontan atau disebabkan oleh
prosedur diagnostik seperti fungsi lumbal. Secara umum, hematoma subdural
diklasifikasikan menjadi fase akut (terjadi dalam kurang 48 jam), fase subakut (terjadi antara
2 sampai 14 hari), dan fase kronik (berkembang selama berminggu-minggu dan lesi
hipodens). Presentasi dari hematoma subdural akut bervariasi sangat luas, beberapa pasien
datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma. Sebanyak 50% pasien trauma kepala
memerlukan operasi bedah saraf yang diklasifikasikan berdasarkan berat atau ringannya
trauma kepala (berdasarkan skor GCS). Dan beberapa dari pasien mengalami lesi
intrakranial.
Epidemiologinya Estimasi insiden hematoma subdural kronik sebesar 13,1 per 100.000
pertahun, dengan insiden 3,1 per 100.000 pertahun pada pasien usia kurang dari 65 tahun dan
58,1% per 100.000 per tahun pada pasien yang lebih tua. Insiden pada pasien trauma kepala
di Amerika Serikat diperkirakan 200 per 100.000 orang. Studi dari universitas California,
Los Angeles pada tahun 2006 mengevaluasi pasien trauma tumpul yang menjalani CT-Scan
cranial, 8,7% didapati memiliki trauma otak akut yang signifikan. Studi sebelumnya
menyatakan insiden trauma kepala tertinggi pada usia 10-29 tahun.
Pada pasien yang mengalami hematoma intracranial memerlukan dekompresi emergensi.
Hematoma subdural akut paling banyak dihubungkan dengan trauma otak yang luas, 82%
pada pasien koma dengan hematoma subdural terdapat kontusio parenkim. Tingkat
keparahan dari pada keterlibatan parenkim sangat berhubungan dengan prognosis pasien
nantinya. Hematoma subdural akut merupakan tipe trauma intracranial yang paling banyak,
terjadi pada 24% pasien dengan keadaan koma. Hematoma subdural juga berhubungan kuat

175
dengan kerusakan otak. Trauma yang signifikan tidak hanya menyebabkan hematoma
subdural. Hematoma subdural kronik dapat terjadi pada pasien tua setelah mengalami trauma
kepala yang tidak signifikan. Hematoma subdural kronik merupakan penyebab terbanyak
dimensia, dan sebagia kecil hematoma subdural kronik disebabkan oleh hematoma subdural
akut yang terapinya tidak adekuat.

Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural akut
dapat terjadi pada
• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia, kelainan
hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma serebral, malfromasi
arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural.
• Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal, lumboperitoneal
shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui
Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :
• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol kronis,
epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit
kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus.
Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan pembekuan, dan
terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada
pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang
lebih tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien
dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin.

Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di
dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan
cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus
pada tempat di mana vena tersebut menembus duramater. Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal. Sebagian
kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau

176
diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan
diantara hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi
traumatik dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik
akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil
perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan
karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan terbentuk
jaringan ikat yang menyerupai kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung sehingga memberikan gejala seperti tumor serebri
karena tekanan intrakranial yang meningkat secara perlahan-lahan.

Gambar 2.4. Proses Terjadinya Hematoma Subdural

Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Bridging vein
dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak mengecil, sehingga walaupun
hanya mengalami trauma ringan dapat menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena
perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga berlangsung lebih
lama dibandingkan pada perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa
hari. Pada hematoma subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula baik
pada bagian dalam dan bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah
pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari cairan
cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang
cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu

177
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang
yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral. Lebih lanjut dapat terjadi
herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada hematoma subdural kronik, didapatkan juga
bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalia lebih terganggu dibandingkan dengan
daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya
normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa
terjadi perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik. Faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsula dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan pada
perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara bertahap meluas ke seluruh
permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir
dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis, yang
menempel pada dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga
mengakibatkan skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan
perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan subdural
ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu
sendiri.

Klasifikasi
Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari 48 jam setelah trauma.
Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat sehingga dapat mengakibatkan perburukan
lebih lanjut pada pasien, serta baik kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi hiperdens.
Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar 2 sampai 14 hari
sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar, kemudian mengalami
perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita

178
akan memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon
terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi
dan menekan batang otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens.
Lesi isodens ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah trauma atau lebih. Gejala
umumnya muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas. Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, hematoma atau perdarahan yang terjadi
lama kelamaan dapat membesar secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan
penekanan dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat yang terbentuk mengelilingi
hematoma. Pada hematoma yang lebih baru, kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk
atau dalam ukuran yang masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembus dinding ini dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan meningkatnya volume hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subarachnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada
tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada saat
benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang
menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita dengan
hematoma subdural yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu
sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial impact).
Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan
penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan trauma yang ringan tidak akan
kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan
lesi massa intrakranial lainnya yang dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan
penurunan kesadaran setelah terjadinya trauma.
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat cedera otak primer
dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik
yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak
umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit
motorik. Akan tetapi, gambaran pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan

179
indikator yang mutlak dalam menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak
sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau
karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas tentorium.
Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma
menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil ini lebih
dipercaya sebagai indikator letak hematoma subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada tingkat yang ringan
(sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran pada hematoma subdural
tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali apabila terdapat efek massa
atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
peningkatan tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya
a.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam pasca
trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun dalam jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan
adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. 9,12,13

180
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, trauma yang
terjadi dianggap ringan, sehingga selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis seperti:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Langkah Langkah Diagnosis


Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari jatuh, kekerasan, atau
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan terhadap terjadinya subdural hematom akut
muncul kapapun ketika pasien mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat.
Gambaran klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi tersebut.
Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah kejadian. Beberapa pasien
dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam masa perburukan yang muncul perlahan
seiring perluasan hematoma. Pasien yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut
dibanding pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi menunjukkan rerata umur
pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa kejadian subdura hematoma akut adalah 26
tahun, sedangkan rerata umur yang mengalami subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh
karena itu pasien usia tua menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan subdural hematom
akut setelah cedera kepala.14 Hal ini diperkirakan terjadi karena pada pasien tua memiliki
otak yang lebih atrofi, sehingga mengakibatkan robekan yang lebih mudah terjadi pada
bridging vein segera setelah cedera kepala terjadi.
Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul antara 4 hingga 21 hari
setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik ditentukan sebagai SDH yang muncul pada 21 hari
atau lebih setelah cedera terjadi. Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH
yang lebih akurat jika menggunakan CT-scan.
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala atau
tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika
ada pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah
apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan lamanya
periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai
muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama
penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses
intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit

181
kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.
Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang
dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan
tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau
syok harus segeradilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.
Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan Cushing respon yaitu
peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.Pemeriksaan neurologis yang
meliputkankesadaran penderita dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter
kedua pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala
GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien
terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan fungsi ARAS, batang otak dan kortes).
Pemeriksaan diameter kedua pupil dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah telah
terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex
menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Apabila terjadi trauma langsung pada mata
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Tabel 2.1 Gejala-gejala pada Hematoma Subdural

Gejala Umum Gejala Ringan Gejala Akut/Berat


(sering) (sering) (jarang)
Sakit kepala Konfusi Hemiplegi

182
Tampak lelah Gangguan gaya Afasia
jalan
Mual/Muntah Penurunan Kejang
keadaan mental
Vertigo Kesulitan Koma
berbicara
Kelemahan
anggota gerak
Inkontinensia

Pemeriksaan Penunjang
Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh sebelumnya,cedera kepala minor,
onset dan perjalanan gejala klinis, penyakit kardiovaskular, gangguan pendarahan,
pengobatan,penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang; pemeriksaan fisik; dan
pemeriksaan darah; imaging otak perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. CT-
scan (Computed Tomography scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk
evaluasi awal cSDH.
Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain injury, kontusio pada otak
disertai dengan LCS dan darah yang mengalir keluar ke dalam ruang subdural dari ruang
subarachnoid pada korban cedera kepala sedang, sedangkan robekan arachnoid disekitar
bridging vein menyebabkan akumulasi sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan
cedera kepala ringan pada subdural.Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau
densitas yang bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang jelas, dan tidak
melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar SDH terjadi pada
permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat juga muncul antara hemisphere atau lapisan
diatas tentorium.Densitas hematoma bervariasi tergantung dari stadium evolusi hematoma.
Sebuah SDH akut (< 3 hari; gambaran hiperden pada CT -scan polos), berlanjut hingga
sekitar 3 minggu menjadi SDH subakut (3- 3minggu; gambaran isoden pada CT scan polos),
dan akhirnya menjadi SDH kronis (>3 minggu; gambaran hipoden pada CT scan polos)
(Gambar 2.5)
Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat gambaran SDH akut,
subakut, dan kronis(Gambar 2.6). Perhatian khusus pada gambaran isoden dari SDH
subakut karenadapat terlewat saat awal pemindaian. Magnetic resonance imaging (MRI)
memiliki tingkat keakuratan lebih baik daripada CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur
secara tepatsehingga gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah dikenali.
Pada hampir semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi oada MRI, tetapi hanya 27%
dapat ditemukanpada CT scan.
Meskipun begitu CT-scan tetap pilihan yang paling sering digunakan dalam menegakkan
diagnosis SDH karena harganya yang lebih murah, mudah di akses, dan lebih cepat. Ketika
menggunakan MRI, pemeriksaan ini berfungsi untuk menggambarkan batas SDH kronis dan
menentukkan struktur yang terdapat didalam hematoma.

183
Gambar 2.5. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.
Less 3 days old, hyperdens (A); subacute SDH, 3 days to 3 weeks old, isodens (B), and SDH
more than 3 weeks old, hypodens (C).

Gambar 2.6. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan Penurunan
Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient
sustained a fall 4 weeks before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute
component is slightly denser and is seen as the hyperdense area in the dependent portion.
Rontgen kepala adanya pergeseran dari glandula pincalis

Lakukan juga pemeriksaan LCS jernih dengan tekanan meninggi mengandung darah atau
xantochrom , pemeriksaan EEG abnormal tampak perlambatan fokal sampai difus dan pada
pemeriksaan Arteriografi karotis terlihat hematom berupa area avaskuler berbentuk
bikonveks antara jaringan otak dan tulang cranium.

Penatalaksanaan
Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi terhadap status
neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis dengan kompressi pada otak dan
midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis masih merupakan hal yang
controversial.
 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift > 5mm pada CT scan
dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat GCS pasien. (surgical
guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9) harus
dilakukan monitor tekanan intracranial.

184
 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan midline shift
< 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor GCS berkurang dan/atau
pasien menunjukkan pupil yang anisokor dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai terhadap SDH.
Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah anatesi
local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang terutama memiliki
polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang kontinyu dan
memberikan brain expansion setelah operasi.TDC dilakukan dengan membuat lubang
kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana
hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering digunakan
untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat
dengan lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran
30mm pada tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya
solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari
seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan
dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini juga
merupakan metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi, besarnya
jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian
besar dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika terdapat
rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi, kegagalan otak
untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau terdapat membran yang tebal.
Pada craniostomy dibuat sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu
dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan suatu
defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga dilakukan craniectomy, dimana bagian
tengkorak yang dianagkat akan ditanam pada peritoneum, sambil menunggu
hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.
 Subtemporal decompressive craniectomy
 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.
Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan, dan elvauasi yang
dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi tertentu.
Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang asimtomatik, pasien
yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki resiko tinggi untuk dilakukan

185
operasi. Meskipun metoda drainase operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH
kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan terapi
konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang muncul seperti
hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda – tanda yang
menunjukkan herniasi transtentorial seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda
kepada tenaga medis untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain
itu pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur memberikan
perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara umum terapi konservatif
dapat diberikan pada pasien dengan
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:


 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan koagulopati dan
memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya. Perbaikan terhadap faal
hemostasis sangatlah penting pada semua psien dengan subdural hematoma. Semua
pasien yang sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan penggunaan
antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus dilakukan pemeriksaan
serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial thromboplastin time), INR, dan level
platelet dan fibrinogen.
 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor penting
dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue plasminogen activator,
Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat
oleh kortikosteroid.

 Penatalaksanaan tekanan intrakranial


Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang terfixiri
dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan menggunakan doktrin
Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume otak, cairan likuor
cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk volume intrakranial.
Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah
Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume tersebut meningkat,
maka volume lain akan terdesak dan akhirnya tekanan intrakranial akan segera
meningkat. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro
Vascular Resistant) sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion pressure dan tubuh akan
mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing response.

186
CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial Pressure) - ICP
(Intracranial Pressure)
Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dengan meningkatkan MAP, sehingga tekanan darah akan meningkat disetai
dengan bradikardia, dan bradipnea. Oleh karena itu untuk mempertahankan aliran darah
ke otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan dimana tekanan perfusi otak bernilai
sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial <20mmHg.Beberapa upaya yang bisa di
lakukan untuk mencegah dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:
 Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg jika terdapat
intsabilitas spinal
 Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat dimonitor dengan analisis
gas darah serial)
 Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB, untuk
membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga beban cairan akan ditarik
masuk kedalam ruang intravaskular. Sebelum memilih menggunakan manitol perlu
untuk mengetahui fungsi ginjal pasien.
 Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan intrakranial,oleh
karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau analgesia akanmengurangi kecemasan
, ketakutan dan respon terhadap nyeri berupa postural spontan yang merupakan
factor yang mempengaruhi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dapat ditangani
dengan menggunakan morphine 2-5 mg/kg/jam dan vecuronium 10 mg/jam
 Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.
 Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan phenytoin 18
mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.
 Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk menururnkan TIK, dengan
metoda operatif ventriculostomy (burr hole).
Komplikasi

Jika diagnose dapat segera ditegakkan dan tindakan operatif cepat dilakukan maka
komplikasi tidak akan terjadi

Prognostik
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak
berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya
menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasusyang lain, memerlukan
tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.Tindakan operasi pada hematoma subdural
kronik memberikan prognosisyang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan
sembuh total.23Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka
mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1cm),
prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan
subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation) mempunyai prognosa baik dan
mendapatkan penyembuhan sempurna.16,23 Perdarahan subdural akut yang sederhana

187
(simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%.Perdarahan subdural akut
yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio
atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada
penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural
hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling penting untuk
meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.Angka mortalitas
pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan menyebabkan penekanan (mass
effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4
jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah
kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian.
Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor
yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma ekstra
axial di ruang subdural. Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-
satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome) penderita SDH akut.
Penderita yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita
SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%.
Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi.
Pada penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil
bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival sebesar 10%.
 Hematom subdural akut : 90% mortalitas
 Hematom subdural subakut : mortalitas 20% dan post operatif sembuh dengan baik
 Hematom subdural kronis : biasanya post operatif bisa sembuh dengan baik.

4. HEMATOMA SUBARAKNOID
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga 

subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid ditandai 

dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan 

dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan  bagian selaput

 yang membungkus otak.

Etiologi

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV)

Diagnosis

Anamnesa :

Didapatkan nyeri kepala yang ringan kemudian berkembang menjadi nyeri kepala hebat
dan mendadak.

Pemeriksaan fisik:

188
Fotofobia, meningismus,mual dan muntah .

Pemeriksaan penunjang :

CT scan ,pungsi lumbal, angiografi, MRI

Penatalaksanaan

Cari sumber perdarahan mengunakanyang dapat diintervensi dengan pembedahan maupun


tindakan vaskuler lainya.

Medikamentosa

 Paracetamol per os atau intravena pilihan utama untuk headcache

 Hipertensi harus diterapi dengan obat labetalol atau urapidil

 Pemberian PPI diindikasikan untuk mencegah ulkus peptik

 Pemberian nimodipine 60 mg per oral setiap 4 jam selama 21 hari

untuk mengurangi resiko iskemik serebral delayed akibat vasospasme

Fisioterapi

Jika ada gangguan /gejala sisa neurofisik

Komplikasi

Vasospasme dan perdarahan ulang (70%) ini merupakan komplikasi tersering dari
hematom subaracnoid Ada juga bebrapa komplikasi lainya seperti hidrocefalus
,hiperglikemi , epilepsi

Prognosis

Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi
bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu
pertama, dan 60% dalam 2 bulan pertama.

5. FRAKTUR BASIS CRANII


Definisi

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang dapat terjad pada dasar tulang tengkorak
yang tebal.

Manifestasi Klinis

189
 perdarahan dari telinga,hidung dan mulut
 keluar cairan dari telinga
 ekimosis preorbita
 ekinosis retroauricular(battle sign)dan otorhea
 parese nervus cranialis(Nervus I,II,III,IV,VII,dan VIII)
Diagnosis

Anamnesis

 Adanya riwayat trauma kepala


 fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang berbeda(fosa
anterior,fosa media,dan fosa posterior)
Pemeriksaan fisik

 Gejala penyerta :hematoma epidural dan subdural,comusio dan contusio cerebri


 hilang kesadaran
 refleks babinski(+)
 perdarahan dari telinga,hidung dan mulut
 keluar cairan dari telinga
 ekimosis preorbita
 ekinosis retroauricular(battle sign)dan otorhea
 parese nervus cranialis tergantung tempat fraktur(Nervus I,II,III,IV,VII,dan VIII)
Pemeriksaan penunjang

-CT scan

-LCS bercampur darah

-EEC

Penatalaksanaan

-Non medikamentosa

Cegah atau hentikan perdarahan,dan jika perlu konsul ke THT

-Medikamentosa

Karbosokrom Na-sulfonat(adona AC)dan asam treksamat

Antibiotik yang adekuat untuk mecegah terjadinya komplikasi

Obat-obat untuk gejala penyerta,misalnya KIR untuk contusio

Komplikasi

Bisa terjadi meningitis akibat infeksi dari luar.

Prognosis

190
Tergantung berat ringannya fraktur yang terjadi dan bisa sembuh tetapi masih meningalkan
gejala berupa lesi nn.cranialis dan sindroma cerebral post trauma.

6. COMMUTIO CEREBRI (GEGAR OTAK )


Commutio Cerebri atau Gegar Otak adalah cedera otak traumatis yang mengakibatkan fungsi
otak tidak normal. Kondisi ini biasanya terjadi akibat kepala terbentur, terpukul, atau jika
tubuh bagian atas terguncang keras, tidak ada jaringan otak yang rusak, hanya kehilangan
fungsi otak sesaat.

Manifestasi klinis

 Riwayat Trauma kepala


 Hilang kesadaran <30 menit (rata-rata 10-15 menit)
 Kel.subjektif berupa : mual, muntah, pusing
 Disertai atau tanpa Amnesia Retrograd/Anterograd
 Tidak ada lesi struktural pada otak

Pemeriksaan Penunjang

CT-Scan kepala dan MRI untuk mengamati apakah terjadi perdarahan di dalam kepala untuk
memeriksa komplikasi lebih lanjut setelah gegar otak.

Penatalaksanaan
Perawatan
 Bed rest
 Mobilisasi
 Selama perawatan di lakukan observasi paling sedikit 2x24 jam terhadap kesadaran,
tekanan darah, nadi, pernapasan, gejala tekanan intrakranial meningkat, defisit neurologis
yang timbul progresif , pupil mata.

Medikamentosa

Pengobatan terhadap luka dan perdarahan dengan antibiotik untuk

Pencegahan :

 Antikoagulan
 Ampisilin/amoksisilin
 Tetracycline
 ATS profilaksis

Hemostatistika :

 Karbasokrom Na-sulfonat (adona AC 17)


 Asam treneksamat

191
 Vit. B1, B6 dan B12 à untuk neurologis
 Obat encephalotropik

Pengobatan simptomatik, hanya diperlukan pada keadaan terpaksa/sangat diperlukan :

 Analgetika : metampyron, paracetamol, asam mefenamat.Antimuntah : metoklopramid,


dimenhidrinat (dramamine)Tranquilizer : diazepam
Prognosis

Sembuh sempurna bila di tangani dengan baik dan tepat, gegar otak apabila tidak di tangani
dengan baik dapat menibulkan komplikasi yang parah.

SKENARIO II

1. Jelaaskan Anatomi pelvis dan regio Abdomen ?


Pelvis / panggul
Pelvis (panggul) tersusun atas empat tulang: sakrum, koksigis, dan dua tulang inominata
yang terbentuk oleh fusi ilium, iskium, dan pubis. Tulang-tulang inominata bersendi dengan

192
sakrum pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang inominata sebelahnya di
simfisis pubis (Cunningham, et al, 2010). Panggul dibagi menjadi dua regio oleh bidang imajiner
yang ditarik dari promontorium sakrum ke pinggir atas simfisis pubis, yaitu:
a. Panggul palsu ,Terletak di atas bidang, berfungsi untuk menyokong intestinum.
b. Panggul sejati, Terletak di bawah bidang, memiliki dua bukaan yaitu: arpertura pelvis
superior (pintu atas panggul) dan arpetura pelvis inferior (pintu bawah panggul) (Baun, 2005).
Selama proses kelahiran pervaginam, bayi harus dapat melewati kedua pembukaan
panggul sejati ini (Amatsu Therapy Association and Amatsu Association of Ireland, 2006).

Gambar 2.1. Gambaran anteroposterior panggul normal wanita dewasa. Digambarkan


diameter anteroposterior (AP) dan Transversal (T) pintu atas panggul. Sumber:
Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed

Fungsi Pelvis
 Penyangga berat tubuh bagian atas
 Melindungi pelvic viscera
 Gerakan tubuh (duduk/berlutut/berjalan/berlari)
 Menyediakan perlekatan otot Proses kehamilan dan Kelahiran Pada wanita
Perbedaan antara pelvis pria dan wanita

193
1. Tulang Pelvis: Ileum (Tulang Usus)
• ASIS (Anterior superior iliac spine)
• AIIS (Anterior inferior iliac spine)
• PSIS (Posterior superior iliac spine)
• PIIS (Posterior inferior iliac spine)

2. Tulang Ischium (Tulang Duduk)

3. Sacrum
Terdiri dari 5 vertebrae yang menyatu. Berbentuk segitiga. Terbagi atas Lateral Mass & Central
Mass

Klasifikasi Pelvic

1. Greater(false) :Panggul yang lebih, besar Bagian dari rongga perut


2. Lesser( true) : Panggul yang lebih kecil/rendah Terletak di bagian, inferior pelivic
brim atau inlet pelvic. Terdiri dari: Pintu Atas Panggul( Pelvic Inlet) Pintu Bawah
Panggul(Pelvic Outlet)

194
Region abdomen

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks dan pelvis.
rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot abdomen,
columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen,
yang paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan
horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding
anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones).

Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang
bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh
yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio
abdomen tersebut adalah: 1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4)
lumbalis dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica/hipogastrica,
9) inguinalis sinistra

195
Gambar Pembagian anatomi abdomen berdasarkan lokasi organ yang ada di dalamnya (Griffith,
2003)

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian duodenum
fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari hepar.

3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis
kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.

4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian
duodenum dan jejenum.

5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.

6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum
dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.

8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.

Dengan mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat memprediksi organ mana
yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada
daerah atau regio tersebut (Griffith, 2003)
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari
bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua
yaitu bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian

196
kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ reproduksi pada wanita
(Trauma, 2012).
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena
cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan paskaerior kolon
ascenden dan descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga
pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga
peritoneal dan retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ
reproduksi interna pada wanita (Griffith, 2003).

2. Jelaskan penanganan awal pada skenario ?


Penatalaksanaan awal

PPGD memiliki tujuan, antara lain:


1. Mencegah terjadinya kematian
2. Mencegah terjadinya cacat tubuh;
3. Mencegah kerusakan yang lebih luas;
4. Mencegah terjadinya infeksi;
5. Mencegah rasa sakit pada korban.

Primary survey

Airway

Periksa apakah terdapat


sumbatan jalan napas atau tidak,
terdapat suara napas tambahan
atau tidak dan apakah terdapat
benda asing yang dapat membuat
jalan napas tersumbat. Pengelolaan
gangguan pada jalan napas tanpa
menggunakan alat:
Manipulasi dengan menggunakan
tangan

 Head tilt
- Baringkan korban terlentang
- Letakkan: telapak tangan menahan dahi korban ke belakang
- Letakkan jari telunjuk dan jari tengah menahan dagu kedepa
- Evaluasi jalan napas
 Chin Lift
- Jari jari telunjukdan jari tengah diletakkan di bawah rahang
- Secara hati-hati dagu diangkat ke atas untuk membawa kearah depan
- Ibu jari tangan yang sama menekan bibir bawah untuk membuka mulut
197
- Ibu jari dapat juga diletakkan dibelakang gigi seri (incisor) bawah
- Secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat

Tekhnik pembebasan jalan napas head tilt/ chin lift

 Jaw thrust
- Baringkan korban terlentang
- Sudah dilakukan head tilt dan chin lift namun jalan napas belum bebas sempurna
- Dorong ramus vertikalis mandibula kiri dan kanan ke depan
- Sehingga barisan gigi bawah di depan barisan gigi atas
- Evaluasi jalan napas

Membersihkan Jalan Napas Dari Benda Asing

Benda Asing Cair :


 Baringkan korban, terlentang atau miring.
 Bila mungkin kepala lebih rendah.
 Dengan sapuan jari tangan dan mempergunakan bahan yang dapat meresap cairan
misalnya kain, kasa , kapas, tissue.
 Memakai pipa , hisap dengan mulut.
 Memakai pipa hisap dengan alat pengisap mekanik, elektrik.
Dengan Alat Bantu :
 Pipa orofaring
 Pipa nasofaring
 Intibasi endotrakeal
 Krikotirotomi
 Trakeostomi

198
Breathing

 Apakah pasien bernapas cukup?


 Apakah ada pengembangan dada?
 Pengembangan simetris atau tidak?

Pertukaran Udara Harus Adekuat, dengan :

• memaksimalkan oksigenasi
• memaksimalkan pengeluaran CO2

Perlu pemeriksaan fisis yang tepat dan cepat pada :

• Paru
• Dinding Dada
• Diafragma

Alat napas buatan:

 Mulut penolong ke mulut / hidung korban


 Mulut penolong ke masker pada korban
 Ambu-bag / self inflating bag
 Jackson-Reese, Water’s dan alat anestesi dengan reservoir O2
 Ventilator

Circulation

Periksa TD, Nadi, CRT, warna kulit, turgor kulit, pendarahan dan produksi urine.

a. Volume Darah dan Curah Jantung


b. Tingkat Kesadaran
c. Perfusi otak terganggu
d. Skin Colour
e. Vasokontriksi:
f. Basah/dingin, pucat/kelabu
g. Capillary Refill Time

Pengembalian volume sikulasi yang efektif dan adekuat dengan menentukan derajat
kehilangan cairan

<5% Riwayat + Fisis - Rehidrasi


melalui oral
Turgor kulit Mukosa Laju jantung Tekanan darah Jalur Terapi
mulut
7% ¯ Kering N/ N Jalur intravena
perifer
10% ¯¯ Kering ¯ Jalur intravena
perifer

199
12% ¯¯ Kering ¯¯ Pertimbangkan
Kateter Vena
Sentral
Tahap terapi :

 Darurat
 penggantian
 Rumatan/ pemeliharaan

Disability (Status Neurologi)

AVPU (Cepat Dan Sederhana)

- Alert
- Responds to vocal
- Responds to pain
- Unresponsive
Refleks Pupil

Exposure (Evaluasi Dari Kepala Sampe Kaki)

Kegawatdaruratan Ortopedi

Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak dijumpai. Penanganan


emergency orthopedics telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam
bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang penanganan
emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan
yang adekuat terkait dengan proses perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang
komprehensif, yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang
tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi
hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency orthopedics, yaitu open
fracture, compartment syndrome, dislokasi dan fractur dislokasi, lesi vascular besar, septic
arthritis, acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat emboli, unstable cervical spine, dan traumatic
amputasi.

Berdasar sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua, yaitu sifatnya yang
mengancam jiwa (life threatening ) dan yang mengancam kelangsungan ekstremitas ( limb
threatening). Kejadian fraktur banyak ditemukan saat ini, begitu juga kasus open fraktur di IGD.
Kalau tidak ditangani akan menjadikannya infeksi kronis yang berkepanjangan.“Once
osteomyelitis, forever” : Appley. Jangan sampai melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada
awalnya infestasi kuman masih melekat secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan
sulit dibersihkan dengan pencucian saja.

Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada yang tidak. Fraktur
yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan tindakan konservatif, fraktur intra artikuler,

200
fraktur joint depressed lebih dari 5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan ligament, dan fraktur
dengan atrioventriculer node disturbances.

Elemen Manajemen Fraktur Awal


Faktor yang paling penting dalam penyembuhan fraktur adalah suplai darah dan
kesehatan jaringan lunak, dan manajemen awal anggota tubuh yang terluka harus memiliki tujuan
untuk mempertahankan atau meningkatkan ini.
Manajemen awal fraktur terdiri dari penataan kembali segmen patah tungkai (jika sangat
cacat) dan kemudian Imobilisasi ekstremitas fraktur dalam belat. Status neurologis dan vaskular
distal harus dinilai secara klinis dan didokumentasikan sebelum dan setelah penataan kembali dan
belat.

Pedoman saat ini untuk perawatan luka dari British Orthopedic Association :

Terapi Nonoperatif
Manajemen fraktur dini umumnya ditujukan untuk mengendalikan perdarahan,
memberikan penghilang rasa sakit, mencegah cedera iskemia-reperfusi, dan menghilangkan
sumber kontaminasi potensial (benda asing dan jaringan yang tidak dapat hidup). Setelah tugas-
tugas ini selesai, fraktur harus dikurangi dan pengurangan harus dipertahankan, yang akan
mengoptimalkan kondisi untuk penyatuan fraktur dan meminimalkan potensi komplikasi.
Tujuan akhir dari manajemen fraktur adalah untuk memastikan bahwa segmen anggota
tubuh yang terlibat, ketika disembuhkan, telah kembali ke fungsi semaksimal mungkin. Hal ini
dicapai dengan mendapatkan dan selanjutnya mempertahankan pengurangan fraktur dengan
teknik imobilisasi yang memungkinkan fraktur sembuh dan, pada saat yang sama, memberikan
pasien aftercare fungsional. Baik cara nonoperatif atau bedah dapat digunakan.
Terapi nonoperatif (tertutup) terdiri dari casting dan traksi (traksi kulit dan tulang).

Terapi Bedah

3. Jelaskan patomekanisme dari skenario ?

Patomekanisme
Riwayat Trauma
Trauma tumpul
Trauma Fraktur ruptur
ginjal pelvis uretra
Keluhan Tidak
Nyeri perut
nyeri dapat
bagian kateteris
pinggang, berkeasi
bawah serta
mih namun
hematuri, tidak dapat Retens gagal.
Anuri berkemih. i urin

201
Retensi Urine

Pengertian

Retensi urin adalah kesulitan miksi (berkemih) karena kegagalan mengeluarkan urin dari
vesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Etiologi

Retensi urin dapat dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf:

a) Supravesikal

Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–S4 setinggi Th1- L1.
Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya.

b) Vesikal

Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan masa
kehamilan dan proses persalinan (trauma obstetrik).

c) Infravesikal (distal kandung kemih)

Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra,trauma uretra, batu uretra,
sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis) (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Klasifikasi

a) Retensi urin akut

Pada retensi urin akut penderita seakan-seakan tidak dapat berkemih (miksi). Kandung
kemih perut disertai rasa sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat
disertai mengejan. Sering kali urin keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000). Pada kasus akut, bila penyebabnya tidak segera ditemukan maka kerusakan
lebih berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena otot detrusor atau ganglia parasimpatik
pada dinding kandung kemih menjadi tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronis

Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat berkemih (miksi),
merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit tidak sama sekali walaupun kandung kemih
penuh (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Pada retensi urin kronik, terdapat masalah khusus
akibat peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks uretra, infeksi saluran kemih
atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011). Retensi urin juga dapat terjadi sebagian atau
total a) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin tetapi terdapat sisa
urin yang cukup banyak di dalam kandung kemih. b) Retensi urin total yaitu penderita sama
sekali tidak dapat mengeluarkan urine

Gambaran klinis

202
a) Ketidaknyamanan daerah pubis

b) Distensi vesika urinaria

c) Ketidaksanggupan berkemih

d) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)

e) Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya

f) Meningkat keresahan dan keinginan berkemih

g) Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

Pemeriksaan retensi urin

a) Pemeriksaan subjektif

Pemeriksaan subjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien dan
yang digali melalui anamnesis yang sistematik.

b) Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadapa pasien untuk
mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien.

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai pemeriksaan yang


dapat menunjang diagnosis, diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging).
Pada beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang yang lebih bersifat
spesialistik, yakni urolometri atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi

Penatalaksanaan

a) Retensi urin akut

Pada pasien dengan retensi akut, terapi segera perlu dilakukan adalah mendrainase
kandung kemih. Karena resiko pendarahan kandung kemih, hipotensi, atau drainase pasca
obstruktif, dekompresi kandung kemih secara cepat biasanya dihindari. Pada banyak kasus,
drainase terus menerus dengan kateter folley atau kateter intermitten, perlu dilakukan sampai
fungsi kandung kemih kembali normal, biasanya 48-72 jam.

Pemberian antibiotik juga perlu dipertimbangkan dalam penanganan retensi urin ini
(Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronik

Pada kasus ini perlu adanya intervensi medis jangka panjang secara langsung mencegah
kerusakan ginjal dan mengkoreksi penyebab yang mendasari terjadinya retensi urin. Beberapa
intervensi terapi spesifik yang dapat dilakukan diantaranya terapi farmakologik, katerisasi,
neuromodulasi radiks saraf, dan bahkan intervensi bedah

203
4. Jelaskan differensial diagnosa dari skenario ?
A. Trauma Renal

Definisi

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam trauma baik
tumpul maupun tajam.

Epidemiologi

Trauma ginjal merupakan trauma yang paling sering terjadi.

Etiologi

penyebab dari trauma ginjal , yaitu

1.Trauma tajam :luka tembak atau luka tusuk

2.Trauma tumpul :kecelakaan lalu lintas,jatuh,cedera olah raga,atau penyerangan

3.Trauma iatrogenic :biasanya terjadi akibat tindakan medis misalnya,pemasangan kateter,operasi

Patogenesis

1.Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada
ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang maupun
luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.

Pada trauma tembak,seperti peluru,yang memiliki energy kinetic lebih besar,dapat mendestruksi
parenkim ginjal lebih hebat dan menyebabkan kerusakan diberbagai organ.Luka tembak
kecepatan rendah berhubungan dengan destruksi yang luas akibat efek ledakan,sementara luka
tembak kecepatan tinggi berkaitan dengan pengikisan jaringan yang luas dan tingginya jejas lain

2.Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung
biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal
biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung
misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam
rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan traksi arteri renalis,menyobek lapisan
intima,dan menimbulkan perdarahan.kompresi arteri renalis diantara dinding anterior perut dan
korpus vertebra juga dapat menyebabkan thrombosis arteri renalis dekstra.

3.Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi,
dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan
percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas,
insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan
ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal

Klasifikasi

204
Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pedoman dalam menentukan
terapi dan prognosis.

 Grade I : Kontusio atau hematoma subkapsular yang tidak meluas,tidak ada laserasi
 Grade II : Hematom subkapsular atau perineal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan
parenkim. Laserasi korteks <1 cm tanpa ekstravasasi
 Grade III : Laserasi ginjal >1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks dan tidak terjadi
ekstravasasi.
 Grade IV : Laserasi > 1cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin.
Laserasi yang mengenai korteks,medulla dan pelviokaliks
 Grade V: Laserasi ginjal rusak atau Vaskular jejas pedikel renalis atau avulsi

Gejala Klinik

Pada trauma tumpul dapat ditemukan adanya jejas di daerah lumbal, sedangkan pada
trauma tajam tampak luka.

Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal, ketegangan otot pinggang, sedangkan
massa jarang teraba. Massa yang cepat menyebar luas disertai tanda kehilangan darah merupakan
petunjuk adanya cedera vaskuler.

Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian atas, dengan
intenitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa ditemukan adanya tanda
perdarahan dalam perut. Bila terjai cedera Tr. Digestivus ditemukan adanya tanda rangsang
peritoneum.

Fraktur costae terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan sebaiknya
diperhatikan keadaan paru apakah terdapat hematothoraks atau pneumothoraks. Hematuria
makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih. Derajat hematuria tidak berbanding
dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan
cedera berat seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda shock.

Diagnosis

Diagnosis ditegakan melalui anamnesis,pemeriksaan fisis,dan pemeriksaan penunjang

205
Anamnesis

 Riwayat jatuh,kecelakaan lalu lintas,atau adanya trauma langsung pada daerah pinggang ;
 Untuk kecelakaan lalu linta :mekanisme kecelakaan,berapa kecepatan kendaraan,dan
apakah pasienmerupakan pengendara atau penumpang ;
 Pada trauma tajam:ukuran senjata pada kasus penusuksn,atau tipe dan caliber pistol yang
digunakan;
 Kondisi medis sebelumnya,apakah pasien memiliki kelainan ginjal tertentu

Pemeriksaan Fisis

 Hematuria,nyeri pada daerah pinggang(flank).ekimosis pinggang,abrasi pinggang,fraktur


iga,distensi abdomen,massa abdomen,dan nyeri tekan abdomen

Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium :hematocrit dan kreatinin,untuk mengevaluasi trauma ginjal;


 Urinalisis :hematuria merupakan tanda utama trauma tetapi tidak spesifik dan sensitive ;
 USG ginjal
 Pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi tertentu,yaitu hematuria
makroskipis,hematuria makroskopis yang disertai syok,atau adanya jejas lain yang
berat.pada pasien dengan kondisi tidak stabil yang memerlukan operasi,dapat dilakukan
tindakan single-shot IVP,dengan injeksi 2 mL kontras per kilogram berat badan.Trauma
ginjal terlihat berupa ekskresi kontraks yang berkurang(bandingkan dengan
kontralateral),garis psoas atau kontur ginjal menghilang,atau scoliosis kea rah
kontralateral karena kontraksi otot polos ;
 Radiologi

Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai menderita trauma ginjal,
yaitu:

1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang tepat dan menentukan
prognosisnya

2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma

3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral

4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya

Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :

 Grade I
- Hematom minor di perinephric , pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran ginjal yang
abnormal
- Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
- Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau
terlihat mirip dengan kontusi ginjal

206
- Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat menunjukkan
gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah karena penderit grade
I memang tidak memerlukan tindakan operasi .
- Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara
parenkim ginjal
 Grade II
- Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi
- Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke daerah
perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.
- Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
- Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
- Akumulasi masif dari kontras, terutama pada ½ medial daerah perinefron, dengan
parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat
terjadinya avulsi ureteropelvic junction
 Grade III
- Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi shock
dan sering teraba massa pada daerah flank.dapat disertai dengan hematuria.
- Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat
gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total
- Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis.
Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.
- Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi
memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel akan
terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen diantaranya berarti
merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.
 Grade IV
- Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.
- Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah
perinefron tanpa pengisian ureter.

Sebagai kesimpulan, sampai sekarang belum ada pembatasan yang jelas kapan seorang
penderita yang diduga trauma ginjal memerlukan IVP atau CT Scan sebagai pemeriksaan
penunjangnya. Keputusan tersebut harus didasarkan kepada pemeriksaan manakah yang lebih
tersedia.

CT San biasanya diambil sebagai pemeriksaan penunjang pertama pada psien yang
mengalami trauma multiple organ intra abdomen, dan pasien yang diduga trauma ginjal Grade
III atau IV.

CT Scan berfungsi sebagai pemeriksaan kedua setelah IVP pada pasien yang pada IVP
memperlihtkan gambaran kerusakan luas parenkim ginjal dan pasien yang keadaan umumnya
menurun.

Tatalaksana

207
Pada pasien trauma,stabilitas hemodinamik merupakan trget awal yang paling
penting.tanda-tanda vital perlu terus dipantau sepanjang pemeriksaan.hamipir 90% trauma ginjal
merupakan trauma minor yang hanya memerlukan tindakan konserfati seperti :

 Lesi minor, grade 1, biasanya diobati secara konservatif. Pengobatan konservatif tersebut
meliputi istirahat di tempat tidur, analgesik untuk menghilangkan nyeri, serta observasi
status ginjal dengan pemeriksaan kondisi lokal, kadar hemoglobin, hematokrit serta
sedimen urin.
 Penanganan trauma ginjal grade 2 masih menimbulkan suatu kontroversi. Penenganan
secara operatif biasanya dilakukan apabila pasien tidak memberikan respon positif
terhadap pengobatan konservatif, seperti kehilangan darah yang terus bertambah,
bertambah besarnya massa pada regio flank, rasa sakit yang terus menerus dan disertai
dengan adanya demam. Pengecualian dari indikasi diatas adalah oklusi pada A. Renalis
( grade 3 ). Tindakan konservatif ini dilakukan untuk menghindari dilakukannya tindakan
nephrektomi.
 Penanganan trauma ginjal unuk grade 3,4,dan 5 memerlukan tindakan operatif berupa
laparotomi.

Komplikasi

 Komplikasi awal: Perdarahan yang masiv sangat sering terjadi, terutama di


retroperitoneal. Persisten retroperitoneal persisten atau gross hematuri yang berat, indikasi
untuk dilakukan operasi.
 Komplikasi lanjut: hypertensi, hydronephrosis, arteriovenous fistula, pembentukan
calculus, dan pyelonephritis. renal atrophy dapat muncul dari vascular compromise dan
dapat diditeksi dengan urography. Perdarahan yang berat dan lanjut dapat muncul setelah
1-4 minggu.

B. Fraktur Pelvis

Definisi

Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang tua,
penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari
kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.

Etiologi

Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi sendi


panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat. Patah tulang pelvis

208
harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila
terdapat luka serut, memar, atau hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum.

Epidemiologi

Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Sepuluh persen
diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra,buli-buli,rektum
serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar 10 %.

Mekanisme Trauma

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:

a. Kompresi Antero-Posterior (APC) Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara
seorang pejalan kaki kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur , tulang inominata
terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan
parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
b. Kompresi Lateral (LC) Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami
keretakan . Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau fraktur
ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
Sehingga Adanya rotasi internal pada hemipelvis sehingga menyebabkan pubis terdorong
ke dalam sistem genitourinary bawah. Bentuk fraktur “Closed.
c. Trauma Vertikal Shear (SV) Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan
secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang
sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.sehingga
terjadi instabilitas pelvis
d. Trauma Kombinasi (CM) Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi
kelainan diatas.

Tipe Cidera/ Klasifikasi Fraktur

Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

1. Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh

a. Fraktur avulsi

Tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya ditemukan pada
olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina iliaca anterior superior, rektus
femoris menarik spina iliaca anterior inferior , adductor longus menarik sepotong pubis, dan urat-
urat lurik menarik bagian-bagian iskium. Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi
pada apofisis iskium oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam hal ini
reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan.

a. Fraktur langsung

209
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat menyebabkan
fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest total sampai nyeri mereda.
b. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan yidak nyeri. Pada pasien
osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit didiagnosis adalah frakturtekanan
disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua
yang menderita osteoporosis.

2. Fraktur pada cincin pelvis

Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat cincin
pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan langsung atau fraktur pada
anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastic. Tetapi, patahan kedua sering tidak
ditemukan, baik karena fraktur tereduksi segera atau karena sendi sacroiliaca hanya rusak
sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat
stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang
jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi kedalam fraktur
cincin tunggal dan ganda.

Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal saat
kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan berotasi
keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut “open book”. Bagian posterior
ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior ilium.
Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan patah. Di
bagian anterior rami pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur dan di bagian posterior
terdapat strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi yang sama seperti
fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada pelvis. Apabila terjadi pergeseran sendi
sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak stabil.

Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertical,
menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah sacroiliaca
pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu kaki saat terjatuh dari
ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan robekan jaringan lunak dan
perdarahan retroperitoneal.

Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang secara rotasi
tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.

a) Tipe A/stabil : ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau
tanpa pergeseran.
 A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
 A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur.
b) Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang
mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut fraktur
open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur

210
pada rami iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi
tida ada pembukaan simfisis.
 B1 : open book
 B2 : kompresi lateral  ipsilateral
 B3 : kompresi lateral  kontralateral (bucket-handle).
c) Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament
posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertical
pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.
 C1 : unilateral
 C2 : bilateral
 C3 : disertai fraktur asetabulum

Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell:

a) Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin


1. Fraktur avulsi
 Spina iliaka anterior posterior
 Spina iliaka anterior inferior
 Tuberositas ischium
2. Fraktur pubis dan ischium
3. Fraktur sayap ilium
4. Fraktur sacrum
5. Fraktur dan dislokasi tulang cocsigeus
b) Keretakan tunggal pada cincin panggul
 Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
 Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
 Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
c) Fraktur bilateral cincin panggul
 Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
 Fraktur ganda dan atau dislokasi
 Fraktur multiple yang hebat
d) Fraktur asetabulum
 Tanpa pergeseran
 Dengan pergeseran

Gambaran Klinik

Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yangdapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul.

Keluhan berupa gejala pembengkakan ,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar


panggul. Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat.

211
Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul
dibagi dalam 3 jenis :

1. Dislokasi posterior

 Tanpa fraktur
 Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar
 Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau tanpakerusakan pada
dasar asetabulum.
 Disertai fraktur kaput femur

Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput femur dipaksa
keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur
dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi fleksi. Trauma biasanya terjadi karena
kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras
yang berada dibagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor.
50% dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar.
Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan deformitas pada
daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi adduksi, fleksi
dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak bawah. Dengan pemeriksaan rontgen akan
diketahui jenis dislokasi dan apakahdislokasi disertai fraktur atau tidak.

2. Dislokasi anterior

 Obturator
 Iliaka
 Pubik
 Disertai fraktur kaput femur

3. Dislokasi sentral asetabulum

 Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum


 Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
 Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang komunitif.

Mekanisme trauma Fraktur dislokasi sentral adalah terjadi apabila kaput femur terdorong
ke dinding medial asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul tetap utuh. Fraktur asetabulum
terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dariketinggian pada satu sisi atau suatu
tekanan yang melalui femur dimana keadaan abduksi. Didapatkan perdarahan dan pembengkakan
di daerah tungkai bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah trokanter.
Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Dengan pemeriksaan radiologis didapatkan adanya
pergeseran dari kaput femur menembus panggul.

Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha
berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis. Foto
polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.

212
Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapt
bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat
nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf
skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral,
perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga
cukup tinggi.(Apley, 1995).

Diagnosis :

Anamnesis

1. Riwayat dan Keadaan, waktu trauma


2. Miksi terakhir.
3. Hematuria

Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum
a. Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi
b. Lakukan survey kemungkinan trauma lainnya
2. Lokal
a) Pemeriksaan nyeri :
 Tekanan dari samping cincin panggul
 Tarikan pada cincin panggul
b) Inspeksi perineum untuk mengetahui asanya Perdarahan, pembengkakan dan deformitas.
c) Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis
pubis
d) Pemeriksaan colok dubur ( menilai tulang sacrum dan tulang pubis.)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan pergerakan
abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan ke medial secara
hatihati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke
belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini
menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya patah tulang panggul.

Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau perdarahan melalui
uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan penilaian pada sakrum, atau
tulang pubis dari dalam. Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur
ipsilateral atau kontra lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi
sacroiliaca atau kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat cidera.

Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anterior-


posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM)

213
(gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada
meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar.

Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke
arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca
anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale.

Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-
cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian
sacroiliaca anterior.

Gambar. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi


anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi
anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II.
F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-
masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi
benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta
pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah
besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera
LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis


mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur
pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.

Penatalaksanaan

1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggul

2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:

a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, pelvic
sling

b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan
oleh grup ASIF

Berdasarkan klasifikasi Tile:

214
1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan
traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan
penopang.

2. Fraktur Tipe B:

1. Fraktur tipe open book

Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan
posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan
pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada
kedua ala ossis ilii.

2. Fraktur tipe close book

Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan
tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata
maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.

3. Fraktur Tipe C

Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang
dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu.
Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan
satu atau lebih plat kompresi dinamis.

Komplikasi

1. Komplikasi segera

a.Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan antikoagulan
secara rutin untuk profilaktik.

b.Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian
tulang panggul yang tajam.

c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars
membranosa.

d. Trauma rektum dan vagina

e.Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok. f.
Trauma pada saraf :

1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka
waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.

2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal
disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.

2. Komplikasi lanjut

215
a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak yang
hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.

b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.

c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada daerah
asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan,
maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta
osteoartritis dikemudian hari.

d. Skoliosis kompensator

C. Ruptur Uretra

Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas rupture uretra posterior yang terletak
proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak distal diafragma
urogenital. Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanta robekan mukosa baik parsial
atau total. Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis.

Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranesa karena prostat bersama
uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranesa
terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada
rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-
buli dan prostat terlepas ke kranial.

Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra
terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu, atau palang sepeda, denga tulang simfisis.

Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh
instrumentasi urologic, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.

Gambaran klinis

Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik
dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur
kandung kemih bias ditemukan tanda rangsang peritoneum.

Pada rupture uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan
skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila
terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bias buang air kecil sejak terjadi trauma, dan
nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan kandung
kemih yang penuh.

Cedera uretra karena kateterisasi dapatbmenyebabkan obstruksi karena udem atau bekuan
darah.abses periuretra atau sepsis mengakibatkan demam.ekstrafasasi urin dengan atau tanpa
darah dapat meluas jauh,tergantung fasia yang turut rusak.pada ekstrafasasi ini mudah timbul
infiltrate yang disebut infiltrate urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi
infeksi.

216
Diagnosis

Ruptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit dimeatus uretra disertai
patah tulang pelvis.selain tanda setempat,pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat
seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diagfragma urogenital.kadang sama sekali
tidak terba prostat lagi karena pindah kekranial.pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan
hati karena fragmen tulang dapat mencedrai organ lain,seperti rectum.

Kecurigaan rupture uretra anterior timbul bila ada riwayat kangkang atau istrumentasi
dan darah yang menetes dari meatus uretra.

Pemeriksaan radiologi dengan uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan
tipe rupture uretra

Terapi

Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau organ
lain,cukup dilakukan sistostomi.respirasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan
anastomosis ujung ke ujung ,dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu,bila disertai
cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan respirasi 2-3 hari kemudian,sebaiknya
dipasang kateter secara langsir(railroading)

Pada rupture uretra anterior total,langsung dilakukan pemulihan uretra dengan


anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal.dipasangn kateter silicon selama 3
minggu.bila rupture parsial,dilakukan sistomi dan pemasangan voley diuretra selama 7-10
hari,sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera.kateter sistostomi baru dicabu bila saat kateter
sistostomi diklem ternyata penderita bias buang air kecil.

Komplikasi

Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi,hematoma,abses

DAFTAR PUSTAKA

Carpentio, L,J.diagnosa keperawatan aplikasi pada praktek klinis: TIM PSIK UNPAD
edisi periuretra,fisteluretrokutan,dan epididymitis.

Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra,khusus pada rupture
uretra posterior,dapat timbul komplikasi impotensi dan inkontinensia.

217
 6, EGC, jakarta.
 Departemen kesehatan. Seri PPGD edisi 3. Jakarta.2006
 Initial Assesment dan Resusitasi dalam Advence trauma life Support (ATLS) Manual untuk
Peserta Kursus. Jakarta : American College of Surgeons;2005
 Utama, Harry SY, Diagnosis and Treatment of Head Injury. 2012/07/cidera-kepala-
diagnosa-html.
 Moore KL., Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.
 https://id.scribd.com/doc/226469252/REFERAT-Trauma-Kapitis.
 Departemen kesehatan. Seri PPGD edisi 3. Jakarta.2006
 Richard Buckley. 2018. TREATMENT FRACTURE.
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall Diakses tanggal 12
April 2019.
 American College of Surgeons(ACS)Comminttees on Trauma.Advanced trauma life
suppors(ATLS) student course manual.Edisi ke-9
 Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-deJONG.Edisi ke-3.Jakarta :ECG
 Ningrum, Manajemen Perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam jiwa. Diakses
dari:www.ejournal.unid.ac.id/manajemen%20%20perdarahan%padafrakturpelvis
%20mengancam%20jiwa%.html. 2. Fraktur pelvis.
http://www.scribd.com/doc/52302577/24/Fraktur-tulang-panggul
 Sulistyanto R. Fraktur Pelvis. 2010. Diakses dari : http://fraktur
%20pelvis/frakturpelvis.html
 Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6
 https://www.academia.edu/29434934/Laporan_Pendahuluan_Fraktur_Pelvis

218

Anda mungkin juga menyukai