Anda di halaman 1dari 63

RESUME PBL

SKENARIO 2
“NYERI PERUT”
 

 
 

                                              

NAMA : AMARA BINTAN AULIA


NPM : 119170012
KELOMPOK: 10B
TUTOR : dr. Kati Sriwiyati, M.BioMed.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 2

Nyeri Perut

Seorang laki-laki berusia 31 tahun datang ke poliklinik umum rumah sakit dengan keluhan nyeri
perut yang hilang timbul sejak ± 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai nausea, buang air besar
cair 2-3x sehari, nafsu makan menurun, berat badan menurun, pruritus ani, dan cephalgia.
Keluhan kejang dan demam disangkal. Pasien mengaku sering mengonsumsi daging setengah
matang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil kesadaran compos mentis, tekanan darah
120/80mmHg, nadi 96 x/menit, respirasi 19x/menit, suhu 36,1°C. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan epigastrium (+). Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan eosinofilia.
Dokter melakukan pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut pada pasien.

STEP 1
1. Pruritis ani : sebuah sensasi gatal di lubang anus atau dubur. Sensasi kulit tidak
menyenangkan dan ada rasa ingin menggaruk karena gatal atau biasa disebut itching.
2. Cephalgia : nyeri kepala adalah rasa nyeri dan tidak nyaman di kepala bisa menjalar
samapi ke wajah, mata, maupun leher.
3. Eosinophilia : peningkatan jumlah eosinophil dalam darah yang di definisikan dengan
hitung jenis leukosit. Dengan BN <500 sel mikroL

STEP 2
1. Mengapa pasien dapat merasakan keluhan tersebut seperti nyeri perut pada epigastrium,
disertai bab cair, nafsu makan menurun, berat badan turun, nausea, pruritis ani, dan
cephalgia?
2. Apa hubungan konsumsi daging setengah matang dengan keluhan pasien?
3. Apa makna interpretasi eosinophilia dari hasil pemeriksaan pasien?
4. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien tersebut?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut?
STEP 3

1. Mengapa pasien dapat merasakan keluhan tersebut seperti nyeri perut pada epigastrium,
disertai bab cair, nafsu makan menurun, berat badan turun, nausea, pruritis ani, dan
cephalgia?
Karena pasien mengkonsumsi daging setengah matang dapat mengadung mikroba yang
terkandung seperti parasite, bakteri, maupun virus. Saaat terdapat mikroba dalam
makanan lalu terkonsumsi dapat masuk ke GIT dan menyebar ke dalam tubuh kita. Sakit
perut epigastrium ini karena ada infeksi atau inflamasi karena mikroba yang masuk
kedalam GIT. Penyekit ini karena zoonosis yang terkandung dalam makanan.
Nausea : kemungkinan disebabkan leh makanan kurang matang saat di konsumsi dan
masuk kedalam GIT. Lalu berkembang dan menyebabkan inflamasi dalam usus yang
mengaktifkan kemoreseptor dan mengirim sinyal ke nervus vagus lalu memberi feedback
yang menyebabkan muntah.
Diare : disebabkan karena cacing masuk tubuh> bermigrasi ke GIT> jdi dewasa >
mengaktivasi mediator inflamasi dan igE > meningkatkan gerakan peristaltic dan
hipersekresi dan menyebabkan diare cair.

2. Apa hubungan konsumsi daging setengah matang dengan keluhan pasien?


Mengkonsumsi daging yang belum matang dapat mengandung parasite dan mikroba
lainnya. Kematangan yang belum sempurna bisajadi mikroba tersebut masih hidup dan
masuk kedalam tubuh lalu berkembang di dalma tubuh dan menyebabkan keluhan. Hal
ini dapat terkait dari keberishan pengolahan dan sanitasi pengolahan.
Cacing dapat terdapat di tanah maupun tubuh hewan terinfeksi. Apabila hewan lain
memakan hewan yang terkontaminasi dapat bermigrasi dan bertumbuh di inang nya yang
lain. Telur cacing yang terkandung dalam daging belum matang saat terkonsumsi dapat
menyebabkan sistiserkosis

3. Apa makna interpretasi eosinophilia dari hasil pemeriksaan pasien?


Sebagai respon dari infeksi cacing atau parasite.
Eosinophil salah satu jenis leukosit yang berperan dalam memberantas parasite. Yang
biasa ada di kulit, mukosa, sal kemih, dll. Peningkatan kadar eosinophil karena beberapa
keadaan : kelainan imun, infeksi, melindungi saat ada penyakit menyerang.

4. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien tersebut?


Anamnesis : prianal pruritus, mual muntah, nyeri abdomen, pusing berputar, nafsu makan
menurun, pada anak akan sering rewel. Diare,
Pemeriksaan fisik : TTV normal suhun normal/meningkat.
Abdomen nyeri tekan di epigastrium. Bising usus meningkat, anus memerah.
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan lab = darah lengkap, pemeriksaan feses = telur
parasite (+)

5. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut?


Nonfarmako : 1. Pasien diminta memasak makanan sampai matang. 2. Cuci tangan. 3.
Menjaga kebersihan dubur dan pakaian dalam
Farmako : prazikuantel dosis tunggal 10 mg/KgBB

STEP 4

1. Mengapa pasien dapat merasakan keluhan tersebut seperti nyeri perut pada epigastrium,
disertai bab cair, nafsu makan menurun, berat badan turun, nausea, pruritis ani, dan
cephalgia?
Karena pasien mengkonsumsi daging setengah matang dapat mengadung mikroba yang
terkandung seperti parasite, bakteri, maupun virus. Saaat terdapat mikroba dalam
makanan lalu terkonsumsi dapat masuk ke GIT dan menyebar ke dalam tubuh kita. Sakit
perut epigastrium ini karena ada infeksi atau inflamasi karena mikroba yang masuk
kedalam GIT. Penyekit ini karena zoonosis yang terkandung dalam makanan.
Nausea : kemungkinan disebabkan leh makanan kurang matang saat di konsumsi dan
masuk kedalam GIT. Lalu berkembang dan menyebabkan inflamasi dalam usus yang
mengaktifkan kemoreseptor dan mengirim sinyal ke nervus vagus lalu memberi feedback
yang menyebabkan muntah.
Diare : disebabkan karena cacing masuk tubuh> bermigrasi ke GIT> jdi dewasa >
mengaktivasi mediator inflamasi dan igE > meningkatkan gerakan peristaltic dan
hipersekresi dan menyebabkan diare cair.
Karena makanan kurang matang mengandung acing masuk kedalam tubuh dan imigrasi
di GIT. Lalu cacing akan berubah jadi dewasa dan menyebabkan inflamasi di GIT dan
akhirnya menyebabkan rasa sakit perut epigastrium. Aktivasai antibody igE dan mediator
inflamasi yang berperan untuk mengeluarkan sitokin dan menyebabkan hipersekresi di
interstinal lalu menyebabkan diare.
Pruritus ani di sebabkan karena Sebagian cacing dewasa akan menghasilkan telur yang
akan terbawa feses dan keluar melalui anus sehingga ada kontak langsung dengan anus
yang menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan histamin yang menimbulkan rasa gatal
yaitu pruritus ani.
Cacing masuk tubuh, jadi dewasa, bermigrasi ke mukosa usus menyebabkan inflamasi
dan mengaktivasi kemoreseptor yang meyebabkan keluhan sakit perut, diare, dll
Aktivasi igE menyebabkan diare karena hipersekresi. Peningkatan c-AMP menyebabkan
peningkatan sekresi NaCl dan air kedalam lumen usus.
Salah satu contoh penyakit yang timbul : taeniasis yang di sebabkan cacing pita. Pada
daging sapi T.saginata dan T.solium pada daging babi.
Sapi dan babi terinfeksi karen mengonsumsi telur cacing taenia yang dibuang oleh hewan
lain yg terinfeksi.
Siklus hidup taenia
Embrio cacing (onkosfer) akan menembus dinding usus halus hewan tersebut yang
selanjutnya dapat menginfeksi otot hewan dalam bentuk sistiserkus. Sistiserkus adalah
bentuk infektif yang dapat masuk kedalam tubuh manusia karena terdapat di otot hewan
tersebut. Saat tertelan masuk GIT akan menempel dan jadi dewasa dan menghasilkan
telur yang terbuang Bersama feses dan akan mengulangi ke siklus awal.

2. Apa hubungan konsumsi daging setengah matang dengan keluhan pasien?


Mengkonsumsi daging yang belum matang dapat mengandung parasite dan mikroba
lainnya. Kematangan yang belum sempurna bisajadi mikroba tersebut masih hidup dan
masuk kedalam tubuh lalu berkembang di dalma tubuh dan menyebabkan keluhan. Hal
ini dapat terkait dari keberishan pengolahan dan sanitasi pengolahan.
Cacing dapat terdapat di tanah maupun tubuh hewan terinfeksi. Apabila hewan lain
memakan hewan yang terkontaminasi dapat bermigrasi dan bertumbuh di inang nya yang
lain. Telur cacing yang terkandung dalam daging belum matang saat terkonsumsi dapat
menyebabkan sistiserkosis
Makanan yang terkontaminasi adalah daging yang mengandung sistiserkus seperti
diagpragma, leher, dll. Sistiserkus adalah bentuk infektif yang tertelan akan berlanjut
menjadi beberapa gejala yang sudah dijelaskan di no. 1.
Ciri ciri cacing T. Solium dan T. saginata
1. Hemaprodit, panjangnya dewasa 4-10 m
2. Hospes perantara nya T. solium babi dan T. saginata sapi/kerbau
3. Hospes definitive nya manusia

3. Apa makna interpretasi eosinophilia dari hasil pemeriksaan pasien?


Sebagai respon dari infeksi cacing atau parasite.
Eosinophil salah satu jenis leukosit yang berperan dalam memberantas parasite. Yang
biasa ada di kulit, mukosa, sal kemih, dll. Peningkatan kadar eosinophil karena beberapa
keadaan : kelainan imun, infeksi, melindungi saat ada penyakit menyerang.
1. Respon adanya infeksi cacing/parasite
2. Respon imun ari awal sampe eliminasi ada 2 macam
a. Non spesifik : Th2 pro inflamsi keluar
b. Spesifik : apc peroliferasi dan berdiferensiasi dan menghasilkan respons imun
spesifik

4. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien tersebut?


Anamnesis : prianal pruritus, mual muntah, nyeri abdomen, pusing berputar, nafsu makan
menurun, pada anak akan sering rewel. Diare,
Pemeriksaan fisik : TTV normal suhun normal/meningkat.
Abdomen nyeri tekan di epigastrium. Bising usus meningkat, anus memerah.
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan lab = darah lengkap, pemeriksaan feses = telur
parasite (+)
Keluhan pada pasien seperti rasa tidak nyaman pada lambung, malaise, pruritus ani
Penunjang : pem feses : uji apung ditemukan proglottid pada feses
Darah tepi ditemukan banyak eosinophil
Darah lengkap :

5. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut?


Nonfarmako : 1. Pasien diminta memasak makanan sampai matang. 2. Cuci tangan. 3.
Menjaga kebersihan dubur dan pakaian dalam
Farmako : prazikuantel dosis tunggal 10 mg/KgBB

MIND MAP

TAENIASIS

PENEGAKKAN
ETIOLOGI FAKTOR RESIKO KLASIFIKASI SIKLUS HIDUP TATALAKSANA
DIAGNOSIS

ANAM FAKMAKO

PEMFIS NON-FARMAKO

PENUNJANG

STEP 5

1. Penyakit-penyakit terkait infeksi cacing


a. Etiologi dan faktor resiko
b. Patofisiologi dihubungkan dengan Siklus hidup
c. Penegakkan diagnosis
d. Tatalaksana
e. Komplikasi

REFLEKSI DIRI

Alhamdulillah PBL SK 2 Blok 4.2 berjalan dengan lancar semoga kedepannya bisa menjadi
lebih baik lagi.

STEP 6

Belajar Mandiri

STEP 7

1. Penyakit-penyakit terkait infeksi cacing


A. NEMATODA SOIL TRANSMITTED HELMINTH
1) Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang)
a. Definisi
Adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing ascaris lumbricoides. Ini
termasuk penyakit cacing yang paling besar prevalensinya diantara penyakit
cacing lainnya yang menginfeksi tubuh manusia
- Termasuk nematoda usus yang penyebarannya melalui soil transmitted
helminths/ tanah
- Habitatnya pada usus halus manusia, manusia sebagai hospes definitive
- Tidak membutuhkan hospes perantara

b. Etiologi dan morfologi

- Phylum : Nemathelminthes

- Sub phylum Ascaridoidea

- Ordo : Ascaridida

- Family : Ascaridae

- Genus : Ascaris
- Ascariasis lumbricoides berbentuk silinder
- Cacing jantan berukuran lebih kecil daric acing betina
- Pada stadium dewasa cacing ini akan hidup dan berkembang di dalam rongga
usus kecil
- Cacing jantan berukuran panjang 15-40 cm disertai ujung posteriornya yang
melengkung kearah ventral dan diikuti adanya penonjolan spikula yang
berukuran sekitar 2 mm, selain itu dibagian ujung posterior cacing juga
terdapat banyak papil-papil kecil
- Cacing betina berukuran 20-25 cm dengan ujung posteriornya yang lurus,
cacing ini memiliki 3 buah bibir masing-masing satu bagian dorsal dan dua
bagian ventrolateral
- Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu kurang lebih 10-24 bulan
- Cacing dewasa dilindungi oleh pembungkus keras yang kaya akan kolagen
dan lipid serta menghasilkan enzimm protease inhibitor untuk melindungi
cacing agar tidak tercerna di system pencernaan manusia
- Cacing ini juga memiliki sel-sel otot somatic yang besar dan memanjang
sehingga mampu mempertahankan posisinya di dalam usus kecil
- Cacing betina mampu bertahan hidup selama 1-2 tahun dan memproduksi 26
juta telur selama hidupnya dengan 100.000 – 200.000 butirr telur perhari yang
terdiri dari telur yang telah dibuahi , dan yang tidak dibuahi, maupun telur
dekortikasi (telur yang sudah dibuahi tapi kehilangan lapisan albuminoidnya)

c. Factor resiko
- Kebiasaan defekasi buang air besar sembarangan
Kebiasaan BAB sembarangan menyebabkan tanah terkontaminasi telur
cacing, pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab dan
kemudian berkembang menjadi telur infektif
- Tidak mencuci tangan sebelum makan
Telur cacing infektif yang ada di tanah dapat tertelan masuk ke dalam
pencernaan manusia bila tidak mencuci tangan sebelum makan
- Anak-anak yang bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki. Infeksi
cacing ini juga dapat terjadi melalui larva cacing yang berpenetrasi melalui
kulit
d. Siklus hidup dan pathogenesis

Siklus hidup ascaris lumbricoides terjadi dalam 3 stadium yaitu :


 Stadium telur
 Stadium larva
 Stadium dewasa

Siklus ini biasanya membutuhkan fase diluar tubuh manusia dengan atau tanpa
hospes perantara

Terlur cacing yang sudah dibuahi dan keluar Bersama tinja lalu penderita akan
berkembang menjadi infektif jika terdapat di tanah yang lembab dan suhu yang
optimal dalam waktu kurang lebih 3 bulan.


Seseorang akan terinfeksi ascaris ini apabila masuknya telur yang infektif ini ke
dalam mulut bersamaan dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi
tanah akibat misalkan tidak mencuci tangan sebelum makan yang mengandung
tinja penderita

Telur infektif yang tertelan manusia akan melewati lambung tanpa terjadi
kerusakan oleh asam lambung akibat proteksi yang tebal pada lapisan telur
tersebut dan akan menetas didalam usus halus

Kemudian larvanya akan secara aktif menembus dinding usus halus  menuju
vena porta hati dan pembuluh limfe Bersama dengan aliran vena ascaris ini akan
beredar menuju jantung kanan dan berhenti di paru

Saat di dalam paru-paru larva yang berdiameter 0,03 mm akan masuk ke dalam
kapiler paru yang hanya berukuran 0,01 mm maka kapiler tersebut akan pecah
dan larvanya masuk ke alveolus kemudian larva berganti kulit

Larva tersebut akan ke alveoli lalu naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus
setelah dari kapiler paru  selanjutnya mengarah ke faring dan terjadilah reflex
batuk

Hingga tertelan untuk kedua kalinya sampai ke usus halus lagi. Masa migrasi ini
berlangsung 10-15 hari. Cacing akan berkembang menjadi dewasa, kawin dan
bertelur di usus halus dalam waktu 6-10 minggu.

Cara penularan
o Telur infektif A.lumbricoides yang masuk ke dalam mulut bersamaan dengan
makanan dan minuman yang terkontaminasi, melalui tangan yang kotor
tercemar terutama pada anak
o Telur infektif yang terhirup udara bersamaan dengan debu. Pada keadaan telur
infektif yang terhirup oleh pernapasan, telur tersebut akan menetas di mukosa
alat pernapasan bagian atas dan larva akan segera menembus pembuluh darah
dan beredar bersama aliran darah
o Cara penularan Ascariasis juga dapat terjadi melalui sayuran dan buah karena
tinja yang dijadikan pupuk untuk tanaman sayur-mayur maupun buah-buahan

Manifestasi klinis

1. Gejala timbul akibat migrasi larva. Selama fase ini penderita akan
membuat perdarahan kecil di dinding alveolus sehingga timbul batuk dan
demam. Lalu pada foto thorax akan tampak infiltrate yaitu tanda terjadinya
pneumonia dan eosinofilia di daerah perifer yang disebut sindrom Loeffler,
ini dapat menghilang dalam waktu 3 minggu

2. Gejala akibat cacing dewasa. Selama fase ini akan menyebabkan iritasi
dengan gejala mual, muntah dan sakit perut Kelamaan bisa menyebabkan
obstruksi di berbagai tempat misalkan apendiks, ampula vateri dan ductus
colestitis, pasien juga biasanya mengalami gangguan gizi akibat malabsorbsi
yang disebabkan cacing dewasa perhati menyerap 2,8 gram karbohidrat, 0,7
gram protein sehingga pada anak-anak dapat memperlihatkan gejala berupa
buncit, pucat, lesu, rambut yang jarang.

e. Penegakkan Diagnosis

Anamnesis : Batuk, Demam, Mual, Penurunan nafsu makan, Diare/konstipasi,


Batuk berdarah dan sesak

Pemeriksaan penunjang
1. Foto thorax :Gambaran infiltrat yang menghilang dalam 3
minggu

2. Pemeriksaan darah :Eosinofilia

3. Tinja/feses

Adanya telur dalam feses

1. Ascaris lumbricoides telur yang dibuahi

- Bentuk lonjong
- Ukuran 60x45
- Kulit telurnya tebal dengan 3 lapisan (lapisan albumin, glycogen, dan
lapisan lipiodal)
- Isi : embrio sedang membelah

2. Ascaris lumbricoides telur tidak dibuahi


- Bentuk lonjong, lebih Panjang
- Ukuran 90x50
- dinding tipis (albuminoid tipis)
- isi : granula
- kulit telurnya tipis dan hanya memiliki 2 lapisan
3. Ascaris lumbricoides telur dibuahi matang

- merupakan bentuk infektif


- isi : larva rhabtiform
- dibentuk kurang lebih 3 minggu

4. Ascaris lumbricoides telur decorticated


Telur dibuahi yang kehilangan lapisan albuminoid

f. Tata laksana
Penatalaksanaan
1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri
dan
lingkungan, antara lain:
- Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
- Menutup makanan
- Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
- Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.
2. Farmakologis
- Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, atau
- Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari
berturut-turut, atau
- Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet (400 mg)
atau 20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
g. Komplikasi
Reaksi alergi, pneumonia, pneumonitis

2) Trichuris Trichura (Cacing Cambuk)


a. Definisi
Hospes definitive Trichuris trichiura (whip worm) adalah manusia dan sering
ditemukan bersama Ascaris lumbricoides. Cacing dewasa Trichuris trichiura
hidup di dalam usus besar (sekum dan kolon), apendiks dan ileum bagian distal.
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut trikuriasis. Distribusi
geografik secara kosmopolit, terutama pada daerah iklim tropik yang lembab dan
panas Infeksi Trichuris trichiura atau cacing cambuk terjadi di seluruh dunia,
yaitu paling sering di daerah tropis dan prevalensinya sangat tinggi (diperkirakan
jumlah infeksi lebih dari satu miliar, menjadikannya nematoda ketiga yang paling
umum menginfeksi manusia).

b. Etiologic dan morfologi


Trichuris trichiura diklasifikasikan sebagai berikut:
- Kingdom : Animalia
- Filum : Nemathelminthes
- Kelas : Nematoda
- Sub-kelas : Aphasmida.
- Ordo : Enoplida
- Super family : Trichuroidea
- Famili : Trichuridae
- Genus : Trichuris
- Spesies : Trichuris trichiura

- Cacing ini mendapat sebutan cacing cambuk karena bentuknya menyerupai


cambuk
- Cacing jantan trichuris crichiura panjangnya 30-45 mm, bagian anterior halus
seperti cambuk, bagian ekor melingkar
- Cacing betina panjangnya 35-50 mm, bagian anterior halus seperti cambuk,
bagian ekor lurus berujung tumpul

c. Patofisiologi dan Siklus hidup

Melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing (tidak dicuci dengan bersih
atau dimasak kurang matang)


Didalam duodenum bagian
usus halus larva akan
menetas, menembus dan
berkembang dimukosa usus
alus hingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi
dan peradangan pada
mukosa usus ditempat
perlekatannya bisa terjadi
perdarahan, selain itu cacing
juga mengisap darah hospes
makanya terjadi anemia 
dan ini nanti dewasa di
sekum

Siklus ini berlangsung selama lebih kurang 3 bulan : cacing dewasa akan hidup
selama 1 sampai 5 tahun dan cacing betina dewasa akan hidup selama 1 sampai 5
dan cacing dewasa akan menghasilkan 3000 sampai 20.000 telur setiap harinya

Telur yang telah dibuahi kemudian akan dikeluarkan dari tubuh manusia atau
hospes Bersama dengan tinja

Telur tersebut akan matang dalam waktu 3-6 minggu pada lingkungan yang sesuai
yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh

Telur yang dihasilkan tidak akan berkembang bila berada di lingkungan yang
terpapar sinar matahari secara langsung dan akan mati apabila berada pada suhu
dibawah -9 derajat atau diatas 52 derajat.
d. Manifestasi klinis

Penyakit karena infeksi cacing ini disebut dengan trichuriasis atau


trichocephaliasis atau penyakit cacing cambuk. Pada infeksi ringan pada tempat-
tempat perlekatan tidak ada kerusakan mukosa, hanya kadang-kadang sedikit
perdarahan kecil. Pada infeksi berat dapat terjadi gejala :

1. Sakit perut diare yang kadang-kadang disertai bercak darah.


2. Demam ringan.
3. Sakit kepala.
4. Berat badan menurun.
5. Kembung
6. Mual muntah
7. Malnutrisi

Pada anak-anak sering terjadi prolapsus recti (keluarnya mukosa rectum dari
anus), hal ini terjadi karena :

1. Cacing mengeluarkan racun yang bersifat melemaskan otot rectum.


2. Cacing yang merupakan benda asing pada rectum sehingga menyebabkan
otot-otot rectum berusaha mengeluarkan cacing dengan cara meningkatkan
gerakan peristaltik.

e. Penegakan diagnosis
Anamnesis
1. Sakit perut diare yang kadang-kadang disertai bercak darah.
2. Demam ringan.
3. Sakit kepala.
4. Berat badan menurun.
5. Kembung
6. Mual muntah
7. Malnutrisi
Pemeriksaan fisik

1. Prolapse recti

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan sering mengungkapkan eosinofilia dari invasi jaringan yang
sedang berlangsung (berbeda dengan semua cacing usus kecuali Strongyloides
stercorali).
2. Endoskopi
Endoskopi sering menunjukkan cacing dewasa menempel pada mukosa usus.
3. Pemeriksaan feses
Ciri-ciri telur :

1. Berbentuk oval ukuran.


2. Panjang ± 50 μm dan lebar ± 23 μm dinding 2 lapis.
3. Lapisan luar berwarna kekuningan dan lapisan dalam transparan.
Pada kedua ujung telur terdapat tonjolan yang disebut mucoid plug / polar
plug / clear knop telur berisi embrio.

f. Tata laksana
Non Farmakologi:
1. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum makan.
2. Cuci, kupas atau masak sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan.
3. Mengajarkan pada anak-anak jangan bermain ditanah terutama tanah yang
kemungkinan terdapat kotoran manusia
Farmakologi

g. Komplikasi
Perforasi usus, prolapss rekti pada kasus berat.

3) Hookworm (Ancylostosoma Duodenale dan Necator Americanus)


a. Etiologi dan morfologi
Klasifikasi
1. Kingdom : Animalia
2. Filum : Nematoda
3. Kelas : Secernentea
4. Ordo : Strongylida
5. Famili : Ancylostomatidae
6. Genus : Necator / Ancylostoma
7. Spesies : Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Ancylostoma
brazilliense, Ancylostoma ceylanicum, Ancylostoma caninum.
Morfologi
1. Keduanya dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran cacing dewasa, buccal
cavity / rongga mulut, bursa copulatrix pada jantan A. duodenale memiliki
ukuran lebih besar dan Panjang dibandingkan N.americanus
2. N.americanus jantan memiliki Panjang 8-11 mm dengan diameter 0,4-0,5
mm
3. Betina memiliki Panjang 10-13 mm dan diameter 0,6 mm
4. Pada rongga mulut memiliki 2 sepasang cutting plates yaitu sepasang ventral
dan sepasang di dorsal pada keadaan istirahat tubuhnya menyerupai huruf S
5. A.duodenale jantan memiliki Panjang 7-9 mm dan diameter 0,3 mm
6. Betinanya memiliki Panjang 9-11 mm dan diameter 0,4 mm. pada rongga
mulut memiliki 2 pasang gigi di anterior dan di posterior, dalam keadaan
istirahat tubuhnya menyerupai huruf C
Factor resiko
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk
3. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah
4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang

b. Patofisiologi
dan Siklus
hidup
Telur keluar bersama feses yang merupakan telur tidak infektif biasanya berisi
blastomere. Pada tanah yang teduh, gembur, berpasir, dan hangat ini akan
memudahkan untuk pertumbuhan telur biasanya telur akan menetas dalam 1-2
hari dalam bentuk rhabditiform larva setelah waktu kurang lebih 5-10 hari
tubuh menjadi larva filariform yang merupakan bentuk infektifbentuk dari larva
filariform ini dapat dikenal dari buccal cavity yang menutupbila periode
infektif terjadi kontak dengan kulit manusia, maka filariform larvaakan
menembus kulit dan masuk jaringanlalu memasuki peredaran darah dan
pembuluh limfe, dengan mengikuti peredaran darah venasampai ke jantung
kanan masuk keparu-paru lewat arteri pulmonalismasuk kekapiler karena
ukuran larva lebih besar akhirnya kapiler pecah.


Kemudian bermigrasi menuju alveoli, bronchus, laring, paring, dan akhirnya ikut
tertelan masuk ke dalam usus

Setelah di usus halus larva melepaskan kulitnya lalu melekatkan diri pada mukoa
usus, tumbuh sampai menjadi dewasa. Waktu yang dibutuhkan infeksi melalui
kulitnya lalu lalu melekatkan diri pada mukosa usus, tumbuh sampai menjadi
dewasa (waktu yang dibutuhkan infeksi melalui kulit sampai cacing dewasa
betina menghasilkan telur kurang lebih 5 minggu. Infeksi juga bisa melalui mulut
apabila manusia tanpa sengaja menelan filariform larva langsung ke usus dan
tumbuh menjadi dewasa tanpa melalui lung migration.

Pathogenesis

Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi erytematus  larva


diparu menyebabkan perdarahan, eosinophilia dan pneumonia. Kehilangan
banyak darah akibat kerusakan intestinal dapat menyebabkan anemia

Manifestasi klinis
1. Batuk terus menerus
2. Dyspneu
3. Hemoptisis
4. Anoreksia
5. Panas
6. Diare
7. Berat badan turun
8. Anemia

c. Penegakkan diagnosis

Anamnesis

1. Sembelit
2. Diare
3. Rasa tidak enak diepigastrium
4. Pucat

Pemeriksaan fisik

1. Pucat
2. Perut buncit
3. Rambut kering dengan mudah lepas

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan feses, isi telur tergantung umur :

1. Tipe a : berisi pembelahan sel 1-4 sel


2. Tipe b : berisi pembelahan sel >4 sel
3. Tipe c : berisi larva

Ciri-ciri telur hook worm :


a. Berbentuk oval.
b. Ukuran : panjang ± 60 μm dan lebar ± 40 μm.
c. Dinding 1 lapis tipis dan transparan.

Ciri-ciri larva  rhabditiform:

a. Panjang ± 250 μm dan lebar ± 17 μm.


b. Cavum bucalis panjang dan terbuka.
c. Esophagus 1/3 dari panjang tubuhnya.
d. Mempunyai 2 bulbus esophagus.
e. Ujung posterior runcing.

Ciri-ciri larva filariform :

a. Panjang ± 500 μm.


b. Cavum bucalis tertutup.
c. Esophagus 1/4 dari panjang tubuhnya.
d. Tidak mempunyai bulbus esophagus dan ujung posterior runcing.

Ciri-ciri hook worm dewasa :

a. Ukuran : panjang ± 1 cm.


b. Berwarna putih kekuningan.
c. Ujung posterior cacing betina lurus dan meruncing.
d. Ujung posterior cacing jantan membesar karena adanya bursa kopulatoris
yang terdiri dari : bursa rays / vili dorsal, spicula, dan gubernaculum.2

Perbedaan antar spesies hook worm :

1. Ancylostoma duodenale → mempunyai 2 pasang gigi besar.


2. Necator americanus → mempunyai sepasang lempeng pemotong.

e. Tata laksana
Non farmakologi :
Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri
dan lingkungan, antara lain:
- Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
- Menggunakan alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah.

Farmakologis :

- Pemberian Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB, atau


- Mebendazole 100 mg, 2 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, atau
- Albendazole untuk anak di atas 2 tahun 400 mg, dosis tunggal, sedangkan
pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak
diberikan pada wanita hamil. Creeping eruption: tiabendazol topikal
selama 1 minggu. Untuk cutaneous laeva migrans pengobatan dengan
Albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut.
- Sulfasferosus

e. Komplikasi
1. Anemia
2. Dermatitis
3. Defisiensi besi
4. Penyakit paru

B. NEMATODA NON SOIL TRANSMITTED HELMINT


1) Enterobius/Oxyuriasis
a. Definisi
Adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan, pakaian, bantal,
sprai serta inhalasi debu yang mengandung telur yang kemudian akan bersarang
di usus dan akan dihancurkan oleh enzim usus, telur yang lolos akan berkembang
menjadi larva dewasa

b. Etiologic dan morfologi


Klasifikasi enterobius
- Phylum : nematoda
- Kelas : plasmodia
- Ordo : rhabditia
- Genus : enterobius
- Spesies : enterobius vermicularis

- Cacing betina berukuran Panjang 4-13 mm, lebar 0,3-0,5 mm dan memiliki
ekor yang meruncing
- Bentuk jantan lebih kecil dan berukuran Panjang 2-5 mm, lebar 0,1-0,2 mm
dan memiliki ujung kaudal yang melengkung

Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah berwarna putih. Dalam


sekali bereproduksi cacing dapat menghasilkan 11.000 butir telur. Setelah
mengalami proses pematangan, larva dapat bertahan hidup dalam telur sampai 20
hari.

Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif  telur akan menetas di dalam usus
daerah sekam dan kemudian akan berkembang menjadi dewas  cacing betina
mungkin memerlukan waktu kira-kira satu bulan menjadi matang dan mulai
memproduksi telurnyasetelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya
mati dan mungkin akan keluar Bersama tinja  didalam cacing betina yang
gravid hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh telurpada saat ini bentuk betina
akan turun kebagian bawah kolon dan keluar melalui anuslalu telur-telur akan
diletakkan diperianal di kulit perineumkadang-kadang cacing betina bermigrasi
ke vagina
Factor resiko
1. Faktor iklim, enterobiasis lebih umum di daerah dingin pada daerah tropis
insiden lebih sedikit karena cukupnya sinar matahri dan udara panas. Telur
menjadi rusak karena terkenan sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet.
Telur cacing kremi bertahan pada lingkungandi daerah rumah sekitar 2-3
minggu.
2. Kelompok umur, cacingan pada umumnya menyerang pada anak-anak karena
daya tahan tubuhnya masih rendah. Prevalensi terbanyak cacingan adalah
anak-anak berupa diatas 2 tahun (usia sekolah).
3. Kepadatan penduduk, daerah pemukiman yang padat penduduk akan
memudahkan terjadinya penularan penyait enterobiasis melalui debu.Kondisi
ekonomi sosial, cacingan banyak terpadat pada daerah miskin, sosial ekonomi
rendah.
Cara penularan
1. Telur cacing pindah dari sekitar anus ke pakaian , sprey dan mainan
2. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal atau
tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri
karena memegang benda benda maupun pakaian yang terkontaminasi
3. Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin
sehingga telur melalui debu dapat tertelan
4. Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang menetas disekitar anus kembali
ke usus.

c. Patofisiologi dan Siklus Hidup


Iritasi disekitar anus perineum dan
vagina oleh cacing betina gravid yang
bermigrasi ke daerah anus dan vagina
sehingga menyebabkan pruritus local

Karena cacing ini bermigrasi ke daerah


anus dan menyebabkan pruritus ani,
maka penderita menggaruk daerah
sekitar anus sehingga timbul luka garuk
disekitar anus

Keadaan ini sering terjadi pada malam


hari hingga penderita mengalami
gangguan tidur dan menjadi kemah

Cacing dewasa muda dapat bergerak ke


usus halus bagian proksimal sampai
kelambung esofagus dan hidung
sehingga menyebabkan gangguan daerah tersebut

Cacing betina gravia mengembara dan dapat bersarang di vagina dan tuba fallopi
sehingga menyebabkan apendisitis

Manifestasi klinis
1. Anak menjadi rewel (karena rasa gatal dan tidur malam yang terganggu)
2. Kurang tidur (dikarenakan rasa gatal yang timbul
3. Nafsu makan berkurang, berat badan menurun
4. Rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan , jika cacing dewasa
masuk kedalam vagina)
5. Kulit disekitar anus menjadi lecet atau infeksi akibat penggarukan
6. Nyeri perut
7. Mual muntah
8. Diare

d. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
1. Penurunan nafsu makan
2. Penurunan BB
3. Aneurisma
4. Gatal dimalam hari
5. Peningkatan aktivitas

Pemeriksaan penunjang

1. Anal swab : dilakukan segera setelah bangun tidur pagi dan sebelum mandi
dengan sebelum BAB ditemukan telur cacing dewasa dilakukan 3 hari

- Telur cacing kremi tampak seperti bola tangan dengan 1 sisi mendatar
- Bentuknya lonjong bagian lateral tertekan , datar di satu sisi dan
berukuran Panjang 50-60 nm, lebar 20-30 nm
- Dinding 2 lapis tipis dan transparan : dinding luar
- Lapisan albumin yang bersifat mekanikal protection
- Dinding dalam merupakan lapisan lemak bersifat cemical protection
- Telur selalu berisi larva

e. Tata laksana
Farmakologi

Obat Dosis
Mabendazole Dosis tunggal 500 mg diulang setelah 2
minggu
Albendazole Dosis tunggal 400 mg diulang setelah 2
minggu
Piperazin sitrat 2x1 g/hari selama 7 hari dapat diulang
dengan interval 7 hari
Pirblum pamoat 5mg/kgbb maksimum 0,25 g dan diulangi 2
minggu kemudian. Obat menyebabkan
mual,muntah,warna tinja jadi warna merah
Pyrantel pamoat Dosis tunggal 10 mg/kgbb maksimum 1 g

Non farmakologi

a. Penanganan penyakit kecacingan harus disertai dengan tindakan pencegahan


penyebaran infeksi terutama di lingkungan keluarga. Jika salah seorang
anggota keluarga dicurigai terinfeksi cacing, maka disarankan dilakukan
terapi non obat berikut:
b. Mencuci sprei, handuk, dan pakaian dalam (terpisah dari seluruh anggota
keluarga) dengan air hangat, jangan diaduk karena dapat menyebarkan telur
cacing ke udara.
c. Pastikan ruangan mendapat cahaya matahari yang cukup, karena telur cacing
dapat rusak oleh cahaya matahari.1
d. Pastikan anggota keluarga yang dicurigai terinfeksi cacing melakukan mandi
pagi, membersihkan bagian rektum pada saat mandi, dan tidak mandi
dalam bath tub.
e. Gunakan disinfektan pada toilet duduk selama masa pengobatan.
f. Bersihkan dengan penyedot debu (vacuum cleaner) atau pel dengan air
(jangan gunakan sapu) daerah sekitar tempat tidur dan seluruh kamar tidur.
g. Bersihkan kuku dengan menyikat hingga bersih dan gunting kuku secara rutin.
Cuci tangan secara berkala terutama sebelum makan dan setelah ke kamar
mandi
f. Komplikasi
Apendisitis dan peradangan apabila cacing bermigrasi ke uterus, vagina, atau tuba
falopii.

2) Trichinella Spiralis
a. Definisi
Trichinella spiralis atau disebut juga Cacing Otot adalah hewan dari anggota
hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nematoda. Cacing ini
menyebabkan penyakit trichinosis pada manusia, babi, atau tikus.Trichinosis
adalah penyakit parasite disebabkan oleh cacing nematoda trichinella sp, parasite
masuk ke tubuh manusia melalui daging babi yang dimasak kurang
matangDidalam usus manusialarva berkembang menjadi cacing
mudaCacing muda bergerak ke otot melalui pembuluh limfe atau darah dan 
selanjutnya menjadi cacing dewasa.
b. Etiologic dan morfologi
- Kindom : animalia
- Phylum : nematodes
- Class : enoplea
- Order : trichochephalide
- Family : trichinellidae
- Genus : trichinella
- Spesies : Trichinella spiralis
- Cacing jantan berukuran 1,4-1,5 mm x 0,06 mm
- Cacing betina berukuran lebih Panjang, dapat mencapai 4 mm
- Pada ujung posterior cacing jantan terdapat 2 buah papil yang membedakan
bentuknya dengan cacing betina
- Cacing betina tidak bertelur melainkan melahirkan larva (vivipar) larva cacing
berukuran sampai 100 . namun dalam otot hospes umumnya larva terdapat
dalam bentuk kista

c. Patofisiologi dan siklus hidup

Siklus hidup parasite ini dimulai dengan infeksi fase enteral yaitu ketika manusia
atau binatang memakan daging yang terkontaaminasi dan mengandung larva otot
stadium 1


Cairan pencernaan lambung (pepsin dan asam clorida) menghancurkan kapsul
selubung larva dan melepaskan larva lewat dan menuju usus halus dimana mereka
menginvasi sel epitel columnar

Kemudian larva berganti kulit empat kali 10-28 jam setelah tertelan  lalu
berubah menjadi cacing dewasa

Kemudian terjadi perkawinan 30-34 jam setelah tertelan dan 5 hari kemudian bayi
larva lahir. Jumlah bayi larva baru lahir tergantung status imun host yang
terinfeksi dan jenis parasite tersebut diperkirakan 500-1500 bayi larva lahir
selama rentang kehidupan cacing betina dewasa sebelum reaksi respon imun host
memaksa mereka keluar dari usus kecil. Fase parental dimulai saaat infeksi larva
yang baru ini lewat dan masuk ke dalam jaringan

Lalu ke jaringan limfatik dan kemudian memasuki sirkulasi darah pada ductus
toracikus, lalu larva ini tersebar luas dijaringan melalui sirkulasi dan akhirnya
membuat jalan mereka sendiri melalui kapiler darah ke dalam otot

Merupakan fase awal infeksi otot setelah berada dalam otot mereka berkembang
menjadi infektif dalam waktu 15 hari dan tetap infektif selama berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun.

Manifestasi klinis
1. Sakit perut
2. Mual dan muntah
3. Diare
4. Nyeri hebat pada otot-otot gerak
5. Gangguan pernapasan
6. Gangguan menelan
7. Sulit berbicara
8. Pembesaran KGB
9. Edema sekitar mata, hidung dan tangan
10. Demam
11. Ruam

d. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
- Sakit perut
- Mual dan muntah
- Diare
- Nyeri hebat otot-otot
- Edema sekitar mata, hidung, tangan
- Ruam
- Sulit berbicara, menelan
- Gangguan pernapasan

Pemeriksaan penunjang

Trichinosis dilakukan dengan metode langsung dan tidak langsung.

1. Sebagai bagian dari proses pemeriksaan daging, deteksi langsung


trichinosis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis jaringan otot. Otot
jaringan dicerna dengan enzim, residunya dikonsentrasikan, dan diperiksa
di bawah mikroskop. Cacing mudah diidentifikasi dan karena mereka
dibebaskan dalam proses pencernaan artificial maka bisa terlihat bergerak di
bawah mikroskop.
2. Tes tidak langsung didasarkan pada respons imun dengan menemukan
antibodi terhadap larva. Metode serologis ini bisa lebih sensitif, tetapi tidak
dapat mendeteksi infestasi awal, karena beberapa spesies, seperti misalnya
kuda tidak timbul antibodi bila terpapar infestasi kurang dari 6 bulan.
3. Metode serologis alternatif menggunakan uji coproantigen. Keuntungan
utama dari uji coproantigen sebagai metode diagnostik adalah dapat
menunjukkan infestasi saat ini. Selain itu, ekskresi coproantigen
berkorelasi erat dengan infestasi parasit di usus, tahap parasit matur, dan
jumlah parasit. Selain itu, diagnosis dapat lebih awal karena antigen tidak
tergantung pada kemampuan inang dalam mengembangkan respons
antibodi.
4. Tes serologis ini bisa digunakan untuk skrining masif terkait pengawasan atau
monitoring. Tes serologis ini dan didukung tanda-tanda klinis untuk
menegakkan diagnosis trichinosis. Trichinella spp kurang pathogen pada
babi dibanding pada manusia. Larva terakumulasi dalam diafragma dan otot
bawah leher.
5. Pada trichinosis dapat dilakukan dengan metode serologis yang
menggunakan uji coproantigen. Keuntungan utama dari uji coproantigen
adalah dapat menunjukkan infestasi saat ini. Selain itu, ekskresi
coproantigen berkorelasi erat dengan infestasi di usus, tahap parasit
matur, dan jumlah parasit. Metode serologis ini bisa lebih sensitif, tetapi
tidak dapat mendeteksi infestasi lebih awal.

e. Tata laksana
Tidak ada terapi anthelmentik yang spesifik, bahkan setelah diagnosa definitif.
Pengobatan khusus untuk menghilangkan parasit dapat menggunakan berbagai
jenis benzimidazoles (mebendazole atau albendazole).
1. Pemberian mebendazole pada awal infeksi mungkin dapat mengurangi jumlah
larva. Sebagaimana telah disebutkan, pasien mungkin menyembunyikan
cacing dewasa yang akan menghasilkan bayi larva sela-ma beberapa minggu
selama infeksi fase akut tanpa terdeteksi.
2. Mebendazole (200 mg/hari selama 5 hari) atau albendazole (400 mg/hari
selama 3 hari) harus diberikan untuk orang dewasa (kecuali ibu ha-mil), dan
juga untuk anak-anak (5 mg per kg [berat badan] per hari selama 4 hari) .
3. Prednisolon dengan dosis 40-60 mg/hari untuk mengurangi demam dan
peradangan yang disebabkan adanya kerusakan sel yang dihasilkan oleh
penetrasi larva ke dalam jaringan. Gejala tersebut biasanya menghilang dalam
hitungan hari setelah dosis awal diberikan.
4. Pengobatan dengan steroid berkepanjangan tidak dianjurkan, meskipun gejala
mungkin terjadi kembali ketika perawatan telah mereda. Gejala sisa efek
jangka panjang harus diobati secara simptomatik ketika muncul kembali.

C. CESTODA
1) Hymenolepiasis Nana
a. Definisi
Merupakan parasite yang termasuk dalam kelas cestode yang hidup dalam usus
manusia dan dapat menyebabkan penyakit hymenolepiasis nana atau dwarf tape
worm infection, cacing ini tidak ada hospes intermediet sehingga disebut non
obligatory intermediet, sedangkan hospes definitifnya adalah manusia, ini bisa
menginfeksi anak kecil terutama pada tingkat hygiene rendah

b. Etiologi dan morfologi


- Kingdom : Animalia
- Phylum : Platyhelminthes
- Class : Cestoda
- Ordo : Cyclophyllidea
- Family : Hymenolipipidae
- Genus : Hymenolepis
- Species : Hymenolepis nana
- Cacing dewasa mempunyai panjang 25 – 40 mm, lebar ± 1 mm, terdiri atas ±
200 proglotid
- Pada scolex terdapat rostelum yang bersifat refraktil (dapat
ditarik/ditonjolkan) dan mempunyai 20 – 30 kait-kait, serta mempunyai 4 batil
isap
- Proglotid gravid terdapat 80–10 telur tiapsegmen 
- Porus genitalis terletak unilateral dan pada tepi anterior dari tiap-tiap segmen
- Proglotid mature berbentuk seperti trapesium, terdapat 3 testis dan 1 ovarium
yang bilobus

c. Patofisiologi dan siklus hidup

Telur parasit yang berembrio keluar bersama tinja → telur tertelan oleh serangga
→ berkembang menjadi cysticercoid → manusia dan hewan pengerat terinfeksi
ketika telur berembrio atau cysticercoid tertelan → telur melepaskan oncospheres
(larva hexacanth) → menembus vili usus dan berkembang menjadi cysticercoid
→ masuk ke lumen → melekatkan diri pada mukosa dan berkembang menjadi
cacing dewasa dalam waktu 10 – 12 hari → cacing dewasa berada pada bagian
ileum dari usus halus → telur keluar bersama tinja ketika keluar dari proglotid
gravid atau ketika proglotid gravid hancur dalam usus halus → autoinfeksi
internal dapat terjadi ketika telur melepaskan embrio hexacanth yang menembus
vili usus kemudian melanjutkan siklus infektif tanpa melalui lingkungan eksternal
→ cacing dewasa dapat berumur 4 – 6 minggu tetapi autoinfeksi internal
memungkinkan infeksi bertahan selama bertahun-tahun.

Manifestasi klinis
1. Paling sering tanpa gejala
2. Iritasi kronis dapat mengakibatkan terjadi lesi, akibat dari absorbs sisa
metabolism parasite akan menyebabkan keracunan dengan gejala
3. Lemas
4. Sakit kepala
5. Anoreksia
6. Sakit perut
7. Diare

d. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
Infeksi parasit Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta paling sering tanpa
gejala. Iritasi kronis pada mukosa usus dapat mengakibatkan terjadinya lesi.
Akibat dari absorbsi sisa metabolisme parasit akan mengakibatkan keracunan
dengan gejala-gejala seperti diare, enteritis, kataralis, dan alergi. Infeksi berat
dapat menyebabkan lemas, sakit kepala, anoreksia, sakit perut, dan diare.
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur pada sampel feses. Teknik
konsentrasi dan pemeriksaan berulang dapat meningkatkan kemungkinan
mendeteksi adanya infeksi ringan. Pemeriksaan feses didapatkan telur
Ciri-ciri telur Hymenolepis nana :
 Berbentuk oval atau globuler.
 Ukuran 30 – 50 μm.
 Dinding 2 lapis : outer layer (lapisan luar) lebih tipis, dan inner layer (lapisan
dalam) terdapat penebalan pada kedua ujungnya, masing-masing mempunyai
4 – 8 filamen.
 Di dalam telur terdapat hexacanth embrio

e. Tata laksana
Pengobatan Hymenolepiasis nana :
1. Praziquantel, dewasa dan anak-anak, 25mg / kg dalam terapi dosis tunggal.
2. Obat alternatif dapat menggunakan niclosamide dan nitazoxanide. Dosis
niclosamide pada orang dewasa : 2 gram dalam dosis tunggal selama 7 hari;
anak-anak 11-34 kg : 1 gram dalam dosis tunggal pada hari 1 kemudian 500
mg per hari secara oral selama 6 hari; anak-anak> 34 kg : 1,5 gram dalam
dosis tunggal pada hari 1 kemudian 1 gm per hari secara oral selama 6 hari.
Dosis nitazoxanide pada orang dewasa : 500 mg per oral dua kali sehari
selama 3 hari; anak-anak berusia 12-47 bulan : 100 mg per oral dua kali sehari
selama 3 hari; anak-anak 4-11 tahun, 200 mg per oral dua kali sehari selama 3
hari

Pencegahan

Hymenolepiasis nana :

a. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum makan.


b. Cuci, kupas atau masak sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan.
c. Mengajarkan pada anak-anak jangan bermain ditanah terutama tanah yang
kemungkinan terdapat kotoran manusia.

2) Hymenolepis Diminuta
a. Definisi
Hymenolepis diminuta merupakan parasit yang termasuk dalam kelas cestoda
yang hidup dalam usus tikus dan manusia, cacing ini dapat menyebabkan penyakit
Hymenolepiasis diminuta. Hospes definitif cacing ini adalah tikus dan manusia,
sedangkan hospes intermediernya adalah golongan pinjal (Xenopsylla cheopis,
Pulex irritans), golongan kumbang (Tenebrio sp.), golongan diplopoda (Fontaria
virginensis, Julus sp.), serta golongan kecoa (Periplaneta sp., Blatta sp., Blatella
sp.). Nama lain Hymenolepis diminuta adalah cacing pita tikus, the rat tape worm,
dan Taenia diminuta.

b. Etiologic dan morfologi


- Kingdom : Animalia
- Filum : Platyhelminthes
- Kelas : Cestoda
- Ordo : Cyclophyllidea
- Famili : Hymenolepididae
- Genus : Hymenolepis
- Spesies : Hymenolepis diminuta
- Cacing dewasa mempunyai ukuran panjang 300 – 600 mm, lebar 3 – 5 mm
dengan 800 – 1000 proglotid/segmen
- Scolex tanpa rostelum dan kait-kait, mempunyai 4 batil isap
- Proglotid mature berbentuk seperti trapesium, mempunyai ovarium
multilobus, porus genitalis disebelah lateral dari tiap segmen dan unilateral.

c. Patofisiologi dan Siklus hidup


Telur H. diminuta keluarkan bersama tinja → tertelan oleh hospes intermedier →
onkosfer menetas dan menembus dinding usus hospes intermedier kemudian
berkembang menjadi larva cysticercoid → infeksi H. diminuta diperoleh hospes
definitif setelah menelan yang membawa larva cysticercoid → larva cysticercoid
menempel pada mukosa usus halus → menjadi cacing dewasa dalam waktu 20
hari.

Manifestasi klinis
- Paling sering tanpa gejala. Iritasi kronis pada mukosa usus dapat
mengakibatkan terjadinya lesi.
- Akibat dari absorbsi sisa metabolisme parasit akan mengakibatkan keracunan
dengan gejala-gejala seperti
- Diare
- Enteritis
- Kataralis
- Dan alergi.
- Infeksi berat dapat menyebabkan lemas
- Sakit kepala
- Anoreksia
- Sakit perut dan diare.

d. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
Infeksi parasit Hymenolepis nana
dan Hymenolepis diminuta paling
sering tanpa gejala. Iritasi kronis
pada mukosa usus dapat
mengakibatkan terjadinya lesi.
Akibat dari absorbsi sisa
metabolisme parasit akan mengakibatkan keracunan dengan gejala-gejala seperti
diare, enteritis, kataralis, dan alergi. Infeksi berat dapat menyebabkan lemas, sakit
kepala, anoreksia, sakit perut, dan diare.

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur pada sampel feses. Teknik
konsentrasi dan pemeriksaan berulang dapat meningkatkan kemungkinan
mendeteksi adanya infeksi ringan.Ditemukan telur
Ciri-ciri telur Hymenolepis diminuta :

 Telur berukuran 70 – 87 μm x 50 – 60 μm.

 Dinding luar (outer layer) tebal.

 Dinding dalam (inner layer) terdapat penebalan (polar) tanpa filament

e. Tata laksana

Pencegahan Hymenolepiasis diminuta :

a. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum makan

b. Cuci, kupas atau masak sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan.1

Pengobatan Hymenolepiasis diminuta :

1. Praziquantel, dewasa dan anak-anak, 25mg / kg dalam terapi dosis tunggal.


2. Obat alternatif dapat menggunakan niclosamide dan nitazoxanide. Dosis
niclosamide pada orang dewasa : 2 gram dalam dosis tunggal selama 7 hari;
anak-anak 11-34 kg : 1 gram dalam dosis tunggal pada hari 1 kemudian 500
mg per hari secara oral selama 6 hari; anak-anak > 34 kg : 1,5 gram dalam
dosis tunggal pada hari 1 kemudian 1 gm per hari secara oral selama 6 hari.
Dosis nitazoxanide pada orang dewasa : 500 mg per oral dua kali sehari
selama 3 hari; anak-anak berusia 12-47 bulan : 100 mg per oral dua kali sehari
selama 3 hari; anak-anak 4-11 tahun, 200 mg per oral dua kali sehari selama 3
hari.

D. TREMATODA
1) Fasciolopsis Buski
Fasciolopsis buski merupakan salah satu parasite trematoda terbesar yang dapat
menginfeksi manusia. Transmisi fasciolopsis buski ke manusia terjadi karena minum
air mentah dan mengkonsumsi tumbuhan air yang mentah seperti teratai dan genjer.
Fasciolopsis buski menyebabkan penyakit pada usus manusia.

a. Etiologic dan morfologi


- Kingdom : Animalia
- Filum : Platyhelmintes
- Kelas : Tematoda
- Ordo : Echinostomida
- Family : Fasciolidae
- Genus : Fasciolopsis
- Spesies : Fasciolopsis buski

- Cacing berbentuk bulat panjang seperti daun, merupakan trematoda yang


terbesar, kelihatan tebal berdaging
- Ukuran : panjang 2 – 7 cm, lebar 0,5 – 2 cm, dan tebal 0,5 – 3 mm
- Tidak mempunyai cephalic cone / tonjolan konis ventral sucker lebih besar
(diameter 2 – 3 mm) daripada oral sucker (diameter 0,5 mm)
- Alat pencernaan dimulai dari pharinx dan oesophagus yang pendek
dilanjutkan ke percabangan saekum ke posterior
- Testis bercabang-cabang banyak
- Vitelaria yang terletak di sebelah lateral meluas dari ventral sucker sampai
ujung posterior badan
- Uterus berkelok-kelok
- Telur memiliki operculum berwarna kekuning-kuningan
- Telur besar, berbentuk oval hampir sama dengan telur fasciola hepatica
dengan ukuran panjang 130 – 140 μm dan lebar 80 – 85 μm

b. Patofisiologi dan Siklus Hidup


Telur menetas di air → keluar mirasidium → dimakan hospes perantara 1 (keong
air dari genus Segmentina, Hippeutis, Cyarulus) → dalam tubuh keong
berkembang menjadi sporokista → redia → serkaria dan keluar dari tubuh
keong → hidup bebas di air → menempel di hospes perantara 2 (tumbuhan air
seperti enceng gondok, teratai) dan berkembang biak menjadi metaserkaria dalam
waktu 3 – 4 minggu → manusia terinfeksi jika makan tumbuhan air yang
mengandung metaserkaria dalam kista → ekskistasi dalam duodenum →
melekatkan diri pada mukosa usus halus dan berkembang menjadi dewasa
dalamwaktu ±1bulan.

Manifestasi klinis
1. Peradangan akibat perlekatan cacing pada mukosa usus
2. Ulserasi yang agak dalam pada luka Abses dengan sakit di daerah epigastrium
3. Mual
4. Diare ringan sampai berat
5. Pada infeksi yang berat dapat terjadi oedem dan ascites
6. Anemia ringan dengan leukositosis dan eosinofilia sampai 35%

c. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
Peradangan akibat perlekatan cacing pada mukosa usus , Ulserasi yang agak dalam
pada luka Abses dengan sakit di daerah epigastrium, Mual,Diare ringan sampai
berat ,Pada infeksi yang berat dapat terjadi oedem dan ascites Anemia ringan
dengan leukositosis dan eosinofilia sampai 35%

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan feses
- Cacing berbentuk bulat panjang seperti daun, merupakan trematoda yang
terbesar, kelihatan tebal berdaging
- Ukuran : panjang 2 – 7 cm, lebar 0,5 – 2 cm, dan tebal 0,5 – 3 mm
- Tidak mempunyai cephalic cone / tonjolan konis ventral sucker lebih besar
(diameter 2 – 3 mm) daripada oral sucker (diameter 0,5 mm)
- Alat pencernaan dimulai dari pharinx dan oesophagus yang pendek
dilanjutkan ke percabangan saekum ke posterior
- Testis bercabang-cabang banyak
- Vitelaria yang terletak di sebelah lateral meluas dari ventral sucker sampai
ujung posterior badan
- Uterus berkelok-kelok
- Telur memiliki operculum berwarna kekuning-kuningan
- Telur besar, berbentuk oval hampir sama dengan telur fasciola hepatica
dengan ukuran panjang 130 – 140 μm dan lebar 80 – 85 μm

d. Tatalaksana

Non farmakologi

1) Memasak tumbuhan air sebelum dimakan.


2) Hygine tiap individu maupun lingkungan.
3) Tidak buang air besar di lokasi perairan yang ditumbuhi tumbuhan air.

Farmakologi

 Pirantel pamoat 10mg/kgBB.


 Albendazole single dose 400mg (infeksi berat).
 Mebendazole 100mg (infeksi ringan).
 Piperazin (antihelmintik fast acting) 75mg/kgbb)

2) Fasciola Hepatika
a. Definisi
Fasciola hepatica adalah salah satu trematoda hati yang bersifat hermaprodit yang
dapat menimbulkan penyakit fascioliasis. Parasit ini disebut juga dengan Sheep
Liver Fluke. Hospes definitif : manusia, binatang ternak (domba, kambing, sapi,
kelinci) dan rusa
- Hospes intermediet 1 : keong air
- Hospes intermediet 2 :tumbuhanair

b. Etiologi dan morfologi


- Kingdom : Animalia
- Fillum : Platyhelmintes
- Kelas : Trematoda
- Ordo : Digenea
- Family : Fasciolidae
- Genus : Fasciola
- Spesies :FasciolahepaticadanFasciolagigantic

- Berbentuk pipih seperti daun dengan bentuk bahu yang khas, karena adanya
cephalic cone (tonjolan konis), sedangkan bagian posterior lebih besar
- Ukuran : panjang 20 – 30 mm dan lebar 8 – 13 mm
- Mempunyai 2 buah batil isap (sucker) yaitu oral sucker dan ventral sucker
yang sama besarnya (diameter ± 1 – 1,5 mm)
- Tractus digestivus mulai pharynx dajnoesophagus yang pendek dan khas,
intestinal pecah menjadi dua coecum yang berbentuk seperti huruf Y yang
terbalik dan masing-masing coecum bercabang sampai ujung posterior
- Testis sebanyak 2 buah dan bercabang-cabang kecil sehingga disebut
Dendritic
- Ovarium bercabang-cabang terletak dekat testis
- Kelenjar vitelaria bercabang-cabang secara merata fi bagian lateral dan
posterior
- Uterus relative pendek dan berkelok-kelok

c. Siklus hidup dan patogenesis


Telur keluar bersama tinja → menetas di air menjadi mirasidium → masuk ke
hospes perantara 1 (keong air) → berkembang menjadi sporokista → redia 1 →
redia 2 → serkaria → keluar dari hospes perantara 1 → menempel pada hospes
perantara 2 (tumbuhan air) → berkembang menjadi meteserkaria → jika
tumbuhan air yang mengandung metaserkaria tertelan hospes definitif → akan
terjadi ekskistasi di dalam duodenum → menembus dinding usus → cavum
abdominalis → menembus kapsul hepar →parenkim hepar → saluran empedu →
menetap dan berkembang menjadi dewasa dalam waktu ± 12 minggu
Manifestasi klinis
1. Gejala klinis yang ditimbulkan dapat pula bersifat subakut yaitu berupa
kelemahan,
2. Anoreksia
3. Perut kembung dan terasa sakit apabila disentuh.
4. Gejala akut pada sapi berupa gangguan pencernaan yaitu gejala konstipasi
yang jelas dengan tinja yang kering dan kadang diare
5. Terjadi pengurusan yang cepat,
6. Lemah
7. Anemia
8. Kematian mendadak pada kambing dan domba.
9. Gejala kronis berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang
terhambat pada hewan muda
10. Keluar darah dari hidung dan anus seperti pada penyakit antrax
11. Kelemahan otot berupa gerakan–gerakan yang lamban
12. Nafsu makan menurun
13. Selaput lendir pucat
14. Bengkak diantara rahang bawah (bottle jaw)
15. Bulu kering, rontok, kebotakan, hewan lemah dan kurus.
16. Pemeriksaan pasca mati penderita fasciolosis akut menunjukkan terjadinya
pembendungan dan pembengkakan hati, bercak-bercak warna merah baik di
permukaan sayatan maupun di sayatannya, kantung empedu dan usus
mengadung darah. Kondisi kronis di temukan dinding empedu dan saluran
empedu menebal, anemia, kurus, hidrotoraks, hiperperikardium, degdarasi
lemak dan sirosis hati.

d. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis yang ditimbulkan dapat pula bersifat subakut yaitu berupa
kelemahan, anoreksia, perut kembung dan terasa sakit apabila disentuh. Gejala
akut pada sapi berupa gangguan pencernaan yaitu gejala konstipasi yang jelas
dengan tinja yang kering dan kadang diare, terjadi pengurusan yang cepat, lemah
dan anemia. Kematian mendadak pada kambing dan domba.2
Gejala kronis berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang
terhambat pada hewan muda, keluar darah dari hidung dan anus seperti pada
penyakit antrax, kelemahan otot berupa gerakan–gerakan yang lamban, nafsu
makan menurun, selaput lendir pucat, bengkak diantara rahang bawah (bottle
jaw), bulu kering, rontok, kebotakan, hewan lemah dan kurus. Pemeriksaan pasca
mati penderita fasciolosis akut menunjukkan terjadinya pembendungan dan
pembengkakan hati, bercak-bercak warna merah baik di permukaan sayatan
maupun di sayatannya, kantung empedu dan usus mengadung darah. Kondisi
kronis di temukan dinding empedu dan saluran empedu menebal, anemia, kurus,
hidrotoraks, hiperperikardium, degdarasi lemak dan sirosis hati.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan feses

- Telur besar, berbentuk ocal dan beropeculum


- Ukuran : panjang 130 -150 μm dan lebar 60 – 90 μm
- Dinding satu lapis tipis
- Berwarna kuning kecoklatan

e. Tata laksana
 Benzimidazol sintesis dengan dosis 5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB sebagai
faciolicidal pada domba. Albendazol plus Closantel yang di berikan secara
oral dapat membunuh Fasciola hepatica, cacing pita dan nematoda (100%).
 Fenbendazol dan Clorsulon dengan dosis 25mg/kg BB dan dosis 35mg/kg BB
dapat mengurangi infeksi cacing hati dewasa (99,6%) dan cacing hati muda.
 Closantel dan Rafoxanide dengan dosis masing-masing 7,5 mg/kg BB dan 10
mg/kg BB dapat digunakan untuk mengontrol Haemonchus sp dan Fasciola
sp.
 Diamphenethide dengan dosis 10 mg/kg BB juga dapat digunakan untuk
pengobatan infeksi Fasciola sp pada domba

3) Taenia Saginata
a. Definisi
Taenia saginata merupakan parasit yang termasuk dalam kelas cestoda yang
hidup dalam usus manusia dan dapat menyebabkan penyakit Taeniasis saginata.
Cacing ini disebut juga dengan Taeniarhynchus saginata dan cacing pita sapi.
Hospes definitif dari parasit ini adalah manusia sedangkan hospes intermediernya
adalah sapi.

b. Etiologic dan morfologi


- Kingdom : Animalia
- Filum : Platyhelminthes
- Kelas : Cestoda
- Ordo : Cyclophyllidea
- Famili : Taeniidae
- Genus : Taenia

- Cacing dewasa mempunyai panjang 5 – 10 meter


- Cacing ini terdiri dari scolex, leher, dan strobila.
- Scolex berbentuk piriform berukuran 1 – 2 mm dilengkapi dengan 4 batil isap
yang menonjol.
- Strobila terdiri dari 1000 – 2000 proglotid atau segmen dimana makin ke
distal proglotid semakin matang.
- Proglotid gravid berukuran 16 – 20 x 5 – 7 mm dengan cabang uterus
berjumlah 15 – 20 buah tiap sisi dimana uterus gravid ini mengandung 80.000
– 100.000 telur.
- Lubang kelamin atau porus genitalis terletak di sebelah lateral dan letaknya
berselang-seling di kanan dan kiri tidak teratur.

c. Siklus hidup dan pathogenesis


Proglotid yang matang (proglotid gravid) keluar bersama tinja atau bergerak aktif
menuju anus → cabang-cabang uterus anterior pecah dan telur keluar melalui
pinggiran anterior → jika telur termakan hospes intermedier (sapi) di dalam usus
embriofore terdesintegrasi oleh asam lambung → hexacanth embrio
meninggalkan kulit telur dan menembus dinding usus bersama limfe/darah
dibawa ke jaringan ikat dialam otot → tumbuh menjadi cysticercus bovis (cacing
gelembung) dalam waktu 12 – 15 minggu, cysticercus bovis berupa gelembung
dengan ukuran 7,5 – 10 mm x 4 – 6 mm dimana didalamnya terdapat scolex yang
mengalami invaginasi → bila cysticercus hidup ditelan manusia maka di dalam
usus scolex mengalami evaginasi dan melekatkan diri pada mukosa jejunum dan
tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu 8 – 10 minggu, cacing dapat hidup
lebih dari 25 tahun.
Manifestasi klinis

1. Cacing dewasa jarang menimbulkan gejala yang nyata, keluhan yang mungkin
dijumpai adalah
2. Rasa sakit di epigastrium
3. Diare
4. Rasa tidak enak di perut yang tidak nyata.
5. Proglotid dapat bergerak aktif, kadang dapat ditemukan pada pakaian dalam
atau tempat tidur dan ini dapat menimbulkan gangguan misalnya rasa
bingung, jijik dan lain-lain. Kemungkinan cysticercosis sangat kecil dan
prognosa taeniasis adalah baik.

Penegakkan diagnosis

Anamnesis

Cacing dewasa jarang menimbulkan gejala yang nyata, keluhan yang mungkin
dijumpai adalah rasa sakit di epigastrium. diare, rasa tidak enak di perut yang
tidak nyata. Proglotid dapat bergerak aktif, kadang dapat ditemukan pada pakaian
dalam atau tempat tidur dan ini dapat menimbulkan gangguan misalnya rasa
bingung, jijik dan lain-lain. Kemungkinan cysticercosis sangat kecil dan prognosa
taeniasis adalah baik

Pemeriksaan penunjang

Telur dalam tinja atau daerah perianal dengan cara swab. Telur Taenia saginata
sulit dibedakan dengan telur Taenia solium tetapi proglotid gravidnya dapat
dibedakan berdasarkan jumlah lateral uterus atau scolexnya yang tidak
mempunyai kait-kait
- Ukuran : panjang 30 – 40 μm dan lebar 20 – 30 μm.
- Berwarna coklat tengguli.
- Lapisan embriofore bergaris-garis radier.
- Didalamnya terdapat hexacanth embrio

d. Tata laksana
Pencegahan Taeniasis saginata :
a. Memasak daging sapi sampai matang sempurna.
b. Memeriksa daging sapi akan adanya cysticercosis.
c. Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati dan mencegah kontaminasi
tanah dengan tinja manusia.
d. Melakukan pendinginan daging sapi.

Pengobatan Taeniasis saginata :

1. Praziquantel adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati


taeniasis. Dosis yang diberikan adalah 5-10 mg/kg secara oral untuk sekali
minum pada orang dewasa dan 5-10 mg/kg pada anak-anak. Jika pasien
memiliki cysticercosis selain taeniasis, praziquantel harus digunakan dengan
hati-hati. Praziquantel adalah obat cysticidal yang dapat menyebabkan
peradangan di sekitar tempat cysticercosis, serta dapat menyebabkan kejang
atau gejala lainnya.
2. Obat alternatifnya adalah Niklosamida, yang diberikan pada 2 gram secara
oral untuk sekali minum pada orang dewasa dan 50 mg/kg pada anak-anak.
Setelah pengobatan, tinja harus dikumpulkan selama 3 hari untuk mencari
proglotid cacing pita untuk identifikasi spesies. Pemeriksaan tinja harus dikaji
ulang untuk telur taenia dalam waktu 1 dan 3 bulan setelah pengobatan untuk
memastikan sudah tidak terinfeksi taeniasis.

4) Schistosomiasis
a. Etiologi
Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing
trematoda dari genus schistosoma (blood fluke). Terdapat tiga spesies cacing
trematoda utama yang menjadi penyebab skistosomiasis yaitu Schistosoma
japonicum, Schistosoma haematobium dan Schistosoma mansoni. Spesies yang
kurang dikenal yaitu Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah Schistosoma japonicum
khususnya di daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu di Sulawesi Tengah.
Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma memerlukan keong sebagai
intermediate host. Penularan Schistosoma terjadi melalui serkaria yang
berkembang dari host dan menembus kulit pasien dalam air. Skistosomiasis
terjadi karena reaksi imunologis terhadap telur cacing yang terperangkap dalam
jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di lembah Napu dan danau Lindu berkisar
17% hingga 37%.

b. Patofisiologi dan Siklus Hidup


c. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
1. Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan demam, nyeri kepala,
nyeri tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal. Biasanya terdapat riwayat
terpapar dengan air misalnya danau atau sungai 4-8 minggu sebelumnya, yang
kemudian berkembang menjadi ruam kemerahan (pruritic rash).
2. Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi misalnya:
 Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman hingga nyeri saat
berkemih, disebabkan oleh urinary schistosomiasis biasanya disebabkan
oleh S. hematobium.
 Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan oleh intestinal
skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. mansoni, S. Japonicum juga
S. Mekongi.
 Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata disebabkan oleh
hepatosplenic skistosomiasis yang biasanya disebabkan oleh S.
Japonicum.

Faktor Risiko:
Orang-orang yang tinggal atau datang berkunjung ke daerah endemik di sekitar
lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan mempunyai kebiasaan terpajan
dengan air, baik di sawah maupun danau di wilayah tersebut.

Pemeriksaan Fisik
Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan:
a.Limfadenopati
b.Hepatosplenomegaly
c.Gatal pada kulit
d.Demam
e.Urtikaria
f.Buang air besar berdarah (bloody stool)
Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan:
a.Hipertensi portal dengan distensi abdomen, hepatosplenomegaly
b.Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
c.Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
d.Intestinal polyposis
e.Ikterus

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Feses
S. Japonicum
S. Hematobium
S. Mansoni
d. Tata Laksana
Penatalaksanaan
1. Pengobatan diberikan dengan dua tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien
atau meminimalkan morbiditas dan mengurangi penyebaran penyakit.
2. Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan karena dapat membunuh
semua spesies Schistosoma. Walaupun pemberian single terapi sudah bersifat
kuratif, namun pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu dapat meningkatkan
efektifitas pengobatan. Pemberian prazikuantel dengan dosis sebagai berikut:

Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel


S. Mansoni, S. haematobium, S. intercalatum 40 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam dua dosis perhari
S. Japunicum, S. mekongi 60 mg/kg berat badan per hari oral dan
dibagi dalam tiga dosis perhari
Konseling dan Edukasi
1.Hindari berenang atau menyelam di danau atau sungai di daerah endemik
skistosomiasis.
2.Minum air yang sudah dimasak untuk menghindari penularan lewat air yang
terkontaminasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
2. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasanya.
Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. 2011
3. Longo D, Fauci A. Harrison’s Gastroenterology and Hepatology. First Edition. New York.
Mc. Graw Hill; 2010.
4. Saputera M, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. CDK-252/Vol. 44 No. 5. Jakarta: Kalbemed;
2017.
5. Emmanuel S, Inns S. Lecture Notes: Gastroenterologi dan Hepatologi. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2014.

Anda mungkin juga menyukai