Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cholangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang
bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai berat
dan dapat mengancam nyawa. Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh
Charcot, ia mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses
patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri.
Cholangitis merupakan salah satu komplikasi dari batu pada ductus
choledochus. Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia
Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien
berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat
memperburuk kondisi dan mempersulit terapi.
Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar dapat
menegakkan diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama, memberikan
penjelasan yang baik kepada pasien, dan merujuk secara tepat.

1|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Hari/Tanggal Sesi I : Senin, 2 Juli 2018
Hari/Tanggal Sesi II : Rabu, 4 Juli 2018
Tutor : dr. Suci Nirmala, S. ked
dr. Dian Rahardianti, M. biomed
Moderator : Moch. Azwar Andi Pawarta
Sekretaris : Bq. Nadya Sofyana Mukmin

2.2 Skenario
LBM III
MENGAPA MENGUNING?
Seorang wanita usia 45 tahun dating ke Klinik FK Unizar dengan keluhan
badan menguning sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan ini disertai nyeri perut
kanan atas yang hilang timbul. Keluhan tersebut juga disertai dengan mual dan
muntah. Pasien juga mengeluh demam yang tidak tinggi. Nafsu makan
berkurang. Pasien mengeluhkan BAK berwarna kuning pekat seperti air teh dan
BAB seperti dempul. Dokter kemudian mengusulkan untuk melakukan
pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis.
Penatalaksanaan apa yang perlu diusulkan kepada pasien tersebut?

2.3 Pembahasan LBM


2.3.1. Terminologi
-
2|Page
2.3.2. Identifikasi Masalah
1. Anatomi dan fisiologi hepatobilier?
2. Mekanisme keluhan pada skenario?
3. Pemeriksaan penunjang apa yang harus diusulkan?
4. Tatalaksana awal apa yang dapat diberikan pada pasien di skenario?
5. Diagnosis Banding
6. Diagnosis Kerja

2.3.3. Brainstorming
1. Mekanisme keluhan pada skenario?
a. Mengapa badan pasien di skenario menguning?
Icterus dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis.
Icterus patologis berdasarkan penyebab dibagi menjadi icterus
prehepatik, intrahepatik, dan posthepatik. Icterus prehepatik
terjadi akibat konyugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonyugasi
melampaui kemampuan hati. Akibatnya kadar bilirubin tak
terkonyugasi dalam darah meningkat. Meskipun demikian
kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/100 ml dan ikterus
yang timbul bersifat ringan, berwarna kuning pucat. Warna
kuning pada kulit juga di pengaruhi mukosa kulit yang sensitif
terhadap bilirubin.
Icterus di intrahepatik diakibatkan oleh kerusakan dari
bagian hati yang mengakibatkan terjadinya kegagalan
memproduksi bilirubin untuk dibawa ke duodenum. Nantinya
3|Page
bilirubin ini akan dibawa kembali ke sinusoid-sinusoid sentralis
dan dibawa ke seluruh tubuh.
Pada icterus posthepatik, ketika terjadi hambatan pada
daerah duktus hepatika ataupun duktus koledektus akan
menyebabkan terjadinya aliran balik dari bilirubin tersebut.
Bilirubin yang kembali nantinya akan menuju sinusoid sentralis
yang nantinya dibawa keseluruh tubuh. Bilirubin yang dibawa
keseluruh tubuh inilah nantinya akan menyebabkan terjadinya
ikterus.
b. Mengapa pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas yang
hilang timbul?
Hal ini terjadi karena adanya proses infeksi yang terjadi
di daerah saluran empedu tersebut. Saluran empedu bersifat
involunter, kadang-kadang ia akan melakukan kontraksi pada
otot-otot polos, sehingga apabila terjadi proses infeksi maka
akan menyebabkan respon nyeri akan meningkat. Dimana salah
satu tanda dari infeksi adalah dolor (nyeri), apabila terjadi
kontraksi otot polos pada saat involunter maupun saat ada
penekanan dari organ-organ lainnya maka hal ini akan
merangsang rasa nyeri. Selain itu, letak anatomis saluran
empedu berada di kuadran kanan atas, hal inilah yang dapat
menyebabkan nyeri yang bersifat hilang timbul di daerah kanan
atas disebabkan oleh karena proses infeksi serta pergesekan
antara dinding-dinding saluran empedu dengan organ lainnya,
maupun dindingnya yang bersifat involunter.

4|Page
c. Mengapa pasien mengeluhkan mual dan muntah, nafsu makan
berkurang disertai demam tinggi?
Demam terjadi karena adanya obstruksi yang
mengakibatkan aliran empedu tidak mengalir. Hal ini
menyebabkan bakteri yang ada dalam kolon akan menginfeksi
secara assending. Karena proses infeksi ini nantinya tubuh akan
mengeluarkan mekanisme kompensasi dengan meningkatkan
suhu tubuh. Mekanisme kompensasi inilah yang menyebabkan
terjadinya demam.
d. Mengapa BAK pasien diskenaro berwarna kuning pekat seperti
air the dan BAB seperti dempul?
BAK pekat seperti warna teh karena disebabkan karena
tidak dapat menyalurkan cairan empedu kedalam duodenum.
Apabila cairan empedu ini tidak dapat disalurkan ke dalam
duodenum, maka cairan empedu ini akan terkumpul di duktus
biliaris. Di dalam duktus biliaris, bilirubin akan menumpuk
disana. Bilirubin juga ada didalam darah, jika sudah di dalam
darah, bilirubin akan dimetabolisme atau di filtrasi di ginjal,
karena kadar bilirubin meningkat menyebabkan bilirubin
tersebut lewat dalam darah oleh karena itu BAK pekat seperti
teh.
BAB dempul menunjukkan ketiadaan bilirubin
terkonjugasi yang akan disekresikan bersama asam empedu ke
duodenum melalui ductus choledocus. Bilirubin tidak dapat
disalurkan kedalam pencernaan yaitu ke duodenum, ileum. Hal
ini bisa diakibatkan oleh karena adanya infeksi pada saluran
5|Page
empedu maupun karena adanya batu pada saluran empedu yang
menahan bilirubin yang akan ke usus.
e. Hubungan keluhan dengan usia pasien di skenario?
Usia tua memiliki paparan panjang untuk banyak faktor
kronis seperti hiperlipidemia, konsumsi alkohol, dan DM. Hal
ini akan menyebabkan penurunan motilitas kandung empedu
dan terbentuknya batu empedu. Batu kolesterol (sekresi
kolesterol dan saturasi empedu meningkat) namun dengan
bertambahnya usia cenderung menjadi batu pigmen.
Selanjutnya gejala dan komplikasi akan meningkat dengan
bertambahnya usia.
Hormon estrogen mempengaruhi dari keefektifitasan
organ yang ada didalam tubuh atau di dalam organ pencernaan.
Terlebih lagi dalam proses pembentukan dari cairan empedu itu
sendiri. Estrogen akan meningkatkan pengkristalan dari cairan
empedu, jika estrogen semakin berkurang terlebih bagi wanita
menoupause. Selain itu dengan bertambahnya usia, fungsi
organ akan menurun dan faktor imunitas menurun. Hal ini dapat
meningkatkan berbagai macam keluhan dan dapat
meningkatkan risiko infeksi atau penyakit-penyakit lainnya.
Salah satu contohnya dapat meningkatkan infeksi pada saluran
empedu.

6|Page
2.3.4. Rangkuman Permasalahan

Anatomi Fisiologi
hepatobilier

Patologi
Hepatobilier

Diagnosis
Diagnosis Kerja
Banding

Pemeriksaan
Fisik &
Penunjang

Penatalaksanaan

2.3.5. Learing Issue


1. Anatomi dan fisiologi hepatobilier
2. Diagnosis banding
3. Diagnosis kerja

2.3.6. Refrensi
1. Anatomi dan fisiologi hepatobilier
- Bardiman S. 2008. Kumpulan kuliah hepatologi, penyakit
pankreas, kandung empedu. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya; h. 599-603.
7|Page
- Victor P. 2003. Atlas histologi de fiore. Jakarta: EGC; h. 225-
226.
- Snell RS. 2006.. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran.
Jakarta: EGC, h. 309-318.
2. Diagnosis Banding
- Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. akarta:
Media Aesculapius.
- Price & Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Jakarta: EGC.
- Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
Perhimpunan Doktor Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
EGC. Jakarta. 2009. Hal 721-6.

3. Diagnosis Kerja
- Fauzi A. Kolangitis Akut. Dalam: Rani A, Simadibrata M,
Syam AF, Editor. Buku ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-
1. Interna Publishing; 2011: 579-90.
- Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H,
Yoshida M, Mayumi T. TG13: Updated Tokyo Guidelines
for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Sci (2013) 20:1–7
- Lubis, M., Siregar, J.H. Kolangitis Akut. Divisi
Gastroenterohepatologi Ilmu Penyakit Dalam FK
USU/RSHAM Medan. Medan; FK USU.

8|Page
2.3.7. Pembahasan Learning Issue
1. Anatomi dan Fisiologi Hepatobilier
Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan dan
dipekatkan di dalam vesika biliaris, kemudian dikeluarkan ke
dalam duodenum. Ductus biliaris hepatis terdiri atas ductus hepatis
destra dan sinistra, ductus hepatis comunis, ductus choledochus,
vesica biliaris dan ductus cysticus.
A. Ductus hepaticus
Ductus hepaticus dextra dan sinistra keluar dari lobus
hepatis dextra dan sinistra pada port hepatis. Keduanya bersatu
membentuk ductus hepatis comunis. Panjang ductus hepatis
comunis sekitar 1,5 inchi (4 cm) dan berjalan turun di pinggir
bebas omentum minus. Ductus ini bergabung dengan ductus
cysticus dari vesica billiaris yang ada di sisi kanannya
membentuk ductus choledochus.
B. Ductus Choledochus
Panjang ductus choledochus sekitar 3 inchi (8 cm). Pada
bagian perjalanannya, ductus ini terletak pada pinggir bebas
kanan omentum minus, di depan foramen epiploicum. Di sini
ductus choledochus terletak di depan pinggir kanan venae
portae bawah hepatis dan pada sisi kanan arteri hepatica. Pada
bagian kedua perjalanannya, ductus terletak di belakang pars
duodenum di sebelah kanan arteri gastroduodenalis. Pada
bagian ketiga perjalanannya, ductus terletak di dalam sulcus

9|Page
yang terdapat pada facies posterior caput pancreatis. Di sini
ductus choledochus bersatu dengan ductus pankreaticus.
Ductus chodedochus berakhir di bawah dengan
menembus dinding medial pars descendens duodenum kira-
kira di pertengahan panjangnya. Biasanya ductus choledochus
bergabung dengan ductus pankreatikus, dan bersama-sama
bermuara ke dalam ampula kecil di dinding duodenum, yang
disebut ampula hepatopankreatica (ampula vater). Ampula ini
bermuara pada lumen duodenum melalui sebuah papila kecil,
yaitu papila duodeni major. Bagian terminal kedua ductus
beserta ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular yang
disebut musculus sphinter ampullae (sphincter oddi).

10 | P a g e
Gambar 1. Ductus Choledocus dan Spincter Oddi
C. Vesica Biliaris (Kandung Empedu)
Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah
pir yang terletak pada permukaan bawah hepar. Vesica biliaris
mempunyai kemampuan menyimpan empedu sebanyak 30-50
ml, serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorpsi air.
Vesica biliaris terdiri atas fundus, corpus, dan collum. Fundus
vesica biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah
margo inferior hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus
bersentuhan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
cartilago costalis IX dextra. Corpus vesica biliaris terletak dan
berhubungan dengan fascies visceralis hepar dan arahnya ke
atas, belakang dan kiri. Colum vesica biliaris melanjutkan diri
sebagai ductus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum
minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus
komunis untuk membentuk ductus choledochus.

11 | P a g e
Gambar 2. Vesica Biliaris Terdiri Atas Fundus, Corpus dan
Colum.
Vesica biliaris berfungsi sebagai tempat penyimpanan
empedu. vesica biliaris mempunyai kemampuan untuk
memekatkan empedu dan untuk membantu proses ini, mukosa
vesica biliaris mempuyai lipatan-lipatan permanen yang saling
berhubungan sehingga permukaan tampak seperti sarang
tawon Sel-sel toraks yang terletak pada permukaan mukosa
mempunyai banyak vili. Empedu dialirkan ke duodenum
sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial vesica
biliaris. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan
pengeluaran hormon kolesistokinin dari tunica mucosa
duodenum. Lalu hormon masuk ke dalam darah dan
menimbulkan kontraksi vesica biliaris. Pada saat yang
12 | P a g e
bersamaan otot polos yang terletak pada ujung distal ductus
choledochus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum. Garam-
garam empedu di dalam cairan empedu penting untuk
mengemulsikan lemak di dalam usus serta membantu
pencernaan dan absorbsi lemak.
Vesica biliaris mendapat perdarahan dari arteri cystica,
cabang arteri hepatica dextra dan vena cystica yang
mengalirkan darah langsung ke vena porta. Cairan limfa
mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat colum vesicae
biliaris. Dari sini, pembuluh limfa berjalan ke nodi hepatici
dengan berjalan sepanjang perjalanan arteri hepatica
communis dan kemudian ke nodi coelici. Persarafan di vesica
biliaris terdiri atas saraf simpatis dan parasimpatis yang
membentuk pleksus coeliacus.
Secara fisiologi, empedu dihasilkan oleh hepatosit dan
sel-sel duktus sebanyak 500-1500 mL/ hari. Sekresi aktif
garam empedu ke dalam canaliculus bilier dipengaruhi oleh
volume empedu. Na+ dan air mengalir secara pasif untuk
meningkatkan isoosmolaritas. Lechitin dan kolesterol
memasuki canaliculus pada laju tertentu yang berhubungan
dengan output garam empedu. Bilirubin dan sejumlah anion
organik lainnya (esterogen, sulfobromopthalen, dll) secara
aktif disekresikan oleh hepatosit melalui sistem transport yang
berbeda dengan garam empedu. Diantara makan, empedu
disimpan di vesica biliaris, dimana empedu terkonsentrasi pada
13 | P a g e
hingga 20%/ jam. Na+ dan HCO3- atau Cl- secara aktif
ditransport dari lumennya selama absorpsi.
Ada tiga faktor yang meregulasi aliran empedu yaitu :
sekresi hepatik, kontraksi vesica biliaris, dan tahanan spincter
choledochal. Dalam keadaan puasa, tekanan di ductus
choledocus adalah 5-10 cm H2O dan empedu yang dihasilkan
di hati disimpan di dalam vesica biliaris. Setelah makan, vesica
biliaris berkontraksi, spincter relaksasi dan empedu di alirkan
ke dalam duodenum dengan adanya tekanan di dalam duktus
yang terjadi secara intermiten yang melebihi tahanan spincter.
Saat berkontraksi, tekanan di dalam vesica biliaris mencapai 25
cm H2O dan di dalam ductus choledocus mencapai 15-20 cm
H2O. Cholecystokonin (CCK) adalah stimulus utama untuk
berkontraksinya vesica biliaris dan relaksasi spincter. CCK
dilepaskan ke dalam aliran darah dari mukosa usus halus.

14 | P a g e
Gambar 3. Fisiologis Pengeluaran Empedu.
D. Ductus Cysticus
Panjang ductus cysticus sekitar 1,5 inchi (4 cm) dan
menghubungkan colum vesica biliaris dengan ductus hepatis
comunis untuk membentuk ductus choledochus.. Biasanya
ductus cysticus berbentuk huruf S dan berjalan turun dengan
jarak yang bervariasi pada pinggir bebas kanan omentum
minus. Tunica mukosa ductus cysticus menonjol untuk
membentuk plica spiralis yang melanjutkan diri dengan plica
yang sama pada colum vesica biliaris. Plica ini umumnya
dikenal sebagi ”valvula spiralis”. Fungsi valvula spiralis adalah
untuk mempertahankan lumen terbuka secara konstan.
15 | P a g e
Gambar 4. Ductus cysticus bersatu dengan ductus hepatis
comunis membentuk ductus choledocus.

E. Komposisi Empedu
Tabel 1. Komposisi empedu

Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit - -

16 | P a g e
1) Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu
dari hati ada dua macam yaitu: Asam Deoxycholat dan
Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak
yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak
yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel
kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
b. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid,
kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak. Garam
empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja
kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan
lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu
dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh
mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi
garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari
ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut
misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi
garam empedu akan terganggu.
2) Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah
menjadi heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai
dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma
17 | P a g e
terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat
oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila
terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya
pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.
F. Pankreas
1) Anatomi
Pankreas merupakan kelenjar retroperitoneal dengan
panjang sekitar 12-15 cm dan tebal 2,5 cm dan berada pada
posterior dari omentum majus. Pankreas terdiri dari kepala,
tubuh, dan ekor yang biasanya langsung berhubungan
dengan duodenum melalui dua duktus. Pancreas
merupakan kelenjar endokrin dan eksokrin. Bagian
eksokrin kelenjar menghasilkan secret yang mengandung
enzim-enzim yang dapat menghidrolisis protein lemak, dan
karbohidrat. Bagian endokrin kelenjar yaitu pulau-pulau
langerhans yang menghasilkan hormone insulin dan
glucagon yang mempunyai peranan penting pada
metabolisme karbohidrat.

18 | P a g e
Gambar 5. Anatomi sel asini dan pulau langerhans6

Kelenjar ini merupakan organ yang memanjang dan


terletak pada epigastrium dan kuadran kiri atas. Strukturnya
lunak, berlobulus, dan terletak pada dinding posterior
abdomen di belakang peritoneum. Pankreas menyilang
planum transpyloricum. Pankreas dapat dibagi menjadi
caput, collum, corpus, dan cauda.7

a. Caput Pancreatis berbentuk seperti cakram dan terletak


di dalam bagian cekung duodenum. Sebagian caput
meluas ke kiri di belakang arteria san vena mesenterica
superior serta dinamakan Processus Uncinatus.
b. Collum Pancreatis merupakan bagian pancreas yang
mengecil dan menghubungkan caput dan corpus
pancreatis. Collum pancreatis terletak di depan pangkal
vena portae hepatis dan tempat dipercabangkannya
arteria mesenterica superior dari aorta.
19 | P a g e
c. Corpus Pancreatis berjalan ke atas dan kiri, menyilang
garis tengah. Pada potongan melintang sedikit
berbentuk segitiga.
d. Cauda Pancreatis berjalan ke depan menuju
ligamentum lienorenalis dan mengadakan hubungan
dengan hilum lienale.
e. Ductus Pancreaticus
Ductus Pancreaticus Mayor
Mulai dari cauda dan berjalan di sepanjang
kelenjar menuju ke caput, menerima banyak cabang
pada perjalanannya. Ductus ini bermuara ke pars
desendens duodenum di sekitar pertengahannya
bergabung dengan ductus choledochus membentuk
papilla duodeni mayor Vateri. Kadang-kadang muara
ductus pancreaticus di duodenum terpisah dari ductus
choledochus.
Ductus Pancreaticus Minor
Mengalirkan getah pancreas dari bagian atas
caput pancreas dan kemudian bermuara ke duodenum
sedikit di atas muara ductus pancreaticus pada papilla
duodeni minor.
2) Fisiologis
a. Eksokrin
- Sel – sel asini menghasilkan beberapa enzim yang
disekresikan melalui ductus pankreas yang
bermuara ke duodenum.
20 | P a g e
- Enzim–enzim tersebut berfungsi untuk mencerna 3
jenis makanan utama = karbohidrat, protein, dan
lemak. Sekresi ini juga mengandung sejumlah
besar ion bikarbonat menetralkan asam kimus dari
lambung.
- Enzim proteolitik = tripsin, kimotripsin, dan
karboksipolipeptidase.
Tripsin dan kimotripsin: memisahkan protein yang
dicerna menjadi peptida, tapi tidak menyebabkan
pelepasan asam – asam amino tunggal.
Karboksipolipeptidase: memecah beberapa peptida
menjadi asam – asam amino bentuk tunggal.
- Enzim proteolitik yang kurang penting = elastase
dan nuklease.
- Enzim proteolitik disintesis di pankreas dalam
bentuk tidak aktif berupa = tripsinogen,
kimotripsinogen, dan prokarboksipolipeptidase =
menjadi aktif jika disekresikan di tractus intestinal.
Tripsinogen diaktifkan oleh enzim enterokinase
yang disekresi mukosa usus ketika kimus
berkontak dengan mukosa. Kimotripsinogen dan
prokarboksipolipeptidase diaktifkan oleh tripsin.
- Enzim pankreas untuk mencerna karbohidrat =
amilase pankreas: menghidrolisis serat, glikogen,
dan sebagian besar karbohidrat (kecuali selulosa)
untuk membentuk trisakarida dan disakarida.
21 | P a g e
- Enzim pencerna lemak = lipase pankreas:
menghidrolisis lemak netral menjadi asam lemak
dan monogliserida. Kolesterol esterase: hidrolisis
ester kolesterol. Fosfolipase: memecah asam lemak
dan fosfolipid.
- Tiga rangsangan dasar yang menyebabkan sekresi
pankreatik:
a) Asetikolin: disekresikan ujung n. vagus
parasimpatis dan saraf kolinergenik.
b) Kolesistokinin: disekresikan mukosa
duodenum dan jejunum rangsangan asam.
c) Sekretin: disekresikan mukosa duodenum dan
jejunum rangsangan asam7
b. Endokrin
- Fungsi endokrin kelenjar pankreas diperankan oleh
pulau langerhans sel α, sel β, sel δ, dan sel
F.terdiri atas 4 sel
- Sekresi sel – sel ini berupa hormon yang akan
langsug diangkut melalui pembuluh darah.
Sel Hormon Target Utama Efek Hormonal
Regulasi
a) α (Glukagon)
Target: Hati, jaringan adiposa
Efek: merombak cadangan lipid, merangsang
sintesis glukosa dan pemecahan glikogen di
hati, menaikan kadar glukosa. Distimulasi oleh

22 | P a g e
kadar glukosa darah yang rendah, dihambat
oleh somatostatin.
b) β (Insulin)
Target: Sebagian besar sel
Efek: membantu pengambilan glukosa oleh
sel, menstimulasi pembentukan dan
penyimpanan glikogen dan lipid, menurunkan
kadar glukosa darah. Distimulasi oleh kadar
glukosa darah yang tinggi, dihambat oleh
somatostatin.
c) δ (Somatostatin)
Target: Sel langerhans lain, epitel saluran
pencernaan
Efek: menghambat sekresi insulin dan
glukagon, menghambat absorbsi usus dan
sekresi enzim pencernaan. Distimulasi oleh
makanan tinggi-protein, mekanismenya belum
jelas.
d) F (Polipeptida pankreas)
Target: Organ pencernaan
Efek: menghambat kontraksi kantong empedu,
mengatur produksi enzim pankreas,
mempengaruhi absorbsi nutrisi oleh saluran
pencernaan. Distimulasi oleh makanan tinggi-
protein dan rangsang parasimpatis.

23 | P a g e
2. Diagnosis Banding
A. HEPATITIS
HEPATITIS
a. Definisi
Suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat
disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap
obat-obatan serta bahan-bahan kimia. Istilah "Hepatitis"
dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati (liver).
Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai
dengan obat-obatan, termasuk obat tradisional. Virus hepatitis
juga ada beberapa jenis, hepatitis A, hepatitis B, C, D, E, F dan
G.
b. Klasifikasi
1) Virus Hepatitis yang ditularkan secara parenteral dan
seksual
- Hepatitis B
Hepatitis B adalah virus yang sering dipelajari
karena dapat diuji, prevalensi dari penyakit. Morbiditas
dan mortalitas berhubungan dengan penyakit. Infeksi
hepatitis B terdapat diseluruh dunia, menyebabkan
250.000 kematian per tahun. Sejak 1982, vaksin efektif
dari hepatitis B tersedia dan adanya kampanye penurunan
penyakit akan memungkinkan penurunan dampak
penyakit ini di masa depan.
Penularan. Daerah dimana penyakit ini endemik
(Kutub, Afrika, Cina, Asia Selatan dan Amazon), bentuk
24 | P a g e
penularan yang sering adalah secara perinatal dari ibu
terinfeksi pada bayinya. Di Negara berkembang dengan
prevalensi penyakit lebih rendah, rute utama penularan
adalah seksual dan parenteral. Di Amerika Serikat,
populasi risiko tinggi meliputi laki – laki homoseksual,
pengguna obat intravena, petugas perawatan kesehatan
dan mereka yang mendapat transfusi darah.
Patofisiologi. Virus harus dapat masuk ke aliran
darah dengan inokulasi langsung, melalui mebran mukosa
atau merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati, replikasi
perlu inkubasi 6 minggu sampai 6 bulan sebelum penjamu
mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak terlihat
untukmereka yang mengalami gejala, tingkat kerusakan
hati, dan hubungannya dengan demam yang diikuti ruam,
kekuningan, arthritis, nyari perut, dan mual. Pada kasus
yang ekstrem, dapat terjadi kegagalan hati yang diikuti
dengan ensefalopati. Mortalitas dikaitkan dengan
keparahan mendekati 50%.
Infeksi primer atau tidak primer tampak secara
klinis, sembuh sendiri dalam 1 sampai 2 minggu untuk
kebanyakan pasien. Kurang dari 10% kasus, infeksi dapat
menetap selama beberapa dekade. Hepatitis B
dipertimbangkan sebagai infeksi kronik pada saat pasien
mengalami infeksi sisa pada akhir 6 bulan. Komplikasi
berhubungan dengan hepatitis kronik dapat menjadi parah,
dengan kanker hati, sirosis dan asites terjadi dalam
25 | P a g e
beberapa tahun sampai dengan puluhan tahun setelah
infeksi awal.
Diagnosis. Tes serologik untuk hepatitis akan
member informasi diagnostik dan informasi tentang
tingkat penularandan kemungkinan tahap penyakit. Tes
dilakukan langsung berhubungan dengan virus dan
antibodi yang dihasilkan penjamu dalam merespons
protein tersebut. Virus mempunyai inti dan bagian luar
sebagai pelindung. Protein behubungan dengan bagian
antigen inti dan antigen permukaan. Tes laboratorium
untuk antigen inti tidak tersedia, tetapi antigen permukaan
sering menunjukan HBsag, yang dapat didetekasi, dalam
beberapa minggu awal infeksi. Peningkatan titer selama
beberapa minggu dan juga terjadi penurunan pada tingkat
yang tidak dapat dideteksi. Adanya HBsag menadakan
infeksi saat itu dan tingkat penularan relative tinggi.
Antigen lain yang merupakan bagian dari virus disebut e
antigen (HBeag). HBeag adalah penanda ketajaman yang
sangat sensitive karena dapat dideteksi dalam perkiraan
terdekat pada waktu penyakit klinis dan pada saat di mana
tampak risiko menjadi lebih besar untuk menular.
Vaksin. Vaksin hepatiis B dihasilkan dengan
menggunakan antigen hepatitis B untuk menstimulasi
produksi antibodi dan untuk memberikan perlindungan
terhadap infeksi, keamanan, dan keefektifannya mendekati
90% dari vaksinasi. Karena virus hepatitis B mudah
26 | P a g e
ditularkan dengan jarum suntik di area perawatan
kesehatan. Penurunan infeksi perinatal dan risiko
penularan terjadi setelah kelahiran, vaksin hepatitis B
diberikan secara rutin pada bayi setelah lahir. Vaksinasi
individual (yang sebelumnya tidak terinfeksi) akan
memiliki serologi hepetitis B yang positif hanya pada
HBsab. Ini menjamin kekebalan yang dihasilkan olah
vaksin yang dapat dibedakan dari produksi alami, saat inti
antbodi juga ada.
- Hepatitis C
Sampai saat ini, hepatitis Non- A, Non- B
menunjukan gambaran virus hepatitis yang bukan hepatitis
A, B atau agens penyebab lain. Banyak dari hepatitis Non-
A, Non- B ditularkan melalui parenteral. Hal ini
sebelumnya tidak diketahui dan virus ini juga tidak
diketahui dan sekarang teridentifikasidan disebut hepatitis
C. Kemudian, tes antibodi untuk memeriksa pasien
terhadap agens ini telah tersedia.
Patofisiologi. Hepatitis C sekarang diperkirakan
dapat menginfeksi sekitar 150.000 orang per tahun di
Amerika Serikat. Hal ini dianggap menjadi penyakit yang
ditularkan hampir selalu melalui transfusi darah. Namun,
ada bukti bahwa virus ditularkan melalui cara perenteral
lain ( menggunakan bersama jarun yang terkontaminasi
oleh pengguna obat intravena dan tusukan jarum yang
tidak disengaja dan cedera lain pada petugas kesehatan ).
27 | P a g e
Terdapat bukti lanjut dimana virus ditularkan melalui
kontak seksual.
Diagnosis. Tes serologik saat bisa dilakukan untuk
mendeteksi virus hepatitis C dengan antibodi yang
diinterpretasi secara terbatas. Banyak pasien yang
memiliki gejala klinik dari virus hepatitis perlu dilakukan
tes.
Tes fungsi hati digunakan untuk mendapat status
hepatitis. Penyakit ini tidak terlalu dipahami pada saat ini,
tapi peningakatan dan biasanya ditemukan penurunan
berulang enzim hati. Dengan informasi ini dan tanda klinis
lain, dipercaya bahwa sebanyak separuh dari semua pasien
mengalami infeksi hepatitis C yang berkembang menjadi
infeksi kronik. Hal ini telah menunjukan penyebab utama
penyakit hati kronik dan sirosis di Amerika Serikat.
Penatalaksanaan. Saat ini, tidak diketahui terapi,
vaksin atau agens profilaktik pasca pemajananyang diakui
untuk hepatitis C. Petugas perawatan kesehatan harus
mengikuti prinsip kewaspadaan umum untuk
meminimalkan risiko penularan karena pekerjaan. Prinsip
ini didasarkan pada pemahaman bahwa populasi yang
terinfeksi adalah carrier penyakit ini. Perhatian terhadap
jarum dan kewaspadaan yang tepat harus digunakan pada
semua pasien.
- Hepatitis D

28 | P a g e
Hepatitis D adalah virus yang bergantung pada virus
hepatitis B yang lebih kompleks untuk bertahan. Hepatitis
D hanya merupakan risiko untuk mereka yang mempunyai
antigen permukaan hepatitis B positif
Hepatitis D dicurigai ketika pasien sakit akut dengan
gejala baru atau berulang dan sebelumnya telah
mengalami hepatitis B atau sebagai carrier hepatitis B.
Tidak ada tindakan spesifik untuk hepatitis.
Pencegahan untuk virus ini dicapai sebagai keuntungan
sekunder dari vaksin hepatitis B. Perilaku preventif
terhadap virus darah ini ( tidak menggunakan jarum
bergantian dan menggunakan kondom pada saat
berhubungan seksual ) harus ditekankan pada orang yang
terinfeksi hepatitis B yang tidak terinfeksi hepatitis D.
2) Virus Hepatitis yang ditularkan melalui rute fekal-oral
- Hepatitis A
Hepatitis A adalah virus yang hampir selalu
ditularkan melalui rute fekal – oral. Virus ini menimbulkan
hepatitis akut tanpa keadaan kronik atau menetap seperti
yang ditunjukan oleh virus hepatitis darah.
Pada anak,penyakit ini sering tidak dikenali atau
tampak dengan keluhan tidak parah. Gejala lebih terlihat
pada orang dewasa dan dapat berupa kelemahan sampai
dengan demam, ikterik, mual dan muntah. Penyakit ini
baisanya berlangung 1 sampai 3 minggu. Pasien jarang
membutuhkan perawatan di rumah sakit dan pada saat
29 | P a g e
gejala timbul, sangat kecil kemungkinan menular pada
orang lain.
Karena dapat ditularkan dengan makanan dan air
yang terkontaminasi, hepatitis A dapat menjadi potensi
epidemic di Negara dengan penanganan yang buruk.
Petugas penyiapan makanan yang terinfeksi mempunyai
potensi penularan penyakit pada orang lain jika kebersihan
diri tidak dilakukan dengan baik.
Tes antibodi hepatitis A yang tersedia mendeteksi
IgM yang menunjukan infeksi akut atau yang baru
terjadi.atau IgG yang menunjukan infeksi yang sudah
sembuh.
- Hepatitis E
Hepatitis E adalah infeksi virus yang menyebar
melalui kontaminasi makanan dan air melalui jalur fekal –
oral. Sampai dengan saat ini, infeksi disebut dengan
hepatitis enteric Non- A Non- B. Diagnosa dibuat dengan
menyingkirkan hepatitis A, B, dan C dan menentukan yang
paling mungkin dari sumber makanan atau air yang
terkontaminasi. Sekarang tes untuk antibodi untuk
hepatitis E telah tersedia, studi epidemologi akan sangat
terfasilitasi.
Hepatitis E telah jarang ditemukan di Amerika
Serikat, tetapi berhubungan dengan epidemic dari air yang
terkontaminasi di Asia, Afrika, dan Republik Soviet. Di
Amerika Serikat, hepatitis E harus dipertimbangkan pada
30 | P a g e
beberapa orang yang telah melakukan perjalanan keluar
negeri dan mempunyai gejala virus hepatitis tetapi
serologic negative untuk virus hepatitis lain.
c. Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus dapat berkisar dari
asimtomatik sampai penyakit mencolok, kegagalan hati dan
kematian. Terdapat tiga stadium pada semua jenis hepatitis:
stadium prodromal, stadium ikterus, dan periode
kovalensasi (pemulihan).
1) Stadium prodromal, disebut periode praikterus, dimulai
setelah periode masa tunas virus selesai dan pasien
mulai memperlhatkan tanda-tanda penyakit. Stadium
ini disebut praikterus karena ikterus belum muncul.
Individu akan sangat infeksius pada stadium ini.
Antibody terhadap virus biasanya belum dijumpai.
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu ditandai oleh :
- Malese umum
- Rasa Lelah
- Gejala-gejala infeksi saluran napas atas
- Mialgia (nyeri otot)
- Keengganan terhadap sebagian besar makanan
2) Stadium ikterus adalah stadium kedua hepatitis virus,
dan dapat berlangsung 2-3 minggu atau lebih. Pada
sebagian besar orang, stadium ini ditandai oleh, seperti
diisyaratkan oleh namanya, timbulnya ikterus.
Manifestasi lain adalah:
31 | P a g e
- Memburuknya semua gejala yang ada pada
stadium prodormal
- Pembesaran dan nyeri hati
- Splenimogali
- Mungkin gatal (pruritus) di kulit
3) Stadium pemulihan dalah stadium ketiga hepatitis virus
dan biasanya timbul dalam4 bulan untuk hepatitis B dan
C dan dalan 2-3 bulan untuk hepatitis A. Selama
periode ini:
- Gejala-gejala mereda, termasuk ikterus
- Nafsu makan pulih

B. KOLESISTITIS
a. Definisi
Kolesistitis adalah peradangan pada dinding
kandung empedu yang ditandai dengan gejala seperti nyeri
perut kanan atas, demam, mual terus menerus. Pasien
biasanya ada riwayat batu sebelumnya.
b. Etiologi
Kolesistitis disebabkan oleh obstruksi dari duktus
sistikus, biasanya oleh batu empedu, yang mengakibatkan
distensi dan inflamasi kimia atau bakterial setelahnya dari
vesika biliaris. Pada sebanyak 95% kasus kolesistitis akut,
terdapat batu empedu (kolesistitis kalkulus) dan 5% tidak
terdapat batu empedu (kolesistitis akalkulus). Kultur
positif dari cairan empedu atau dinding kandung empedu
32 | P a g e
ditemukan pada 50-75% kasus kolesistitis akut. Penyebab
kolesistitis akalkulus belum jelas dan dapat multifaktorial.
Kadang suatu infeksi bakteri dapat menyebabkan
terjadinya peradangan.
Faktor risiko untuk kolesistitis kalkulus serupa
dengan kolelitiasis yaitu jenis kelamin, kelompok etnis
tertentu, obesitas atau penurunan badan yang cepat, obat-
obatan (terutama terapi hormon pada wanita), kehamilan
dan usia yang lebih tua. Kolesistitis akalkulus berkaitan
dengan kondisi yang menyebabkan empedu stasis, yaitu
operasi besar atau trauma/luka bakar parah, sepsis,
penyakit yang parah sehingga menyebabkan nutrisi
parenteral jangka panjang dan kasus idiopatik.
c. Manifestasi Klinik
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis
akut adalah nyeri perut di sebelah kanan atas epigastrium
dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif dan
nyerinya bersifat konstan. Kadang-kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau
perforasi kandung empedu.
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan
nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam
33 | P a g e
dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering
mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskular dan
ekstraselular. Pada pemeriksaan fisik, kuadran kanan atas
abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung
empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau
batuk sewaktu palpasi subkostae kuadran kanan atas
biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi
terhenti yaitu Murphy sign positif menandakan adanya
paradangan kandung empedu.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat
ringan (bilirubin<4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu
ekstra hepatic misalnya duktus koledokus. Gejalanya juga
bertambah buruk setelah makan makanan yang berlemak.
Pada pasien-pasien yang sudah tua dan dengan diabetes
mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik
dan kadang hanya berupa mual saja.
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus
tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis kalkulus,
biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah
walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda-tanda kolik
kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam

34 | P a g e
kondisi sepsis tanpa terdapat tanda-tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.
C. KOLESTIASIS
a. Definisi
kolelitiasis adalah deposit kristal pada yang
terbentuk di kandung empedu dimana batu empedu dapat
bermigrasi ke saluran empedu sehingga menimbulkan
komplikasi dan dapat mengancam jiwa.
b. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya,
bantu empedu digolongkan atas 3 golongan:
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan
mengandung lebih dari 70% kolesterol.
2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah
dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat
sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak
berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zxat
hitam yang tak terekstraksi.
c. Faktor Risiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor
resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko
yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
35 | P a g e
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara
lain
1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat
untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh
terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar
esterogen juga meningkatkan resiko terkena
kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol
dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat
sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia
> 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih
muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass
Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan
tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung
empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan
kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat
badan yang cepat (seperti setelah operasi
36 | P a g e
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap
unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan
penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga
kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn
dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan
dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih
sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan
berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus
paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena
jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada
makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat
dalam kandung empedu.
d. Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu baru memberi
keluhan bila batu tersebut bermigrasi menyumbat duktus
sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik),
ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
37 | P a g e
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang
kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul
menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan
sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan
dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba
pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif.
Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 %
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada
sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini berasal dari
spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh
batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa
mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi
akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini
hari, berlangsung lama antara 30 – 60 menit, menetap, dan
nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat
menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang
ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris.
Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang
merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau
tanpa kolelitiasis.

38 | P a g e
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi
dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut,
kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis,
kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses
hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.
Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya
dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut
disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi
duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ
tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya
mempunyai kolelitiasis dan telah sering mengalami
serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan
pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo
kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke
duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis
sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan
penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit
diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan
timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.

39 | P a g e
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke
duodenum spontan tanpa menimbulkan gejala atau
menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri
sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke
duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar
spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat
membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi
penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan
pankreatitis.

3. Diagnosis Kerja
KOLANGITIS AKUT
c. Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan demam, sakit kuning dan nyeri perut yang berkembang
sebagai akibat dari stasis/sumbatan dari unfeksi di saluran
empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot
sebagai penyakit yabg serius dan mengancam jiwa. Namun
sekarang dakui bahwa keparahan dapat berkisar dari ringan
sampai berat. Koledokolitiasis atau adanya batu di dalam
saluran empedu/bilier merupakan penyebab utama kolangitis
akut.
d. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi bilier
saluran (kolestasis) dan pertumbuhan bakteri dalam empedu
(infeksi empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran dua
40 | P a g e
faktor: (1) obstruksi bilier dan (2) pertumbuhan bakteri dalam
empedu (infeksi empedu). Cairan empedu biasanya normal
pada individu yang sehat dengan anatomi bilier yang normal.
Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril
melalui ampula vateri (karena adanya batu yang melewati
ampula/passing stone), sfingterotomi atau pemasangan sten
(yang disebut kolangitis asending/ascending kolangitis) atau
bakterial portal, yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui
sinusoid-sinusoid hepatik dan celah disse (Space of Disse).
Bakterobilia tidak otomatis dengan sendirinya menyebabkan
kolangitis pada individu yang sehat karena efek bilasan
mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri garam empedu,
dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat
mengakibatkan kolangitis akut karena berkurangnya/
menurunnya aliran empedu (bile flow) dan produksi IgA,
menyebabkan gangguan fungsi sel kuffer dan rusaknya celah
membrane sel (biliary tight junction) menimbulkan refluks
kolangiovena. Penyebab sering obstruksi bilier adalah
koledokolitiasis, stenosis bilier jinak, striktur anastomosis
empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Koledokolitiasis
digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-
baru kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit
ganas, sclerosing cholangitis, dan instrumentasi non-bedah
saluran empedu telah meningkat. Hal ini melaporkan bahwa
penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus akut
kolangitis.
41 | P a g e
e. Faktor Risiko
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik.
Namun, kultur empedu positif mengandung mikroorganisme
pada 16% dari pasien yang menjalani operasi non-bilier, 72%
dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien kolangitis kronis,
dan 50% dari mereka dengan obstruksi bilier (level 4). 12
Bakteri dalam empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan
choledocholithiasis disertai dengan penyakit kuning (level 4).
13 pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu
menyajikan tingkat kultur empedu positif yang lebih tinggi
dibandingkan dengan obstruksi lengkap dari saluran empedu.
Faktor risiko untuk bactobilia mencakup berbagai faktor,
seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko lain terjadinya
kolangitis yang disebut riwayat infeksi sebelumnya, usia >70
tahun dan diabetes.
f. Patofisiologi
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu
akanmenimbulkan stasis cairan empedu, kolonisasi bakteri dan
pertubmuhan kuman yang berlebihan. Kuman-kuman ini
berasal dari flora duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi,
dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandungan empedu
yang meradang akut, penyebaran ke hati akibat sepsis atau
melalui sirkulasi portal dari bakteri usus. Karena tekanan yang
tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, kuman akan
kembali (refluks) ke dalam saluran limfe yang kemudian
mengakibatkan sepsis. Bakteribili (adanya bakteri disaluran
42 | P a g e
empedu) didapatkan pada 20% pasien dengan kandungan
empedu normal. Walaupun demikian infeksi terjadi pada
pasien-pasien dengan striktur pasca bedah atau pada
anastomasi koledokoenterik. Lebih dari 80% pasien dengan
batu koledokus terinfeksi, sedangkan infeksi lebih jarang pada
keganasan. Kegagalan aliran yang bebas merupakan hal yang
sangat penting pada pathogenesis kolangitis akut.
Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada kolangitis
akut yang sering dijumpai berturut-turut adalah kuman aerob
gram (-) enteric E. Coli, Klebsiella, kemudian Streptococcus
faecalis dan akhirnya bakteri anaerob seperti Bacteroides
fragilis dan Clostridia. Ada juga kuman-kuman Proteius,
Pseudomonas dan Enterobacter enterococci tidak jarang
ditemukan. Bacteribili tidak akan menimbulkan kolangitis
kecuali jika terdapat kegagalan aliran bilier yang akan
memudahkan terjadinya proliferasi kuman pada saluran
empedu yang mengalami stagnasi, dan atau tekanan dalam
saluran empedu di dalam hati meningkat sedemikian rupa
sehingga menyebabkan refluks kuman ke dalam darah dan
saluran getah bening. Kombinasi dari stagnasi dan peningkatan
tekanan tersebut akan menimbulkan keadaan yang serius pada
kolangitis supuratif.
Beberapa dari efek serius kolangitis dapat disebabkan
oleh endotoksemia yang dihasilkan oleh produk pemecahan
bakteri gram negative. Endotoksin diserap di usus lebih mudah
bila terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu
43 | P a g e
yang biasanya mengkhelasi endotoksin sehingga mencegah
penyerapannya. Selanjutnya kegagalan garam empedu
mencapai intestine dapat menyebabkan perubahan flora usus.
Selain itu fungsi sel-sel kupfer yang buruk dapat menghambat
kemampuan hati untuk mengekstraksi endotoksin dari darah
portal. Bilamana kolangitis tidak diobati, dapat timbul
bacteremia sistemik pada sepertiga kasus dan pada kasus-kasus
yang lanjut, dapat timbul abses hati.

44 | P a g e
Obesitas / konsumsi Kerusakan / penurunan Disfungsi kantung
makanan fungsi hati empedu

Nukleasi Kristal
kolesterol
Peningkatan jumlah Hiposekresi asam Kontraksi kandung
kolesterol balier empedu empedu tidak baik

Cairan empedu jenuh kolesterol Peningkatan faktor


Statis empedu
pronukleasi

Kelebihan kolesterol tak Cairan empedu dan


Mengikat kolesterol,
dapat dibawa oleh sel berakumulasi
fosfolipit dan bilirubin

vesikel-vesikel kolesterol
tertinggal Nukleasi Viskositas dan kekentalan cairan
berlangsung lama k. empedu

Agregasi membentuk
inti kristal di kandung Kristalisasi batu Probabilitas terbentuknya
empedu empedu Kristal

Supersaturasi
kolesterol KOLELITIASIS

Batu keluar menyumbat duktus sistikus/


Infeksi bakteri
koleduktus

Peningkatan tekanan intraductal menyebabkan


refluks bakteri

KOLANGITIS

Inflamasi Pengeluaran SGPT SGOT


(iritatif pada saluran cerna) Cairan empedu Kekurangan asam
tertahan di hati empedu

Pelepasan mediator
inflamsi Merangsang nervus Peningkatan Malabsorbsi lemak
vagal bilirubin di hati

Dikirimkan ke
cortex cerebri
45 | P a g e
Menekan Tidak diserap duodenum Steatorrhea /
rangsangan dan mengalir ke kandungan lemak
Nyeri bilier pada abdomen kuadran system saraf pembuluh darah
berlebih di tinja
kanan atas parasimpatis

IKTERUS dan gatal-


Nyeri episodik Penurunan gatal
peristaltic usus
dan lambung
MK: Nyeriakut MK: Risiko kerusakan
Peningkatan produksi integritas kulit
asam lambung

Mual

g. Manifestasi Klinis
Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias,
demam, ikterus, dan nyeri abdomen kuadran kanan atas yang
dikenal dengan trias Charcot, namun semua elemen tersebut
hanya ditemukan pada sekitar 50 persen kasus. Pasien dengan
kolangitis supuratif tampak bukan saja dengan adanya trias
charcot tapi juga menunjukkan penurunan kesadaran dan
hipotensi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cameron,
demam di temukan pada lebih dari 90 persen kasus, ikterus
pada 67 persen kasus dan nyeri abdomen hanya pada 42 persen
kasus.
Dua hal yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis
yaitu adanya obstruksi aliran empedu dan adanya bakteri pada
duktus koledokus. Pada sebagian besar kasus, demam dan
mengigil disertai dengan kolangitis menandakan adanya

46 | P a g e
bakteriemia. Biakan darah yang diambil saat masuk ke rumah
sakit untuk kolangitis akut adalah positif pada 40 sampai 50
persen pasien. Pada hampir semua serial Escherichia
coli dan Klebsiella pneumoniae adalah organisme tersering
yang didapatkan pada biakan darah. Organisme lain yang
dibiakan dari darah adalah
spesies Enterobacter, Bacteroides, dan Pseudomonas.
Dalam serial terakhir species Enterobacter dan
Pseudomonas lebih sering ditemukan, demikian juga isolat
gram negatif dan spesies jamur dapat dibiak dari empedu yang
terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling sering
diisolasi adalah Bacteroides fragilis. Tetapi, anaerobik lebih
jarang ditemukan pada serial terakhir dibandingkan saat
koledokolitiasis merupakan etiologi kolangitis yang tersering.
h. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan
adanya keluhan demam, ikterus, dan sakit pada perut kanan
atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan
demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau
perubahan warna kuning pada kulit dan mata didapatkan
pada sekitar 80% penderita.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
demam, hepatomegali, ikterus, gangguan kesadaran,
sepsis, hipotensi dan takikardi.
47 | P a g e
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya
lekositosis pada sebagian besar pasien. Hitung sel darah
putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau
trombositopenia kadang-kadang dapat ditemukan,
biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita
mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan
bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes
fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase
serum juga meningkat yang menggambarkan proses
kolestatik.
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan
kolangitis adalah:
a) Foto Polos Abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal
nyeri abdomen, foto polos abdomen jarang
memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar
15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium
tinggi dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat
terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan
atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar,
di fleksura hepatika.
b) Ultrasonografi

48 | P a g e
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas
dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu
kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau
edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit
dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus.
Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui
karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi.

Gambar 6. USG dari duktus intrahepatic yang


mengalami dilatasi
c) CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada
ultrasonografi untuk mendiagnosis batu kandung
empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan
pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan
ketepatan sekitar 70-90 persen.
49 | P a g e
Gambar 7. CT-Scan yang menunjukkan dilatasi duktus
biliaris (panah hitam) dan dilatasi duktus pankreatikus
(panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin
d) ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah
digerakkan yang menggunakan lensa atau kaca untuk
melihat bagaian dari traktus gastro intestinal.
Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography
(ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab dan
letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat
mengobati penyebab obstruksi dengan mengeluarkan
batu dan melebarkan peyempitan.

50 | P a g e
Gambar 8. Endoscope Cholanglopancreotegraphy
menunjukkan duktus biliaris yang berdiltasi pada
bagian tengah dan distal (dengan gambaran feeling
defect)
e) Skingrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem
bilier termasuk fungsi hati dan kandung empedu serta
diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan
spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini
paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus
sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat
mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat
memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya.
Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi
adalah derivat asam iminodiasetik dengan label 99mTc.

51 | P a g e
f) Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja
dari sistem bilier melalui prinsip kerja yang sama
dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi
yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama
12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras
tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh
hepar dan di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke
kandung empedu.
g) Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam
penatalaksanaan pasien dengan kolangitis. Pada
sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk
menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi
saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi,
kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan
kolangitis dan dengan demikian harus ditunda sampai
menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien
yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak
berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus tersebut,
kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk
menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd
endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik
perkutan dapat digunakan untuk menentukan anatomi
atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut
dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar 5 persen
52 | P a g e
pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang
tepat harus diberikan sebelum instrumentasi pada
semua kasus.
i. Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif
harus diberikan segera setelah akses vena didapatkan untuk
koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan
tekanan darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian
antibiotic dan drainase bilier. beratnya kolangitis akut
menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah sakit.
bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, teruma
jika kolangitis akut ringan yang kambuh/berulang (misalnya
pada pasien dengan batu intrahepatik). Namun demikian
umumnya dokter menyarankan perawatan rumah sakit pada
kasus kolangitis akut. kolangitis ringan sampai sedang dapat
ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis
berat sebaiknya dirawat di ICU.
1. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotic intravena harus diberikan
sesegera mungkin. Pedoman pemberian antibiotic
sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan
resistensi lokal rumah sakit. Beberapa panduan
(guidelines) menyarankan pada kolangitis akut ringan
sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan
sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan
inhibitor β laktamase. sedangkan kolangitis sedang
53 | P a g e
sampai berat sebaiknya pemberian antibiotic minimal
5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau
keempat, nonbaktam dengan atau tanpa metronidazol
untuk kuman anaerob, atau karbapenem.
Rekomendasi lain (Jhon Hopskin) menyarankan
regimen berikut pada pasien kolangitis akut ringan
sampai sedang atau community acquired: (misalnya
Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam, atau
ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin iv 2 gram
setiap 6jam plus gentamicin iv 1.7mg/kgbb setiap 8jam
atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin
iv 400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv 500mg sekali
sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400mg sekali
sehari) ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam
untuk bakteri anaerob. Untuk pasien kolangitis akut
berat atau nosokomial (hospital acquired),
direkomendasikan pemberian antibiotic sebagai
berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375gr iv stiap 6
jamatau 4.5 gr iv setiap 8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-
klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100mg iv bolus,
diteruskan 50mg iv sekali sehari) atau sefalosporin
generasi ketiga (misalnya seftriakson 1-2gr sekali sehari
atau cefepim 1-2 gr seiap 12 jam) dengan metronidazol
iv 500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob.
Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen
resistensi antibiotic dapat diberikan imipenem iv 500mg
54 | P a g e
setiap 6jam, meropenem iv 1gr setiap 8 jam atau
doripenem iv 500 mg setiap 8 jam.
Pengecualian/exception terdapat pada semua panduan,
misalnya sefalosporin generasi pertama tidak mencakup
infeksi enterococcus spp. Walaupun cefazolin disetujui
FDA untuk terapi kolangitis akut. Karena itu pemilihan
terapi antibiotic sebaiknya berdasarkan sejumlah factor
meliputi sensitivitas antibiotic, beratnya penyakit,
adanya disfungsi ginjal atau hati, riwayat pemakaian
antibiotic sebelumnya, pola resistensi kuman local dan
penetrasi bilier dari antibiotic.
Pilihan antibiotic harus disesuaikan dengan hasil
kultur darah dan cairan empedu begitu diperoleh,
namun pemberian antibotik tidak boleh
terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur. Pada
akhirnya yang lebih penting dari pemilihan terapi
antibitik adalah drainase bilier efektif, karena adanya
obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotic. pada
suatu studi, dimana pasien mendapat satu antibiotic
(ceftazime, cefoperazone, imipenem, netilmisin atau
siprofloksasin), hanya siproflokasasin diekskresi
kedalam sistem bilier yang obstruksi dan hanya 20%
dari konsentrasi serum.

55 | P a g e
Gambar 9. Lama pemberian antibiotik

2. Drainase Bilier
Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien
kolangitis akut untuk menghilangkan sumber infeksi
dan juga karena obstruksi dapat menurunkan ekskresi
bilier antibiotic. beratnya penyakit menetukan dan
menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase.
Drainase dapat dilakukan secara elektif pada pasien
kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada apsien
kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa jam)
pada pasien kolangitis berat karena tidak akan respon
dengan pemberian antibiotic saja. Beratnya kolangitis
ditentukan oleh respon klinik terhadap terapi medical
sebagaimana diuraikan dalam panduan Tokyo, sehingga
penggolangan derajat beratnya penyakit kolangitis akut
menuntut observasi untuk mengetahui pasien-pasien
mana akan respons baik terhadap terapi.

56 | P a g e
Pada suatu studi didapatkaan bahwa sekitar 80%
pasien kolangitis akut respon terhadap terapi medical
saja dan resolusi infeksi. namun semua pasien tersebut
akhirnya memerlukan tindakan pembersihan saluran
bilier untuk mencegah kolangitis rekurens. Suatu studi
dari hongkong melakukan ERCP emergenci pada 225
pasien kolangitis. Frekwensi denyut jantung
>100x/menit, kadar albumin <30g/l, kadar
bilirubin>50µmol/l dan masa protrombin > 14 detik
pada saat masuk rumah sakit signifikan berkaitan
dengan diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi
endoskopi lebih aman dibandingkan pembedahan
dalam tatalaksana kolangitis akut, sehingga dekompresi
surgical tidak mempunyai peranan dalam manegemen
kolangitis akut.
Studi Lai dkk secara random mengalokasikan 82
pasien dengan kolangitis akut berat kedalam 2 grup,
endoskopi atau dekompresi bilier surgical, kelompok
surgical signifikan lebih banyak mengalami komplikasi
dan mortalitas selama di rumah sakit dibandingkan
kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05 dan 32% vs
10%, p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian,
pasien dengan kolangitis akut sebaiknya masuk dirawat
diruangan medical untuk terapi antibiotik intravena dan
dekompresi endoskopi. dekompresi bilier surgical
sebaiknya dihindari pada pasien kolangitis akut. ERCP
57 | P a g e
lebih jadi pilihan dibandingkan PTBD (percutaneus
biliary drainage) karena lebih tidah invasive, lebih
aman, dapat dilakukan bedside dan dapat
membersihkan batu saluran empedu, tidak perlu koreksi
koagulopati dan dapat dilakukan tanpa paparan radiasi
jika perlu (pada pasien yang hamil). Keberhasilan
ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD untuk
tatakasana obstruksi CBD, namun PTBD
dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli
endoskopi tidak ada/tersedia. PTBD biasanya dilakukan
pada apsien yang gagal dengan ERCP awal atau bila
terdapat anatomi yang abnormal akibat prosedur
pembedahan sebelumnya seperti
koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi
utntuk tatalaksana pasien seperti itu ada.
Pasien dengan kolangitis akut dimana kontras
tidak terdrainase setelah gagal ERCP dapat memerlukan
drainase bilier perkutan mendesak untuk menghindari
perburukan sepsis. Kolangitis akut yang terjadi stelah
manipulasi saluran bilier merupakan faktor resiko
prognosis buruk pada kolangitis akut. Karena itu tidak
direkomendasikan injeksi kontras tanpa terlebih dahulu
menempatkan guidwire kedalam sistem bilier. Pada
umumnya pusat endoskopi, keberhasilan ERCP untuk
drainase bileir lebih dari 90%, jika tidak demikian
sebaiknya dirujuk pada unit/pusat layanan endoskopi
58 | P a g e
yang lebih baik. EUS terbatas, bila tersedia sebaiknya
dilakukan sebelumnya untuk evaluasi dilatasi saluran
bilier intrahepatik dan ekstrahepatik, adanya batu,
massa pancreas atau hilus atau batu kandung empedu.
Aspirasi jarum halus pada suatu massa sebaiknya
dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak
memerlukan dekompresi bilier mendesak.

Gambar 10. Alur Penatalaksanaan kolangitis akut


menurut Tokyo Guidline 2013.

59 | P a g e
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami dapat disimpulkan bahwa,
pasien Wanita berusia 45 tahun di skenario mengalami Kolangitis. Hal ini
karena keluhan yang dialami Wanita di skenario sesuai dengan gejala klinis dari
penyakit kolangitis. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menentukan diagnosis pasti dari keluhan yang di alami serta mendapatkan
terapi yang sesuai.

60 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Bardiman S. 2008. Kumpulan kuliah hepatologi, penyakit pankreas, kandung empedu.


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; h. 599-603.

Victor P. 2003. Atlas histologi de fiore. Jakarta: EGC; h. 225-226.

Snell RS. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC, h. 309-
318.
Lubis, M., Siregar, J.H. Kolangitis Akut. Divisi Gastroenterohepatologi Ilmu Penyakit
Dalam FK USU/RSHAM Medan. Medan; FK USU.

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. akarta: Media Aesculapius.

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jakarta:
EGC.

Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Perhimpunan Doktor Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia EGC. Jakarta. 2009. Hal 721-6.

61 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai