Anda di halaman 1dari 63

RESUME PBL

SKENARIO 4
“TUBUH LEMAS”

NAMA : AMARA BINTAN AULIA


NPM : 119170012
KELOMPOK : 10B
TUTOR : dr. Amri M

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 1
Tubuh lemas
Seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke poliklinik umum dengan keluhan tubuh terasa lemas
sejak ±6 bulan yang lalu. Keluhan disertai demam yang hilang timbul, nyeri perut, nausea,
penurunan nafsu makan, berat badan menurun, dan BAK berwarna seperti teh pekat. Pasien
mengaku pernah menderita sakit liver. Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran compos mentis,
tanda vital tekanan darah 110/70mmHg, nadi 68x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 39,1°C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik +/+, abdomen datar, soepel, nyeri tekan epigastrium (+),
ekstremitas jaundice (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan SGPT 176 U/L, SGOT 148
U/L, HbsAg (+). Dokter lalu melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan penatalaksanaan pada pasien.

STEP 1
1. SGOT : serum glutamocoxaloacetic transaminase, hasil dari pemeriksaan bersamaan dengan
SGPT. Salah satu enzim transaminase yg dikaitkan dengan kerja organ hepar jantung dan
ginjal.
2. Ekstremitas jaundice : suatu keadaan hyperbilirubinemia yang menumpuk dalam kulit, dalam
keadaan ini penumpukan terjadi di ekstremitas.
3. HbsAg : pertanda serologi virus hepatitis B yang akan terdeteksi 1-12 minggu paska infeksi.
Hepatitis Bsurface antigen adalah cara untuk menujukan pertanda hepatitis B apabila hasilnya
positif.
4. SGPT : suatu enzim yang mengkatalis sebuah gugus asam amino dari alanin menjadi alfa-
ketoglutarat untuk membentuk glutamate dan piruvat. Untuk mendiagnosis destruksi … sel

STEP 2
1. Mengapa pasien mengeluh tubuh lemas, demam hilang timbul, nyeri perut, nausea, penurunan
nafsu makan, berat badan menurun, dan BAK berwarna seperti the pekat?
2. Bagaimana hubungan Riwayat penyakit liver dengan keluhan pasien saat ini?
3. Mengapa pada meriksaan fisik diapat sklera ikterik, ektremitas jaundice dan nyeri tekan
epigastrium?
4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan?
5. Bagaimana pendekatan klinis dan penegakkan diagnosis pada pasien?
6. Bagaimana tatalaksana yang tepat pada pasien ini?
STEP 3
1. Mengapa pasien mengeluh tubuh lemas, demam hilang timbul, nyeri perut, nausea, penurunan
nafsu makan, berat badan menurun, dan BAK berwarna seperti the pekat?
Urin seperti the : warna urin didapat dari bilirubin yang dihasilkan oleh hepar yang dibagi
menjadi b. direct dan indirect. Pasien mengalami gangguan suplai darah pada paru yang akan
menyebabkan kerusakan pada hepar sehingga tidak sempurna menjadi direct bil, bisa juga
menjadi obtruksi hepar yang menyebakan ganguan pada empedu. Peningkatan kadar bilirubin
dalam darah menjadi urin warna the karena garam empedu yang mengandung bilirubin di
ekskresikan melalui ginjal yang dimana normalnya warna urin berwana kuning jernih.
Adanya gangguan pada hepar dapat terasa sakit karena adanya infeksi pada hepar karena virus
yang biasa menyerang adalah virus Hepatitis. Saat adanya infeksi dapat muncul demam, nafsu
makan menurun karena rasa tidak nyaman yang ditimbulkan dari infeksi hepar.

2. Bagaimana hubungan Riwayat penyakit liver dengan keluhan pasien saat ini?
Penyakit liver suatu penyakit pearadangan pada hati. Dapat terjadi karena infeksi, pola hidup
kurang sehat, Riwayat sakit terdahulu yang kambuh. Apabila terjadi suatu penyakit hati maka
adanya kerusakan pada organ tersebut.
Infeksi virus hepatitis > hepatitis A-E
Kebiasaan pola hidup mengonsumsi alcohol dapat terjadi, alcoholic liver disease, sirosis
hepar, cancer hepar

3. Mengapa pada pemeriksaan fisik diapat sklera ikterik, ektremitas jaundice dan nyeri tekan
epigastrium?
Ikterik sklera dan ektremitas jaundice terjadi karena obstruksi aliran empedu extra hepatik,
Nyeri epigastrium berhubungan dengan infeksi virus yang menyerang liver. Saat di infeksi
akan muncul hepatosit menyebabkan nflamasi liver dan menyebabkan nyeri epigastrium
Hepar inflamasi akan terjadi penurunan b.conjucnc akan menyebabkan deposisi karena
b.unconjunc meningkat
Sel fagositik dan stelata ,,,, akan mengalami pembesaran hepar akan menekan serabut plexus
vagus sehngga akan menyebabkan rasa nyeri pada epigastrium
4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan?
SGPT 176 U/L
Normalnya : 7-56 mikro/L
SGOT 148 U/L
Normalnya : 5-40 miu/L
HbsAg (+) artinya suatu serum terinfeksi oleh virus hepatitis B akut. Yang pertama muncul
setelah di infeksi. Bisa hilang dalam 4-6 bulan. Bisa saja muncul hasil lab lainnya yang
muncul setelah HbsAg hilang

5. Bagaimana pendekatan klinis dan penegakkan diagnosis pada pasien?


Gejala hep B akut : nyeri tekan, hepatomegaly, gejala sistemik (nausea, demam, ikterik)
Hepatosplenomegaly, malaise, kelelahan, ikterik
Pemfis : pembesaran dan nyeri tekan hepar, sklera ikterik
PP : lab urin, darah bilirubin, HbsAg, SGPT, SGOT, ALT

6. Bagaimana tatalaksana yang tepat pada pasien ini?


Lini pertama :
Entekafir
Tenofivir dipoxil fumarate
Lini kedua :
lamivudin
adefovir

Suportif non f
Tirah baring
Nutrisi adekuat
Untuk demam diberi ibuprofen (paracetamol kerja di hepar maka bisa memperparah)

STEP 4
1. Mengapa pasien mengeluh tubuh lemas, demam hilang timbul, nyeri perut, nausea,
penurunan nafsu makan, berat badan menurun, dan BAK berwarna seperti the pekat?
Urin seperti the : warna urin didapat dari bilirubin yang dihasilkan oleh hepar yang dibagi
menjadi b. direct dan indirect. Pasien mengalami gangguan suplai darah pada paru yang akan
menyebabkan kerusakan pada hepar sehingga tidak sempurna menjadi direct bil, bisa juga
menjadi obtruksi hepar yang menyebakan ganguan pada empedu. Peningkatan kadar bilirubin
dalam darah menjadi urin warna the karena garam empedu yang mengandung bilirubin di
ekskresikan melalui ginjal yang dimana normalnya warna urin berwana kuning jernih.
Adanya gangguan pada hepar dapat terasa sakit karena adanya infeksi pada hepar karena virus
yang biasa menyerang adalah virus Hepatitis. Saat adanya infeksi dapat muncul demam, nafsu
makan menurun karena rasa tidak nyaman yang ditimbulkan dari infeksi hepar.
Pasien terinfeksi hepB/lainnya. Virus masuk berdiam diri di hepatosit akan berinvasi akan
terjadi kerusakan sel hepar. Lalu akan menimbulkan sampah dari sel yang mati akan
mengaktivasi sistem imun, kemudian memanggil mediator inflamasi lalu terjadi inflamasi.
Maka yang akan timbul adalah nyeri perut karena inflamsi. Apabila inflamasi berlangsung
lama akan masuk kedalan sirkulasi darah akan menyebabkan deman, nausea, vomiting.
Hepatosit masuk pem.darah akan menyebabkan isi hepatosit yang terdapat ALT, SGPT,
SGPT, hal ini lah yang menyebabkan peningkatan serum tersebut meningkat dalam darah
Respons inflamasi local yang pertama menyebakan nyeri perut kanan atas. Setelah virus
masuk berhubungan dengan respon imun innate selama beberpa jam awal. Sel hepatotosit
yang terinfeksi akan mengaktivasi sitokin antivirus akan meningkatkan interferon dan
menyebabkan deman, nausea, vomit. Sel th meningkat.
Urin seperti the disebabkan karena inflamasi cepat pada hepat yyg mengangganggu
metabolism hepar dimana akan terjadi peningkatan bilirubin pada aliran darah yang masuk
kedalan ginjal
Hepar yang mendesak organ lain dapat menyebabkan nausea, vomiting, dll.

2. Bagaimana hubungan Riwayat penyakit liver dengan keluhan pasien saat ini?
Penyakit liver suatu penyakit pearadangan pada hati. Dapat terjadi karena infeksi, pola hidup
kurang sehat, Riwayat sakit terdahulu yang kambuh. Apabila terjadi suatu penyakit hati maka
adanya kerusakan pada organ tersebut.
Infeksi virus hepatitis > hepatitis A-E
Kebiasaan pola hidup mengonsumsi alcohol dapat terjadi, alcoholic liver disease, sirosis
hepar, cancer hepar
Bisa terjadi karena infeksi sebelumnya karena suatu organ akan menutrun jka pernah
terinfeksi.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan :
Hubungan seksual
Alcohol

Hubungan dengan Riwayat


Suatu proses dinamis yang melibatkan virus dan sistem imun. hepB di tandai dengan HbsAg
diikuti dengan peningkatan enzim transferase
Muncul 2-6 minggu setelahnya
Hep A dan E = fecal oral
Hep B dan C = seks dan jarum suntik
Hep A, D, E = self limiting
Hep B komplikasi menjadi hepB kronis, sirosis hati, perdarahan esofagus, keganasan hepar

3. Mengapa pada pemeriksaan fisik diapat sklera ikterik, ektremitas jaundice dan nyeri tekan
epigastrium?
Ikterik sklera dan ektremitas jaundice terjadi karena obstruksi aliran empedu extra hepatik,
Nyeri epigastrium berhubungan dengan infeksi virus yang menyerang liver. Saat di infeksi
akan muncul hepatosit menyebabkan nflamasi liver dan menyebabkan nyeri epigastrium
Hepar inflamasi akan terjadi penurunan b.conjucnc akan menyebabkan deposisi karena
b.unconjunc meningkat
Sel fagositik dan stelata ,,,, akan mengalami pembesaran hepar akan menekan serabut plexus
vagus sehngga akan menyebabkan rasa nyeri pada epigastrium
Jaundice disebabkan aliran empedu, pre hepatic, post hepatic karena … seldarah merah
berlebihan.
Sal empedu …hepatic : bilirubin terkonjunggasi akan tertahan di hepar dan akan
menyebabkan kerusakan sel hepar dan obtruksi kanalikuli empedu (akan mengurangi aliran
bilirubin kedalam …). Warna urin berubah warna gelap adalah awal sbelum icterus muncul,
lebih gelap
Tinja hitam/abu seperti dempul disebabkan karena ekskresi bilirubin kedalam lumen usus
terganggu.
Nyeri tekan epigastrium disebabkan karena inflamsi hepar akan meningkatkan aliran darah,
sel stelata pada hepar dan akan menyebabkan pembesaran hepar. Saaat hepar membesar akan
meregangkan kapsula Glisson akan meningkatkan tekanan pada struktur disekitar hepar.

4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan?


SGPT 176 U/L
Normalnya : 7-56 mikro/L
SGOT 148 U/L
Normalnya : 5-40 miu/L
HbsAg (+) artinya suatu serum terinfeksi oleh virus hepatitis B akut. Yang pertama muncul
setelah di infeksi. Bisa hilang dalam 4-6 bulan. Bisa saja muncul hasil lab lainnya yang
muncul setelah HbsAg hilang.
HbsAg (+), muncul pertama 2-10 minggu lalu ALT muncul. Dapat hilang dalam 4-6 bulan
akan muncul antihbs.
Pada kondisi jarang hbs positis dapat terinfeksi Kembali hepB
hbsAg persisten maka menderita HepB kronis
serologi tergantung waktu dan onset
SGOT dan SGPT naik karena serum dalam hepatosit akan menyebar dalam darah. S
mengkatalis oksaloasetat menjadi mbh….
Meningkat karena ada kerusakan hati. Meningkat 20x dari normal maka
SGOT SGPT selain untuk hepar dapat dijadikan penegakkan diagnosis ACS
Anti HbsAg menandakan pasien sudah pernah terinfeksi hepB

5. Bagaimana pendekatan klinis dan penegakkan diagnosis pada pasien?


Gejala hep B akut : nyeri tekan, hepatomegaly, gejala sistemik (nausea, demam, ikterik)
Hepatosplenomegaly, malaise, kelelahan, ikterik
Pemfis : pembesaran dan nyeri tekan hepar, sklera ikterik
PP : lab urin, darah bilirubin, HbsAg, SGPT, SGOT, ALT
Fase pre-ikterik : 1-2 minggu, gejala yang muncul nausea, batuk, demam. Muntah, malaise,
atralgia, myalgia, sakit kepala.
Fase ikterik : skelara ikterik, penurunan BB, hapatomegali, spleenomegali, nyeri kuadran
kanan atas
Fase konvalesen : gejala menghilang, namun masih hepatomegaly, peningkatan biokimia
hepar

6. Bagaimana tatalaksana yang tepat pada pasien ini?


Lini pertama :
Entekafir
Tenofivir dipoxil fumarate
Lini kedua :
lamivudin
adefovir

Suportif non f
Tirah baring
Nutrisi adekuat
Untuk demam diberi ibuprofen (paracetamol kerja di hepar maka bisa memperparah)
Farmako:
Peg-IFN 2a 180 mg inj
Lamivudine 100 mg
Telbivudine 600 mg
Entecavir 0,5-1 mg PO
Tenofovir 300 mg

Suportif
Tirah baring
Nutrisi terpenuhi adekuat
Dapat self limiting, namun dapat jadi kronis

MIND MAP
STEP 5
1. Penegakkan diagnosis gangguan pada hepar (etiologi, preventif, klasifikasi, patofisiologi,
Pendekatan klinis, Tata Laksana farmako dan non farmako, komplikasi, prognosis) dan
a. Hepatitis A, B, C, D, E (Interpretasi pemeriksaan serologi)
b. Sirosis hati
c. Abses hati amoeba
d. Abses hati piogenik
e. Fatty Liver
f. Ca Hepar (Hematoma)
2. Mekanisme metabolisme bilirubin direct dan indirect.
Refleksi Diri
Alhamdulillah PBL hari ini berjalan dengan lancar semoga kedepannya menjadi lebih lancar lagi.

STEP 6
Belajar Mandiri

STEP Etiologi 7

Patofisiologi Anamnesis

Penegakkan
Pemriksaan Fisik
Hepatitis B Diagnosis
Serologi
Pemeriksaan
Penunjang
Biokimia Hati
Farmakologi
Tatalaksana
Non Farmakologi
1. Penegakkan diagnosis gangguan pada hepar (etiologi, faktor resiko, preventif,
klasifikasi, patofisiologi, Pendekatan klinis, Tata Laksana farmako dan non farmako,
komplikasi, prognosis)
a. Hepatitis A
1) Etiologi
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27 nanometer dengan
bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil, termasuk golongan
pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang dapat menimbulkan hepatitis
pada manusia. Dengan mikroskop electron terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya
memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A.1
2) Faktor resiko
Penularan VHA melalui minuman atau makanan terkontaminasi, virus ini
ditemukan pada tinja pasien terinfeksi 2-3 minggu sebelum dan 1 minggu setelah
pasien terlihat kuning. VHA dalam jumlah yang bermakna tidak ditemukan pada
saliva, urin ataupun semen. Sebagian besar penularan secara fecal-oral, terdapat
riwayat kontak dekat dengan penderita terinfeksi selama tinja pasien tersebut
bersifat infeksius. Hal ini dapat menjelaskan mengapa sering terjadi wabah yang
sifatnya institusional misalnya di sekolah atau pada tempat penitipan anak.
Viremia VHA bersifat berkala (transient) maka penularan VHA melalui darah
sangat jarang, oleh karena itu tidak dilakukan skrining/ tapisan rutin terhadap
VHA pada darah donor.
3) Patofisiologi
Virus hepatitis A terdapat pada feses selama 3-6 minggu selama masa
inkubasi, dapat memanjang pada fase awal kerusakan hepatoselular pada pasien yang
simptomatik maupun yang asimptomatik. Penempelan virus paling maksimal terjadi
pada sast terjadinya korusakan hepatoselular, selama periode dimana indvidu yang
terinfeksi berada dalam fase yang paling infeksius.
Virus hepatitis A sangat stabil pada lingkungan dan bertahan hidup pada
suhu 60°C selama 60 menit. Tetapi menjadi tidak aktif pada suhu 81°C setelah
pemanasan selama 10 menit Virus hepaitis A dapat bertahan hidup. pada feses, tanan,
makanan, dan air yang terkontaminasi. Virus hepatits A resisten terhadap deteren dan
pH yang rendah selama transisi menuju lambung.
Selama dicerna di saluran pencernaan, virus hepatitis A berpenetrasi ke
dalam mukosa lambung dan mulai bereplikasi di kripti sel epitel intestin dan
mencapai hati melalui pembuluh darah portal. Sebagian kultur sel yang mengandung
strain virus hepatitis A menunjukkan strain virus hepatitis A yang sitopatik, tetapi
virus hepatitis A wild-type bersifat non-sitopatik pada hepatosit manusia yang
terinfeksi.
Mekanisme interaksi antara sel virus dan pejamu belum sepenuhnya diketahui.
Studi lainnya menunjukkan virus hepatitis A masuk ke hepatosit sebagai kompleks
virus-IgA melalui reseptor asialoglikoprotein hepatoselular. Setelah masuk ke dalam
sitoplasma hepatosit, virus tersebut bereplikasi di hati dan menempel pada feses
melalui kanalikuli bilier dan dalam aliran darah dalam jumiah yang lebih sedikit.
Infeksi virus hepatitis A berhubungan dengan respon imun selular, yang
berperan dalam imunopatogenesis infeksi virus hepatitis A dan induksi kerusakan
hepatosit. Kerusakan hepatosit terjadi melalui aktivasi sel T sitolitik spesifik terhadap
virus hepatitis A. Dari hasil hepatosit yang terinfeksi, yang didapatkan dari biopsi,
menunjukkan adanya sel T CD8+ yang secara spesifik dapat melisiskan virus hepatitis
A. Terbatasnya bukti keterlibatan sistem imun alami (innate immunity) pada infeksi
virus hepatitis A menunjukkan sekresi interferon gamma melalui sel T yang
teraktivasi, yang memfasilitasi ekspresi HLA kelas I determinan pada permukaan
hepatosit yang terinfeksi. Epitope sel T sitolitik pada protein struktural virus hepatitis
A dapat terfibat pada proses sitolitik hepatosit yang terinfeksi virus hepatitis A.
Seperti yang tampak pada Gambar 15-9, antibodi imunoglobulin M (IgM)
menyerang VHA yang ada di dalam darah pada saat timbulnya gejala.Deteksi
terhadap antibodi IgM VHA merupakan alat diagnostik yang terbaik pada
penyakit ini. Antibodi IgG bersifat persisten hingga fase penyembuhan dan
menjadi pertahanan tubuh primer untuk terjadinya reinfeksi.
VHA memiliki masa inkubasi ±4 minggu. Replikasi virus dominasi terjadi
pada hepatosit. meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses, dan darah.
Antigen VHA dapat ditemukan pada feses pada 1-2 minggu sebelum dan I
minggu setelah awitan penyakit. Fase akut penyakit ditandai dengan peningkatan
kadar aminotransferase serum. ditemukan antibodi terhadap VAH (IgM anti-
VAH). dan munculnya gejala klinis Jaundice). Selama fase akut, hepatosit yang
terinfeksi umumnya hanya mengalami perubahan morfologi yang minimal; hanya
<I% yang menjadi fulminan. Kadar lgM anti-VAH umumnya bertahan kurang dari 6
bulan, yang kemudian digantikan oleh lgG anti-VAH yang akan bertahan seumur
hidup. lnfeksi VHA akan sembuh secara spontan, dan tidak pernah menjadi kronis
atau karier.
4) Penegakkan Diagnosis
Manifestasi Klinis
Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik) :
Ditemukan gejala konstitusional seperti anoreksi, mual dan muntah, malaise, mudah
lelah, atralgia, mialgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis, atau batuk. Perasaan mual,
muntah, dan anoreksia seringkali terkait dengan perubahan pada penghidu dan
pengecapan. Dapat pula timbul demam yang tidak terlalu tinggi. Perubahan
warna urin menjadi lebih gelap dan feses menjadi lebih pucat dapat ditemukan 1-5
hari sebelum fase ikterik.
Fase ikterik :
Gejala konstitusional umumnya membaik, namun muncul gambaran klinis
jaundice, nyeri perut kuadran kanan atas (akibat hepatomegali) , serta penurunan
berat badan ringan. Pada 10-20% kasus, dapat ditemukan splenomegali dan adenopati
servikal. Fase ini berlangsung antara 2-12 minggu.
Fase perbaikan (konvalesens):
Gejala konstitusional menghilang, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati
masih ditemukan. Nafsu makan kembali dan secara umum pasien akan merasa
lebih sehat. Perbaikan klinis dan parameter laboratorium akan komplit dalam 1-2
bulan sejak awitan ikterik. Namun, sebanyak <I% kasus menjadi hepatitis fulminan,
yakni munculnya ensefalopati dan koagulopati dalam 8 minggu setelah gejala
pertama penyakit hati.

Pemeriksaan Penunjang
 Serologi hepatitis A:
- lgM anti-VHA positif menandakan infeksi hepatitis A akut
- lgG anti-VHA positif menandakan infeksi lampau {riwayat hepatitis A)
 Biokimia hati:
- Kadar ALT umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan kadar AST pada fase
ikterik.
- Kadar bilirubin umumnya >2,5 mg/dL apabila ditemukan klinis ikterik pada
sklera atau kulit.
- Kadar bilirubinjarang >10 mg/ dL, kecuali bila ada penyerta kolestasis.

Diagnosis
Diagnosis hepatitis A akut ditegakkan dengan ditemukannya IgM anti-VHA.
Anti-HAY positif tanpa keberadaan IgM menunjukkan infeksi lampau.

5) Tata Laksana
Sebagian besar kasus hepatitis A mengalami resolusi spontan tanpa antiviral dan
terapi umumnya bersifat suportif:
1. Terapi farmakologis, berupa pemberian analgesik, antiemetik, maupun
antipruritus. Pemberian antiemetik berupa metoklopramid atau domperidon
tidak merupakan kontraindikasi, tetapi dianjurkan dosisnya tidak melebihi 3-4 g/
hari.
2. Terapi non-farmakologis:
a. Dukungan asupan kalori dan cairan secara adekuat. Tidak dibutuhkan
larangan diet spesifik.
b. Hindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang dapat terakumulasi di hati.
c. Pada fase akut, sebaiknya pasien istirahat total di tempat tidur (tirah
baring) dan kembali beraktivitas setidaknya setelah 10 hari dari awitan
ikterik. Hindari aktivitas fisis yang berlebihan dan berkepanjangan,
tergantung derajat kelelahan dan malaise.
3. Profilaksis
Sampai saat ini, pemberian imunoglobulin merupakan cara utama untuk mencegah
infeksi virus hepatitis A pada individu yang sangat rentan dengan paparan, maupun
orang yang baru terkena paparan infeksi virus hepatitis A. Penggunaan
imunoglobulin pada anak usia 2 tahun belum dapat disetujui. Bila imunoglobulin
diberikan dalam 2 minggu pasca paparan, maka efektivitas proteksinya sebesar
85%. Imunoglobulin diberikan secara intramuskular, dosis tunggal sebanyak 0,02-
0,06 mi/kg. Dosis yang rendah efektif untuk proteksi selama 3 bulan, sedangkan
pada dosis yang lebih tinggi efektif selama enam bulan.
6) Komplikasi dan Prognosis
Umumnya pasien akan membaik secara sempurna tanpa ada sekuel klinis. Sekitar
I 0-15% kasus dapat mengalami relaps dalam 6 bulan setelah fase akut selesai, namun
tidak ada potensi untuk menjadi kronis. Meski sangat jarang, risiko hepatitis
fulminan (gaga! hati akut) ditemukan meningkat pada individu berusia >40 tahun
atau dengan penyerta penyakit hati lanjut. Gaga! hati akut merupakan suatu
kondisi penurunan fungsi hati secara cepat dan masif. ditandai dengan perubahan
status mental (ensefalopati) dan koagulopati (INR > 1,5) yang terjadi dalam 8
minggu setelah awitan penyakit hati. Angka mortalitas sangat tinggi pada kasus
fulminan.

b. Hepatitis B
1) Etiologi
Hepatitis B merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang dapat
bersifat akut atau kronis. Menurut Data WHO 2014, lebih dari 240 juta penduduk
di dunia mengalami infeksi VHB kronis, dan lebih dari 780.000 orang per tahun
meninggal akibat komplikasi infeksi VHB akut maupun kronis. Indonesia sendiri
termasuk negara endemis VHB. Virus Hepatitis B merupakan virus DNA yang
termasuk golongan Hepadnaviridae, yang mempunyai empat buah open reading frame:
inti, kapsul, polimerase, dan X. Gen inti mengkode protein nukleokapsid yang penting
dalam membungkus virus dan HBeAg.
2) Faktor resiko
Tingginya prevelansi tersebut sebagian besar diakibatkan oleh infeksi perinatal
(transmisi vertikal) dan sebagian kecil terjadi secara horizontal. yakni melalui
kontak langsung cairan tubuh (darah dan produk darah, saliva, cairan
serebrospinal, cairan peritoneum, cairan pleura, cairan amnion. semen, cairan
vagina. dan sebagainya).
3) Patofisiologi
Virus ini akan masuk ke dalam tubuh dan tubuh akan memberikan suatu respons
cedera inflamasi di sel sel tubuh khususnya virus hepatitis pada sel sel hepatosit.
Respons inflamasi local pertama menyebabkan pasien nyeri perut pada abdomen
kuadran kanan atas.


Segera setelah virus masuk ke dalam tubuh maka awal respon tersebut berhubungan
dengan imunitas innate pada liver mengingat respon imun ini dapat terangsang dalam
waktu pendek, yakni beberapa menit sampai beberapa jam.


Terjadi pengenalan sel hepatosit yang terinfeksi oleh natural killer cell (sel NK) pada
hepatosit maupun natural killer sel T (sel NK-T) yang kemudian memicu
teraktivasinya sel-sel tersebut dan menginduksi sitokin-sitokin antivirus, termasuk
diantaranya interferon (terutama IFN-α).


Kemudian akan segera muncul alfa interferon yang akan mengaktifkan peran sel
Narural Killer (NK).* Meningkatnya jumlah interferon alfa ini akan menyebabkan
keluhan panas badan/demam, malaise, dan mual. Reaksi sel radang seperti limfosit
T helper CD4 muncul dan akan meningkat setelah mengalami sensitisasi terhadap
peptide nukleokapsid.


Kerusakan sel helper yang terinfeksi oleh HBV discbabkan karena adanya ekspresi
antigen pada membran hepatosit yang disertai dengan ekspresi molekul MHC kelas 1
yang kemudian dikenal oleh sel T sitotoksik. Sehingga akhimya terjadi lisis dari
hepatosit tersebut.*


Kemudian ketika respon cedera inflamasi menyerang hepat maka otomatis akan
mengganggu organ sistem empedu/biliaris yang meningkatkan kadar bilirubin dan
juga menyebabkan kulit menjadi kuning dan urine menjadi gelap.

4) Penegakkan diagnosis
Manifestasi klinis
Fase pre-ikterik (1 -2 minggu sebelum fase ikterik):
Gejala konstitusional seperti anoreksia. mual, muntah, malaise. keletihan,
artralgia, mialgia, sakit kepala. fotofobia, faringitis, dan batuk. Dapat disertai dengan
demam yang tidak terlalu tinggi.
Fase ikterik:
Gejala prodromal berkurang, namun ditemukan sklera ikterik dan penurunan berat
badan. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan hepatomegali yang disertai nyeri tekan
di area kuadran kanan atas abdomen. Dapat ditemukan splenomegali, gambaran
kolestatik, hingga adenopati servikal. Hanya kurang dari 1 % kasus hepatitis B akut
yang menjadi gagal hati akut.
Fase perbaikan (konvalesens):
Gejala konstitusional menghilang, namun masih ditemukan hepatomegali dan
abnormalitas pemeriksaan kimia hati.

Pemeriksaan Penunjang
- Serologi hepatitis B (Lihat Tabel 2)
Interpretasi serologi hepatitis B
 HBsAg dan anti-HBs
Pada hepatitis B akut, HBsAg muncul di serum dalam waktu 2-10 minggu
setelah paparan virus, sebelum onset gejala dan peningkatan kadar ALT. Pada
sebagian pasien dewasa, HBsAg hilang dalam waktu 4-6 bulan. Anti-HBs
dapat muncul beberapa minggu setelah serokonversi HBsAg. Setelah
serokonversi HBsAg menjadi anti-HBs, HBV-DNA masih dapat dideteksi pada
hati, dan respon sel T spesifik terhadap virus hepatitis B dapat dijumpai pada
beberapa dekade berikutnya. Adanya HBsAg yang persisten lebih dari 6 bulan
menunjukkan bahwa pasien menderita infeksi hepatitis B kronik. HBsAg dan
anti-HBs dapat dijumpai secara bersamaan pada individu yang sama pada 10-
25% kasus. Fenomena tersebut muncul lebih sering pada pasien dengan
hepatitis B kronik dibandingkan pada hepatitis B akut. Pada keadaan ini
biasanya titer antibodi rendah. Pada pasien yang terdapat HBsAg dan anti-HBs
bersamaan, pasien tersebut dianggap menderita infeksi virus hepatitis B, dan
adanya anti-HBs tidak mempengaruhi aktivitas penyakit dan hasil akhir
penyakit tersebut. HBeAg yang persisten lebih dari 3 bulan setelah onset
penyakit jarang terjadi dan menunjukkan progresivitas menjadi hepatitis B
kronik.
 Anti-HBs dan IgM anti-HBc
Pada hepatitis B akut, periode antara hilangnya HBsAg dan munculnya anti-
HBs dikenal dengan periode jendela (window period). Pada periode ini,
HBeAg negatif dan HBV-DNA biasanya tidak terdeteksi. Penanda satu-
satunya yang positif adalah IgM anti-HBc, suatu antibodi terhadap antigen
hepatits B core. Sehingga IgM anti-HBc merupakan penanda serologis paling
penting pada hepatitis B akut. IgM anti-HBc biasanya bertahan 4-6 bulan
selama hepatitis B akut, dan jarang persisten sampai 2 tahun. Meskipun IgM
anti-HBc merupakan penanda hepatitis B akut, penanda tersebut juga dapat
positif selama hepatitis B kronik yang mengalami eksaserbasi akut. IgG anti-
HBc merupakan penanda paparan hepatitis B. Penanda tersebut positif baik
pada hepatitis B kronik dan pasien yang telah sembuh dari hepatitis B akut.
Pada kasus pasien yang telah sembuh dari hepatitis B akut, biasanya penanda
tersebut disertai dengan adanya anti-HBs yang positif.

- Biokimia hati. Pemeriksaan ALT, AST,gamma-glutamyl transpeptidase (GGT),


alkalin fosfatase. bilirubin, albumin, globulin, serta pemeriksaan darah perifer
lengkap dan waktu protrombin. Umumnya akan ditemukan ALT yang lebih
tinggi dari AST, tetapi seiring berkembangnya penyakit menuju sirosis, rasio
tersebut akan
berbalik. Bila
sirosis telah
terbentuk, akan
tampak penurunan
progresif albumin,
peningkatan
globulin, dan
pemanjangan waktu
protrombin yang
disertai penurunan jumlah trombosit. Pada pasien hepatitis B kronis, perlu
dilakukan pemeriksaan a -fetoprotein untuk mendeteksi karsinoma hepatoseluler.
- USG dan biopsi hati untuk menilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis pada kasus
infeksi kronis dan sirosis hati.
- Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain. bila diperlukan, termasuk
kemungkinan ko-infeksi hepatitis C dan/ a tau HIV.
5) Tata Laksana
Umumnya bersifat suportif, meliputi tirah baring, serta menjaga agar asupan
nutrisi dan cairan tetap adekuat. Sekitar 95% kasus hepatitis B akut akan
mengalami resolusi dan serokonversi spontan tanpa terapi antiviral. Bila terjadi
komplikasi hepatitis fulminan, maka dapat diberikan lamivudin 100-1 50 mg/ hari
hingga 3 bulan setelah serokonversi atau setelah muncul anti-HBe pada pasien HBsAg
positif.
6) Komplikasi dan Prognosis
Hepatitis kronis
Sirosis hati

c. Hepatitis C
1) Etiologi
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal berselubung
glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm, yang dapat diproduksi
secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal ini dikarenakan HCV
merupakan virus dengan RNA rantai positif). Hanya ada satu serotipe yang dapat
diidentifikasi, terdapat banyak genotipe dengan distribusi yang bervariasi di seluruh
dunia, misalnya genotipe 6 banyak ditemukan di Asia Tenggara.
2) Faktor Resiko
Pengguna obat injeksi {67%); Resipien darah atau produk darah di fasilitas de-ngan
kontrol infeksi tidak adekuat; Anak yang lahir dari ibu terinfeksi VHC. Tingkat
transmisi VHC perinatal ialah 4-8% (tanpa koinfeksi HIV) atau 17-25% {dengan
koinfeksi HIV); Individu yang berhubungan seksual dengan pengidap Hepatitis C
3) Patofisiologi
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh HCV masih belum jelas
karena terbatasnya kultur sel untuk HCV. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya
mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan selsel hati.
Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi pelepasan radikal
oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu berinteraksi pada mekanisme
signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan
apoptosis.
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit dan
mengikat suatu reseptor permukaan yang spesifik (reseptor ini belum diidentifikasi
secara jelas). Protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang
memainkan peranan masuknya virus. Protein khusus virus yaitu protein E2 nenempel
pada receptor site di bagian luar hepatosit. Virus dapat membuat sel hati
memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup
fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi.
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya
eliminasi menyeluruh pada infeksi akut. Reaksi inflamasi yang dilibatkan meliputi
rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang
disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan tenang (quiescent)
kemudian berploriferasi menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat
menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dab berperan aktif
menghasilkan sitokin pro-inflamasi. Proses ini berlangsung terus-menerus sehingga
dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.

4) Penegakkan diagnosis
Manifestasi klinis
Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum ikterik}.
Gejala prodromal berupa anoreksia, mual dan muntah. kelemahan, malaise, artralgia,
mialgia. demam, sakit kepala, fotofobia, faringitis, serta batuk dan flu. Satu
hingga 5 hari sebelum kuning. dapat muncul warna urin yang lebih gelap dan
feses berwarna pucat.
Fase ikterik.
lkterus sering disertai dengan hepatomegali dan nyeri di kuadran kanan atas.
Gambaran klinis hepatitis virus akut pada umumnya tidak jauh berbeda, kecuali durasi
keluhan pasca ikterik lebih panjang pada hepatitis B dan C akut.
Fase perbaikan (konvalesens)
Pemeriksaan Penunjang
1. Penanda serologis hepatitis C (metode ELISA atau chemiluminescent
immunoassay
[CLIA]) Apabila didapatkan anti-VHC positif. maka individu dinyatakan
terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan RNA VHC (lihat
Tabel 1). Namun, hasil anti-HIV negatif palsu dapat ditemukan pada HIV,
pasien hemodialisis, dan pengguna imunosupresan. Pada kelompok pasien
tersebut. dianjurkan untuk selalu memeriksa RNA VHC. Selain untuk diagnosis,
pemeriksaan RNA VHC juga digunakan untuk memantau terapi antivirus. Oleh
sebab itu, RNA VHC sebaiknya diukur dengan metoderealtime PCR yang mampu
mendeteksi VHC hingga muatan virus minimal <50 IU/ mL untuk dual terapi
dan < 15 IU/ mL untuk tripel terapi.
2. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT, AST,gamma-glutamyl transpeptidase (GGT} ,
alkalin fosfatase, bilirubin. albumin, globulin, serta pemeriksaan darah perifer
lengkap dan waktu protrombin.
3. USG dan biopsi hati. Menilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis pada kasus
infeksi kronis dan sirosis hati.
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain. bila diperlukan, termasuk
kemungkinan ko-infeksi hepatitis B dan/atau HIV

5) Tata Laksana
Hepatitis C Akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik dari pada pasien
Hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Interferon dapat digunakan secara
monoterepi tanpa ribavirin dan lama terapi hanya 3 bulan. Namun sulit untuk
menentukan menentukan infeksi akut VHC karena tidak adanya gejala akibat virus ini
sehingga umumnya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Kronik adalah
dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila genotif I
dan IV, maka terapi diberikan 48 minggu dan bila genotip II dan III, terapi cukup
diberikan 24 minggu.

6) Komplikasi dan Prognosis


Hepatitis C kronis. Umumnya asimtomatis. dapat juga berupa gejala tidak spesifik
seperti malaise dan keletihan. Pada kondisi lanjut, dapat ditemui tanda, gejala.
serta komplikasi sirosis hati yang mudah dikenali: edema ekstremitas. asites,
hematemesis-melena, perubahan status mental, dan sebagainya

d. Hepatitis D
1) Etiologi
Disebut juga virus hepatitis delta, VHD merupakan virus RNA yang unik di mana
kemampuan replikasinya tidak lengkap; VHD dapat menginfeksi manusia
hanya apabila virus ini diselubungi oleh HBsAg, walaupun secara taksonomi
berbeda dengan VHB. Penggandaan VHD secara absolut bergantung adanya
koinfeksi dengan VHB.
2) Patofisiologi
Mekanisme kerusakan sel-sel hati akibat infeksi VHD belum jelas benar.
Masih diragukan, bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung
terhadap hepatosit. Replikasi genom VHD justru dapat menghalangi pertumuhan
sel, karena replikasu VHD memerlukan enzim yang diambil dari sel inang. Diduga
kerusakan hepatosit pada hepatitis D akut terjadi akibat jumlah HDAg-S yang
berlebihan di dalam hepatosit. VHB juga berperan penting sebagai kofaktor yang
dapat menimbulkan kerusakan hepatosit yang lebih lanjut.
Infeksi hepatitis delta dapat melalui dua mekanisme (1) koinfeksi akut terjadi
setelah terpapar pada serum yang mengandungi VHB dan VHD; (2) super
infeksi terjadi pada individu carrier VHB kronik yang kemudian terinfeksi
oleh VHD. Koinfeksi dapat terjadi ketika VHB sudah cukup Iama
keberadaannya dan telah memproduksi HBsAg dalam jumlah yang cukup untuk
membentuk virion VHD sehingga di dalam darah carrier terdapat VHB dan
VHD, telah diketahui pula bahwa pada sebagian besar penderita koinfeksi
dapat sembuh dan virus dapat tereliminasi dengan sendirinya. Sebaliknya
sebagian besar penderita super infeksi menunjukkan progresifitas yang cepat
hingga lanjut menjadi hepatitis kronik berat dalam waktu 4-7 minggu kemudian.
RNA VHD dan antigen VHD (HDVAg) dapat terdeteksi di dalam darah dan
jaringan hati sebelum dan pada awal timbulnya gejala akut. Antihodi IgM
anti HDV merupakan indikator yang paling dapat diandalkan bahwa baru-
baru ini telah terjadi infeksi virus, petanda tersebut muncul dalam kadar
yang tinggi hanya dalam waktu singkat segera setelah periode paska infeksi.
Deteksi koinfeksi akut VHD dan VHB yang terbaik yaitu dengan mengukur
antibodi IgM HDVAg dan HBcAg (menyatakan adanya infeksi baru VHB).

3) Penegakkan diagnosis
Manifestasi klinis
Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi VHB.
Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi, superinfeksi dan
laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara simultan
dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada pasien infeksi
kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan baik hepatitis akut B maupun
hepatitis akut D. Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh spontan.
Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%. Masa inkubasi hepatitis
akut D sekitar 3-7 minggu. Keluhan pada masa preikterik biasanya merasa lemah,
tak suka makan, mual, keluhan-keluhan seperti flu. Fase ikterus ditandai dengan
feses pucat, urine berwarna gelap dan bilirubin serum meningkat. Keluhan
kelemahan umum dan mual dapat bertahan lama bahkan pada fase penyembuhan.
Superinfeksi VHD pada hepatitis kronik B biasanya akan menimbulkan hepatitis
akut berat, dengan masa inkubasi pendek, dan kira-kira 80% pasien akan berlanjut
menjadi hepatitis kronik D. Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat,
progresif, dan sering berlanjut menjadi sirosis hati.

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis secara serologi :
Infeksi melalui darah.
A. Pasien HBsAg positif dengan:
a) Anti HDV dan atau anti HDV RNA sirkulasi (pemeriksaan belum
mendapat persetujuan)
b) IgM anti HDV dapat muncul sementara.
B. Koinfeksi HBV/HDV
a) HBsAg positif
b) IgM anti HBc positif
c) Anti HDV dan atau HDV RNA
C. Superinfeksi
a) HBsAg positif
b) IgG anti HBc positif
c) Anti HDV dan atau HDV RNA
D. Titer anti HDV akan menurun sampai tak terdeteksi dengan adanya perbaikan
infeksi.

4) Tata Laksana
Vaksinasi hepatitis B dapat mencegah infeksi hepatitis D. dan sampai daat ini
vaksin hepatitis D belum ditemukan.

e. Hepatitis E
1) Etiologi
VHE adalah virus RNA herpes virus rantai tunggal tidak berkapsul. Antigen
spesifik, AgVHE dapat ditemukan di dalam sitoplasma hepatosit selama masa
infeksi aktif, virus juga dapat ditemukan pada tinja, dan anti VHE IgG dan 1gM
dapat terdeteksi di dalam serum. HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-
34 mm. Pada manusia hanya terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima
genotipe utama. Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame)
mengkode protein struktural dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi
HEV. Virus dapat menyebar pada sel embrio diploid paru akan tetapi replikasi
hanya terjadi pada hepatosit.5
2) Faktor Resiko
Virus hepatitis E transmisinya secara enterik, penularan lewat air ditemukan
terutama pada bayi di atas umur 1 tahun. VHE secara endemik ditemukan di
India, penularannya terjadi melalui air minum yang terkontaminasi tinja. Tingkat
prevalensi anti antibodi VHE IgG mencapai 40% populasi di India. Epidemi
juga dilaporkan di Asia, sekitar gurun Sahara di Afrika dan Meksiko. Infeksi
sporadik jarang, infeksi sporadik terutama terjadi pada pelancong dan lebih
dari 50% kasus hepatitis virus akut sporadik ditemukan di India. Pada sebagian
besar kasus infeksi ini sembuh dengan sendirinya. Pada sebagian besar kasus
penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya. VHE tidak menyebabkan
penyakit hati kronik atau viremia yang menetap. Karakteristik infeksi ini
memperlihatkan martaIitasnya tinggi pada wanita hamil mencapai 20% kasus.
Periode inkubasi rata-rata 6 minggu setelah pemaparan

3) Patofisiologi
Pada keadaan biasa, tak satupun virus hepatitis bersifat sitopatik langsung
terhadap hepatosit, tetapi merupakan respon imunologik dari host. Lesi morfologik
dari semua tipe hepatitis sama, terdiri dari infiltrasi sel PMN pan lobuler, terjadi
nekrosis sel hati, hiperplasia dari sel-sel kupffer dan membentuk derajat kolestasis
yang berbeda-beda. Regenerasi sek hati terjadi, dibuktikan dengan adanya
gambaran mitotik, sel-sel multinuklear dan pembentukan rosette atau
pseudoasinar. Infiltrasi mononuklear terjadi terutama oleh limfosit kecil, walaupun
sel plasma dan sel eosinofil juga sering tampak. Kerusakan sel hati terdiri dari
degenerasi dan nekrosis sel hati, sel dropout, ballooning dan degenerasi asidofilik
dari hepatosit. Masih belum jelas peranan antibodi IgM dan lama waktu antibodi
IgG yang terdeteksi dalam kaitannya dengan imunitas.

4) Penegakkan diagnosis
Manifestasi klinis
Spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai
kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut. 2. Sindrom klinis mirip pada
semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal yang tidak spesifik dan gejala
gastrointestinal, seperti: malaise, anoreksia, mual dan muntah. Gejala flu,
faringitis, batuk, sakit kepala dan myalgia.
Gejala awal cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV 4. Demam
jarang ditemukan, kecuali pada infeksi HAV. 5. Gejala prodromal menghilang
pada saat timbul kuning, tetapi gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat
menetap. 6. Icterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus
(biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika icterus meningkat. 7.
Pemeriksaan fisik menunjukan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati. 8.
Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien.

Pemeriksaan fisik
Kelainan pada pemeriksaan fisik baru terlihat saat fase ikterik. Tampak
ikterus pada kulit maupun di selaput lendir. Selaput lendir yang mudah dilihat ialah
di sklera mata, palatum molle, dan frenulum lingua. Pada umumnya tidak ada
mulut yang berbau (foeter hepatikum) kecuali pada penderita hepatitis yang berat
misalnya pada hepatitis fulminan. Sangat jarang ditemukan spider nevi, eritema
palmaris, dan kelainan pada kuku (liver nail), jika ditemukan pada fase ikterik
tanda tersebut akan menghilang pada fase konvalesen.
Hati teraba sedikit membesar (sekitar 2-3 cm dibawah arkus koste dan
dibawah tulang rawan iga) dengan konsistensi lembek, tepi yang tajam dan sedikit
nyeri tekan terdapat pada + 70% penderita. Ditemukan fist percussion positif
(dengan memukulkan kepala tangan kanan pelan-pelan pada telapak tangan kiri
yang diletakkan pada arkus kostarum kanan penderita dan penderita merasakan
nyeri). Kadang-kadang.4
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis hepatitis E pada pemeriksaan serologis dengan metode ELISA seperti
anti-HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR serum dan kotoran untuk mendeteksi
HEV-RNA serta immunofluorescent terhadap antigen HEV di serum dan sel hati. 5

5) Tata Laksana
Tidak ada tatalaksana yang khusus
Perawatan Suportif
a) Pada periode akut dan dalam keadaan lemah diharuskan cukup istirahat.
Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari.
b) Manajemen khusus untuk hati dapat dapat diberikan sistem dukungan untuk
mempertahankan fungsi fisiologi seperti hemodialisis, transfusi tukar,
extracorporeal liver perfusion, dan charcoal hemoperfusion.
c) Rawat jalan pasien, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan
menyebabkan dehidrasi sebaiknya diinfus. Perawatan yang dapat dilakukan di
rumah, yaitu :
- Tetap tenang, kurangi aktivitas dan banyak istirahat di rumah
- Minum banyak air putih untuk menghindari dehidrasi
- Hindari minum obat yang dapat melukai hati seperti asetaminofen dan obat
yang mengandung asetaminofen
- Hindari minum minuman beralkohol
- Hindari olahraga yang berat sampai gejala-gejala membaik.

f. Sirosis hati
1) Etiologi
Sirosis hati adalah tahap paling akhir dari seluruh tipe penyakit hati kronik. Sirosis hati
adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan proses peradangan, nekrosis sel
hati, usaha regenerasi dan terbentuknya fibrosis hati yang difus, dengan terbentuknya
nodul yang mengganggu susunan lobulus hati.6 Klasifikasi etiologi lebih serig dipakai.
Mayoritas penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hati kronis yang
disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan
kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari penyakit hati
kronis diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis), penyakit autoimun yang
menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik
seperti Wilson’s disease, penyakit granulomatosa (sarcoidosis), efek toksisitas obat
(methotrexate dan hipervitaminosis A), dan obstuksi aliran vena seperti sindrom Budd-
Chiari dan penyakit veno-oklusif.
Di Amerika Serikat, kecanduan alkohol adalah penyebab yang paling sering dari
sirosis hati. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus hepatitis B merupakan
penyebab tersering dari sirosis hati yaitu sebesar 40-50% kasus, diikuti oleh virus
hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak diketahui
penyebabnya dan termasuk kelompok virus bukan B dan C.

2) Faktor resiko
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi sering disebutkan
antara lain :
 Faktor Kekurangan Nutrisi
Negara Asia faktor gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya
sirosis hati. Dari hasil laporan Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hati
di Yogyakarta ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita
kekurangan protein hewani , dan ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang
berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli,
petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah
menengah.
 Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi
sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
 Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan
berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
 Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang orang
muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari
seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.
 Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
a) Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe
b) Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderita dengan
penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan
menyebabkan timbulnya sirosis hati.
 Sebab-Sebab Lain
a) Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis
sentrilobuler
b) Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu
akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kaum wanita.
c) Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris. Dari data yang ada di
Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-50% kasus, sedangkan
hepatitis C dalam 30-40%. Sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui
dan termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C.
3) Patofisiologi

Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi
minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi
gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada
sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang
utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun
demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan
minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan
konsumsi alkohol yang tinggi.6
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding
individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan
meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat
memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon
tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang
menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada
wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun.
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan selsel hati yang uniform, dan
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadangkadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama
akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan
sirosis alkoholik.

4) Penegakkan Diagnosis
Manifestasi klinis
Pada pasien sirosis dapat datang ke dokter dengan sedikit keluhan, tanpa keluhan,
atau dengan keluhan penyakit lain. Manifestasi klinik dari sirosis hati disebabkan
oleh dua hal utama yaitu disfungsi hepatoselluler yang progressif dan hipertensi
portal.6
Gejala dan tanda seperti mudah lelah,penurunan berat badan , mual, muntah,
jaundice dan hepatomegali adalah akibat dari difungsi hepatoselular. Disertai pula
dengan gejala dan tanda ekstrahepatik seperti palmar erytema, spider angioma,
pembesaran kelenjar parotis dan lakrimalis, ginekomastia, gangguan menstruasi serta
gangguan perdarahan.
Pada pasien sirosis dapat mengalami keluhan dan gejala klinis akibat komplikasi
dari sirosis hatinya. Pada beberapa pasien komplikasi ini dapat menjadi gejala
pertama yang membawa pasien datang ke dokter. Pasien sirosis dapat tetap berjalan
kompensata selama bertahun-tahun, sebelum berubah menjadi dekompensata yang
dapat dikenal daritimbunya bermacam. komplikasi seperti hipertensi portal yang
menyebabkan asites, ensepalopati, splenomegali, varises esophagus yang dapat
menyebabkan hematemesis dan melena.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan penderita yang tampak kesakitan dengan nyeri
tekan pada regio epigastrium. Terlihat juga tandatanda anemis pada kedua
konjungtiva mata dan ikterus pada kedua sklera. Pada daerah abdomen, ditemukan
perut yang membesar pada seluruh regio abdomen dengan tanda-tanda ascites seperti
pemeriksaan shifting dullness positif. Hati, lien, dan ginjal sulit untuk dievaluasi
karena besarnya ascites dan nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pada ekstremitas juga
ditemukan adanya edema pada kedua tungkai bawah.Sintesis albumin turun sesuai
perburukan sirosis. Hal ini berperan menimbukan oedem dan ascites karena albumin
berperan dalam tekanan onkotik plasma.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
a) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan
anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin
ada sebagai akibat hiperplenisme.
b) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
c) Albumin serum menurun
d) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
e) Pemanjangan masa protombin
f) Glukosa serum : hipoglikemi
g) Fibrinogen menurun
h) BUN meningkat

Pemeriksaan diagnostik
a) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal
b) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus
c) USG
d) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta
e) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
f) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
5) Penatalaksanaan
A. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang
teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak
secukupnya
B. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
a) Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol
akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi
kalori (300 kalori), kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk
menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan pemberian D
penicilamine dan Cochicine.
b) Hemokromatis
c) Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi
(desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama
setahun.
d) Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
C. Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a) Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali
sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/
hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari.
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga
4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b) Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau
melena saja)
- Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui
apakah perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung.
- Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas
100 x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan
pemberian dextrose/ salin dan tranfusi darah secukupnya.
- Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin
pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
c) Ensefalopati
- Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada
hipokalemia
- Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai
- Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada
varises
- Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi
sistemik
- Transplantasi hati
- Peritonitis bakterial spontan Diberikan antibiotik pilihan seperti
cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida
- Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik Mengatur keseimbangan cairan
dan garam.7

g. Abses hepar
1) Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh suatu
mikroorganisme yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan
adanya pembentukan pus hati sebagai proses invasi dan multiplikasi yang masuk
secara langsung dari cedera pembuluh darah atau sistem ductus biliaris. Abses hati
yang paling banyak ditemukan yaitu piogenik, kemudian amoebic ataupun campuran
infeksi dari keduanya.
2) Klasifikasi
Abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amuba (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).
AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering
dijumpai di daerah tropik /subtropik, termasuk Indonesia. Abses hati amuba
disebabkan oleh protozoa Entamoeba hystolitica, yang mana endemik di negaranegara
tropis atau yang sedang berkembang. Sedangkan AHP merupakan kasus yang relatif
jarang.
3) Etiologi
a) Abses hati amebic
Abses hati amebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba hystolitica yang
tinggi. Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis mengeluarkan
tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya terjadi setelah
meminum air atau memakan makanan yang terkontaminasi kotoran yang
mengandung tropozoit atau kista tersebut.
b) Abses hati piogenik
Abses hati pyogenik dapat disebabkan infeksi dapat berasal dari sistem porta
dan hematogen melalui arteri hepatika. Infeksi yang berasal dari abdomen dapat
mencapai hati melalui embolisasi melalui vena porta. Infeksi intraabdomen ini
biasanya berasal dari appendisitis, divertikulitis, inflammatory bowel disease dan
pylephlebitis. Sementara itu infeksi secara hematogen biasanya disebabkan oleh
bakteremia dari endokarditis, sepsis urinarius, dan intravenous drug abuse.
Abses piogenik disebabkan oleh Enterobactericeae, Microaerophilic
streptococci, Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumoniae, Bacteriodes,
Fusobacterium, Staphilococcus aereus, Staphilococcus milleri, Candida albicans,
Aspergillus, Eikenella corrodens, Yersinis enterolitica, Salmonella thypii, Brucella
melitensis dan fungal.
4) Faktor resiko

5) Patofisiologi
a) Abses amebic
Parasit ditularkan melalui jalur fekal-oral dengan menelan minuman atau
makan yang mengandung kista Entamoeba histolytica. Bentuk kista yang patogen
dapat melewati lambung dan berdisintegrasi di dalam usus halus, melepaskan
trofozoit dan bermigrasi ke kolon. Selanjutnya trofozoit beragregasi di lapisan
musin usus dan membentuk kista baru. Lisis dari epitel kolon dipermudah oleh
galaktosa dan N-asetil-D-galaktosamin (Gal/GalNAc)-lektin spesifik yang dimiliki
trofozoit, sehingga menyebabkan neutrofil berkumpul di tempat infasi tersebut.
Ulkus pada epitel kolon merupakan jalur amuba masuk ke dalam sistem vena
portal dan menyebabkan penyebaran ekstraintestinal ke peritoneum, hati dan
jaringan lain.
Organ hati merupakan lokasi penyebaran ekstraintestinal yang paling sering.
Amuba bermultiplikasi dan menutup cabang-cabang kecil vena portal intrahepatik
menyebabkan nekrosis dan lisis jaringan hati. Diameter daerah nekrotik bervariasi
dari beberapa milimeter sampai 10 cm. Abses hati amuba biasanya soliter dan
80% kasus terletak di lobus kanan. Abses mengandung pus steril dan jaringan
nekrotik hati yang encer berwarna coklat kemerahan (anchovy paste). Amuba pada
umumnya terdapat pada daerah perifer abses.
b) Abses hati piogenik
Mikroorganisme dapat masuk ke dalam hati melalui sirkulasi portal, sirkulasi
sistemik dan stasis empedu akibat obstruksi duktus bilier. Sumber tersering
penyebab terjadinya abses hati piogenik adalah penyakit pada sistem saluran bilier
yaitu sebanyak 42,8%. Kolangitis akibat batu atau striktur merupakan penyebab
yang paling sering, diikuti oleh divertikulitis atau apendisitis.
Penurunan daya tahan tubuh memegang peran penting terjadinya abses hati.
Kejadian yang paling sering adalah bakteremia vena portal dari proses infeksi intra
abdomen seperti abses apendiks dan abses akibat tertelan benda asing. Pada 15-
50% kasus abses piogenik tidak ditemukan fokus infeksi yang jelas yang disebut
dengan abses kriptogenik. Abses pada lobus kanan hati lebih sering bersifat
kriptogenik, sedangkan abses pada lobus kiri hati lebih sering berhubungan dengan
hepatolitiasis.9
6) Manifestasi klinis
a) Abses amebic
Pasien dapat merasakan gejala sejak beberapa hari hingga beberapa minggu
sebelumnya. Nyeri perut kanan atas merupakan keluhan yang menonjol, pasien
tampak sakit berat, dan demam. Gejala abses hati amuba secara umum bersifat
nonspesifik, 72% pasien mengeluh demam dan nyeri di perut kanan atas. Selain
itu anoreksia ditemukan pada 39% kasus dan penurunan berat badan pada 29%
kasus. Pada pemeriksaan fisis, 83% kasus dilaporkan demam dan 69% dengan
hepatomegali yang disertai nyeri tekan. Ikterik jarang terjadi.
b) Abses piogenik
Pada awal perjalanan penyakit, gejala klinis seringkali tidak spesifik.
Gambaran klasik abses hati piogenik adalah nyeri perut terutama kuadran kanan
atas (92%), demam yang naik turun disertai menggigil (69%), penurunan berat
badan (42%), muntah (43%), ikterus (21%) dan nyeri dada saat batuk (51%). Pada
63% kasus, gejala klinis muncul selama kurang dari dua minggu. Awitan abses
soliter cenderung bertahap dan seringkali kriptogenik. Abses multipel berhubungan
dengan gambaran sistemik akut dan penyebabnya lebih bisa diidentifikasi.
Hati teraba membesar dan nyeri bila ditekan pada 24% kasus. Adanya
hepatomegali disertai nyeri pada palpasi merupakan tanda klinis yang paling dapat
dipercaya. Beberapa pasien tidak mengeluh nyeri perut kanan atas atau
hepatomegali dan hanya terdapat demam tanpa diketahui sebabnya. Ikterus hanya
terjadi pada stadium akhir kecuali jika terdapat kolangitis supuratif.

7) Diagnosis
a) Anamnesis
- Keluhan awal abses hati dapat berupa:
- Demam/menggigil T > 38oC,
- Nyeri abdomen seperti tertusuk dan ditekan kadang didapatkan penjalaran ke
bahu dan lengan kanan,
- Anokresia/malaise,
- Batuk disertai rasa sakit pada diafragma,
- Mual/muntah,
- Penurunan berat badan,
- Keringat malam,
- Diare maupun riwayat disentri beberapa bulan sebelumnya.

Dicurigai adanya abses hati pyogenik apabila ditemukan sindrom klinis klisik
berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dengan kedua tangan diletakan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan
keluhan yang paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen, dan disertai dengan keadaan syok. Apabila abses hati pyogenik letaknya
dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada
bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan.

Hal lainnya yang perlu dinilai dalam anamnesis abses hati adalah riwayat
hepatitis sebelumnya dan riwayat keluarnya proglottid (lembaran putih di pakaian
dalam) dengan tujuan menyingkirkan diagnosa banding.

b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien abses Hati baik pyogenik maupun amoebik
didapatkan pembesaran hati. Tanda ikterik kadang juga didapatkan, tetapi biasanya
pada fase lanjut, pada pasien ini didapatkan tanda-tanda ikterik. Ikterik pada abses
Hati pyogenik terjadi jika terdapat kolangitis supuratif, sedangkan pada abses Hati
amoebik jarang terjadi.
c) Pemeriksaam pennjang
Pemeriksaan amebic
Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan jumlah sel
polimorfonuklear sekitar 70-80%, peningkatan laju endah darah, anemia ringan,
peningkatan alkali fosfatase dan kadar bilirubin. Uji fungsi hati pada umumnya
normal. Feses dapat mengandung kista, pada disentri ditemukan trofozoit
hematofagus. Kista positif pada feses hanya ditemukan pada 10-40% kasus.
Foto dada menunjukkan hemidiafragma kanan terangkat dengan atelektasis
atau pleural efusi. Sensitivitas ultrasonografi dan CT scan untuk mendeteksi abses
hati amuba adalah 85% dan 100%. Uji serologis dapat membantu menegakkan
diagnosis abses hati amuba, antara lain IHA (indirect hemagglutination antibody),
EIA (enzyme immunoassay), IFA (indirect immunolfuoresent antibotic), LA (latex
agglutination), AGD (agar gel diffusion), dan CIE (counter
immunoelectrophoresis). Antibodi hemaglutinasi indirek terhadap Entamoeba
histolytica telah banyak digunakan dan meningkat pada 90% pasien. Sensitivitas
IHA pada keadaan akut 7080%, sedangkan pada masa konvalesen > 90%.
Kekurangan IHA selain hasil tes diperoleh terlalu lama, hasilnya juga tetap positif
selama 20 tahun sehingga dapat memberi gambaran penyakit infeksi sebelumnya
dan bukan infeksi yang akut. Saat ini IHA telah digantikan oleh EIA yang dapat
mendeteksi antibodi E.histolytica baik IgG maupun imunoglobulin total. Uji
serologis ini relatif lebih sederhana, mudah dilakukan, cepat, stabil dan murah
harganya serta memiliki sensitivitas 99% dan spesifisitas > 90%. Titer positif dapat
bertahan beberapa bulan hingga tahunan setelah sembuh sehingga di daerah
endemik nilai diagnostiknya berkurang.

Pemeriksaan Piogenik
Leukositosis ditemukan pada 66% pasien, sering disertai dengan anemia akibat
infeksi kronis dan peningkatan laju endap darah. Kadar alkali fosfatase biasanya
meningkat, hipoalbuminemia dan kadar enzim transaminase yang sedikit
meningkat.
Foto polos dada dan abdomen memperlihatkan pembesaran hati, kadangkala
tampak air fluid level di dalam rongga abses dan diafragma kanan biasanya
terangkat. Hampir semua kasus abses hati dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
ultrasonografi dan CT scan. Kedua teknik pencitraan ini dapat menentukan lokasi
abses yang berukuran minimal 1 cm di parenkim hati. Ultrasonografi mempunyai
angka sensitivitas 94% sedangkan sensitivitas CT scan 99%. Meskipun demikian,
ultrasonografi adalah metode pencitraan yang direkomendasikan karena cepat,
noninvasif, cost effective, dan dapat juga digunakan sebagai pemandu aspirasi
abses untuk diagnostik dan terapi. Ultrasonografi dan CT scan juga dapat
digunakan untuk memantau keberhasilan terapi. Pemantauan abses secara serial
dengan ultrasonografi atau CT scan hanya dilakukan jika pasien tidak memberi
respons yang baik secara klinis.
Pemeriksaan biakan abses dapat menemukan bakteri patogen pada 86% kasus,
hasil biakan steril ditemukan pada 14% kasus. Bakteri aerob gram negatif
ditemukan tumbuh pada 70% kasus dan yang paling sering adalah Escherichia coli.
Pemeriksaan biakan darah memberikan hasil positif pada 57% kasus.

8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara konvensional adalah dengan drainase terbuka secara operasi
dan antibiotika spektrum luas oleh karena bakteri penyebab abses terdapat di dalam
cairan abses yang sulit dicapai dengan antibiotika tunggal tanpa aspirasi cairan abses.
Penatalaksanaan saat ini adalah dengan drainase perkutaneus abses intraabdominal
dengan tuntutan abdomen ultrasound atau tomografi komputer, komplikasi yang bisa
terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intra abdominal dan infeksi, atau malah
terjadi kesalahan dalam penempatan kateter drainase. Kadang pada abses hati piogenik
multipel diperlukan reseksi hati.
a) Terapi Non-Farmakologi
 Makan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
- Karbohidrat 40-50 kkal/kgBB
- Protein 1-1,5 g/kgBB
 Makanan dalam bentuk lunak
 Bed rest
 Menghindari faktor risiko yang dapat memperberat, misalnya konsumsi
alkohol.9

b) Terapi Farmakologi
Terapi pada pasien dengan abses hati, dapat diberikan:
a) Pemberian antibiotic
Tabel 9. Farmakoterapi Abses Hati pada Dewasa dan Anak.
Jenis Obat Dosis Dewasa Dosis Anak-anak Efek Samping
Agen amoebisid
Metronidazole PO 750 mg 3x1 PO 30-50 mg/kg/hari Psikosis, kejang,
selama 5-10 hari 3x1 selama 5-10 hari neuropati perifer

IV 500 mg 4x1 IV 15 mg/kg diikuti


selama 5-10 hari dengan 7,5 mg/kg
4x1 (dosis
maksimum 2250
mg/hari)
Chloroquine (terapi PO 600 mg/hari 10 mg/kg Diare, kram abdomen
adjuvan) selama 2 hari, 300 cardiotoxicity,
mg/hari selama 14 kejang, dan hipotensi
hari
Tinidazole 2 mg/hari selama 3-5
hari
Agen luminal
Paromomycin PO 25-30 mg/kg/hari PO 25 mg/kg/hari Diare
3x1 selama 7 hari 3x1 selama 7 hari
(dosis maksimum 2
gr/hari)
Iodoquinol PO 650 mg 3x1 PO 30-40 mg/kg/hari Kontraindikasi pada
selama 20 hari 3x1 (dosis pasien dengan
maksimum 2 gr/hari) insufisiensi hepatik
atau hipersensitif
terhadap iodine
Diloxanide furoate PO 500 mg 3x1 PO 20 mg/kg/hari
(indikasi mutlak pada selama 10 hari 3x1
pasien yang tidak
respon iodoquinol
dan paromomycin)

Antibiotik
Meropenem IV 500-1000 mg 3 x IV 10-40 mg/kg 3x1 Nyeri lokasi injeksi,
(Merrem) 1 pada keadaan berat gangguan
dosis dapat gastrointestinal,
ditingkatkan hingga gangguan liver,
2000 mg pusing, kejang
Iminipenem dan IV 500-1000 mg 3-4 IV 15-25 mg/kg 2-4 Nyeri lokasi injeksi,
cilastatin na x 1 x1 gangguan
(Primaxin) (dosis maksimum 4 gastrointestinal,
gr/hari) gangguan liver,
gangguan renal,
gangguan hematologi
Cefuroxime (Ceftin) PO 250-500 mg/hari IV/IM 50-100 Gangguan
pada keadaan berat mg/kg/hari 3x1 hematologi,
dapat ditingkatkan gangguan
hingga 1000 mg 2x1 gastrointestinal,
IV/IM 750 mg 3x1 reaksi lokal injeksi
Cefaclor (Ceclor) PO 750 mg/hari PO 10-15 mg/kg/ 2-3 Gangguan
x1 gastrointestinal,
gangguan hematologi
Klindamisin PO 150-300 mg 4x1 PO 8-16 mg/kg/hari Gangguan
(Cleocin) pada infeksi serius 3-4 x1 pada infeksi gastrointestinal,
PO 300-450 mg 4x1 serius gangguan liver,
PO 16-20 mg/kg/hari gangguan renal,
3-4 x1 gangguan hematologi
Agen Anti-jamur
Amfoterisin B PO 0,3-0,5 mg/kg Demam, menggigil,
(AmBisome) selama 6 minggu toksik pada ginjal
atau dapat
dilanjutkan hingga 3-
4 bulan
Flukonazol PO 150 mg dosis IV 3-12 mg/kg/hari Hepatotoksisitas,
(Diflucan) tunggal (dosis maksimum gangguan
(dosis maksimum 600 mg/hari) gastrointestinal,
600 mg/hari) gangguan hematologi
Pemberian antibiotik dengan kombinasi:
a) Aspirasi tertutup, dengan indikasi:
- Abses dikhawatirkan akan pecah (bila diameter > 5 cm untuk abses tunggal,
dan > 3 cm untuk abses multipel)
- Respon terhadap medikamentosa setelah 7 hari tidak ada
- Abses di lobus kiri, warning pecah dan menyebar ke rongga perikardium
maupun peritoneum.9
Aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan
menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko
ruptur pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa
nyeri hebat dan elevasi diafragma. Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan
metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan. Aspirasi bisa
dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi
sehingga dapat mencapai ssaran yang tepat. Aspirasi dapat dilakukan secara
berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter
penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik
untuk mencegah infeksi sekunder.
b) Drainase kateter perkutan
Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum,
dan perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter
dengan diameter yang besar untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada
rongga abses setelah dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.
c) Drainase pembedahan – laparoskopi, dengan indikasi:
- Abses disertai komplikasi infeksi sekunder
- Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal
- Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil
- Ruptur abses ke dalam rongga intra-peritoneal/pleural/perikardial
Kontraindikasi operasi pada abses hepar antara lain:
- Abses multipel
- Infeksi poli-mikrobakteri
- Immunocompromise disease.
d) Hepatektomi
Dewasa ini dilakukan hepatektomi yaitu pengangkatan lobus hati yang
terkena abses. Hepatektomi dapat dilakukan pada abses tunggal atau multipel,
lobus kanan atau kiri, juga pada pasien dengan penyakit saluran empedu. Tipe
reseksi hepatektomi tergantung dari luas daerah hati yang terkena abses juga
disesuaikan dengan perdarahan lobus hati.

h. Fatty Liver
1) Etiologi
Menurut American Associated for the study of Liver Disease (AASLD) memiliki
syarat yaitu :
- adanya bukti terdapatnya steatosis hepatik, baik dari pencitraan maupun dari
histologi; dan
- tidak adanya penyebab sekunder akumulasi lemak pada hati seperti konsumsi
alkohol yang bermakna, penggunaan obat-obatan yang bersifat steatogenik
maupun kelainan herediter.

Secara histologi, NAFLD dikelompokan lagi menjadi non-alcoholic fatty liver


(NAFL) dan non-alcoholic steatohepatitis (NASH). NAFL didefinisikan sebagai
adanya steatosis hepatik tanpa adanya bukti kerusakan hepatoseluler dalam bentuk
hepatosit yang berbentuk seperti balon atau disebut juga sebagai simple stetosis.
Sedangkan NASH didefinisikan sebagai adanya steatohepatik dan peradangan dengan
adanya kerusakan hepatoseluler (seperti ‘balon’) dengan atau tanpa fibrosis. NAFLD
sendiri memiliki hubungan erat dengan kondisi medis lain seperti sindroma metabolik,
obesitas, penyakit kardiovaskular serta diabetes.

Sebagian besar penderita NAFLD adalah disebabkan atau berhubungan erat dengan
satu atau beberapa komponen sindroma metabolik (SM), yaitu resistensi insulin,
intoleransi glukosa atau diabetes mellitus; obesitas sentral; dislipidemia; dan
hipertensi.1 Sehingga dapat dianggap NAFLD merupakan manifestasi hati pada
penderita SM. Kriteria SM yang terbaru dan secara luas digunakan pada adalah kriteria
International Diabetes Federation (IDF), tahun 2005. Kriteria IDF 2005 adalah terdiri
atas lima komponen, yaitu: obesitas sentral (ditetapkan secara spesifik tergantung
etnik/ bangsa), trigliserid tinggi (atau dalam terapi spesifik), kolesterol HDL rendah
(atau dalam terapi spesifik), tekanan darah tinggi (dalam terapi atau pernah didiagnosis
hipertensi), dan gula darah puasa tinggi (atau didiagnosis DM tipe 2). Diagnosis SM
ditegakkan bila didapatkan minimal 3 dari 5 komponen tersebut positif.

2) Faktor resiko
NAFLD dianggap merepresentasikan komponen hepatik dari sindroma metabolik
berupa obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin, diabetes, hipertrigliserida dan
hipertensi. Diabetes tipe 2 merupakan komponen utama dari sindroma metabolik dan
berkaitan dengan obesitas maupun NAFLD.
Resistensi insulin memainkan peran besar pada patogenesis NAFLD dimana
ditemukan bahwa resistensi ringan sangat umum terjadi pada stadium awal NAFLD
dan semakin berat resistensi insulin (diabetes tipe 2) berhubungan dengan semakin
beratnya stadium dari NAFLD
Obesitas dikatakan sangat erat berkaitan dengan NAFLD, namun jelas bahwa tidak
seluruh individu dengan obesitas memiliki NAFLD kerena prevalensinya masih
berkisar 20-90%. Studi lain menunjukkan bahwa NAFLD juga terjadi pada subjek
tanpa obesitas dan hal ini umum terjadi pada pasien dengan kelainan lipodistrofi
kongenital atau didapat, yang ditandai dengan kurangnya jumlah jaringan adiposa.
Penemuan-penemuan tersebut menunjukkan bahwa obesitas dan NAFLD merupakan
konsekuensi yang sama dari suatu kelainan lain yang mendasari, atau bahwa obesitas
meningkatkan resiko perkembangan NAFLD setelah pajanan penyebab tertentu, misal
alkohol. Kadar konsumsi alkohol yang dianggap aman untuk individu normal dapat
berbahaya untuk individu dengan obesitas.
3) Patogenesis
Resistensi insulin, stres oksidatif dan inflamasi dipercaya memainkan peran pada
patogenesis dan progresi NAFLD. Hipotesis ‘multi-hit’ (yang dulunya disebut sebagai
‘two-hit’) telah digunakan dalam menjelaskan patogenesis NAFLD. Resistensi insulin
menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas yang diabsorbsi oleh hati,
menghasilkan keadaan steatosis sebagai hit pertama (first hit). Hal tersebut dilanjutkan
dengan berbagai interaksi kompleks (multiple second hit) yang melibatkan sel hati, sel
stelata, sel adiposa, sel kupfer, mediator-mediator inflamasi dan reactive oxygen
species yang dapat menyebabkan inflamasi (NASH) atau berlanjut sirosis.
Resistensi insulin menginisiasi hit pertama. Keadaan resistensi insulin menyebabkan
sel adiposa dan sel otot cenderung mengoksidasi lipid, yang menyebabkan pelepasan
asam lemak bebas. Asam lemak lalu diabsorbsi oleh hati, menghasilkan keadaan
steatosis. Asam lemak bebas di dalam hati dapat terikat dengan trigliserida atau
mengalami oksidasi di mitokondria, peroksisom atau mikrosom.
Produk-produk hasil oksidasi sifatnya berbahaya dan dapat menyebabkan cedera
pada hati yang selanjutnya dapat berlanjut menjadi fibrosis.3 Peroksidasi lipid dan
stres oksidatif meningkatkan produksi hidroksineonenal (HNE) dan malondialdehid
(MDA) yang meningkatkan fibrosis hati melalui aktivasi oleh sel stelata yang
menyebabkan peningkatan produksi transforming growth factor-beta (TGF-ß).
Mediator-mediator inflamasi berperan pada progresi NAFLD. Faktor transkripsi
prionflamasi seperti nuclear factor kappa beta (NF-κß) sering ditemukan meningkat
pada pasien NASH. Adiponektin dan tumor necrosis factoralpha (TNF-α) merupakan
dua protein proinflamasi yang berkaitan dengan patogenesis NAFLD. Adiponektin
merupakan hormon yang dilepaskan oleh sel adiposa yang menurunkan oksidasi asam
lemak dan menghambat glukoneogenesis hepatik. Manusia maupun tikus
menunjukkan level adiponektin yang rendah dan berhubungan dengan peningkatan
derajat keparahan inflamasi. Pemecahan adiponektin pada tikus menunjukkan
peningkatan signifikan derajat steatosis dan inflamasi. TNF-α merupakan mediator
inflamasi yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag, serta juga diproduksi oleh sel
adiposa dan hepatosit. TNF-α menyebabkan cedera pada hati melalui inhibisi transport
elektron mitokondria dan pelepasan reactive oxygen species yang menstimulasi
peroksidasi lipid.
Inaktivasi sel Kupfer juga berkaitan pada NAFLD dan penurunan kapasitas
regenerasi sel hati. Eliminasi sel Kupfer diasosiasikan dengan peningkatan derajat
NASH. Fungsi sel Kupfer terganggu pada situasi peningkatan lemak hati yang
mungkin disebabkan karena sinusoid hati yang terlalu ‘penuh’ dan menyebabkan
paparan antigen berkepanjangan terhadap sel Kupfer serta penurunan aliran keluar sel
Kupfer, yang menyebabkan respon inflamasi yang menetap.

4) Manifestasi klinis
Pasien dengan NAFLD cenderung tidak memiliki gejala yang khas, beberapa
asimtomatik. Adapun keluhan yang sering muncul adalah keluhan pada perut kanan
atas dan intoleransi fisik, seperti mudah lelah dan sakit kepala. Kriteria sindrom
metabolik berdasarkan IDF dipilih karena kriteria ini adalah yang terbaru serta
memiliki pengukuran lingkar pinggang tersendiri untuk ras di Asia. Kumpulan gejala
sindrom metabolik yang dimiliki seseorang bisa menjadi pemeriksaan dini risiko
terhadap NAFLD.

5) Penegakan diagnosis
a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dan terdapat pada 30-100% pasien. Hepatomegali
merupakan hal yang paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan hati.
Sebagian kecil pasien juga menunjukkan tanda-tanda stigmata penyakit hati kronis,
dimana eritema palmar dan spider nevi adalah yang tersering. Jaundice, asites,
asteriksis dan tanda hipertensi portal dapat ditemukan apada pasien dengan sirosis
lanjut. Muscle wasting juga dapat ditemukan saat penyakit berlanjut namun sering
tersamar oleh keadaan edema atau obesitas yang telah ada sebelumnya.
b. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis NAFLD dapat ditegakkan baik secara histology (biopsi) maupun
melalui imaging. Keberadaan lemak >33% dianggap optimal untuk mendeteksi
perlemakan hati secara radiologis. Pada USG, perlemakan hati ditemukan sebagai
bright liver yang merupakan peningkatan echogenicity jika dibandingkan dengan
ginjal di dekatnya.

6) Penatalaksanaan
Vitamin E digunakan dalam tatalaksana NAFLD, namun bagaimana mekanisme
kerjanya masih belum diketahui. Vitamin E merupakan antioksidan yang mencegah
kerusakan sel melalui ikatannya dengan radikal bebas dan menetralisasi elektron yang
tidak berpasangan. Bila vitamin E berikatan dengan OO- atau O2, akan membentuk
struktur intermedietnya yaitu αtocopherylquinone. Vitamin E merupakan antioksidan
yang dapat menstabilkan membran-membran biologis melalui efek protektifnya
terhadap proses lipid peroksidase asam lemak tidak jenuh dan reaksi radikal bebas. α-
tokoferol merupakan bentuk vitamin E yang dapat dimetabolisme manusia,
menghambat produksi transforming growth factor beta 1 (TGF-β1) dan melemahkan
stimulasi sitokin terhadap sel-sel stelata yang menyebabkan fibrosis. Penelitian
Hasegawa dan kawankawan (2001) dengan memberikan vitamin E 300 mg per hari
selama 1 tahun memperlihatkan penurunan yang bermakna kadar TGF-β1, dan
normalisasi kadar enzi

i. Ca Hepar (Hepatoma)
1) Definisi
Karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah salah satu jenis keganasan hati primer
yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan kematian. Dari seluruh
keganasan hati, 80-90% adalah KHS.(1) Dua jenis virus yang dapat dikatakan menjadi
penyebab dari tumor ini adalah virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV).
2) Klasifikasi
Kanker hati bisa diklasifikasikan menjadi kanker hati primer dan kanker hati
metastatik. Kanker hati primer merupakan tumor ganas yang disebabkan oleh sel-sel
hati, dan dikenal secara umum sebagai "Karsinoma Hepatoseluler" dan
"Kolangiokarsinoma". Kanker hati metastatik merupakan kanker hati yang disebabkan
oleh penyebaran sel-sel kanker dari organ lain.

3) Etiologi
Penyebab karsinoma ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang terlihat :
a. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat,
baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV
terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan
proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas
protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubahan
hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi
menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak
langsung oleh kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau
akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat
HBV (Hussodo,2009). Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik
lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis
hati (HCC padahati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selul ar atau viral
tertentu oleh gen x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin
karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan proliferasi
hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui
mekanisme protektif dari apoptosis sel (Hussodo, 2009).
b. Virus Hepatitis C (HCV)
Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Afrika Selatan sekitar 30%
sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 -80%. Prevalensi anti HCV jauh lebih
tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg-negatif daripada HbsAg-positif. Pada
kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti HCV positif,
interval saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun.
Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi
kronik dan sirosis hati (Hussodo, 2009).
c. Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati.
Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan dengan
kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas. Semua tipe
sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan ini paling besar
pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan sirosis alkoholik (Hussodo,
2009).
d. Aflaktosian
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA
(Hussodo, 2009).
e. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC
melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis
hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV (Hussodo, 2009).
4) Faktor resiko
Faktor risiko utama karsinoma hepatoseluler di Indonesia adalah infeksi kronik
virus hepatitis B, virus hepatitis C dan sirosis hati oleh berbagai sebab. Risiko juga
dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan usia. Faktor risiko utama tersebut
dihubungkan dengan pemilihan populasi tertentu yang sebaiknya dilakukan
surveillance untuk karsinoma hepatoseluler dan berpengaruh terhadap prognosis.
Populasi terinfeksi virus hepatitis B yang berisiko tinggi mendapatkan karsinoma
hepatoseluler adalah: laki-laki pembawa hepatitis B pada ras Asia setelah berusia 40
tahun, perempuan pembawa hepatitis B ras Asia setelah berusia 50 tahun, pembawa
hepatitis B dengan riwayat keluarga karsinoma hepatoseluler, pasien hepatitis B ras
negro, sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis B. Populasi terinfeksi virus hepatitis C
yang digolongkan berisiko tinggi mendapatkan karsinoma hepatoseluler adalah sirosis
hati akibat infeksi virus hepatitis C. Semua sirosis hati apapun penyebabnya
mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan karsinoma hepatoseluler.
Jenis kelamin laki-laki merupakan faktor dominan untuk terjadinya KHS tanpa
dipengaruhi oleh perbedaan tempat tinggal pasien. Hal ini menunjukan bahwa pasien
KHS yang disebabkan Hepatitis B sejak lahir hingga dewasa tidak banyak melakukan
perpindahan dari desa ke kota atau sebaliknya.

5) Patofisiologi
Beberapa faktor patogenesis karsinoma hepatoseluler telah didefinisikan baru-
baru ini. Hampir semua tumor di hati berada dalam konteks kejadian cedera kronik
(chronic injury) dari sel hati, peradangan dan meningkatnya kecepatan perubahan
hepatosit. Respons regeneratif yang terjadi dan adanya fibrosis menyebabkan
timbulnya sirosis, yang kemudian diikuti oleh mutasi pada hepatosit dan berkembang
menjadi karsinoma hepatoseluler. HBV atau HCV mungkin ikut terlibat di dalam
berbagai tahapan proses onkogenik ini. Misalnya, infeksi persisten dengan virus
menimbulkan inflamasi, meningkatkan perubahan sel, dan menyebabkan sirosis.
Sirosis selalu didahului oleh beberapa perubahan patologis yang reversibel, termasuk
steatosis dan inflamasi; baru kemudian timbul suatu fibrosis yang ireversibel dan
regenerasi nodul. Lesi noduler diklasifikasikan sebagai regeneratif dan displastik atau
neoplastik. Nodul regeneratif merupakan parenkim hepatik yang membesar sebagai
respons terhadap nekrosis dan dikelilingi oleh septa fibrosis.
Selain proses di atas, pada waktu periode panjang yang tipikal dari infeksi (10-
40 tahun), genom virus hepatitis dapat berintegrasi ke dalam kromosom hepatosit.
Peristiwa ini menyebabkan ketidakseimbangan (instability) genomik sebagai akibat
dari mutasi, delisi, translokasi, dan penyusunan kembali (rearrangements) pada
berbagai tempat di mana genom virus secara acak masuk ke dalam DNA hepatosit.
Salah satu produk gen, protein x HBV (Hbx), mengaktifkan transkripsi, dan pada
periode infeksi kronik, produk ini meningkatkan ekspresi gen pengatur pertumbuhan
(growthregulating genes) yang ikut terlibat di dalam transformasi malignan dari
hepatosit.

6) Manifestasi klinis
Gambaran klinis berupa rasa nyeri tumpul umumnya dirasakan oleh penderita
dan mengenai perut bagian kanan atas, di epigastrium atau pada kedua tempat
epigastrium dan hipokondrium kanan. Rasa nyeri tersebut tidak berkurang dengan
pengobatan apapun juga. Nyeri yang terjadi terus menerus sering menjadi lebih hebat
bila bergerak. Nyeri terjadi sebagai akibat pembesaran hati, peregangan glison dan
rangsangan peritoneum. Terdapat benjolan di daerah perut bagian kanan atas atau di
epigastrium. Perut membesar karena adanya asites yang disebabkan oleh sirosis atau
karena adanya penyebaran karsinoma hati ke peritoneum.
Umumnya terdapat keluhan mual dan muntah, perut terasa penuh, nafsu makan
berkurang dan berat badan menurun dengan cepat. Yang paling penting dari
manifestasi klinis sirosis adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan terjadinya
hipertensi portal yang meliputi asites, perdarahan karena varises esofagus, dan
ensefalopati.

7) Penegakan diagnosis
a. Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis karsinoma hati diperlukan beberapa pemeriksaan
seperti misalnya pemeriksaan radiologi, ultrasonografi, computerized tomography
(CT) scan, peritoneoskopi dan pemeriksaan laboratorium. Deteksi lesi noduler hati
dengan imaging tergantung pada perbedaan yang kontras antara parenkim hati
normal dan lesi noduler. Adanya fibrosis dapat mempengaruhi sensitivitas dari
modalitas imaging sehingga dapat mengganggu deteksi dan karakterisasi tumor
hati.
 Ultrasonografi
Dengan ultrasonografi, gambaran khas dari KHS adalah pola mosaik,
sonolusensi perifer, bayangan lateral yang disebabkan pseudokapsul fibrotik,
dan peningkatan akustik posterior.(5) KHS yang masih berupa nodul kecil
cenderung bersifat homogen dan hipoekoik, sedangkan nodul yang besar
biasanya heterogen. Penggunaan ultrasonografi sebagai sarana screening untuk
mendeteksi tumor hati pada penderita dengan sirosis yang lanjut memberikan
hasil bahwa 34 dari 80 penderita yang diperiksa menunjukkan tanda-tanda
tumor ganas dan 28 di antaranya adalah KHS.(5) Ultrasonografi memberikan
sensitivitas sebesar 45% dan spesifisitas 98%.(5) Oleh karena sensitivitas tes
ini maka setiap massa yang terdeteksi oleh ultrasonografi harus dianggap
sebagai keganasan.(5) Karsinoma hati sekunder memberikan gambaran berupa
nodul yang diameternya kecil mempunyai densitas tinggi dan dikelilingi oleh
gema berdensitas rendah. Gambaran ini berbentuk seperti mata sapi.

 CT-scan dan angiografi


KHS dapat bermanifestasi sebagai massa yang soliter, massa yang dominan
dengan lesi satelit di sekelilingnya, massa multifokal, atau suatu infltrasi
neoplasma yang sifatnya difus. CT-scan telah banyak digunakan untuk
melakukan karakterisasi lebih lanjut dari tumor hati yang dideteksi melalui
ultrasonografi. CT-scan dan angiografi dapat mendeteksi tumor hati yang
berdiameter 2 cm. Walaupun ultrasonografi lebih sensitif dari angiografi dalam
mendeteksi karsinoma hati, tetapi angiografi dapat lebih memberikan kepastian
diagnostik oleh karena adanya hipervaskularisasi tumor yang tampak pada
angiografi. Dengan media kontras lipoidol yang disuntikkan ke dalam arteria
hepatika, zat kontras ini dapat masuk ke dalam nodul tumor hati. Dengan
melakukan arteriografi yang dilanjutkan dengan CT-scan, ketepatan diagnostik
tumor akan menjadi lebih tinggi.
 MR imaging
Magnetic resonance (MR) imaging umum digunakan secara rutin untuk
screening penderita-penderita dengan sirosis. Pada studi yang dilakukan oleh
Krinsky dkk(8) menguji sensitivitas dan spesifisitas dari sarana tes ini untuk
KHS dan nodul displastik pada sirosis hati. Hasil studi menunjukkan
sensitivitas untuk diagnosis KHS dilaporkan hanya sebesar 53% saja. Hal ini
disebabkan karena lesi-lesi yang tidak terdeteksi tersebut kebanyakan
mempunyai diameter kecil yaitu rata-rata 1,3 cm. Sebaliknya, nodul displastik
derajat tinggi meskipun dapat dideteksi namun terdiagnosis sebagai KHS
karena adanya arterial phase enhancement. Dengan demikian, diperlukan
kriteria lain selain arterial phase enhancement untuk membedakan nodul
displastik dari KHS yang kecil.
 Biopsi
Untuk pemastian diagnosis karsinoma hati, diperlukan biopsi dan
pemeriksaan histopatologi. Biopasi dilakukan terhadap massa yang terlihat
pada ultrasonografi, CTscan atau melalui angiografi. Biopsi aspirasi jarum
halus dapat dilakukan secara buta (blind). Ada kalanya dibutuhkan tindakan
laparoskopi atau laparatomi untuk melakukan biopsi.
 Uji faal hati
Karsinoma hati dapat menyebabkan terjadinya obstruksi saluran empedu
atau merusak sel-sel hati oleh karena penekanan massa tumor atau karena
invasi sel tumor hingga terjadi gangguan hati yang tampak pada kelainan
SGOT, SGPT, alkali fosfatase, laktat dehidrogenase. Gangguan faal hati ini
tidak spesifik sebagai petanda tumor. Alfafetoprotein (AFP) adalah suatu
glikoprotein dengan berat molekul sebesar 70,000. AFP disintesis oleh hati,
usus dan yolk sac janin. Pada manusia, AFP mulai terdeteksi pada fetus umur
6-7 minggu kehamilan dan mencapai puncaknya pada minggu ke-13. Pada bayi
yang baru lahir, kadarnya adalah sebesar 10,000 - 100,000 ng/ml, kemudian
menurun dan pada usia 250-300 hari kelahiran kadarnya sama dengan kadar
pada orang dewasa. Adanya peningkatan kadar AFP diduga karena sel-sel hati
mengalami diferensiasi menyerupai sel hati pada janin. AFP merupakan
petanda karsinoma hati.
8) Penatalaksanaan
Banyak faktor memegang peranan dalam penanganan KHS. Pertama, adanya
sirosis hati dalam berbagai tingkatan yang mengikuti KHS sedikit banyak
mempengaruhi pilihanpilihan pengobatan. Fungsi hati pada penderita-penderita KHS
dapat sangat bervariasi dari normal sampai dekompensasi. Sirosis dapat dijumpai pada
sekitar 90% dari semua kasus KHS.(11) Kedua, KHS menunjukkan perangai biologis
yang sangat bervariasi dari satu daerah dan daerah yang lain. Misalnya, di daerah
pedesaan Afrika Selatan, KHS mengenai penderita-penderita dalam usia yang lebih
muda dan sering baru terdiagnosis setelah tahap lanjut dan mempunyai durasi gejala-
gejala yang lebih singkat dibanding kasus-kasus di Amerika Utara.(10) Manifestasi
klinis pada penderitapenderita ini didominasi oleh gejala-gejala yang disebabkan oleh
tumornya sedangkan di Amerika Utara gejala-gejala sirosis tampil secara dominan
dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, protokol pengobatan yang dikembangkan di
suatu daerah atau negara mungkin tidak sesuai dan tidak optimal untuk daerah lainnya.
Secara umum, tatalaksana bedah (surgical management) seperti reseksi dan
transplantasi dianggap pengobatan yang ideal untuk KHS. Kemajuan teknik bedah dan
perawatan perioperatif telah mampu untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
akibat operasi, bahkan pada penderita-penderita sirosis. Dengan seleksi yang baik
terhadap penderita-penderita, 5-year survival rate pasca-reseksi dilaporkan dapat
mencapai sedikitnya 35%. Namun demikian, 70% dari penderita-penderita ini
mengalami rekurensi setelah reseksi “kuratif” ini, biasanya antara 18-24 bulan.
Meskipun penanganan terhadap karsinoma hepatoseluler secara operatif
dianggap ideal, tetapi banyak kesulitan dijumpai karena penderita-penderita umumnya
datang pada stadium yang sudah lanjut sehingga tidak dapat dilakukan reseksi dan
transplantasi. Selain itu, biaya operasi yang mahal, pemberian imunosupresi sepanjang
hidup serta sulitnya mendapatkan donor transplantasi merupakan suatu kendala yang
besar terutama di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, yang paling baik adalah
melakukan usaha-usaha pencegahan, terutama pencegahan terhadap penularan virus
hepatitis dan bila telah terjadi infeksi, mencegah kemungkinan terjadinya sirosis
postnecrotic sehingga dapat dicegah terjadinya karsinoma hati.
Pengobatan non-bedah
Meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan hasil
reseksi dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita tidak
memenuhi persyaratan untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah lanjut,
derajat sirosis yang berat, atau keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah merupakan
pilihan untuk pengobatan penyakit ini. Beberapa alternatif pengobatan non-bedah
karsinoma hati meliputi:
a) Percutaneous ethanol injection (PEI)
PEI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986. Teknik terapi PEI
dilaporkan memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil. Kerugian dari
cara ini adalah tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan kebutuhan akan sesi terapi
berulang kali (multipel) agar didapatkan ablasi lengkap dari lesi. PEI dilakukan
dengan cara menyuntikkan per kutan etanol murni (95%) ke dalam tumor dengan
panduan radiologis untuk mendapatkan efek nekrosis dari tumor. Tindakan ini
efektif untuk tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-penderita dengan
asites, koagulopati sedang atau berat dan lesi permukaan, PEI tidak dianjurkan.
Efek PEI adalah demam, sakit di daerah suntikan, perdarahan intrahepatik dan
perdarahan peritoneal.
b) Chemoembolism
Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi lokal
(targeted chemoembolism) atau regional (segmental, lobar chemoembolism)
tergantung dari ukuran, jumlah dan distribusi lesi. Kemoembolisme dianggap
terapi baku untuk KHS yang tidak dapat dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan
dengan obat kemoterapi yang kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel tumor
tetapi secara aktif dibersihkan dari sel-sel yang non-maligna.
Pada cara ini, terjadi devaskularisasi terhadap tumor sehingga
menghentikan suplai nutrisi dan oksigen ke jaringan tumor dan mengakibatkan
terjadinya nekrosis tumor akibat vasokonstriksi arteri hepatika. Dengan teknik ini
didapatkan respon yang lebih baik dibandingkan kemoterapi arterial atau sistemik.
Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan kolagen. Efek samping yang
sering terjadi antara lain adalah demam, nausea, vomitus, sakit di daerah
abdominal.
Kemoembolisasi pada penderita-penderita dengan karsinoma hepatoseluler
yang tidak dapat direseksi dilaporkan menunjukkan reduksi dari pertumbuhan
tumor tetapi tidak memberikan peningkatan survival. Efikasi yang terbatas dari
kemoembolisasi pada penderita KHS dengan tumor yang besar dan tidak dapat
direseksi dapat dijelaskan oleh adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah
terapi, terutama dengan adanya invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan
adanya trombi tumor. Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan
hipervaskularisasi. Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih tinggi
diperoleh bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.
c) Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup
penderita. Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-
FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik atau secara lokal (intra-arteri).
Sitostatika lain yang sering digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl) atau
adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas badan yang diberikan
secara intra-vena setiap 3 minggu sekali atau dapat juga diberikan dengan dosis
20-25 mg/m2 luas badan selama 3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3
minggu sekali. Adriamisin sebagai obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan
survival rate sebesar 25% dibandingkan bila tidak diberi terapi.
Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-∝2B, adriamisin dan 5-FU yang
diberikan secara sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon yang sangat
baik untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti ini ternyata 18%
penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat direseksi dan 50% menunjukkan
remisi histologis yang sempurna. Namun demikian, kombinasi di atas tidak dapat
ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.
d) Kemoterapi intra-arterial (transcatheter arterial chemotherapy)
Pengobatan karsinoma hati dengan sitostatika ternyata kurang memberikan
manfaat yang diharapkan. Respon parsial hanya mencapai 25% saja. Pemberian 5-
FU ternyata tidak memperpanjang usia penderita. Oleh karenanya diberikan
sitostatika secara intra-arterial dengan beberapa keuntungan seperti misalnya,
konsentrasi sitostatika lebih tinggi pada target (tumor), mengurangi toksisitas
sistemik dan kontak antara obat dengan tumor berlangsung lebih lama.
Pada teknik ini kateter dimasukkan per kutaneus ke dalam arteri brachialis
atau a. femoralis atau melalui laparotomi ke arteri hepatika, kemudian obat
sitostatika disuntikkan secara perlahan-lahan selama 10-30 menit. Sitostatika yang
disuntikkan adalah mitomisin C 10-20 mg dikombinasikan dengan adriablastiina
10-20 mg dicampur dengan 100200 ml larutan garam faal. Pemberian sitostatika
diulang satu bulan kemudian sambil mengevaluasi hasil pengobatan sebelumnya.
Efek samping dari cara pengobatan di atas tersebut dapat berupa demam,
septikemia, perdarahan, trombosis, emboli udara. Kontraindikasi dari kemoterapi
intra-arterial adalah kaheksia, asites yang intraktabel, dan gangguan faal hati berat.
e) Radiasi
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak
perannya sebab karsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang
normal sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy
untuk membunuh sel-sel kanker hati dapat menyebabkan radiation induced
hepatitis. Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan
selama 3-4 minggu. Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal dalam
kurun waktu 6 bulan. karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan proton
therapy adalah teknik yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk
menghantar energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada jaringan
hati yang nonneoplastik. Dengan proton therapy dosis 70-80 Gy sangat aman
karena sel target adalah hanya sel tumor. Ukuran tumor dapat berkurang sampai
50% dari sebelumnya, dan efek samping yang terjadi sangat minimal sehingga
memberikan kualitas hidup yang lebih baik.
f) Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderitapenderita KHS dengan sirosis lanjut,
tetapi tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan
etoposide dan menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan
bermanfaat sebagai terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen bermakna
meningkatkan efek sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi antara tamofixen
dengan doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan tamofixen tunggal.
g) Injeksi asam asetat perkutaneus
Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan, hanya
saja zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian pada
penderita KHS dengan tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival rate
1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun
sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai.

2. Mekanisme metabolisme bilirubin direct dan indirect.


Bilirubin. konstituen utama lainnya pada empedu. tidak berperan dalam pencernaan tetapi
merupakan produk sisa yang diekskresikan di dalam empedu. Bilirubin adalah pigmen
empedu utama yang berasal dari penguraian sel darah merah usang. Rentang usia tipikal sel
darah merah di dalam sistem sirkulasi adalah 120 hari. Sel darah merah yang telah usang
dikeluarkan dari tubuh oleh makrofag yang melapisi bagian dalam sinusoid hati dan di
tempat-tempat lain di tubuh. Bilirubin adalah produk akhir penguraian bagian hem
(yang mengandung besi) hemoglobin yang terkandung di dalam sel darah merah usang
ini Hepatosit mengambil bilirubin dari plasma, sedikit memodifikasi pigmen tersebut untuk
meningkatkan kelarutannya, dan kemudian secara aktif mengekskresikannya ke empedu.
Bilirubin bukan merupakan sama sekali produk sisa yang tidak ada gunanya. Para penegti
akhirakhir ini menemukan bahwa bilirubin merupakan antioksidan poten tetapi berdurasi
singkat. Karena bilirubin bersifat larut lemak sedangkan antioksidan alami lainnya
dalam tubuh bersifat larut air, bilirubin mungkin berperan dalam melindungi membran
lipid dari cedera radikal bebas.
Jika bilirubin dibentuk terlalu cepat daripada laju ekskresinya, bahan ini menumpuk di
tubuh dan menyebabkan ikterus. Pasien dengan penyakit ini tampak kekuningan, dengan
warna ini paling mudah terlihat di bagian putih mata. Ikterus dapat ditimbulkan oleh tiga
cara:
1. Ikterus prahepatik (masalah terjadi hemolitik, disebabkan oleh pemecahan (hemolisis)
berlebihan sel darah merah, yang menyebabkan hati mendapat lebih banyak bilirubin
daripada kemampuan mengekskresikannya
2. Ikterus hepatik (masalah terletak di "hati") terjadi ketika hati mengalami penyakit dan
tidak dapat menangani bilirubin bahkan dalam jumlah normal.
3. Ikterus pascahepatik (masalah terjadi "setelah hati"), atau obstruktif, terjadi ketika
saluran empedu tersumbat misalnya oleh batu empedu sehingga bilirubin tidak dapat
dieliminasi di tinja.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo WA, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing ; 2014.
2. Kumar, Abbas, Ester. Robbins Basic Pathology. Edisi Ke 9. Elsevier. Singapore. 2013
3. Lauralee Sherwood. Introduction to Human Phsclogy. Edisi ke 8. 2015
4. Harisma BF, Syahrul F, Muhawadi T, Mirasa AY. Analisis kejadian luar biasa hepatitis, vol 06,
no 02. Surabaya : Jurnal berkala epidemiologi ; 2018. Hlm 113-21
5. Budhiarta FMD. Penatalaksanaan dan edukasi pasien sirosis hepatis, vol 08, no 09. Denpasar :
FK Udayana ; 2017. Hlm 19-23
6. Parawira BH, Rahma, Nasir M. Abses hati pada infeksi hepatitis B, vol 01, no 02. Palu : FK
Tadulako ; 2019. Hlm 122-7
7. Siregar AG. Penatalaksanaan non bedah dar karsinoma hati, vol 24, no 01. Sumatra : FK USU.
Hlm 35-42

Anda mungkin juga menyukai