Anda di halaman 1dari 99

Skenario 4

Mata Kuning

Seorang laki-lai berusia 38 tahun dating ke poliklinik Rumah Sakit dengan


keluhan mata dan badan tampak kuning sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan
disertai nyeri perut kanan atas, demam, mual, muntah serta BAK seperti teh sejak
5 hari yang lalu. Pasien merupakan pekerja kantor dengan riwayat sering makan di
warung pinggiran. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80
mmHg, denyut nadi 80 x/menit, laju pernafasan 20 x/menit, suhu 38,2oC. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dengan sklera ikterik,
nyeri tekan (+) di kanan atas. Hasil laboratorium didapatkan peningkatan
SGOT/SGPT, kadar bilirubin direct, bilirubin indirect dan bilirubin total. Dokter
memberikan penatalaksanaan dan menjelaskan tentang penyakit tersebut pada
pasien.

STEP 1

1. SGOT/SGPT : enzim yang dihasilkan ketika terjadi kerusakan hati,


Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase, Serum Glutamic Piruvat
Transaminase.
2. Bilirubin direct : bilirubin yang sudah terkonjugasi dan larut air
3. Bilirubin indirect : bilirubin yang belum terkonjugasi dan larut lemak, tidak
larut air

STEP 2

1. Bagaimana patomekanisme terjadinya keluhan pada kasus?


2. Bagaimanan hubungan riwayat sering makan dipinggiran dengan kasus?
3. Bagaimana arti klinis dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pada kasus?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus tersebut?
STEP 3

1. Ikterik
- Pre hepatik : bilirubin berlebih
- Intra hepatik : kelainan pada hepar
- Post hepatik : obstrusi pada saluran empedu

Nyeri kanan atas : berdasarkan letak hepar

Mual muntah : Hepar membesar  menekan lambung

BAK seperti teh : konjugasi bilirubin terganggu  filtrasi di glomerulus

2. Makan di warung pinggiran


- Dapat membuat bakteri/virus masuk ke dalam tubuh dan menginfeksi hati
menjadi ikterik
- Dari makanan  masuk ke pencernaan  aliran darah  masuk ke hati
melalui porta
3. SGPT&SGOT
Jika adanya kerusakan hepar maka akan dikeluarkan enzim
SGPT : di hepar
SGOT : di jantung dan otak
4. Anamnesis
Keluhan utama, waktu, memperberat/memperingan, faktor penyebab, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga
PF
TTV, head to toe
PP
SGOT, SGPT, bilirubin
DD
Ca hepar, choledocolitiasis, hepatitis, sirosis, hepatis, cholangitis
5. Farmakoterapi
Simptomatik : anti nyeri, demam
Imunoglobuln IV 0,5-0,6 selama 6 bulan
Imunisasi
Penanggulangan
Pasal 4-12

STEP 4

1. Metabolisme bilirubin
Bilirubin

Hati di konjugasi  Ginjal  urobilin  urin

Bilirubin terkonjugasi

Small intestinal

Kolon

Urobilinogen

Feses
Pre hepatik (Direct, Indirect)
- Sickle cell anemia
- Hemolitik autoimun
- Incmpatibilitas resus
Hepatik (Indirect)
- Hepatitis ABCDE
- Sirosis hepatis
- Alkoholik hepatis & non alkoholik (Fatty Liver Disease)
Post hepatik (Direct)
- Choledocolitiasis
- Cholelitiasis
- Cholangitis
- Cholesistitis
- Atresia bilier

Mind Map

JAUNDICE

Etiologi Patofisiologi Tata-


Kom-
Faktor laksan
Penegakan plikasi
resiko a
diagnosis

STEP 5

1. Etiologi-Tatalaksana
a. Hepatik b. Post hepatik

- Hepatitis - Cholelitiasis

- Sirosis hepatis - Cholesistitis

- Fatty Liver Disease - Choledocolitiasis

- Absess hepar - Cholangitis

- Ca Hepar

STEP 6

Belajar Mandiri
STEP 7

I. Etiologi-Tatalaksana
A. Hepatik
a. Hepatitis
1. HEPATITIS A
1) Pengertian Hepatitis
Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati.
Hepatitis A adalah hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis
A Virus. Infeksi virus hepatitis A dapat menyebabkan berbagai
macam komplikasi, diantaranya adalah hepatitis fulminant,
autoimun hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis relaps, dan
sindroma pasca hepatitis (sindroma kelelahan kronik). Hepatitis A
tidak pernah menyebabkan penyakit hati kronik.1,2
2) Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini
termasuk virus RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-
2,28 x 106 dalton, simetri ikosahedral, diameter 27-32 nm dan
tidak mempunyai selubung. Mempunyai protein terminal VPg pada
ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung 3’nya. Panjang genom HAV:
7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat diklasifikasikan
dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus.1,2
3) Faktor Resiko dan Transmisi
Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan
minuman yang terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan
seksual. Penyakit ini terutama menyerang golongan sosial ekonomi
rendah yang sanitasi dan higienenya kurang baik. Masa inkubasi
penyakit ini adalah 14-50 hari, dengan rata-rata 28 hari. Penularan
berlangsung cepat. 1,2
4) Patofisiologi

Gambar 1: Patofisiologi Hepatitis A dan E.1,2

5) Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari
infeksi asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu
hepatitis fulminant yang dapat menimbulkan kematian hanya
dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap
yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra ikterik), fase ikterus, dan
fase konvalesen (penyembuhan).1,2
a. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya
gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap
virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada dosis
inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar
dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.2 Pada
hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50
hari, dengan rata-rata 28-30 hari.1,2
b. Fase Prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau
insidious ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri
sendi, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anorexia.
Mual muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan
penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah umunya
terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan
dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolesistitis.1,2
c. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga
muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak
kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah tibul ikterus jarang
terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi
perbaikan klinis yang nyata.1,2
d. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain,
tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu
makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3
minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium
lengkap terjadi dalam 9 minggu.1,2
6) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti
demam, kelelahan, malaise, anorexia, mual dan rasa tidak
nyaman pada perut. Beberapa individu dapat mengalami
diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna
gelap, dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa
hari kemudian. Tingkat beratnya penyakit beraragam, mulai
dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-anak), sakit ringan,
hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan
selama seminggu sampai sebulan.1,2
b. Pemeriksaan Fisik
Demam, tidak nyaman pada perut, Ikterus (kulit dan sclera
menguning)1
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Serologis
Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap
sebagai gold standard untuk diagnosis dari infeksi akut
hepatitis A.7 Virus dan antibody dapat dideteksi dengan
metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan
diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total
anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-HAV dapat dideteksi
selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya. Dikarenakan
IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut,
maka apabila seseorang terdeteksi IgG antiHAV positif
tanpa disertai IgM anti-HAV, mengindikasikan adanya
infeksi di masa yang lalu.1,2
ii. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan
pemeriksaan biokimia dari fungsi liver (pemeriksaan
laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen, total dan
direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT) dan
aspartate transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP),
prothrombin time (PT), total protein, serum albumin, IgG,
IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap). Apabila tes lab
tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat
membantu untuk menegakan diagnosis.1,2
7) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah


terapi suportif, yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus
mereda, diet tinggi kalori, penghentian dari pengobatan yang
beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari konsumsi alkohol.
Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat
inap. Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia
lanjut, malnutrisi, kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan
yang mengandung obat hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa
diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat, penyakit hati
kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-
gejala dari hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant,
didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam waktu 8
minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant
harus dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi hati.1,2

2. Hepatitis B
1) Pengertian Hepatitis

Gambar 2: Gambar skematik virus hepatitis B.1


Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid)
DNA terkecil berasal dari genus Orthohepadnavirus famili
Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm. Masa inkubasi berkisar
antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari. Bagian luar dari
virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian
dalam berupa nukleokapsid atau core.1
Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda
parsial dengan 3200 nukleotida. Genom berbentuk sirkuler dan
memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang
tindih secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai
selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs),
dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang merupakan target
utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino
100-160. HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe
antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HbsAg ini
menyediakan penanda epidemiologik tambahan.1
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen
P yang mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk
replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X
(HBx), yang memodulasi sinyal sel host secara langsung dan tidak
langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun host, dan
belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati.1
2) Faktor Resiko dan Transmisi
Menurut WHO (2002), terdapat beberapa kelompok yang berisiko
terinfeksi virus hepatitis B:
− Anak yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi hepatitis B.
− Anak-anak kecil di tempat perawatan anak yang tinggal di
lingkungan yang endemis.
− Tinggal serumah atau berhubungan seksual (suami -istri) dengan
penderita. Risiko tertular untuk orang yang tinggal serumah
terjadi karena menggunakan peralatan rumah tangga yang bisa
terkena darah seperti pisau cukur, sikat gigi.
− Pekerja Kesehatan. Paparan terhadap darah secara rutin menjadi
potensi utama terjadinya penularan di kalangan kesehatan.
− Pasien cuci darah
− Pengguna narkoba dengan jarum suntik
− Mereka yang menggunakan peralatan kesehatan bersama seperti
pasien dokter gigi, dan lain lain. Karena itu, seharusnya dokter
menggunakan alat sekali pakai atau mensterilkan alat setiap kali
pemakaian.
− Orang yang memberi terapi akupuntur atau orang yang
menerima terapi akupuntur.
− Mereka yang tinggal di daerah endemis, atau sering bepergian
ke daerah endemis hepatits B.

Mereka yang berganti-ganti pasangan, dan ketidaktahuan akan
kondisi kesehatan pasangan. 1
3) Patofisiologi
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis
B. Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di
membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam
sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma,
sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan
menembus sel dinding hati.1
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan
menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut.
Proses selanjutnya adalah DNA VHB memerintahkan sel hati
untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B
dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati
yang kronis disebabkan karena respon imunologik penderita
terhadap infeksi.1
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik
terhadap sel, terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya
menyebabkan kerusakan hati ringan. Respon imun host terhadap
antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan
hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun,
makin besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati.
Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop
protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel
hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell
mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel
dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major
Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan
penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik
CD8+. 1
4) Gambaran Klinis

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut


cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya
angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila
menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus
yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
a. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan
timbulnya gejala atau ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B
berkisar antara 15-180 hari dengan ratarata 60-90 hari.1
b. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous
ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah
lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan
menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolestitis.1
c. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga
muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Banyak kasus
pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus
jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.1
d. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan
lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap
ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya
nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya
mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi
fulminan.1
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang
berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala
penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase
penting yaitu :
a. Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga
konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi
peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam
fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.1
b. Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat
terjadinya replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT.
Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB.1
c. Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan
menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB.
Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada
kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan
titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-
HBe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal. 1
5) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi
seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning
sebelumnya. 1
b. Pemeriksaan Fisik
Biasanya didapatkan hepatomegali.1
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Laboratorium

Pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis,


dan molekuler. Pemeriksaan USG abdomen tampak
gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar
dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.
Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari :
− Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT
meningkat >10 kali nilai normal, serum bilirubin normal
atau hanya meningkat sedikit, peningkatan Alkali Fosfatase
(ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar albumin serta
kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik
VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun
hingga 2-10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah
tetapi kadar globulin meningkat.1
− Pemeriksaan serologis
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci
diagnosis penanda infeksi VHB kronik adalah HBsAg,
dimana infeksi bertahan di serum >6 bulan (EASL, 2009).
Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung
permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di
dalam darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis
atau carrier.1
Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam
serum pasien dan terdeteksi sampai waktu yang tidak
terbatas sesudahnya. Karena terdapat variasi dalam waktu
timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu tenggang waktu
(window period) beberapa minggu atau lebih yang
memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs.
Selama periode tersebut, anti- HBc dapat menjadi bukti
serologik pada infeksi VHB.1
Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel
hati yang terinfeksi tetapi tidak terdeteksi di dalam serum .
Hal tersebut dikarenakan HBcAg terpencil di dalam mantel
HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat terlihat dalam
serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama
timbulnya HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-
HBs dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan.1
Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini
timbul saat terjadinya gejala klinis. Saat infeksi akut, anti
HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah HBsAg
terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti-
HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi akut terutama bila
HBsAg tidak terdeteksi (window period). Penanda anti-HBc
IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap
dalam jangka waktu lama.1
Hepatitis B envelope antigen merupakan peptida yang
berasal dari core virus, ditemukan hanya pada serum
dengan HBsAg positif. Penanda HBeAg timbul bersamaan
dengan dihasilkannya DNA polimerase virus sehingga lebih
menunjukkan terjadinya replikasi virus dan jika menetap
kemungkinan akan menjadi penyakit hati kronis.1
Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak
dikembangkan secara luas untuk menegakkan diagnosis
Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub klinis atau yang
menetap . Beberapa metode yang digunakan untuk
mendiagnosis hepatitis adalah Immunochromatography
(ICT),ELISA, EIA, dan PCR. Metode EIA dan PCR
tergolong mahal dan hanya tersedia pada laboratorium yang
memiliki peralatan lengkap. Peralatan rapid diagnostic ICT
adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah dan
tidak memerlukan peralatan kompleks.1
Diagnostik dengan rapid test merupakan alternatif
untuk enzym immunoassays dan alat untuk skrining skala
besar dalam diagnosis infeksi VHB, khususnya di tempat
yang tidak terdapat akses pemeriksaan serologi dan
molekuler secara mudah.1
Pemeriksaan HBsAg (cassette) adalah pemeriksaan
rapid chromatographic secara kualitatif untuk mendeteksi
HBsAg pada serum atau plasma. Pemeriksaan HBsAg
Diaspot (Diaspot Diagnostics, USA) adalah pemeriksaan
kromatografi yang dilakukan berdasarkan prinsip double
antibody-sandwich. Membran dilapisi oleh anti-HBs pada
bagian test line. Selama tes dilakukan, HBsAg pada
spesimen serum atau plasma bereaksi dengan partikel anti-
HBs. Campuran tersebut berpindah ke membran secara
kromatografi oleh mekanisme kapiler yang bereaksi dengan
anti-HBs pada membran dan terbaca di colored line .
Adanya colored line menandakan bahwa hasilnya positif,
jika tidak ada colored line menandakan hasil negatif. 1
Penanda HBsAg telah digunakan sebagai penanda
diagnostik kualitatif untuk infeksi virus Hepatitis B. Seiring
dengan kemajuan perkembangan, terdapat pemeriksaan
HBsAg kuantitatif untuk memonitor replikasi virus.
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif adalah alat klinis yang
dibutuhkan untuk akurasi, mudah, terstandarisasi, dan
secara luas tersedia untuk memastikan perbedaan yang
ditemukan pada pemeriksaan laboratorium. Salah satu
pemeriksaan yang telah dikembangkan untuk penilaian
HBsAg kuantitatif adalah pemeriksaan HBsAg Architect
(Abbott Diagnostics). Pemeriksaan HBsAg Architect
memiliki jarak linear dari 0,05-250 IU/mL.1
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif dilakukan dengan
pemeriksaan HbsAg Architect berdasarkan metode CMIA.
Metode CMIA adalah generasi terbaru setelah ELISA
dengan kemampuan deteksi yang lebih sensitif.1
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect memiliki
dua langkah dalam pemeriksaan. Langkah pertama, sampel
dan mikropartikel paragmanetik dilapisi anti-HBs
dikombinasikan. Keberadaan HBsAg pada sampel akan
berikatan dengan mikropartikel yang dilapisi anti-HBs.
Proses selanjutnya adalah washing, kemudian acridinium-
labeled anti-HBs conjugate ditambahkan pada langkah
kedua. Setelah proses washing kembali, larutan pre-trigger
dan trigger ditambahkan ke dalam campuran Larutan
pretrigger mengandung 1, 32% hydrogen peroksida,
sedangkan larutan trigger mengandung 0,35 mol/L natrium
hidroksida. Hasil dari reaksi chemiluminescent diukur
sebagai Relative Unit Light (RLU) dan dideteksi dengan
system optic Architect. 1
Interpretasi hasil dari pemeriksaan HBsAg kuantitatif
Architect adalah nonreaktif jika spesimen dengan nilai
konsentrasi <0,05 IU/mL dan reaktif jika spesimen dengan
nilai konsentrasi >0,05 IU/mL. Sampel nonreaktif
menandakan negatif untuk HBsAg dan tidak membutuhkan
tes selanjutnya. 1
Gambar Penanda serologis hepatitis B. A, Akut B, Kronis. 2

− Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara
laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB
dalam serum atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin
bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan
prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaannya antara lain:
i. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan
karena waktu paruh pendek dan diperlukan
penanganan khusus dalam prosedur kerja dan
limbahnya.1
ii. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC)
merupakan teknik hibridisasi yang lebih sensitif dan
tidak menggunakan radioisotop karena sistem
deteksinya menggunakan substrat
chemiluminescence.1
iii. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA)
bertujuan untuk menghasilkan sinyal yang dapat
dideteksi hanya dari beberapa target molekul asam
nukleat.1
iv. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain
Reaction/PCR) telah dikembangkan teknik real-time
PCR untuk pengukuran DNA VHB. Amplifikasi
DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi secara
bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup. 1
Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat
mendeteksi kadar VHB DNA sampai dengan 102
kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan ini harus
diinterpretasikan dengan hati-hati karena
ketidakpastian arti perbedaan klinis dari kadar VHB
DNA yang rendah. Berdasarkan pengetahuan dan
definisi sekarang tentang Hepatitis B kronik,
pemeriksaan standar dengan batas deteksi 105-106
kopi/mL sudah cukup untuk evaluasi awal pasien
dengan Hepatitis B kronik. Untuk evaluasi
keberhasilan pengobatan maka tentunya diperlukan
standar batas deteksi kadar VHB DNA yang lebih
rendah dan pada saat ini adalah yang dapat
mendeteksi virus sampai dengan <104 kopi/mL. 1
6) Penatalaksanaan

Non farmako
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas.
Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring, diperlukan diet
tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan pada
pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam
hari. 1
Farmako
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah
untuk mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB.
Pengobatan dapat mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya
menghentikan atau mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya
dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB (dengan
serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif) dan
normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir
pengobatan.1
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis
flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan
ke arah sirosis dan/atau HCC (Hepato Cellular Carcinoma), dan
pada akhirnya memperpanjang usia. Terapi antiviral yang telah
terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah Interferon,
Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir.1

3. Hepatitis C
1) Pengertian Hepatitis
VHC merupakan virus RNA rantai tunggal, sferis, dengan
selubung glikoprotein yang tergabung dalam family Flaviviridae
dan genus Hepacivirus. Protein pada selubungnya akan membantu
terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama HCV adalah
hepatosit, namun dapat punya menginfeksi leukosit, limfosit T,
limfosit B, dan limpa. VHC lebih lanjut dapat dikategorikan
menjadi enam genotipe berbeda dan lebih dari 50 subtipe. Enam
genotipe tersebut juga memiliki distribusi geografis yang berbeda,
genotipe 6 merupakan yang paling dominan di wilayah Asia
Tenggara. Meskipun belum menjadi pemeriksaan rutin, identifikasi
genotipe VHC tersebut memiliki signifikansi terhadap rekomendasi
regimen terapi yang akan diberikan. 2
2) Faktor Resiko dan Transmisi
− Pengguna obat injeksi (67%)
− Resipien darah atau produk datah di fasilitas dengan kontrol
infeksi tidak adekuat
− Anak yang lahir dari ibu terinfeksi VHC. Tingkat transmisi
VHC perinatal ialah 48% (tanpa koinfeksi HIV) atau 17-25%
(dengan koinfeksi HIV)
− Individu yang berhubungan seksual dengan pengidap VHC.
− individu dengan infeksi HIV
− Individu pengguna obat intranasal
− serta lndividu dengan tatto atau tindik. 1

3) Patofisiologi
Berbeda dengan virus hepatitis B yang umumnya bersifat
akut, infeksi VHC lebih sering bersifat kronis sekitar 80%. lnfeksi
VHC mengakibatkan hepatitis C kronis, sementara 20% sisanya
berupa infeksi akut atau sembuh spontan.1
Masa inkubasi VHC rata-rata 50 hari (rentang 14-180 hari),
meski RNA VHC mulai dapat terdeteksi 7-10 hari setelah infeksi
dan antiVHC dapat terdeteksi 2-8 minggu setelah paparan. Pada
kasus hepatitis akut, RNA VHC masih-dapat terdeteksi selama
beberapa 12 minggu pertama, yang kemudian akan menurun secara
signifikan hingga terjadi resolusi penyakit secara spontan. Hanya
50% pasien hepatitis C akut yang memiliki antiVHC positif.1
Namun pada kasus hepatitis C kronis, RNA VHC masih
terdeteksi selama minimal 6 bulan. Sekitai 95% kasus juga
memiliki nilai anti-VHC positif. Faktor penentu suatu infeksi VHC
menjadi hepatitis akut atau kronis belum diketahui dengan jelas.
Namun, resolusi spontan lebih sering ditemukan pada pasien
simptomatis, perempuan, serta VHC genotipe 3.1
Pada hepatitis C kronis, adanya peningkatan transaminase
serum menandakan terjadinya kerusakan hati secara progresif,
meski kerusakan juga dapat terjadi pada kadar ALT normal. Laju
progresivitas fibrosis pada hati diperkirakan sekitar 0.1-0.13
U/tahun pada pasien yang tidak diobati.1
4) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Tanda dan Gejala:
Hepatitis C akut (80% kasus akut bersifat simtomatis)
i. Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum ikterik). Gejala
prodromal berupa anoreksia, mual dan muntah,
kelemahan, malaise, artralgia, mialgia, demam, sakit
kepala, fotofobia, faringitis, serta batuk dan flu. Satu
hingga 5 hari sebelum kuning, dapat muncul warna urin
yang lebih gelap dan feses berwarna pucat.1
ii. Fase ikterik. Ikterus sering disertai dengan hepatomegali
dan nyeri di kuadran kanan atas. Gambaran klinis
hepatitis virus akut pada umumnya tidak jauh berbeda,
kecuali durasi keluhan pasca ikterik lebih panjang pada
hepatitis B dan C akut.1
iii. Fase perbaikan (konvalesens)

Hepatitis C kronis. Umumnya asimtomatis, dapat juga berupa


gejala tidak spesifik seperti malaise dan keletihan. Pada
kondisi lanjut, dapat ditemui tanda gejala, serta komplikasi
sirosis hati yang mudah dikenali, edema ekstremitas, asites,
hematemesimelena, perubahan status mental, dan
sebagainya.1

b. Pemeriksaan Fisik

Hepatomegali, ikterus, nyeri abdomen kuadran kanan atas 1

c. Pemeriksaan Penunjang
i. Laboratorium Penanda serologis hepatitis C metode ELISA
atau chemiluminescent immunoassay (CLIAD). Apabila
didapatkan anti-VHC positif, maka individu dinyatakan
terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan
RNA VHC. Namun. hasil anti-HIV negatif palsu dapat
ditemukan pada HIV, pasien hemodialisis, dan pengguna
imunosupresan. Pada kelompok pasien tersebut dianjurkan
untuk selalu memeriksa RNA VHO. Selain untuk
diagnosis, pemeriksaan RNA VHC juga digunakan untuk
memantau terapi anti virus. Oleh sebab itu, RNA VHC
sebaiknya diukur dengan metode realtime PCR yang
mampu mendeteksi VHC hingga muatan virus minimal <50
IU/ ml untuk dual terapi dam <15 IU/mL untuk tripel
terapi. 1
ii. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT, AST, gamma-glutamyl
transpeptidase (GGT), alkalin fosfatase, bilirubin, albumin,
globulin, serta pemeriksaan darah perifer lengkap dan
waktu protrombin.1
iii. USG dan biopsi hati. Menilai derajat nekroinflamasi dan
fibrosis pada kasus infeksi kronis dan sirosis hati.1
iv. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain bila
diperlukan, termasuk kemungkinan ko-infeksi hepatitis B
dan/atau HIV. 1

Gambar Penanda serologis hepatitis B. A, Akut B, Kronis. 2

5) Penatalaksanaan
1. Pengkajian sebelum pemberian terapi
− Mencari penyebab lain dari penyakit hati kronis, koinfeksi
VHB dan HIV, penyakit hati alkoholik, penyakit hati non-
alkoholik, maupun autoimun.
− Menilai derajat keparahan penyakit hati kronis, tarmasuk
kemungkinan terjadinya karsinoma hepatoselular, USG
abdomen atau biopsi hati.
− Menilai muatah virus RNA VHC dan genotipe virus.
− Pemeriksaan genetik, deteksi gen IL28B untuk
menentukan regimen terapi pada hepatitis C genotip. 1
2. Tujuan Terapi
Tujuan terapi hepatitis C ialah mencegah komplikasi
penyakit hati fibrosis, sirosis, KHS, hingga kematian.
Sementara, target terapi antivirus ditujukan untuk mencapai
sustained viral response (SVR) yakni tidak terdeteksinya RNA
VHC (<50 IU/ m1.) selama 24 minggu pascaterapi antivirus.
Oleh sebab itu, diperlukan pemeriksaan RNA VHC secara
berkala. Pada pasien sirosis kompensata terapi ditujukan untuk
mengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis dekompensata
dan risiko terjadinya KHS. 1
3. lnisiasi standar Regimen
Terapi Regimen standar (terutama untuk genotipe 1 dan 4
ialah peg-interferon a (peg-INF a) kerja panjang yang
dikombinasikan dengan ribavirin. Peg-INF a 2a berupa peg-
INF a 2a (dosis 180 mikrongram/minggu SK) atau peg-INF a-
2b (duosis 1,5 ug/KgBB/minggu SK). Sementara ribavirin
diberikan dengan dosis 1000 mg/hari P.O. (untuk BB kurang
dari 75 kg) atau 1200 mg/harl PO (untuk BB >75 Kg).
Konsensus PPHI tahun 2014 merekomendasikan pemberian
kombinasi peg-INF a dan ribavirin tersebut selama 24 minggu
untuk VHC genotipe 2 atau 3. Sebelum inisiasi terapi antivirus,
sangat penting untuk memastikan tidak ada kontraindikasi
pemberian peg-INF a dan Ribavirin. Khusus pada infeksi VHC
genotipe 1, terapi Ribavirin dan peg-IFN a perlu
dikombinasikan dengan Boceprevir atau Telaprevir (disebut
sebagai Tripel terapi). Tripel tempt dengan boceprevir
direkomendasikan selama 28-48 minggu. sementara tripel
terapi dengan telaprevir direkomendasikan selama 24-48
minggu (telaprevir diberikan hanya 12 minggu). 1
4. Terapi Hepatitis Akut
Terapi dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk
menunggu terjadinya reaksi spontan, terutama pada hepatitis C
akut yang simtomatis, kecuali pada pasien dengan genotip
IL28B non-CC yang dapat diterapi sejak 12 minggu karena
kemungkinan resolusi spontan lebih rendah. Durasi terapi pada
VHC genotipe I dilanjutkan selama 24 minggu, dan pada
genotip 2 atau 3 dilanjutkan selama 12 minggu. Regimen terapi
hepatitis C akut ialah monoterapi dengan peg-IFN a selama 24
minggu. Dosis Peg-IFN a 2a ialah 180 pg/minggu SK,
sedangkan dosis peg-IFN a-2b ialah 1,5 pg/minggu SK.
Umumnya eradikasi virus dapat dicapai hingga >90%. Bila
gagal pasien dimasukkan dalam terapi hepatitis C kronis.1
5. Pemantauan Terapi
− Pada dual terapi, pemeriksaan RNA VHC dilakukan pada
awal terapi, minggu ke 4,12, 24. akhir terapi antivirus dan
24 minggu setelah terapi dihentikan. Pada tripel terapi
menggunakan boceprevir, RNA VHC dinilai pada awal
terapi, minggu ke 4, 8, 12, 24, akhir terapi dan 24 minggu
setelah terapi dihentikan.1
− Penilaian efek samping terapi harus selalu dilakukan
setiap kali kontrol. Keluhan yang sering muncul berupa
flu-like symptoms, fatigue, sakit kepala, dan demam.
Beberapa pasien juga mengeluhkan iritabilitas imsonia dan
depresi.1
− Pemeriksaan darah untuk melihat keberadaan anemia,
trombositopenia, neutropenia, dan peningkatan ALT
dinilai pada minggu ke l, 2. dan 4 sejak awal terapi dan
selanjutnya dapat diulang dengan interval setiap 4-8
minggu.1
− Thyroid stimulating hormone (TSHs) dan kadar tiroksin
dinilai pada awal terapi dan diulang bila ditemukan tanda-
tanda gangguan fungsi tiroid.1
− Edukasi mengenai efek teratogenik ribavirin dan
pentingnya menggunakan kontrasepsi selama terapi
sampai 6 bulan pemberian.1
− Bila didapatkan gejala neuropsikiatri berat atau jumlah
neutrofil absolut <750/mm atau jumlah trombosit
<50.000/mm, maka perlu dilakukan penyesuaian dosis
peg-IFN dan pemantauan ketat. Terapi peg-IFN a
dihentikan bila jumlah neutrofil absolut <500/mm dan
jumlah trombosit <25.OOO/mm3.1
− Bila Hb <10 g/dL, dosis ribavirin diturunkan 200 mg dan
dilakukan penyesuaian dosis. Bila Hb <8.5 g/dL terapi
ribavirin dihentikan.1
− Pada pasien dengan tripel terapi, efek samping lebih sering
timbul. Apabila muncul efek samping yang
membahayakan dalam pemberian boceprevir, lanjutkan
dengan dual terapi. 1
6. Terapi pada Kondisi Khusus

a. Terapi Pada Sirosis Hati Kompensata

Terapi antivirus tetap direkomendasikan pada sirosis


hati. salama tidak ada kontraindikasi. meski peluang mencapai
SVR bebih rendah dibandingkan pada pasien tanpa sirosis.
Diperlukan pemantauan ketat, setidaknya dua minggu sekali
karena risisko efek samping lebih tinggi.1

i. Terapi Pada Sirosis Hati Dekompensata


Terapi antivirus lebih berisiko pada kelompok ini
karena efek samping obat lebih sering terjadi seperti
neutropenia, trombositopenia, anemia, sepsis, dan gagal
hati.1
ii. Pasien dengan Ko-Infeksi HIV
Skrining rutin HIV sangat direkomendasikan pada
pasien hepatitis C. Termasuk penilaian risiko pajanan.
Menurut konsensus WHO 2014. Semua pasien ko-infeksi
HIV-VHC adalah kandidat untuk mendapat pengobatan
antiretrovirus (ARV), tanpa melihat nilai hitung CD4+.
Terapi ARV dibedakan terlebih dahulu, sementara terapi
hepatitis C menunggu hingga pasien stabil dan hitung
CD4+ >350 sel/mm3.1
Regimen terapi VHC pada koinfeksi HIV-VHC
ialah kombinasi peg-IFN a/ribavirin selama I tahun untuk
semua genotip seperti pada pasien tanpa infeksi HIV.
Penundaan terapi HCV dapat dipertimbangkan pada HCV
genotipe 1 dan jumlah virus tinggi (>800.000 IU/ml.) jika
hasil penilaian fibrosis masih menunjukkan penyakit hati
awal. Dosis ribavirin diberikan berdasarkan berat badan
pada pasien dengan HCV genotipe 1. sedangkan pada
genotipe 2 dan 3 ribavirin diberikan dengan dosis tetap
800 mg/hari. Pasien hepatitis C yang akan diberikan serapi
tidak boieh dikombinasi dengan ARV jenis didanosin
(dll), zidovudin (AZT) dan stavudin (d4T).1
iii. Pasien Konifeksi VHC-VHB
Kriteria pemberikan antivirus pada pasien koinfeksi
VHC-VHB sama dengan pasien monoinfeksi VHC. Pasien
dengan anti-VHC, HbsAg, dan RNA VHC positif diterapi
dengan Peg-DEN a dan ribavirin selama 48 minggu untuk
VHC genotipe l atau selama 24 minggu untuk VHC
genotipe 2 atau 3. Bila replikasi atau reaktivasi VHB
terdeteksi berikan terapi analog nukleotida. Pada pasien
hepatitis C dengan HBsAg dan anti-HBs negatif,
direkomendasikan untuk mendapat vaksinasi hepatitis B.1
4. Hepatitis D
1) Etiologi

Gambar: Gambar skematik Hepatitis D.1

Hepatitis D merupakan patogen RNA yang fungsinya


bergantung pada bantuan yang disediakan oleh virus hepatitis B
dalam replikasinya. Virus hepatitis D merupakan satu-satunya
anggota Deltavirus. Virus hepatitis D terdiri dari 8 genotipe yang
berbeda pada sekuens nukleotida sebesar 40%. Hepadnavirus
lainnya dapat menunjang pertumbuhan virus hepatitis D. Masing-
masing virion berukuran sekitar 36 nm dan berada pada selubung
HBsAg. Genom tersebut terdiri dari molekul RNA sirkular untai
tunggal yang mengandung kira-kira 1.7 kb; masing-masing genom
diasumsikan sebagai struktur yang berbentuk mirip batang, sebagai
hasil dari pasangan basa ekstensif dan dua buah struktur
fosfoprotein yang membagi aktivitas antigen berupa HDAg.
Karena genom tersebut hanya mengandung 1700 nukleotida, viruf
hepatitis D merupakan virus hewan terkecil, mirip dengan viroid
RNA yang terdapat pada tumbuhan. 1
Virus hepatitis D hanya membutuhkan selubung HBsAg
untuk berikatan dengan hepatosit dan membentuk virion. Baik
untai genomik maupun untai antigenomik dari HDV-RNA
mempunyai segmen yang mengandung kurang dari 100 basa yang
berperan seperti ribozyme. Replikasi virus hepatitis D mempunyai
siklus yang mirip dengan replikasi viroid dari tumbuhan. Siklus
hidup virus hepatitis D diregulasi oleh antigen hepatitis D, satu-
satunya protein yang diekspresikan oleh virus hepatitis D. Antigen
hepatitis D diperbaiki oleh adenin deaminase selular untai ganda
menjadi HDAg yang kecil (SHDAg, 195 residu asam amino; dan
HDAg yang besar (L-HDAg, 214 residu asam aminoi) dimana S-
HDAg akan membantu replikasi, sedangkan L-HDAg berperan
dalam pembentukan virion.1
2) Faktor Resiko dan Transmisi
Infeksi virus hepatitis D endemik pada tahun 1980 pada
banyak area di dunia. Frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada area
tropis dan subtropis yang mempunyai prevalensi infeksi virus
hepatitis B. Karena dalam 20 tahun terakhir infeksi virus hepatitis
B mulai dapat ditanggulangi, maka infeksi hepatitis D juga
menurun secara signifikan.1
3) Patofisiologi
Virus hepatitis D ditransmisikan dengan bantuan virus
hepatitis B. Virus hepatitis D paling banyak ditransmisikan
melalui penggunaan obat-obatan intravena dengan jarum yang
tidak steril, namun kebalikan dengan hepatitis B transmisi vertikal
pada hepatitis D sangat jarang. Efisiensif transmisi virus hepatitis
D terutama bergantung pada status HBsAg carrier dan individu
yang ditularkan. Pada orang normal (HBsAg negatif), infeksi
hepatitis D tidak dapati ditransmisikan, kecuali pada pasien
sebelumnya telah terinfeksi hepatitis B; pada keadaan ini infeksi
hepatitis D terjadi simultan bersama dengan infeksi hepatitis B.
Efisiensi dari transmisi tergantung pada titer infeksius dari hepatitis
B. Pada pasien dengan HBsAg positif. adanya infeksi hepatitis B
tersebut akan mempermudah aktivasi virus hepatitis D, dan infeksi
tersebut akan terjadi dengan cepat, hal tersebut dinamakan
superinfeksi virus hepatitis D pada infeksi virus hepatitis B. Carrier
virus hepatitis B dapat juga menjadi carrier hepatitis D.1
4) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Infeksi hepatitis D yang didapatkan dari koinfeksi
hepatitis B dan hepatitis D mempunyai klinis yang serupa
dengan infeksi hepatitis B akut. 1
b. Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, nyeri abdomen.1
c. Pemeriksaan Penunjang
Koinfeksi akut dapat menunjukkan gejala bifasik
dengan dua puncak peningkatan ALT yang terpisah selama
beberapa minggu. Tidak lebih dari 2% pasien yang
mengalami infeksi hepatitis D kronik. Perinfeksi hepatitis D
primer pada carrier hepatitis B biasanya menghasilkan
gambaran kilnis yang berat. Superinfeksi dapat tampak
sebagai hepatitis B akut jika carrier HBsAg tidak waspada
terhadap infeksi hepatitis yang dideritanya. Pada carrier yang
sebelumnya telah terinfeksi hepatitis B kronik.Superinfeksi
hepatitis D dapat disalahartikan sebagai infeksi hepatitis baru.
Superinfeksi biasanya mangakibatkan infaksi hepatitis D
kronik.1
Adanya paparan virus hepatitis D pada pasian yang
imunokompetan, pasien tersebut akan meningkatkan
konsentrasi antibodi lgG tarhadap HDAg (anti-HO). Respons
antibodi tersebut dapat berkurang pada pasien yang
imunokompromais, terutama pada pasien dengan infeksi
HIV. Deteksi anti-HD merupakan langkah pertama dalam
diagnosis infeksi hepatitis D. Deteksi anti-HD tersebut
sebaiknya dilakukan pada pasien carrier HBsAg dengan
gangguan hati.
Deteksi HDAg intrahepatik melalui pemeriksaan
imunohistokimia merupakan standar awal untuk diagnosis
infeksi virus hepatitis D aktif. Namun, sensitivitas
pemeriksaan tersebut terbatas karena pada biopsi hati hanya
bisa terdeteksi pada 50% pasien yang mengalami infeksi
virus hepatitis D. Selain itu, pemeriksaan tersebut tidak
terdeteksi pada pasien fibrosis hati lanjut.1
Adanya HOV-RNA pada serum menggunakan PCR
merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan paling
spesifik untuk infeksi hepatitis D. Narnun, kadar viremia
hepatitis D tidak borkorelasi dengan beratnya penyakit
hepatitis D. Pemeriksaan real-time PCR kuantittif digunakan
untuk pasien yang menjalani terapi, dimana penurunan kadar
HOV-RNA (dan HBsAg) selama awal terapi dapat
memprcdiksi respon torhadap terapi interferon.1
Bila pemeriksaan HOV-RNA sulit dilakukan, maka
pemeriksaan IgM anti-HOV dapat digunakan untuk
pemantauan infeksi hepatitis D. Antibodi tersebut meningkat
dengan titer tinggi bersamaan dengan anti-HD selama infeksi
hepatitis D akut, kemudian menurun dalam beberapa minggu
pada pasien yang mengalami perbaikan infeksi, sementara
antibodi IgG dapat bertahan selama beberapa waktu. IgM
anti-HDV tetap berada pada titer tinggi bersama dengan
antibodi igG pada pasien hepatitis D yang progresif menjadi
infeksi kronik. Turunnya titer IgM anti-HD berkorelasi
dengan respon terhadap antivirus. Antibodi IgG terhadap
HDAg dapat bertahan di serum sebagai penanda serologi
pada infeksi virus hepatitis D, di masa lalu, pada pasien
dengan HBsAg positif maupun HBsAg negatif. 1
Gambar Penanda serologis hepatitis D.2

5) Penatalaksanaan
Masalah yang dijumpai pada terapi infeksi virus hepatitis D
adalah tidak adanya fungsi enzimatik spesifik pada virus yang
dapat menjadi target terapi, berbeda dengan hepatitis B dan
hepatitis C yang mempunyai polimerase dan protease. Virus
hepatitis D bergantung pada HBsAg dan bukan terhadap replikasi
virus hepatitis B, sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh kadar
HBV-DNA dalam serum. Sekresi virus hepatitis D in vitro dan
kadar HDV-RNA in vivo berkorelasi langsung dengan kadar
HBsAg serum, bukan dengan titer HBV-DNA.1
Interaksi antara virus hepatitis B dan hepatitis D den adanya
fakta bahwa sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis D
mempunyai virus hepatitis B yang secara spontan mengalami
represi, menjelaskan mangapa antivirus sintetik terhadap virus
hepatitis B tidak bermanfaat. Tidak terdapat perbaikan klinis dan
virologis pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis D yang
mendapatkan terapi famciclovir, lamivudin, adefovir, dan ribavirin,
baik berupa monoterapi maupun terapi kombinasi dengan
interferon. Pada infeksi hepatitis D kronik, terapi yang digunakan
adaiah interferon. Vaksinasi hepatitis B dapat mencegah infeksi
hepatitis D sampai saat ini vaksin hepatitis D belum ditemukan. 1

5. HEPATITIS E
1) Etiologi
Virus hepatitis E (HEV) merupakan agen yang berbeda, tidak
berhubungan dengan HAV menyebabkan epidemik dan sebagian
besar ditularkan melalui air secara enterik. Genom serat tunggal,
poli (A) RNA dengan panjang sekitar 8000 pasangan basa. Ukuran
diameter 32-34 nm. Bentuk sferis, tidak mempunyai selubung,
mempunyai tonjolan pada permukaannya. Virus ini sensitif
terhadap CsCl, pembekuan pencairan berulang.
2) Patofisiologi
Gambar: Patofisiologi hepatitis E.1,2

3) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis

Manifestasi infeksi HEV sebagai epidemic hepatitis


sporadik di area endemik mengikuti periode inkubasi 15-60
hari (rata-rata 40 hari). Seperti virus hepatitis lainnya,
spektrum gejala yang terjadi meliputi:
i. Asimptomatik
ii. Demam pada penyakit virus akut tanpa gambaran
khusus. Ketika infeksi bersifat simptomatik, hal ini
akan mengakibatkan hepatitis akut yang dapat
sembuh sendiri berlangsung selama beberapa minggu.
Namun demikian, pada beberapa pasien terdapat
kemungkinan terjadi jalur kolestatik berkepanjangan.1
iii. Simptomatik dengan 2 fase, yaitu:
− Fase pra-ikterik, berlangsung selama1-10 hari
(rata-rata 3-4 hari) dengan gejala saluran
gastrointestinal (nyeri ulu hati (epigastrik), mual
dan muntah).1
− Fase ikterik, diawali tiba-tiba dengan ikterik, urin
gelap, dan feses berwarna mirip dempul (pucat).
Sebanyak dua pertiga pasien juga melaporkan
gejala nyeri sendi (artralgia). Terdapat:
peningkatan yang bervariasi pada bilirubin serum
(terutama bilirubin terkonjugasi) dan peningkatan
bermakna pada amino transferase yang
mendahului gejala selama 10 hari dan mencapai
puncaknya pada akhir minggu pertama (derajat
kenaikan aminotransferase tidak berkaitan dengan
keparahan penyakit).1
b. Pemeriksaan Fisik
Nyeri epigastrik, ikterik, nyeri sendi.1
c. Pemeriksaan Penunjang

i. HEVRNA pada feses dapat dideteksi pada fase pra-


ikterik, dan kemudian menurun menghilang seiring
dengan puncak ALT.1
ii. IgM anti-HEV pada serum diidentifikasi saat onset
gejala, yang dapat terdeteksi untuk 2 minggu sampai 3
bulan.1
iii. IgG anti HEV meningkat segera setelah IgM, bertahan
selama beberapa tahun pada 50% pasien.1
iv. Enzime immunoassay (EIA) dan imunokromatografi
merupakan metode detek yang paling cocok. Untuk
penduduk ataupun mereka yang berpergian ke daera
endemik, pemeriksaan untuk infeksi HE harus
diikutsertakan pada pemeriksaan lini pertama untuk
mendiagnosis hepatitis akut.1

Gambar: Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis E.2

4) Penatalaksanaan
Pengembangan vaksin dan pemeriksaan tetap dilakukan,
namun saat ini tidak ada vaksin yang dinilai cukup efektif. Strategi
kontrol dan pencegahan infeksi HEV bertujuan meningkatkan
kondisi higiene pada area endemik dan mendeteksi sumber
kontaminasi. Dengan meningkatka sanitasi dan menyediakan air
minum bersih serta sistem pembuangan limbah yang baik dapat
menurunkan angka infeksi.1

b. Sirosis Hepatis
1) Pengertian
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung
progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps
disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan
regenerasi nodularis parenkim hati.1
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati
kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala- gejala dan
tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan
kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak
terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biopsi hati.1
2) Patofisiologi
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec
ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan
sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga
kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis
mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya.
Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol adalah 1). Perlemakan
hati alkoholik, 2). Hepatiti alkoholik, dan 3). Sirosis alkoholik.1

3) Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala Sirosis Stadium awal sirosis sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena
kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata)
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis
mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata),
gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi
hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak
begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan
siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh
pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung,
agitasi, sampai koma.1
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angio maspider-
angiomata (atau spider telangiektasi), suatu lesi vaskular
yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering
ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme
terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan
peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga
bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan
ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran
lesi kecil.1
Eritema palmaris, warna merah pada thenar
dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan
dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini
juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada
kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme, dan
keganasan hematologi.1
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita
horisontal dipisahkan dengan warna normal kuku.
Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada
kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom
nefrotik. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier
Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik,
menimbulkan nyeri.1
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris
menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan
alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan
sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes
melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga
mengkonsumsi alkohol.1
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi
benigna jaringan glandula mammae laki-laki kemungkinan
akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan
juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki,
sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminisme.
Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga dikira fase menopause. Atrofi testis
hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda
ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.1
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa
membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba,
hati sirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali sering
ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah
lien karena hipertensi porta.1
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium
akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa
juga sebagai akibat hipertensi porta.1
Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien
sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid
akibat pintasan porto sistemik yang berat.1
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat
bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3
mg/ dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.1
Tanda-tanda lain yang menyertai di antaranya:
− Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar
− Batu pada vesika felea akibat hemolisis
− Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis
alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis,
dan edema.1
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien
sirosis. Hal ini akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya
sekresi insulin oleh sel beta pankreas.1
b. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran Laboratoris
− Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan
pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang
memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining
untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati
meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu
protrombin.1
− Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil
oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase
(ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase
(SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase
normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.1
− Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3
kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa
ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer.1
− Gamma-glutamil transpeptidase (GGT),
konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada
penyakit hati Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati
alkoholik kronik karena alkohol selain menginduksi
GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan
bocormya GGT dari hepatosit.1
− Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis
hati kompensata, tapi bisa meningkat pada sirosis
yang lanjut.1
− Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati
konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan
sirosis.1
− Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis.
Akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari
sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi imunoglobulin.1
− Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan
disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis
memanjang.1
− Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan
asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air
bebas.1
− Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa
bermacam-macam, anemia normokrom, normositer,
hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan
netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme.1
− Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat
varises untuk konfirmasi adanya hipertensi porta
Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan
karena pemeriksaannya non invasif dan mudah
digunakan, namun sensitivitasnya kurang.1
− Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG
meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran,
homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut,
hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan
ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu
USG juga bisa untuk melihat asites, splenomegali,
trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta
skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.1
− Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan
USG, tidak rutin digunakan karena biayanya relatif
mahal.1
− Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas
dalam mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.1
4) Pengobatan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi
ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-
bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik
diberikan diet yang mengandung protein Ig/kgBB dan kalori
sebanyak 2000-3000 kkal/hari.Tatalaksana pasien sirosis yang
masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan
etiologi, di antaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik
dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya Pemberian
asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat
kolagenik.1

Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau


imunosupresif. Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu
sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai
kebutuhan. Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat
badan akan mencegah terjadinya sirosis.1

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog


nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi
lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu
tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9- 12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat.
Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga
kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak
yang kambuh.1

Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dengan


ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara
suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan
dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.1

Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada


saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap
fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target
pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi
utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi dari scl stelata bisa
mcrupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas
antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel
stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah
pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian
sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan herbaljuga
sedang dalam penelitian.1
Pengobatan Sirosis Dekompensata

Asites; tirah baring dan diawali diet rendah garam,


konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol / hari. Diet
rendah garam dikombinasi dengan obat obatan diuretik. Awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali
sehari Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat
badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan
adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak
adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40
mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak
ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga
4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.1

Ensefalopati hepatik; laktulosa membantu pasien untuk


mengeluarkan amonia. Neomisin bisa digunakan untuk
mengurangi bakteri usus dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan
per hari, terutama diberikan yang kaya penghasil amonia, diet
protein asam amino rantai cabang.1

Varises esofagus; sebelum berdarah dan sesudah berdarah


bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu
perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatosta tin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika
seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.1

Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi darah


di hati, mengatur keseimbangan garam dan air. Transplantasi hati;
terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum
dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
resipien dahulu.1
b. Abses Hepar

Abses Hati Amuba

1) Definisi
Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi
debris nekro-inflamatori purulen di dalam parenkin hati yang
disebabkan oleh amuba, terutama Entamoeba histolytica. 1
2) Etiologi
Parasit amuba, yang tersering entamoeba histolytica. 1
3) Faktor resiko
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau
air yang tercemar dengan kista. Konsumsi makanan dan minuman
yang terkontaminasi. 1
4) Patogenesis
Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat
berbentuk sebagai trophozoit atau bentuk kista. Setelah
menginfeksi, kista amuba melewati saluran pencernaan dan
menjadi trophozoit di usus besar, trophozoit kemudian melekat ke
sel epitel dan mukosa kolon dengan gal/galNAc dimana mereka
menginvasi mukosa. Lesi awalnya berupa mikro ulserasi mukosa
caecum, kolon sigmoid dan rektum yang mengeluarkan eritrosit,
sel inflamasi dan sel epitel. Ulserasi yang meluas ke submukosa
menghasilkan ulser khas berbentuk termos (flask-shaped) yang
berisi trophozoit dibatas jaringan mati dan sehat. 1
Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, tempat
abses dapat berkembang. Entamoeba histolytica sangat resisten
terhadap lisis yang dimediasi komplemen, oleh karena itu dapat
bertahan di aliran darah. Terkadang organisme ini menginvasi
organ selain hati dan dapat membuat abses dalam paru-paru atau
otak. Pecahnya abses hati amuba ke dalam pleura, perikard, atau
ruang peritoneal juga dapat terjadi, di dalam hati, E. histolytica
mengeluarkan enzim proteolitik yang berfungsi melisiskan jaringan
pejamu. Lesi pada hati berupa “well demarcated abscess”
mengandung jaringan nekrotik dan biasanya mengenai lobus kanan
hati. Respon awal pejamu adalah migrasi sel-sel PMN. 1
Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan
enzim proteolitiknya, sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses
hati mengandung debris aselular, dan trophozoit hanya dapat
ditemukan pada tepi lesi. 1
5) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan
presentasi klinis yang akut dibandingkan abses piogenik
hati. Gejala telah terjadi rata-rata dua minggu pada saat
diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara
infeksi hati usus dan selanjutnya sampai bertahun-tahun,
dan kurang dari 10% pasien melaporkan riwayat diare
berdarah dengan disentri amuba. 1
Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90%
pasien, lebih berat dibandingkan piogenik terutama di
kuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai mual, muntah,
anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan tubuh, dan
pembesaran hati yang juga terasa nyeri. Nyeri spontan perut
kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke depan
dengan kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan
gambaran klinis khas yang sering dijumpai. Dua puluh
persen penderita dengan kecurigaan abses hati amuba
mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri.1
Demam umum terjadi, tetapi mungkin polanya
intermiten. Malaise, mialgia, artralgia umum terjadi. Ikterus
jarang ditemukan dan bila ada menandakan prognosis yang
buruk. Gejala dan tanda paru dapat terjadi, tetapi pericardial
rub dan peritonitis jarang ditemukan. Kadang-kadang
friction rub terdengar di hati. Gambaran laboratorium mirip
dengan yang ditemukan di abses piogenik. Koinfeksi
dengan bakteri patogen jarang ditemukan. Komplikasi yang
jarang terjadi adalah pecah di intra peritoneal, intra torakal,
dan perikardial serta kegagalan multiorgan. 1
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan
temperatur, pembesaran hati dan nyeri tekan. Jaundice
cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan maka harus
diduga adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat
penyakit hati kronis sebelumnya. Organisme diisolasi dari
tinja pada 50/% pasien. Aspirasi pada abses amuba harus
dilakukan jika diagnosis masih belum jelas dengan
gambaran pasta cokelat kemerahan dan berbau sedikit.
Trophozoit hanya didapatkan pada 20% aspirasi. 1
c. Pemeriksaan penunjang
Hasil foto toraks abnormal didapatkan pada 50-80%
pasien dengan gambaran atelektasis paru lobus kanan
bawah. Efusi pleura kanan dan kenaikan hemidiafragma
kanan.1
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes
awal, karena non invasif dan sensitivitasnya tinggi (80-
90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic dengan internal
ecoes. CT scan kontras digunakan terutama untuk
mendignosis abses yang lebih kecil, dapat melihat seluruh
kavitas peritoneal yang mungkin dapat memberikan
informasi tentang lesi. MRI tidak memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi dibandingkan CT scan, tetapi berguna jika hasil
masih diragukan, diagnosis membutuhkan potongan
koronal atau sagital dan untuk pasien yang intoleran
terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan
abses hati amuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya
menyerang lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan
biasanya tunggal.1
Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA,
indirect hemaaglutination, cellulose acetate precipitin,
counterimmunoelectrophoresis, immuflourescent antibody,
dan tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi harus
diinterpretasikan dengan klinis pasien karena kadar serum
antibodi mungkin masih tinggi selama beberapa tahun
setelah perbaikan dan atau penyembuhan. Sensitivitas tes
±95% dan spesifitasnya lebih dari 95%. Hasil negatif palsu
mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis
PCR untuk mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan
ELISA untuk mendeteksi antigen amuba pada serum sudah
sering dilakukan pada penelitian. 1
6) Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
− Jika didapatkan pasien muda yang telah melakukan
perjalanan ke daerah endemik, pada pencitraan
didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat toksik,
dengan dugaan kuat abses amuba, maka pemeriksaan
feses harus dilakukan untuk mencari kista dan
trophozoit amuba dan serum harus diperiksa antibodi
E. hystolitica.1
− Terapi dimulai dengan metronidazole 3x750 mg per
oral selama 7-10 hari atau nitoimidazole kerja panjang
(tinidazole 2 gram PO dan ornidazole 2 gram PO)
dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi
kemudian dilanjutkan dengan preparat luminal
amubisida untuk eradikasi kista dan mencegah
transmisi lebih lanjut, yaitu: iodoquinol 3x650 mg
selama 20 hari, diloxanide furoate 3x500 mg selama
10 hari, aminosidine (paromomycin 25-35 mg/kg
perhari TID selama 7-10 hari). Lebih dari 90% pasien
mengalami respons yang dramatis dengan terapi
metronidazole baik berupa penurunan nyeri maupun
demam dalam 72 jam.1
− Paromycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3
dosis selama 7 hari atau lini kedua diloksanide furoate
3x500 mg per oral selama 10 hari.1
− Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai
terapi alternatif, tetapi sebaiknya dihindari sebisa
mungkin karena efek kardiovaskular dan
gastrointestinal, selain karena tingginya angka relaps.
Chloroquine phosphate 1000 mg (chloroquine base
600 mg) diberikan oral selama 2 hari dan dilanjutkan
dengan 500 mg (chloroquine base 300 mg) diberikan
oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis diharapkan
dalam 3 hari. 1
b. Non medikamentosa
i. Aspirasi jarum perkutan
Indikasi aspirasi jarum perkutan:
− Risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang
didefinisikan dengan ukuran kavitas lebih dari 5
cm1
− Abses pada lobus kiri hari yang dihubungkan
dengan mortalitas tinggi dan frekuensi tinggi bocor
ke peritoneum atau perikardium1
− Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5
hari1
− Untuk menyingkirkan kemungkinan abses
piogenik, khususnya pasien dengan lesi multipel. 1
ii. Drainase perkutan
Drainase perkutan abses dilakukan dengan
tuntunan USG abdomen atau CT scan abdomen.
Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ
intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam
penempatan kateter untuk drainase. 1
iii. Drainase secara operasi
Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali
pada kasus tertentu seperti abses dengan ancaman
ruptur atau secara teknis susah dicapai atau gagal
dengan aspirasi biasa/ drainase perkutan. 1
iv. Reseksi hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang
diperlukan reseksi hati. Indikasi spesifik jika
didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver
carbuncle) dan disertai dengan hepatolitiasis, terutama
pada lobus kiri hati. 1

Abses Hati Piogenik

1) Definisi
Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada
jaringan hati yang disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran
darah, sistem bilier, maupun penetrasi langsung. 1
2) Etiologi

Kebanyakan AHP merupakan akibat infeksi dari tempat lain,


dimana sumber infeksi umumnya berasal dari infeksi organ intra
abdomen lain. Kolangitis yang disebabkan oleh batu maupun
striktur merupakan penyebab tersering. Terdapat 15% kasus AHP
yang sumber infeksinya tidak diketahui (abses kriptogenik).1

Dengan menggunakan teknik isolasi kuman anaerobik yang


ketat, saat ini ditemukan 45-75% AHP disebabkan oleh bakteri
anaerobik ataupun infeksi campuran bakteri aerobik dan anaerobik.
Bacteroides dan fusobacterium merupakan bakteri anaerobik
penyebab AHP terbanyak. Infeksi polimikrobial umumnya
disebabkan oleh bakteri anaerobik.1
Escherichia coli dan klebsiella pneumoniae merupakan
kuman yang paling banyak diisolasi pada kelompok bakteri aerobik
gram negatif. Klebsiella terutama ditemukan pada pasien AHP
dengan DM dan intoleransi glukosa. Pada kelompok bakteri gram
positif, staphylacocci paling sering ditemukan pada infeksi
monomikrobial, streptococci dan enterococci paling sering
ditemukan pada infeksi polimikrobial. Pada suatu studi besar,
ditemukan s. Aureus an streptococcus β-hemolyticus merupakan
bakteri penyebab AHP pada trauma, streptococcus grup D, K.
Pneumonia, dan clostridium sp. Berhubungan dengan infeksi
sistem bilier, serta bacteroides dan clostridium sp. Berhubungan
dengan penyakit colon. 1

3) Faktor resiko
Makanan dan minuman terkontaminasi, konsumsi alkohol. 1
4) Patogenesis

Infeksi menyebar ke hati melalui aliran vena porta, arteri,


saluran empedu, ataupun infeksi secara langsung melalui penetrasi
jaringan dari fokus infeksi yang berdekatan. Sebelum era
antibiotika, penyebab tersering adalah apendisitis dan pileflebitis
(trombosis supuratif pada vena porta). Saat ini, infeksi yang berasal
dari sistem bilier merupakan penyebab terbanyak terjadinya AHP,
diikuti oleh abses kriptogenik.1

Abses hati piogenik dapat juga merupakan komplikasi


lanjutan dari tindakan endoscopic sphincteroctomy untuk
mengatasi batu saluran empedu, ataupun komplikasi lanjut yang
terjadi 3 sampai 6 minggu setelah dilakukan biliary-intestinal
anastomosis. Dia asia timur dan asia tenggara, AHP dapat
merupakan komplikasi dari kolangitis piogenik rekuren yang
ditandai dengan adanya episode kolangitis yang berulang,
pembentukan batu intrahepatik, ataupun adanya infeksi parasit pada
sistem bilier. 1
5) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis

Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri


perut kanan atas. Demam tinggi yang naik turun disertai
menggigil merupakan keluhan terbanyak. Nyeri perut kanan
atas biasanya menetap dan dapat menyebar ke bahu kanan.
Kebanyakan pasien mengalami keadaan ini kurang dari 2
minggu, sebelum pergi berobat. Gejala tidak khas lainnya
meliputi keringat malam, muntah, anoreksia, kelemahan
umum, dan penurunan berat badan. Sekitar ⅓ kasus disertai
dengan diare dan ⅟₄ kasus mengeluhkan adanya batuk yang
tidak produktif. Pasien juga mungkin datang dengan
keluhan pada sumber infeksi primernya, misalnya
apendisitis atau divertikulitis, sebelum gejala AHP
berkembang.1

Onset penyakit biasanya terjadi akut. Onset yang


tersamar dapat terjadi pada orang tua. Onset pada abses
tunggal biasanya gradual dan umumnya merupakan abses
kriptogenik. Gambaran klinis pada asbes multiple biasanya
menunjukkan gambaran akut dan biasanya penyebab
primernya diketahui. 1

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai


nyeri pada kuadran kanan atas. Ikterik dijumpai apabila
penyakit telah lanjut. Beberapa pasien tidak mengeluhkan
adanya nyeri perut kuadran kanan atas ataupun tidak
didapatkan hepatomegali, biasanya gambaran klinis
menunjukkan fever of unknown origin (FUO). Adanya
kelainan pada paru kanan berupa pekak pada perkusi dan
penurunan suara napas dijumpai apabila proses penyakit
terjadi pada segmen superior lobus kanan. Pada
pemeriksaan fisik paru ditemukan kelainan pada sekitar 20-
30% kasus anemia dan dehidrasi juga merupakan tanda fisik
yang sering ditemukan. 1

c. Pemeriksaan penunjang

Saat ini, pemeriksaan pencitraan merupakan modalitas


penting untuk menegakkan diagnosis AHP. Adanya temuan
klinis meliputi demam, nyeri perut kanan atas, serta
pembesaran hati yang disertai nyeri tekan, menjadi alasan
untuk pemeriksaan pencitraan lebih lanjut, meliputi
pemeriksaan ultrasonografi (USG) computerized
tomography scan (CT scan), serta magnetic resonance
imaging (MRI). Pemeriksaan pencitraan dapat membedakan
AHP dari kolesistitis, obstruksi aliran empedu, maupun
pankreatitis. Penggunaan zat kontras technetium 99m-sulfur
colloid sebelum pemeriksaan USG dan CT sensitif untuk
mengetahui adanya lesi dengan ukuran <3 cm, serta dapat
memprediksi lokalisasi untuk dilakukan aspirasi
perkutaneus maupun drainase.1

Pemeriksaan USG memperlihatkan adanya lesi


hipoekoik, kadang-kadang dapat ditemukan internal eko.
Namun demikian, lesi yang terletak pada bagian atas lobus
kanan sulit untuk diidentifikasi. Gambaran AHP dengan CT
menunjukkan gambaran lesi densitas rendah, penggunaan
kontras memperlihatkan peripheral enhancement.
Pemeriksaan CT juga dapat menunjukkan sumber infeksi
ekstrahepatik dari AHP, misalnya apendisitis ataupun
divertikulitis. Walaupun pemeriksaan CT dan USG dapat
membedakan abses dari obstruksi saluran empedu, namun
tidak dapat membedakan AHP dari abses hati amebik
(AHA). Pemeriksaan dengan MRI walaupun masih sedikit
digunakan, lebih sensitif untuk menentukan AHP. 1
Kebanyakan abses, baik AHP maupun AHA, terletak
pada lobus kanan. Adanya abses multipel sangat
mencurigakan suatu AHP. Tumor hati yang telah
mengalami nekrosis serta infeksi sekunder, seringkali
memberikan gambaran USG seperti AHP. Pemeriksaan
rontgen dada dapat ditemukan adanya elevasi
hemidiafragma kanan serta atelektasis.1

Pemeriksaan laboratorium didapati kelainan meliputi


anemia ringan, leukositosis dengan netrofilia, serta
peningkatan laju endap darah. Dapat juga ditemukan
perubahan fungsi hati, yaitu peningkatan kadar serum alkali
fosfatase. 1

Adanya antibodi antiamubik penting untuk


membedakan AHA dari AHP. Lebih dari 90% pasien
dengan AHA mempunyai antibodi antiamubik titer tinggi
terhadap entamoeba histolytica.1

Elemen kunci untuk diagnosis AHP adalah


ditemukannya agen penyebab, baik melalui kutur darah,
maupun kultur pus dari aspirasi abses. Kultur darah positif
pada 50% kasus. Pada aspirasi abses, spesimen yang berasal
dari AHP berwarna kekuningan ataupun kehijauan serta
berbau busuk. Spesimen yang berasal dari AHA berwarna
merah kecoklatan. Dengan pengecatan gram, pada AHA
ditandai dengan adanya netrofil tanpa bakteri, kecuali bila
telah terjadi infeksi sekunder. Sementara pada AHP, selalu
terdapat bakteri. 1

6) Penatalaksanaan
b. Medikamentosa
Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika
spektrum luas. Ampisilin dan aminoglikosida diberikan bila
sumber infeksi terdapat pada saluran empedu. Sefalosporin
generasi ketiga merupakan pilihan apabila sumber infeksi
berasal dari usus. Metronidazole diberikan pada semua
AHP dengan berbagai sumber infeksi untuk mengatasi
infeksi anaerobik. Regimen pilihan lain adalah kombinasi
beta laktam dan penghambat aktivitas beta laktamase yang
diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi dari usus,
dimana kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi
anaerobik. Bila telah terdapat hasil kultur, antibiotika
disesuaikan dengan kuman yang spesifik. Antibiotik
intravena diberikan sedikitnya selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 6 minggu.
Apabila infeksi disebabkan oleh streptococcus, pemberian
antibiotika oral dosis tinggi disarankan selama lebih dari 6
minggu. 1
b. Non medikamentosa
i. Drainase perkutaneus
Drainase perkutaneus dilakukan dengan tuntunan
USG pada abses berukuran >5 cm, menggunakan
indwelling drainage catheter. Pada abses multipel, hanya
abses berukuran besar yang perlu untuk diaspirasi. Abses
kecil cukup dengan penggunaan antibiotika.1
ii. Drainase dengan pembedahan
Drainase dengan pembedahan dilakukan pada AHP
yang mengalami kegagalan setelah dilakukan drainase
perkutaneus, ikterik yang tidak sembuh, penurunan fungsi
ginjal, serta pada abses multilokuler. Saat ini drainase
dengan pembedahan dilakukan dengan laparoskopis. 1
c. Ca Hepar

1) Definisi

Karsinoma hepatoseluler merupakan tumor ganas hati


primer yang berasal dari hepatosit. Karsinoma hepatoseluler
sering disebut sebagai kolangiosarkoma dan kadang-kadang
angiosarkoma.2

2) Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor risiko utama karsinoma hepatoseluler di Indonesia


adalah infeksi kronik virus hepatitis B, virus hepatitis C dan
sirosis hati oleh berbagai sebab. Risiko juga dipengaruhi oleh ras,
jenis kelamin dan umur. Faktor risiko utama tersebut
dihubungkan dengan pemilihan populasi tertentu yang sebaiknya
dilakukan surveillance untuk karsinoma hepatoseluler dan
berpengaruh terhadap prognosis. Populasi terinfeksi virus
hepatitis B yang berisiko tinggi mendapatkan karsinoma
hepatoseluler adalah: laki-laki pembawa hepatitis B pada ras Asia
setelah berusia 40 tahun, perempuan pembawa hepatitis B ras
Asia setelah berusia 50 tahun, pembawa hepatitis B dengan
riwayat keluarga karsinoma hepatoseluler, pasien hepatitis B ras
negro, sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis B. Populasi
terinfeksi virus hepatitis C beresiko sirosis hati dan semua sirosis
hati apapun penyebabnya mempunyai risiko tinggi untuk
mendapatkan karsinoma hepatoseluler.2

Meskipun bukti karsinogenisitas bahan kimia, dan paparan


berpengaruh besarpada hati manusia, hanya 2 bahan kimia yang
jelas terbukti bersifat karsinogenbagi hati manusia: aflatoksin dan
monomer vinil klorida. Sebelumnya, bahan makanan (misalnya,
kacang-kacangan dan biji-bijian), terkontaminasi oleh jamur
Aspergillus flavus. Jamur ini mencemari makanan yang disimpan
dalam waktu lama di lingkungan yang panas atau lembab dan
jelas terkait dengan HCC, terutama sebagai kofaktor dengan virus
hepatitis B yang terdapat di banyak negara di Afrika dan Asia
Tenggara. Hal itu bersifat hepatokarsinogen bagimanusia yang
paling kuat yang dikenal dan mendorong terjadinya tumor
denganmenyebabkan inaktivasi p53 melalui mutasi GT spesifik
pada kodon 249. Monomer vinil klorida menginduksi
angiosarkoma pada hewan coba serta pekerja industri manufaktur
klorida polivinil. Pada daerah yang beriklim sedang, alkohol
berkaitan dengan karsinoma hepatoseluler, Alkohol merupakan
sebuah co-karsinogen dengan virus hepatitis B.2

Penanda hepatitis B sangat umum ditemukan pada pasien


sirosis alkoholik yang akan berkomplikasi menjadi karsinoma
hepatoseluler. Induksi enzim yang diperantarai oleh alkohol dapat
meningkatkan konversi dari co-karsinogen menjadi karsinogen,
sehingga berkontribusi terhadap proseshepatokarsinogenesis.
Alkohol juga dapat meningkatkan karsinogenesis melaluidepresi
respon imun. Alkilasi DNA yang diperantarai karsinogen akan
terganggu oleh alkohol. Perkembangan karsinoma hepatoseluler
pada sirosis alkoholik sering juga ditemukan DNA virus hepatitis
B yang telah terintegrasi dalam sel hati yang telah berubah ganas.
Namun, karsinoma hepatoseluler tetap dapat berkembang pada
kelompok alkoholik tanpa riwayat adanya infeksi hepatitis B.2

3) Patogenesis

Hepatokarsinogenesis dikenal sebagai proses tahapan yang


sangat rumit danhampir setiap jalur yang terlibat dalam proses
karsinogenesis akan mempengaruhi derajat pada karsinoma
hepatoseluler. Oleh karena itu, tidak ada mekanisme molekuler
tunggal yang dominan atau patognomonik pada karsinoma
hepatoseluler. Hepatokarsinogenesis dianggap suatu proses yang
berasal dari sel-sel indukhati (namun, peran sel induk hati sebagai
sel yang berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler masih
dalam perdebatan) atau berasal dari sel hepatosit yang matang dan
merupakan perkembangan dari penyakit hati kronis yang
didorong oleh stres oksidatif, inflamasi kronis dan kematian sel
yang kemudian diikuti oleh proliferasiterbatas / dibatasi oleh
regenerasi, dan kemudian remodeling hati permanen. Mekanisme
hepatokarsinogenesis tidak sepenuhnya dipahami . Namun ,
seperti kebanyakan tumor solid lainnya, pengembangan dan
perkembangan kanker hati yang diyakini disebabkan oleh
akumulasi perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan
ekspresi pada gen yang terkait kanker , seperti onkogen atau gen
supresor tumor , serta gen lainnya yang terlibat dalam jalur
regulasi. Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu tumor
dengan faktor etiologi yang paling dikenal. Karsinoma
hepatoseluler umumnya merupakan perkembangan dari hepatitis
kronis atau sirosis di mana ada mekanisme peradangan terus
menerus dan regenerasi dari sel hepatosit.Cedera hati kronis yang
disebabkan oleh HBV, HCV, konsumsi alkohol yang kronis,
steatohepatitis alkohol, hemokromatosis genetik, sirosis bilaris
primer dan adanya defisiensi α-1 antitrypsin menyebabkan
kerusakan hepatosit permanen yang diikuti dengan kompensasi
besar-besaran oleh sel proliferasi dan regenerasi dalam
menanggapi stimulasi sitokin. Akhirnya, fibrosis dan sirosis
berkembang dalam pengaturan remodelling hati secara permanen,
terutama didorong oleh sintesis komponen matriks ekstraseluler
dari sel-sel stellata hati.2

Dalam lingkungan yang bersifat karsinogenik,


perkembangan nodul hiperplastik dan displastik akan segera
menjadi kondisi pre-neoplastik. Namun, diduga akumulasi dari
berbagai peristiwa molekuler yang berurutan pada berbagai tahap
penyakit hati ( jaringan normal hati , hepatitis kronis , sirosis ,
nodul hiperplastik dan displastik dan kanker ) hanya dipahami
secara parsial saja. Patogenesis secara molekul dari karsinoma
hepatoseluler melibatkan genetik atau terjadi penyimpangan
epigenetik yang berbeda dan terdapat perubahan dalam beberapa
jalur sinyal yang mengarah pada heterogenitas penyakit dalam hal
biologis dan perilaku klinis. Bukti saat ini menunjukkan bahwa
dalam hepatokarsinogenesis, terdapat dua mekanisme utama yang
terlibat, yaitu sirosis dan yang berhubungan dengan regenerasi
hati setelah adanya kerusakan hati kronis yang disebabkan oleh
beberapa faktor (infeksi hepatitis, toksin ataugangguan
metabolisme), serta adanya sejumlah mutasi DNA yang
menyebabkan gangguan dari keseimbangan onkogenesis-
onkosupresor dari sel yang mengarah ke perkembangan sel-sel
neoplastik.2

Beberapa jalur penting dari sinyal seluler telah diamati


menjadi bagian dari keterlibatan onkogenetic pada karsinoma
hepatoseluler. Jalur sinyal utama pada karsinoma hepatoseluler
adalah RAF / MEK / ERK , PI3K/AKT/mTOR , NTB / β -
catenin , IGF , HGF / c-MET dan faktor pertumbuhan yang
mengatur sinyal angiogenik. Hepatokarsinogenesis dimulai pada
lesi pre-neoplastik seperti nodul makroregeneratif, nodul diplastik
low-grade dan high grade. Percepatan proliferasi hepatosit dan
pengembangan populasi hepatosit monoklonal terjadi pada semua
kondisi pre-neoplastik. Akumulasi perubahan genetik dalam lesi
pre-neoplastik diyakini mengarah terjadinya karsinoma
hepatoseluler. Perubahan genom yang terjadi secara acak akan
terakumulasi dalam hepatosit yang displastik dan hepatosit pada
karsinoma hepatoseluler. Meskipun perubahan genetik dapat
terjadi secara bebas dari kondisi etiologi, beberapa mekanisme
molekuler lebih sering berkaitan dengan etiologi spesifik.2

4) Penegakkan Diagnosis

a. Manifestasi Klinik dan Pemeriksaan Fisik


Karsinoma hepatoseluler secara klasik muncul dan
tumbuh secara asimtomatik,sehingga ketika ditemukan sudah
merupakan perkembangan tahap lanjut. Manifestasi klinis
dari karsinoma hepatoseluler umumnya sangat bervariasi dan
berhubungan dengan sejauh mana luas kanker ini pada hati
saat didiagnosis. Pada area dengan angka insidensi rendah,
penyakit ini cenderung lebih berbahaya dan sering muncul
sebagai keadaan memburuknya kesehatan pada pasien
dengan sirosis. Nyeri perut kanan atas dapat terjadi pada 50-
70% kasus dan pada beberapa pasien terlihat massa pada
abdominal.2

Pasien dengan sirosis hati cenderung memiliki


toleransi yang rendah terhadap infiltrasi sel ganas dalam hati
sehingga muncul tanda-tanda spesifik dan gejala
dekompensasi hati seperti ikterus , ensefalopati , dan edema
pada tubuh . Asites, perdarahan varises atau temuan lain yang
sesuai dengan hipertensi portal dapat menunjukkan adanya
invasi sel ganas karsinoma hepatoseluler ke dalam sistem
portal. Tumor mereka sering dibiarkan tumbuh dengan
sedikit retriksi . Gejala yang menyertai biasanya berhubungan
dengan keganasan yang sudah berlangsung lama dan gejala
karena adanya pertumbuhan tumor termasuk malaise ,
anoreksia , penyusutan otot , nyeri perut kuadran kanan atas,
dan adanya distensi perut. Rasa nyeri bersifat konstan,
seringkali terasa sangat hebat dan kadang memburuk setelah
makan. Pembesaran atau distensi perut akibat adanya
pembesaran hati dengan atau tanpa asites. Ikterus biasanya
terjadi pada 50% dari seluruh pasien dengan karsinoma
hepatoseluler. Ketika ditemukan pasien dengan ikterus, maka
sangat penting untuk membedakan penyebabnya apakah
karena insufisiensi parenkim hati atau karena obstruksi
biliaris. 2
Manifestasi sistemik pada karsinoma hepatoseluler :

Manifestasi sistemik atau sindroma paraneoplastik


yang paling penting adalah hipoglikemia dan
hiperkalsemia.Hipoglikemia dapat ditemukan pada 30%
pasien.4Pasien dengan hipoglikenia dapat dibagi menjadi 2
kategori, yaitu tipe A merupakan tipe yang paling sering pada
pasien dengan tumor yang berdiferensiasi buruk dan
anoreksia serta adanya penurunan berat badan drastis.
Hipoglikemia biasanya terjadi sebagai gejala terminal dan
mudah dikontrol. Hal ini diakibatkan karena sedikitnya
jumlah jaringan hati yang berfungsi normal untuk menjaga
sintesis glukosa. Sedangkan pada pasien dengan tipe B,
hipoglikemia terjadi ketika pasien berada pada kondisi yang
baik dengan tumor berdiferensiasi baik. Biasanya pasien
dengan tipe B kesulitan untuk menjaga kadar glukosa darah,
meskipun sudah mengkonsumsi diet tinggi karbohidrat,
kortikosteroid dan diazoxide.Pada pasien dengan
hiperkalsemia biasanya dikarenakan adanya pseudo-
hiperparatiroidisme. Sel tumor yang mengandung zat
menyerupai parathormon sehingga kadar parathormon dalam
serum meningkat.2

b. Pemeriksaan penunjang

− Pemeriksaan Laboratorium

Temuan pada pemeriksaan laboratorium pada


karsinoma hepatoseluler sering tidak ditemukan adanya
keabnormalan. Enzim aspartat aminotransferase (AST)
dan alanin aminotransferase (ALT) biasanya masih
dalam batas normal atau mengalami hanya sedikit
peningkatan. Alkalin fosfatase (AP) dan γ-
glutamiltransferase sering ditemukan abnormal, tetapi
peningkatannya tidak melebihi 2 atau 3 kalinya. Enzim
laktat dehidrogenase (LDH) dapat meningkat pada
pasien dengan metastasis hati, khususnya yang berasal
dari hematogen.1Tes laboratorium yang cukup spesifik
pada kasus karsinoma hepatoseluler adalah kadar α-
fetoprotein(AFP) dalam serum yang meningkat pada 70-
90% pasien karsinoma hepatoseluler.2

Kadar AFP dapat dijadikan pendekatan diagnostik


pada karsinoma hepatoseluler jika kadarnya sangat tinggi
( > 1000 mg/ml )atau ketika kadarnya meningkat.32
Namun pada saat ini terbukti AFP memiliki spesifitas
maupun sensifitas yang tidak cukup tinggi untuk
mendukung diagnosis karena AFP juga meningkat pada
keganasan laur diluar karsinoma hepatoseluler Selain α-
fetoprotein, tumor marker lainnya yang berhubungan
dengan karsinoma hepatoseluler adalah
carcinoembryonic antigen (CEA). CEA akan meningkat
pada hampir seluruh bentuk penyakit hati kronis dan
memiliki kadar yang tinggi pada metastasis tumor pada
hati. CEA ini berguna dalam mendiagnosis karsinoma
hepatoseluler meskipun kadarnya meningkat hanya pada
60% kasus.2

− Radiologi
Imaging study yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis karsinoma hepatoseluler adalah pemeriksaan
Multidetector CT scan atau MRI yang diperkuat dengan
kontras. Ultrasonografi konvensional tidak dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis karsinoma
hepatoseluler kecuali untuk mendeteksi adanya nodul
ketika dilakukan surveillance. Demikian juga
ultrasonografi dengan kontras tidak cukup akurat untuk
menegakkan diagnosis karsinoma hepatoseluler. Ciri
khas pada karsinoma hepatoseluler adalah enhanced pada
fase arterial dan washout pada fase vena. Dasar fisiologis
dari fenomena ini adalah bahwa karsinoma hepatoseluler
diberi pasokan nutrisi oleh darah arteri. Dengan
demikian, selama fase arteri, sel hati disuplai oleh arteri
dan vena portal,sedangkan sel tumor hanya mendapat
pasokan nutrisi dari darah arteri. Darah pada vena porta
di hati akan mengencerkan agen kontras. Namun hal
tersebut tidak terjadi pada tumor, sehingga tumor akan
menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi dari kontras
sehingga terlihat lebih terang daripada hati di sekitarnya.
Selama fase vena, sel hati diberi makan oleh darah portal
yang mengandungkontras, dan darah arteri yang tidak
lagi berisi kontras. Tumor mendapat pasokan nutrisi dari
darah arteri yang juga tidak memiliki agen kontras.
Dengan demikian, sel hati akan menjadi lebih terang dari
lesi, atau, dalam istilah lain pada lesi akanmenunjukkan
fenomena washout kontras. 2
Nodul dengan lesi < 1 cm pada ultrasonografi,
khususnya pada sirosis hati, memiliki kemungkinan yang
kecil untuk menjadi karsinoma hepatoseluler.Bahkan
kemungkinan adanya keganasan berkurang jika lesi
tersebut tidak menunjukkan penyerapan kontras secara
dinamis.34 Meskipun jika CT atau MRI menunjukkan
adanya vaskularisasi arteri, daerah tervaskularisasi
tersebut kemungkinan tidak sesuai dengan focus
karsinoma hepatoseluler.Walaupun begitu, kemungkinan
untuk menjadi ganas kapan saja masih tinggi. Sehingga,
nodul ini perlu ditindaklanjuti secara teratur tiap
beberapa bulan untuk dapat mendeteksi pertumbuhan
perubahan menjadi ganas dan diperiksa tiap 3-6 bulan.
Jika setelah lebih dari 1 atau 2 tahun tidak ada
pertumbuhan maka dapat dikatakan bahwa lesi tersebut
bukan merupakan karsinoma hepatoseluler Jika nodul
berdiameter lebih dari 1 cm, harus ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan MDCT 4 fase atau MRI yang diperkuat
dengan kontras, diagnosis dianggap tegak bila dijumpai
gambaran nodul hipervaskular pada fase arterial diikuti
dengan washout pada fase vena. 2
− Biopsi hepar

Biopsi dapat dipertimbangkan sebagai pengganti


pemeriksaan imaging kedua dengan tetap
mempertimbangkan kemungkinan penyebaran melalui
jalan jarum biopsy. Walaupun beberapa pusat penelitian
penyakit hati, misalnya JSH masih menganjurkan
kombinasi antara faktor risiko, seromarker tumor dan
MDCT/MRI, penegakkan diagnosis tetap bersandat pada
gambaran imaging dengan MDCT/MRI atau biopsy
nodul jika diperlukan. Banyak pusat penelitian penyakit
hati yang sangat menghindari biopsi.2

5) Tatalaksana

Terdapat beberapa modalitas pengelolaan karsinoma


hepatosleuler. Pada dasarnya modalitas tersebut dapat dibagi
menjadi modalitas yang bertujuan untuk kuratif, paliatif, dan
suportif. Pemilihan pengelolaan didasarkan pada penyakit hati
yang mendasari, status kapasitas fungsi hati, status fisik pasien,
ukuran dan jumlah nodul. Staging system tersebut sangat penting
selain untuk menilai keberhasilan terapi juga berguna untuk
menilai prognosis. Beberapa staging system yang dikenal saat ini
adalah klasifikasi TNM, Okuda Staging, The Chinese University
Prognostic Index (CUPI), Cancer of the Liver Italian Program
(CLIP), French staging system, dan The Barcelona-Clinic Liver
Cancer (BCLC) staging . Klasifikasi TNM bukan merupakan gold
standard. Di antara klasifikasi-klasifikasi baru, keberagamanan
gambaran survival didiskripsikan pada stadium terbaik (3-year
survival dari 80% hingga 25%) yang merefleksikan bahwa
beberapa penelitian termasuk kebanyakan pasien dengan penyakit
stadium lanjut, dengan sedikit pasien yang mendapatkan
pengelolaan. CUPI, CLIP, dan French Staging System disusun
untuk pasien dengan stadium lanjut.Sistem BCLC merupakan
sistem yang banyak dianut saat ini.5 Sistem BCLC ini telah
disahkan oleh beberapa kelompok di Eropa dan Amerika Serikat,
dan direkomendasikan sebagai klasifikasi yang terbaik sebagai
pedoman pengelolaan, khususnya untuk pasien dengan stadium
awal yang bisa mendapatkan terapi kuratif. Sistem ini
menggunakan variabel-variabel yang berhubungan dengan
stadium tumor, status fungsional hati, status fisik pasien, dan
gejala-gejala yang berhubungan kanker. Hubungan antara
keempat variabel tersebut akan menggambarkan hubungannya
dengan algoritma penatalaksanaan.2

Pada stage 0, pasien karsinoma hepatoseluler stadium


sangat awal merupakan kandidat yang tepat untuk reseksi. Untuk
stage A, pasien karsinoma hepatoseluler stadium awal
mendapatkan terapi radikal (reseksi, transplantasi hati, atau
pengobatan perkutan). Stage B, pasien dengan stadium menengah
dapat dilakukan terapi kemoembolisasi. Stage C, pasien dengan
stadium lanjut kemungkinan mendapatkan agen baru dalam
randomized controlled trials (RCTs). Sedangkan pada stage D,
pasien dengan stadium akhir akan menerima pengobatan
simptomatik.2

Terapi karsinoma hepatoseluler tergantung dari stadium


penyakit dan fungsi hati. Pembedahan merupakan satu-satunya
terapi yang mempunyai potensi sembuh. Pada kasus yang
terseleksi dengan baik, angka ketahanan hisup dapat mencapai
70%. Reseksi merupakan terapi pilihan bagi penderita karsinoma
hepatoseluler tanpa sirosis. Transplantasi hati merupakan pilihan
bagi penderita karsinoma hepatoseluler stadium awal yang tidak
cocok untuk reseksi (tumor multifocal, sirosis yang disertai
disfungsi hati berat). Ablasi lokal atau ablasi radiofrekuensi
biasanya diberikan pada penderita karsinoma hepatoseluler
stadium awal yang tidak cocok untuk tindakan pembedahan.
Kemudian transarterial chemoembolization (TACE) merupakan
terapi pilihan bagi penderita karsinoma hepatoseluler stadium
menengah yang tidak dapat dilakukan reseksi, tidak ditemukan
adanya invasi vascular maupun penyebaran ekstrahepatik.Terapi
lainnya adalah dengan radiasi internal dnegan menggunakan 90
Y-labelled glass microspheres. Kemudian terapi medik target
molekul dengan cara mengganggu pensinyalan jalur yang
melibatkan progresi dan survival sel kanker.2

d. Fatty Liver Disease

Perlemakan hati non alkoholik

1) Definisi

Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidak-sepahaman dalam


terminologi penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan
istilah perlemakan hati non aikohoiik (nonalcoholic fatty liver = NAFL)
atau penyakit perlemakan hati non alkoholik (nonalcoholic fatty liver
disease = NAFLD). Pada umumnya disepakati bahwa steatohepatitis non
alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis = NASH) merupakan perlemakan
hati pada tingkat yang lebih berat.1

Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati


(sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat
hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis
dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati. yaitu
ditemukannya minimal 5-10℅ sel lemak dari keseluruhan hepatosit.1

Terdapat dua kelompok pola histologis dari NAFLD yaitu: 1) steatosis


hati atau perlemakan hati dan 2) steatohepatitis. Steatohepatitis
didefinisikan sebagai adanya steatosis hati dengan bukti adanya kerusakan
sel, yaitu balooning atau hialin Mallory dengan berbagai derajat inflamasi
dan fibrosis periselular. Inflamasi yang berhubungan dengan
steatohepatitis biasanya ringan dan terdistribusi terutama di daerah
lobular.3

Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik.
Batas untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak bermakna
sempat menjadi perdebatan, tetapi lebih banyak ahli yang menyepakati
bahwa konsumsi alkohol sampai 20% per hari masih bisa digolongkan
sebagai non alkoholik. 1

2) Etiologi

Primer, yaitu sindrom metabolik

Sekunder :

a. Nutrisional, seperti total parenteral nutrition, kehilangan berat


badan yang cepat, kelaparan, pembedahan bypass pada saluran cerna.

b. Obat-obatan, seperti glukokortikoid, estrogen, tamoxifen,


metotreksat, zidovudin, amiodaron, tetrasiklin intravena, didadosin,
kokain, perhexilen, hipervitaminosis A, diltiazem.

c. Toksin, seperti toksin jamur (Amanita phalloides, lepiota), bahan


petrokimia, fosfor, toksin Bacillus cereus.

d. Metabolik, seperti lipodistrofi, disbetalipoproteinemia, penyakit


Weber-Christian, penyakit Wolman dan sindrom Reye.

e. Lain-lain, seperti inflammatory bowel disease, HIV, divertikulosis


usus halus dengan pertumbuhan bakteri. 1
Penyebab Steatosis Makrovesikular

Resistensi insulin, hiperinsulinemia

Obesitas Sentral

Diabetes tipe 2

Medikasi

Glukokortikoid

Estrogen

Tamoxifen

Amiodarone

Nutrisional

Kelaparan

Defisiensi protein (Kwashiorkor)

Defisiensi kolin

Penyakit hati

Wilson disease

Hepatitis kronis C-genotipe 3

Indian Childhood Cirrhosis

Jejunoileal bypass

Tabel 1. Penyebab Steatosis Makrovesikular3

3) Faktor resiko

Resistensi insulin, asupan asam lemak ke hati, berat badan. 1

4) Patogenesis
Pengetahuan mengenai patogenesis steatohepatitis non alkoholik
masih belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan
dengan steatohepatitis non alkoholik adalah obesitas dan diabetes
melitus. serta dua abnormalitas metabolik yang sangat kuat
kaitannya dengan penyakit ini adalah peningkatan suplai asam
lemak ke hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini
banyak diterima adalah the two hit theory yang diajukan oleh Day
dan James.3

Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang


dapat terjadi karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia,
diabetes melitus, dan obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam
keadaan normal, asam lemak bebas dihantarkan memasuki organ
hati lewat sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam
iemak bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti
proses re-esterifikasi menjadi trigliserida atau digunakan untuk
pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan massa jaringan
lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan
penglepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk di
dalam hepatosit Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati
akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak.
Proses ini terfokus di mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya
akan mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang
disebut sebagai hit kedua.3

Peningkatan stres oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena


resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati,
peningkatan aktivitas un-coupling protein mitokondria,
peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1. Peningkatan cadangan
besi dan menurunnya aktivitas anti oksidan, Ketika stres oksidatif
yang terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan,
maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan berlanjut
dengan inflamasi progresif. pembengkakan hepatosit dan kematian
sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. Meskipun teori
two-hit sangat popular dan dapat diterima, agaknya penyempurnaan
akan terus dilakukan karena makin banyak yang berpendapat
bahwa yang terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit.3

Perjalanan Penyakit

Perjalanan alamiah penyakit perlemakan hati nonalkoholik masih


belum jelas diketahui karena masih terbatasnya penelitian
prospektif, tapi tampaknya sangat dipengaruhi oleh derajat
kerusakan jaringan. Selama ini disepakati bahwa ada beberapa
tingkat gambaran histologik sepanjang perjalanan alamiah penyakit
ini, yaitu perlemakan hati sederhana, steatohepatitis, steatohepatitis
yang disertai fibrosis, dan sirosis. Terbukti pula bahwa setelah
berkembang menjadi sirosis, perlemakan sebaliknya makin
menghilang.3

Pada sebuah penelitian terhadap 257 orang pasien perlemakan hati


nonalkoholik yang dipantau selama 3,5 sampai 11 tahun melalui
biopsi hati, didapatkan 28% mengalami kerusakan hati progresif,
59% tidak mengalami perubahan, dan 13% justru membalik. Pada
beberapa kasus terlihat jelas perkembangan mulai dari steatosis
menuju steatohepatitis sampai akhirnya menjadi sirosis hati.1

Sampai saat ini risiko mortalitas pasien-pasien perlemakan hati


nonalkoholik masih menjadi kontradiksi. Studi oleh Prost dan
kawan-kawan membandingkan probabilitias kesintasan (survival)
30 pasien steatohepatitis nonalkoholik dengan kontrol yang
disesuaikan usia dan jenis kelaminnya. Ternyata kelompok pasien
steatohepatitis nonalkoholik memiliki kesintasan yang lebih pendek
5-10 tahun. Suatu penelitian retrospektif potong lintang
melaporkan 11 kematian di antara 299 pasien (31%). Selanjutnya
dalam studi lain didapatkan hanya 1 kematian di antara 42 pasien
selama pemantauan 4,5 tahun, sehingga mendukung pendapat
mortalitas yang rendah dari studi sebelumnya. Hasil sebaliknya
ditunjukkan beberapa penelitian terbaru. Studi terhadap 30 pasien
steatohepatitis nonalkoholik yang diikuti lebih dari 10 tahun,
mendapatkan kesintasan 5 tahun hanya 67% dan kesintasan 10
tahun 59%. Harus diingat bahwa semua data dikumpulkan secara
retrospektif dengan berbagai keterbatasan, sehingga penelitian
prospektif unutk menilai mortalitas masih sangat diperlukan.3

Banyak faktor yang berperan dalam mortalitas pasien dengan


perlemakan hati nonalkoholik, seperti obesitas, diabetes melitus
beserta komplikasinya, komorbiditas lain yang berkaitan dengan
obesitas, serta kondisi hatinya sendiri. Belum ada publikasi yang
secara jelas menilai kontribusi faktor-faktor tersebut terhadap
kematian pasien, walaupun sebuah studi mendapatkan bahwa
terjadinya sirosis meningkatkan resiko relatif mortalitas.3

Perbaikan histologik juga dapat terjadi, khususnya pada pasien-


pasien dengan fibrosis minimal. Setelah mengalami penurunan
berat badan, hstologi hati bisa membaik antara lain berupa
berkurangnya inflamasi serta Mallory bodies, sampai perbaikan
firosis. Tentunya hal ini terjadi jika penurunan dilkukan secara
bertahap, karena terbukti bahwa kehilangan berat badan mendadak
justru memicu progresi penyakit bahkan sampai mengalami gagal
hati.1

5) Penegakkan Diagnosis

a. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Sebagian besar pasien dengan perlemakan hati nonalkoholik


tidak menunjukkan gejala maupun tandatanda adanya penyakit hati.
Beberapa pasien melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan
tidak enak dan seperti mengganjal di perut kanan atas. Pada
kebanyakan pasien, hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan
fisis yang didapatkan, Umumnya pasien dengan perlemakan hati
non alkoholik ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
pemeriksaan lain, misalnya dalam medical check-up. Sebagian lagi
datang dengan komplikasi sirosis seperti asites. perdarahan varises,
atau bahkan sudah berkembang menjadi hepatema. 1

b. Pemeriksaan Penunjang
Biopsi hati merupakan baku emas pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-
satunya metoda untuk membedakan steatosis nonalkoholik dengan
perlemakan tanpa atau disertai inflamasi. Masih menjadi perdebatan
apakah biopsi hati perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin dalam
proses penegakkan diagnosis perlemakan hati nonalkoholik.
Sebagian ahli mendukung dilakukannya biopsi karena pemeriksaan
histopatologi mampu menyingkirkan etiologi penyakit hati lain,
membedakan steatosis dari steatohepatitis, memperkirakan
prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu.
Alasan dari kelompok yang menentang biopsi hati antara lain
prognosis yang umumnya baik, belum tersedianya terapi yang
benar-benar efektif, dan risiko serta biaya dari tindakan biopsi itu
sendiri. Oleh karenya pemeriksaan radiologi dan kimia darah terus
menerus diteliti dan dioptimalkan sebagai metoda pemeriksaan
alternatif yang bersifat non invasif.1
− Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa secara akurat
membedakan steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati
nonalkoholik dengan perlemakan hati alkoholik. Peningkatan
ringan sampai sedang, konsentrasi AST, ALT, atau keduanya
merupakan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang paling
sering didapatkan pada pasien-pasien dengan perlemakan hati
nonalkoholik. Beberapa pasien datang dengan enzim hati yang
normal sama sekali. Kenaikan enzim hati biasanya tidak melebihi
empat kali (kurang dari 300 IU/L) dengan rasio AST:ALT kurang
dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini dapat mendekati atau
bahkan melebih satu.1 Pelu menjadi perhatian beberapa studi yang
melaporkan bahwa konsntrasi AST dan ALT tidak memiliki
korelasi dengan aktivitas histologis, bahkan konsentrasi enzim
dapat tetap normal pada penyakit hati yang sudah lanjut.
Pemeriksaan laboratorium lain seperti fosfatase alkali, -
glutamiltransferase, feritin darah atau saturasi tranferin juga dapat
meningkat, sedangkan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang
memanjang, dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada
pasien yang sudah menjadi sirosis.Dislipidemia ditemukan pada 21-
83% pasien dan biasanya berupa peningkatan konsentrasi
trigliserida. Karena diabetes merupakan salah satu faktor risiko
perlemakan hati nonalkoholik, maka tidak jarang terdapat pula
peningkatan konsentrasi gula darah.3
− Evaluasi pencitraan
Berbagai modalitas pencitraan telah dicoba untuk mendeteksi
perlemakan hati. Agaknya ultrasonografi merupakan pilihan terbaik
saat ini, walaupun CT dan MRI juga dapat digunakan. Pada USG,
infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan peningkatan difus
ekogenisitas (hiperekoik, bright liver) bila dibandingkan dengan
ginjal. Sensitifitas USG 89% dan spesifitasnya 93% dalam
mendeteksi steatosis. Terbukti ketiga teknik pencitraan di atas
memiliki sensitifitas yang baik untuk mendeteksi perlemakan hati
nonalkoholik dengan deposit lemak di hati melebih dari 39%, tetapi
tidak satu pun dari ketiga alat tersebut dapat membedakan
perlemakan hati sederhana dari steatohepatitis.1

Infiltrasi lemak di hati menghasilkan gambar parenkim hati dengan


densitas rendah yang bersifat difus pada CT, meskipun adakalanya
berbentuk fokal. Gambaran fokal ini dapat disalahartikan sebagai
massa ganas di hati. Pada keadaan seperti itu MRI bisa dipakai
untuk membedakan nodul akibat keganasan dari infiltrasi fokal
lemak di hati. 3
Gambar: Gambaran CT steatohepatitis. (Kiri) Pada gambaran non-kontras, hati tampak
lebih gelap dibandingkan limpa. (Kanan) dengan kontras.4
− Histologi
Secara histopatologis, perlemakan hati nonalkoholik tidak dapat
dibedakan dengan kerusakan hati akibat alkohol. Gambaran biopsi hati
antara lain berupa steatosis, infitrasi sel radang, hepatocyte ballooning
dan nekrosis, nukleus glikogen, Mallory’s hyaline, dan fibrosis.
Ditemukannya fibrosis pada perlemakan hati nonalkoholik menunjukkan
kerusakan hati lebih lanjut dan lebih berat. Dari berbagai penelitian
terhadap gambaran histologi hati yang pernah dilakukan terlihat bahwa
fibrosis dalam berbagai derajat ditemukan pada hampir 66% kasus ketika
diagnosis ditegakkan, 25% di antaranya dengn fibrosis berat (fibrosis
septa atau sirosis) dan 14% sirosis nyata.1
Gambar: (kiri atas) steatohepatitis makrovesikular (pewarnaan HE); (kanan atas) baloning
dengan hialin Mallory dalam sel baloning (panah); (kiri bawah) badan Mallory diwarnai
dengan antibodi ubiquitin; (kanan bawah) perwarnaan Masson trichrome menunjukan
fibrosis periselular terutama di daerah sentrilobular.4

Karakterisktik histologis perlemakan hati nonalkoholik adalah


ditemukannya perlemakan hati dengan atau tanpa inflamsi. Perlemakan
umumnya didominasi oleh gambaran sel makrovesikular yang mendesak
inti hepatosi ke tepi sel. Pada fase awal atau steatosis ringan, lemak
ditemukan paada zona 3 hepatosit. Inflamasi merupakan komponen dasar
untuk menyatakan adanya steatohepatitis nonalkoholik. Sel-sel inflamasi
tersebut terdiri dari netrofil dan sel mononuklear yang ditemukan pada
lobulus-lobulus hati. Bila sel-sel inflamasi tidak ditemukan berarti pasien
masih berada dalam tahap perlemakan hati saja. Adanya badan Mallory
dan anak inti glikogen merupakan variasi dari gambaran steatohepatitis
nonalkoholik. Biasanya badan Mallory ini memiliki ukuran lebih kecil
daripada yang biasa ditemukan pada steatoheaptitis alkoholik.3

Grading untuk Steatosis

Grade 1 <33% hepatosit terisi lemak

Grade 2 33-66% hepatosit terisi lemak

Grade 3 >66% hepatosit terisi lemak

Grading untuk steatohepatitis

Grade 1, Ringan

Steatosis Didominasi makrovesikular,


melibatkan hingga 66% dari lobulus

Degenerasi balon Kadangkala terlihat di zona 3


hepatosit

Inflamasi lobular Inflamasi akut tersebar dan ringan (sel


PMN), kadangkala inflamasi kronik
(sel MN)

Inflamasi portal Tidak ada atau ringan

Grade 2, sedang

Steatosis Berbagai derajat, biasanya campuran


makrovesikular dan mikrovesikular

Degenerasi balon Jelas terlihat dan terdapat di zona 3

Inflamasi lobular Adanya sel PMN dikaitkan dengan


hepatosist yang mengalami degenerasi
balon, fibrosis periselular, inflamasi
kronik ringan mungkin ada

Inflamasi portal Ringan sampai sedang


Grade 3, berat

Steatosis Meliputi >66% lobulus (panasinar),


umumnya steatosis campuran

Degenerasi balon Nyata dan terutama di zona 3

Inflamasi lobular Inflamasi akut dan kronik yang


tersebar, sel PMN terkonsentrasi di
area zona 3 yang mengalami
degenerasi balon dan firosis
perisinusioidal

Inflamasi portal Ringan sampai sedang

Staging untuk Fibrosis

Stage 1 Firosis perivenulaer zona 3,


perisinusoidal, periselular, ekstensif
atau fokal

Stage 2 seperti di atas, dengan fibrosis


periportal yang fokal atau ekstensif

Stage 3 Fibrosis jembatan, fokal atau ekstensif

Stage 4S Sirosis

Tabel 2. Grading dan Staging perlemakan hati non-alkoholik.3


Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai interpretasi
histopatologis steatohepatitis nonalkoholik. Kontroversi terutama
mengemukan dalam hal penentuan kriteria untuk membedakan
perlemakan hati sederhana dengan steatohepatitis nonalkoholik. Di
samping itu, meskipun penilaian derajat fibrosis hampir seragam, para
ahli patologi seringkali tidak sepaham menyangkut grading inflamasi.
Klasifikasi dari Brunt merupakan kriteria histopatologis yang banyak
dipakai untuk menentukan derajat steatohepatitis nonalkoholik.1
6) Tatalaksana Perlemakan hati non alkoholik
Sampai sekarang modalitas pengobatan yang terbukti baik masih
terbatas. Belum ada terapi yang secara universal dapat dikatakan efektif,
strategi pengobatan cenderung dilakuan dengan pendekatan empiris
karena patogenesis penyakit juga belum begitu jelas diketahui. Penelitian
terapi medikamentosa steatohepatitis non alkoholik yang dipublikasikan
sebagian besar merupakan uji klinis tanpa kontrol. Penelitian yang
menggunakan kontrol umumnya dilakukan terhadap pasien dalam
jumlah kecil atau bervariasi dalam menetukan kriteria steatohepatitis dan
parameter keberhasilan. Oleh karena itu. pengobatan lebih ditujukan
pada tindakan untuk mengontrol faktor risiko, seperti memperbaiki
resistensi insulin dan mengurangi asupan asam lemak ke hati,
selanjutnya baru pemakaian obat yang dianggap memiliki potensi
hepatoprotektor.1

Pengontrolan Faktor Risiko (non farmako)

− Mengurangi berat badan dengan diet dan latihan jasmani.

− Intervensi terhadap gaya hidup dengan tujuan mengurangi berat


badan merupakan terapi lini pertama bagi steatohepatitis non
alkohoiik. Target penurunan berat badan adalah untuk mengoreksi
resistensi insulin dan obesitas sentral, bukan untuk memperbaiki
bentuk tubuh. Penurunan berat badan secara bertahap terbukti dapat
memperbaiki konsentrasi serum aminotransferase (AST dan ALT)
serta gambaran histologi hati pada pasien dengan steatohepatitis non
alkoholik. Erikson dkk melaporkan efek penurunan berat badan pada
tiga pasien yang sebelumnya mengalami kelebihan berat antara 50-
60%. Ternyata semua mengalami perbaikan dengan konsentrasi
enzim aminotransferase mendekati normal. dan dua pasien
menunjukkan normalisasi histologi hati. Sebuah studi lain di Jepang
yang menggunakan intervensi diet dan olahraga untuk menurunkan
berat badan juga memberikan hasil yang sarna. Perlu diperhatikan
bahwa penurunan berat badan terlalu drastis atau fluktuasi berat
badan yang bolak-balik naik turun (sindrom yo-yo) justru memicu
progresi penyakit hati. Hal ini terjadi akibat meningkatnya aliran
asam lemak bebas ke hati sehingga peroksidasi lemakpun turut
meningkat. Sebaliknya penurunan berat badan bertahap temyata
tidak mudah dilakukan dan seringkali sulit untuk dipertahankan.
Latihan jasmani dan pengaturan diet menjadi inti terapi dalam usaha
mengurangi berat badan. Aktifitas fisik hendaknya berupa latihan
bersifat aerobik paling sedikit 30 menit sehari. Sangat penting untuk
mencapai target denyut nadi, tetapi tidak perlu menjalankan latihan
yang terlalu berat. 1


Esensi pengaturan diet tidak berbeda dengan diet pada diabetes:
mengurangi asupan lemak total menjadi 60% dari total asupan
energi, mengurangi asupan lemak jenuh, mengganti dengan
karbohidrat kompleks yang mengandung setidaknya 15 gr serat serta
kaya akan buah dan sayuran. Walaupun dianjurkan untuk merujuk
pasien kepada ahli gizi untuk mendapatkan pengetahuan lebih rinci
mengenai pengaturan diet, namun setiap dokter diharapkan mampu
memberi informasi prinsip diet rendah lemak yang sesungguhnya
tidaklah terlalu rumit. 1

− Mengurangi berat badan dengan tindakan bedah.

− Setelah gagal dengan pengaturan diet dan latihan jasmani tidak


jarang pasien beralih kepada terapi pembedahan. Beberapa penelitian
melaporkan manfaat Operasi bariatrik terhadap pasien dengan
perternakan hati. Terlihat adanya perbaikan pada gambaran histologi
hati serta parameter umum sindrom metabolik Sekali lagi harus
diingat potensi timbulnya eksaserbasi steatohepatitis pada penurunan
berat badan yang terlalu cepat. 1

Terapi Farmakologis

− Antidiabetik dan insulin sensitizer


Metformin meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan menurunkan
produksi glukosa hati. 1

Penelitian dilakukan oleh Marcnesini dkk. Empat belas pasien


steatohepatitis nonalkoholik mendapat terapi metformin 3 x 500
mg/hari selama 4 bulan dan sebagai kelompok kontrol adalah 6 pasien
steatohepatitis nonalkoholik yang hanya mendapat terapi diet.
Didapatkan perbaikan konsentrasi rata-rata SGPT, peningkatan
sensitifitas insulin, dan penurunan volume hati pada pasien yang
mendapatkan terapi metformin. Namun sayangnya. pada penelitian ini
tidak dilakukan evaluasi histopatologis setelah terapi. 1

Tiazolidindion adalah obat antidiabetik yang bekerja sebagai ligan


untuk PPARg dan memperbaiki sensitifitas insulin pada jaringan
adiposa. Selain itu. tiazolidindion juga menghambat ekspresi leptin
dan TNF-alfa. konstituen yang dianggap terlibat dalam patogenesis
steatohepatitis nonalkoholik. Terdapat 3 tiazolidindion yang telah
diproduksi. Pertama, troglizatin telah ditarik dari peredaran karena
menyebabkan kerusakan hati, termasuk beberapa kematian akibat
penyakit hati. Caldwell dkk menggunakan obat ini sebelum ditarik dari
peredaran. Berdasarkan penelitiannya. ditemukan normalisasi enzim
tanpa perbaikan histologis pada 7 dari 10 pasien steatohepatitis
nonalkoholik yang diterapi troglizaton selama 6 bulan. Kedua,
rosiglitazon yang telah diteliti selama setahun pada 25 pasien dengan
steatohepatitis non alkoholik. Konsentrasi enzim-enzim hati (AST,
fosfatase alkali dan g-glutamil transpeptidase) membaik secara
bermakna seperti juga sensitifitas insulin. Biopsi hati yang dilakukan
pasca terapi menunjukkan adanya perbaikan derajat fibrosis
sentrilobular. Adanya beberapa kasus gangguan hati akibat
rosiglitazon, diperlukan studi terkontrol lebih besar untuk menilai
manfaat dan keamanan obat ini. Obat ketiga adalah piaglitazon yang
paling tidak telah dilaporkan pada tiga studi pendahuluan. Ketiganya
membuktikan terjadinya perbaikan pada aminotransferase, dua
penelitian juga disertai perbaikan derajat steatosis dan nekroinflamasi.
Sayangnya penelitian tersebut melibatkan sampel kecil, delapan
sampai sepuluh pasien. sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan
dengan sampel lebih besar. 1

− Obat anti hiperlipidemia

Studi menggunakan gemfibrozil menunjukkan perbaikan ALT dan


konsentrasi lipid setelah pemberian obat selama satu bulan. tetapi
evaluasi histologi tidak dilakukan. Uji klinis terhadap statin juga telah
dilakukan. Sebuah studi pendahulan dengan sampel kecil
memperlihatkan perbaikan parameter biokimiawi dan histologi pada
sekelompok pasien yang mendapat atorvastatin. Sebaliknya studi lain
menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara kontrol dan
pasien yang menggunakan berbagaijenis statin. 1

− Antioksidan

Berdasarkan patogenesisnya, terapi antioksidan diduga berpotensi


untuk mencegah progresi steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis.
Antioksidan yang pernah dievaluasi sebagai alternatif terapi pasien
perlemakan hati non alkoholik antara lain vitamin E (a-tokoferol),
vitamin C, betain dan N-asetilsistein. Penelitian-penelitian sebelumnya
telah menunjukkan bahwa vitamin E menghambat produksi sitokin
oleh lekosit Sementara itu uji klinis pada manusia menunjukkan bahwa
vitamin E dengan dosis sampai 300 lU/hari dapat menurunkan
konsentrasi TGF-B. memperbaiki inflamasi dan fibrosis, seperti studi
yang melibatkan 12 pasien dengan steatohepatitis berdasarkan biopsi
dan 10 pasien dengan perlemakan hati yang mendapat vitamin E 300
lU/hari selama setahun. Tes fungsi hati menunjukkan perbaikan
bermakna dibandingkan data awal, sedangkan derajat steatosis,
inflamasi dan fibrosis membaik atau tetap stabil pada sembilan pasien
dengan steatohepatitis yang menjalani biopsi hati ulangan pasca terapi.
Studi lain dilakukan terhadap 45 pasien dengan steatohepatitls non
alkoholik yang menerima kombinasi vitamin E 1000 lU/hari dan
vitamin c 1000 lU/hari atau plasebo selama enam bulan. Ternyata
tidak teriihat perbedaan bermakna antara kelompok kontroi dan
plasebo dalam enzim-enzim hati. derajat steatosis dan aktivitas
nekroinfiamasi. Untuk memastikan potensi efikasi vitamin E terhadap
pasien perlemakan hati non alkoholik masih diperlukan penelitian
terkontrol dengan jumlah lebih besar. 1 Betain berfungsi sebagai
donor metil dalam pembentukan lesitin daiam siklus metabolik
metionin. Pada sebuah penelitian oleh grup dari klinis Mayo, betain 20
ing/hari diberikan pada delapan pasien dengan steatohepatitis non
alkoholik selama 12 bulan. Pasca terapi terlihat perbaikan bermakna
konsentrasi ALT, steatosis, aktifitas nekroinflamasi dan fibrosis. 1

− Hepatoprotektor

Ursodeoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu dengan banyak


potensi, seperti efek imunomodulator, pengaturan lipid. dan efek
sitoproteksi. Pertama kali digunakan secara empiris pada seorang
perempuan berusia 66 tahun dengan steatohepatitis non alkoholik yang
menunjukkan normalisasi enzim transaminase setelah terapi UDCA
selama satu tahun. Sampai saat ini terdapat empat uji klinis terbuka
untuk menilai manfaat terapi UDCA pada pasien steatohepatitis non
alkoholik. Pada sebuah studi pendahuluan terhadap 40 pasien yang
mendapat UDCA 13-15 mg/kg/hari seiama satu tahun terbukti adanya
perbaikan ALT. fosfatase alkali, g-GT, dan steatosis, tetapi tidak ada
perbaikan bermakna dalam derajat infiamasi dan fibrosis. Pada studi
lain tes fungsi hati mengalami perbaikan pada 13 pasien setelah
mendapat UDCA 10 mg/kg/hari selama 6 bulan. Studi paling akhir
menyangkut UDCA dilakukan terhadap 24 pasien dengan dosis 250
mg tiga kali sehari selama 6-12 bulan. Dilaporkan adanya perbaikan
konsentrasi aminotransferase dan petanda fibrogenesis.1
Perlemakan hati alkoholik

1) Etiologi

Penyebab hepatitis alkoholik belum jelas, tetapi kemungkinan berawal dari


satu atau lebih hasil sampingan yang toksik dan hasil metabolisme etanol
yang toksik :

− Acetaldehyde (mayoritas dari metabolit etanol). Alkohol.

− Reactive oxygen species (ROS) dihasilkan selama oksidasi etanol.


lnflamasi yang diperantarai sitokin. 1

2) Faktor resiko

Penyalahgunaan alkohol termasuk dalam 5 besar penyebab kematian,


artinya penyalahgunaan alkohol tersebut bertanggung jawab atas 80.000
hingga 85.000 kematian pertahun; 20,000 di antaranya secara langsung
berasal dari stadium akhir sirosis, dan 10.000 hingga 20.000 disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor.

Pasien yang dirawat di rumah sakit 25%-30% memiliki problem yang


terkait dengan penyalahgunaan alkohol.

Konsumsi alkohol menahun menyebabkan banyak efek yang


merugikan. Perlemakan hati terjadi pada 90% sampai 100% peminum
berat, dan 10%-35% akan berkembang menjadi hepatitis alkoholik. Hanya
8%-20% yang berkembang menjadi sirosis hepatis. Perlemakan hati,
hepatitis alkoholik dan fibrosis adalah entitas yang berdiri sendiri-sendiri,
sehingga tidak menyatakan suatu proses perubahan yang berkelanjutan.
Karsinoma sel hati dapat timbul pada 10% sampai 20% pasien dengan
sirosis alkoholik. 1

3) Patogenesis

Konsumsi dalam jangka pendek paling banyak 80 g etanol per hari


(5-6 beers atau 8-9 ons dari 80 minuman keras) pada umumnya dapat
menyebabkan perubahan hati ringan dan reversibel bisa berupa
perlemakan hati ringan. Konsumsi etanol menahun 40-80 g per hari
dianggap sebagai ambang batas dari faktor risiko untuk terjadinya
kerusakan hati berat. Adanya perbedaan perjalanan penyakit seperti yang
dikemukakan sebelumnya, beberapa alasan menyebutkan bahwa terkait
dengan penurunan metabolisme etanol di lambung dan adanya perbedaan
komposisi tubuh. Perempuan lebih rentan terhadap kerusakan hati
dibandingkan dengan pria. Tampaknya risiko kerusakan hati yang terjadi
sebanding dengan frekuensi dan volume yang diminum. Sebagai contoh
pesta mabuk-mabukan dampaknya terhadap kerusakan hati lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang minum dengan cara teratur dan dalam
kadar rendah. Faktor individual seperti faktor genetik kemungkinan besar
berperan namun petanda yang dapat dipercaya akan kemungkinan tersebut
belum ada. Walaupun belum diketahuinya secara nyata faktor-faktor yang
berpengaruh pada kerusakan hati, namun dianjurkan agar tidak
mengkonsumsi alkohol di atas ambang aman. 1

Metabolisme etanol oleh enzim alcohol dehidrogenase dan sistem


microsomail ethanol-oxidizing. Induksi terhadap cytochrome P450 pada
peminum alkohol menahun akan meningkatkan perubahan obat lain
menjadi metabolit yang bersifat toksik. Secara khusus efek tersebut dapat
meningkatkan metabolisme asetaminofen menjadi metabolit yang bersifat
toksik kuat dan meningkatkan jejas hati meskipun diberikan dalam dosis
terapi.3

Steatosis sel hati merupakan hasil dari beberapa mekanisme seperti


(1) terhindarnya substrat dari katabolisme dan mendekatnya substrat pada
biosintesis fipid. Sebab hasil metabolisme akan berlebihan berupa
nicotinamide adenine dinucleotide terreduksi yang merupakan hasil
metabolisme etanol oleh alkohol dehidrogenase dan asetaldehid
dehidrogenase; (2) terjadi kegagalan dalam penyusunan (assembly) dan
sekresi lipoprotein; (3) peningkatan katabolisme lemak perifer.1
Penyebab hepatitis alkoholik belum jelas, tetapi kemungkinan
berawal dari satu atau lebih hasil sampingan yang toksik dan hasil
metabolisme etanol yang toksik :

Acetaldehyde (mayoritas dari metabolit etanol) menginduksi hasil


sampingan peroksidasi lipid dan asetaldehidrotein, yang dapat merusak
kerangka sel dan fungsi membran sel.1

Alkohol, langsung merusak susunan kerangka sel (seperti yang


terlihat sebagai badan Mallory-Denk, fungsi mitokondria dan kestabilan
membran.1

Reactive oxygen species (ROS) dihasilkan selama oksidasi etanol


oleh sistem microsomol ethonol oxidizing yang selanjutnya bereaksi dan
merusak membran sel dan protein. ROS Juga diproduksi oleh neutrofil
yang menyebuk ke area hepatosit yang nekrotik.1

lnflamasi yang diperantaral sitokin dan kerusakan sel hati pada


umumnya merupakan gambaran utama yang terjadi pada hepatitis
alkoholik dan penyakit hati alkoholik. TNF dianggap sebagai pemeran
utama dalam terjadinya jelas; IL-1, IL-6 dan 1L-8 mungkin juga berperan.
Perangsang utama munculnya sitokin-sitokin pada penyakit hati alkoholik
adalah reactive oxygen species dan produk mikroba (contoh endotoksin)
yang berasal dari bakteri usus.1

Karena pembentukan turunan acetaldehyde dan radikal bebas


paling banyak di area sentriliobular maka area ini merupakan area paling
rentan terhadap jejas yang bersifat toksik. Fibrosis akan terjadi di area
sekitar sel dan di sekitar sinusoid di dalam lobulus. Apabila terjadi
bersamaan dengan hepatitis virus terutama hepatitis C, maka merupakan
penyebab utama percepatan terjadinya penyakit hati pada alkohoiik.
Prevalensi hepatitis C pada individu dengan penyakit alkoholik berkisar
sekitar 30% (dan sebaliknya). 1

Sirosis hanya teriadi pada sebagian kecil alkoholik kronik dengan


alasan yang belum diketahui. Pada semua individu alkoholik yang dapat
melakukan pantangan penuh memperlihatkan regresi fibrosis dari
mikrolobulus akan berubah menjadi sirosis makronodular; sirosis yang
mengalami regresi jarang terjadi. 1

4) Penegakkan Diagnosis

Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Perlemakan hati mungkin tidak berbahaya atau hanya


menyebabkan pembesaran hati ringan, bilirubin serum serta alkali
fosfatase; kerusakan hati berat yang membahayakan jarang terjadi.
Berhenti sebagai peminum alkohol dan keteguhan untuk melakukan
diet yang adekuat merupakan penatalaksanaan yang mencukupi.2

Diperkirakan bahwa seorang peminum berat memerlukan


waktu cukup lama 15 tahun hingga 20 tahun untuk menjadi sirosis
alkoholik, namun hepatitis alkoholik dapat terjadi hanya dalam
waktu beberapa minggu atau bulan pada peminum yang terus
menerus. Awal terjadinya khas, bersifat akut dan sering diikuti
dengan kesakitan terutama pada peminum berat. Gejala dan
abnormalitas hasil pemeriksaan laboratorium bervariasi dari
minimal hingga berat. Pada sebagian besar pasien ditemukan gejala
berupa malaise, anoreksia, rasa tak enak di bagian atas abdomen,
pembesaran hati yang lunak, demam. Gambaran hasil laboratorium
antara lain hiperbilirubinemia, peningkatan fosfatase alkali,
leukositosis neutrofilik. Aminotransferase alanin dalam serum dan
aminotransferase aspartate meningkat, namun biasanya masih di
bawah 500 U/ml. Apa yang akan terjadi kemudian tidak dapat
diperkirakan sebelumnya kemungkinan risiko kematian pada setiap
serangan pada penderita hepatitis berkisar 10% hingga 20%,
Serangan yang berulang ulang menyebabkan sirosis pada 13 pasien
dalam beberapa tahun kemudian. Hepatitis alkoholik kemungkinan
juga bisa terjadi pada sirosis.1
Pada umumnya gejala awal dari sirosis terkait dengan
komplikasi hipertensi portal. Stigmata sirosis (contoh abdomen
membesar terisi asites, ekstremitas mengecil, caput medussa)
merupakan gambaran klinis yang dapat ditemukan. Kemungkinan
lain pasien pertama kali datang dalam kondisi yang membahayakan
hidupnya, perdarahan varises, ensefalopati hepatikum. Pada kasus
lain memperlihatkan gejala awal yang tenang berupa malaise,
kelemahan, berat badan menurun, kehilangan nafsu makan, yang
mendahului gejala-gejala berikutnya yaitu kuning, asites, edema
perifer. Hasil pemeriksaan laboratorium mencerminkan adanya
penyakit hati antara lain peningkatan transaminase serum,
hiperbilirubinemia, peningkatan alkali fosfatase yang bervariasi,
hipoproteinemia (globulin, albumin dan faktor pembekuan), serta
anemia. Kemungkinan terakhir sirosis tidak terdeteksi sama sekali
secara klinis, dan ditemukan pada saat autopsi atau ketika terjadi
tekanan yang berat misalnya karena infeksi atau trauma yang
mengganggu keseimbangan sehingga terjadi insufisiensi hati. Pada
alkoholik menahun, alkohol akan menjadi sumber kalori terbesar di
dalam diet, yang kemudian akan menggusur nutrien lain dan
menggiring kearah malnutrisi serta defisiensi vitamin (contoh
tiamin, vitamin BI2). Sekumpulan kejadian tersebut di atas
menyebabkan gangguan fungsi pencernaan, terutama terkait dengan
kerusakan lambung kronik, kerusakan mukosa usus dan
pankreatitis. 2

Apa yang akan terjadi dalam jangka panjang pada pasien


dengan gangguan hati akibat alkohol, bervariasi. Penatalaksanaan
yang paling penting adalah berhenti menjadi peminum alkohol.
Angka harapan hidup 5 tahun mencapai 90% pada pasien tanpa
kuning, asites dan hematemesis namun akan turun menjadi 5096-
6096 apabila pasien terus menjadi peminum. Mereka yang sudah
berada pada stadium lanjut dari penyakit hati alkoholik, yang segera
dapat menyebabkan kematian adalah:
− Gagal fungsi hati.

− Perdarahan gastrointestinal masif.

− Infeksi berulang (terjadi pada mereka yang mempunyai


kecenderungan).

− Sindrom hepatorenal.

− Karsinoma sel hati 3%-6% kasus. 1

7) Tatalaksana Perlemakan hati non alkoholik

Untuk secara garis besar tatalaksana perlemakan hati alkoholik hampir


sama dengan tatalaksana perlemakan non alkholik. Berhenti sebagai
peminum alkohol dan keteguhan untuk melakukan diet yang adekuat
merupakan penatalaksanaan yang mencukupi. 1

B. Post Hepatik

1. CHOLEDOCOLITHIASIS
a. Defiinisi
Choledocholithiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu
yaitu saluran empedu utama atau di ductus choledochus dan merupakan
suatu kondisi umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Pada
umumnya komposisi utama batu adalah kolesterol.5
Penyebab koledokoliasis/kolelitiasis dipengaruhi oleh umur dan
jenis kelamin. Terdapat peningkatan kejadian yang progresif berhubungan
dengan peningkatan usia seseorang, dimana usia 40 tahun ke atas lebih
beresiko dibanding usia dibawah 40 tahun sedangkan jenis kelamin
perempuan lebih rentan dari pada pria yang dipengaruhi oleh hormon
endogen.5
Selain umur dan jenis kelamin, angka kejadian koledokoliasis/kolelitiasis
juga dipengaruhi oleh obesitas, kehamilan, intoleransi glukosa, resistensi
insulin, diabetes mellitus, hipergliseridemia, pola diet, penyakit kronis,
dan faktor lainya.5

d. Patogenesis pembentukan batu empedu


Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu
saluran empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu:
1) batu empedu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70%, 2)
batu pigmen voklat atau batu calsium bilirubinate yang mengandung ca –
billirubinate sebagai komponen utama, 3) batu pigmen hitam yang kaya
akan residu hitam yang tak terekstrasi.
Tiga faktor yang berperan dalam pathogenesis batu kolesterol: 1)
hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, 2) percepatan terjadinya
kristalisasi kolesterol dan 3) gangguan motilitas kandung empedu dan
usus.5
Adanya pigmen didalam inti batu kolesterol berhubungan dengan lumpur
kandung empedu pada stadium awal pembentukan batu.5
Pathogenesis batu pigmen melibatkan statis empedu, malnutrisi,
dan faktor diet. Kelebihan aktivitas enzim B-glucoronidase bakteri dan
manusia memegang peran kunci dalam pathogenesis batu pigmen.
Hidrolisis bilirubine oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak
terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calsium bilirubine.3 batu yang
terbentuk kemudian menempati common bile duct.5
Gambar 1. Batu empedu menyumbat common bile duct (choledocolitiasis)5

e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang dapat timbul yaitu nyeri kolik epigastrium
atau kuadran kanan, ikterus, demam dan menggigil (charcot’s triad).
pruritus yang merupakan gejala yang belum jelas patogenesisnya.
Xanthoma kulit (akumulasi fokal kolesterol) disebabkan oleh
hiperlipidemia yang terjadi akibat kegagalan ekskresi kolesterol.
Karakteristik dari hasil laboratorium adalah peningkatan alkali fosfatase,
yaitu enzim yang terdapat pada epitet duktus biliaris dan membran
kanalikulus dari sel hati. Alkali fosfatase sendiri merupakan isoensim
yang normal dapat ditemukan pada berbagai organ antara lain terdapat
pada tulang. Adanya peningkatan alkali fosfatase serum belum tentu
penyebabnya kerusakan hati sehingga harus dipastikan terlebih dahulu
bahwa peningkatan enzim tersebut memang berasal dari kerusakan
jaringan hati. Penurunan jumlah empedu yang masuk ke usus halus juga
akan menyebabkan malabsorbsi, sehingga terjadi pula penurunan absorbsi
vitamin yang larut di dalam lemak yaitu vitamin A, D dan K.7
f. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan serum transaminase
dan fosfatase alkali. Kadar bilirubin yang meningkat karena ketika
batu empedu menyumbat CBD cairan empedu tidak dapat
diseksresikan sehingga terbendung di kandung empedu. 8
- Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dilakukan untuk
mengetahui besar dan letak batu, bentuk, penebalan dinding kandung
empedu. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.8
- MRCP (Magnetic resonance cholangiopancreatography).8
- Cholangiograpi.8

Gambar 2. Gambaran choledocolitiasis pada cholangiograpi8

Gambar 3. Gambaran choledocolitiasis pada MRCP8


g. Penatalaksanaan
kolesistektomi ialah jenis operasi terbuka dan laparaskopi ialah
operasi yang tidak memerlukan sayatan yang besar dan dapat
mempercepat penyembuhan dan hari rawatan, namun pada pasien dengan
koledokoliasis/kolelitiasis kolesistektomi bukanlah terapi definitive.7
Laparaskopi merupakan prosedur yang paling sering dijalani. Pada
prosedur ini, instrumen 5-10mm (seperti grasper, gunting, clip applicator)
dapat dimasukan oleh ahli bedah kedalam abdomen melalui trokar (pipa
lubang dengan pengunci agar gas karbondioksida tidak keluar.
Laparaskopi umumnya menggunakan empat port, yaitu 1) Port untuk
laparoskop yang digunakan (10 mm atau 5 mm); 2) Port untuk operasi
merupakan port operasi utama, diletakkan dibawah liver sedikit di kanan
ligamentum falsifarum (port B) dan diletakkan setelah visualisasi
laparoskopi dapat terlihat dengan jelas, untuk menghindari cidera arteri
epigastrica inferior pada sarung rectus, maka dibutuhkan transiluminasi
dinding abdomen; 3) dan 4) Port pembantu, jumlahnya dua buah,
ditempatkan pada lateral sarung dan dibawah tepi bawah liver.7

2. CHOLANGITIS AKUT
A. Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam,
sakit kuning, dan nyeri perut yang berkembang sebagai akibat dari
stasis/sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis pertama kali
dijelaskan oleh Charcot sebagai penyakit yang serius dan mengancam
jiwa, namun sekarang diakui bahwa keparahan dapat berkisar dari
ringan sampai mengancam. Koledokolitiasis atau adanya batu
diadalam saluran empedu/bilier merupakan penyebab utama kolangitis
akut.11
B. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi bilier saluran
(kolestasis) dan pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu).
Kolangitis akut
membutuhkan kehadiran dua faktor: (1) obstruksi bilier dan (2)
pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Cairan empedu
biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi bilier yang
normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril
melalui ampula (karena adanya batu yang melewati ampula/passing
stone), sfingterotomi atau pemasangan sten (yang disebut kolangitis
asending/ascending cholangitis) atau bacterial portal, yaitu terjadinya
translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatic dan celah disse
(Space of Disse). Bakterobilia tidak otomatis dengan sendirinya
menyebabkan kolangitis pada individu yang sehat karena efek bilasan
mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri garam empedu, dan
produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan
kolangitis akut karena berkurangnya/ menurunnya aliran empedu (bile
flow) dan produksi IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kuffer dan
rusaknya celah membrane sel (biliary tight junction) menimbulkan
refluks kolangiovena.9
Penyebab sering obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, stenosis
bilier jinak, struktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan
penyakit ganas. Choledocholithiasis digunakan untuk menjadi
penyebab paling sering, tetapi baru-baru kejadian kolangitis akut yang
disebabkan oleh penyakit ganas, sclerosing cholangitis, dan
instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat. Hal ini
melaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus
akut kolangitis.9
C. Patofisiologi
Kolangitis akut terutama disebabkan oleh infeksi bakteri pada
pasien dengan obstruksi bilier. Organisme biasanya naik dari
duodenum, penyebaran hematogen dari vena portal adalah sumber
yang jarang dari infeksi. Faktor predisposisi yang paling penting bagi
cholangitis akut adalah obstruksi bilier dan stasis. Penyebab paling
umum dari obstruksi bilier pada pasien dengan cholangitis akut tanpa
saluran empedu stent adalah batu empedu (28-70 persen), stenosis
jinak (5-28 persen), dan keganasan (10-57 persen)5. Selain itu,
kolangitis akut adalah komplikasi umum penempatan stent untuk
obstruksi bilier.10
mekanisme masuknya bakteri ke saluran empedu
Bakteri dapat masuk ke saluran empedu ketika mekanisme penghalang
normal terganggu. Obstruksi bilier mempromosikan pembendungan
empedu dan bakteri pertumbuhan dan juga dapat membahayakan
mekanisme pertahanan kekebalan tubuh inang.10
Terjadinya bakteremia atau endotoksemia berkorelasi langsung
dengan tekanan intrabiliari. Meningkatnya tekanan intrabiliari akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas ductules empedu,
memungkinkan translokasi bakteri dan racun dari sirkulasi portal ke
dalam saluran empedu. Tekanan tinggi juga meningkatkan migrasi
bakteri dari empedu ke dalam sirkulasi sistemik, meningkatkan risiko
septikemia. Selain itu, peningkatan tekanan bilier merugikan
mempengaruhi sejumlah mekanisme pertahanan tuan rumah termasuk:
Sel Kupffer, Aliran empedu, Produksi IgA.11
D. Diagnosis
Diagnosis defenitif kolangitis akut memerlukan konfirmasi infeksi
bilier sebagai sumber gejala sakit sistemik, misalnya dengan aspirasi
cairan bilier purulen pada ERCP. Namun demikian, kolangitis akut
biasanya didiagnosis secara klinis dengan adanya trias Charcod: (1)
demam dan/atau bukti inflamasi, tanggapan seperti peradangan, (2)
penyakit kuning dan Hasil tes fungsi hati yang abnormal seperti
kolestasis, dan (3) riwayat penyakit empedu, nyeri abnormal dan
empedu dilatasi, atau bukti etiologi seperti manifestasi empedu. Ini
dianggap bahwa kasus-kasus ini memenuhi 3 kategori dapat
didiagnosis sebagai cholangitis akut, karena tidak adanya metode yang
mudah untuk mendapatkan cairan empedu untuk pemeriksaan dan
kultur selain dengan aspirasi pada ERCP, pungsi perkutan dan
pembedahan.10
Pada pertemuan di Tokyo mendefinisikan kolangitis akut sebagai
ringan (respon terhadap terapi supportif dan antibiotic), sedang (tidak
respon terhadap terapi medical namun tidak ada disfungsi organ), atau
berat (adanya paling tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda
disfungsi organ meliputi hipotensi, sehingga memerlukan pemberian
dobutamin atau dopamine, delirium (confusion), rasio PaO2/FiO2
<300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit
<100000/µl.10

Gambar 4. Kriteria diagnosis kolangitis akut.11


Kriteria untuk diagnosis definitive kolangitis akut adalah sebagai
berikut : adanya triad Charcot atau bila tidak ada, adanya 2 unsur triad
Charcot ditambah adanya bukti laboratorium adanya respons inflamasi
( leukosit abnormal, meningkatnya CRP atau perubahan-perubahan
lain yang mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati
abnormal ( Alkali phospatase, gamma glutamil transpeptidase,
SGOT/SGPT) dan temuan temuan pencitraan dilatasi bilier atau bukti
etiologic (misalnya adanya batu, striktur atau sten). Partisipan pada
pertemuan Tokyo mendefinisikan suatu diagnosis suspek kolangitis
akut bila terdapat 2 atau lebih dari salah satu criteria berikut: riwayat
penyakit bilier, demam dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri abdomen
bagian atas atau kanan atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya
kemajuan dan suatu upaya yang jarang dalam standarisasi definisi
kolangitis kaut, namun pedoman tersebut dirasakan kurang teliti.
Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau ikterik,
begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas.10

Gambar 5. TG13 tingkatan kolangitis aku.11


Pemeriksaan penunjang untuk diagnostic kolangitis akut dapat
dilakukan dengan mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan
penyebab kolangitis akut adalah EUS (endoscopic ultrasonography),
MRCP (magnetic resonance cholangiopancreotography) dan ERCP
(endoscopic retrograde cholangiopancreotography). studi
menunjukkan sensivitas >90% untuk MRCP dalam mendeteksi batu di
CBD dan sensivitasnya makin berkurang untuk batu yang kecil.10
Dilatasi intrahepatik tanpa adanya dilatasi CBD, menunjukkan
kesan suatu striktur jinak, sindrom mirri atau lesi di daerah hilus
duktus biliaris seperti tumor ganas. Sebaliknya dilatasi CBD dengan
atau tanpa dilatasi intrahepatik konsisten dengan obstruksi distal seprti
batu CBD atau kanker pancreas. Mengetahui penyebab dilatasi
meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat meningkatkan
tekanan bilier cukup kuat untuk menimbulkan refluks cairan bilier
kedalam sirkulasi sistemik dan menghindarkan resiko injeksi yang
tidak diinginkan kedalam segmen yang tidak terdrainase (misalnya
pasien dengan striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara
potensial dapat menyebabkab terjadinya kolangitis berat.10
E. Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan
segera setelah akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan
volume/dehidrasi dan menormalkan tekanan darah. Terapi kolangitis
akut terdiri dari pemberian antibiotic dan drainase bilier. beratnya
kolangitis akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah
sakit. bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, teruma jika
kolangitis akut ringan yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien
dengan batu intrahepatik).9

Gambar 6. Alur penatalaksanaan kolangitis akut


menurut Tokyo Guidline 2013.11

- Pemberian antibiotic
Beberapa panduan (guidelines) menyarankan pada kolangitis akut
ringan sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan
sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan inhibitor β
laktamase. Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya
pemberian antibiotic minimal 5 - 7 hari dengan sefalosporin generasi
ketiga atau keempat, nonbaktam dengan atau tanpa metronidazol
untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain (Jhon
Hopskin) menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut
ringan sampai sedang atau community acquired: (misalnya Ampisilin
sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari,
atau ampisilin iv 2gram setiap 6 jam plus gentamicin iv 1.7mg/kgbb
setiap 8jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv
400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv 500mg sekali sehari, atau
moxiflokasain iv atau oral 400mg sekali sehari) ditambah
metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk
pasien kolangitis akut berat atau nosokomial (hospital acquired),
direkomendasikan pemberian antibiotic sebagai berikut: piparisilin-
tazobaktam (3.375gr iv stiap 6 Jam atau 4.5 gr iv setiap 8 jam), stau
3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100mg iv
bolus, diteruskan 50mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi
ketiga (misalnya seftriakson 1-2gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr
setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk
bakteri anaerob.11
- Drainase billier
Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut
untuk menghilangkan sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat
menurunkan ekskresi bilier antibiotic. beratnya penyakit menetukan
dan menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase. Drainase dapat
dilakukan secara elektif pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-
28 jam pada pasien kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa
jam) pada pasien kolangitis berat karena tidak akan respon dengan
pemberian antibiotic saja.11
Pada suatu studi didapatkaan bahwa sekitar 80% pasien kolangitis
akut respon terhadap terapi medical saja dan resolusi infeksi. namun
semua pasien tersebut akhirnya memerlukan tindakan pembersihan
saluran bilier untuk mencegah kolangitis rekurens. Suatu studi dari
hongkong melakukan ERCP emergenci pada 225 pasien kolangitis.
Frekwensi denyut jantung >100x/menit, kadar albumin <30g/l, kadar
bilirubin>50µmol/l dan masa protrombin > 14 detik pada saat masuk
rumah sakit signifikan berkaitan dengan diperlukannya ERCP, serta
menunjukkan terapi endoskopi lebih aman dibandingkan pembedahan
dalam tatalaksana kolangitis akut, sehingga dekompresi surgical tidak
mempunyai peranan dalam manegemen kolangitis akut.11

Daftar Pustaka
1. Setiati S., Sudoyo A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jilid
I. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
2. Longo D.L., Fauci A.S. Harrisosn Gastroenterologi & Hepatologi. Jakarta:
EGC; 2013.

3. Dianne Y, Delfican, Sayoeti Y. Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik


pada Anak. 36(2). Fakultas Kedokteran Andalas: Jurnal Kedokteran
Andalas; 2012.

4. Syahrurachman A, dkk. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi.


Jakarta: FK UI; 2015.

5. Gore, R.M. & Levine, M.S.Textbook of gastrointestinal radiology, 4th edn


Elsevier-Saunders, Philadelphia.2015
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Robbins basic pathology, 8th
edition.; 2007
8. Kimura Y, Takada T, Karawada Y,Nimura Y, Hirata K, Sekiomto M,et al.
Defenitions, Pathophysiology,and epidemiology of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg.
2007;14:15-26.
9. Fauzi A. Kolangitis Akut.Dalam:Rani A,Simadibrata M,Syam AF,Editor.
Buku ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. InternaPublishing;2011:579-
90.
10. Kiriyama S, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS< Mayumi T, Pitt HA,et
al. TG13 diagnostic criteria and severity grading of acute
cholangitis.Tokyo Guidline. J Hepatobiliary Pancreat Sci (2013) 20:24-34.
11. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M,
Mayumi T. TG13: Updated Tokyo Guidelines for the management of
acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci (2013)
20:1–7

Anda mungkin juga menyukai