Mata Kuning
STEP 1
STEP 2
1. Ikterik
- Pre hepatik : bilirubin berlebih
- Intra hepatik : kelainan pada hepar
- Post hepatik : obstrusi pada saluran empedu
STEP 4
1. Metabolisme bilirubin
Bilirubin
Bilirubin terkonjugasi
Small intestinal
Kolon
Urobilinogen
Feses
Pre hepatik (Direct, Indirect)
- Sickle cell anemia
- Hemolitik autoimun
- Incmpatibilitas resus
Hepatik (Indirect)
- Hepatitis ABCDE
- Sirosis hepatis
- Alkoholik hepatis & non alkoholik (Fatty Liver Disease)
Post hepatik (Direct)
- Choledocolitiasis
- Cholelitiasis
- Cholangitis
- Cholesistitis
- Atresia bilier
Mind Map
JAUNDICE
STEP 5
1. Etiologi-Tatalaksana
a. Hepatik b. Post hepatik
- Hepatitis - Cholelitiasis
- Ca Hepar
STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
I. Etiologi-Tatalaksana
A. Hepatik
a. Hepatitis
1. HEPATITIS A
1) Pengertian Hepatitis
Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati.
Hepatitis A adalah hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis
A Virus. Infeksi virus hepatitis A dapat menyebabkan berbagai
macam komplikasi, diantaranya adalah hepatitis fulminant,
autoimun hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis relaps, dan
sindroma pasca hepatitis (sindroma kelelahan kronik). Hepatitis A
tidak pernah menyebabkan penyakit hati kronik.1,2
2) Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini
termasuk virus RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-
2,28 x 106 dalton, simetri ikosahedral, diameter 27-32 nm dan
tidak mempunyai selubung. Mempunyai protein terminal VPg pada
ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung 3’nya. Panjang genom HAV:
7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat diklasifikasikan
dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus.1,2
3) Faktor Resiko dan Transmisi
Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan
minuman yang terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan
seksual. Penyakit ini terutama menyerang golongan sosial ekonomi
rendah yang sanitasi dan higienenya kurang baik. Masa inkubasi
penyakit ini adalah 14-50 hari, dengan rata-rata 28 hari. Penularan
berlangsung cepat. 1,2
4) Patofisiologi
5) Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari
infeksi asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu
hepatitis fulminant yang dapat menimbulkan kematian hanya
dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap
yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra ikterik), fase ikterus, dan
fase konvalesen (penyembuhan).1,2
a. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya
gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap
virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada dosis
inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar
dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.2 Pada
hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50
hari, dengan rata-rata 28-30 hari.1,2
b. Fase Prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau
insidious ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri
sendi, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anorexia.
Mual muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan
penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah umunya
terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan
dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolesistitis.1,2
c. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga
muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak
kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah tibul ikterus jarang
terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi
perbaikan klinis yang nyata.1,2
d. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain,
tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu
makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3
minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium
lengkap terjadi dalam 9 minggu.1,2
6) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti
demam, kelelahan, malaise, anorexia, mual dan rasa tidak
nyaman pada perut. Beberapa individu dapat mengalami
diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna
gelap, dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa
hari kemudian. Tingkat beratnya penyakit beraragam, mulai
dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-anak), sakit ringan,
hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan
selama seminggu sampai sebulan.1,2
b. Pemeriksaan Fisik
Demam, tidak nyaman pada perut, Ikterus (kulit dan sclera
menguning)1
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Serologis
Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap
sebagai gold standard untuk diagnosis dari infeksi akut
hepatitis A.7 Virus dan antibody dapat dideteksi dengan
metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan
diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total
anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-HAV dapat dideteksi
selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya. Dikarenakan
IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut,
maka apabila seseorang terdeteksi IgG antiHAV positif
tanpa disertai IgM anti-HAV, mengindikasikan adanya
infeksi di masa yang lalu.1,2
ii. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan
pemeriksaan biokimia dari fungsi liver (pemeriksaan
laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen, total dan
direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT) dan
aspartate transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP),
prothrombin time (PT), total protein, serum albumin, IgG,
IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap). Apabila tes lab
tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat
membantu untuk menegakan diagnosis.1,2
7) Penatalaksanaan
2. Hepatitis B
1) Pengertian Hepatitis
− Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara
laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB
dalam serum atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin
bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan
prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaannya antara lain:
i. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan
karena waktu paruh pendek dan diperlukan
penanganan khusus dalam prosedur kerja dan
limbahnya.1
ii. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC)
merupakan teknik hibridisasi yang lebih sensitif dan
tidak menggunakan radioisotop karena sistem
deteksinya menggunakan substrat
chemiluminescence.1
iii. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA)
bertujuan untuk menghasilkan sinyal yang dapat
dideteksi hanya dari beberapa target molekul asam
nukleat.1
iv. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain
Reaction/PCR) telah dikembangkan teknik real-time
PCR untuk pengukuran DNA VHB. Amplifikasi
DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi secara
bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup. 1
Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat
mendeteksi kadar VHB DNA sampai dengan 102
kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan ini harus
diinterpretasikan dengan hati-hati karena
ketidakpastian arti perbedaan klinis dari kadar VHB
DNA yang rendah. Berdasarkan pengetahuan dan
definisi sekarang tentang Hepatitis B kronik,
pemeriksaan standar dengan batas deteksi 105-106
kopi/mL sudah cukup untuk evaluasi awal pasien
dengan Hepatitis B kronik. Untuk evaluasi
keberhasilan pengobatan maka tentunya diperlukan
standar batas deteksi kadar VHB DNA yang lebih
rendah dan pada saat ini adalah yang dapat
mendeteksi virus sampai dengan <104 kopi/mL. 1
6) Penatalaksanaan
Non farmako
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas.
Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring, diperlukan diet
tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan pada
pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam
hari. 1
Farmako
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah
untuk mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB.
Pengobatan dapat mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya
menghentikan atau mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya
dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB (dengan
serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif) dan
normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir
pengobatan.1
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis
flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan
ke arah sirosis dan/atau HCC (Hepato Cellular Carcinoma), dan
pada akhirnya memperpanjang usia. Terapi antiviral yang telah
terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah Interferon,
Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir.1
3. Hepatitis C
1) Pengertian Hepatitis
VHC merupakan virus RNA rantai tunggal, sferis, dengan
selubung glikoprotein yang tergabung dalam family Flaviviridae
dan genus Hepacivirus. Protein pada selubungnya akan membantu
terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama HCV adalah
hepatosit, namun dapat punya menginfeksi leukosit, limfosit T,
limfosit B, dan limpa. VHC lebih lanjut dapat dikategorikan
menjadi enam genotipe berbeda dan lebih dari 50 subtipe. Enam
genotipe tersebut juga memiliki distribusi geografis yang berbeda,
genotipe 6 merupakan yang paling dominan di wilayah Asia
Tenggara. Meskipun belum menjadi pemeriksaan rutin, identifikasi
genotipe VHC tersebut memiliki signifikansi terhadap rekomendasi
regimen terapi yang akan diberikan. 2
2) Faktor Resiko dan Transmisi
− Pengguna obat injeksi (67%)
− Resipien darah atau produk datah di fasilitas dengan kontrol
infeksi tidak adekuat
− Anak yang lahir dari ibu terinfeksi VHC. Tingkat transmisi
VHC perinatal ialah 48% (tanpa koinfeksi HIV) atau 17-25%
(dengan koinfeksi HIV)
− Individu yang berhubungan seksual dengan pengidap VHC.
− individu dengan infeksi HIV
− Individu pengguna obat intranasal
− serta lndividu dengan tatto atau tindik. 1
3) Patofisiologi
Berbeda dengan virus hepatitis B yang umumnya bersifat
akut, infeksi VHC lebih sering bersifat kronis sekitar 80%. lnfeksi
VHC mengakibatkan hepatitis C kronis, sementara 20% sisanya
berupa infeksi akut atau sembuh spontan.1
Masa inkubasi VHC rata-rata 50 hari (rentang 14-180 hari),
meski RNA VHC mulai dapat terdeteksi 7-10 hari setelah infeksi
dan antiVHC dapat terdeteksi 2-8 minggu setelah paparan. Pada
kasus hepatitis akut, RNA VHC masih-dapat terdeteksi selama
beberapa 12 minggu pertama, yang kemudian akan menurun secara
signifikan hingga terjadi resolusi penyakit secara spontan. Hanya
50% pasien hepatitis C akut yang memiliki antiVHC positif.1
Namun pada kasus hepatitis C kronis, RNA VHC masih
terdeteksi selama minimal 6 bulan. Sekitai 95% kasus juga
memiliki nilai anti-VHC positif. Faktor penentu suatu infeksi VHC
menjadi hepatitis akut atau kronis belum diketahui dengan jelas.
Namun, resolusi spontan lebih sering ditemukan pada pasien
simptomatis, perempuan, serta VHC genotipe 3.1
Pada hepatitis C kronis, adanya peningkatan transaminase
serum menandakan terjadinya kerusakan hati secara progresif,
meski kerusakan juga dapat terjadi pada kadar ALT normal. Laju
progresivitas fibrosis pada hati diperkirakan sekitar 0.1-0.13
U/tahun pada pasien yang tidak diobati.1
4) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Tanda dan Gejala:
Hepatitis C akut (80% kasus akut bersifat simtomatis)
i. Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum ikterik). Gejala
prodromal berupa anoreksia, mual dan muntah,
kelemahan, malaise, artralgia, mialgia, demam, sakit
kepala, fotofobia, faringitis, serta batuk dan flu. Satu
hingga 5 hari sebelum kuning, dapat muncul warna urin
yang lebih gelap dan feses berwarna pucat.1
ii. Fase ikterik. Ikterus sering disertai dengan hepatomegali
dan nyeri di kuadran kanan atas. Gambaran klinis
hepatitis virus akut pada umumnya tidak jauh berbeda,
kecuali durasi keluhan pasca ikterik lebih panjang pada
hepatitis B dan C akut.1
iii. Fase perbaikan (konvalesens)
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Laboratorium Penanda serologis hepatitis C metode ELISA
atau chemiluminescent immunoassay (CLIAD). Apabila
didapatkan anti-VHC positif, maka individu dinyatakan
terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan
RNA VHC. Namun. hasil anti-HIV negatif palsu dapat
ditemukan pada HIV, pasien hemodialisis, dan pengguna
imunosupresan. Pada kelompok pasien tersebut dianjurkan
untuk selalu memeriksa RNA VHO. Selain untuk
diagnosis, pemeriksaan RNA VHC juga digunakan untuk
memantau terapi anti virus. Oleh sebab itu, RNA VHC
sebaiknya diukur dengan metode realtime PCR yang
mampu mendeteksi VHC hingga muatan virus minimal <50
IU/ ml untuk dual terapi dam <15 IU/mL untuk tripel
terapi. 1
ii. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT, AST, gamma-glutamyl
transpeptidase (GGT), alkalin fosfatase, bilirubin, albumin,
globulin, serta pemeriksaan darah perifer lengkap dan
waktu protrombin.1
iii. USG dan biopsi hati. Menilai derajat nekroinflamasi dan
fibrosis pada kasus infeksi kronis dan sirosis hati.1
iv. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain bila
diperlukan, termasuk kemungkinan ko-infeksi hepatitis B
dan/atau HIV. 1
5) Penatalaksanaan
1. Pengkajian sebelum pemberian terapi
− Mencari penyebab lain dari penyakit hati kronis, koinfeksi
VHB dan HIV, penyakit hati alkoholik, penyakit hati non-
alkoholik, maupun autoimun.
− Menilai derajat keparahan penyakit hati kronis, tarmasuk
kemungkinan terjadinya karsinoma hepatoselular, USG
abdomen atau biopsi hati.
− Menilai muatah virus RNA VHC dan genotipe virus.
− Pemeriksaan genetik, deteksi gen IL28B untuk
menentukan regimen terapi pada hepatitis C genotip. 1
2. Tujuan Terapi
Tujuan terapi hepatitis C ialah mencegah komplikasi
penyakit hati fibrosis, sirosis, KHS, hingga kematian.
Sementara, target terapi antivirus ditujukan untuk mencapai
sustained viral response (SVR) yakni tidak terdeteksinya RNA
VHC (<50 IU/ m1.) selama 24 minggu pascaterapi antivirus.
Oleh sebab itu, diperlukan pemeriksaan RNA VHC secara
berkala. Pada pasien sirosis kompensata terapi ditujukan untuk
mengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis dekompensata
dan risiko terjadinya KHS. 1
3. lnisiasi standar Regimen
Terapi Regimen standar (terutama untuk genotipe 1 dan 4
ialah peg-interferon a (peg-INF a) kerja panjang yang
dikombinasikan dengan ribavirin. Peg-INF a 2a berupa peg-
INF a 2a (dosis 180 mikrongram/minggu SK) atau peg-INF a-
2b (duosis 1,5 ug/KgBB/minggu SK). Sementara ribavirin
diberikan dengan dosis 1000 mg/hari P.O. (untuk BB kurang
dari 75 kg) atau 1200 mg/harl PO (untuk BB >75 Kg).
Konsensus PPHI tahun 2014 merekomendasikan pemberian
kombinasi peg-INF a dan ribavirin tersebut selama 24 minggu
untuk VHC genotipe 2 atau 3. Sebelum inisiasi terapi antivirus,
sangat penting untuk memastikan tidak ada kontraindikasi
pemberian peg-INF a dan Ribavirin. Khusus pada infeksi VHC
genotipe 1, terapi Ribavirin dan peg-IFN a perlu
dikombinasikan dengan Boceprevir atau Telaprevir (disebut
sebagai Tripel terapi). Tripel tempt dengan boceprevir
direkomendasikan selama 28-48 minggu. sementara tripel
terapi dengan telaprevir direkomendasikan selama 24-48
minggu (telaprevir diberikan hanya 12 minggu). 1
4. Terapi Hepatitis Akut
Terapi dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk
menunggu terjadinya reaksi spontan, terutama pada hepatitis C
akut yang simtomatis, kecuali pada pasien dengan genotip
IL28B non-CC yang dapat diterapi sejak 12 minggu karena
kemungkinan resolusi spontan lebih rendah. Durasi terapi pada
VHC genotipe I dilanjutkan selama 24 minggu, dan pada
genotip 2 atau 3 dilanjutkan selama 12 minggu. Regimen terapi
hepatitis C akut ialah monoterapi dengan peg-IFN a selama 24
minggu. Dosis Peg-IFN a 2a ialah 180 pg/minggu SK,
sedangkan dosis peg-IFN a-2b ialah 1,5 pg/minggu SK.
Umumnya eradikasi virus dapat dicapai hingga >90%. Bila
gagal pasien dimasukkan dalam terapi hepatitis C kronis.1
5. Pemantauan Terapi
− Pada dual terapi, pemeriksaan RNA VHC dilakukan pada
awal terapi, minggu ke 4,12, 24. akhir terapi antivirus dan
24 minggu setelah terapi dihentikan. Pada tripel terapi
menggunakan boceprevir, RNA VHC dinilai pada awal
terapi, minggu ke 4, 8, 12, 24, akhir terapi dan 24 minggu
setelah terapi dihentikan.1
− Penilaian efek samping terapi harus selalu dilakukan
setiap kali kontrol. Keluhan yang sering muncul berupa
flu-like symptoms, fatigue, sakit kepala, dan demam.
Beberapa pasien juga mengeluhkan iritabilitas imsonia dan
depresi.1
− Pemeriksaan darah untuk melihat keberadaan anemia,
trombositopenia, neutropenia, dan peningkatan ALT
dinilai pada minggu ke l, 2. dan 4 sejak awal terapi dan
selanjutnya dapat diulang dengan interval setiap 4-8
minggu.1
− Thyroid stimulating hormone (TSHs) dan kadar tiroksin
dinilai pada awal terapi dan diulang bila ditemukan tanda-
tanda gangguan fungsi tiroid.1
− Edukasi mengenai efek teratogenik ribavirin dan
pentingnya menggunakan kontrasepsi selama terapi
sampai 6 bulan pemberian.1
− Bila didapatkan gejala neuropsikiatri berat atau jumlah
neutrofil absolut <750/mm atau jumlah trombosit
<50.000/mm, maka perlu dilakukan penyesuaian dosis
peg-IFN dan pemantauan ketat. Terapi peg-IFN a
dihentikan bila jumlah neutrofil absolut <500/mm dan
jumlah trombosit <25.OOO/mm3.1
− Bila Hb <10 g/dL, dosis ribavirin diturunkan 200 mg dan
dilakukan penyesuaian dosis. Bila Hb <8.5 g/dL terapi
ribavirin dihentikan.1
− Pada pasien dengan tripel terapi, efek samping lebih sering
timbul. Apabila muncul efek samping yang
membahayakan dalam pemberian boceprevir, lanjutkan
dengan dual terapi. 1
6. Terapi pada Kondisi Khusus
5) Penatalaksanaan
Masalah yang dijumpai pada terapi infeksi virus hepatitis D
adalah tidak adanya fungsi enzimatik spesifik pada virus yang
dapat menjadi target terapi, berbeda dengan hepatitis B dan
hepatitis C yang mempunyai polimerase dan protease. Virus
hepatitis D bergantung pada HBsAg dan bukan terhadap replikasi
virus hepatitis B, sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh kadar
HBV-DNA dalam serum. Sekresi virus hepatitis D in vitro dan
kadar HDV-RNA in vivo berkorelasi langsung dengan kadar
HBsAg serum, bukan dengan titer HBV-DNA.1
Interaksi antara virus hepatitis B dan hepatitis D den adanya
fakta bahwa sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis D
mempunyai virus hepatitis B yang secara spontan mengalami
represi, menjelaskan mangapa antivirus sintetik terhadap virus
hepatitis B tidak bermanfaat. Tidak terdapat perbaikan klinis dan
virologis pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis D yang
mendapatkan terapi famciclovir, lamivudin, adefovir, dan ribavirin,
baik berupa monoterapi maupun terapi kombinasi dengan
interferon. Pada infeksi hepatitis D kronik, terapi yang digunakan
adaiah interferon. Vaksinasi hepatitis B dapat mencegah infeksi
hepatitis D sampai saat ini vaksin hepatitis D belum ditemukan. 1
5. HEPATITIS E
1) Etiologi
Virus hepatitis E (HEV) merupakan agen yang berbeda, tidak
berhubungan dengan HAV menyebabkan epidemik dan sebagian
besar ditularkan melalui air secara enterik. Genom serat tunggal,
poli (A) RNA dengan panjang sekitar 8000 pasangan basa. Ukuran
diameter 32-34 nm. Bentuk sferis, tidak mempunyai selubung,
mempunyai tonjolan pada permukaannya. Virus ini sensitif
terhadap CsCl, pembekuan pencairan berulang.
2) Patofisiologi
Gambar: Patofisiologi hepatitis E.1,2
3) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
4) Penatalaksanaan
Pengembangan vaksin dan pemeriksaan tetap dilakukan,
namun saat ini tidak ada vaksin yang dinilai cukup efektif. Strategi
kontrol dan pencegahan infeksi HEV bertujuan meningkatkan
kondisi higiene pada area endemik dan mendeteksi sumber
kontaminasi. Dengan meningkatka sanitasi dan menyediakan air
minum bersih serta sistem pembuangan limbah yang baik dapat
menurunkan angka infeksi.1
b. Sirosis Hepatis
1) Pengertian
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung
progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps
disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan
regenerasi nodularis parenkim hati.1
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati
kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala- gejala dan
tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan
kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak
terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biopsi hati.1
2) Patofisiologi
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec
ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan
sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga
kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis
mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya.
Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol adalah 1). Perlemakan
hati alkoholik, 2). Hepatiti alkoholik, dan 3). Sirosis alkoholik.1
3) Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala Sirosis Stadium awal sirosis sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena
kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata)
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis
mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata),
gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi
hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak
begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan
siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh
pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung,
agitasi, sampai koma.1
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angio maspider-
angiomata (atau spider telangiektasi), suatu lesi vaskular
yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering
ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme
terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan
peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga
bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan
ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran
lesi kecil.1
Eritema palmaris, warna merah pada thenar
dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan
dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini
juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada
kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme, dan
keganasan hematologi.1
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita
horisontal dipisahkan dengan warna normal kuku.
Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada
kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom
nefrotik. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier
Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik,
menimbulkan nyeri.1
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris
menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan
alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan
sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes
melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga
mengkonsumsi alkohol.1
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi
benigna jaringan glandula mammae laki-laki kemungkinan
akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan
juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki,
sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminisme.
Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga dikira fase menopause. Atrofi testis
hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda
ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.1
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa
membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba,
hati sirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali sering
ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah
lien karena hipertensi porta.1
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium
akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa
juga sebagai akibat hipertensi porta.1
Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien
sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid
akibat pintasan porto sistemik yang berat.1
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat
bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3
mg/ dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.1
Tanda-tanda lain yang menyertai di antaranya:
− Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar
− Batu pada vesika felea akibat hemolisis
− Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis
alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis,
dan edema.1
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien
sirosis. Hal ini akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya
sekresi insulin oleh sel beta pankreas.1
b. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran Laboratoris
− Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan
pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang
memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining
untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati
meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu
protrombin.1
− Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil
oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase
(ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase
(SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase
normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.1
− Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3
kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa
ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer.1
− Gamma-glutamil transpeptidase (GGT),
konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada
penyakit hati Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati
alkoholik kronik karena alkohol selain menginduksi
GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan
bocormya GGT dari hepatosit.1
− Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis
hati kompensata, tapi bisa meningkat pada sirosis
yang lanjut.1
− Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati
konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan
sirosis.1
− Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis.
Akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari
sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi imunoglobulin.1
− Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan
disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis
memanjang.1
− Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan
asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air
bebas.1
− Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa
bermacam-macam, anemia normokrom, normositer,
hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan
netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme.1
− Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat
varises untuk konfirmasi adanya hipertensi porta
Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan
karena pemeriksaannya non invasif dan mudah
digunakan, namun sensitivitasnya kurang.1
− Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG
meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran,
homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut,
hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan
ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu
USG juga bisa untuk melihat asites, splenomegali,
trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta
skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.1
− Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan
USG, tidak rutin digunakan karena biayanya relatif
mahal.1
− Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas
dalam mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.1
4) Pengobatan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi
ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-
bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik
diberikan diet yang mengandung protein Ig/kgBB dan kalori
sebanyak 2000-3000 kkal/hari.Tatalaksana pasien sirosis yang
masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan
etiologi, di antaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik
dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya Pemberian
asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat
kolagenik.1
1) Definisi
Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi
debris nekro-inflamatori purulen di dalam parenkin hati yang
disebabkan oleh amuba, terutama Entamoeba histolytica. 1
2) Etiologi
Parasit amuba, yang tersering entamoeba histolytica. 1
3) Faktor resiko
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau
air yang tercemar dengan kista. Konsumsi makanan dan minuman
yang terkontaminasi. 1
4) Patogenesis
Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat
berbentuk sebagai trophozoit atau bentuk kista. Setelah
menginfeksi, kista amuba melewati saluran pencernaan dan
menjadi trophozoit di usus besar, trophozoit kemudian melekat ke
sel epitel dan mukosa kolon dengan gal/galNAc dimana mereka
menginvasi mukosa. Lesi awalnya berupa mikro ulserasi mukosa
caecum, kolon sigmoid dan rektum yang mengeluarkan eritrosit,
sel inflamasi dan sel epitel. Ulserasi yang meluas ke submukosa
menghasilkan ulser khas berbentuk termos (flask-shaped) yang
berisi trophozoit dibatas jaringan mati dan sehat. 1
Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, tempat
abses dapat berkembang. Entamoeba histolytica sangat resisten
terhadap lisis yang dimediasi komplemen, oleh karena itu dapat
bertahan di aliran darah. Terkadang organisme ini menginvasi
organ selain hati dan dapat membuat abses dalam paru-paru atau
otak. Pecahnya abses hati amuba ke dalam pleura, perikard, atau
ruang peritoneal juga dapat terjadi, di dalam hati, E. histolytica
mengeluarkan enzim proteolitik yang berfungsi melisiskan jaringan
pejamu. Lesi pada hati berupa “well demarcated abscess”
mengandung jaringan nekrotik dan biasanya mengenai lobus kanan
hati. Respon awal pejamu adalah migrasi sel-sel PMN. 1
Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan
enzim proteolitiknya, sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses
hati mengandung debris aselular, dan trophozoit hanya dapat
ditemukan pada tepi lesi. 1
5) Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan
presentasi klinis yang akut dibandingkan abses piogenik
hati. Gejala telah terjadi rata-rata dua minggu pada saat
diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara
infeksi hati usus dan selanjutnya sampai bertahun-tahun,
dan kurang dari 10% pasien melaporkan riwayat diare
berdarah dengan disentri amuba. 1
Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90%
pasien, lebih berat dibandingkan piogenik terutama di
kuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai mual, muntah,
anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan tubuh, dan
pembesaran hati yang juga terasa nyeri. Nyeri spontan perut
kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke depan
dengan kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan
gambaran klinis khas yang sering dijumpai. Dua puluh
persen penderita dengan kecurigaan abses hati amuba
mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri.1
Demam umum terjadi, tetapi mungkin polanya
intermiten. Malaise, mialgia, artralgia umum terjadi. Ikterus
jarang ditemukan dan bila ada menandakan prognosis yang
buruk. Gejala dan tanda paru dapat terjadi, tetapi pericardial
rub dan peritonitis jarang ditemukan. Kadang-kadang
friction rub terdengar di hati. Gambaran laboratorium mirip
dengan yang ditemukan di abses piogenik. Koinfeksi
dengan bakteri patogen jarang ditemukan. Komplikasi yang
jarang terjadi adalah pecah di intra peritoneal, intra torakal,
dan perikardial serta kegagalan multiorgan. 1
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan
temperatur, pembesaran hati dan nyeri tekan. Jaundice
cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan maka harus
diduga adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat
penyakit hati kronis sebelumnya. Organisme diisolasi dari
tinja pada 50/% pasien. Aspirasi pada abses amuba harus
dilakukan jika diagnosis masih belum jelas dengan
gambaran pasta cokelat kemerahan dan berbau sedikit.
Trophozoit hanya didapatkan pada 20% aspirasi. 1
c. Pemeriksaan penunjang
Hasil foto toraks abnormal didapatkan pada 50-80%
pasien dengan gambaran atelektasis paru lobus kanan
bawah. Efusi pleura kanan dan kenaikan hemidiafragma
kanan.1
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes
awal, karena non invasif dan sensitivitasnya tinggi (80-
90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic dengan internal
ecoes. CT scan kontras digunakan terutama untuk
mendignosis abses yang lebih kecil, dapat melihat seluruh
kavitas peritoneal yang mungkin dapat memberikan
informasi tentang lesi. MRI tidak memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi dibandingkan CT scan, tetapi berguna jika hasil
masih diragukan, diagnosis membutuhkan potongan
koronal atau sagital dan untuk pasien yang intoleran
terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan
abses hati amuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya
menyerang lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan
biasanya tunggal.1
Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA,
indirect hemaaglutination, cellulose acetate precipitin,
counterimmunoelectrophoresis, immuflourescent antibody,
dan tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi harus
diinterpretasikan dengan klinis pasien karena kadar serum
antibodi mungkin masih tinggi selama beberapa tahun
setelah perbaikan dan atau penyembuhan. Sensitivitas tes
±95% dan spesifitasnya lebih dari 95%. Hasil negatif palsu
mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis
PCR untuk mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan
ELISA untuk mendeteksi antigen amuba pada serum sudah
sering dilakukan pada penelitian. 1
6) Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
− Jika didapatkan pasien muda yang telah melakukan
perjalanan ke daerah endemik, pada pencitraan
didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat toksik,
dengan dugaan kuat abses amuba, maka pemeriksaan
feses harus dilakukan untuk mencari kista dan
trophozoit amuba dan serum harus diperiksa antibodi
E. hystolitica.1
− Terapi dimulai dengan metronidazole 3x750 mg per
oral selama 7-10 hari atau nitoimidazole kerja panjang
(tinidazole 2 gram PO dan ornidazole 2 gram PO)
dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi
kemudian dilanjutkan dengan preparat luminal
amubisida untuk eradikasi kista dan mencegah
transmisi lebih lanjut, yaitu: iodoquinol 3x650 mg
selama 20 hari, diloxanide furoate 3x500 mg selama
10 hari, aminosidine (paromomycin 25-35 mg/kg
perhari TID selama 7-10 hari). Lebih dari 90% pasien
mengalami respons yang dramatis dengan terapi
metronidazole baik berupa penurunan nyeri maupun
demam dalam 72 jam.1
− Paromycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3
dosis selama 7 hari atau lini kedua diloksanide furoate
3x500 mg per oral selama 10 hari.1
− Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai
terapi alternatif, tetapi sebaiknya dihindari sebisa
mungkin karena efek kardiovaskular dan
gastrointestinal, selain karena tingginya angka relaps.
Chloroquine phosphate 1000 mg (chloroquine base
600 mg) diberikan oral selama 2 hari dan dilanjutkan
dengan 500 mg (chloroquine base 300 mg) diberikan
oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis diharapkan
dalam 3 hari. 1
b. Non medikamentosa
i. Aspirasi jarum perkutan
Indikasi aspirasi jarum perkutan:
− Risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang
didefinisikan dengan ukuran kavitas lebih dari 5
cm1
− Abses pada lobus kiri hari yang dihubungkan
dengan mortalitas tinggi dan frekuensi tinggi bocor
ke peritoneum atau perikardium1
− Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5
hari1
− Untuk menyingkirkan kemungkinan abses
piogenik, khususnya pasien dengan lesi multipel. 1
ii. Drainase perkutan
Drainase perkutan abses dilakukan dengan
tuntunan USG abdomen atau CT scan abdomen.
Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ
intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam
penempatan kateter untuk drainase. 1
iii. Drainase secara operasi
Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali
pada kasus tertentu seperti abses dengan ancaman
ruptur atau secara teknis susah dicapai atau gagal
dengan aspirasi biasa/ drainase perkutan. 1
iv. Reseksi hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang
diperlukan reseksi hati. Indikasi spesifik jika
didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver
carbuncle) dan disertai dengan hepatolitiasis, terutama
pada lobus kiri hati. 1
1) Definisi
Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada
jaringan hati yang disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran
darah, sistem bilier, maupun penetrasi langsung. 1
2) Etiologi
3) Faktor resiko
Makanan dan minuman terkontaminasi, konsumsi alkohol. 1
4) Patogenesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
6) Penatalaksanaan
b. Medikamentosa
Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika
spektrum luas. Ampisilin dan aminoglikosida diberikan bila
sumber infeksi terdapat pada saluran empedu. Sefalosporin
generasi ketiga merupakan pilihan apabila sumber infeksi
berasal dari usus. Metronidazole diberikan pada semua
AHP dengan berbagai sumber infeksi untuk mengatasi
infeksi anaerobik. Regimen pilihan lain adalah kombinasi
beta laktam dan penghambat aktivitas beta laktamase yang
diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi dari usus,
dimana kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi
anaerobik. Bila telah terdapat hasil kultur, antibiotika
disesuaikan dengan kuman yang spesifik. Antibiotik
intravena diberikan sedikitnya selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 6 minggu.
Apabila infeksi disebabkan oleh streptococcus, pemberian
antibiotika oral dosis tinggi disarankan selama lebih dari 6
minggu. 1
b. Non medikamentosa
i. Drainase perkutaneus
Drainase perkutaneus dilakukan dengan tuntunan
USG pada abses berukuran >5 cm, menggunakan
indwelling drainage catheter. Pada abses multipel, hanya
abses berukuran besar yang perlu untuk diaspirasi. Abses
kecil cukup dengan penggunaan antibiotika.1
ii. Drainase dengan pembedahan
Drainase dengan pembedahan dilakukan pada AHP
yang mengalami kegagalan setelah dilakukan drainase
perkutaneus, ikterik yang tidak sembuh, penurunan fungsi
ginjal, serta pada abses multilokuler. Saat ini drainase
dengan pembedahan dilakukan dengan laparoskopis. 1
c. Ca Hepar
1) Definisi
3) Patogenesis
4) Penegakkan Diagnosis
b. Pemeriksaan penunjang
− Pemeriksaan Laboratorium
− Radiologi
Imaging study yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis karsinoma hepatoseluler adalah pemeriksaan
Multidetector CT scan atau MRI yang diperkuat dengan
kontras. Ultrasonografi konvensional tidak dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis karsinoma
hepatoseluler kecuali untuk mendeteksi adanya nodul
ketika dilakukan surveillance. Demikian juga
ultrasonografi dengan kontras tidak cukup akurat untuk
menegakkan diagnosis karsinoma hepatoseluler. Ciri
khas pada karsinoma hepatoseluler adalah enhanced pada
fase arterial dan washout pada fase vena. Dasar fisiologis
dari fenomena ini adalah bahwa karsinoma hepatoseluler
diberi pasokan nutrisi oleh darah arteri. Dengan
demikian, selama fase arteri, sel hati disuplai oleh arteri
dan vena portal,sedangkan sel tumor hanya mendapat
pasokan nutrisi dari darah arteri. Darah pada vena porta
di hati akan mengencerkan agen kontras. Namun hal
tersebut tidak terjadi pada tumor, sehingga tumor akan
menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi dari kontras
sehingga terlihat lebih terang daripada hati di sekitarnya.
Selama fase vena, sel hati diberi makan oleh darah portal
yang mengandungkontras, dan darah arteri yang tidak
lagi berisi kontras. Tumor mendapat pasokan nutrisi dari
darah arteri yang juga tidak memiliki agen kontras.
Dengan demikian, sel hati akan menjadi lebih terang dari
lesi, atau, dalam istilah lain pada lesi akanmenunjukkan
fenomena washout kontras. 2
Nodul dengan lesi < 1 cm pada ultrasonografi,
khususnya pada sirosis hati, memiliki kemungkinan yang
kecil untuk menjadi karsinoma hepatoseluler.Bahkan
kemungkinan adanya keganasan berkurang jika lesi
tersebut tidak menunjukkan penyerapan kontras secara
dinamis.34 Meskipun jika CT atau MRI menunjukkan
adanya vaskularisasi arteri, daerah tervaskularisasi
tersebut kemungkinan tidak sesuai dengan focus
karsinoma hepatoseluler.Walaupun begitu, kemungkinan
untuk menjadi ganas kapan saja masih tinggi. Sehingga,
nodul ini perlu ditindaklanjuti secara teratur tiap
beberapa bulan untuk dapat mendeteksi pertumbuhan
perubahan menjadi ganas dan diperiksa tiap 3-6 bulan.
Jika setelah lebih dari 1 atau 2 tahun tidak ada
pertumbuhan maka dapat dikatakan bahwa lesi tersebut
bukan merupakan karsinoma hepatoseluler Jika nodul
berdiameter lebih dari 1 cm, harus ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan MDCT 4 fase atau MRI yang diperkuat
dengan kontras, diagnosis dianggap tegak bila dijumpai
gambaran nodul hipervaskular pada fase arterial diikuti
dengan washout pada fase vena. 2
− Biopsi hepar
5) Tatalaksana
1) Definisi
Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik.
Batas untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak bermakna
sempat menjadi perdebatan, tetapi lebih banyak ahli yang menyepakati
bahwa konsumsi alkohol sampai 20% per hari masih bisa digolongkan
sebagai non alkoholik. 1
2) Etiologi
Sekunder :
Obesitas Sentral
Diabetes tipe 2
Medikasi
Glukokortikoid
Estrogen
Tamoxifen
Amiodarone
Nutrisional
Kelaparan
Defisiensi kolin
Penyakit hati
Wilson disease
Jejunoileal bypass
3) Faktor resiko
4) Patogenesis
Pengetahuan mengenai patogenesis steatohepatitis non alkoholik
masih belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan
dengan steatohepatitis non alkoholik adalah obesitas dan diabetes
melitus. serta dua abnormalitas metabolik yang sangat kuat
kaitannya dengan penyakit ini adalah peningkatan suplai asam
lemak ke hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini
banyak diterima adalah the two hit theory yang diajukan oleh Day
dan James.3
Perjalanan Penyakit
5) Penegakkan Diagnosis
b. Pemeriksaan Penunjang
Biopsi hati merupakan baku emas pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-
satunya metoda untuk membedakan steatosis nonalkoholik dengan
perlemakan tanpa atau disertai inflamasi. Masih menjadi perdebatan
apakah biopsi hati perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin dalam
proses penegakkan diagnosis perlemakan hati nonalkoholik.
Sebagian ahli mendukung dilakukannya biopsi karena pemeriksaan
histopatologi mampu menyingkirkan etiologi penyakit hati lain,
membedakan steatosis dari steatohepatitis, memperkirakan
prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu.
Alasan dari kelompok yang menentang biopsi hati antara lain
prognosis yang umumnya baik, belum tersedianya terapi yang
benar-benar efektif, dan risiko serta biaya dari tindakan biopsi itu
sendiri. Oleh karenya pemeriksaan radiologi dan kimia darah terus
menerus diteliti dan dioptimalkan sebagai metoda pemeriksaan
alternatif yang bersifat non invasif.1
− Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa secara akurat
membedakan steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati
nonalkoholik dengan perlemakan hati alkoholik. Peningkatan
ringan sampai sedang, konsentrasi AST, ALT, atau keduanya
merupakan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang paling
sering didapatkan pada pasien-pasien dengan perlemakan hati
nonalkoholik. Beberapa pasien datang dengan enzim hati yang
normal sama sekali. Kenaikan enzim hati biasanya tidak melebihi
empat kali (kurang dari 300 IU/L) dengan rasio AST:ALT kurang
dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini dapat mendekati atau
bahkan melebih satu.1 Pelu menjadi perhatian beberapa studi yang
melaporkan bahwa konsntrasi AST dan ALT tidak memiliki
korelasi dengan aktivitas histologis, bahkan konsentrasi enzim
dapat tetap normal pada penyakit hati yang sudah lanjut.
Pemeriksaan laboratorium lain seperti fosfatase alkali, -
glutamiltransferase, feritin darah atau saturasi tranferin juga dapat
meningkat, sedangkan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang
memanjang, dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada
pasien yang sudah menjadi sirosis.Dislipidemia ditemukan pada 21-
83% pasien dan biasanya berupa peningkatan konsentrasi
trigliserida. Karena diabetes merupakan salah satu faktor risiko
perlemakan hati nonalkoholik, maka tidak jarang terdapat pula
peningkatan konsentrasi gula darah.3
− Evaluasi pencitraan
Berbagai modalitas pencitraan telah dicoba untuk mendeteksi
perlemakan hati. Agaknya ultrasonografi merupakan pilihan terbaik
saat ini, walaupun CT dan MRI juga dapat digunakan. Pada USG,
infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan peningkatan difus
ekogenisitas (hiperekoik, bright liver) bila dibandingkan dengan
ginjal. Sensitifitas USG 89% dan spesifitasnya 93% dalam
mendeteksi steatosis. Terbukti ketiga teknik pencitraan di atas
memiliki sensitifitas yang baik untuk mendeteksi perlemakan hati
nonalkoholik dengan deposit lemak di hati melebih dari 39%, tetapi
tidak satu pun dari ketiga alat tersebut dapat membedakan
perlemakan hati sederhana dari steatohepatitis.1
Grade 1, Ringan
Grade 2, sedang
Stage 4S Sirosis
−
Esensi pengaturan diet tidak berbeda dengan diet pada diabetes:
mengurangi asupan lemak total menjadi 60% dari total asupan
energi, mengurangi asupan lemak jenuh, mengganti dengan
karbohidrat kompleks yang mengandung setidaknya 15 gr serat serta
kaya akan buah dan sayuran. Walaupun dianjurkan untuk merujuk
pasien kepada ahli gizi untuk mendapatkan pengetahuan lebih rinci
mengenai pengaturan diet, namun setiap dokter diharapkan mampu
memberi informasi prinsip diet rendah lemak yang sesungguhnya
tidaklah terlalu rumit. 1
Terapi Farmakologis
− Antioksidan
− Hepatoprotektor
1) Etiologi
2) Faktor resiko
3) Patogenesis
4) Penegakkan Diagnosis
− Sindrom hepatorenal.
B. Post Hepatik
1. CHOLEDOCOLITHIASIS
a. Defiinisi
Choledocholithiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu
yaitu saluran empedu utama atau di ductus choledochus dan merupakan
suatu kondisi umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Pada
umumnya komposisi utama batu adalah kolesterol.5
Penyebab koledokoliasis/kolelitiasis dipengaruhi oleh umur dan
jenis kelamin. Terdapat peningkatan kejadian yang progresif berhubungan
dengan peningkatan usia seseorang, dimana usia 40 tahun ke atas lebih
beresiko dibanding usia dibawah 40 tahun sedangkan jenis kelamin
perempuan lebih rentan dari pada pria yang dipengaruhi oleh hormon
endogen.5
Selain umur dan jenis kelamin, angka kejadian koledokoliasis/kolelitiasis
juga dipengaruhi oleh obesitas, kehamilan, intoleransi glukosa, resistensi
insulin, diabetes mellitus, hipergliseridemia, pola diet, penyakit kronis,
dan faktor lainya.5
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang dapat timbul yaitu nyeri kolik epigastrium
atau kuadran kanan, ikterus, demam dan menggigil (charcot’s triad).
pruritus yang merupakan gejala yang belum jelas patogenesisnya.
Xanthoma kulit (akumulasi fokal kolesterol) disebabkan oleh
hiperlipidemia yang terjadi akibat kegagalan ekskresi kolesterol.
Karakteristik dari hasil laboratorium adalah peningkatan alkali fosfatase,
yaitu enzim yang terdapat pada epitet duktus biliaris dan membran
kanalikulus dari sel hati. Alkali fosfatase sendiri merupakan isoensim
yang normal dapat ditemukan pada berbagai organ antara lain terdapat
pada tulang. Adanya peningkatan alkali fosfatase serum belum tentu
penyebabnya kerusakan hati sehingga harus dipastikan terlebih dahulu
bahwa peningkatan enzim tersebut memang berasal dari kerusakan
jaringan hati. Penurunan jumlah empedu yang masuk ke usus halus juga
akan menyebabkan malabsorbsi, sehingga terjadi pula penurunan absorbsi
vitamin yang larut di dalam lemak yaitu vitamin A, D dan K.7
f. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan serum transaminase
dan fosfatase alkali. Kadar bilirubin yang meningkat karena ketika
batu empedu menyumbat CBD cairan empedu tidak dapat
diseksresikan sehingga terbendung di kandung empedu. 8
- Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dilakukan untuk
mengetahui besar dan letak batu, bentuk, penebalan dinding kandung
empedu. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.8
- MRCP (Magnetic resonance cholangiopancreatography).8
- Cholangiograpi.8
2. CHOLANGITIS AKUT
A. Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam,
sakit kuning, dan nyeri perut yang berkembang sebagai akibat dari
stasis/sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis pertama kali
dijelaskan oleh Charcot sebagai penyakit yang serius dan mengancam
jiwa, namun sekarang diakui bahwa keparahan dapat berkisar dari
ringan sampai mengancam. Koledokolitiasis atau adanya batu
diadalam saluran empedu/bilier merupakan penyebab utama kolangitis
akut.11
B. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi bilier saluran
(kolestasis) dan pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu).
Kolangitis akut
membutuhkan kehadiran dua faktor: (1) obstruksi bilier dan (2)
pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Cairan empedu
biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi bilier yang
normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril
melalui ampula (karena adanya batu yang melewati ampula/passing
stone), sfingterotomi atau pemasangan sten (yang disebut kolangitis
asending/ascending cholangitis) atau bacterial portal, yaitu terjadinya
translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatic dan celah disse
(Space of Disse). Bakterobilia tidak otomatis dengan sendirinya
menyebabkan kolangitis pada individu yang sehat karena efek bilasan
mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri garam empedu, dan
produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan
kolangitis akut karena berkurangnya/ menurunnya aliran empedu (bile
flow) dan produksi IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kuffer dan
rusaknya celah membrane sel (biliary tight junction) menimbulkan
refluks kolangiovena.9
Penyebab sering obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, stenosis
bilier jinak, struktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan
penyakit ganas. Choledocholithiasis digunakan untuk menjadi
penyebab paling sering, tetapi baru-baru kejadian kolangitis akut yang
disebabkan oleh penyakit ganas, sclerosing cholangitis, dan
instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat. Hal ini
melaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus
akut kolangitis.9
C. Patofisiologi
Kolangitis akut terutama disebabkan oleh infeksi bakteri pada
pasien dengan obstruksi bilier. Organisme biasanya naik dari
duodenum, penyebaran hematogen dari vena portal adalah sumber
yang jarang dari infeksi. Faktor predisposisi yang paling penting bagi
cholangitis akut adalah obstruksi bilier dan stasis. Penyebab paling
umum dari obstruksi bilier pada pasien dengan cholangitis akut tanpa
saluran empedu stent adalah batu empedu (28-70 persen), stenosis
jinak (5-28 persen), dan keganasan (10-57 persen)5. Selain itu,
kolangitis akut adalah komplikasi umum penempatan stent untuk
obstruksi bilier.10
mekanisme masuknya bakteri ke saluran empedu
Bakteri dapat masuk ke saluran empedu ketika mekanisme penghalang
normal terganggu. Obstruksi bilier mempromosikan pembendungan
empedu dan bakteri pertumbuhan dan juga dapat membahayakan
mekanisme pertahanan kekebalan tubuh inang.10
Terjadinya bakteremia atau endotoksemia berkorelasi langsung
dengan tekanan intrabiliari. Meningkatnya tekanan intrabiliari akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas ductules empedu,
memungkinkan translokasi bakteri dan racun dari sirkulasi portal ke
dalam saluran empedu. Tekanan tinggi juga meningkatkan migrasi
bakteri dari empedu ke dalam sirkulasi sistemik, meningkatkan risiko
septikemia. Selain itu, peningkatan tekanan bilier merugikan
mempengaruhi sejumlah mekanisme pertahanan tuan rumah termasuk:
Sel Kupffer, Aliran empedu, Produksi IgA.11
D. Diagnosis
Diagnosis defenitif kolangitis akut memerlukan konfirmasi infeksi
bilier sebagai sumber gejala sakit sistemik, misalnya dengan aspirasi
cairan bilier purulen pada ERCP. Namun demikian, kolangitis akut
biasanya didiagnosis secara klinis dengan adanya trias Charcod: (1)
demam dan/atau bukti inflamasi, tanggapan seperti peradangan, (2)
penyakit kuning dan Hasil tes fungsi hati yang abnormal seperti
kolestasis, dan (3) riwayat penyakit empedu, nyeri abnormal dan
empedu dilatasi, atau bukti etiologi seperti manifestasi empedu. Ini
dianggap bahwa kasus-kasus ini memenuhi 3 kategori dapat
didiagnosis sebagai cholangitis akut, karena tidak adanya metode yang
mudah untuk mendapatkan cairan empedu untuk pemeriksaan dan
kultur selain dengan aspirasi pada ERCP, pungsi perkutan dan
pembedahan.10
Pada pertemuan di Tokyo mendefinisikan kolangitis akut sebagai
ringan (respon terhadap terapi supportif dan antibiotic), sedang (tidak
respon terhadap terapi medical namun tidak ada disfungsi organ), atau
berat (adanya paling tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda
disfungsi organ meliputi hipotensi, sehingga memerlukan pemberian
dobutamin atau dopamine, delirium (confusion), rasio PaO2/FiO2
<300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit
<100000/µl.10
- Pemberian antibiotic
Beberapa panduan (guidelines) menyarankan pada kolangitis akut
ringan sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan
sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan inhibitor β
laktamase. Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya
pemberian antibiotic minimal 5 - 7 hari dengan sefalosporin generasi
ketiga atau keempat, nonbaktam dengan atau tanpa metronidazol
untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain (Jhon
Hopskin) menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut
ringan sampai sedang atau community acquired: (misalnya Ampisilin
sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari,
atau ampisilin iv 2gram setiap 6 jam plus gentamicin iv 1.7mg/kgbb
setiap 8jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv
400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv 500mg sekali sehari, atau
moxiflokasain iv atau oral 400mg sekali sehari) ditambah
metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk
pasien kolangitis akut berat atau nosokomial (hospital acquired),
direkomendasikan pemberian antibiotic sebagai berikut: piparisilin-
tazobaktam (3.375gr iv stiap 6 Jam atau 4.5 gr iv setiap 8 jam), stau
3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100mg iv
bolus, diteruskan 50mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi
ketiga (misalnya seftriakson 1-2gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr
setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk
bakteri anaerob.11
- Drainase billier
Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut
untuk menghilangkan sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat
menurunkan ekskresi bilier antibiotic. beratnya penyakit menetukan
dan menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase. Drainase dapat
dilakukan secara elektif pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-
28 jam pada pasien kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa
jam) pada pasien kolangitis berat karena tidak akan respon dengan
pemberian antibiotic saja.11
Pada suatu studi didapatkaan bahwa sekitar 80% pasien kolangitis
akut respon terhadap terapi medical saja dan resolusi infeksi. namun
semua pasien tersebut akhirnya memerlukan tindakan pembersihan
saluran bilier untuk mencegah kolangitis rekurens. Suatu studi dari
hongkong melakukan ERCP emergenci pada 225 pasien kolangitis.
Frekwensi denyut jantung >100x/menit, kadar albumin <30g/l, kadar
bilirubin>50µmol/l dan masa protrombin > 14 detik pada saat masuk
rumah sakit signifikan berkaitan dengan diperlukannya ERCP, serta
menunjukkan terapi endoskopi lebih aman dibandingkan pembedahan
dalam tatalaksana kolangitis akut, sehingga dekompresi surgical tidak
mempunyai peranan dalam manegemen kolangitis akut.11
Daftar Pustaka
1. Setiati S., Sudoyo A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jilid
I. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
2. Longo D.L., Fauci A.S. Harrisosn Gastroenterologi & Hepatologi. Jakarta:
EGC; 2013.