Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Emergency merupakan suatu keadaan gawatdarurat yang perlu penanganan yang cepat
dan tepat. Salah satu penyakit yang termasuk dalam emergency adalah appendisitis.
Apendisitis merupakan peradangan akut pada apendiks vermiformis. Apendiks
vermiformis memiliki panjang yang bervariasi dari 7 sampai 15 cm dan merupakan
penyebab tersering nyeri abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Salah satu komplikasi dari appendisitis
adalah peritonitis.

Peritonitis didefenisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga
abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal
maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Kemudian
disebutkan juga bahwa peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering
pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Peritonitis difus sekunder yang
merupakan 90% penderita peritonitis dalam praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh
suatu perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran.

1.2 Tujuan Modul

Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan membahas skenario
“nyeri perut hebat” ini kami telah manentukan tujuan pembelajaran kami, yaitu :
memahami dan mengetahui dan memahami bagaimana patomekanisme terjadinya
apendisitis dan peritonitis

1
BAB II
ISI
2.1 Skenario

Nyeri perut hebat......


Pak Fahri, 45 tahun datang ke praktek dokter dengan keluhan demam disertai mual
dan muntah sejak dua hari yang lalu, saat ini demamnya bertambah tinggi dan rasa nyeri
terasa di seluruh perut. Dari hasil anamnesa diperoleh informasi, Pak Fahri merasakan nyeri
perut kanan bawah, untuk mengurangi rasa sakitnya pak Fahri minum obat peredam rasa
nyeri yang diperolehnya dari warung, tetapi nteri tidak kunjung mereda, bila berjalan atau
menarik nafas, nyeri semakin parah. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
diseluruh lapangan perut dengan defans muskuler, dan bising usus menghilang, oleh dokter
yang memeriksanya pak Fahri segera di rujuk ke rumah sakit terdekat.

2.2 STEP 1 : Identifikasi Istilah Asing


1. Defans muskuler: tegang atau kaku pada otot perut yang menyertai peradangan
setempat, dapat terjadi karena ada rangsangan peritoneal. Sebagai mekanisme untuk
melindungi bagian viseral saat dilakukan penekanan dari luar.
2. Bising usus : bunyi yang dihasilkan oleh adanya gerak peristaltic usus, normal nya
bising usus terjadi 5-35 kali/menit.

2.3 STEP 2 Identifikasi Masalah

1. Mengapa dapat tejadi keluhan demam, mual muntah, dan nyeri seluruh lapangan
perut?
2. Mengapa nyeri perut nya meluas?
3. Mengapa nyeri dirasakan semakin parah saat berjalan atau menarik napas?
4. Mengapa terjadi defans muskuler?
5. Mengapa nyeri perut tidak berkurang walaupun sudah diberikan obat?
6. Diagnosis apa saja yang merujuk pada keluhan di skenario?
7. Apa saja pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
8. Apa yang perlu dilakukan seorang dokter umum sebelum merujuk pasien?

2
9. Apa indikasi dokter merujuk pasien ke rumah sakit pada kasus di skenario?

2.4 STEP 3: Brain Storming


1. Demam terjadi akibat peningkatan termostat di hipotalamus yang akan menyebabkan
timbul rasa kedinginan dan dilanjutkan dengan vasokonstriksi kulit dan menggigil
untuk meningkatkan suhu tubuh mendekati termostat.
Endotoksin peradangan dan rangsangan pirogenik lain  bekerja pada monosit dan
makrofag sehingga menghasilkan sitokin (IL-1B, IL-6, β-INF, γ-INF, TNF-α)  area
preoptik hipotalamus  peningkatan pembentukan prostaglandin lokal hipotalamus
(PGE2)  peningkatan titi termostat  demam.

Mual muntah terjadi akibat mediator kimiawi peradangan merangsang kemoreseptor


triger zone sehinga timbul rasa mual. Dapat pula diinduksi oleh nyeri viseral (aferen
C fiber), jika aktivitas aferen C fiber meningkat  merangsang nervus vagus 
rangsangan triger zone  mual muntah.

Nyeri timbul akibat perangsangan aferen C fiber oleh mediator kimiawi akibat
terjadinya proses peradangan.

2. Infeksi meluas, sehingga nyeri yang bersifat viseral menjadi nyeri somatic
Kemungkinan terjadi infeksi peritoneum, pada kasus ini infeksi mudah menyebar.

3. Gangguan atau peradangan pada abdomen (misalnya usus) akan terasa lebih nyeri saat
bejalan dan menarik napas akibat adanya kontraksi otot otot abdomen, sehingga
kemungkinan akan terjadi perubahan/pergeseran organ di abdomen atau organ
abdomen menjadi saling berdekatan /bersentuhan (misalnya saat menarik napas
dimana tekanan intra abdomen akan meningkat) sehingga merangsang timbulnya rasa
nyeri yang lebih.

4. Defans muskuler timbul akibat nyeri yang dirasakan pada bagian dalam abdomen
sehingga ketika dilaukan pemeriksaan palpasi otot-otot abdomen akan otomatis
berkontraksi sehingga terada kejang atau keras, hal ini terjadi sebagai mekanisme
untuk melindungi bagian yang sudah nyeri akibat peradangan dari rangsangan luar.

3
5. Obat yang diberikan tidak menghilangkan kausa infeksi yang menjadi penyebab
nyeri.
Obat yang dikonsumsi kemungkinan hanya obat analgesik lemah dan tidak bersifat
menekan peradanga dan menurunkan mediator kimiawi yang merangsang rasa nyeri.
Dosis obat yang tidak sesuai
Obat yang diberikan tidak sesuai

6. Apendisitis
Peritonitis
Peritonitis et causa apendiks perforasi
Pada pasien wanita patut dicurigai adanya radang organ pelvik, kehamilan ektopik
terganggu (KET), gangguan pada saluran reproduksi seperti ovarium atau tuba fallopi
kanan.

7. Anamnesis: mulai dari identitas, riwayat penyakit sekarang (onset, bagaimana


nyerinya, hilang timbul atau tidak, menyebar atau tidak, nyeri alih?), riwayat penyakit
dahulu dan keluarga, anamnesis sistem, riwayat psikososial pasien.
Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan fisik abdomen.
- Colok dubur
- Alvarado score
- Teknik scoring lainnya…
Pemeriksaan penunjang: darah lengkap, USG, foto polos abdomen, CT-Scan

8. Yang dapat dilakukan oleh dokter umum


 Menjelaskan pada pasien kemungkinan prosedur yang akan dilakukan di rumah
sakit nantinya
 Membuat surat rujukan (bila akan dilakukan apendiktomi pada kasus
apendisitis)
 Memberikan penatalaksanaan awal sesuai dengan keluhan yang dirasakan
pasien
o Analgesic

4
o antibiotik
 Memasang IVline jika didapatkan kedaan umum pasien yang menurun atau jika
pasien memerlukan resusitasi

9. Pada pasien apendisitis, kondisi harus stabil


Rujukan juga dapat dilakukan bila diagnosis sulit ditegakkan.

2.5

5
2.6 STEP 4 Peta Konsep

NYERI PERUT
MUAL
DEMAM KANAN
MUNTAH BAWAH

PEMERIKSAAN FISIK
:
DEFANS MUSKULAR
(+)
BISING USUS (-)

APENDISITI DIAGNOSI PERITONITI


S S S

TATALAKSAN
A

RUJUKAN

6
2.6 Step 5. Learning Objective

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, etio;ogi, patogenesis, manifestasi klinis,


diagnosis, serta penatalaksanaan dari :
1. Apendisitis
2. Peritonitis

2.7 Step 6. Belajar Mandiri

Dalam tahap belajar mandiri ini, setiap individu kelompok melakukan kegiatan
belajar baik mandiri maupun kelompok dengan mempelajari semua hal yang berkaitan
dengan learning objectives dari berbagai sumber referensi yang bisa didapat.

LEARNING OBJECTIVE 1: APPENDISITIS

APPENDISITIS AKUT

DEFINISI

Appendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu
feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.26 Penelitian Collin
(1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi.
Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda
asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

7
ETIOLOGI dan PATOGENESIS

a. Peranan Lingkungan: Diet dan Higiene

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
flora normal kolon.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada
pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis
jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi seratdan konsistensi
feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering
terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras

b. Peranan Obstruksi

Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit
merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan
apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi
obstruksimeningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada
kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa
ruptur terdapat 65% dan  apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%.

Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi
sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang
akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah
satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks
untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan
risiko terjadinya perforasi.

8
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen
apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama
adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi
kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterialserta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan
dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman darilumen masuk kedalam
submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa
peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke
dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat,
sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada
sistem vasa dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika,
kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari
apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut
dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam
rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil
akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum
untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis
umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang
efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami
komplikasi .

c. Peranan Flora Bakterial

Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri
aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit
kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif padatahap apendisitis
sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutamaEscherichia coli
banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella,
Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak
dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis
perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .

9
PATOFISIOLOGI

Appendisitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ
tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa
menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Obstruksi intraluminal appendiks menghambat
keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada
dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan
luka pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di
usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses
irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Appendicitis dimulai dengan proses
eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa
kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi
kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan
serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut
supuratif. Edema dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi
ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua
dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan
pembuluh darah kongesti.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada
perutkanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi.

Reaksi fase akut (Acute phase reaction)

Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses inflamasi (innate
immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori (adaptive immune).
Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat berupa trauma
mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalahuntuk melawan agen
pengrusak, awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang rusak. Proses
inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan oleh agen

10
mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker, arthritis
rematiod, luka bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi.

Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon yang
berfungsidalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan metabolisme. Sistem
immundibagi menjadi dua, immun bawaan (innate immune) dan immune didapat (adaptive
immune)  Immun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein,
bekerja tanpa melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan
memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan,
tetapi juga sistem immun yang didapat.

Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu:

Ø Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)

Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah relaksasi muskulus vaskuler


yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses transudasi yang terjadi melalui membran sel,
diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan. Jika fibrinogen terekstravasasi
kedalam jaringan juga, maka terjadilah mekanisme pembekuaan.

Ø Emigrasi neutrofi

Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada permukaaan endotel. Sel PMN
tampak dominan menempel pada permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil padaarea
inflamasi disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immun-kompleks dalam
proses awal inflamasi, menyebabkan faktor kemotaktik  mengaktivasi komplemen C5a.
Komplemen C5a ini kemudiaan menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi. Produk
bakteri juga bersifat kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasiemigrasi sel PMN
biasanya dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi

Ø Eemigrasi sel mononuclea

Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai puncaknya 16-24 jam. Pada
keadaan awal respon seluler, sel mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit bersama sel
polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi oleh prosesfagositosis debris,
produk fagositosis neutrofil, dan sitokin . Proses terakhir inflamasi adalah proliferasi seluler

11
Ø Proliferasi seluler.

Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18 jam dan mencapai
puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas mengeluarkan acidic mukopolysaccharidesyang
menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses ini diharapkan kembalinya
fungsi area yang terkena inflamasi, namun dalam beberapa keadaan, proses ini berakhir
dengan terbentuknya abses dan granuloma

APENDISITIS PERFORATA

Faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks adalah adanya fekalit dalam lumen,
usia (orang tua atau anak kecil), dan keterlambatan diagnosis.

Insiden tinggi pada orang tua biasanya karena gejala samar, keterlambatan berobat, adanya
perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan arterioskeloris. Sedangkan pada
anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempuarna akibat
perforasi yang berlangsung capat dan omentum anak belum berkembang.

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan
kembung nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, dapat disertai dengan
pungtum maksimum di region iliaka kanan, peristaltic usus dapat menurun samapai
menghilang akibat adanya ileus paralitik. Dapat juga terjadi abses rongga peritoneum bila pus
yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan
subdiafragma.Terjadinya abses dapat dicurigai dengan adanya massa intra abdomen yang
nyeri disertai demam.

GEJALA KLINIS
Merupakan kasus akut abdomen yang dimulai dengan ketidaknyamanan perut dibagian atas,
diikuti dengan mual dan penurunan nafsu makan. Nyeri menetap dan terus menerus, tapi
tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah epigastrium, kadang diikuti pula
dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan bawah. Nyeri
menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan atau

12
batuk.Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan fungsi
usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis acute.
Penderita appendicitis acute biasanya ditemukan ditemukan terbaring di tempat tidur serta
memberkan penampilan kesakitan. Mudah tidaknya gerakan penderita untuk menelentangkan
diri merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic pain).

Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila penderita
disuruh batuk. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba defans
musculer ringan. Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah
mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih
dalam batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8 oC,
pada kasus appendix yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang
merupakan awal dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk appendix yang
terletak retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada nyeri di
abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan uretra pada lokasi
retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan hematuria.
Sedang pada appendix yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan gejala seperti
gastroenteritis acut.

Untuk appendicitis acute yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi, peritonitis dan
infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989).
Perforasi :

Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai
dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3oC). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan
tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.
Peritonitis :
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah
mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada
peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi
abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam
makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.
Abses / infiltrat :

13
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti
tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding) oleh
omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan
bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi
rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa
atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian
dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisik
Pasien apendisitis jarang memperlihatkan tanda toksisitas sistemik ia dapat berjalan dengan
cara agak membungkuk. Sikapnya diranjang cenderung tak bergerak, sering denga tungkai
kanan fleksi. Inspeksi langsung abdomen biasanya tak jelas serta auskultasi atau perkusi tidak
terlalu bermanfaat dalam pasien apendisitis. Palpasi abdomen yang lembut kritis dalam
membuat keputusan, apakah operasi diindikasikan pada pasien yang dicurigai apendisitis.
Palpasi seharusnya dimulai dalam kuadran kiri bawah, yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas,
kuadran kanan atas dan diakhiri kuadran kanan bawah. Kadang-kadang pada apendisitis yang
lanjut dapat dideteksi suatu massa. Adanya nyeri tekan kuadran kanan bawah dengan spasme
otot kuadran kanan bawah merupakan suatu indikasi operasi, kecuali bila ada sejumlah
petunjuk lain bahwa apendisitis bukan diagnosis primer.
Pemeriksaan rectum dan pelvis harus dilakukan dalam semua pasien apendisitis. Pada
apendisitis atipik, nyeri mungkin tidak terlokalisasi dari daerah periumbilikus, tetapi nyeri
tekan rectum kuadran kanan bawah dapat dibangkitkan. Adanya nyeri tekan atau sekret
serviks pada wanita muda dengan nyeri kuadran kanan bawah membawa ke arah diagnosis
penyakit peradangan pelvis. Tanda Rovsing bisa positif, tanda psoas dan obturator juga dapat
ditemukan, tetapi kurang dapat diandalkan disbanding Rovsing.

Tes Konfirmasi
Seri abdomen akuta tidak bermanfaat pada pasien yang didiagnosis apendisitisnya jelas.
Tetapi pada pasien dengan presentasi atipik yang bisa ada kemungkinan ulkus perforasi,

14
obstruksi usus atau nefrolitiasis, maka sinar-x mungkin bermanfaat. Pielogram intravena bisa
menunjukkan kelainan traktus urinarius seperti kolik gijnal.
Khas sejumlah ¾ pasien apendisitis akuta datang dengan hitung leukosit >10.000. hitung
leukosit medium sekitar 12.000, tetapi hitung leukosit >20.000 menyebabkan reevaluasi
diagnosis. Kurang dari 4% pasien apendisitis akuta mempunyai hitung jenis normal dan
hitung leukosit normal. Pemeriksaan urin bermanfaat dalam menyingkirkan sebab lain nyeri
kuadran kanan bawah. Adanya bakteri atau hematuria bermakna menggambarkan etiologi
urin umum untuk nyeri. Tetapi pria muda dalam jumlah bermakna dengan apendisitis akan
tampil dengan kadang-kadang leukosit dalam urin.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding apendisitis suatu fungsi usia dan jenis kelamin. Pasien bisa dibagi
kedalam tiga kelompok usia : anak (usia <10 tahun), orangtua (usia >50 tahun), serta remaja
dan dewasa (usia 10-50 tahun). Karena apendisitis jarang pada kelompok usia lebih muda,
maka sering diangggap penyakit lebih serius. Tidak hanya diagnosisnya lambat, tetapi pada
anak, omentum cenderung pendek dan bisa gagal membungkus perforfasi apendisitis
vermiformis. Apendisitis jarang di bawah usia 3 tahun, tetapi meningkat progresif antara usia
3 dan 10 tahun.
Diagnosis banding nyeri abdomen akuta dalam masa bayi mencakup kolik, gastroenteritis
akuta, intususepsi, hernia inkarserata, dan volvulus. Dalam kelompok usia prasekolah (2-5
tahun), apendisitis tetap jarang. Sebab lain nyeri abdomen akuta dalam usia ini mencakup
gastroenteritis akuta, pielonefritis, divertikulum meckel, dan intususepsi.
Anak usia sekolah (5-10 tahun) memperlihatkan peningkatan mantap dalam insidens
apendisitis bersama usia. Gastroenteritis dan limfadenitis mesenterica merupakan kelainan
peradangan terlazim pada kelompok usia ini. Khas gastroenteritis tampil sebagai muntah
yang mendahului mulainya nyeri dan sering disertai dengan diare. Ia jarang disertai dengan
tanda lokalisasi atau spasme otot. Bising usus biasanya hiperaktif dan pemeriksaan rectum
jarang positif dalam gastroenteritis, walaupun sering ditemukan positif dalam kelompok usia
ini pada pasien apendisitis.
Adenitis mesenterica sering didahului oleh infeksi traktus respiratorius atas dan disertai
dengan ketaknyamanan abdomen samar-samar yang sering dimulai pada kuadran kanan
bawah. Pemeriksaan abdomen hanya menunjukkan nyeri tekan kuadran kanan bawah ringan
yang sering tak terlokalisasi baik.

15
Diagnosis pada orangtua sering sulit. Sering kali pasien usia ini tampil dengan gambaran fisik
samar-samar dan sering hitung leukosit dibawah 10.000. kedinginan dan demam lebih sering
menyertai apendisitis pada pasien lebih tua. Suhu tubuh subnormal disertai dengan abses atau
peritonitis generalisata. Diagnosis banding pasien usia ini adalah diverticulitis, ulkus
perforate, kolesistitis akuta, karsinoma, obstruksi usus dan penyakit vascular mesenterica.
Pada remaja dan dewasa muda diagnosis banding apendisitis berhubungan dengan jenis
kelamin. Diagnosis banding pada pria dengan nyeri di kuadran kanan bawah lokalisata
mencakup empat sebab genitourinarius : pielonefritis akuta, batu ginjal, torsio testis dan
epididimitis.
Sementara pada wanita, antara usia 10 dan 30 tahun, kesalahan diagnostik wanita disebabkan
karena : penyakit peradangan lain, diagnosis ginekologi lain, adenitis mesenterica,
gastroenteritis, infeksi traktus urinarius, kolelitiasis, dan tidak diketahui.

TATALAKSANA.
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan
IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan
dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara
terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat
efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah.

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C.
Suzanne, 2002).
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif dengan ditandai dengan:
a. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
b. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-
tanda peritonitis
c. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke
kiri.

16
Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan
harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan:
a. Umumnya berusia 5 tahun atau lebih.
b. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi
lagi.
c. Pemeriksaan lokal abdomen tanang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.
d. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal

Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan istirahat di
tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak,
lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau tanpa
peritonitis umum.

PEMBEDAHAN
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai. Suhu
tubuh tidak melebihi 38oC, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. nadi di bawah 120/menit.
Teknik pembedahan, yaitu Insisi transversal di sebelah kanan sedikit di bawah umbilicus.
Sayatan Fowler Weier lebih dipilih, karena cepat dapat mencapai rongga abdomen dan bila
diperlukan sayatan dapat diperlebar ke medial dengan memotong fasi dan otot rectum.
Sebelum membuka peritoneum tepi sayatan diamankan dengan kasa. Membuka peritoneum
sedikit dahulu dan alat hisap telah disiapkan sedemikian rupa hingga nanah dapat langsung
terisap tanpa kontaminasi ke tepi sayatan. Sayatan peritoneum diperlebar dan penghisapan
nanah diteruskan. Apendektomi dikerjakan seperti biasa. Pencucian rongga peitonium mutlak
dikerjakan dengan larutan NaCl fisiologis sampai benar-benar bersih.
Cairan yang dimasukkan terlihat jerih sewaktu dihisap kembali. Pengumpulan nanah biasa
ditemukan di fosa apendiks, rongga pelvis, di bawah diafragma dan diantara usus-usus. Luka
sayatan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis juga setelah peritonium dan lapisan fasia yang

17
menempel peritonium dan sebagian otot dijahit. Penjahitan luka sayatan jangan dilakukan
terlalu kuat dan rapat.
Pemasangan dren intraperitoneal masih merupakan kontroversi. Bila pencucian rongga
peritonium benar-benar bersih dren tidak diperlukan. Lebih baik dicuci bersih tanpa dren
daripada dicuci kurang bersih dipasang dren.

KOMPLIKASI.
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada
anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau
nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Factor keterlambatan dapat


berasal dari penderita dan tenaga medis. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Komplikasi sering terjadi pada anak dan orang tua. Adapun jenis
komplikasi diantaranya

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung ous, hal ini terjadi bila apendisitis gangrene atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum.

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam. Perforasi dapat berlanjut ke peritonitis.

Peritonitis merupakan komplikasi yang berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronik. Bila inffeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
peritonitis umum. Gejala-gejalanya: peristaltic usus (-), dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi.

LEARNING OBJECTIVE 2: PERITONITIS

18
DEFINISI
Inflamasi dari peritoneum, disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya berupa perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis, ileus obstruktif, perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma
abdomen. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difus, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat
daruratan yang biasanya disertai dengan bakterimia atau sepsis.
ETIOLOGI
1. Infeksi organ perut (perforasi lambung, usus, empedu, appendicitis)
2. Pemaparan terus menerus terhadap infeksi (peritoneum sangat kebal thdp infeksi)
3. Penyakit radang panggul pada wanita yang aktif melakukan seks
4. Infeksi Rahim dan saluran telur (gonore & infeksi chlamidia)
5. Kelainan hati atau gagal jantung (cairan bias terkumpul di perut dan infeksi)
6. Pasca pembedahan (cedera pada empedu, ureter, kandung kemih selama pembedahan
dpt memindahkan bakteri ke dalam perut)
7. Dialisa peritoneal (infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut)
8. Iritasi tanpa infeksi (pankreatitis akut)

KLASIFIKASI
Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum.Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis
hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster
dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat
divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.
PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

19
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ.Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara
retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebutmeninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus
serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitonealmenyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu,masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum.
Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir
dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding

20
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen
dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general
GEJALA KLINIS
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.Nyeri biasanya
dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya
didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya,
rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan.Nyeri biasanya lebih terasa pada
daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah.Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti
dengan menggigil yang hilang timbul.Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC
sampai 40 OC.
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates.Gejala ini termasuk ekspresi yang
tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka
yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium
pre terminal.Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan
respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada
abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang
tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,
angka kematian dapat lebih banyak berkurang
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.Pertama akibat
perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal.Yang

21
kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septikemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative
dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari
fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin
pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran
yang terlihat pada manusia.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Nyeri hebat pada abdomen dirasakan terus menerus beberapa jam, dpt hanya di satu
tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat
penderita bergerak (jalan, nafas, batuk, mengejan)
2. Bila terjadi peritonitis bacterial, suhu badan naik dan takikardia, hipotensi, penderita
tampak letargi dan syok
3. Mual muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi
peritoneum
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen, mendorong
diafragma

Pemeriksaan fisik
1. Pasien tampak letargi dan kesakitan
2. Dapat ditemukan demam
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas abdomen
4. Defans muscular
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma
7. Bising usus menurun atau menghilang
8. Rigiditas abdomen atau sering disebut perut papan
9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani
menurun dan ampula rekti berisi udara

Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan di layanan primer untuk menghindari keterlambatan dalam melakukan
rujukan

22
Diagnose: foto rontgen diambil posisi baring dan berdiri. Gas bebas dalam perut dapat terlihat
pada foto rontgen dan merupakan petunjuk perforasi. Pembedahan eksplorasi merupakan
Teknik diagnostic paling dapat dipercaya.

PENATALAKSANAAN
Pasien segera dirujuk setelah penegakan diagnosis dan penatalaksanaan awal:
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
2. Pasien puasa
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastric atau intestinal
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang dilakukan secara intravena
5. Pemberian antibiotic spektrum luas intravena
6. Tindakan menghilangkan nyeri dihindari untuk tidak menyamarkan gejala

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu
feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat


terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.

3.2 Saran

Dengan memahami tujuan belajar yang didapat, penulis mengharapkan pembaca dapat
termotivasi untuk mendalami materi yang kami bahas, sehingga nantinya saat di rotasi klinik
atau dimanapun dalam keadaan yang memungkinkan para mahasiswa dapat menerapkannya.
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen dan rekan- rekan angkatan 2014.

24

Anda mungkin juga menyukai