1
Skenario
Anak usia 17 tahun dilarikan ke IGD karena demam tinggi, nyeri perut semua
regio, riwayat 4 hari sebelum masuk RS nyeri ulu hati dan perut kanan bawah.
Tidak menggunakan obat apapun dan meolak dilakukan operasi. Ketika periksa
diri, dokter mengambil tindaan rujukan spesialis bedah, pemeriksaan darah
lengkap, puasa, dan terapi pre operatif.
Step 1.
a. Idenifikasi kata sukar:
Terapi preoperatif : penatalaksanaan yang dilakukan oleh saat sebelum
melakukan tindakan operasi.
b. Identifikasi kata kunci :
a) Anak 17 th
b) Demam tinggi
c) Nyeri perut semua regio
d) 4 hari sebelum masuk RS nyeri ulu hati
e) Nyeri perut kanan bawah
f) Tidak dalam terapi obat apapun
g) Dirujuk ke spesialis bedah
h) Pemeriksaan darah lengkap
i) Puasa
j) Terapi pre operatif
2
6. Bagaimana penatalaksanaan yang diberikan pada pasien?
7. Bagaimana mekanisme gejala nyeri pada perut?
8. Apa saja tindakan pre operatif yang diberikan untuk pasien ini/
9. Apa tujuan pemeriksaan darah lengkap?
10. Kenapa pasien dirujuk ke dokter bedah?
11. Kenapa pasien tidak mau menggunakan obat apapun dan menolak untuk di
operasi?
3
2. Yang mnejadi DD dari kasus ini ialah, adanya gastritis, diare, kholestitis,
perforasi usus, apendisitis,
3. Diagnosis kerjanya ialah Sepsis peritonitis et causa appendisitis
4. Akibat infeksi (bagian peritoneum, titik mc burney) infeksi yang telah
kronis akan menyebabkan perforasi. Infeksi hanya pada apendix aja
menjurus paa nyeri perut kanan bawah.
Adanya obstruksi karena fekalit sehingga tekanan intra lumen meningkat,
lalu produksi mukkus meningkat, terjadi kondisi invasi bakteri.
Kurang makan makanan berserat, efeknya fekalit.
5. Akibat adanya obstruksi (Fekalit) pada appendix dan menyebabkan
peradangan memicu adanya persarafan pada appendix dan usus halus yang
sama, yakni persarafan viseral sehingga ketika terjadi nyeri menybabkan
terjadi penjalaran pada semua organ (regio) yang dilalui oleh saraf viseral.
6. Penatalaksanaan Non – farmakologi : dengan cara menghindari asupan
makanan yang pedas, berminyak, kurang berserat, batasi porsi makan,
melakukan teapi cairan karena pasien mengalami dehidrasi
Penatalaksanaan farmakologi, berikan antibiotik, NSAID,
Operasi pembedahan
7. Makanan yang kurang mengandung serat akan sulit diserap dan
perjalannya lambat diusus, hal ini bisa menimbulkan fekalit, terjadi
obstruksi pada appendix, sehingga rentan terhadap infeksi.
8. Tindakan pre operatif yang diberikan ialah, melakukan terapi cairan untuk
mencegah dehidrasi, persiapan psikologi saat mau op, berikan anastesi,
dianjurkan puasa.
9. Tujuan pemeriksaan darah lengkap untuk melihat status vital pasien dari
segi perdarahan. Yang dilihat jika adanya infeksi ialah dengan
meningkatnya kadar leukosit.
10. Seperti yang diketahui dalam SKDI telah ditentukan kompetensi dokter
umum , dan jika dilihat hal ini sudah ebrsifat kronis dan perlu ditindak
segra.
11. Akibat fator takut minum obat, ekonomi, psikologi pasien.
4
Step 4 Mind Mapping
Anak 17 th
Anamnesis
Persiapan
Keluhan Utama
Demam tinggii
Pemeriksaan darah
Nyeri perut
lengkap
semua regio abd
Puasa
Riwayat pengobatan
Tidak ada
Riwayat operasi
Diagnosis Kerja
5
Step 5 Learning Objectives
1. Patomekanisme Appendisitis akut sampai nyeri akut.
2. Penyebab dan resiko peritonitis et causa appendisitis
3. Perinsip penegakan diagnosis peritonisit et causa appendisitis
4. Penatalaksanaan Farmakologi, dan non farmakologi.
5. Komplikasi dari peritonitis
6
Step VII Pembahasan LO
7
dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin
bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri.
Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis
lain. 1-3
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator
inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di
titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri
somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum
parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada
appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic
yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter
atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine. 1-3
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi
appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000,
dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa
perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak
adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih
8
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik. 1-3
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum
terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis. 1-3
9
Berikut ini merupakan penyabab lainnya terjadi Peritonitis 1-3 :
1. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh
beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi
chlamidia) 1-3
2. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut
(asites) dan mengalami infeksi 1-3
3. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.
Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama
pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga
dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus. 1-3
4. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan
peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan
di dalam perut. 1-3
5. Iritasi tanpa infeksi.
Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada
sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa
infeksi. 1-3
10
Orang yang pernah menderita peritonitis mempunyai risiko lebih tinggi
untuk terkena kembali daripada orang yang belum pernah terkena
peritonitis.2
I. Identitas Pasien
11
berpikir mengenai diagnosa banding dan pendekatan diagnostik terkait keluhan
pasien. 4-12
Dalam skenario yang diberikan, pasien dengan usia 17 tahun memiliki keluhan
yaitu nyeri perut pada semua region abdomen.
Setelah selesai menanyakan keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang, maka
beralih pada riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui apakah ada hubungannya
dengan riwayat penyakit yang dialami pasien sekarang. Untuk itu dokter harus
pandai dalam menggali informasi lebih banyak dan menghubungkan secara logika
mengenai perjalanan penyakit yang pasien alami dalam waktu yang sesingkat
mungkin untuk mendapat data yang digunakan dalam mendiagnosa pasien
seakurat mungkin, karena tidak semua pasien dapat bercerita dan mengeluarkan
berbagai keluhannya dimasa lalu karena bergantung dari kondisi fisik pasien
sendiri. 4-12
12
IV. Riwayat Kesehatan Keluarga
Konsumsi alkohol dan obat - obatan dapat menjadi salah satu faktor terjadinya
peritonitis sekunder akibat kerusakan hepar, yang mengakibatkan tertumpuknya
cairan pada abdomen (Asites) sehingga membuat seseorang lebih mudah terkena
13
peritonitis. Selain itu, dokter juga harus melihat bagaimana tingkat kesadaran
pasien saat itu berdasarkan tingkatan kesadaran (kompos mentis, apatis, delirium,
somnolen atau letargis, stupor atau soporo koma dan koma) dengan menggunakan
penilaian GCS (Glasgow Coma Scale)4-12
“ Apakah adik pernah mengalami alergi atau efek samping dalam mengonsumsi
obat-obatan?”
PEMERIKSAAN FISIK
14
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mendiagnosis pasien Peritonitis adalah
dari inspeksi, perkusi, auskultasi dan palpasi. 4-12
Pada inspeksi:
- Tidak ditemukan gambaran spesifik
- Terlihat perut kembung, kecurigaan Asites.
Pada Palpasi :
- Pasien merasa nyeri ketika palpasi, disertai nyeri tekan lepas.
- Defans muscular, menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietale
Pada Perkusi :
- Terdapat nyeri ketok.
- Ketika terjadi peritonitis, maka suara pekak pada perkusi hati, tidak terdengar
karena kebocoran usus.
Pada Auskultasi
- Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
- Mendengarkan bising usus (Pada peritonitis bising usus tidak terdengar)
15
bagian bawah dan panggul sering menunjukkan leukosit dalam urin dan
microhematuria. 4-12
16
C. Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi abdomen dapat membantu dalam evaluasi patologi di
kuadran kanan atas (misalnya, abses perihepatik, kolesistitis, biloma,
pankreatitis, pseudokista pankreas), kuadran kanan bawah, dan panggul
(misalnya, usus buntu, tubo-ovarium abses, Douglas kantong abses ).
Namun, pemeriksaan ini kadang - kadang terbatas karena ketidaknyamanan
pasien, distensi abdomen, dan gangguan gas usus. 4-12
Ultrasonografi dapat mendeteksi jumlah peningkatan cairan peritoneal
(ascites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah sangat terbatas,
yaitu kurang dari 100 ml. Pusat (perimesenteric) rongga peritoneum tidak
divisualisasikan dengan baik pada ultrasonografi transabdominal.
Pemeriksaan dari belakang dapat meningkatkan hasil diagnostik, dan
menyediakan ultrasonographer informasi spesifik tentang kondisi pasien.
Dengan ultrasonographer yang berpengalaman, akurasi diagnostik yang
lebih besar dari 85% telah dilaporkan dalam beberapa seri. 4-12
17
iskemia, serta untuk menentukan obstruksi usus. Abses dapat terlihat oleh
adanya densitas fluida yang tidak terikat oleh usus atau struktur lain yang
dikenali. Iskemia dapat ditunjukkan oleh bekuan di pembuluh besar atau
oleh adanya aliran darah. Adanya gas dalam dinding usus atau dalam vena
portal juga mungkin menyarankan iskemia. 4-12
Terapi pada peritonitis primer adalah dengan pemberian antibiotika bila diagnosa
telah ditegakkan. Sedangkan untuk peritonitis sekunder, terapi bergantung pada
penyakit dasarnya memerlukan tindakan bedah. 13,14
18
tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan karena bakteremia akan
berkembang selama operasi. 13,14
5. Obat - obat yang menstimulasi aktivitas usus tidak boleh diberikan. 13,14
7. Pembedahan13,14
19
d. Kebocoran cairan tubuh seperti empedu, cairan pankreas, urin, cairan
usus, darah yang tidak dapat dihentikan dengan operasi.
e. Kontaminasi retroperitoneal dengan faeces, pus, dan darah.
Penatalaksanaan Medis
penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut : 13,14
Pengobatan
Antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan
infeksi nifas. Adanya antibiotika sangat merubah prognosa infeksi puerperalis dan
pengobatan dengan obat-obat lain merupakan usaha yang terpenting. Dalam
20
memilih satu antibiotik untuk mengobati infeksi, terutama infeksi yang berat
harus menyandarkan diri atas hasil test sensitivitas dari kuman penyebab. Tapi
sambil menunggu hasil test tersebut sebaiknya segera memberi dulu salah satu
antibiotik supaya tidak membuang waktu dalam keadaan yang begitu gawat. 13,14
Pada saat yang sekarang peniciline G atau peniciline setengah syntesis
(ampisilin) merupakan pilihan yang paling tepat karena peniciline bersifat
baktericide (bukan bakteriostatis) dan bersifat atoxis. Sebaiknya diberikan
peniciline G sebanyak 5 juta S tiap 4 jam jadi 20 juta S setiap hari. Dapat
diberikan sebagai iv atau infus pendek selama 5-10 menit. Dapat juga diberikan
ampiciilin 3-4 gr mula-mula iv atau im. Staphylococ yang peniciline resisten,
tahan terhadap penicilin karena mengeluarkan penicilinase ialah oxacilin,
dicloxacilin dan melbiciline. 13,14
Di samping pemberian antibiotic dalam pengobatannya masih diperlukan
tindakan khusus untuk mempercepat penyembuhan infeksi tersebut. Karena
peritonitis berpotensi mengancam kehidupan. Penderita disarankan mendapat
perawatan di rumah sakit. Secara jelas, penatalaksanaan pada peritonitis yaitu ; 13,14
Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok
dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan
vena yang berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti
elektrolit dan kehilangan protein. Lakukan nasogastric suction melalui
hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus. 13,14
Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam: 13,14
a) Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5
mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV
setiap 8 jam
b) Antibiotik harus diberikan dalam dosis yang tinggi untuk
menghilangkan gembung perut di beri Abot Miller tube.
Pasien biasanya diberi sedative untuk menghilangkan rasa nyeri. Minuman
dan makanan per os baru di berikan setelah ada platus. 13,14
Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan
21
dapat diupayakan. 13,14
Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah
peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor
adalah insisi dan drainase terhadap abses. 13,14
22
terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan
metabolik dan terapi modulasi respon peradangan. 13,14
Jika pasien harus dilakukan operasi maka, asuhan keperawatan/kebidanan
selama masa pra, intra, post operatif maka tindakan bidan atau perawat harus
memahami tahapan- tahapan yang dilakukan pada seorang pasien, tahapan
tersebut, mencakup tiga fase yaitu : 13,14
a) Fase pra-operatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring
ke meja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat
mencakup penetapan pengkajian data dasar pasien yang datang di klinik,
rumah sakit atau di rumah, menjalani wawancara pra-operatif dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan
pengkajian pasien pra-operatif ditempat ruang operasi13,14
b) Fase intra-operatif dari keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien
masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup
aktivitas keperawatan dapat meliputi : memasang infus (IV), memberikan
medikasi melalui intervena sesuai Instruksi Dokter, melakukan pemantauan
fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahandan menjaga
keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas
hanya pada menggemban tangan pasien selama induksi anastesia umum,
bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam
mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-
prinsip dasar kesejajaran tubuh13,14
c) Fase pasca-operatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan
dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode
ini. Pada fase pasca-operatif langsung, fokus terhadap mengkaji efek dari
agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi.
Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting
23
untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan
pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan
berkaitan dan memungkinkan proses keperawatan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan. 13,14
Ostruksi Usus
Obstruksi usus merupakan keadaan dimana aliran normal isi usus sepanjang
lumen usus mengalami gangguan. Pada sebagian besar kasus obstruksi yang
terjadi, biasanya mengenai usus halus. 1-3,16
Obstruksi usus terbagi atas 2 jenis, yaitu Non-mekanis dan mekanis. Pada keadaan
peritonitis yang berdampak pada ileus paralitik merupakan obstruksi usus secara
non-mekanis, dimana disebabkan oleh adanya sentuhan pada viscera abdomen dan
juga hambatan gerakan peristaltik. 1-3,16
Syok Septik
Syok septik merupakan subset dari kondisi sepsis berat yang dimana
didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap walau telah
mendapat resusitasi cairan, disertai juga dengan hipoperfusi jaringan. 1-3,16
24
Pada kasus seperti peritonitis setelah perforasi appendikal merupakan sepsis Gram
negatif yang dimana awalnya dalam keadaan normal tetapi terjadi infeksi yang
menyebar ke struktur yang berdekatan. 1-3,16
Hipovolemia
Hipovolemia atau dikenal juga sebagai kekurangan volume ECF adalah keadaan
dimana terjadi kehilangan cairan tubuh isotonic, yang juga disertai kehilangan
natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama. Keadaan hipovalemia terkadang
disalahartikan sebagai dehidrasi. 1-3,16
Hipovolemia terjadi karena cairan cenderung terkumpul di dalam ruang non-ECF
dan non-ICF yang disebut sebagai penempatan pada ruang ketiga, yaitu cairan
yang hilang berdistribusi pada ruang tertentu yang sulit untuk terjadi pertukaran
dengan ECF. Cairan yang hilag ini terperangkap pada ruang ketiga dan tidak
terpakai leh tubuh. Cairang yang hilang ini kebanyakan dari ECF sehngga dapat
mengurangi volume darah dari sirkulas yang efektif. 1-3,16
Pada keadaan peritonitis, cairan yang tertimbun di dalam rongga peritoneal
berkisar antara 4-6 L. 1-3,16
25
DAFTAR PUSTAKA
26
7. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Anamnesis:
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. 4 thEd. Jakarta : Departemen IPD
FKUI, 2007.
8. Idrus Alwi. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. 4thEd. Sudoyo W Aru (dkk), editor. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. p. 1615-7.
9. Swartz MH. Seni Anamnesis: Buku Ajar Diagnostik Fisik. Alih bahasa:
Lukmanto P (et al.). Harjanto effendi. Editor. Jakarta: EGC, 2000. p. 3-9.
10. Jaley B J. Peritonitis and Abdominal Sepsis Workup [Internet]. [updated
2015 Feb 23; cited 2015 Apr 25]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/180234-workup#showall
11. Pietrangelo A. Peritonitis [Internet]. [updated 2012 Jul 18; cited 2015 Apr
26]. Available from:
http://www.healthline.com/health/peritonitis#Diagnosis4
12. Herrine S K. Spintaneous Bacterial Peritonitis [Internet]. [updated 2014
Jul 01; cited 2015 Apr 26]. Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/hepatic-and-biliary-
disorders/approach-to-the-patient-with-liver-disease/spontaneous-
bacterial-peritonitis-sbp
13. Tests and Diagnosis [Internet]. [updated 2015 Mar 31; cited 2015 Apr 23].
Available from: http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/peritonitis/basics/tests-diagnosis/con-20032165
14. Trunkey DD, Crass RA, Peritoneal Disorders, Mills J, HO MT, Salber PR,
Trunkey DD, eds, Lange Medical publications/Los Altos, California 1983:
129-130
15. Schwartz SI, peritonitis dan Abses intra abdomen, in Intisari Prinsip-
Prinsip Ilmu Bedah, Shires GTS, Spencer FC, Husser WC, Eds, EGC
Jakarta 2000: 489-493.
16. Setiati S., Alwi I., Sudoyono AW., Simadibrata MK., Setiyohadi B., Syam
AF., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed VI. Jakarta:
Interna Publishing. 2014.
27
28