Anda di halaman 1dari 28

KELOMPOK 4

KETUA : Lidya A. Kainama (2013-83-040)

SEKERTARIS 1 : Brenda F.Katihara (2013-83-056)

SEKERTARIS 2 : Ampri Y. Loyra (2013-83-041)

ANGGOTA : Zunnu Roini .Matdoan (2011-83-


012)

Yuyun Anissa (2011-83-


013)

Miraj A J .Hasanusi (2011-83-019)

Maria H .Lerebulan (2011-83-039)

Saribah. Latupono (2011-83-


041)

Fiendy T P .Rembet (2013-83-024)

Tri Asih MW. Fatubun (2013-83-025)

Nerissa A. Sutantie (2013-83-043)

Delvis S.Pattiapon (2013-83-028)

1
Skenario

Anak usia 17 tahun dilarikan ke IGD karena demam tinggi, nyeri perut semua
regio, riwayat 4 hari sebelum masuk RS nyeri ulu hati dan perut kanan bawah.
Tidak menggunakan obat apapun dan meolak dilakukan operasi. Ketika periksa
diri, dokter mengambil tindaan rujukan spesialis bedah, pemeriksaan darah
lengkap, puasa, dan terapi pre operatif.

Step 1.
a. Idenifikasi kata sukar:
Terapi preoperatif : penatalaksanaan yang dilakukan oleh saat sebelum
melakukan tindakan operasi.
b. Identifikasi kata kunci :
a) Anak 17 th
b) Demam tinggi
c) Nyeri perut semua regio
d) 4 hari sebelum masuk RS nyeri ulu hati
e) Nyeri perut kanan bawah
f) Tidak dalam terapi obat apapun
g) Dirujuk ke spesialis bedah
h) Pemeriksaan darah lengkap
i) Puasa
j) Terapi pre operatif

Step 2 (Identifikasi Masalah)


1. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada kasus?
2. Apa yang menjadi DD dari kasus ini?
3. Apa diagnosis kerjanya?
4. Faktor apa yang membuat keluhan pada anak?
5. Bagaimana hubungan nyeri ulu hati 4 hr sebelum MRS dengan nyeri perut
kanan bawah? ‘

2
6. Bagaimana penatalaksanaan yang diberikan pada pasien?
7. Bagaimana mekanisme gejala nyeri pada perut?
8. Apa saja tindakan pre operatif yang diberikan untuk pasien ini/
9. Apa tujuan pemeriksaan darah lengkap?
10. Kenapa pasien dirujuk ke dokter bedah?
11. Kenapa pasien tidak mau menggunakan obat apapun dan menolak untuk di
operasi?

Step 3 ( Klarifikasi Masalah)


1. Anamnesis : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal.
KU : nyeri sudah dirasakan sejak kapan, bagaimana intensitasnya? (hilang
timbul atau terus),
Keluhan lain : nyeri hebat pada lambung, apakah mengalami muntah,
konstipasi, nyeri nya terasa menjalar atau tidak? Dapatkah lokasi nyerinya
spesifik atau tidak??
Riwayat penyakit terdahulu : apakah pernah menalami sakit seperti begini?
Riwayat pengobatan : pernah kah mengonsumsi obat – obat pencahar?
Obat anti diare? Dan obat NSAID?
Riwayat kebiasaan : apakah seringmakan tepat waktu?? Sering
mengonsumsi junnk food? Sering mengonsumsi makanan berserat atau
tidak? BAB teratuur tidak?
Riwayat sosial, lingkungan (apakah waktu disekolah suka jajan
sembarangan?

Pemfis yang dilakukan ialah pemeriksaan abdomen dengan melakukan


Inspeksi (mimik wajah saat nyeri, perhatikan warna kulit abdomen,
perhatikan apakah ada asites tidak?)
Auskultasi untuk menddengan bunyi persitaltik usus pada regio abdomen.
Palpasi dilakukan untuk membuktikan nyeri tekan pada regio abdomen,
Perkusi untuk membedakan adanya asites atau tidak.

3
2. Yang mnejadi DD dari kasus ini ialah, adanya gastritis, diare, kholestitis,
perforasi usus, apendisitis,
3. Diagnosis kerjanya ialah Sepsis peritonitis et causa appendisitis
4. Akibat infeksi (bagian peritoneum, titik mc burney) infeksi yang telah
kronis akan menyebabkan perforasi. Infeksi hanya pada apendix aja
menjurus paa nyeri perut kanan bawah.
Adanya obstruksi karena fekalit sehingga tekanan intra lumen meningkat,
lalu produksi mukkus meningkat, terjadi kondisi invasi bakteri.
Kurang makan makanan berserat, efeknya fekalit.
5. Akibat adanya obstruksi (Fekalit) pada appendix dan menyebabkan
peradangan memicu adanya persarafan pada appendix dan usus halus yang
sama, yakni persarafan viseral sehingga ketika terjadi nyeri menybabkan
terjadi penjalaran pada semua organ (regio) yang dilalui oleh saraf viseral.
6. Penatalaksanaan Non – farmakologi : dengan cara menghindari asupan
makanan yang pedas, berminyak, kurang berserat, batasi porsi makan,
melakukan teapi cairan karena pasien mengalami dehidrasi
Penatalaksanaan farmakologi, berikan antibiotik, NSAID,
Operasi pembedahan
7. Makanan yang kurang mengandung serat akan sulit diserap dan
perjalannya lambat diusus, hal ini bisa menimbulkan fekalit, terjadi
obstruksi pada appendix, sehingga rentan terhadap infeksi.
8. Tindakan pre operatif yang diberikan ialah, melakukan terapi cairan untuk
mencegah dehidrasi, persiapan psikologi saat mau op, berikan anastesi,
dianjurkan puasa.
9. Tujuan pemeriksaan darah lengkap untuk melihat status vital pasien dari
segi perdarahan. Yang dilihat jika adanya infeksi ialah dengan
meningkatnya kadar leukosit.
10. Seperti yang diketahui dalam SKDI telah ditentukan kompetensi dokter
umum , dan jika dilihat hal ini sudah ebrsifat kronis dan perlu ditindak
segra.
11. Akibat fator takut minum obat, ekonomi, psikologi pasien.

4
Step 4 Mind Mapping

Anak 17 th

IGD Dokter Spesialis Bedah

Anamnesis

Persiapan
Keluhan Utama

Demam tinggii
Pemeriksaan darah
Nyeri perut
lengkap
semua regio abd
Puasa

Terapi pre operatif


Riwayat penyakit dahulu

Nyeri ulu hati

Sakit perut kanan bawah

Riwayat pengobatan

Tidak ada

Riwayat operasi

Tidak mau dioperasi

Diagnosis Kerja

Sepsis peritoneus et causa appendisitis

5
Step 5 Learning Objectives
1. Patomekanisme Appendisitis akut sampai nyeri akut.
2. Penyebab dan resiko peritonitis et causa appendisitis
3. Perinsip penegakan diagnosis peritonisit et causa appendisitis
4. Penatalaksanaan Farmakologi, dan non farmakologi.
5. Komplikasi dari peritonitis

STEP 6 : BELAJAR MANDIRI

6
Step VII Pembahasan LO

1. Patomekanisme Appendisitis Akut Sampai Nyeri Akut.


Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24
-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan
abscess setelah 2-3 hari.1-3
Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis),
akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti
oleh proses peradangan. 1-3
Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-
40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks
juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis
berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari
reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis
juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki
peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi
appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari
200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan
dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendicitis. 1-3
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya
nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan
pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya
pada anak-anak. 1-3
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri

7
dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin
bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri.
Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis
lain. 1-3
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator
inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di
titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri
somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum
parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada
appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic
yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter
atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine. 1-3
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi
appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000,
dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa
perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak
adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih

8
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik. 1-3
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum
terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis. 1-3

2. Penyebab dan Resiko Peritonitis et Causa Appendisitis


Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum) Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi pascaoperasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. 1-3
Penyebab peritonitis dalam dibagi menurut klasifikasinya : 1-3
Peritonitis primer.
Keadaan peradangan pada lapisan pembungkus cavum abdomen, yang disebabkan
oleah kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum. Dan tidak
ditemukan fokus infeksi dalam ambdomen. Penyebab bersifat monomikrobial,
E.coly, Streptococcus, atau Pneumokokus. 1-3
Peritonitis Sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal
atau tractus urinarius. Dimana pada peritonitis sekunder diakibatkan oleh infeksi
bakteri oleh organ-organ tetangga, seperti perforasi appendix, perforasi organ-
organ dalam perut. Berkaitan dengan proses patologis pada organ viceral. 1-3
Peritonisis Tersier
Infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis
sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis
tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Ini
disebabkan karena infeksi recuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat. 1-3

9
Berikut ini merupakan penyabab lainnya terjadi Peritonitis 1-3 :
1. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh
beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi
chlamidia) 1-3
2. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut
(asites) dan mengalami infeksi 1-3
3. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.
Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama
pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga
dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus. 1-3
4. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan
peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan
di dalam perut. 1-3
5. Iritasi tanpa infeksi.
Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada
sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa
infeksi. 1-3

Faktor Risiko Peritonitis


1. Dialisis peritoneal
Peritonitis umumnya terjadi pada orang yang menjalani terapi dialisi
peritoneal. 1-3
2. Kondisi medis lainnya
Kondisi medis lain yang mempunyai risiko untuk terjadi peritonitis:
sirosis, usus bntu, Chron’s disease, stomach ulcers, diverticulitis dan
pancreatitis.2
3. Riwayat peritonitis

10
Orang yang pernah menderita peritonitis mempunyai risiko lebih tinggi
untuk terkena kembali daripada orang yang belum pernah terkena
peritonitis.2

3. Perinsip Penegakan Diagnosis Peritonisit et Causa Appendisitis


ANAMNESIS

Berdasarkan skenario yang telah dibahas mengenai Peritonitis Causa Perforasi


Apendisitis, pertama kali sebelum anamnesis, dokter memperkenalkan diri dan
melakukan Informed concent terhadap pasien dengan baik, serta menjaga
kerahasiaan keluhan yang dirasakan pasien sesuai yang tertera pada Kode Etik
Kedokteran. Setelah selesai, kemudian menanyakan indentitas pasien sebagai
berikut : 4-12

I. Identitas Pasien

Tabel 1. Identitas Pasien


Identitas Data Pasien
Nama :-
Umur : 17 Tahun
Jenis kelamin : L (Laki – laki)
Alamat :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Suku bangsa :-
Agama :-
Golongan Darah :-
Status Perkawinan :-
BB/TB /TD :-
(Sumber : Gleadle Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. p. 22)2,3

II. Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Setelah menanyakan dengan sistematis dan terstruktur kepada pasien, kemudian


langkah selanjutnya yaitu menanyakan Keluhan Utama yaitu keluhan yang
membawa pasien datang dan berobat dan menanyakan Riwayat Penyakit
Sekarang dengan menggunakan indikator waktu untuk mengetahui lebih detail
mengenai perjalanan penyakit pasien. Pada saat pasien bercerita tentang
keluhannya, dokter memperhatikan secara empati dan tidak memotong
pembicaraan pasien, biarkan pasien menceritakan keluhannya sementara dokter

11
berpikir mengenai diagnosa banding dan pendekatan diagnostik terkait keluhan
pasien. 4-12

Dalam skenario yang diberikan, pasien dengan usia 17 tahun memiliki keluhan
yaitu nyeri perut pada semua region abdomen.

“ Apa keluhan yang adik alami ?”


“ Sudah berapa lama sakit perutnya itu dirasakan?”
“ Dari skala 1 – 10, kira – kira nyerinya ada di skala berapa?”
“Nyeri ini terasa berat atau ringan pada saat adik melakukan aktifitas seperti
apa?
apakah hanya dengan duduk, nyeri menjadi ringan?”
“Maaf, nyeri yang adik rasakan ini sifatnya bagaimana? Apakah seperti ditekan,
rasa terbakar, ditindih benda berat atau rasa diperas dan dipelintir, nyeri
mendadak, nyeri terus menerus, nyeri perlahan atau hilang timbul?”
“lalu … bagaimana penyebarannya ? Apakah menetap, menjalar atau berpindah-
pindah?”
“Selain itu,… apakah ada keluhan lain ? Mungkin adik sering muntah atau
buang air-nya bagaimana?”

III. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Setelah selesai menanyakan keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang, maka
beralih pada riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui apakah ada hubungannya
dengan riwayat penyakit yang dialami pasien sekarang. Untuk itu dokter harus
pandai dalam menggali informasi lebih banyak dan menghubungkan secara logika
mengenai perjalanan penyakit yang pasien alami dalam waktu yang sesingkat
mungkin untuk mendapat data yang digunakan dalam mendiagnosa pasien
seakurat mungkin, karena tidak semua pasien dapat bercerita dan mengeluarkan
berbagai keluhannya dimasa lalu karena bergantung dari kondisi fisik pasien
sendiri. 4-12

“Adik sebelumnya sudah pernah mengalami nyeri yang sama?”


“ Maaf dek, apakah dahulu adik pernah memiliki riwayat usus buntu?”

12
IV. Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat kesehatan keluarga penting untuk ditanyakan kepada pasien karena


bertujuan untuk mengetahui latar belakang kesehatan keluarga pasien terkait
aspek psikososial, sosio ekonomi keluarga dan mengetahui apakah ada hubungan
herediter atau familial, kongenital, dan penyakit infeksi terkait keluhan yang
pasien alami saat ini. Sehingga, dengan mudah dapat mempercepat diagnosa apa
yang tepat terhadap keluhan tersebut. Akan tetapi untuk kasus peritonitis causa
perforasi apendisiti, tidak ada hubungannya dengan Genetik, maka untuk riwayat
keluarga tidak perlu ditanyakan. 4-12

V. Riwayat Kebiasaan Pasien dan Psikososial


Setelah menanyakan riwayat keluarga, selanjutnya menggali informasi melalui
kebiasaan (seperti pola makan, minum, merokok, olahraga, mengosumsi obat-
obatan) dan psikososial pasien (seperti latar belakang pendidikan, agama,
pekerjaan, suku bangsa dan perkawinan), kemungkinan penyakit yang bersifat
psikosomatis perlu digali, untuk mengetahui lebih dalam hubungan lingkungan
sekitar dengan keluhan pasien. 4-12
“Adik biasanya, pola makannya teratur atau tidak? Apakah Adik suka makan
makanan yang mengandung banyak serat dan protein seperti ikan salmon,
melinjo/emping, sayur katok ?”
“Apakah adik, sering mengkonsumsi obat – obatan ?”
“Apakah adik sering merokok? Atau suka mengkonsumsi alkohol ?”

Konsumsi alkohol dan obat - obatan dapat menjadi salah satu faktor terjadinya
peritonitis sekunder akibat kerusakan hepar, yang mengakibatkan tertumpuknya
cairan pada abdomen (Asites) sehingga membuat seseorang lebih mudah terkena

13
peritonitis. Selain itu, dokter juga harus melihat bagaimana tingkat kesadaran
pasien saat itu berdasarkan tingkatan kesadaran (kompos mentis, apatis, delirium,
somnolen atau letargis, stupor atau soporo koma dan koma) dengan menggunakan
penilaian GCS (Glasgow Coma Scale)4-12

VI. Riwayat Pengobatan 4-12


Riwayat pengobatan juga berpengaruh dengan keluhan yang dirasakan pasien,
selain itu dari riwayat penyakit juga dapat digali informasi masalah konsumsi obat
yang dilakukan oleh pasien maupun karena kesalahan dokter dalam memberikan
obat sehingga berdampak pada masalah atau keluhan yang saai ini pasien rasakan.
3,4,5

“ Apakah adik pernah mengalami alergi atau efek samping dalam mengonsumsi
obat-obatan?”

VII. Kesimpulan Hasil Anamnesis 4-12


Kesimpulan hasil anamnesis sangat penting dalam menentukan diagnosa keluhan
pasien karena abapila terjadi kesalahan dalam kesimpulan hasil anamnesis maka
akan berakibat fatal tidak hanya pada professional dokter tetapi juga
membahayakan nyawa pasien. Kesimpulan hasil anamnesis terdiri atas diagnosis
sementara dan anjuran atau penatalaksanaan. Diagnosis sementara
merupakan kesimpulan sementara atas hasil anamnesis yang dilakukan, masih
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik dan bila perlu dengan pemeriksaan
penunjang, Kemudian untuk langkah selanjutnya anjuran yang diberikan
berkenaan dengan diagnosis sementara atau keluhan yang disampaikan, selain itu
dokter tetap memberikan support pada pasien dan membina hubungan yang baik
terhadap pasien, maka pasien tidak canggung dalam memberi informasi terkait
keluhan yang dialami dengan demikian dapat mempermudahkan dokter untuk
mengetahui final diagnosanya. Dalam hal ini diagnosa sementara dari anamnesis
adalah Peritonitis. 4-12

PEMERIKSAAN FISIK

14
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mendiagnosis pasien Peritonitis adalah
dari inspeksi, perkusi, auskultasi dan palpasi. 4-12
Pada inspeksi:
- Tidak ditemukan gambaran spesifik
- Terlihat perut kembung, kecurigaan Asites.
Pada Palpasi :
- Pasien merasa nyeri ketika palpasi, disertai nyeri tekan lepas.
- Defans muscular, menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietale
Pada Perkusi :
- Terdapat nyeri ketok.
- Ketika terjadi peritonitis, maka suara pekak pada perkusi hati, tidak terdengar
karena kebocoran usus.
Pada Auskultasi
- Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
- Mendengarkan bising usus (Pada peritonitis bising usus tidak terdengar)

1. PEMERIKSAAN PENUNJANG 4-12


A. Pemeriksaan Laboratorium Darah dan Urin.
Pada pemeriksaan darah, kebanyakan pasien akan memiliki leukositosis (>
11.000 sel / L μ). Pasien yang memiliki sepsis berat, immunocompromised,
atau memiliki beberapa jenis infeksi (misalnya, jamur, cytomegaloviral)
mungkin tidak memiliki leukositosis atau leukopenia.. 4-12

Temuan kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis. Tes


fungsi hati juga dapat menjadi suatu indikasi. Peningkatan kadar amilase
dan lipase diperoleh jika diduga pankreatitis. Hasil kultur darah yang positif
ternfeksi bakteri dapat membantu dalam memberikan terapi antibiotik. 4-12
Tes urin digunakan untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih (misalnya,
pielonefritis, penyakit batu ginjal), akan tetapi pasien dengan infeksi perut

15
bagian bawah dan panggul sering menunjukkan leukosit dalam urin dan
microhematuria. 4-12

B. Analisa Cairan Peritoneal


Cara terbaik mengetahui SBP (Spontaneous Bacterial Peritonitis) adalah
dengan menghitung cairan asites. Neutrofil kadarnya lebih dari 500 sel / uL,
dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%.
Cairan peritoneal yang didapat harus dicek kadar glukosa, protein, laktat
dehidrogenase (LDH), jumlah sel, pewarnaan Gram, dan suasana aerobik
dan anaerobik. Jika dicurigai pankreatitis atau kebocoran pankreas, analisis
amylase harus dilakukan. Tingkat kadar Bilirubin dan kreatinin dapat
dianalisis juga, jika kebocoran empedu atau urin diduga sebagai etiologinya.
4-12

Cairan di peritonitis umumnya menunjukkan pH rendah dan kadar glukosa


rendah dengan tinggi protein dan kadar LDH. Secara umum, pH cairan
asites yang kurang dari 7,34 konsisten dengan diagnosis SBP; Namun, pH
asites kurang umum diukur karena tidak dapat diandalkan dan tidak
memiliki kekhususan untuk kondisi tersebut. 4-12

Diagnosis SBP ditegakan dengan mengacu pada kadar polymorphonuclear


neutrofil (PMN) count yang sekitar 250 sel / uL dan dengan hubungannya
dengan hasil kultur bakteri yang positif. Pada kebanyakan kasus, seperti
pasien harus menerima terapi antibiotik. Sebuah signifikansi peritonitis juga
didapati jika terdapat penurunan kadar glukosa cairan peritoneum (<50 mg /
dL), tingkat cairan LDH peritoneal yang jauh lebih besar dari LDH serum,
cairan peritoneal WBC yang lebih dari 10.000 sel / uL, pH lebih rendah
dari 7,0, tingkat amilase tinggi, serta beberapa organisme pada pewarnaan
Gram, atau pemulihan anaerob dari kultur bakteri yang dapat menimbulkan
kecurigaan terkena SBP. 4-12

16
C. Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi abdomen dapat membantu dalam evaluasi patologi di
kuadran kanan atas (misalnya, abses perihepatik, kolesistitis, biloma,
pankreatitis, pseudokista pankreas), kuadran kanan bawah, dan panggul
(misalnya, usus buntu, tubo-ovarium abses, Douglas kantong abses ).
Namun, pemeriksaan ini kadang - kadang terbatas karena ketidaknyamanan
pasien, distensi abdomen, dan gangguan gas usus. 4-12
Ultrasonografi dapat mendeteksi jumlah peningkatan cairan peritoneal
(ascites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah sangat terbatas,
yaitu kurang dari 100 ml. Pusat (perimesenteric) rongga peritoneum tidak
divisualisasikan dengan baik pada ultrasonografi transabdominal.
Pemeriksaan dari belakang dapat meningkatkan hasil diagnostik, dan
menyediakan ultrasonographer informasi spesifik tentang kondisi pasien.
Dengan ultrasonographer yang berpengalaman, akurasi diagnostik yang
lebih besar dari 85% telah dilaporkan dalam beberapa seri. 4-12

Keuntungan USG termasuk biaya rendah, portabilitas, dan ketersediaan.


Kerugiannya adalah bahwa tes tergantung pada operator, dan ada juga
visualisasi yang kurang baik dengan adanya gas usus dan dressing perut. 4-12

D. Pemeriksaan Computerized Tomography – scanner (CT-Scan)


Jika diagnosis peritonitis secara klinis positif, pemeriksaan CT scan tidak
diperlukan. Namun, CT scan diindikasikan pada semua kasus di mana
diagnosis yang tidak dapat ditegakkan atas dasar klinis dan temuan pada
foto polos abdomen. CT scan abdomen dan panggul tetap merupakan
diagnostik pilihan untuk abses peritoneal. 4-12

Bila memungkinkan, CT scan harus dilakukan dengan kontras enteral dan


intravena. CT scan dapat mendeteksi jumlah kecil dari cairan, daerah
peradangan, dan patologi saluran pencernaan lainnya, dengan sensitivitas
yang mendekati 100%. CT scan dapat digunakan untuk mengevaluasi

17
iskemia, serta untuk menentukan obstruksi usus. Abses dapat terlihat oleh
adanya densitas fluida yang tidak terikat oleh usus atau struktur lain yang
dikenali. Iskemia dapat ditunjukkan oleh bekuan di pembuluh besar atau
oleh adanya aliran darah. Adanya gas dalam dinding usus atau dalam vena
portal juga mungkin menyarankan iskemia. 4-12

4. Penatalaksanaan Farmakologi, dan Non Farmakologi.

Terapi pada peritonitis primer adalah dengan pemberian antibiotika bila diagnosa
telah ditegakkan. Sedangkan untuk peritonitis sekunder, terapi bergantung pada
penyakit dasarnya memerlukan tindakan bedah. 13,14

Langkah - langkah penatalaksanaan peritonitis : 13,14

1. Mengistirahatkan traktus gastrointestinal dengan puasa dan pemasangan


selang nasogastrik yang bertujuan untuk pengontrolan dekompresi
terhadap distensi usus akibat ileus paralitik. 13,14

2. Atasi syok dan koreksi cairan dan elektrolit.

Resusitasi hebat dengan larutan salin isotonik adalah penting.


Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Defisit
kalium bertanggung jawab terhadap inhibisi ileus setelah peritonitis
sembuh. Pengeluaran urin dan tekanan pengisian jantung harus
dipantau. 13,14

3. Antibiotika berspektrum luas diberikan secara empirik dan kemudian


diubah jenisnya setelah hasil pembiakan laboratorik keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika ini merupakan tambahan bagi drainase bedah,
walaupun drainase sendiri tidak mutlak harus dilakukan. Harus

18
tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan karena bakteremia akan
berkembang selama operasi. 13,14

4. Oksigen dan dukungan ventilasi. Sepsis yang sedang berlangsung


membawa ke hipoksemia yang disebabkan oleh pintas dan splinting
dinding dada. Penghantaran oksigen yang cukup adalah penting. 13,14

5. Obat - obat yang menstimulasi aktivitas usus tidak boleh diberikan. 13,14

6. Penyakit yang berhubungan dan akibat umum peritonitis harus


diobati13,14

7. Pembedahan13,14

a. Koreksi penyakit dasar.

Hal ini menjadi peraturan penatalaksanaan peritonitis yang fundamental.


Penyingkiran atau penutupan sumber kontaminasi peritoneal harus
dilakukan segera. Segala usaha harus dilakukan untuk membuang
semaksimal mungkin benda asing dan material - material infeksius.

b. Cairan peritoneal diaspirasi dan dibilas dengan larutan salin.


Pembilasan dengan antibiotika dan antiseptika masih diperdebatkan
sampai sekarang.

c. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan karena


pipa itu dengan segera ( dalam waktu hanya beberapa jam) menjadi
terisolasi atau terpisah dari ruangan yang dimaksudkan semula,
mempengaruhi pertahanan peritoneum dan dapat mengganggu organ
dalam. Indikasi drainase adalah :

a. Pengumpulan pus yang terlokalisir.


b. Suatu daerah dari jaringan mati yang tidak dapat dibuang.
c. Penutupan organ berongga yang tidak aman.

19
d. Kebocoran cairan tubuh seperti empedu, cairan pankreas, urin, cairan
usus, darah yang tidak dapat dihentikan dengan operasi.
e. Kontaminasi retroperitoneal dengan faeces, pus, dan darah.

8. Perawatan pasca bedah harus sangat seksama pada penderita yang


keadaannya gawat. Antibiotika harus diberikan dan bila perlu diganti.
Ahli bedah harus waspada terhadap pembentukan abses. Posisi
setengah duduk (semi - Fowler) dapat mengumpulkan pus yang terbentuk
pada rongga pelvik, tetapi kegunaan posisi ini tidak sebesar yang
dibayangkan. 13,14

    Penatalaksanaan Medis
penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut : 13,14

1. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari


penatalaksanaan medik.
2. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen
4. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki
fungsi ventilasi.
5. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga
diperlukan.
6. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
7. Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi
penginfeksi dan diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan drainase.
8. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.

Pengobatan
Antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan
infeksi nifas. Adanya antibiotika sangat merubah prognosa infeksi puerperalis dan
pengobatan dengan obat-obat lain merupakan usaha yang terpenting. Dalam

20
memilih satu antibiotik untuk mengobati infeksi, terutama infeksi yang berat
harus menyandarkan diri atas hasil test sensitivitas dari kuman penyebab. Tapi
sambil menunggu hasil test tersebut sebaiknya segera memberi dulu salah satu
antibiotik supaya tidak membuang waktu dalam keadaan yang begitu gawat. 13,14
Pada saat yang sekarang peniciline G atau peniciline setengah syntesis
(ampisilin) merupakan pilihan yang paling tepat karena peniciline bersifat
baktericide (bukan bakteriostatis) dan bersifat atoxis. Sebaiknya diberikan
peniciline G sebanyak 5 juta S tiap 4 jam jadi 20 juta S setiap hari. Dapat
diberikan sebagai iv atau infus pendek selama 5-10 menit. Dapat juga diberikan
ampiciilin 3-4 gr mula-mula iv atau im. Staphylococ yang peniciline resisten,
tahan terhadap penicilin karena mengeluarkan penicilinase ialah oxacilin,
dicloxacilin dan melbiciline. 13,14
Di samping pemberian antibiotic dalam pengobatannya masih diperlukan
tindakan khusus untuk mempercepat penyembuhan infeksi tersebut. Karena
peritonitis berpotensi mengancam kehidupan. Penderita disarankan mendapat
perawatan di rumah sakit. Secara jelas, penatalaksanaan pada peritonitis yaitu ; 13,14
 Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok
dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan
vena yang berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti
elektrolit dan kehilangan protein. Lakukan nasogastric suction melalui
hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus. 13,14
 Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam: 13,14
a) Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5
mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV
setiap 8 jam
b) Antibiotik harus diberikan dalam dosis yang tinggi untuk
menghilangkan gembung perut di beri Abot Miller tube.
 Pasien biasanya diberi sedative untuk menghilangkan rasa nyeri. Minuman
dan makanan per os baru di berikan setelah ada platus. 13,14
 Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan

21
dapat diupayakan. 13,14
 Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah
peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor
adalah insisi dan drainase terhadap abses. 13,14

Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan


(laparotomi eksplorasi). Pertimbangan dilakukan pembedahan : 13,14
a.     Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri
tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda
perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat
ditangani). 13,14
b.    Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus,
extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
13,14

c.     Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan


saluran cerna yang tidak teratasi. 13,14
d.    Pemeriksaan laboratorium. 13,14

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk : 13,14


1.      Mengeliminasi sumber infeksi.
2.      Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3.      Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Therapi (Instruksi Dokter) dan asuhan(dikerjakan bidan) yang diberikan


antara lain: 13,14
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama. Analgesik
diberikan untuk mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk
mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan
meningkatkan okesigenasi secara adekuat, tetapi kadang- kadang inkubasi jalan
napas dan bentuk ventilasi diperlukan.Tetapi medikamentosa non- operatif dengan

22
terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan
metabolik dan terapi modulasi respon peradangan. 13,14
Jika pasien harus dilakukan operasi maka, asuhan keperawatan/kebidanan
selama masa pra, intra, post operatif maka tindakan bidan atau perawat harus
memahami tahapan- tahapan yang dilakukan pada seorang pasien, tahapan
tersebut, mencakup tiga fase yaitu : 13,14
a)   Fase pra-operatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring
ke meja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat
mencakup penetapan pengkajian data dasar pasien yang datang di klinik,
rumah sakit atau di rumah, menjalani wawancara pra-operatif dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan
pengkajian pasien pra-operatif ditempat ruang operasi13,14
b)    Fase intra-operatif dari keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien
masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup
aktivitas keperawatan dapat meliputi : memasang infus (IV), memberikan
medikasi melalui intervena sesuai Instruksi Dokter, melakukan pemantauan
fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahandan menjaga
keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas
hanya pada menggemban tangan pasien selama induksi anastesia umum,
bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam
mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-
prinsip dasar kesejajaran tubuh13,14
c)    Fase pasca-operatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan
dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode
ini. Pada fase pasca-operatif langsung, fokus terhadap mengkaji efek dari
agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi.
Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting

23
untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan
pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan
berkaitan dan memungkinkan proses keperawatan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan. 13,14

5. Komplikasi Dari Peritonitis


Ileus Paralitik
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah kondisi dimana usus mengalami
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas peristaltik. Gerakan peristaltic
merupakan suatu aktivitas otot polos di usus yang saling terkoordinasi dengan
baik untuk menyalurkan bolus.1-3,16
Keadaan ini biasanya sering dijumpai pada pasien setelah mengalami bedah
abdomen dan biasa berlangsung selama 24-72 jam. Selain itu, ada beberapa
penyebab terjadinya ileus paralitik, salah satunya pada kondisi infeksi peritoneum
atau peritonitis. Ileus paralitik yang terjadi karena peritonitis ini dapat membuat
usus menjadi atoni dan meregang. 1-3,16

Ostruksi Usus
Obstruksi usus merupakan keadaan dimana aliran normal isi usus sepanjang
lumen usus mengalami gangguan. Pada sebagian besar kasus obstruksi yang
terjadi, biasanya mengenai usus halus. 1-3,16
Obstruksi usus terbagi atas 2 jenis, yaitu Non-mekanis dan mekanis. Pada keadaan
peritonitis yang berdampak pada ileus paralitik merupakan obstruksi usus secara
non-mekanis, dimana disebabkan oleh adanya sentuhan pada viscera abdomen dan
juga hambatan gerakan peristaltik. 1-3,16

Syok Septik
Syok septik merupakan subset dari kondisi sepsis berat yang dimana
didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap walau telah
mendapat resusitasi cairan, disertai juga dengan hipoperfusi jaringan. 1-3,16

24
Pada kasus seperti peritonitis setelah perforasi appendikal merupakan sepsis Gram
negatif yang dimana awalnya dalam keadaan normal tetapi terjadi infeksi yang
menyebar ke struktur yang berdekatan. 1-3,16

Hipovolemia
Hipovolemia atau dikenal juga sebagai kekurangan volume ECF adalah keadaan
dimana terjadi kehilangan cairan tubuh isotonic, yang juga disertai kehilangan
natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama. Keadaan hipovalemia terkadang
disalahartikan sebagai dehidrasi. 1-3,16
Hipovolemia terjadi karena cairan cenderung terkumpul di dalam ruang non-ECF
dan non-ICF yang disebut sebagai penempatan pada ruang ketiga, yaitu cairan
yang hilang berdistribusi pada ruang tertentu yang sulit untuk terjadi pertukaran
dengan ECF. Cairan yang hilag ini terperangkap pada ruang ketiga dan tidak
terpakai leh tubuh. Cairang yang hilang ini kebanyakan dari ECF sehngga dapat
mengurangi volume darah dari sirkulas yang efektif. 1-3,16
Pada keadaan peritonitis, cairan yang tertimbun di dalam rongga peritoneal
berkisar antara 4-6 L. 1-3,16

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et.all . Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Ed 4 , Jilid 3. Jakarta: Departement IPD FKUI; 2007.
2. Price, SA. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 6.
Jakarta: EGC; 2005
3. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed. 13. Jakarta: EGC; 2000
4. Gleadle Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Alih
bahasa: Rahmalia Annisa. Safitri Amalia. Editor. Jakarta: EMS (Erlangga
Medical Series), 2007. p. 22
5. Setiati S., Alwi I., Sudoyono AW., Simadibrata MK., Setiyohadi B., Syam
AF., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed VI. Jakarta:
Interna Publishing. 2014.

6. Prabandari YS. Dasar-dasar Komunikasi Kedokteran, Makalah Inhouse


Training Communication. Surakarta : FK UNS, 2007. p. 16-7.

26
7. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Anamnesis:
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. 4 thEd. Jakarta : Departemen IPD
FKUI, 2007.
8. Idrus Alwi. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. 4thEd. Sudoyo W Aru (dkk), editor. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. p. 1615-7.
9. Swartz MH. Seni Anamnesis: Buku Ajar Diagnostik Fisik. Alih bahasa:
Lukmanto P (et al.). Harjanto effendi. Editor. Jakarta: EGC, 2000. p. 3-9.
10. Jaley B J. Peritonitis and Abdominal Sepsis Workup [Internet]. [updated
2015 Feb 23; cited 2015 Apr 25]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/180234-workup#showall
11. Pietrangelo A. Peritonitis [Internet]. [updated 2012 Jul 18; cited 2015 Apr
26]. Available from:
http://www.healthline.com/health/peritonitis#Diagnosis4
12. Herrine S K. Spintaneous Bacterial Peritonitis [Internet]. [updated 2014
Jul 01; cited 2015 Apr 26]. Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/hepatic-and-biliary-
disorders/approach-to-the-patient-with-liver-disease/spontaneous-
bacterial-peritonitis-sbp
13. Tests and Diagnosis [Internet]. [updated 2015 Mar 31; cited 2015 Apr 23].
Available from: http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/peritonitis/basics/tests-diagnosis/con-20032165
14. Trunkey DD, Crass RA, Peritoneal Disorders, Mills J, HO MT, Salber PR,
Trunkey DD, eds, Lange Medical publications/Los Altos, California 1983:
129-130
15. Schwartz SI, peritonitis dan Abses intra abdomen, in Intisari Prinsip-
Prinsip Ilmu Bedah, Shires GTS, Spencer FC, Husser WC, Eds, EGC
Jakarta 2000: 489-493.
16. Setiati S., Alwi I., Sudoyono AW., Simadibrata MK., Setiyohadi B., Syam
AF., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed VI. Jakarta:
Interna Publishing. 2014.

27
28

Anda mungkin juga menyukai