PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.3.2 Patogenesa
. Anjing terkena virus melalui tetesan aerosol yang menghubungkan saluran
pernapasan bagian atas yaitu tractus epithelium. Virus berkembang biak pada makrofag dan
menyebar melalui limfatik menuju tonsil dan kelenjar getah bening dalam waktu 24 jam. Hari
ke 2-4 jaringan limfoid mengalami infeksi dan pada hari ke-6 limpa, mukosa gastrointestinal
dan sel Kupffer hati terinfeksi, pada saat ini ada reaksi sistemik terhadap infeksi yang ditandai
oleh pireksia dan limfopenia. Penyebaran hematogenesis bertujuan untuk melibatkan jaringan
epitel lainnya dan sistem saraf pusat (SSP). Virus telah terbukti melakukan perjalanan bebas
dalam sel plasma serta terkait dengan leukosit dan trombosit, setelah 2 minggu anjing
terinfeksi maka respon seluler dan humoral membersihkan infeks tersebuti, dan tidak ada
tanda-tanda klinis penyakit yang permanen. Imunitas menengah responsif memungkinkan
penyebaran virus lebih lanjut ke jaringan epitel. Virus terus berlanjut menyebar ke beberapa
jaringan (seperti jaringan saraf dan epitel, terutama bantalan kaki), menghasilkan tanda klinis
pada jaringan ini. Tanggapan kekebalan yang buruk pada titik ini memungkinkan penyebaran
virus secara sistemik menyebabkan tanda-tanda gastrointestinal dan pernapasan dengan
infeksi akut. Respon antibodi serum bervariasi berbanding terbalik dengan tingkat keparahan
penyakit (Leisewitz, 2001).
a. Saluran pernapasan. Pada paru-paru, agen infeksi yang masuk secara aerogen mula-
mula akan menginfeksi saluran pernafasan bagian atas, lalu berlanjut ke bagian
bronkus, bronkiulus kemudian meluas ke bagian alveoli paru-paru. Secara
mikroskopis, paru-paru dari hewan yang terinfeksi akan tampak mengalami
peradangan. Pneumonia interstitialis akan teramati pada paru-paru yang diikuti dengan
banyak infiltrasi sel-sel radang. Bila berlangsung kronis, reaksi peradangan akan
meluas sampai ke bagian alveoli. Apabila terjadi infeksi sekunder terutama terinfeksi
oleh bakteri pyogenes, peradangan dengan eksudat purulen dapat juga terjadi pada
organ ini (Kardena et al., 2011).
b. Sistem saraf. Beberapa strain CDV memiliki neurotropisme yang cukup besar.
Contohnya isolat tertentu seperti strain Snyder Hill diketahui dapat menyebabkan
polioencephalitis akut, sedangkan strain A75/17 dan R252 dapat menyebabkan
demielinasi leukoensefalitis. CDV dapat memasuki otak dengan cara yang berbeda
dan melalui beberapa rute infeksi rute utama dari neuroinvasion adalah melalui sel
mononuklear yang terinfeksi yang distribusikan melalui sawar darah otak (BBB) yang
dapat menghasilkan pelepasan virus lokal. Infeksi selanjutnya dari sel epitel dan sel
endotel dan terdapat bukti bahwa infeksi sel endotel SSP primer berkontribusi
terhadap neuroinvasion sebelum leukosit positif virus. Faktanya, sel yang terinfeksi
CDV pertama kali dideteksi pada sel plexus choroid dan pembuluh otak. Begitu
berada di dalam otak, virus menyebar melalui cairan serebrospinal (CSF), dimana ia
dapat menginfeksi sel-sel lapisan ependymal ventrikel dan akhirnya sel glial dan
neuron. Virus telah terbukti memasuki otak melalui neuron yang terletak di mukosa
penciuman, diikuti oleh invasi virus sepanjang filamen saraf olfaktori ke glomeruli
penciuman dan anterograde menyebar ke struktur CNS yang lebih dalam (Lempp et
al., 2014).
2.3.3 Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis yang dilaporkan karena infeksi CDV pada spesies satwa liar
sangat mirip dengan anjing peliharaan. Namun, keparahan dan hasil dari infeksi dapat sangat
bervariasi di antara spesies dan tergantung pada beberapa faktor, seperti virulensi, usia dan
status imun. Tanda-tanda awal infeksi CDV jarang diamati. Hewan yang memiliki respons
kekebalan yang kuat maka tidak ada penyakit klinis yang terjadi. Diperkirakan 50-70%
infeksi CDV pada anjing domestik dianggap subklinis. Respons imun yang lemah
menghasilkan tanda-tanda yang tidak spesifik seperti lesu, kehilangan nafsu makan, dan
demam, meskipun respon kekebalan yang kuat dapat memulihkan hewan yang terinfeksi.
CDV dapat bertahan untuk waktu yang lama di neuron, uvea, urothelium dan kulit
(menyebabkan hiperkeratosis paling dominan terlihat pada anjing domestik). Infeksi CDV
selama tahap perkembangan awal yaitu sebelum erupsi gigi permanen, juga dapat
menginfeksi tunas gigi dan ameloblas yang menyebabkan hipoplasia enamel. Dua bentuk
klinis CDV dapat dibedakan pada hewan dengan respon imun minimal atau tidak ada: bentuk
sistemik akut dan bentuk syaraf kronis. Penyakit sistemik akut terjadi 2-3 minggu setelah
infeksi. Virus ini terus bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh menyebabkan tanda-tanda
klinis yang parah, yang meliputi demam, keluarnya oculonasal mukopurulen, batuk,
dyspnoea, depresi, anoreksia, muntah dan diare (yang mungkin berdarah). Selama tahap
infeksi ini, virus ditemukan di setiap sekresi dan ekskresi tubuh. Tanda-tanda neurologis dapat
bersamaan atau mengikuti penyakit sistemik dalam 2-3 minggu. Tanda-tanda bersifat
progresif dan bervariasi tergantung pada area otak yang terpengaruh tetapi biasanya termasuk
perilaku abnormal, kejang, gerakan mengunyah permen karet pada mulut, kebutaan,
serebelum dan tanda-tanda vestibular, paresis atau kelumpuhan, inkoordinasi dan berputar-
putar. Infeksi pada sistem saraf pusat menyebabkan demielinisasi akut, dan sebagian besar
hewan mati 2-4 minggu setelah infeksi karena kekebalan tubuh tidak dapat melawan CDV.
Tanda-tanda klinis sering diperburuk oleh infeksi bakteri sekunder pada kulit dan saluran
pernapasan (Lootz et al., 2017).
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Arloji/Stopwatch
b. Penlight
c. Reflex Hammer
d. Stetoskop
e. Thermometer
3.1.2 Bahan
a. Baju Lab
b. Handskun
c. Puppies /Anak Kucing
d. Masker
3.2 Metode
a. Siapkan alat dan bahan
b. Letakkan anak anjing di atas meja
c. Lakukan handling agar anak kucing tidak terlalu banyak bergerak
d. Lakukan pemeriksaan fisik dengan metode inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi
menggunakan alat-alat yang telah disediakan
BAB IV
4.1 Hasil
4.2 Pembahasan
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Akhadi., Mukhlis. 2006. Analisis Unsur Kelumit Melalui Pancaran Sinar-X Karakteristik
Iptek Ilmiah Populer. Buletin Alara. Volume 8, Nomor 1, 11 – 19.
Arslan Tariq., Asim Shahzad., dan Sarwat Tahira. 2013. Clinical Aspects of Canine
Distemper in 1.5 Year Old Labrador retriever. J. vet. pract. 1 (2): 20 – 22..
Buonavoglia, Canio dan Vito Martella. 2007. Canine respiratory viruses. Veterinary
Research, No. 38, Hal. 355–373.
Doods, W. Jean. 2017. Canine Parainfluenza Virus and Vaccine Review. [online]
www.hemopet.org diakses pada 11 september 2018.
Ellis, John A., and G. Steven Krakowka. 2012. A review of canine parainfluenza virus
infection in dogs. JAVMA, Vol 240, No. 3
England, Gary and Angelika von Heimendahl. 2010. BSAVA Manual of Small Animal
Reproduction and Neonatology second edition. BSAVA : UK
Erawan I Gusti Made Krisna., I Nyoman Suartha.., Emy Sapta Budiari., Diana Mustikawati.,
dan I Wayan Batan. 2009. Analisis Faktor Risiko Penyakit Distemper pada Anjing di
Denpasar. Jurnal Veteriner. Vol. 10 No. 3 : 173-177
Fauziah, Dewi., Husni Mubarok dan Neng Ika Kurniati. 2018. Sistem Pakar Untuk
Mendiagnosa Penyakit Hewan Peliharaan Menggunakan Metode Certainty Factor.
Jurnal Teknik Informatika dan Sistem Informasi, Vol.4, No. 1.
Gerde, Elena., Guillermo Pérez., Gerardo Acosta-Jamett., and Barend Mark Bronsvoort. 2013.
Characteristics of a Canine Distemper Virus Outbreak in Dichato, Chile Following the
February 2010 Earthquake. Animals 2013:3 PP: 843-854.
Handoyo, Darmo dan Ari Rudiretna. 2000. Prinsip Umum Dan Pelaksanaan Polymerase
Chain Reaction (Pcr) [General Principles and Implementation of Polymerase Chain
Reaction. Unitas, Vol. 9, No. 1
Kardena I Made., IB Oka Winaya., dan I Ketut Berata. 2011. Gambaran Patologi Paru-Paru
Pada Anjing Lokal Bali Yang Terinfeksi Penyakit Distemper. Buletin Veteriner
Udayana. Vol.3, No.1, Hal: 17-24.
Kaur, Gurpreet., Mudit Chandra., P N Dwivedi Dan Deepti Narang. 2015. Current
Approaches In The Diagnosis Of Canine Parvovirus: An Overview. Journal Of
Microbiology, Immunology And Biotechnology. Volume 2, Page 01-04.
Kelman, Mark. 2015. Parvovirus Diagnosis and Treatment in Outbreaks and Epidemics.
Artikel.
Leisewitz A L., A Carter., M van Vuuren., dan L van Blerk. 2001. Canine distemper
infections, with special reference to South Africa, with a review of the literature.
Journal of the South African Veterinary Association. 72(3): 127–136 (En.)
Lempp, Charlotte., Ingo Spitzbarth, Christina Puff, Armend Cana, Kristel Kegler, Somporn
Techangamsuwan, Wolfgang Baumgärtner, and Frauke Seehusen. 2014. New Aspects
of the Pathogenesis of Canine Distemper Leukoencephalitis. Viruses 2014:6
PP:2571-2601.
Loftsdóttir, Ólöf. 2007. Presence of Canine Parainfluenza Virus (CPIV) in the Icelandic Dog
Population. Hovedopgave Fagdyrlægeuddannelsen vedr. hund og kat.
Loots Angelika K., Emily Mitchell., Desi e L., Dalton,1,3 Antoinette Kotze1,3 and Estelle H.
Venter. 2017. Advances in canine distemper virus pathogenesis research: a wildlife
perspective. Journal of General Virology ;98:311–321
Lopate, Cheryl. 2012. Management of Pregnant and Neonatal Dogs, Cats, and Exotic Pets.
Wiley-Blackwell : UK
MachLachlan, James N. and Edward J. Dubovi. 2017. Fenner’s Veterinary Virology 4th
Edition. Elsevier:USA
Mosallanejad, B., Avizeh, R., Seyfiabad Shapouri, M.R., Ramesh, B. 2009. Antigenic
detection of Canine Parainfluenza virus in urban dogs with respiratory disease in
Ahvaz area, southwestern Iran. Archives of Razi Institute, Vol. 64, No. 2, December
(2009) 115-120
Muliyadi, H.J Mukono, Haryanto Notopuro. 2015. Paparan Timbal Udara Terhadap Timbal
Darah, Hemoglobin,Cystatin C Serum Pekerja Pengecatan Mobil . ISSN 1858-1196
Universitas Negeri Semarang.
Peterson, Michael E., and Michelle Anne Kutzler. 2011. Small Animal Pediatrics : the First
12 Months of Life. Elsevier : China
Plumbs, Donald C. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 7th Edition. PharmaVet.Inc:
Wisconsin.
Sardjana IKW dan D Kusumawati. 2004. Pengobatan Infeksi Parvovirus Pada Anjing. Berk.
Penel. Hayati: 10 (81-83).
Sendow, Indrawati. 2003. Canine Parvovirus Pada Anjing. Balai Penelitian Veteriner.
Wartazoa Vol. 13 No. 2.