Gangguan hama dan penyakit pada tanaman merupakan salah satu kendala dalam
usaha pertanian. Keberadaan hama dan penyakit merupakan faktor yang pertumbuhan
tanaman dan pembentukan hasil. Serangannya pada tanaman mendadak dan dapat bersifat
eksplosif (meluas) sehingga dalam waktu yang relative dapat mematikan seluruh tanaman
dan menggagalkan panen. Pemberantasan hama dan penyakit secara total tidak mungkin
dapat perkembangannya yang sangat cepat dan sulit dikontrol. Namun dengan pengamatan
lapangan sejak awal penanaman sampai penen, serangan hama dan penyakit dapat Hama
adalah binatang yang dianggap dapat mengganggu atau merusak dan memakan bagian
tanaman yang disukainya. Misalnya :Serangga (insekta), binatang menyusui, dan lain-lain.
Penyakit yang menyerang tanaman bukan binatang, melainkan oleh makhluk mikrokospis,
misalnya bakteri, virus, cendawan lain-lain.
Pada pengendalian hama dan penyakit secra biologi, kimiawi, mekanis, dan
dilakukan secara terpadu, yaitu memadukan cara biologis, kimiawi, mekanis, seacar
berimbang. Pengendalian secara terpadu ini dikenal dengan nama Pengendalian Hama
Terpadu (PHT). Pengendalian Hama Terpadu sangat baik dilakukan karena dapat
memberikan baik pengendalian hama dan pathogen maupun terhadap lingkungan.
Pengendalian penyakit secara kimiawi memeang lebih efektif dibandingkan dengan
pengendalian mekanis, serta varietas tahan. Tetapi ternyata menimbulkan residu efek
terhadap pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia berdampak terhadap
unsur-unsur biologis, yaitu musnahnya organism lain yang misalnya hewan-hewan
predator, hewan-hewan yang dapat membantu penyerbukan. Konsep pengendalian hama
terpadu lebih efektif dan efisien, serta memberikan yang sekecil mungkin terhadap
lingkungan hidup. Keuntungan lain dari pengendalian hama terpadu adalah menghemat
biaya.
Semenjak manusia mengenal bercocok tanam, maka usaha untuk memperoleh hasil
maksimal telah dilakukan. Berbagai cara dilakukan, namun hasilnya selalu belum
memuaskan. Mereka beranggapan bahwa kurangnya hasil yang diperoleh diakibatkan
faktor mitos atau kepercayaan, seperti marahnya sang dewa, atau timbulnya penyakit
akibat setan dan sebagainya. Bahkan sampai saat ini kepercayaan seperti itu masih ada di
masyarakat pedesaan (pedalaman). Setelah dilakukan pengamatan yang mendalam, maka
diketahui penyebab berkurangnya hasil usaha tani karena faktor abiotis dan biotis. Faktor
abiotis itu berupa gangguan yang disebabkan oleh faktor fisik atau kimia, seperti keadaan
tanah, iklim dan bencana alam. Sedangkan faktor biotis adalah makhluk hidup yang
menimbulkan kerusakan pada tanaman, seperti manusia, hewan/binatang, serangga, jasad
mikro ataupun submikro dan lain sebagainya.
Setelah diketahui kedua faktor tersebut sebagai pembatas, maka usaha untuk
meningkatkan dan mengurangi kehilangan hasil mulai dilaksanakan. Setelah perang dunia
kedua, yakni pada tahun lima puluhan, terjadi penggunaan pestisida dan pupuk kimia yaitu
pemakaian bubur bordeux dan DDT yang berlebihan. Memang pada kenyataan terjadi
peningkatan hasil (Horsfall, 1977; Zadoks dan Richard, 1979). Sehingga pemakaian bahan
ini menjadi hal yang penting dalam dunia pertanian. Tetapi setelah diketahui efek
negatifnya, maka penggunaan DDT dilarang. Pada tahun enam puluhan terjadi revolusi
hijau (”Green revolution”) yang lebih intensif dalam penggunaan varietas berpotensi hasil
tinggi, anakan yang banyak, pengaturan tata air, perlindungan tanaman dan pemupukan
(Horsfall, 1977). Pada awalnya, usaha ini dapat memberikan hasil pertanian yang
memuaskan, namun beberapa tahun berikutnya terlihat gejala-gejala negatif mempengaruhi
pertanian itu sendiri, lingkungan dan kesehatan. Efek negatif tersebut berupa timbulnya
hama dan patogen yang tahan terhadap pestisida, munculnya hama baru, terjadinya
peningkatan populasi hama dan patogen sekunder, berkurangnya populasi serangga yang
bermanfaat, keracunan terhadap ternak dan manusia, residu bahan kimia dalam tanah dan
tanaman, dan kerusakan tanaman (Zadoks dan Richard, 1979).
Memperhatikan berbagai efek negatif yang terjadi dari penggunaan bahan kimia
tersebut, maka mulai diadakan penelitian-penelitian yang mengarah kepada penggunaan
jasad hidup untuk penanggulangan kerusakan di dunia pertanian, yang dikenal dengan
pengendalian biologi (”Biologic control”). Dalam metode ini dimanfaatkan serangga dan
mikro organisme yang bersifat predator, parasitoid, dan peracun (Zadoks dan Richard,
1979). Usaha untuk meningkatkan hasil pertanian terus berlanjut dengan memperhatikan
aspek keamanan lingkungan, kesehatan manusia dan ekonomi, maka muncul istilah
”integrated pest control”, integrated pest control dan selanjutnya menjadi integrated pest
management (IPM), yang dikenal dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
2. Eradikasi (Pembersihan)
Dalam undang-undang nomor 12 pasal 21 tertulis bahwa PHT meliputi tindakan eradikasi.
Pemerintah dapat memerintahkan atu melakukan eradikasi jika terdapat pertanaman
dengan OPT yang berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara luas.
Seterusnya hal ini diatur dalam pasal 25, 26, dan 17. Kepada pemilik tanaman dapat diberi
ganti rugi yang menyangkut tanamannya yang tidak sakit yang terpaksa harus dibongkar.
Penyakit-penyakit yang baru saja masuk ke suatu daerah sedapat mungkin dihilangkan
sebelum meluas. Usaha pembersihan (Eradikasi) ini perlu dilakukan oleh semua
penananam, sebab kalu tidak dilakukan eradikasi usaha akan sia-sia. Oleh Karena itu
tindakan harus didasarkan atas peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tanpa
peraturan yang tegas, para penanam yang tanamannya belum menunjukkan gejala,
meskipun kemungkinan besar telah terjangkit, akan segera membongkar tanamannya.
Contoh eradikasi yang berhasil dilakukan yaitu pada penyakit kanker jeruk(Xanthomonas
campestris pv. citri) di Florida, Amerika Serikat. Sedangkan contoh eradikasi yang tidak
berhasil yaitu pada penyakit hawar kastanye (Endothia parasitica) di Amerika Serikat.
Eradikasi hanya akan berhasil bila dilakukan terhadap penyakit yang meluas dengan
lambat. Usaha ini tidak dapat diharapkan hasilnya bila diterapkan untuk penyakit yang
menyebar lewat udara dengan cepat.
Dalam undang-undang nomor 12 tahun 1992 tentang System Budidaya Tanaman
ditegaskan bahwa pemerintah dapat melakukan atau memerintahkan dilakukannya
eradikais apabila terdapat organisme pengganggu tumbuhan yang dianggap sangat
berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara luas. Kepada pemilik tanaman
yang tidak terser ang, tetapi harus dimusnahkan dalam rangka eradikasi, dapat diberikan
ganti rugi.
D. Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Terpadu
Pengendalian terpadu merupakan sebuah system pengendalian hama dan penyakit
yang mengunakan gabungan pengendalian fisik, pengendalian mekanik, pengendalian
secara bercocok tanam, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi dan pengendalian
hama lainnya. Pengendalian secara fisik yaitu pengendalian hama dan penyakit secara
langsung. Cara ini tergolong masih tradisyonal dalam memberantas hama dan penyakit.
Conoh pengendalian secara fisik ini seperti pengryopokan untuk memberantas hama tikus.
Pengendalian secara mekanik merupakan pengendalian yang digunakan dengan
mengunakan perangkap, sehingga hama yang menyerang dapat ditangulangi. Contohnya
dengan mengunakan kertas perekat untuk hama pasca panen seperti lalat. Pengendalian
secara bercocok tanam merupakan pengendalian yang mengunakan varietas (vegetasi)
yang ditanam resisten terhadap hama, atau dalam artian lain mengunakan bibit ungul.
Pengendalian dengan bercocok tanam juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan
pergantian tanaman. Sehingga siklus hidup dari hama dapat terputus dan terganti dengan
yang lainya. Pengendalian dengan kimiawi, pengendalian dengan cara ini merupakan
pengendalian yang terakhir dipilih dalam system pengendalian hama terpadu. Karena
dengan system ini tentunya akan menyebabkan efek atau pen pencemaran lingkungan
akibat zat- zat kimia yang tidak dapat diurai oleh alam.
DAFTAR PUSTAKA
Horsfall, J. G. And Ellis, B. C. 1977. Plant disease an advanced treatise. How disease is
managed. Vol I. Academic Press New York, San Francisco, London.
Zadoks dan Richard. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford