Anda di halaman 1dari 8

PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

Gangguan hama dan penyakit pada tanaman merupakan salah satu kendala dalam
usaha pertanian. Keberadaan hama dan penyakit merupakan faktor yang pertumbuhan
tanaman dan pembentukan hasil. Serangannya pada tanaman mendadak dan dapat bersifat
eksplosif (meluas) sehingga dalam waktu yang relative dapat mematikan seluruh tanaman
dan menggagalkan panen. Pemberantasan hama dan penyakit secara total tidak mungkin
dapat perkembangannya yang sangat cepat dan sulit dikontrol. Namun dengan pengamatan
lapangan sejak awal penanaman sampai penen, serangan hama dan penyakit dapat Hama
adalah binatang yang dianggap dapat mengganggu atau merusak dan memakan bagian
tanaman yang disukainya. Misalnya :Serangga (insekta), binatang menyusui, dan lain-lain.
Penyakit yang menyerang tanaman bukan binatang, melainkan oleh makhluk mikrokospis,
misalnya bakteri, virus, cendawan lain-lain.
Pada pengendalian hama dan penyakit secra biologi, kimiawi, mekanis, dan
dilakukan secara terpadu, yaitu memadukan cara biologis, kimiawi, mekanis, seacar
berimbang. Pengendalian secara terpadu ini dikenal dengan nama Pengendalian Hama
Terpadu (PHT). Pengendalian Hama Terpadu sangat baik dilakukan karena dapat
memberikan baik pengendalian hama dan pathogen maupun terhadap lingkungan.
Pengendalian penyakit secara kimiawi memeang lebih efektif dibandingkan dengan
pengendalian mekanis, serta varietas tahan. Tetapi ternyata menimbulkan residu efek
terhadap pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia berdampak terhadap
unsur-unsur biologis, yaitu musnahnya organism lain yang misalnya hewan-hewan
predator, hewan-hewan yang dapat membantu penyerbukan. Konsep pengendalian hama
terpadu lebih efektif dan efisien, serta memberikan yang sekecil mungkin terhadap
lingkungan hidup. Keuntungan lain dari pengendalian hama terpadu adalah menghemat
biaya.
Semenjak manusia mengenal bercocok tanam, maka usaha untuk memperoleh hasil
maksimal telah dilakukan. Berbagai cara dilakukan, namun hasilnya selalu belum
memuaskan. Mereka beranggapan bahwa kurangnya hasil yang diperoleh diakibatkan
faktor mitos atau kepercayaan, seperti marahnya sang dewa, atau timbulnya penyakit
akibat setan dan sebagainya. Bahkan sampai saat ini kepercayaan seperti itu masih ada di
masyarakat pedesaan (pedalaman). Setelah dilakukan pengamatan yang mendalam, maka
diketahui penyebab berkurangnya hasil usaha tani karena faktor abiotis dan biotis. Faktor
abiotis itu berupa gangguan yang disebabkan oleh faktor fisik atau kimia, seperti keadaan
tanah, iklim dan bencana alam. Sedangkan faktor biotis adalah makhluk hidup yang
menimbulkan kerusakan pada tanaman, seperti manusia, hewan/binatang, serangga, jasad
mikro ataupun submikro dan lain sebagainya.
Setelah diketahui kedua faktor tersebut sebagai pembatas, maka usaha untuk
meningkatkan dan mengurangi kehilangan hasil mulai dilaksanakan. Setelah perang dunia
kedua, yakni pada tahun lima puluhan, terjadi penggunaan pestisida dan pupuk kimia yaitu
pemakaian bubur bordeux dan DDT yang berlebihan. Memang pada kenyataan terjadi
peningkatan hasil (Horsfall, 1977; Zadoks dan Richard, 1979). Sehingga pemakaian bahan
ini menjadi hal yang penting dalam dunia pertanian. Tetapi setelah diketahui efek
negatifnya, maka penggunaan DDT dilarang. Pada tahun enam puluhan terjadi revolusi
hijau (”Green revolution”) yang lebih intensif dalam penggunaan varietas berpotensi hasil
tinggi, anakan yang banyak, pengaturan tata air, perlindungan tanaman dan pemupukan
(Horsfall, 1977). Pada awalnya, usaha ini dapat memberikan hasil pertanian yang
memuaskan, namun beberapa tahun berikutnya terlihat gejala-gejala negatif mempengaruhi
pertanian itu sendiri, lingkungan dan kesehatan. Efek negatif tersebut berupa timbulnya
hama dan patogen yang tahan terhadap pestisida, munculnya hama baru, terjadinya
peningkatan populasi hama dan patogen sekunder, berkurangnya populasi serangga yang
bermanfaat, keracunan terhadap ternak dan manusia, residu bahan kimia dalam tanah dan
tanaman, dan kerusakan tanaman (Zadoks dan Richard, 1979).
Memperhatikan berbagai efek negatif yang terjadi dari penggunaan bahan kimia
tersebut, maka mulai diadakan penelitian-penelitian yang mengarah kepada penggunaan
jasad hidup untuk penanggulangan kerusakan di dunia pertanian, yang dikenal dengan
pengendalian biologi (”Biologic control”). Dalam metode ini dimanfaatkan serangga dan
mikro organisme yang bersifat predator, parasitoid, dan peracun (Zadoks dan Richard,
1979). Usaha untuk meningkatkan hasil pertanian terus berlanjut dengan memperhatikan
aspek keamanan lingkungan, kesehatan manusia dan ekonomi, maka muncul istilah
”integrated pest control”, integrated pest control dan selanjutnya menjadi integrated pest
management (IPM), yang dikenal dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

ASPEK DAN PRINSIP PENGENDALIAN PENYAKIT


Pengendalian penyakit tanaman adalah salah satu aspek dari banyak hal yang perlu
diperhatikan dalam mengusahakan sesuatu tanaman. Oleh karena itu, kita perlu
memecahkan usaha pengendalian penyakitnya, dalam suatu program penanaman tanaman
yang kta usahakan, agar dapat memberikan hasil yang setinggi-tingginya, baik kuantitas
maupun kualitas dari hasil tersebut. Bahkan kalau mungkin di dalam satu tindakan tersebut
secara operasionalnya dapat sekaligus dilakukan pengendalian terhadap beberapa penyakit,
hama dan gangguan lainnya. Pengendalian penyakit tanaman pada prinsipnya digolongkan
menjadi :
1) Eksklusi yaitu usaha mencegah masuknya penyakit ke daerah baru.
2) Eradikasi yaitu menurunkan, menginaktifkan atau membasmi pathogen.
3) Proteksi yaitu usaha memberi perlindungan pada tanaman atau menghalangi
terjadinya kontak antara inang dengan pathogen.
4) Resistensi yaitu usaha untuk mengurangi perusakan penyakit melalui inang dengan
membuat ketahanan pada inang tersebut.
PRINSIP STRATEGI Teknik/Taktik

1. Ekslusi (mencegah) Prohibisi (larangan) Karantina


Intersepsi (menghalangi) Karantina
Uji kesehatan tanaman
Eliminasi (menghapus) Sertifikasi
Disinfeksi
2. Eradikasi Removal (pemindahan / Pemeriksaan perkebunan/kebun
(membasmi) penghapusan) buah
Eliminasi (menghapus) Membinasakan inang alternative
Pemeliharaan organisme
antagonis
Meniadakan makanan pokok
Destruksi Kimia
(membinasakan) Api
Pengerjaan tanah
3. Proteksi Mencegah infeksi Penggunaan fungisida
(perlindungan)
Menghindarkan infeksi Modifikasi lingkungan
Modifikasi cara bercocok tanam
4. Resistensi Mengembangkan Seleksi
(ketahanan) tanaman tahan Hibridikasi
Irradiasi
Proteksi silang Mengurangi virulensi
TEKNIK/CARA PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN
A. Pengendalian Penyakit Secara BIologis
Dewasa ini terdapat cukup banyak penelitian di luar indonesia mengenai
pengendalian biologis, bahkan ada yang hasilnya sudah diaplikasikan dalam sekala besar.
Pada banyak contoh mekanisme pengendalian ini belum diketahui dengan pasti, bahkan
mungkin suatu usaha pengendalian biologis dapat bermanfaat melalui beberapa
mekanisme.
1. Antagonisme
Asaz pengendalian biologis sudah dipakai sejak tahun 1970-an terhadap jamur akar
putih (R. microporus) pada karet. Jamur-jamur sporofit diberi lingkungan yang baik untuk
berkembang agar melapukkan sisa-sisa akar yang menjadi tempat bertahannya jamur akar
putih. Ini dilakukan dengan peracunan tunggul atau peracunan pohon dan dengan
penanaman penutup tanah kacangan. Usaha ini ditinggalkan lagi pada tahun 1980-an
dengan pemberian belerang untuk membantu berkembangnya Trichoderma spp. dalam
tanah yang mempunyai daya antagonistik terhadap jamur akar putih. Seterusnya untuk
menjadi adanya antagonistik yang efektif dalam tanah, sejak beberapa tahun yang lalu
tersedia campuran ‘triko’ yang mengandung T. koningii untuk menginokulasi tanah.
Dewasa ini di banyak Negara diketahui bahwa Trichoderma spp dan Gliocladium
spp dapat dipakai untuk mengendalikan macam-macam penyakit jamur lewat tanah.
Pengendalian biologis juga dapat dilakukan dengan pathogen yang tidak virulen dari jenis
yang sama sebagai pesaing (kompetitor). Dijepang penyakit layu fusarium pada ubi jalar
dan pada strowbery (Fusarium oxysporum) dikendalikan dengan jamur F.
oxysporum nonpatogenik. Busuk akar pada gula bit karena R. solani dikendalikan dengan
jamur R. solani nonpatogenik dan yang berinti dua (binucleate).
2. Plant Growt-Promoting Rhizobacteria
Telah dikenal pula adanya jasad renik dalam rizosfer yang dapat digunakan untuk
pengendalian biologis, meskipun jasad ini tidak berpengaruh langsung pada pathogen
lewat tanah. Di Amerika Serikat jasad ini disebut sebagai Plant growt-promoting
rhizobacteria (PGPR) yang mempunyai aktivitas pengendalian biologis
terhadap Phythium, meskipun in vitro jasad tidak mempunyai daya antibiosis
terhadap Phythium.
3. Pengimbasan ketahanan
Tanaman tembakau yang terinfeksi blue mold (Peronospora tabacina) pada waktu masih
kecil (yang dapat berkembang terus melewati penyakit ini) ternyata menjadi tahan terhadap
penyakit tersebut. Bahkan sekarang sudah diketahui bahwa banyak organisme-filoplan
yang dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap satu atau beberapa penyakit
tertentu, tidak melalui proses antagonism (kompetisi, predasi, dan pembentukan
antibiotika). Tanaman kopi arabika yang disemprot dengan suspensi bakteri (Bacillus
thuringiensis, Xanthomonas campestris pv. manihotis) menjadi tahan terhadap penyakit
karat daun (Hemileia vastatrix) secara sistemik selama 5 minggu, sedang disemprot dengan
khamir (Saccharomyces cerevisiae) ketahanannya tidak sistemik berlangsung selama 4
minggu. Tanaman yang menjadi tahan secara sistemik jika disemprot dengan
uredospora H. vastatrix yang sudah di autoklaf, atau dengan makromolekul yang melalui
filter dari air cucian uredospora.
Dewasa ini masalah pengimbasan ketahanan, yang sering juga disebut sebagai
immunitas merupakan bidang penelitian yang terbuka lebar. Ketahanan dapat terjadi
karena inokulasi dengan pathogen, bukan pathogen, metabolit mikroba, dan sisa-sisa
tumbuhan, termasuk ekstrak pupuk kandang. Satu pengimbas dapat membuat tanaman
menjadi tahan terhadap macam-macam pathogen. Pada ketimun, inokulasi daun pertama
dengan organisme pembuat nekrosis dapat melindungi tanaman terhadap 13 patogen, yang
meliputi jamur, bakteri, dan virus, bahkan serangga. Pada umumnya proteksi bertahan
selama 4-6 minggu. Ketahanan dapat diperoleh dengan perawatan dengan oksalat-oksalat,
dikalium/ natrium fosfat, dan trikalium/natrium fosfat.
Memang, untuk filoplan diharapkan bahwa mikrobia yang dapat mengimbas ketahanan
akan mempunyai arti yang lebih penting daripada yang bersifat antagonistik terhadap
pathogen melalui amtibiosis atau persaingan nutrient. Sehubungan dengan hal itu
pemakaian fungisida yang berspektrum luas harus dihadapi.
4. Proteksi Silang
Pada penyakit virus pengendalian biologis dilakukan dengan proteksi silang (cross-
protection) atau preimunisasi. Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah
hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat.
Strain yang dilemahkan (attenuated) dapat dibuat dengan pemanasan in vitro (misalnya
pada Virus Mosaik Tembakau, virus mosaik ketimun, dan virus mosaik semangka),
pendinginan in vivo (Virus Mosaik Kedelai), dan dengan asam nitrit (Virus bercak-cincin
papaya). Proteksi silang ini sudah banyak dilakukan dibanyak Negara, antara lain di
Taiwan dan Jepang.
5. Tanaman Campuran
Dijepang diketahui bahwa labu air ( Lagenaria siceraria) yang ditanam bersama-sama
dengan bawang daun ( Allium fistulosum) kurang mendapat gangguan penyakit layu
fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. lagenaria). Diduga disebabkan oleh berkembangnya
bakteri Pseudomonas gladioli pada akar bawang daun. Bawang daun juga telah dicoba
untuk mengendalikan penyakit layu fusarium pada tomat dan strowbery.
B. Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi merupakan pengendalian dengan menggunakan zat kimia.
Pengendalian ini biasa dilakukan dengan penyemprotan zat kimia pada bagian tumbuhan.
Pengendalian ini sering dilakukan oleh petani. Oleh karena itu pengendalaian secara
kimiawi sering dimasukkan ke dalam langkah pemberantasan penyakit.
Penggunaan pestisida kimia untuk pengendalian penyakit sangat jelas tingkat
keberhasilannya. Penggunaan pestisida kimia merupakan usaha pengendalian yang kurang
bijaksana, jika tidak dikuti dengan tepat penggunaan, tepat dosis, tepat waktu, tepat
sasaran, tepat jenis dan tepat konsentrasi. Keadaan ini yang sering dinyatakan sebagai
penyebabkan peledakan populasi suatu hama . Karena itu penggunaan pestisida kimia
dalam pengendalian penyakit perlu dipertimbangkan, dengan memperhatikan tingkat
serangan, ambang ekonomi, pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dan
hewan.
Penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian penyakit tanaman saat ini banyak
menimbulkan dampak negatif. Masalah pencemaran lingkungan merupakan akibat yang
jelas terlihat, selain itu penggunaan pestisida secara terus menerus juga dapat
menyebabkan resistensi dan bahkan meninggalkan residu pestisida pada produk hasil
pertanian yang bisa berbahaya apabila dikonsumsi manusia. Oleh karena itu diperlukan
upaya pengendalian penyakit secara ramah lingkungan, seperti penggunan pestisida nabati
atau biopestisida.
Diantara pestisida, diindonesia fungisida paling sedikit dipakai. Dewasa ini dikenal dengan
fungisida protektan dan fungisida sistemik. Fungisida protektan mencegah terjadinya
infeksi, dan mode of action-nya terjadi diluar badan tanaman. Fungisida sistemik terserap
masuk kebadan tanaman, dapat terangkut merata, dan membunuh patogen yang sudah
masuk ke dalam badan tanaman.
Karena jamur merupakan patogen yang paling penting, pestisida yang paling banyak
dipakai dalam pengendalian penyakit tumbuhan adalah fungisida atau “racun jamur” untuk
mengendalikan bakteri dipakai bakterisida, dan untuk nematode dipakai nematisida.
Fungisida berasal dari kata fungus = jamur, dan caedo = membunuh. Kebanyakan
fungisida yang dipakai dewasa ini bersifat sebagai protektan, yaitu untuk melindungi
tumbuhan agar patogen mati sebelum mengadakan infeksi. Fungisida dapat bersifat
fungisidal, fungistatik, atau genestatik. Fungisidal berarti bahwa fungisida dapat
membunuh jamur. Fungisida yang bersifat fungistatik tidak membunuh jamur, tetapi
menghambat pertumbuhannya. Sedangkan genestatik berarti mencegah sporulasi.
Fungisida yang bersifat genestatik disebut juga eradikan.
Fungisida yang baik mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Meracun patogen sasaran
2. Tidak meracuni tumbuhan
3. Tidak meracuni manusia, ternak, ikan, dan sebangsanya
4. Tidak meracuni tanah dan lingkungan, termasuk jasad renik
5. Murah dan mudah didapat
6. Tidak mudah terbakar
7. Dapat disimpan lama tanpa menurun mutunya
8. Tidak merusak alat-alat
9. Mudah disiapkan dan dipakai
10. Dapat merata dan melekat kuat pada permukaan badan tanaman
11. Aktif dalam waktu yang tidak terlalu lama, agar tidak banyak meninggalkan residu
pada hasil pertanian dan kurang mencemari lingkungan
12. Kalau dapat, selain membunuh jamur juga dapat membunuh serangga, tungau dan
sebangsanya yang merugikan
Untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam, khususnya
kekayaan alam hayati, dan agar pestisida (termasuk fungisida) dapat digunakan secara
efektif, peredaran, penyimpanan, dan penyimpanan pestisida diwilayah indonesia diatur
dengan peraturan pemerintah No. 7 tahun 1973. Pelaksanaan peraturan tersebut ditetapkan
lebih lanjut dengan keputusan mentri pertanian No. 280/1973 dan No. 994/1984 tentang
prosedur pendaftaran dan izin pestisida, dan No. 429/1973 tentang syarat-syarat
pembungkusan dan pemberian label pestisida.
Dibandingkan dengan insektisida dan herbisida, pada umumnya fungisida mempunyai
daya meracun yang rendah terhadap mamalia (termasuk manusia). Untuk menilai daya
meracun ini lazimnya dipakai LD50 atau lethal 50% yaitu dosis yang menyebabkan matinya
50% dari hewan percobaan. Makin rendah nilai LD50nya, makin tinggi daya meracun suatu
pestisida terhadap mamalia.
Formulasi adalah proses pembuatan fungisida dari bahan aktif tetap stabil dan tahan
disimpan, diangkut, dan dapat dijual dengan harga murah sehingga dapat dipakai untuk
tanaman secara ekonomis. Fungisida yang tersedia didalam perdagangan terdiri atas bahan
atau ramuan aktif dan bahan lain sebagai campuran. Kandungan bahan aktif biasanya
dinyatakan dengan angka dibelakang nama dagang yaitu nama fungisida yang didaftarkan
oleh pemegang izin. Nama bahan aktif dinyatakan sebagai nama umum yang ditulis
dengan singkatan. Fungisida yang dijual sebagai tepung tetapi disediakan untuk
penyemprotan dijual dengan kode WP = Wettable powder. Fungisida yang dijual sebagai
emulsi dan disediakan untuk penyemprotan dijual dengan kode EC = emulsifiable
concentrate. Sedang yang sebagai tepung dan disediakan untuk penyerbukan dijual
dengan kode D = Dust atau DC= dust concentrate. Fungisida yang dijual dalam bentuk
butiran untuk ditaburkan diberi kode F= flowable bila terdiri atas wettable powder yang
butir-butiranya lebih halus yang dijual sebagai suspense kental dalam suatu cairan.
Sedangkan SP = soluble powder adalah bahan berbentuk tepung yang dapat larut didalam
air.
Kebanyakan bahan kimia yang dipakai dalam pengendalian penyakit tumbuhan belum
diketahui dengan pasti bagaimana mekanisme kerjanya. Pada umumnya bahan kimia
dipakai karena toksisitasnya yang langsung terhadap patogen dan hanya efektif sebagai
protektan pada titik masuknya patogen. Bahan kimia seperti ini menghambat kemampuan
patogen untuk mensintesis substansi tertentu untuk dinding selnya, dengan bertindak
sebagai pelarut membrane sel patogen, dengan membentuk kompleks-kompleks dengan
koenzim patogen dan membuatnya menjadi tidak aktif, atau dengan mengaktifkan enzim
yang menyebabkan presipitasi protein patogen. Fungisida sistemik dan antibiotika diserap
oleh inang, ditranslokasikan di dalam badan tumbuhan, dan efektif terhadap patogen pada
tempat infeksi, sebelum atau setelah terjadinya infeksi.
C. Pengendalian Penyakit Tanaman Dengan Peraturan
1. Karantina Tumbuhan
Tujuan karantina tumbuhan adalah mencegah pemasukan dan penyebaran Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) ke suatu negara atau daerah yang masih bebas
dari OPT tersebut. Berbagai usaha dilakukan melalui peraturan-peraturan karantina baik
secara nasional maupun internasional. Berbagai perjanjian bilateral, multilteral, konvensi
dan kerjasama regional dilakukan guna mencegah penyebaran jenis OPT yang selama ini
dianggap potensial merugikan tanaman pertanian atau tanaman lainnya.
Dalam kerangka Perjanjian SPS untuk melindungi kehidupan tumbuhan di suatu negara
dari risiko masuknya hama dan penyakit yang berpotensi menetap atau menyebar secara
cepat. Karantina merupakan bagian integral program ketahanan pangan dari aspek
perlindungan keamanan pangan dari cemaran biologis berupa organisme pengganggu
(Hamzah, 2002). Karantina mencegah pada lini pertama (first line of defense) dari ancaman
masuknya OPT asing yang dapat terbawa pada komoditas pertanian, orang, dan barang.
Pada kenyataannya masih terdapat jenis-jenis OPT berbahaya tertentu yang belum terdapat
di wilayah Indonesia atau kalau sudah ada penyebarannya terbatas pada era tertentu.
Banyak pengalaman kita beberapa kali kemasukan jenis-jenis hama penyakit baru yang
sangat merugikan ekonomi petani dan negara karena peraturan perkarantinaan tidak diikuti
dan diterapkan secara konsekuen. Peranan karantina kecuali melindungi tumbuhan dan
hewan juga berusaha untuk menjaga mutu melalui sertifikasi karantina.
Setiap tumbuhan dan bagian-bagiannya yang dilalu-lintaskan antar negara selalu
mempunyai risiko sebagai pembawa OPTK yang dapat mengancam produksi pertanian.
Oleh karena itu, setiap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah RI atau yang
dilalulintaskan antar area di dalam wilayah RI dikenakan tindakan karantina. Tindakan
karantina meliputi; pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan dan pembebasan.
Pelaksaaan karantina tumbuhan di Indonesia telah didukung oleh peraturan perundang-
undangan yang memadai yaitu UURI Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan dan Tumbuhan dan PP Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan. Isi
peraturan perundang-undangan tentang karantina sudah diharmonisasikan dengan
ketentuan dan persetujuan internasional yang ditetapkan melalui persidangan Konvensi
Internasional Perlindungan Tumbuhan atau IPPC. Dalam ketentuan UU No. 16/1992 diatur
persyaratan pemasukan (impor) dan pengeluaran (ekspor) yang cukup ketat yaitu
keharusan adanya Surat Kesehatan Tanaman(Phytosanitary Certificate) dan Surat
Kesehatan Hewan (Animal Health Certificate) dari negara asal/tujuan menyertai komoditas
yang dilalulintaskan. Importir atau eksportir berkewajiban melaporkan tentang tibanya
suatu komoditas untuk kemudian dilakukan pemeriksaan oleh petugas karantina sebelum
dikeluarkan dari daerah pabean.

2. Eradikasi (Pembersihan)
Dalam undang-undang nomor 12 pasal 21 tertulis bahwa PHT meliputi tindakan eradikasi.
Pemerintah dapat memerintahkan atu melakukan eradikasi jika terdapat pertanaman
dengan OPT yang berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara luas.
Seterusnya hal ini diatur dalam pasal 25, 26, dan 17. Kepada pemilik tanaman dapat diberi
ganti rugi yang menyangkut tanamannya yang tidak sakit yang terpaksa harus dibongkar.
Penyakit-penyakit yang baru saja masuk ke suatu daerah sedapat mungkin dihilangkan
sebelum meluas. Usaha pembersihan (Eradikasi) ini perlu dilakukan oleh semua
penananam, sebab kalu tidak dilakukan eradikasi usaha akan sia-sia. Oleh Karena itu
tindakan harus didasarkan atas peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tanpa
peraturan yang tegas, para penanam yang tanamannya belum menunjukkan gejala,
meskipun kemungkinan besar telah terjangkit, akan segera membongkar tanamannya.
Contoh eradikasi yang berhasil dilakukan yaitu pada penyakit kanker jeruk(Xanthomonas
campestris pv. citri) di Florida, Amerika Serikat. Sedangkan contoh eradikasi yang tidak
berhasil yaitu pada penyakit hawar kastanye (Endothia parasitica) di Amerika Serikat.
Eradikasi hanya akan berhasil bila dilakukan terhadap penyakit yang meluas dengan
lambat. Usaha ini tidak dapat diharapkan hasilnya bila diterapkan untuk penyakit yang
menyebar lewat udara dengan cepat.
Dalam undang-undang nomor 12 tahun 1992 tentang System Budidaya Tanaman
ditegaskan bahwa pemerintah dapat melakukan atau memerintahkan dilakukannya
eradikais apabila terdapat organisme pengganggu tumbuhan yang dianggap sangat
berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara luas. Kepada pemilik tanaman
yang tidak terser ang, tetapi harus dimusnahkan dalam rangka eradikasi, dapat diberikan
ganti rugi.
D. Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Terpadu
Pengendalian terpadu merupakan sebuah system pengendalian hama dan penyakit
yang mengunakan gabungan pengendalian fisik, pengendalian mekanik, pengendalian
secara bercocok tanam, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi dan pengendalian
hama lainnya. Pengendalian secara fisik yaitu pengendalian hama dan penyakit secara
langsung. Cara ini tergolong masih tradisyonal dalam memberantas hama dan penyakit.
Conoh pengendalian secara fisik ini seperti pengryopokan untuk memberantas hama tikus.
Pengendalian secara mekanik merupakan pengendalian yang digunakan dengan
mengunakan perangkap, sehingga hama yang menyerang dapat ditangulangi. Contohnya
dengan mengunakan kertas perekat untuk hama pasca panen seperti lalat. Pengendalian
secara bercocok tanam merupakan pengendalian yang mengunakan varietas (vegetasi)
yang ditanam resisten terhadap hama, atau dalam artian lain mengunakan bibit ungul.
Pengendalian dengan bercocok tanam juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan
pergantian tanaman. Sehingga siklus hidup dari hama dapat terputus dan terganti dengan
yang lainya. Pengendalian dengan kimiawi, pengendalian dengan cara ini merupakan
pengendalian yang terakhir dipilih dalam system pengendalian hama terpadu. Karena
dengan system ini tentunya akan menyebabkan efek atau pen pencemaran lingkungan
akibat zat- zat kimia yang tidak dapat diurai oleh alam.

DAFTAR PUSTAKA

Horsfall, J. G. And Ellis, B. C. 1977. Plant disease an advanced treatise. How disease is
managed. Vol I. Academic Press New York, San Francisco, London.
Zadoks dan Richard. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford

University Press. New York.

Anda mungkin juga menyukai