Anda di halaman 1dari 9

Topik 13.

Strategi Pengelolaan Resistensi Pestisida

Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi resisten menurut


Georghiou dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu dengan

1) sikap sedang (moderation),

2) penjenuhan ( saturation )

3) serangan ganda ( multiple attack).

Pengelolaan dengan moderasi bertujuan mengurangi tekanan seleksi terhadap


hama antara lain dengan pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan yang
lebih jarang.

Pengelolaan dengan saturasi bertujuan memanipulasi atau mempengaruhi sifat


pertahanan serangga terhadap insektisida baik yang bersifat biokimiawi maupun
genetik.

Pengelolaan dengan serangan ganda antara lain dilakukan dengan cara


mengadakan rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang mempunyai
cara kerja atau mode of action yang berbeda.

Adanya refugia merupakan mekanisme untuk menghambat pengembangan sifat


resistensi pada populasi karena di refugia merupakan sumber individu imigran yang
masih memiliki sifat peka terhadap pestisida (Georgiou dan Taylor, 1986).

Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan yang dapat


menghalangi, menghambat, menunda atau membalikkan pengembangan
resistensi. Untuk membuat keputusan pengelolaan resistensi sangat diperlukan
pengetahuan dasar tentang faktor-faktor yang mendorong timbul dan
berkembangnya resistensi, dan pendugaan frekuensi genotipe resisten. Program
pengelolaan resistensi menjadi sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan
komprehensif tentang mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain
menjadi resisten terhadap pestisida.
Pengelolaan Resistensi Pestisida dan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

Resistensi pestisida suatu fenomena alam yang sangat kuat dan masalah yang
diakibatkannya semakin berlarut dan merugikan. Meningkatnya keparahan masalah
resistensi dikendalikan sepenuhnya oleh tindakan manusia. Ketidakpedulian dan
kurang perhatian semua pihak terhadap masalah resistensi dapat membawa ke
terjadinya eksplosi hama yang membawa ke kegagalan panen atau kegagalan
program perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.

Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan lintas
sektor, mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan petani
tetapi terutama industri pestisida dengan para petugasnya yang beroperasi di
lapangan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan oleh stakeholders
secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan pelatihan
pada para petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya dalam menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga
dapat memperlambat terjadinya populasi resisten. Petani terutama petani
hortikultura harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan
dan mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan
resistensi pestisida.

Pengelolaan resistensi pestisida sangat komplementer dan mendukung prinsip dan


strategi PHT. Pengelolaan resistensi pestisida merupakan kombinasi teknik
pengendalian dengan pestisida dan pengendalian tanpa pestisida
sedemikian rupa sehingga frekuensi individu-individu resisten dalam
populasi hama tetap dalam tingkatan yang dapat dikelola dan secara
ekonomis layak. Penggunaan pestisida agar dilaksanakan secara selektif dengan
memperhatikan hasil monitoring dan analisis data populasi hama dan musuh
alaminya. Semakin kecil paparan populasi hama terhadap pestisida kimia tertentu
diharapkan dapat memperlambat timbulnya populasi resisten. Penerapan PHT
(POPTT) akan mengurangi tekanan seleksi terhadap organisme perusak
tanaman serta dapat memperlambat atau menunda pengembangan populasi
resisten yang merugikan semua pihak.

Deteksi dan Monitoring Resitensi

Penerapan program pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini mungkin. Apabila


kegagalan pengendalian hama dengan pestisida telah terjadi karena berkembangnya
populasi resisten, mungkin tingkat resistensi sudah sangat tinggi sehingga sulit
untuk diturunkan kembali sampai ke tingkat yang rendah. Karena itu perlu
dikembangkan metode pendeteksian yang mudah, cepat, murah dan akurat
sehingga adanya perubahan sifat populasi yang mengarah ke resistensi dapat
diketahui lebih awal. Tersedianya metode pendeteksian resistensi yang
standar akan menunjang kegiatan monitoring yang terprogram.

Metode tersebut diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan tingkat


keparahan resistensi secara spasial dan temporal dan melakukan pendugaan
mengenai lebar atau panjang “jendela waktu†yaitu sejak resistensi terdeteksi
sampai ke tingkat keparahan resistensi yang tidak dapat dikelola lagi tersebut. Untuk
mendukung program ini ilmu-ilmu dasar seperti immunologi, biokimia dan genetika
molekuler diharapkan mempunyai peran penting dalam mengembangkan metode
deteksi tersebut.

Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan penggunaan metode


deteksi yang cepat, dapat dipercaya untuk mendeteksi tingkatan rendah terjadinya
resistensi di populasi hama. Metode deteksi dan monitoring resistensi yang sudah
lama digunakan adalah dengan teknik bioassay. Pengujian biokimia untuk
mengidentifikasikan aktifitas ensim yang diduga terkait dengan mekanisme resistensi
pada organisme yang diuji juga telah banyak dikembangkan. Namun metode
biokimia menuntut lebih banyak peralatan yang lebih canggih dan lebih mahal
daripada metode bioassay. Di samping itu para pakar bioteknologi juga sedang
mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi keberadaan gen resisten.

Rekomendasi Kegiatan Penelitian Resistensi Pestisida

Berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi dari kegiatan penelitian dasar dan
terapan yang direkomendasikan oleh Komisi Strategi Manajemen Populasi Hama
yang Resisten Pestisida pada Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1984 (NRC,
1986).

1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak dalam biokimia, fisiologi


dan genetika molekuler tentang mekanisme resistensi pada berbagai
kisaran spesies hama. Biologi molekuler termasuk teknologi rekombinan
DNA, sangat menolong dalam melakukan isolasi dan karakterisasi
mekanisme resistensi yang spesifik.

2. Penemuan dan eksploitasi target site baru untuk pestisida baru


seharusnya merupakan fokus penelitian, bersamaan dengan usaha awal
penelitian yang menggabungkan kemampuan riset tradisional dengan
bioteknologi baru.

3. Metode standar untuk mendeteksi dan monitor resistensi hama-hama


utama perlu dikembangkan, divalidasi dan selanjutnya diaplikasikan lebih
luas di lapangan.

4. Konsep dan wawasan yang berasal dari penelitian biologi populasi dalam
resistensi pestisida harus digunakan lebih efektif untuk mengembangkan,
menerapkan dan mengevaluasi strategi dan taktik pengelolaan resistensi.

5. Pengembangan dan pengujian suatu sistem untuk pendugaan atau


penaksiran risiko resistensi perlu dipercepat.

6. Peningkatan tekanan penelitian dan pengembangan harus diarahkan


pada evaluasi di laboratorium dan lapangan mengenai taktik-taktik untuk
mencegah atau menghambat pengembangan resistensi.
7. Usaha-usaha harus diperluas untuk mengembangkan sistem Pengelolaan
Hama Terpadu. Langkah-langkah perlu diambil untuk mendorong penerapan
PHT sebagai ciri utama dari semua program pengelolaan resistensi.

8. Kegiatan penelitian yang kritis adalah dalam menetapkan aras toleransi


suatu populasi terhadap pestisida, dan kebugaran relatif dari bagian
populasi hama yang resisten dibandingkan dengan bagian populasi hama
yang peka.

Program Pengelolaan Resistensi Pestisida di Indonesia

a. Data tentang Resistensi Pestisida

Secara kualitatif laporan dan keluhan tentang semakin tidak manjurnya jenis-
jenis pestisida tertentu semakin sering disampaikan oleh para petani atau
petugas lapangan. Sayangnya sampai saat ini jumlah penelitian resistensi
pestisida di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis hama tertentu seperti
hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella), hama wereng batang coklat
padi (Nilapavarta lugens), hama penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera) dan
ulat grayak (Spodoptera sp). Fakta ini menunjukkan bahwa tidak banyak peneliti di
Indonesia yang bekerja menekuni masalah resistensi pestisida secara mendalam.
Pada tingkat nasional maupun daerah, Indonesia belum memiliki rencana strategik
kegiatan penelitian tentang pengelolaan pestisida pada umumnya dan pengelolaan
resistensi pestisida pada khususnya.

Di Jepang hama wereng batang coklat (Nilapavarta lugens) telah resisten terhadap
malathion 34,5 kali, diazinon 13,7 kali, fenitrotion 25,7 kali sedangkan di Indonesia
hama tersebut telah resisten terhadap fentoat 17,3 kali, dan terhadap BPMC 7,7 kali
(Sutrisno, 1987). Wereng coklat di beberapa daerah telah mengalami resistensi
terhadap insektisida karbamat dan organofosfat. Pemaparan ke 3 insektisida MIPC
terhadap wereng coklat menyebabkan kenaikan rasio resistensi sampai 58,02 kali
(Putra et al.,2002).

Hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella) yang menyerang kubis


termasuk salah satu hama yang cepat menunjukkan sifat ketahanan terhadap
berbagai kelas pestisida kimia dan juga pestisida biologi seperti Bt. Laporan pertama
mengenai resistensi hama Plutella di Indonesia adalah terhadap DDT pada tahun
1951 di Lembang dan Batu dengan peningkatan 9 kali (Vos,1951;1952 cit Oka dan
Sukardi, 1981). Tjoa (1959, cit Oka dan Sukardi,1981) melaporkan bahwa Plutella
sudah resisten terhadap HCH, Toxaphene, Aldrin, Dieldrin dan Endrin, hanya dalam
kurun waktu 14 tahun setelah pestisida tersebut digunakan. Hasil penelitian
mutakhir menunjukkan bahwa populasi Plutella dari Kopeng resisten terhadap
deltametrin dengan tingkat resistensi 469 kali dibanding populasi dari Cepogo yang
masih peka ( Nuryanti dan Trisyono, 2002 ). Plutella resisten terhadap deltametrin
diturunkan secara monogenik, bersifat resesif dan ada maternal effect
(Listyaningrum et al., 2003). Plutella xylostella strain Lembang, Pengalengan,
Berastagi sangat resisten terhadap Bt var kurstaki dan strain HD-7 (Sastrosiswojo
et.al. 2003). Peluang peningkatan faktor resistensi hama Plutella di Indonesia sangat
besar karena di pusat daerah sayuran seperti Lembang, Dieng, dan Batu tanaman
kubis ditanam sepanjang tahun dan penggunaan pestisida sangat intensif dan terus
menerus.

b. Data kerugian ekonomi akibat resistensi pestisida

Meskipun banyak jenis hama yang dilaporkan resisten terhadap pestisida tertentu,
namun belum pernah dilakukan penaksiran selama ini seberapa besar kerugian
ekonomis yang dialami baik oleh petani sebagai pengguna pestisida, pemerintah
dan perusahaan pestisida sebagai produsen pestisida. Demikian juga kita belum
pernah menghitung seberapa besar dampak negatif yang kita derita akibat fenomena
resistensi pestisida. Di samping dampak ekonomi, juga perlu dihitung seberapa
besar dampak sosial dan budaya, serta dampak terhadap kesehatan masyarakat dan
lingkungan hidup.

Karena tidak ada kegiatan rutin monitoring resistensi pestisida, kita belum memiliki
data tentang sebaran dan intensitas dan keparahan tingkat resistensi berbagai jenis
pestisida di lapangan saat ini. Kita tidak mengetahui apakah ratusan formulasi
pestisida yang sudah terdaftar dan diijinkan masih efektif dan efisien dalam
mengendalikan hama atau OPT sasaran. Kita saat ini perlu mengetahui di daerah
mana suatu jenis hama telah resisten dan di daerah mana masih didominansi
individu-individu peka.

c. Kebijakan pendaftaran pestisida terkait resistensi pestisida


Dilihat dari tataran kebijakan nasional kita, belum memiliki kebijakan dan
strategi khusus mengenai pengelolaan resistensi pestisida yang
komprehensif dan terpadu. Umumnya penjelasan, anjuran, rekomendasi dan
pelatihan dilakukan oleh para penyuluh pertanian dari pemerintah maupun oleh
petugas lapangan perusahaan pestisida tentang aplikasi pestisida yang tepat guna
(tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat tempat)
secara tidak langsung bertujuan untuk memperlambat muncul dan berkembangnya
populasi hama resisten pestisida.

UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman serta peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah telah menetapkan Sistem PHT sebagai kebijakan
nasional perlindungan tanaman. Apabila PHT diterapkan oleh seluruh petani secara
individual maupun kelompok diharapkan semakin mengurangi kasus resistensi
pestisida pada beberapa komoditas penting.

Keputusan Menteri Pertanian 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan


Tatacara Pendaftaran Pestisida belum mempunyai pasal-pasal khusus yang mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan fenomena resistensi pestisida. Pasal 15 Kepmen
tersebut yang mengijinkan formulasi pestisida berbahan aktif majemuk diharapkan
dapat mengurangi risiko timbul dan berkembangnya populasi resisten dengan
persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan tersebut telah
dituangkan pada Surat Keputusan Ketua Komisi Pestisida.

d. Urgensi dan Relevansi Kebijakan Pengelolaan Resistensi Pestisida

Pada saat ini urgensi dan relevansi kebijakan pengelolaan resistensi pestisida
secara nasional sangat tinggi, mengingat beberapa kenyataan yang
dikhawatirkan dapat memicu percepatan tingkat resistensi hama terhadap jenis-jenis
pestisida yang banyak digunakan. Kenyataan-kenyataan tersebut antara lain:

1. Petani sebagian besar masih sangat menggantungkan pada penggunaan


pestisida kimia sintetik dalam usaha pengendalian hama. Mereka masih
mengikuti paradigma perlindungan tanaman konvensional, preventif dan prinsip
asuransi yang cenderung berlebihan. Praktek pengendalian hama ini terjadi terutama
pada komoditas rawan hama dan penyakit seperti kelompok tanaman hortikultura
dan perkebunan tertentu.

2. Peningkatan jumlah dan volume jenis-jenis pestisida di Indonesia pada


beberapa tahun terakhir.

3. Peningkatan jumlah dan jenis pestisida generik yang berarti banyak jenis
pestisida lama yang didaftarkan dan diijinkan. Dari sekian banyak insektisida
yang diijinkan golongan sintetik piretroid cenderung meningkat baik untuk bidang
pertanian dan kehutanan, maupun untuk hygiene lingkungan. Insektisida sintetik
piretroid kemungkinan besar mempunyai umur hidup atau umur manfaat yang
pendek karena cepat mengembangkan populasi resisten.

4. Semakin sedikitnya jenis-jenis pestisida baru dengan cara kerja baru


yang ditemukan didaftarkan dan diedarkan. Jumlah pestisida biologi dan
pestisida nabati yang didaftarkan dan diijinkan masih sangat sedikit, kurang dari 5%
dari jumlah formulasi pestisida yang telah diijinkan di Indonesia.

5. Data dan peta tentang tingkat keparahan resistensi berbagai jenis hama
utama terhadap pestisida di Indonesia belum kita miliki, karena kurangnya
kegiatan terkoordinasi dalam deteksi dan monitor resistensi pestisida.

Kesimpulan dan Saran

1. Di Indonesia fenomena resistensi hama terhadap pestisida sudah merupakan


masalah kronis yang telah lama kita hadapi sejak kita menggunakan
pestisida, namun belum pernah dilakukan evaluasi dan pendugaan mengenai
kerugian sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh fenomena tersebut.
2. Indonesia belum mempunyai kebijakan dan strategi khusus untuk
menanggulangi dan menghambat perkembangan populasi hama resisten
karena belum memiliki kegiatan penelitian yang komprehensif, dapat
dipercaya dan memadai.
3. Resistensi pestisida seharusnya merupakan perhatian dan keprihatinan semua
stakeholders (pemangku kepentingan) termasuk Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, produsen dan distributor pestisida, peneliti, akademisi,
petani secara individu dan berkelompok dan masyarakat pada umumnya.
4. Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan kebijakan khusus tentang
Manajemen Resistensi Pestisida dengan melakukan koordinasi lintas sektor
dan lintas disiplin yang bertujuan menghambat, menunda atau menghentikan
perkembangan populasi hama resisten.
5. Pengembangan dan penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dan
Pengelolaan Vektor Penyakit Manusia secara Terpadu perlu ditingkatkan dan
diperluas, melalui kegiatan pemberdayaan petani dan masyarakat dalam
menggunakan pestisida secara selektif dan hemat.
6. Dalam kebijakan pendaftaran pestisida hasil analisis risiko resistensi agar
juga dipersyaratkan.

Sumber : Prof. Dr. Kasumbogo Untung, 2008.

Anda mungkin juga menyukai