2) penjenuhan ( saturation )
Resistensi pestisida suatu fenomena alam yang sangat kuat dan masalah yang
diakibatkannya semakin berlarut dan merugikan. Meningkatnya keparahan masalah
resistensi dikendalikan sepenuhnya oleh tindakan manusia. Ketidakpedulian dan
kurang perhatian semua pihak terhadap masalah resistensi dapat membawa ke
terjadinya eksplosi hama yang membawa ke kegagalan panen atau kegagalan
program perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.
Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan lintas
sektor, mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan petani
tetapi terutama industri pestisida dengan para petugasnya yang beroperasi di
lapangan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan oleh stakeholders
secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan pelatihan
pada para petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya dalam menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga
dapat memperlambat terjadinya populasi resisten. Petani terutama petani
hortikultura harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan
dan mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan
resistensi pestisida.
Berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi dari kegiatan penelitian dasar dan
terapan yang direkomendasikan oleh Komisi Strategi Manajemen Populasi Hama
yang Resisten Pestisida pada Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1984 (NRC,
1986).
4. Konsep dan wawasan yang berasal dari penelitian biologi populasi dalam
resistensi pestisida harus digunakan lebih efektif untuk mengembangkan,
menerapkan dan mengevaluasi strategi dan taktik pengelolaan resistensi.
Secara kualitatif laporan dan keluhan tentang semakin tidak manjurnya jenis-
jenis pestisida tertentu semakin sering disampaikan oleh para petani atau
petugas lapangan. Sayangnya sampai saat ini jumlah penelitian resistensi
pestisida di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis hama tertentu seperti
hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella), hama wereng batang coklat
padi (Nilapavarta lugens), hama penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera) dan
ulat grayak (Spodoptera sp). Fakta ini menunjukkan bahwa tidak banyak peneliti di
Indonesia yang bekerja menekuni masalah resistensi pestisida secara mendalam.
Pada tingkat nasional maupun daerah, Indonesia belum memiliki rencana strategik
kegiatan penelitian tentang pengelolaan pestisida pada umumnya dan pengelolaan
resistensi pestisida pada khususnya.
Di Jepang hama wereng batang coklat (Nilapavarta lugens) telah resisten terhadap
malathion 34,5 kali, diazinon 13,7 kali, fenitrotion 25,7 kali sedangkan di Indonesia
hama tersebut telah resisten terhadap fentoat 17,3 kali, dan terhadap BPMC 7,7 kali
(Sutrisno, 1987). Wereng coklat di beberapa daerah telah mengalami resistensi
terhadap insektisida karbamat dan organofosfat. Pemaparan ke 3 insektisida MIPC
terhadap wereng coklat menyebabkan kenaikan rasio resistensi sampai 58,02 kali
(Putra et al.,2002).
Meskipun banyak jenis hama yang dilaporkan resisten terhadap pestisida tertentu,
namun belum pernah dilakukan penaksiran selama ini seberapa besar kerugian
ekonomis yang dialami baik oleh petani sebagai pengguna pestisida, pemerintah
dan perusahaan pestisida sebagai produsen pestisida. Demikian juga kita belum
pernah menghitung seberapa besar dampak negatif yang kita derita akibat fenomena
resistensi pestisida. Di samping dampak ekonomi, juga perlu dihitung seberapa
besar dampak sosial dan budaya, serta dampak terhadap kesehatan masyarakat dan
lingkungan hidup.
Karena tidak ada kegiatan rutin monitoring resistensi pestisida, kita belum memiliki
data tentang sebaran dan intensitas dan keparahan tingkat resistensi berbagai jenis
pestisida di lapangan saat ini. Kita tidak mengetahui apakah ratusan formulasi
pestisida yang sudah terdaftar dan diijinkan masih efektif dan efisien dalam
mengendalikan hama atau OPT sasaran. Kita saat ini perlu mengetahui di daerah
mana suatu jenis hama telah resisten dan di daerah mana masih didominansi
individu-individu peka.
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman serta peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah telah menetapkan Sistem PHT sebagai kebijakan
nasional perlindungan tanaman. Apabila PHT diterapkan oleh seluruh petani secara
individual maupun kelompok diharapkan semakin mengurangi kasus resistensi
pestisida pada beberapa komoditas penting.
Pada saat ini urgensi dan relevansi kebijakan pengelolaan resistensi pestisida
secara nasional sangat tinggi, mengingat beberapa kenyataan yang
dikhawatirkan dapat memicu percepatan tingkat resistensi hama terhadap jenis-jenis
pestisida yang banyak digunakan. Kenyataan-kenyataan tersebut antara lain:
3. Peningkatan jumlah dan jenis pestisida generik yang berarti banyak jenis
pestisida lama yang didaftarkan dan diijinkan. Dari sekian banyak insektisida
yang diijinkan golongan sintetik piretroid cenderung meningkat baik untuk bidang
pertanian dan kehutanan, maupun untuk hygiene lingkungan. Insektisida sintetik
piretroid kemungkinan besar mempunyai umur hidup atau umur manfaat yang
pendek karena cepat mengembangkan populasi resisten.
5. Data dan peta tentang tingkat keparahan resistensi berbagai jenis hama
utama terhadap pestisida di Indonesia belum kita miliki, karena kurangnya
kegiatan terkoordinasi dalam deteksi dan monitor resistensi pestisida.