Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

FARMASI VETERINER
PENYAKIT MULUT DAN KUKU PADA HEWAN

Hari/Tanggal : Selasa /12 September 2017


Kelas : Reguler sore

Dosen Pengampu :
D. Saepul Hidayat, Drs. Ms., Apt

Nama: Selly Diah Febriana A 142 014

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


BANDUNG
2017

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada saya. Tak lupa pula saya ucapkan shalawat atas
junjungan Nabiullah Muhammad SAW, nabi akhir jaman yang telah membimbing
kita dan memberikan suri tauladan sehingga agama Allah dapat berdiri dengan
tegak sampai detik ini.
Makalah ini penyusun buat sebagai salah satu persyaratan melulusi mata
kuliah veteriner Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia. Penyusun sadar tak ada gading
yang tak retak maka demikian pula dengan penyusunan makalah ini, penyusun
mengharapkan masukan dan kritikan dari pembaca sekalian guna peningkatan yang
bersifat yang membangun.
Demikianlah kata pengantar ini penyusun buat. Akhir kata penyusun
ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Bandung, September 2017

Penyusun

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Obat adalah sediaan farmasi yang merupakan hasil pencampuran satu atau
lebih zat aktif dalam jumlah yang tepat dan berada di dalam satu bentuk sediaan
baik digunakan pada hewan maupun manusia (Mutschler, 1991), menurut Priyanto
(2010) definisi obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan biologi
serta mempengaruhi aktivitas fisik dan psikis yang meliputi pula bahan dan sediaan
obat yang dalam kemasan, diberi label dan penandaan yang memuat pernyataan. Di
pasaran dikenal istilah obat resmi dan tidak resmi, yang didefinisikan sebagai obat
resmi adalah obat atau bahan baku yang dimuat dalam Farmakope yaitu buku yang
memuat pembakuan bahan kimia dan disahkan berdasarkan undang-undang. Obat
yang tidak dimuat dalam Farmakope adalah obat tidak resmi, tetapi boleh
dipasarkan dengan izin dari Departemen Kesehatan. Di dunia kedokteran hewan
(veteriner) juga telah mempunyai Farmakope obat hewan, yang mengatur tentang
sediaan biologik dan premiks. Obat-obat yang digunakan dalam kedokteran hewan
atau disebut obat veteriner tercantum dalam Indeks Obat Hewan Indonesia oleh
Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) dan Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian. Obat hewan adalah obat yang khusus dipakai oleh hewan
dan digolongkan ke dalam sediaan biologik, farmasetik dan premiks (Pemerintah
RI, 1992).
Dalam dunia kedokteran hewan khususnya di Indonesia, obat-obat yang
boleh digunakan harus tertera dalam Farmakope Obat Hewan Indonesia atau yang
biasanya disingkat FOHI. FOHI mengatur segala hal yang berkaitan dengan sediaan
biologik, farmasetik dan premiks yang digunakan di Indonesia (Deptan RI, 2009b).
Formularium adalah himpunan obat yang diterima oleh Panitia Farmasi dan Terapi
(PFT) untuk digunakan di rumah sakit dan di revisi pada jangka waktu tertentu.
Formularium terdiri dari Daftar Obat Esential Nasional (DOEN) dan Daftar Obat
Tambahan (DOT), daftar ini dimasukkan kedalam formularium atas usulan masing-
masing staf medik fungsional dan melalui komite medik. Tiap-tiap rumah sakit

3
harus menyusun formularium sesuai dengan kepentingan rumah sakit dengan
melibatkan orang-orang yang berkompeten di bidang klinik, farmakologi, farmasi
dan unsur tenaga kesehatan pendukung (Depkes RI, 2004a). Formularium RS
adalah daftar obat yang disusun dengan nama generik dan sesuai dengan daftar obat
esential, termasuk obat-obat lain yang belum ada sediaan generiknya, namun sangat
dibutuhkan oleh rumah sakit dan telah disetujui penggunaannya oleh rumah sakit.
Formularium biasanya disusun berdasarkan DOEN (Depkes RI, 2004a). Rumah
Sakit merupakan salah satu sarana penunjang kesehatan, yang berperan dalam
menyediakan dan menyalurkan sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dll. Rumah
Sakit berfungsi dalam penyelenggaraan pelayanan medik, pelayanan penunjang,
pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian administrasi umum dan
keuangan (Depkes RI, 2004a).
Rumah sakit hewan adalah
sarana yang dibangun untuk menunjang kesehatan hewan. Rumah Sakit Hewan
berfungsi memberikan pelayanan umum kepada masyarakat pemilik hewan, baik
hewan ternak, hewan eksotik maupun hewan kesayangan. Rumah Sakit adalah
sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang meliputi upaya
preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Obat dan alat kesehatan merupakan
salah satu komponen terbesar dalam pengeluaran belanja rutin Rumah Sakit. Pada
rumah sakit pemerintah tersedia subsidi bagi rumah sakit tersebut, berbeda
keadaannya dengan Rumah Sakit Hewan yang tidak mendapatkan subsidi dari
pihak manapun. Menurut Quick, dkk (1997) anggaran belanja obat di rumah sakit
mencapai 40 % dari seluruh anggaran rumah sakit, sehingga manajemen obat
merupakan salah satu aspek penting sebuah rumah sakit. Tujuan manajemen obat
adalah tersedianya obat saat dibutuhkan baik jenis, jumlah maupun kualitasnya
(Siregar dan Amalia, 2003). Melihat vitalnya pengelolaan obat dalam rangka
mencapai efisiensi pengelolaan, maka evaluasi terhadap manajemen obat dalam
setiap tahapannya merupakan sebuah keharusan dalam menjalankan sebuah rumah
sakit (Balai POM, 2001). Studi tentang manajemen rumah sakit sudah sangat sering
kita dengar, sedangkan studi yang mengulas tentang rumah sakit hewan belum
mempunyai referensi yang bisa dijadikan pathokan. Referensi yang selama ini

4
hanya mengacu dari perundangan-undangan yang mengatur tentang kedokteran
hewan atau sering disebut dunia veteriner.
Dari observasi awal terlihat bahwa ada beberapa perbedaan pada
manajemen, baik struktur, fungsi maupun standar yang diterapkan
di rumah sakit umum dan rumah sakit hewan. Hal ini dimungkinkan karena adanya
perbedaan jenis subjek pasien yang ditangani dengan ke-khasan dari jenis rumah
sakitnya, misalnya pada rumah sakit hewan jumlah kandang identik dengan jumlah
kamar pada rumah sakit umum, contoh lainnya lagi adalah pada rumah sakit umum
mempunyai dokter bedah yang berbeda dengan dokter umum dan dokter ahli
anestesi, di dunia kedokteran hewan terutama di Indonesia, hal ini belum dilakukan,
dokter hewan yang berpraktik di rumah sakit hewan bisa juga bertugas menjadi
dokter penyakit dalam, dokter bedah, dokter anesthesi bahkan juga dokter gigi.
Dunia veteriner secara umum berdiri di atas dua kaki yang sama penting, yaitu
peternakan dan medis. Hal ini disebabkan karena dunia veteriner selain mengurusi
tentang hewan secara umum, baik dari manajemen pemeliharaan, perawatan hewan,
tata laksana reproduksi, juga mengurusi tentang masalah kesehatan hewan, baik
tentang penyakit, vaksinasi, penggunaan obat, dan tindakan pembedahan. Dari
bidang yang digeluti, dapat dilihat adanya kekhususan karakteristik sebuah rumah
sakit hewan. Peraturan pendirian rumah sakit hewan di Indonesia menurut aturan
Departemen Pertanian belum menyebutkan adanya peran apoteker di instalasi
farmasi/apotek-nya, sehingga menarik untuk dikaji pola manajemen seperti apa
yang diterapkan di dalam sebuah rumah sakit hewan. Peran apoteker yang sangat
vital dalam siklus manajemen obat di rumah sakit umum, tidak di dukung oleh
adanya regulasi yang mengatur keberadaan tenaga kesehatan tersebut pada sebuah
rumah sakit hewan.
Apoteker yang berperanan penting, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota tim Panitia Farmasi dan Terapi belum dimiliki oleh RSH Prof. Soeparwi,
sehingga proses manajemen obat di instalasi farmasi/apotek dimungkinkan
memiliki proses yang berbeda, seperti contohnya dalam proses seleksi obat, peran
farmasis dalam memilih obat yang akan digunakan, baik jumlah, jenis maupun
bentuk sediaan obatnya (Dumoulin, 1998), peran ini diambil alih oleh para dokter
hewan, sehingga ada kemungkinan tidak sesuainya obat yang di seleksi dengan

5
kebutuhan untuk rumah sakit hewan tersebut, di karenakan keinginan dari
masingmasing dokter hewan yang bertugas untuk membeli obat yang
diinginkannya. Hal ini bisa mengakibatkan tidak sesuainya jenis dan jumlah obat
yang diinginkan dengan pola penyakit yang terjadi sehingga bisa memicu
pembengkakan biaya, baik biaya pengadaan, biaya penyimpanan maupun
penumpukan obat yang memungkinkan adanya kerusakan dan kadaluarsa obat.

6
BAB 2
ISI

2.1 Pengertian Umum ( PMK )


Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Aphthae epizooticae, Foot and mouth
disease (FMD) adalah salah satu penyakit menular pada sapi, kerbau, babi,
kambing, rusa ,domba dan hewan berkuku genap lainnya seperti gajah, mencit,
tikus, dan babi hutan.

Kasus yang menyerang manusia sangat jarang. PMK atau yang secara internasional
dikenal sebagai foot-and-mouth disease merupakan penyakit hewan yang paling
ditakuti oleh semua negara di dunia, terutama negara-negara pengekspor ternak dan
produksi ternak, karena sangat cepat menular dan menimbulkan kerugian ekonomi
yang sangat luar biasa besarnya.

Seluruhnya ada 15 jenis penyakit hewan menular berbahaya, yang secara ekonomis
sangat merugikan, yang dimasukkan dalam daftar A oleh Organisasi Kesehatan
Hewan Dunia (Office International des Epizooties).

Salah satu penyakit tersebut adalah PMK. Meskipun persoalan PMK sampai dengan
saat ini dianggap hanyalah merupakan masalah kesehatan hewan dan tidak
menyentuh kesehatan manusia, akan tetapi dampak PMK menjadi sangat luas
mengingat keterkaitannya dengan aspek penting yang mempengaruhi kehidupan
manusia yaitu aspek ekonomi dan perdagangan.

7
2.2 Etiologi
Genus dari Aphthovirus menyebabkan penyakit mulut dan kuku (PMK).
Terdapat tujuh serotype dari virus PMK yang telah diidentifikasi melaui uji serologi
dan perlindungan-silang; virus itu dinyatakan dengan O (Oise) dan A (Allemagne);
C (sebagai antisispasi bahwa O dan A mungkin akan dinamai kembali untuk
memungkinkan persamaan tipe selanjutnya A, B, C, dst); SAT1, SAT2, SAT3
(South African territories) dan Asia1.

Secara historis tiap tipe sudah dibedakan lagi menjadi subtipe berdasarkan beda
kualitatif. Keragaman antigenik ini disebut heterogenitas antigen. Hal ini
menyebabkan kesulitan dalam penggunaan vaksin, karena vaksin spesifik pada
serotipe tapi tidak pada subtipe. Di Indonesia pernah terjadi wabah PMK akibat
adanya tipe O11.

2.3 Karakteristik :

Virus famili Picornaviridae, genus Aphtovirus


Virion picornavirus : ikosahedron, tidak beramplop, diameter 25-30 nm;
ssRNA; sintesa di sitoplasma
Aphtovirus tidak stabil pada ph 7,0
Menyerang hewan ungulata (berkuku belah)/ teracak sapi, domba,
kerbau, kambing, babi, ruminan liar
Diselubungi oleh protein, sangat labil
Antigenisitasnya cepat dan mudah berubah
Tidak tahan pH asam dan basa, panas, sinar UV, desinfektans, karena
terdapat protein virus PMK tahan berbulan-bulan terhadap kekeringan dan
dingin

8
Stabil pada pH 3,0, tahan pada asam lambung, tahan terhadap empedu.
Suhu optimal 36-37 derajat celcius
Habitat alami: traktus gastrointestinalis
Untuk Aphtovirus bersifat: non stabil dibawah pH 7, memiliki asam
polisitidilat, peka terhadap sodium carbonat.
Ketahanan Aphtovirus hidup dalam ekskreta sapi, misalnya pada: saliva
(11 hari), semen (10 hari), darah (5 hari), urine (5 hari), feses (5 hari),
susu (5 hari), dan aerosol (5 hari).

Virion Aphtovirus

Aphtovirus, 7 tipe : A (Allemagne), O (Oise), C, SAT (South African


territories) 1, SAT 2, SAT 3, Asia
Tidak membentuk inclusion bodies.
Dapat diperbanyak dalam biakan sel-sel (epitel lidah sapi, sel-sel ginjal
sapi, hamster, dan babi), sel-sel kelenjar perisai sapi dan menimbulkan
kematian sel.
Keluarga Picornaviridae dikelompokkan dalam 5 genus yaitu : Enterovirus
, Cardiovirus , Rhinovirus , Aphthovirus dan Hepatovirus .

2.4 Perbedaan dari kelima genus dalam fisikokimianya ialah stabilitas pada
PH rendah :

Aphthovirus : tidak stabil pada PH dibawah 7


Enterovirus, Cardiovirus , Hepatovirus : stabil pada PH 3
Rhinovirus : kehilangan aktivitas dibawah PH 5

9
2.5 Proses timbulnya penyakit

Hewan yang rentan adalah Sapi, kerbau, unta, gajah, rusa, kambing,
domba, babi, gajah, dan jerapah (hewan berkuku genap).

Timbulnya suatu penyakit atau proses infeksi dari suatu penyakit, tidak
terlepas dari adanya 3 faktor yang mempengaruhi pola penyakit tersebut, yaitu
faktor agen(antigenik), hospes (inang) dan faktor lingkungannya.

Pada Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pun sama, disini akan coba dijelaskan
proses infeksi dari penyakit PMK dari segi 3 faktor tersebut.

2.6 Faktor Antigenik


2.6.1 Virus Penyebab
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Apthae epizootica (AE) atau Foot
and mouth desease (FMD) disebabkan oleh virus genus Aphthovirus Famili
Picornaviridae. Virus ini merupakan virus RNA genom rantai tunggal RNA linier
yang memiliki kapsid icosahedral dan tidak beramplop. Virus famili Picornaviridae
merupakan virus RNA terkecil dengan diameter 25-30nm dengan replikasinya di
dalam sitoplasma.

Ada 7 serotipe virus PMK yaitu : Tipe A, O, C, SAT 1, SAT2, SAT3, dan
tipe Asia 1. Di Indonesia wabah PMK disebabkan oleh tipe O11. Setiap serotipe ini
memiliki sifat antigenik yang berbeda beda, sehingga yang hanya dapat
berkembang baik di Indonesia adalah hanya tipe O11.

2.6.2 Virulensi
Virus PMK sangat labil, antigenitasnya cepat dan mudah berubah, sehingga
tubuh akan sulit membentuk antibodi terhadap virus ini. Morbilitas atau angka
kesakitan mencapai 100% namun tingkat mortalitas atau kematian hewan sangat
rendah sekitar 2%. Mortalitas tergantung pada virulensi virus dari strain virus
tersebut. Namun pada hewan yang masih muda dapat menyebabkan kematian
hingga 20%.

2.6.3 Viabilitas
Virus ini dapat bertahan lama pada darah, sumsum tulang, kelenjar limfa
dan semen, juga dapat bertahan lama pada bahan yang mengandung protein; tahan

10
kekeringan dan tahan dingin. Virus ini juga tahan lama pada lingkungan diluar
tubuh. Aphthovirus merupakan virus yang hidup pada pH normal, virus PMK tidak
dapat hidup pada pH lebih rendah dari 7. Artinya Aphthovirus tidak tahan akan
suasana asam.

2.6.4 Patogenesis
Terdapat dua rute infeksi, yaitu:

Primer
Melalui inhalasi: aerosol dari hewan yang terinfeksi akan terhirup oleh
hewan yang peka partikel virus akan masuk ke dalam faring kemudian virus
berplikasi dalam epitel faring setelah 24-72 jam berikutnya akan terjadi viremia
terjadi kenaikan suhu tubuh hewan akan mengalami demam akhirnya
demam akan turun fase viremia berakhir terjadi lepuh-lepuh pada lidah/
gingiva sapi.

Sekunder
Melalui makanan yang tercemar, vaksinasi yang tercemar dan inseminasi
yang tercemar.
- Virus dapat bertahan hidup dalam faring selama 2 tahun (sapi) dan 6 bulan
(kambing dan domba).

Selain itu Penularan lainnya adalah :


1. Kontak dengan hewan yang sakit baik melalui sekresi ataupun ekskresi.
2. Dapat ditularkan melalui produk asal ternak seperti air susu dan daging.

Penularan dapat juga terjadi akibat lalu lintas barang/bahan yang tercemar
virus PMK seperti sepatu, kendaraan dan pakaian.

Melalui angin dapat menularkan penyakit ke kawasan yang luas.


Jalur utama infeksi pada ruminansia adalah melalui penghirupan (secara
aerosol) tetapi konsumsi pakan yang terinfeksi, inokulasi dengan vaksin yang
tercemar, inseminasi dengan semen yang tercemar dan kontak dengan peralatan

11
ternak yang tercemar semuanya dapat menimbulkan infeksi. Pada hewan yang
terinfeksi melalui saluran pernafasan, replikasi awal virus berlangsung pada faring,
diikuti oleh viremia yang menyebar ke jaringan dan organ yang lain sebelum
mulainya penyakit klinis.

Pengeluaran virus mulai sekitar 24 jam sebelum mulainya penyakit klinis


dan berlangsung selama beberapa hari. Virus PMK dapat tinggal dalam faring
beberapa jenis hewan sampai beberapa lama setelah sembuh. Pada sapi virus dapat
dideteksi sampai 2 tahun setelah terinfeksi, pada domba sampai sekitar 6 bulan.
Kemenetapan virus tidak terjadi pada babi. Uap air yang dikeluarkan oleh hewan
yang terinfeksi mengandung sejumlah besar virus, khusunya yang dihasilkan oleh
babi. Sejumlah besar virus juga dikeluarkan dalam susu(Fenner, 2011)

Virus PMK dapat tinggal dalam farings beberapa jenis hewan sampai
beberapa lama setelah sembuh. Pada sapi, virus dapat dideteksi sampai dua tahun
setelah terinfeksi, pada domba sekitar 6 bulan. Namun pada domba tidak terjadi
kemenetapan virus.

Virus bersifat stabil dalam lingkungan terbuka untuk jangka waktu


yang lama, yang kemudian disebarkan secara aerosol, terutama bila kelembaban
udara melebihi 70% dan suhu udara yang dingin. Virus bersifat peka terhadap alkali
maupun asam

Penyakit ini dibagi menjadi 3 macam bentuk : bentuk


dermostomatitis yang tenang (benigna), bentuk interrmediate toxic dengan penyakit
yang lebih berat, dan bentuk ganas (malignant) dengan perubahan pada otot janung
dan sklelet.(Subronto, 2003)

Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui inhalasi, virus dapat masuk ke


jaringan melalui ingesti, inseminasi dan inokulasi dan melalui kontak dengan kulit
luka yang terbuka. Replikasi virus utama, setelah inhalasi berada di mukosa dan
jaringan limfatik di faring.

12
Viremia terjadi pada multiplikasi utama dengan replikasi virus lebih lanjut
pada nodus limpatikus, glandula mamae, dan organ lain seperti sel epithelial pada
mulut, moncong, putting susu, celah interdigitalis dan coronary band. Pada daerah
tersebut pembentukan vesikula dihasilkan dari bengkak dan rupturnya keratinosit
pada stratum spinosum (Quinn,2002).

Perubahan histopatologi yang dapat diamati adalah adanya edema inter dan
intraseluler pada sratum spinosum. Namun, jika vesikula sudah pecah, maka semua
penyakit vesikuler memiliki gambaran mikroskopi yang mirip sehingga tidak
memungkinkan untuk mendiagnosa penyakit PMK hanya bedasarkan gambaran
mikroskopi. Virus PMK tidak membentuk viral inclusion bodys (Ressang,1984).

Perubahan patologis yang terjadi adalah pembantukan lepuh dan kadang


terdapat radang kataral dari mulut, tekak, dan saluran udara. Lepuh dan ulser
mungkin terbentuk di dalam pangkal tekak, kerongkongan, rumen, reticulum,
omasum, usus, dan bronchi,. Dalam keadaan yang lebih berat, dapat terjadi
gastroenteritis yang disertai perdarahan kecil dan ulserasi.

Kelenjar limferegional dan limpa juga dapat mengalami pembesaran, di


sampning perdarahan pada otot jantung jantung. Perubahan histologik di dalam
jantung meliputi degenerasi serabut otot serta adanya infiltrasi sel kecil bulat pada
jaringan interstisial.

Pada saat vesikel terbentuk epitel di atasnya mengalami nekrosis dan vesikel
kemudian pecah dalam waktu lebih kurang 24 jam. Virus dapat ditemukan di
ambing kira-kira 2-4 hari setelah inokulasi. Virus tersebut dapat ditemukan dalam
sel-sel yang menghasilkan susu. Ada 4 cara pembebasan virus dari sel yang tertular
yaitu, pembebasan virus ke dalam vesikel yang berdinding, pembebasan ikatan
dengan kasein dalam lumen, pembebasan dengan butir-butir lemak, dan
pembebasan melalui pelarutan dari sel-sel yang tertular (Subronto, 2003).

13
Penyakit ini dibagi menjadi 3 macam bentuk:
Bentuk dermostomatitis yang tenang (benigna)
Bentuk inrmadiate toxic dengan penyakit yang lebih berat
Bentuk ganas (malignant) dengan perubahan pada otot janung dan sklelet.

2.6.5 Faktor Inang


Hewan yang peka terhadap virus ini adalah hewan berkuku genap. Hewan
yang sering terkena adalah jenis ruminansia (sapi, kambing, kerbau, domba dan
rusa), babi serta hewan liar lainnya yang berkuku genap. Pada sapi dan kerbau
hewan dapat berperan sebagai karier selama 2 tahun. Domba dan kambing dapat
juga menjadi karier namun hanya selama 9 minggu. Sedangkan babi merupakan
amplifier host.

Virus PMK tidak memandang umur, hewan muda ataupun tua dapat
terjangkit penyakit ini. Namun lebih fatal akibatnya pada hewan yang lebih muda,
hal ini karena respon imun pada hewan muda belum sesempurna hewan dewasa.
Pada hewan yang lebih gemuk gejala yang timbul lebih hebat, akibatnyapun lebih
fatal. Penyakit PMK bersifat zoonosis, namun pada manusia hanya sebagai karier.

Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa babi memproduksi virus jauh lebih
banyak dari pada sapi ataupun domba. Babi memproduksi virus PMK sebanyak 108
perharinya.

2.6.6 Faktor Lingkungan


Kasus pertamakali di Indonesia dilaporkan pada tahun 1887 pada sapi perah
di Malang, Jawa timur dan menyebar ke berbagai daerah seperti Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan. Pada tahun 1986 Indonesia menyatakan bebas PMK. Hal ini diakui
di lingkungan ASEAN sejak 1987 dan diakui secara internasional oleh organisasi
Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties-OIE) sejak 1990.

Pada tahun 2001 terjadi wabah PMK di Inggris dan Irlandia Utara dan
akhirnya menyebar dengan cepat hampir ke seluruh daratan Eropa. (Kompas, Rabu,

14
21 Maret 2001 (Halaman 32). Kasus ini membuktikan virus dapat bertahan lama
pada lingkungan.

Faktor pertama yang menyebabkan adanya wabah PMK adalah adanya


import sapi ataupun daging sapi dari suatu negara ke negara lainnya. Penularan
virus PMK sangat sulit sekali untuk dihentikan, karena virus dapat terbawa sampai
beberapa mil jauhnya oleh angin, orang, atau kendaraan. Pada kelembaban relatif
>60%, maka virus PMK dapat terbawa terbang oleh udara atau angin melewati
daratan sampai sejauh 60 km dan melewati lautan sampai sejauh 250 km.

Pada kasus ini faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran virus adalah
angin, virus dapat dibawa oleh angin kemudian angin akan dihirup oleh hewan lain.
Hewan yang jauh letaknya dari tempat pertama kali virus berada akan terkena
dampaknya juga.

Sekali timbul wabah PMK di suatu daerah/negara tertentu, maka penyakit


ini biasanya menyebar bagaikan api yang menjalar secara liar melalui kelompok
domba, sapi, kambing dan babi. Masa inkubasi penyakit ini bisa berlangsung 24
jam sampai paling lama 2 minggu.

Rencana import daging juga mempengaruhi penyebaran dari PMK ini,


karena daging atau produk asal hewan dapat menularkan ke hewan lainnya ataupun
ke manusia. Manusia bertindak sebagai carrier atau pembawa penyakit ini.
Seseorang yang baru saja mengunjungi peternakan tertular, akan membawa virus
PMK di sepatu atau pakaiannya, dan virus tersebut mampu bertahan sampai selama
914minggu.

Hal inilah yang menyebabkan pada kejadian wabah di Inggris, ribuan peternak dan
keluarganya terpaksa tinggal di rumah dan tidak dapat meninggalkan areal rumah
tinggalnya sebagai upaya pihak berwenang yang hampir putus asa untuk mencoba
menahan ancaman wabah untuk tidak semakin meluas.

2.6.7Gejala Klinis Pada Hewan Terinfeksi

15
Gejala umum berupa hipersalivasi (saliva tampak seperti tergantung),
anoreksia, enggan berdiri, berat badan menurun, produksi susu menurun, lesu,
pincang dan hewan terlihat depresi. Hewan pincang dan enggan berdiri disebabkan
karena adanya luka pada kuku dan kakinya. Sedangkan pada kasus hipersalivasi
dan anoreksia disebabkan karena lepuh pada lidah dan gusinya.

Masa inkubasi antara 2 7 hari, ada juga yang menyebutkan 3 11 hari.


Tergantung strain virus, dosis infektif dan rute penularannya. Sapi biasanya 3-5
hari, sedangkan pada babi antara 4-9 hari.

Suhu tubuh tinggi mencapai 41oC. Suhu tubuh meningkat dan akan terlihat
jelas pada sapi yang masih muda. Kenaikan ini akibat dari fase viremia dari virus
picornavirus. Dan biasanya suhu tersebut akan turun setelah terbentuknya lepuh-
lepuh.

Tanda klinis khusus penyakit ini adalah adanya lepuh-lepuh berupa


penonjolan berisi cairan bening hingga kuning keruh, kemerahan (cairan limfe) dan
dapat dengan mudah terkelupas. Lepuh ini sering ditemukan pada bagian lidah,
bibir, mucosa pipi, gusi, langit-langit mulut, ujung kaki, teracak dan ambing pada
hewan betina. Lepuh pada awalnya berukuran kecil berwarna putih dan berisi
cairan, tetapi kemudian berkembang secara cepat sampai mencapai ukuran sekitar
3 cm.

Seringkali lepuh tersebut menyatu menjadi lebih besar. Lepuh primer mulai
terlihat 1-5 hari setelah infeksi serta luka pada kaki. Lepuh yang ditemukan pada

16
ambing akan menyebabkan produksi susu turun dan kadang dapat menyebabkan
keguguran.

Pada tracak biasanya lepuh terjadi bersamaan dengan proses yang terjadi
didalam mulut. Lepuh yang terjadi menyebabkan rasa sakit atau nyeri pada hewan
yang menderita, sehingga menyebabkan hewan tersebut malas bergerak dan hanya
mau berbaring. Kesembuhan dari lesi yang tidak mengalami komplikasi akan
berlangsung dengan cepat berkisar antara 1-2 minggu, namun apabila ada infeksi
skunder maka kesembuhan akan tertunda.

2.6.8 Gejala pada sapi


Pyrexia (demam) mencapai 41C, anorexia (tidak nafsu makan), menggigil,
penurunan produksi susu yang drastis pada sapi perah untuk 2-3 hari,
kemudian. Menggosokkan bibir, menggeretakkan gigi, leleran mulut, suka
menendangkan kaki: disebabkan oleh vesikula (lepuh) pada membrane mukosa
hidung dan bukal serta antara kuku
Setelah 24 jam: vesikula tersebut rupture/pecah setelah terjadi
erosi Vesikula bisa juga terjadi pada kelenjar susu. Proses penyembuhan umumnya
terjadi antara 8 15 hari.

Komplikasi: erosi di lidah, superinfeksi dari lesi, mastitis dan penurunan


produksi susu permanen, myocarditis, abotus kematian pada hewan muda,
kehilangan berat badan permanen, kehilangan kontrol panas.

17
Pada Domba dan Kambing

Lesi kurang terlihat, atau lesi pada kaki bisa juga tidak terlihat. Lesi pada
sekitar gigi domba, kematian pada hewan muda.

2.6.9 Pada Babi


Kemungkinan bisa timbul beberapa lesi kaki ketika dikandangkan pada alas
permukaan yang keras. Kematian yang sering terjadi pada anak babi. Lesi/
kerusakan jaringan berupa:

Vesikula atau lepuh pada lidah, sela gigi, gusi, pipi, pallatum molle dan
pallatum durum (langit-langit mulut), bibir, nostril, moncong, cincin
koroner, puting, ambing, moncong, ujung kuku, sela antar kuku.

18
Lesi yang ditemukan setelah hewan mati pada dinding rumen, lesi di
miokardium, sebagian hewan muda (disebut juga tiger heart).

2.6.10 Pada manusia


Penyakit ini hampir selalu bersifat subklinis, tetapi virus dapat bertahan di
farings dan tonsil sampai dua minggu. Mungkin terdapat demam dengan vesikel
pada bibir, mulut, kaki, dan tangan untuk beberapa hari.

2.7 Diferensial Diagnosa


Diferensial diagnose atau diagnose banding dari penyakit mulut dan kuku antara
lain

Vesicular stomatitis
Exanthema vesicular pada babi
Swine vesicular disease (SVD)
Penyakit sampar pada sapi
Bovine Viral Diarrhea Virus - Mucosal Disease (BVDV-MD)
Jembrana
Pada kambing dan domba : penyakit virus contagious ecthyma dan orf

2.8 Diagnosa laboratorium


A. Identifikasi agen penyakit:
Isolasi virus: inokulasi dari kelenjar tyroid bangsa sapi, babi dan sel ginjal
domba: inokulasi BHK-21 dan sel 1B-RS: inokulasi pada tikus.
Complement fixation test (CFT)
ELISA

19
2.8.1 Gambar Complement fixation test (CFT)

2.8.2 Gambar ELISA

20
B. Test serologi

ELISA
Tes netralisasi virus

C. Sampel

1 gram jaringan dari kelupasan (bukan) vesikula. Sampel epitel dapat


ditempatkan di media transport dengan pH 7.2 7.4 dan jaga tetap dingin.
Kumpulkan cairan esophagus pharynk sebagai sampel bisa pada suhu
beku < 40?C.

2.9 Pencegahan

A. Pencegahan Dengan Cara Biosekuriti:

1. Perlindungan pada zona bebas dengan membatasi gerakan hewan,


pengawasan lalu lintas dan pelaksanaan surveilans.
2. Pemotongan pada hewan terinfeksi, hewan baru sembuh, dan hewan -
hewan yang kemungkinan kontak dengan agen PMK.
3. Desinfeksi asset dan semua material yang terinfeksi (perlengkapan
kandang, mobil, baju, dll.)
4. Musnahkan bangkai, sampah, dan semua produk hewan pada area yang
terinfeksi.
5. Tindakan karantina.

B. Pencegahan Dengan Cara Medis


Untuk daerah tertular :

1. Vaksin virus aktif yang mengandung adjuvant


2. Kekebalan 6 bulan setelah dua kali pemberian vaksin, sebagian tergantung
pada antigen yang berhubungan antara vaksin dan strain yang sedang
mewabah.

Untuk daerah bebas (Indonesia) :

1. Pengawasan lalu lintas ternak

21
2. Pelarangan pemasukan ternak dari daerah tertular

Pengobatan dan Pengendalian

1. Pemotongan dan pembuangan jaringan tubuh hewan yang terinfeksi.


2. Kaki yang terinfeksi di terapi dengan chloramphenicol atau bisa juga
diberikan larutan cuprisulfat.
3. Injeksi intravena preparat sulfadimidine juga disinyalir efektif terhadap
PMK.
4. Dapat juga diberikan Immunoglobulin IV (IGIV), pada pasien
imunokompromis atau neonatus atau Extracorporeal membrane
oxygenation.
5. Pengobatan simptomatik ; Antiseptik di daerah mulut, analgesik misal
parasetamol, cairan cukup untuk dehidrasi yang disebabkan sulit minum
dan karena demam, pengobatan suportif lainnya (gizi dll). Penyakit ini
adalah self limiting diseases, yaitu dapat sembuh dengan sendirinya,
dalam 7-10 hari.
6. Selama dilakukan pengobatan, hewan yang terserang penyakit harus
dipisahkan dari hewan yang sehat (dikandang karantina terpisah dari
kandang hewan sehat).
7. Hewan tidak terinfeksi harus ditempatkan pada lokasi yang kering dan
dibiarkan bebas jalan-jalan serta diberi pakan cukup untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuhnya.
8. Pada kaki hewan ternak yang sehat diolesi larutan Cuprisulfat 5% setiap
hari selama satu minggu, kemudian setelah itu terapi dilakukan seminggu
sekali sebagai cara yang efektif untuk pencegahan PMK pada ternak sapi.

22
2.10 Pencegahan pada masyarakat

Untuk mengendalikan berbagai penyakit pada hewan dapat dilakukan


vaksinasi , tergantung pada keadaan setempat. Mengendalikan arus lalu lintas
ternak,dalam hal ini pengawasan daging-daging ternak ,seperti tempat pemotongan
daging,pasar dan lain-lain.

Melalui cara sebagai berikut :


1. Daging PMK boleh dijual belikan asalkan dilayukan selama 24 jam
2. Tulang, jeroan, dan kepala : direbus dahulu
3. Kulit : pemanasan dan pengeringan sempurna
4. Air susu : pasteurisasi susu tidak cukup untuk membunuh virus karena virus
dapat berlindung dalam bahan-bahan susu spt: lemak, sisa-sisa sel dsb.nya.

23
3. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. PMK adalah penyakit hewan yang menyerang hewan berkuku genap seperti sapi,
kerbau, kambing, domba, babi dan hewan liar seperti menjangan, lhama, kanguru,
yaks serta
hewan peka lainnya seperti gajah, armadillo dan tikus.
2. Penyakit mulut dan kuku disebabkan oleh enterovirus yang sangat kecil dari
famili Picornaviridae, Genus Aphtovirus.
3. Sumber penular virus PMK adalah semua hewan yang peka terhadap virus PMK,
yakni hewan berkuku genap, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, gajah,
jerapah, dan menjangan. Pada hewan, penularan virus PMK umumnya terjadi
secara kontak dalam kelompok hewan atau per os lewat makanan, minuman, atau
alat-alat yang tercemar virus.
4. Pada manusia penyakit ini hampir selalu bersifat subklinis, tetapi virus dapat
bertahan di farings dan tonsil sampai dua minggu. Mungkin terdapat demam dengan
vesikel pada bibir, mulut, kaki, dan tangan untuk beberapa hari. Pada hewan secara
klinis, tanda-tanda hewan yang terserang PMK adalah lesu/lemah, suhu tubuh
meningkat (dapat mencapai 41oC), hipersalivasi, nafsu makan berkurang, enggan
berdiri, pincang, bobot tubuh berkurang, produksi susu menurun bagi ternak
penghasil susu, dan tingkat kesakitan sampai 100%.
5. Penegakan diagnosis dari penyakit mulut dan kuku didasarkan pada gejala klinis
yang ditimbulkan. Selain itu dilakukan koleksi sampel pada hewan yang menderita
untuk diperiksa dilaboratorium. Sampel isolasi dapat diambil melalui cairan lepuh,
keropeng bekas lepuh, dan sampel darah.
6. Masa Inkubasi pada manusia tidak tentu dan pada hewan dapat berlangsung 1
21 hari tetapi biasanya 3 8 hari.
7. Distribusi penyakit kuku dan mulut sudah tersebar secara luas di berbagai negara
di dunia., seperti Inggris, Korea, Jepang, dan beberapa negara lainnya.
8. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah masuknya binatang dan hasil-
hasilnya dari negara-negara dimana terdapat penyakit tersebut. Vaksinasi binatang

24
yang rentan terhadap penyakit pada daerah perbatasan antara daerah yang terinfeksi
dan yang tidak. Pemusanahan hewan-hewan yang terinfeksi dan yang kontak
dengannya ketika terjadi wabah di daerah yang bukan enzootik.
9. Untuk mengendalikan penyakit ini dapat dilakukan vaksinasi , tergantung pada
keadaan setempat. Mengendalikan arus lalu lintas ternak,dalam hal ini pengawasan
daging-daging ternak ,seperti tempat pemotongan daging,pasar dan lain-lain.
10. Ketika terjadi wabah,maka perlu dilakukan penanggulangan melalui Kebijakan
sebagai berikut.
a. Pengamatan terhadap manusia, hewan berkuku genap
b. Pengobatan terhadap penderita
c. Pemberantasan hewan terinfeksi,seperti mengisolasi,membakar hewan yang mati
d. Perbaikan lingkungan.

3.2.Saran
Penyakit mulut dan kuku merupakan salah satu penyakit zoonosis yang penting
untuk diketahui,dan diberantas,karena penularannya melalui udara(Air Born
Deseases).Dalam penalataksanaan perlu ada lintas sector dari setiap pihak.seperti
depertemement pertanian (dirjen peternakan) selaku pengelola,dinas kesehatan
selaku pengawas ,serta depertement perdagangan selaku pemberi kebijakan
terhadap lalu lintas perdagangan daging.Sehingga penyakit mulut dan kuku tidak
penyebabkan wabah di seluruh dunia,khususnya di Indonesia.

25
Daftar Pustaka

Boediyana, Teguh. 2008. Pernyataan Bersama Penolakan Terhadap Rencana


Pemerintah Membuka Import Daging Dan Import Produk Daging Yang Beresiko.
FPM-PMK.

Dharma, Dewa Made Ngurah dan A.A. Gede Putra. 1997. Penyidikan Penyakit
Hewan. CV Bali Media, Denpasar.

Suseno, P.P 2008. Pengantar Penilaian Risiko (Risk Assessment) Penyakit Mulut dan
Kuku di Indonesia. Australian Biosecurity CRC

Suseno,P.P. 2008. Peran PO[U]SKESWAN dalam Surveilans Klinis Penyakit Eksotik


(Penyakit Mulut dan Kuku). Australian Biosecurity CRC.

26

Anda mungkin juga menyukai