Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENGENDALIAN PENYAKIT TERNAK

“ANTHRAX”

Oleh :

Princa Rizka Ferima NIM: 201610350311019

JURUSAN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas seluruh limpahan nikmat,
rahmat, dan karunia-NYA kepada penulis sehingga makalah Pengendalian
Penyakit Ternak ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini
berjudul “Anthrax” yang saya buat sebagai salah satu tugas mata kuliah
Pengendalian Penyakit Ternak.
Materi makalah ini tentu belum lengkap dan cakupannya masih perlu
diperluas dengan menambah sumber-sumber bacaan lain dari textbook atau bahan
lainnya dari internet. Namun, walaupun belum lengkap, diharapkan makalah ini
bisa digunakan mahasiswa lainnya sebagai tuntunan untuk mencari sumber bacaan
lain dan memperkaya materi kuliah ini dari sumber lainnya.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini
tidak akan terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, untuk itu dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada yang terhormat:
1. drh. Imbang Dwi R., Mkes selaku dosen mata kuliah Pengendalian Penyakit
Ternak yang telah banyak membina kelancaran proses studi.
2. Orang tua yang telah memberi dukungan moral, finansial, sertado’a untuk
kelancaran pembelajaran penulis.
3. Teman-teman sekalian yang telah mendukung dan memberi semangat kepada
penulis.

Malang, 15 Oktober 2021

Penulis
1. Definisi Anthrax

Zoonosis merupakan penyakit yang mempengaruhi populasi hewan


maupun manusia. Zoonosis tidak hanya memberikan dampak pada sistem
kesehatan manusia dan hewan tetapi juga pada kondisi sosialekonomi,
keamanan, dan kesejahteraan masyarakat. Anthrax merupakan salah satu
penyakit zoonosis terabaikan (neglected zoonotic disease) yang masih menjadi
isu global. Anthrax secara umum dapat menginfeksi semua hewan homoioterm
(berdarah panas) termasuk manusia. Anthrax disebabkan bakteri Bacillus
antrachis yang dapat membentuk spora. Spora anthrax dapat bertahan hingga
ratusan tahun di tanah karena relatif tahan pada kondisi lingkungan yang
ekstrim dan sulit dimatikan dengan disinfektan biasa (Sari dan Apriliana,
2020).

Anthrax disebut juga Radang Lympha, Malignant Pustule, Malignant


edema, Woolsorter disease, Rag pickers disease, Charbon. Penyakit anthrax
dapat menginfeksi dari hewan ke manusia melalui kontak dengan lesi, ingesti
atau makan daging hewan terkontaminasi dan inhalasi dari spora B. anthraci
(Clarasinta dan Soleha, 2017). Penyakit anthrax dapat ditemukan di seluruh
dunia, namun kasus anthrax biasanya terjadi di wilayah geografis yang
terbatas. Wabah paling sering terjadi di daerah yang memiliki karakteristik
alkalin, tanah berkapur, lingkungan yang hangat dan memiliki episode periodik
banjir.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian


antraks cukup tinggi. Terdapat 11 propinsi yang dinyatakan sebagai daerah
endemis anthrax meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jambi, dan DI Yogyakarta. Di Indonesia,
anthrax pertama kali dilaporkan tahun 1832 di Kabupaten Kolaka Sulawesi
Tenggara dan setelah itu mulai diberitakan kejadian anthrax di beberapa
wilayah yang lain (Murwani dkk, 2017). Manusia yang tertular penyakit
anthrax secara langsung atau tidak langsung terpapar oleh produk hewan yang
terkontaminasi seperti daging, kulit binatang, tulang, dan bahan lain dari hewan
ternak yang terinfeksi (Gombe et al 2010 dalam Martindah, 2017).

Pada umumnya, penyakit anthrax yang berakibat fatal itu terjadi


apabila orang menghirup bakteri anthrax dalam kadar yang tinggi
saat bakteri berubah menjadi spora. Spora bakteri anthrax ini bisa disebar-
luaskan oleh angin karena ukurannya yang sangat kecil. Spora yang terhirup
kemudian masuk ke paru-paru
dankembali berkembang menjadi bakteri antraks ganas yang mengakibatkan
pendarahan dan rusaknya paru-paru, sehingga korbannya akan meninggal
dalam waktu kira-kira satu minggu.

Anthrax sebetulnya bukan penyakit baru dan sudah diketahui sejak


lama oleh para peternak sapi, kambing dan biri-biri. Khususnya di mana ternak
potong itu tidak divaksinasi, seperti di negara-negara berkembang. Para pekerja
peternakan biasanya terkena penyakit anthrax kulit karena bersentuhan dengan 
hewan-hewan yang sakit. Menurut para pakar kesehatan 95% kasus anthrax
yang diketahui adalah anthrax yang menyerang kulit, dan mudah diobati.

Menurut para pakar kesehatan, spora anthrax baru bisa menimbulkan


bencana kalau masuk ke dalam tubuh manusia dalam jumlah cukup banyak,
yaitu antara 2,500 sampai 50,000 butir spora yang kecil. Apabila terhirup
spora anthrax dalam jumlah cukup banyak, orang tersebut akan sakit seperti
terkena demam influenza. Otot-otot sakit, kemudian demam, yang dilanjutkan
dengan kesulitan bernapas dan akhirnya yang bersangkutan akan mati. Maka
dari itulah bakteri anthrax dalam bentuk spora itu dianggap sebagai bencana
potensial kalau digunakan sebagai senjata pemusnah massal.

2. Sejarah Anthrax
Penyakit anthrax paling sering terjadi pada hewan herbivora akibat
tertelan spora dari tanah. Spora dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang
lama di dalam tanah. Burung gagak dikatakan dapat berperan dalam
penyebaran mikroorganisme ini. Kejadian luar biasa epizootik pada herbivora
pernah terjadi pada tahun 1945 di Iran yang mengakibatkan 1 juta domba mati.
Program vaksinasi pada hewan secara dramatis menurunkan mortalitas pada
hewan peliharaan. Walaupun demikian spora antraks tetap ada dalam tanah
pada beberapa belahan dunia.
Pada manusia terdapat tiga tipe anthrax yaitu: anthrax kulit, anthrax
inhalasi, dan anthrax gastrointestinal. Anthrax inhalasi secara alamiah sangat
jarang terjadi. Di Amerika Serikat dilaporkan 18 kasus antraks inhalasi dari
tahun 1900-1976. Hampir semua kasus terjadi pada pekerja yang mempunyai
risiko tertular anthrax, seperti tempat pemintalan bulu kambing atau wool atau
penyamakan kulit. Tidak ada kasus anthrax inhalasi di Amerika Serikat sejak
tahun 1976. Secara alamiah anthrax kulit merupakan bentuk yang paling sering
terjadi dan diperkirakan terdapat 2000 kasus per tahunnya di seluruh dunia.
Pada umumnya penyakit timbul setelah seseorang terpajan dengan hewan yang
terinfeksi anthrax. Di Amerika Serikat dilaporkan 224 kasus anthrax kulit dari
tahun 1944-1994. Centers for Diseases Control and Prevention (CDC)
melaporkan kejadian anthrax kulit daritahun 1984-1993 hanya tiga orang, dan
satu kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2000. Kejadian luar biasa terjadi di
Zimbabwe pada tahun 1978-1980 yang mengakibatkan 10.000 orang terjangkit
anthrax kulit terutama pada pekerja perkebunan. Kejadian itu terjadi akibat
perang yang menyebabkan terhentinya program vaksinasi, kerusakan
infrastruktur medis dan veteriner. Walaupun jarang terjadi, di Afrika dan Asia
ledakan kasus anthrax gastrointestinal masih sering dilaporkan. Kejadian luar
biasa 24 kasus anthrax gastrointestinal terjadi di Thailand pada tahun 1982.
Kejadian itu terjadi akibat konsumsi daging kerbau yang terkontaminasi dan
proses pemasakan yang tidak sempurna. Kejadian epidemi anthrax pada
manusia berhubungan langsung dengan epizootik pada ternak.

3. Anthrax sebagai Bioterorisme


Pada tahun 1979 di Sverdlovsk bekas Uni Soviet pada fasilitas
mikrobiologi militer terjadi kasus kecelakaan keluarnya aerosol spora anthrax
yang mengakibatkan paling tidak 79 kasus anthrax dan 66 orang meninggal.
Aerosol anthrax tidak berbau, tidak terlihat, dan berpotensi menyebar beberapa
kilometer.
Pada tahun 1970 World Health Organization (WHO) memperkirakan
apabila 50 kg anthrax dijatuhkan pada penduduk urban berjumlah lima juta
orang akan mengkibatkan 250.000 terjangkit anthrax dan 100.000 orang
meninggal. Amerika Serikat pada tahun 1993 memperkirakan 130.000-
3.000.000 orang akan meninggal akibat aerosol spora anthrax seberat 100 kg
yang terbawa angin di Washington DC, dan hal itu setara dengan daya bunuh
bom hidrogen. Dari model ekonomi diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan
sebesar 26.2 milyar dolar tiap 100.000 orang tertular.
Sejak September 2001 tercatat 12 kasus anthrax di Amerika Serikat,
dua kasus inhalasi (satu kasus fatal) terjadi pada pekerja penerbit tabloid di
Boca Raton, Florida, empat kasus inhalasi anthrax (dua kasus fatal) terjadi
pada pekerja pengirim surat di Washington DC, Trenton, New Jersey. Enam
kasus lainnya menderita anthrax kulit. Dari surat kabar dilaporkan 28 orang di
kantor senat terpapar anthrax pada swab nasal.

4. Gejala Penyakit Anthrax


Menurut Winarsih (2018), gejala yang timbul pada ternak adalah suhu
tubuh tinggi, kejang, leher bengkak, terjadi pendarahan pada telinga, hidung,
anus, vagina; hilang nafsu makan, dan lemah otot. Gejala klinis anthrax pada
hewan diawali dengan suhu tubuh tinggi sekitar 41-42 °C, kehilangan nafsu
makan yang mengarah kepada terhentinya produksi susu pada sapi perah,
edema di sekitar leher, hidung, kepala dan scrotum, selain itu hewan terlihat
sempoyongan, gemetar dan kemudian mati. Hewan yang lemah biasanya mati
dalam waktu 1 - 3 hari. Pada babi dan kuda umumnya lebih tahan, gejala
penyakit berjalan secara kronis dan menyebabkan pembengkakan pada daerah
tenggorokan.
Anthrax pada hewan dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut,
subakut sampai dengan kronis. Untuk ruminansia biasanya berbentuk perakut
dan akut. Pada kuda biasanya berbentuk akut, sedangkan anjing, kucing dan
babi biasanya berbentuk subakut sampai dengan kronis. Gejala penyakit pada
bentuk perakut berupa demarn tinggi (42°C), gemetar, susah bernafas, kongesti
mukosa, konvulsi, kolaps dan mati. Darah yang keluar dari lubang kumlah
(anus, hidung, mulut atau vulva) berwarna gelap dan sukar membeku. Bentuk
akut biasanya menunjukan gejala depresi, anoreksia, demam, nafas cepat,
peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa. Pada kuda terjadi
enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dan kematian terjadi dalam waktu 48 -
96 jam . Sedangkan pada bentuk subakut sampai dengan kronis, terlihat adanya
pembengkakan pada lymphoglandula pharyngeal karena kumnn antraks
terlokalisasi di daerah itu (Adji dan Natalia, 2006).
Perakut (sangat cepat) terjadi sangat mendadak dan segera mengikuti
kematian, sesak napas, gemetar, kemudian hewan rebah kadang terdapatgejala
kejang. Pada sapi kambing dan domba mungkin terjadi kematian yang
mendadak tanpa menimbulkan gejala penyakit terlebih dahulu.

5. Cara Penularan dan Penyebaran Penyakit Anthrax


Bacillus anthracis tidak berpindah langsung dan ternak satu ke ternak
yang lain, tapi biasanya masuk ke dalam tubuh ternak bersama makanan,
perkakas kandang atau tanah (rumput). Infeksi tanah inilah yang dianggap
paling pentingdan berbahaya. Spora yang ada di dalam tanah bisa naik ke atas
oleh pengolahan tanah dan hinggap di rumput, yang kemudian dimakan ternak
bersama sporanya. Demikian juga spora itu bisa masuk ke dalam kulit, apabila
hewan itu berada dan tidur di tempat yang tercemar.
Spora ini akan tumbuh dan berbiak dalam jaringan tubuh dan
menyebar keseluruh tubuh mengikuti aliran darah. Ternak penderita penyakit
anthrax dapat menulari ternak lain, melalui cairan (eksudat) yang keluar dan
tubuhnya. Cairan ini kemudian mencemari tanah sekelilingnya dan dapat
menjadi sumber untuk munculnya kembali wabah di masa berikutnya. Cara
penularan lain, bila ternak penderita sampai dipotong maupun bedah atau
kalau sudah mati sempat termakan burung liar pemakan bangkai, sehingga
sporanya dapat mencemari tanah sekitarnya, serta menjadi sulit untuk
menghilangkannya.
Hingga kini, para ahli tetap menyatakan penyebab penularan penyakit
anthrax adalah bakteri Bacillus anthracis. Di lingkungan, bakteri anthrax ini
dalam kondisi tidur dan bersembunyi dalam tanah hingga mampu bertahan
sampai 50-70 tahun. Bakteri yang tergolong bersel satu ini bisa terbangun
kembali dari tidurnya ketika kondisi lingkungan sangat mendukung untuk
menyebarkan penyakit pada hewan dan manusia. Dengan kata lain, spora yang
tinggal dalam tanah itu akan hidup kembali , bila tanah tempat ia tinggal
tergenang air atau datang musim hujan. Bakteri ini akan tumbuh kembali dan
siap menyerang hewan yang ada di sekitarnya.
Dalam satu milimeter darah, setidaknya mengandung satu miliar
bakteri anthrax. Bila bakteri itu berinteraksi dengan oksigen, ia dapat segera
mengubah diri dalam bentuk spora. Bila kondisinya demikian, dipercaya
bakteri ini memiliki daya tahan tubuh yang lebih kebal dari sebelumnya.
Bakteri dalam bentuk spora inilah yang dapat hidup hingga 70 tahun lamanya.

6. Pencegahan Penyakit Anthrax


Cara pencegahan penyakit anthrax adalah dengan menghindari kontak
langsung dengan binatang atau benda-benda yang membawa bakteri penyakit
ini. Ternyata bakteri ini memiliki kemampuan yang unik, jangkitan yang
disebabkan oleh penyakit ini tidak mudah untuk di musnahkan, karena bakteri
ini memiliki kecenderungan untuk merubah bentuknya menjadi spora yang
amat stabil. Saat berubah menjadi spora bakteri ini dapat masuk kedalam tanah
dan mampu bertahan selama lima puluh sampai enam puluh tahun di dalam
tanah.
Uniknya bila tanah tempat ia tinggal tergenang air, kuman ini dapat
tumbuh kembali dan menyerang hewan ataupun manusia yang ada di
sekitamya. Selain itu saat terjadi musim kemarau biasanya ternak akan menarik
rumput sampai ke akarnya, inilah yang membuat penyakit ini akan terus
terulang di daerah yang pernah terkena anthrax. Repotnya lagi bakteri ini dapat
terserap oleh akar tumbuh-tumbuhan, bahkan hingga dapat masuk ke dalam
daun dan buah, hingga mampu menginfeksi tenak maupun manusia yang
mengkonsumsinya. Bahkan serangga, burung, anjing, dan hewan-hewan lain
juga dapat menjadi perantara penularan penyakit ini, apabila telah mengalami
kontak langsung dengan bakteri penyebab penyakit ini .
Namun pencegahan dapat di lakukan dengan cara mencuci tangan
sebelum makan, hindari kontak dengan hewan atau manusia yang sudah
terjangkit anthrax, belilah daging dari rumah potong hewan yang resmi,
masaklah daging dengan sempurna,hindari menyentuh cairan dari luka anthrax,
melaporkan secepat mungkin bila ada masyarakat yang terjangkit anthrax. Bagi
peternak atau pemilik hewan ternak, upayakan untuk menvaksinkan hewan
ternaknya. Dengan pemberian SC, untuk hewan besar 1 ml dan untuk hewan
kecil 0,5 ml. Vaksin ini memiliki daya pengebalannya tinggi berlangsung
selama satu tahun.

7. Pengobatan Penyakit Anthrax


Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus anthrax
inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak
dianjurkan pada antraks kulit. Anthrax kulit dengan gejala sistemik, edema
luas,atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotic intravena.
Walaupun sudah ditangani secara dini dan kuat, prognosis anthrax inhalasi,
gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami resisten
terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti
sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar
kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol,
vankomisin,sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida,
sefazolin,tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi
terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau
siprofloksasin dapat diberikan.
Pada anthrax kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme,
maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari
setelah gejala reda. Oleh karena anthrax inhalasi secara cepat dapat memburuk,
maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan
pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh
karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka
setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena anthrax harus segera diberikan
antibiotik sambil menungguhasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini
belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk
kasus antraks inhalasi, Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan
penisilin, doksisiklin, dansiprofloksasin sebagai antibiotik pilihan.
Untuk hewan yang terjangkit penyakit anthrax dapat dipilih salah satu
dari perlakuansebagai berikut :
 Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30
ml,hewan kecil 10-1 ml)
 Penyuntikan antibiotika
 Penyuntikan kemoterapetika
 Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan
kemoterapetika.Cara penyuntikan antiserum homolog ialah IV atau SC,
sedangkan untuk antiserum heterolog SC. Dua minggu kemudian bila
tidak timbul penyakit, disusul dengan vaksinasi.

8. Pengendalian Penyakit Anthrax


Disamping pengobatan, perlu cara-cara pengendalian khusus untuk
menahan penyakit dan mencegah perluasannya. Seperti dilakukannya Tindakan
mengasingkan hewan -hewan yang menderita anthrax, hewan ternak yang sakit
dilarang disembelih karena ada kemungkinan hewan tersebut terkena penyakit
antrhax, bangkai hewan yang mati karena anthrax harus segera dibinasakan
dengan dibakar habis atau dikubur dalam-dalam, untuk mencegah perluasan
penyakit melalui serangga dipakai obat-obat pembunuh serangga, hewan yang
mati karena anthrax dicegah agar tidak dimakan oleh hewan pemakan bangkai,
dan tindakan sanitasi umum terhadap orang yang kontak dengan hewan
penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan penyakit. Selain itu,
penyembelihan hewan di laksanakan di RPH resmi dibawah pengawasan dokter
hewan dan pelaksanaan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum penyembelihan
(antemortem) yaitu pemeriksaan kesehatan daging, karkas, jeroan dan kepala
setelah penyembelihan (post mortem) oleh dokter hewan atau para medis
kesehatan hewan dibawah pengawasan dokter hewan pun juga perlu di lakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Adji, R. S., & Natalia, L. I. L. Y. (2006). Pengendalian penyakit


antraks: Diagnosis, vaksinasi dan investigasi. Wartazoa, 16, 198-205.
Clarasinta, C., & Soleha, T. U. (2017). Penyakit antraks: ancaman
untuk petani dan peternak. Jurnal Majority, 7(1), 158-163.
Martindah, E. (2017). Faktor Risiko, Sikap, dan Pengetahuan
Masyarakat Peternak dalam Pengendalian Penyakit Antraks. Jakarta: Wartazoa,
27(3), 135-144.
Murwani, S., Qosimah, D., dan Amri, I. A. (2017). Penyakit Bakterial
Pada Ternak Hewan Besar dan Unggas. Malang: UB Press.
Sari, I. Z. R., & Apriliana, S. (2020). Gambaran Umum, Prevalensi, dan
Pencegahan Antraks pada Manusia di Indonesia. BALABA: JURNAL
LITBANG PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
BANJARNEGARA, 135-148.

Winarsih, W. H. (2018). Penyakit ternak yang perlu diwaspadai terkait


keamanan pangan. Cakrawala, 12(2), 208-221.

Anda mungkin juga menyukai