Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK

SUB BAGIAN VIROLOGI


Diagnosa Rabies dengan Metode Fluorescent Antibody Technique(FAT)
Tgl…..Bln….Thn

OLEH
ANITAWATI UMAR, S.KH
NIM C034171018

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KOASISTENSI LABORATORIUM DIAGNOSTIK

Nama kegiatan : Koas Laboratorium Diagnostik bagian Virologi


Tempat : BBVet Maros
Peserta : Anitawati Umar

Makassar, …………….2017
Menyetujui,

Pembimbing Koordinator Laboratorium Diagnostik

(…………………..) (……………………..)

Mengetahui,
Ketua Program PPDH FK Unhas

Nama… ………………………………..
NIP…………………………………….

Tanggal Pengesahan:
Tanggal Ujian :
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Co-Asistensi
Laboratorium Diagnostik Sub Bagian Virologi yang berjudul “Diagnosa Rabies
dengan Metode Fluorescent Antibody Technique(FAT)”dengan tepat waktu.
Laporan ini bertujuan untuk melatih penulis dalam mendiagnosa dan melakukan
pengujian yang tepat untuk kasus rabies.
`Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Pembimbing yang
telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan Tugas ini.Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
baik moral maupun materi.
Penulis menyadari bahwa isi Laporan ini masih jauh dari kata sempurna
mengingat keterbatasan ilmu dan masih kurangnya dukungan pustaka.Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan demi
menyempurnakan laporan ini.

Makassar, Oktober 2017

Penulis
I.PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Rabies merupakan suatu penyakit menular yang menyerang susunan


system syaraf pusat dan disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini biasanya
menyerang hewan berdarah panas dan juga manusia. Hewan yang terserang rabies
biasanya ditandai dengan 3 bentuk gejala klinis yaitu bentuk tenang, galak
(furious) dan tidak khas. Maka dari itu dengan adanya gejala seperti itu,
masyarakat cemas akan bahaya rabies (Damayanti, 2014).
Rabies merupakan penyakit penting di Indonesia karena bisa bersifat fatal
dan menimbulkan kematian. Penyakit rabies tersebar luas di berbagai belahan
dunia, termasuk Indonesia. Menurut data World Health Organization (WHO)
rabies terjadi di 92 negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Hal lain
yang membuat penyakit rabies ini sangat penting adalah kenyataan bahwa selain
bersifat fatal, penyakit ini penyebarannya di Indonesia makin lama cenderung
meluas karena ada pulau yang sebelumnya bebas menjadi tertular (Damayanti,
2009).
Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar di
sebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali oleh Stchorl pada tahun
1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada
kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh
Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh
Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894.
Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar kebeberapa wilayah di
Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953,
Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI
Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah
di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun 1975. Pada
dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke wilayah yang
sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau
Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005,
Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian pulau Bali
dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di
Propinsi Riau tahun 2009 (Anonim, 2015).

I.2 Tujuan
Untuk mengetahui cara mendiagnosa dan metode yang digunakan pada
penyakit rabies
I.3 Masalah
Bagaimana cara mendiagnosa penyakit rabies dan metode apa saja yang
dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit rabies ?
II. TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi
Rabies merupakan penyakit virus zoonosis yang fatal bagi mamalia yang
disebabkan oleh virus Neurotropika dari genus Lyssavirus family Rhabdoviridae.
Di India penyakit ini merupakan penyakit dimana anjing merupakan vector utama
dan terhitung 20.000 kematian manusia pertahun akibat rabies (Pharande, 2017).

Virus rabies bersifat single stranded, termasuk dalam virus RNA tidak
bersegmen dan terbungkus nukleokapsid protein. Diantara nukleocapsid dan
amplop yang berupa membran lipoprotein terdapat matrix protein M dan di
amplop terdapat glycoprotein G yang membentuk spike (Irawan, 2015).

Gambar 1.Komponen virion rabies


Patogenesa
Virus rabies terkandung dalam saliva hewan yang terinfeksi seperti anjing,
kucing, kelelawar dan lain-lainnya. Melalui gigitan hewan yang terinfeksi rabies,
virus akan memiliki jalan untuk masuk dari saliva ke dalam muskulus ditempat
gigitan. Lalu virus akan melakukan replikasi di sel otot sampai dapat memenuhi
jumlah yang cukup untuk mencapai ujung saraf motoris terdekat.
Saat masuk kedalam system saraf, virus akan bergerak secara ascending
dan descending. Infeksi secara ascending adalah virus bergerak ke system saraf
pusat yaitu menuju medulla spinalis kemudian ke otak. Untuk secara descending
dari system saraf pusat ke system saraf perifer kemudian menuju ke organ korteks
adrenal, pancreas dan sel mukosa glandula saliva. Dan apabila hewan yang
terkena rabies menggigit manusia atau hewan lain makan manusia dan hewan
tersebut akan terinfeksi rabies (Irawan, 2015).

Gambar 2. Patogenesis rabies

Gejala Klinis
Gejala klinis untuk hewan yang terinfeksi rabies dapat dibagi menjadi tiga
fase, yaitu prodromal, eksitasi, dan paralisis. Untuk fase prodromal, hewan akan
cenderung ke tempat yang dingin, gelap, menyendiri, berkurangnya reflex kornea,
melebarnya pupil,. Untuk fase eksitasi, hewan akan agresif, menyerang hewan
atau manusia yang dijumpainya dan akan terjadi hipersalivasi. Untuk fase
paralisis, hewan akan kesulitan menelan, sempoyongan, lumpuh dan pada
akhirnya akan mengalami kematian (Irawan, 2015).

Anjing akan mudah terkejut, mudah berontak bila diprovokasi, suka


menggigit apa saja tanpa provokasi, beringas, menyerang manusia, air liur banyak
keluar, ekor dilengkungkan ke bawah perut, kejang-kejang lalu menjadi lumpuh.
Kematian umumnya disebabkan kelumpuhan pernapasan dalam 7-10 hari setelah
gejala prodromal (Purnamasari, 2016).

Patologi Anatomi dan Histopatologi


Pada hewan pasca mati biasanya tidak ditemukan perubahan yang jelas,
walaupun ditemukan biasanya merupakan efek dari penyakit sekunder dari gejala
syaraf yang ada.Hewan yang positif terkena rabies akan menunjukkan perubahan
mikroskopis pada sistem saraf pusat antara lain meningoensefalitis non supuratif
ringan, degenerasi neuron, perivascular cuffing bersifat limfoid dan
ganglioneuritis dengan perubahan morfologi pada neuron yang terinfeksi. Ciri
khas infeksi virus rabies yaitu ditemukannya negri bodies (badan inklusi
intrasitoplasma) pada sistem saraf pusat dan ganglion perifer. Negri bodies banyak
ditemukan pada daerah hipokampus otak.Negri bodies merupakan agregasi dari
untaian nukleokapsid dengan ukuran 1 - 27µ yang berubah bentuk secara cepat
membentuk matrik granular, berbentuk bulat, segitiga ataupun lonjong yang
semakin lama semakin membesar. Setiap sel glia dan neuron dapat mengandung
negri bodies (Rahmadani, 2012). Menurut Subronto (2010), pada pemeriksaan
makroskopis akan ditemukan otak hewan yang mengalami hiperemi dan oedema
pada piameter.

Diagnosis
Diagnosa rabies dapat dilakukan antemortem dan postmortem.Diagnosa
antemortem dilakukan dengan deteksi antigen (ELISA, direct fluorescent
antibody/DFA), kultur sel, dan deteksi protein virus/RNA
(PCR/Histopatologi).PCR dapat dilakukan dengan megambil sampel cairan
serebrospinal, air liur, biopsy kulit, sekresi air mata, sekret pernafasan.Isolai virus
merupakan metode yang ideal tetapi membutuhkan waktu yang lama.Diagnosis
postmortem ditegakkan dengan menemukan badan inklusi (negri bodies) secara
mikroskopik pada jaringan otak dengan pewarnaan Seller, FAT maupun
histopatologi (Purnamasari dan Kadek, 2017).
Metode Fluoroscent antibody technique (FAT) merupakan metode yang
direkomendasikan oleh WHO dan OIE sebagai metode paling umum digunakan
untuk mendiagnosa rabies karena metode ini sangat sensitive, spesifik dan murah
(OIE Terestrial Manual, 2013).Prinsip pengujian ini adalah mengidentifikasi
adanya protein virus rabies pada jaringan hewan yang terinfeksi.Sampel yang diuji
dapat berupa cairan tubuh ataupun otak.Namun, pengambilan sampel paling ideal
yaitu otak karena virus rabies banyak ditemukan pada jaringan syaraf. Antigen
dari virus rabies akan berinteraksi dengan antibodi yang telah dilabel dengan
fluorescein isothiocyanate (FITC). Apabila antibodi tersebut diinkubasi dengan jaringan
otak hewan yang dicurigai terkena rabies, maka akan terjadi ikatan dengan antigen/virus
rabies. Ikatan tersebut akan terlihat berwarna hijau (fluorescent apple-green) dibawah
mikroskop khusus fluorescent (Utami dan Bambang, 2010).Hasil positif FAT Rabies
dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3. Positif FAT Rabies


Diagnosa Banding
Penyakit yang sering dikelirukan dengan rabies dapat dilihat dari gejala
klinis yang nampak pada sistem saraf pusat seperti penyakit Distemper,
babesiosis, keracunan logam berat ataupun BSE pada sapi (Animal Health
Australia, 2011).

Pengobatan dan Pencegahan


Sampai saat ini belum ada pengobatan untuk kasus rabies.Hal yang
dilakukan adalah pencegahan dengan melakukan vaksinasi pada hewan yang
rentan terkena rabies.Vaksinasi pada anjing dapat dimulai dilakukan pada umur 3-
4 bulan dan diberi booster saat berumur 12 bulan. Untuk penderita yang terkena
gigitan hewan yang dicurigai rabies, segera cuci tangan dengan air mengalir
memakai sabun atau detergen selama 10-15 menit, beri antiseptik pada luka
gigitan, lalu dilakukan penanganan selanjutnya di Puskesmas ataupun Rumah
Sakit setempat untuk diberikan suntikan vaksin anti rabies (VAR) (Subronto,
2010).
III. MATERI DAN METODE

Alat Bahan
- Gelas slide - Sampel suspect rabies
- Scalpel (hipokampus)
- Pinset - Larutan PBS (Phospat Buffer
- Mikroskop FAT Salin)
- Inkubator - Larutan mounting
- Pipet - Larutan konjugat FITC
(Fluorescentisothiocyanate)
- Larutan aseton
- Alkohol

Metode
- Ambil bagian jaringan otak (hipokampus, cerebellum, medulla oblongata
atau korteks. Potong melintang bagian ketebalan otak ± 0,5cm lalu buat
preparat sentuh bagian tersebut pada gelas slide (spesimen segar). Untuk
spesimen dalam gliserin, spesimen dicuci sebanyak tiga kali menggunakan
PBS lalu dibuat preparat sentuh.
- Masukkan sediaan ke dalam larutan aseton selama 20 menit.
- Angkat dari aseton lalu biarkan kering pada suhu kamar lalu diteteskan
konjugat FAT (1 tetes) kemudian ratakan.
- Letakkan gelas slide pada petridis yang dialasi dengan tissue basah
- Inkubasi di dalam inkubator pada suhu 37oC selama 30 menit.
- Bilas sediaan menggunakan larutan PBS
- Keringkan pada suhu ruang selama 15 menit dan teteskan larutan
mounting (1 tetes) pada sediaan ulas lalu tempelkan cover glass.
- Tempatkan slide pada mikroskop FAT dan amati perubahan yang
ditemukan
IV. HASIL
Anamnesa
Nomor Epi 07171114
Jenis Hewan Anjing
Umur 6 bulan
Jenis Kelamin -

Pemilik Mr x
Alamat ...
Kel/Lembang ...
Kecamatan ...

Yang digigit Mrs X


Umur 75 tahun
Jenis Kelamin Perempuan
Alamat ...
Kel/Lembang ...
Kecamatan ...
Tempat/lokasi gigitan Betis kiri
Riwayat gigitan Korban bertamu lalu digigit

Tanggal Kejadian 26 September 2017


Tanggal dibunuh 29 September 2017
Pengambilan Spesimen 29 September 2017
Bahan Pengawet Gliserin dan formalin

Gejala Klinis
Gejala klinis yang terlihat menurut data yaitu anjing terlihat agresif, tidak
tenang dan selalu menggonggong.Anjing selalu ingin menggigit orang sekitar
yang lewat.Menurut pemilik, anjing belum pernah divaksin.
Perubahan Patologi Anatomi
Pada kasus ini, anjing tidak di nekropsi di BBVet Maros sehingga tidak
dapat dilihat hasil patologi anatomi dari anjing tersebut.

Pemeriksaan Lab
Sampel di uji dengan menggunakan metode FAT (uji gold standar yang
direkomendasikan oleh WHO) di bawah mikroskop fluorescent.Pada hasil uji
tidak ditemukan adanya antigen (negri bodies) yang berwarna hijau apel dengan
latar belakang gelap apabila menggunakan konjugat FITC. Hasil pengujian
dibawah mikroskop dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 4. Negatif FAT

V. PEMBAHASAN

Pada hari Rabu, 4 Oktober 2017 dilakukan pemeriksaan suspect rabies


pada sampel hipokampus seekor anjing yang didatangkan dari suatu Kabupaten di
Sulawesi Selatan akibat adanya laporan dari warga yang telah digigit saat sedang
bertamu. Anjing tersebut menunjukkan gejala seperti penyakit rabies diantaranya
anjing terlihat agresif, tidak tenang dan selalu ingin menggigit.Anjing tersebut
kemudian di euthanasia lalu diambil bagian kepalanya (hipokampus) untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Menurut Utami dan Bambang (2010), otak
merupakan sampel yang paling ideal untuk uji antigen rabies karena karena virus
rabies dapat ditemukan pada jaringan syaraf. Ditambahkan bahwa hewan yang
mati akibat rabies sebesar 75-90% kemungkinan dapat ditemukan adanya negri
bodies pada hipokampus.
Sampel hipokampus suspect rabies diawetkan di dalam gliserin kemudian
dibawa ke BBVet Maros untuk dilakukan pengujian lebih lanjut dengan metode
FAT sesuai dengan standar OIE Terrestrial Mannual (2013).Metode FAT
dilakukan untuk mengidentifikasi protein virus pada jaringan hewan
terinfeksi.Sampel yang telah diawetkan dalam gliserin kemudian dicuci sebanyak
tiga kali menggunakan PBS lalu dibuat preparat sentuh.Sampel kemudian
direndam di dalam aseton selama 20 menit lalu ditetesi konjugat FITC. Konjugat
FITC yang sudah dilabeli dengan antibodi nantinya akan berikatan dengan antigen
virus rabies. Setelah ditetesi konjugat, sampel kemudian diinkubasi pada suhu
37oC selama 30 menit lalu dibilas dengan PBS. Sampel kemudian dikeringkan
pada suhu ruang selama 15 menit lalu diperiksa di bawah mikroskop Fluorescent.
Menurut Hosseini dan Asgari (2015), ketika konjugat yang telah dilabeli
dengan antibodi diinkubasi dengan otak anjing suspect rabies akan menghasilkan
ikatan antigen rabies dan area antigen tesebut akan divisualisasikan dengan warna
hijau apel yang menunjukkan negri. Negri bodies tersebut menandakan adanya
hasil positif rabies pada jaringan yang diperiksa.Namun pada hasil pemeriksaan
yang dilakukan pada sampel di BBVet Maros, tidak ditemukan adanya negri
bodies berwarna hijau apel (negative rabies).
Hasil negative yang diperoleh dapat diakibatkan oleh negri bodies yang
belum terlihat banyak pada awal infeksi sehingga tidak terdeteksi saat dilakukan
pemeriksaan di bawah mikroskop (Utami dan Bambang, 2010) atau akibat
kekeliruan warga setempat yang menganggap anjing agresif yang menggigit
tersebut terkena rabies mengingat daerah tersebut merupakan daerah endemik
rabies.Menurut Hosseini dan Asgari (2015), diagnosa rabies dapat sulit dilakukan
karena pada fase awal, gejala rabies kadang dikelirukan dengan penyakit lainnya
dan atau sifat agresif dari hewan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan

Pada hasil pemeriksaan Lab kasus suspect rabies dengan menggunakan


metode FAT tidak ditemukan adanya negri bodies berwarna hijau apel yang
menandakan hasil negatif rabies. Hasil negatif yang diperoleh dapat diakibatkan
oleh negri bodies yang belum terlihat banyak pada awal infeksi sehingga tidak
terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop atau akibat kekeliruan
warga setempat yang menganggap anjing agresif yang menggigit tersebut terkena
rabies mengingat daerah tersebut merupakan daerah endemik rabies.

VI.2 Saran

VII. DAFTAR PUSTAKA

VIII. DOKUMENTASI KASUS

Anda mungkin juga menyukai