Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

VARISELA

PENYUSUN :
Sumita Dewi
20360118
PEMBIMBING :
dr. Sevina Marisya Sp. A

KEPANITRAAN KLINIK PENYAKIT ANAK


RUMAH SAKIT RSUD HAJI MEDAN 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya,

penulisan referat “Varisela” ini dapat diselesaikan. Makalah ini diajukan untuk melengkapi

tugas kepanitraan klinik senior Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Malahayati.

Di dalam makalah ini dipaparkan informasi mengenai definisi Varisela sampai

bagaimana menangani seseorang yang menderita Varisela tersebut sebagai materi khusus

di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Malahayati.

Akhir kata, apabila penulisan referat ini banyak terdapat kesalahan, penulis memohon

maaf. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan referat ini.

Karawang, 25 September 2020

Sumita Dewi

ii
Daftar Isi

KATAPENGANTAR....................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

1.2 Latar Belakang..................................................................................................1

2.2 Tujuan Pembuatan Referat................................................................................1

BAB II.PEMBAHASAN...............................................................................................3

2.1 Definisi ..............................................................................................................3

2.2 Epidemiologi .....................................................................................................4

2.3 Etiologi ..............................................................................................................5

2.4 Patogenesis.........................................................................................................5

2.5 Gambaran Klinis................................................................................................6

2.6 Diagnosis............................................................................................................7

2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................8

2.8 Komplikasi.......................................................................................................10

2.9 Pengobatan.......................................................................................................13

2.10 Pencegahan....................................................................................................15

2.11 Profilaksis Pasca Pajanan...............................................................................17

2.12 Prognosis........................................................................................................18

BAB III. PENUTUP......... .........................................................................................19

3.1 Kesimpulan .....................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Varisela disebabkan oleh virus Herpes varicella atau disebut juga varicella-

zoster virus (VZV). Varisela terkenal dengan nama chickenpox atau cacar air adalah

penyakit primer VZV, yang pada umumnya menyerang anak. Penyakit cacar air

(varicela) mungkin sudah tidak asing lagi dan merupakan penyakit yang mendunia.

Varicela merupakan penyakit menular yang dapat menyerang siapa saja, terutama

mereka yang belum mendapatkan imunisasi (Soedarmo, 2010). Menurut data WHO,

di Amerika Serikat balita yang terserang penyakit varicella (cacar air) per tahun

sekitar 200 ribu orang. Setiap tahun diperkirakan sekitar 25%-45% ibu membawa

anaknya ke rumah sakit untuk berobat karena penyakit vericella dan sekitar 15%

balita mengalami penyakit varicella yang serius. Prevalensi penyakit varicella pada

balita cukup tinggi yaitu sekitar 58 % pada tahun 2010 (WHO, 2014). Sedangkan di

Indonesia berdasarkan data Depkes RI, balita yang terserang penyakit varicella

(cacar air) sekitar 750 ribu orang. Setiap tahun diperkirakan sekitar 35%-40% ibu

melaporkan anaknya untuk mendapatkan vaksin ke rumah sakit karena penyakit

vericella dan sekitar 20% balita mengalami penyakit varicella yang serius. Prevalensi

penyakit varicella pada balita cukup tinggi yaitu sekitar 69 % pada tahun 2010

(Depkes RI, 2010).

1.2 Tujuan Pembuatan Referat

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepanitraan di

Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan agar mahasiswa lebih memahami bagaimana cara

mengenali, menangani, dan mencegah kasus Varisela sehingga dapat

1
2

mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang menderita

Varisela.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Varisela ialah penyakit akut, menular yang ditandai oleh vesikel di kulit dan

selaput lendir yang desebabkan oleh virus varicella (IKA UI, 2007). Varisela

disebabkan oleh virus Herpes varicella atau disebut juga varicella-zoster virus

(VZV). Varisela terkenal dengan nama chickenpox atau cacar air adalah penyakit

primer VZV, yang pada umumnya menyerang anak. Sedangkan herpes zoster atau

shingles merupakan suatu reaktivitasi infeksi endogen pada periode laten VZV,

umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang menderita defisiensi imun

(Soedarmo, 2010). Varicella memberikan gambaran khas munculnya lesi dikulit

yang bersifat makulopapuler, berkembang menjadi vesikel, pustula, dan akhirnya

menjadi krusta atau keropeng (Sinaga, 2018). Varisela merupakan infeksi akut

primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, manifestasi

klinis didahului gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi du

bagian sentral tubuh (Aisyah dan Handoko, 2016).

Gambar 1. Gambaran klinis varisela

3
4

2.2 Epidemiologi

Di negara Barat, kejadian varisela tergantung dari musim (musim dingin dan

awal musim semi). Di Indonesia walaupun belum pernah dilakukan penelitian,

agaknya penyakit virus menyerang pada musim peralihan antara musim panas ke

musim hujan atau sebaliknya. Angka kejadian di negara kita belum pemah diteliti,

tetapi di Amerika dikatakan kira-kira 3,l-3,5 juta kasus dilaporkan tiap tahun.

Varisela sangat mudah menular terutama melalui kontak langsung, droplet

atau aerosol dari lesi vesikuler di kulit ataupun melalui sekret saluran nafas, dan

jarang melalui kontak tidak langsung. Varisela dapat menyerang semua golongan

umur termasuk neonatus, 90% kasus berumur 10 tahun dan terbanyak umur 5-9

tahun. Viremia terjadi pada masa prodromal sehingga transmisi virus dapat terjadi

pada fetus intrauterin atau melalui transfusi darah. Pasien dapat menularkan

penyakit selama 24-48 jam sebelum lesi kulit timbul, sampai semua lesi timbul

krusta/keropeng, biasanya 7-8 hari. Seumur hidup seseorang hanya satu kali

menderita varisela. Serangan kedua mungkin berupa penyebaran ke kulit pada

herpes zoster.

Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan angka kejadian varisela pada anak

yang berobat jalan di Poliklinik bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta.

Tampak varisela terutama terjadi pada kelompok urnur balita dan umur sekolah.

(Soedarmo, 2010).
5

2.3 Etiologi

Varisela disebabkan oleh Herpes virus Varicella atau disebut juga virus

varisela-zoster (V-Z). Virus tersebut dapat pula menyebabkan herpes zoster. Kedua

penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Diperkirakan bahwa

setelah ada kontak dengan virus V-Z akan terjadi varisela; kemudian setelah

penderita varisela tersebut sembuh, mungkin virus tersebut masih ada dalam bentuk

laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan kemudian virus V-Z diaktifasi oleh trauma

sehingga menyebabkan herpes zoster. Virus V-Z dapat ditemukan dalam cairan

vesikel dan dalam darah penderita varisela; dapat dilihat dengan mikroskop elektron

dan dapat diisolasi dengan menggunakan biakan yang terdiri dari fibroblas paru

embrio manusia (IKA UI, 2007).

2.4 Patogenesis

Virusvaricella-zoster merupakan salah satu dari 8 jenis herpesvirus dari

family herpes viridae yang dapat menyerang manusia dan primata, merupakan virus

DNA alfa herpes virus, mempunyai 125.000 pasangan basa yang mengandung 70

gen. Virus ini mempunyai 3 tipe liar (wild type) Dumas di Eropa dan Oka di Jepang

mengumumkan rangkaian genetic virus varisela yang ditelitinya.

Virus VZV masuk tubuh melalui mukosa saluran nafas bagian atas atau

orofaring. Pada lokasi masuknya terjadi replikasi virus yang selanjutnya menyebar

melalui pembuluh darah dan limfe (viremia pertama). Selanjutnya virus berkembang

biak di sel retikuloendotelial. Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi

pertahanan non-spesifik seperti interferon dan respons imun. Satu minggu

kemudian, virus kembali menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke-2) dan pada

saat ini timbul demam dan malaise. Penyebaran ke seluruh tubuh terutama kulit dan
6

mukosa. Lesi kulit muncul tidak bersamaan, sesuai dengan siklus viremia. Pada

keadaan normal, siklus ini berakhir setelah 3 hari akibat adanya kekebalan humoral

dan selular spesifik (Soedarmo, 2010). Setelah timbul erupsi kulit dan mukosa, virus

masuk ke ujung saraf sensorik kemudian menjadi laten di ganlion dorsalis posterior.

Pada suatu saat , bila terjadi reaktif virus V-Z dapat terjadi manifestasi herpes zoster,

sesuai dermatom yang terkena (Aisyah dan Handoko, 2016). Timbulnya pneumonia

varisela dan penyulit lainnya disebabkan kegagalan respons imun mengatasi

replikasi dan penyebaran virus (Soedarmo, 2010).

2.5 Gambaran Klinis

1. Stadium Prodromal

Gejala prodromal timbul setelah 14-15 hari masa inkubasi, dengan timbulnya

ruam kulit disertai demam yang tidak begitu tinggi serta malaise. Pada anak lebih

besar besar dan dewasa ruam didahului oleh demam selama 2-3 hari sebelumnya,

menggigil, malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri punggung, dan pada beberapa

kasus nyeri tenggorok dan batuk.

2. Stadium Erupsi

Ruam kulit muncul di muka dan kulit kepala, dengan cepat menyebar ke badan

dan ekstrernitas. Ruam lebih jelas pada bagian badan yang tertutup dan jarang

ditemukan pada telapak kaki dan tangan. Penyebaran lesi varisela bersifat

sentrifugal. Gambaran yang menonjol adalah perubahan yang cepat dari makula

kemerahan ke papula, vesikula, pustula dan akhirnya menjadi krusta. Perubahan

ini hanya terjadi dalam waktu 8-12 jam. Gambaran vesikel khas, superfisial,

dinding tipis dan terlihat seperti tetesan air. Penampang 2-3 rnm berbentuk elips

dengan sumbu sejajar garis lipatan kulit. Cairan vesikel pada permulaan jernih,
7

dan dengan cepat menjadi keruh akibat serbukan sel radang dan menjadi pustula.

Lesi kemudian mengering yang dimulai dari bagian tengah dan akhirnya terbentuk

krusta. Krusta akan lepas dalam waktu 1-3 minggu bergantung kepada dalamnya

kelainan kulit. Bekasnya akan membentuk cekungan dangkal berwarna merah

muda dan kemudian berangsur-angsur hilang. Apabila terdapat penyulit berupa

infeksi sekunder dapat terjadi jaringan parut.

Vesikel juga dapat tirnbul pada mukosa mulut terutama pada palatum. Vesikel ini

dengan cepat pecah sehingga luput dari pemeriksaan, bekasnya masih dapat terlihat

berupa ulkus dangkal dengan diameter 2-3 mm. Lesi kulit terbatas terjadi pada

lapisan epidermis sehingga tidak menembus membran basal kulit, sehingga tidak

menimbulkan bekas. Jaringan parut yang menetap terjadi sebagai akibat infeksi

sekunder (lesi menembus membran basalis kulit). Vesikel juga dapat timbul pada

mukosa hidung, faring, laring, trakea, saluran cerna, saluran kemih, vagina dan

konjuntiva. Gambaran lain dari lesi varisela adalah terdapatnya semua tingkatan lesi

kulit dalam waktu bersamaan pada satu area. Pada kasus yang khas dan berat suhu

badan dapat mencapai 39-40,5 C. Apabila demam berlanjut mungkin telah terjadi

infeksi bakteri sekunder atau penyulit lain. Keluhan yang paling menonjol adalah

perasaan gatal selama fase erupsi, sehingga dapat dijumpai lesi bekas garukan

(Soedarmo, 2010).

2.6 Diagnosis

Diagnosis varisela dapat ditegakkan secara klinis dengan gambaran dan

perkembangan lesi kulit yang khas, terutama apabila diketahui ada kontak 2-3

minggu sebelumnya. Gambaran khas terrnasuk (1). Muncul setelah masa prodromal

yang singkat dan ringan, (2) Lesi berkelompok terutama di bagian sentral, (3)
8

Perubahan lesi yang cepat dari makula, vesikula, pustula sampai krusta, (4)

Terdapatnya semua tingkat lesi kulit dalam waktu bersamaan pada daerah yang

sama, (5) Terdapat lesi mukosa mulut.

Umumnnya pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan lagi. Pada tiga hari

pertama dapat terjadi leukopenia yang diikuti dengan leukositosis. Serum antibody

IgA dan IgM dapat terdeteksi pada hari pertama dm kedua pasca ruam. Untuk

mengkonfirmasi diagnosis varisela dapat dengan pewarnaan imunohistokirniawi

dari lesi kulit. Prosedur ini umumnya dilakukan pada pasien risiko tinggi yang

memerlukan konfirmasi cepat. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan di

antaranya isolasi virus (3-5 hari), PCR, ELISA, thenik imunofluoresensi

Fluorosecent Antibody to Membrane Antigen (FAMA), yang merupakan baku

emasnya.

Pemeriksaan Rontgen thoraks dilakukan untuk mengkonfirmasi ataupun

untuk mengeksklusi pneumonia. Gambaran nodul infiltrat difus bilateral umumnya

terjadi pada pneumonia varisela primer sedangkan infiltrat fokal mengindikasikan

pneumonia bacterial sekunder. Pungsi lumbal dapat dilakukan pada anak dengan

kelainan neurologis (Soedarmo, 2010).

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dapat berupa sindrom Stevens Johnson, herpes zoster

generalisata atau herpes simpleks.

1 Sindrom Steven Johnson

Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan serius pada kulit, serta lapisan bola

mata, dalam mulut, dubur, dan alat kelamin. Sindrom Stevens-Johnson tergolong

kondisi yang jarang terjadi, dan muncul akibat reaksi tubuh terhadap obat atau
9

infeksi. Penderita sindrom ini membutuhkan penanganan segera dengan

menjalani rawat inap di rumah sakit, karena berpotensi menyebabkan kematian.

Gejalanya menyerupai gejala flu, yaitu: demam, tubuh terasa Lelah, perih di

mulut dan tenggorokan, mata terasa panas, dan batuk. Kemudian, setelah

beberapa hari akan muncul gejala lanjutan berupa: Luka lepuh di kulit, terutama

di hidung, mata, mulut dan kelamin, ruam dan bercak kemerahan kemerahan

atau keunguan yang menyebar luas di kulit (eritema), kulit mengelupas beberapa

hari setelah luka lepuh terbentuk, kelainan kulit dan mukosa ini menimbulkan

rasa perih. Pada anak-anak, sindrom ini lebih sering dipicu oleh infeksi virus..

2 Herpes zoster generalisata

Herpes zoster kulit generalisata didefinisikan sebagai kehadiran lebih dari 20 lesi

di luar area primer atau beberapa dermatom yang biasanya terjadi dalam waktu

seminggu sejak timbulnya lesi. Hal ini paling sering terlihat pada infeksi HIV,

keganasan, pasien pada obat imunosupresif. Namun, herpes zoster yang

desaminata jarang terjadi pada orang sehat yang tidak menggunakan obat

imunosupresif dan tidak memiliki keganasan yang mendasarinya (Panwar dkk,

1979). Perjalanan penyakit herpes zoster pada penderita imunokompromais

sering rekuren, cenderung kronik persisten, lesi kulitnya lebih berat (terjadi bula

hemoragik, nekrotik, dan sangat nyeri). Tersebar desiminata, dan dapat disertai

dengan keterlibatan organ dalam. Proses penyembuhannya juga berlangsung

lama (Pusponegoro, 2016).

3 Herpes simpleks

Infeksi herpes simpleks terjadi pada mulut dan bibir dan pada mata biasanya

disebabkan oleh virus herpes simpleks serotipe 1 (HSV-1). Bagian lain dari kulit
10

dapat juga terinfeksi, terutama pada pasien defisiensi imun. Infeksi genital

seringkali disebabkan oleh HSV-2 dan juga HSV-1. Terapi infeksi herpes

simpleks sebaiknya dimulai sesegera mungkin dan biasanya dalam 5 hari setelah

infeksinya muncul. Pada orang dengan sistem pertahanan tubuh yang baik,

infeksi ringan pada mata (herpes okular) dan bibir (herpes labialis atau cold

sores) diatasi dengan obat antiviral topikal. Primary herpetic

gingivostomatitis dapat diatasi dengan perubahan pola makanan dan pemberian

analgetik. Infeksi berat, infeksi herpes neonatal atau infeksi pada

individu immunecompromised memerlukan terapi antivirus sistemik. Infeksi

herpes simpleks genital primer atau kambuhan diatasi dengan obat antivirus oral.

Lesi yang muncul kembali atau tidak pernah sembuh menandakan munculnya

resistensi. Infeksi herpes simpleks pada kehamilan memerlukan konsultasi

dokter spesialis

4 Variola

Variola ialah suatu penyakit akut menular dengan gejala umum yang berat, yang

disebabkan oleh virus variola. Demam 2-4 hari sebelum munculnya ruam di

kulit, ruam yang muncul berda pada stage yang sama, perkembangannya lambat,

terutama ditangan dan kaki (ekstremitas), ruam di telapak kaki dan tangan

biasanya ada dan tingkat kematian 1 dari 10 kasus.

2.8 Komplikasi

Pada anak sehat, varisela merupakan penyakit ringan dan jarang

menimbulkan penyulit yang serius. Angka mortalitas pada anak usia 1-14 tahun

tahun diperkirakan 2/100.000 kasus, namun pada neonatus dapat mencapai hingga

30%. Penyulit tersering adalah lnfeksi sekunder bakteri pada lesi kulit yang
11

disebabkan oleh Stafilokokus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A

yang menirnbulkan impetigo, furunkel, selulitis, erisipelas dan jarang ganggren,

Infeksi lokal ini sering menimbulkan jaringan parut. Pneumonia primer akibat

varisela 90% terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak normal. Gejala

muncul 1-6 hari setelah lesi kulit, beratnya kelainan paru mempunyai kolerasi

dengan beratnya erupsi kulit. Infeksi dapat pula bersifat invasif seperti pneumonia,

arthritis, osteomielitis, fascilitis bahkan sepsis. Komplikasi lain dapat pula

menyerang susunan saraf pusat, berupa ataksia serebelar (1/4000 kasus) sampai

dengan meningoensefalitis, meningitis, vaskulitis.

Remaja dan dewasa mempunyai risiko lebih tinggi 25 kah untuk terjadinya

komplikasi. Penyebab komplikasi terbanyak pada dewasa adalah pneumonia.

Muncul pada hari ke1 sampai hari ke-6 setelah timbulnya rum dengan gejala sesak,

takipneu dan demam. Kadang dapat pula gejala dan tanda respiratorik yang muncul

sebelum tmbulnya ruam. Mekanisme dasar terjadinya pneumonia masih belum jelas.

Tetapi diduga akibat rendahnya paparan terhadap virus varisela (seperti di Negara

iklim tropis), jumlah individu pada setiap keluarga yang sedikit, ataupun tingginya

virulensi virus. Faktor lain yang merupakan factor risiko terjadinya pneumonia,

antara-lain: jumlah lesi >loo, perokok, riwayat kontak, kehamilan trimester ketiga.

Varisela pada kehamilan merupakan ancaman bagi ibu maupun janin. Pada janin

dapat terjadi infeksi VZV intrauterin, sehingga terjadi infeksi kongenital. Apabila

terjadi pada permulaan kehamilan (20 rninggu pertama kehamilan) dapat

menimbulkan kira-kira 5% malformasi kongenital seperti hipoplasia salah satu

ekstremitas, parut pada kulit, katarak, korioretinitis, mikrosefali, atrofi korteks

serebri dan bayi berat badan lahir rendah. Jika ibu menderita varisela berat pada
12

periode perinatal (terutama 04 hari pra-persalinan), infeksi dapat mengenai bayi baru

lahir dan menirnbulkan gejala klinis berat bahkan dapat terjadi kematian bayi sekitar

26-30%. saat berbahaya adalah lima hari sebelum dan dua hari setelah melahirkan,

pada saat ini bayi belum mendapat kekebalan pasif transplasenta dari ibu.

Kesakitan dan kematian jelas meningkat pada kasus imunokompromais

termasuk leukemia, penyakit keganasan yang mendapat pengobatan kortikosteroid,

kemoterapi dan terapi sinar Begitu juga pada penderita demam reumatik dan

sindrom nefrotik yang mendapat kortikosteroid, atau kasus defisiensi imun

kongenital. Viremia yang hebat dapat menyerang berbagai organ seperti hati, saraf

pusat dan paru.

Kasus dengan gangguan imun atau yang mendapatkan kortikosteroid dapat

menirnbulkan gejala perdarahan ringan sampai berat dan fatal (purpura maligns).

Penyebab perdarahan mungkin tidak sama pada setiap kasus. Trombositopenia dapat

disebabkan sebagai akibat penyakit dasar, akibat pengobatan, efek langsung VZV

pada sumsum tulang, atau dekstrusi trombosit akibat proses imunologik. Pada kasus

varisela fulminan dan purpura maligna kemungkinan infeksi sel endotel kapiler

menjadi faktor utama. Kerusakan sel endotel ini menyebabkan koagulasi

intravaskular diserninata (disseminated intravascular coagulation = DIC) dan

purpura trombotik.

Penyulit dari infeksi varisela primer yang baru muncul kemudian adalah

herpes zoster. Setelahinfeksi primervarisela, VZV dapat menjadi laten dan berdiam

diganglia saraf sensorik tanpa menimbulkan manifestasi klinis, hingga bila

tereaktivasi akan menyebabkan herpes zoster. Walaupun kejadian herpes zoster

terbanyak terjadi pada orang dewasa, terdapat kemungkinan seorang anak akan
13

menderita herpes zoster di kemudian hari. Penelitian di Amerika melaporkan

20,30,59, dan 63 kasus zoster per 100.000 anak per tahun, berturutturut pada

kelompok umur 0-4, 5-9, 10-14, dan 15-19 tahun. Risiko menderita zoster

meningkat pada kasus imunokompromais dan pada anak yang menderita varisela

pada umur <1 tahu. Kemungkinan peningkatan risiko terjadinya herpes zoster pada

kelompok tersebut disebabkan karena ketidakmampuan sistem imun

mempertahankan periode laten dari virus varisela (Soedarmo, 2010).

2.9 Pengobatan

Pada anak sehat, varisela umumnya ringan dan sembuh sendiri, cukup

diberikan pengobatan simtomatik. Pada lesi kulit lokal dapat diberikan lotio

calamine. Untuk mengurangi rasa gatal dapat dengan kompres dingin, mandi secara

teratur ataupun dengan pemberian antihistamin golongan sedatif hidroksisin dan

difenhidramin. Antipiretik jarang diperlukan. Salisilat tidak dianjurkan karena

berhubungan dengan timbulnya sindrom Reye, sedangkan asetaminofen cenderung

memberikan efek yang berlawanan, tidak meringankan gejala malahan mungkin

memperpanjang masa sakit. Kuku dipotong pendek dan bersihagar supaya tidak te

rjadi infeksi sekunder dan parut bekas garukan. Apabila terjadi lnfeksi bakteri

sekunder diberikan antibiotik. Antibiotik untuk pneumonia varisela tidak

bermanfaat kecuali terdapat superinfeksi bakteri. Kortikosteroid tidak dianjurkan.

Sindrom Reye dicurigai apabila muncul gejala letargi, muntah yang menetap

dan anak tampak bingung. Diagnosis dini serta penanganan yang baik terhadap

peninggian tekanan intrakranial dan hipoglikemia dapat menurunkan angka

kesakitan dan kematian. Pasien dengan penyulit neurologik seperti ataksia serebelar,

ensefalitis, meningoensefalitis, dan mielitis diberikan obat anti virus.


14

Penyulit perdarahan hendaknya diatasi sesuai dengan hasil pemeriksaan

sistem pembekuan dan pemeriksaan sumsurn tulang, akan tetapi karena VZV dapat

menyebabkan kerusakan langsung pada endotel pembuluh darah maka pada varisela

fulrninan terutama apabila vesikel baru timbul maka dapat diberikan obat antivirus.

Pasien dengan risiko tinggi mendapat penyulit seperti leukemia, kelainan

limfoproliferatif, keganasan, defisiensi imun, bayi baru lahir, pengobatan dengan

sitostatik dan kortikosteroid, radioterapi, sindrom nefrotik, penyakit kolagen, obat

antivirus diberikan secepat mungkin. Antivirus yang diberikan adalah asiklovir atau

vidarabin. Asilklovir terbukti efektif menurunkan morbiditas dan mortalitas varisela

pada pasien imunokompromais apabila diberikan dalarn 24 jam sejak onset ruam.

Pada pasien yang sehat, asilklovir terbukti mampu mengurangi lama demam dan

mengurangi jumlah maksimum lesi yang tirnbul, namun tidak mempengaruhi lama

berkurangnya lesi ataupun mengurangi rasa gatal yang timbul. Dosis asiklovir 80

mg/kgBB/hari per oral, terbagi dalam 5 dosis selama 5 hari atau 500 mg/m2,

intravena tiap 8 jam selama 7 hari dan vidarabin 10 mg/kgBB selama 5 hari. Anak

yang mendapat terapi asilklovir disarankan harus mendapat cukup hidrasi karena

asilklovir dapat mengkristal pada tubulus renal bila diberikan pada individu yang

dehidrasi (Soedarmo, 2010).

Pemberian medikamentosa pada kondisi imunokompeten

Neonatus : Asiklovir 500 mg/m2 IV/ 8 jam, dapat diberikan sampai 10 hari

Anak : Simtomatik atau asiklovir 4x20 mg/kgBB/hari, per oral, 5-7 hari

Pubertas : Asiklovir: 5x800 mg/hari, atau Valasiklovir: 3x1 g/hari, atau

Famsiklovir: 3x500 mg/haridiberikan selama 7 hari


15

Pemberian medikamentosa padakondisi imunokompromais

Neonatus : Asiklovir 500 mg/m2 IV/ 8 jam, selama 10 hari

Anak : Ringan:Asiklovir: 5x800 mg/hari, selama 7 hari

Berat : Asiklovir 500 mg/m2 ; atau 10 mg/kgBB/8 jam, IV, selama 7-10 hari

Pubertas : Berat: Asiklovir: 500 mg/m2 ;atau 10 mg/kgBB/8 jam, IV, selama >10hari,

atau Valasiklovir: 3x1 g/hari, atau famsiklovir: 3x500 mg/hari, selama selama

>10 hari

Bila resisten terhadap asiklovir dianjurkan foscarnet 40 mg/IV./8 jam, sampai

sembuh. Pengobatan topical: Secara umum pada fase vesikular diberikan bedak talk,

guna mengurangi rasa gatal dapat ditambahkan mentol 0.25%. Asiklovir topikal

tidak bermanfaat pada pengobatan varisela. Bila terjadi ulkus dangkal atau infeksi

sekunder dapat diberikan krim/salap antibiotik (IDAI, 2013).

2.10 Pencegahan

Semula vaksin varisela yang merupakan vaksin virus hidup yang telah

dilemahkan (live attenuated) hanya diberikan pada anak dengan risiko terjadi

penyulit berat, yaitu anak yang menderita penyakit keganasan, mereka yang sedang

mendapat pengobatan imunosupresif, atau menderita defisiensi imun; tetapi dalam

perkembangannya vaksin ini juga diberikan pada anak sehat. Imunisasi aktif ini

dilakukan dengan menggunakan vaksin single live attenuated strain OKA yang

sudah terbukti aman, ditoleransi baik dengan efek samping yang minimal (demam

dan ruam minimal) dan mempunyai tingkat perlindungan yang tinggi pada anak usia

1-12 tahun (dengan angka serokonversi positif sebesar 99,3%), sedangkan di negara

maju tersedia sediaan kombinasi dengan vaksin lain, seperti MMR-V. Imunisasi
16

pasif dapat diberikan pada kelompok risiko tinggi, sedang pada pasca paparan

varisela harus diberikan dalam 96 jam pertama.

Berdasarkan guidelines terbaru dari Advlsoy Committee on immunization

Practices (ACLP) of the Centers for Disease Control and Prevention, pemberian

vaksin varisela dosis tunggal belum mampu mencegah wabah varisela sepenuhnya.

Sehingga kini direkomendasikan pemberian vaksin varisela dua kali (masing-

masing 0,5 mL) subkutan pada anak-anak berusia di 12 bulan - 12 tahun, dengan

interval minimum 3 bulan. Sedangkan pemberian pada pasien yang telah berusia

lebih dari 12 tahun, interval yang direkomendasikan adalah empat minggu.

Serokonversi terjadi pada 78% kasus setelah dosis pertama dan 99% terjadi setelah

dosis kedua. Vaksin varisela ini terbukti mampu memberikan perlindungan hingga

10 tahun kemudian. Rekomendasi ACIP selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 2.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI) sampai saat ini masih

merekomendasikan vaksinasi pada anak di atas 5 tahun, satu kali pemberian, dengan

mengingat masih tingginya kemungkinan untuk mendapat kekebalan secara alamiah

(Soedarmo, 2010).

Tabel 2. Rekapitulasi rekomendasi ACIP untuk pengendalian varisela


17

2.11 Profilaksis Pasca Pajanan

Varicella zoster Immunoglobulin (VZIG) diindikasikan untuk:

1. mereka yang dikontraindikasikan mendapat vaksinasi varisela

2. neonatus yang ibunya mengalami gejala varisela dalam 5 hari sebelum hingga 2

hari setelah pajanan

3. pajanan pasca natal pada bayi prematur (usia gestasi <28 minggu atau berat lahir

<1000 gram )

4. ibu hamil yang terpajan

5. petugas rumah-sakit yang rentan terinfeksi

6. anak sehat yang berisiko sakit

Pemberian VZIG ini harus mempertimbangkan: 1) apakah pasien termasuk

kelompok yang rentan, 2) apakah pajanan tersebut akan (kemungkinan besar)

menimbulkan sakit, dan 3) apakah pasien berisiko lebih besar untuk mengalami

komplikasi dibandingkan dengan populasi umum. VZIG diberikan dalam kurun

waktu 72 jam pasca pajanan atau dalam 96 jam pada pasien irnunokompromais. Efek

proteksi VZIG ini diharapkan mampu bertahan hingga kira-kira 3 minggu.

Sebaliknya, VZIG dikontraindikasikan pada pasien yang sudah pemah menerima

vaksinasi varisela dan sudah seropositif. Dosis VZIG yang direkomendasikan

adalah125 unit/10 kgBB (min 125 U dan maksirnal 625 U) secara intramuskular.

Pemberian VZIG relatif aman dengan efek samping minimal berupa rasa nyeri dan

bengkak di daerah injeksi pada 1% pasien; keluhan gastrointestinal, pusing dan ruam

terjadi pada <0,2%; sementara anafilaktik syok dan angioneurotik edema hanya

pada <0,1% resipien (Soedarmo, 2010).


18

2.12 Prognosis

Infeksi primer varicella memiliki tingkat kematian 2-3 per 100.000 kasus

dengan case fatality rate pada anak berumur 1-4 tahun dan 5-9 tahun (1 kematian

per 100.000 kasus). Pada bayi rata-rata resiko kematian adalah sekitar 4 kali lebih

besar dan pada dewasa sekitar 25 kali lebih besar. Rata-rata 100 kematian terjadi di

USA sebelum ditemukannya vaksin varicella, komplikasi yang menjadi penyebab

utama kematian, antara lain: pneumonia, komplikasi SSP, infeksi sekunder, dan

perdarahan (Kurniawan dkk, 2011). Perawatan yang teliti dan memperhatikan

higiene memberi prognosis yang baik dan dapat mencegah timbulnya jaringan parut

(Aisyah dan Handoko, 2016).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Varicella disebabkan oleh VZV (varicella zoster virus) yang bisa ditularkan

melalui inhalasi dan kemudian akan menyebar secara hematogen dan kelenjar limfe.

Varicella ini dapat menimbulkan gejala prodormal sebelum munculnya lesi di kulit,

yaitu demam, malaise, mual, anorexia, nyeri kepala. Varicella merupakan penyakit

yang hingga kini masih tetap menjadi epidemi di dunia dan di indonesia. Walaupun

infeksi varicella zoster tergolong kedalam infeksi ringan namun dalam kondisi

defisiensi imun penyakit ini dapat menjadi berat dan tidak menutup kemungkinan

berujung pada kematian. Pemberian vaksinasi dan imunoglobulin telah terbukti

efektif memberikan perlindungan dari infeksi virus. Hingga saat ini asiklovir oral

tetap menjadi obat utama untuk pengobatan varicella.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah S., & Handoko P., R. 2016. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 7. Badan
Penerbit: FKUI Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2013. Best Practice in Pediatric. IDAI cabang
Jakarta; Jakarta

Kurniawan, M., Dessy, N., & Tatang, M. (2011). Varicela zoster pada anak. Medicinus,
3(1), 23-31.

Panwar, R. B., Kochar, D. K., Gupta, B. S., Bhatnagar, L. K., & Saxena, H. C. (1979).
Herpes generalisata associated with diabetes mellitus and pulmonary
tuberculosis (A case report). Journal of postgraduate medicine, 25(3), 171.

Pusponegoro, E. HD,. 2016. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 7. Badan Penerbit:
FKUI Jakarta.

Sinaga, E. W. (2018). Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Bahaya Varicella Selama
Kehamilan Di Kelurahan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Tahun 2018.
Jurnal ilmiah kebidanan imelda, 4(2), 85-89.

Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Ed 4.
Jakarta : Infomedika

Varicella and herpes zoster vaccines: WHO position paper, June 2014--
Recommendations. (2016). Vaccine, 34(2), 198–199.
https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2014.07.068

Anda mungkin juga menyukai