Anda di halaman 1dari 16

1.

Somatoform Pada tahun 1859 seorang dokter berkebangsaan Francis Pierre Briquet

menggambarkan suatu sindrom yang pada awalnya diberi nama sesuai dengan namanya, sindrom Briquet, dan kini dalam DSM-IV-TR disebut gangguan somatisasi. Kata somatoform diambil dari bahasa Yunani yaitu soma yang berarti tubuh. Dalam gangguan somatoform (somatoform disorder), orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas fisik yang dapat ditemukan sebagai penyebab. Somatoform disorder adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai dengan keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab gangguan fisik secara medis (misalnya nyeri, mual, dan pening/sakit kepala). Berbagai simtom dan keluhan somatik tersebut serius, sehingga menyebabkan stres emosional dan gangguan untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan. Keluhan somatik yang berulang dan banyak yang memerlukan perhatian medis, namun tidak memiliki sebab fisik yang jelas merupakan dasar gangguan ini. Untuk memenuhi kriteria diagnostik, yang bersangkutan harus mengalami keempat hal di bawah ini: 1. empat simtom rasa sakit di bagian yang berbeda (seperti kepala, punggung, sendi); 2. dua simtom gastrointestinal (seperti: diare, mual); 3. satu simtom seksual selain rasa sakit (seperti tidak berminat pada hubungan seksual, disfungsi ereksi); 4. satu simtom pseudoneurologis (seperti : seperti yang terjadi dalam gangguan konversi). Diagnosis gangguan somatoform ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Simtomsimtom yang ditunjukkan merupakan refleksi dari konflik psikologi dalam diri orang yang mengalami gangguan somatoform. Misalnya beberapa orang mengeluhkan masalah dalam bernafas, menelan, atau seperti ada sesuatu yang menekan dalam tenggorokan. Masalahmasalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik yang dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simtom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti kelumpuhan pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf.

Simtom-simtom tersebut, yang lebih pervasif dibanding keluhan hipokondriasis, biasanya menyebabkan hendaya, terutama dalam pekerjaan. DSM-IV-TR mencatat bahwa simtom-simtom spesifik gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya. Sebagai contoh, tangan terbakar atau seperti ada semut-semut yang berjalan di bawah kulit sering terjadi di Asia dan Afrika dibanding di Amerika Utara. Terlebih lagi, gangguan tersebut dinilai lebih sering terjadi pada budaya yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka (Ford, 1995). Gangguan somatisasi dan gangguan konversi memiliki banyak persamaan simtom, dan keduanya dapat ditegakkan pada pasien yang sama (a.l., Ford & Folks, 1985). Kunjungan ke dokter, kadangkala ke banyak dokter pada waktu yang bersamaan, sering kali dilakukan, juga penggunaan obat-obatan. Perawatan di rumah sakit dan bahkan operasi menjadi hal umum (Guze, 1967). Masalah menstruasi dan hambatan seksual sering terjadi (Swartz dkk., 1986). Para pasien umumnya menyampaikan keluhan mereka secara histrionik dan berlebihlebihan atau sebagai bagian riwayat kesehatan yang panjang dan penuh komplikasi. Banyak yang meyakini bahwa mereka telah mengalami sakit sepanjang hidup. Komorbiditas tinggi dengan gangguan anxietas, gangguan mood, penyalahgunaan zat, dan sejumlah gangguan kepribadian (Golding, Smith, & Kashner, 1991; Kirmayer, Robbins, & Paris, 1994) Prevalensi sepanjang hidup gangguan somatisasi diperkirakan kurang dari 0.5 persen dari populasi AS; lebih sering terjadi pada perempuan, terutama keturunan Afrika Amerika dan Hispanik (Escobar dkk., 1987), dan di kalangan pasien dalam perawatan medis. Prevalensi lebih tinggi di beberapa negara Amerika Selatan dan Puerto Rico (Tomasson, Kent, & Coryell, 1991). Berbagai perbedaan budaya tersebut tidak dapat langsung diinterpretasi begitu saja (Kirmayer & Young, 1998). Berdasarkan perspektif Eropa Barat, contohnya, kadangkala muncul pendapat bahwa perwujudan fisik masalah psikologis dalam satu atau lain hal merupakan sesuatu yang primitif atau tidak canggih. Namun, perbedaan dualistik antara fisik dan psikologis mencerminkan tradisi medis yang tidak diterima secara universal (contohnya, dalam ilmu pengobatan Cina). Jauh lebih beralasan untuk memandang budaya seseorang sebagai sesuatu yang memberikan konsep mengenai distress dan bagaimana cara mengomunikasikan distress itu. Gangguan somatisasi umumnya bermula pada masa dewasa awal (Cloninger dkk., 1986). Walaupun mungkin tidak sestabil seperti yang disebutkan dalam DSM karena dalam satu studi mutakhir hanya sepertiga dari pasien yang menderita gangguan somatisasi masih

memenuhi kriteria diagnostik ketika diukur kembali 12 bulan kemudian (Simon & Gureje, 1999). Kecemasan dan depresi sering kali dilaporkan, juga sejumlah masalah perilaku dan interpersonal, seperti membolos kerja, catatan kerja yang jelek, dan masalah perkawinan. Gangguan somatisasi tampaknya juga terjadi dalam keluarga; gangguan ini terjadi pada sekitar 20 persen kerabat tingkat pertama kasus indeks, yaitu individu yang didiagnosis menderita gangguan somatisasi (Guze, 1993).

Beberapa kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan somatisasi : Terdapat riwayat banyak keluhan fisik selama beberapa tahun yaitu ada empat simtom : 1. rasa sakit dikepala; 2. gastrointestinal; 3. seksual, dan 4 pseudoneurologis Simtom-simtom tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan bila ditilik kondisi medis yang mungkin dialami orang yang bersangkutan

Etiologi Gangguan Somatoform Sebagian besar teori mengenai gangguan somatoform hanya diarahkan pada pemahaman histeria sebagaimana dikonseptualisasi oleh Freud. Konsekuensinya, teori ini memfokuskan pada penjelasan gangguan konversi. Pada akhir bagian ini, kami mengkaji pandangan psikoanalisis mengenai gangguan konversi kemudian membahas penjelasan para teoris, behavioral, kognitif, dan biologis. Pertama, kami membahas secara singkat berbagai pemikiran tentang etiologi gangguan somatisasi. Etiologi Gangguan Somatisasi. Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan terhadap sensasi tersebut, atau menginterpretasinya sebagai sesuatu yang membahayakan (Kirmayer dkk., 1994; Rief dkk., 1998). Kemungkinan lain adalah mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dibanding orang lain (Rief & Auer, 2001). Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi raerupakan manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-sistem tubuh. Sejalan dengan pemikiran bahwa terdapat faktor kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki level kortisol tinggi, suatu indikasi bahwa mereka berada di bawah tekanan (Rief dkk., 1998). Mungkin ketegangan ekstrem yang dialami individu terpusat pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa mual atau

muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola maladaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu. Gangguan somatoform berbeda dengan malingering, dimana pasien berpura-pura mengalami simtom dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas seperti menghindari pekerjaan. Gangguan tersebut juga berbeda dengan factitious disorder, yang bentuk paling umumnya adalah munchausen syndrome. Munchausen adalah suatu bentuk penyakit yang dibuat-buat dimana orang tersebut berpura-pura sakit atau membuat dirinya sendiri sakit seperti dengan cara memasukkan zat beracun. Sejumlah pasien munchausen menjalani operasi bedah yang tidak perlu meski mereka tahu tidak ada yang salah dengan diri mereka. Simtom pada factitious disorder, tidak terhubung dengan hasil yang jelas. Gangguan ini memungkinkan adanya suatu kebutuhan psikologis. Dengan menampilkan peran sakit dalam lingkungan rumah sakit yang terlindungi memberikan suatu rasa aman yang kurang di dapat pada masa kecil.

Somatoform & Pain Disorder Mengalami beberapa gejala sakit fisik yang subyektif tanpa sebab organis (pengalaman sakit termasuk kedalam pain disorder)

Psychosomatic Disorder Mengalami sakit fisik yang nyata, faktor psikologis ikut berkontribusi pada sakitnya

Malingering Sengaja menipu sakit secara fisik untuk menghindari situasi tidak menyenangkan, seperti tugas kemiliteran

Factitious Disorder Sengaja menipu sakit secara fisik untuk menarik perhatian secara medis

Disini kita membahas beberapa tipe utama dari gangguan somatoform seperti gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi. A. Klasifikasi Terdapat beberapa tipe utama dari gangguan somatoform: gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi. Dalam DSM IV-TR, yang termasuk dalam Somatoform Disorder sebagai berikut : 300.81 300.82 300.11 Somatization Disorder Undifferentiated Somatoform Disorder Conversion Disorder

300.xx 300.80 300.89 300.7 300.7 300.82

Pain Disorder Associated With Psychological Factors Associated With Both Psychological Factors and a General Mediacal Condition Hypochondriasis Body Dismorphic Disorder Somatoform Disorder NOS

Namun disini hanya akan membahas beberapa tipe utama dari gangguan somatoform, yaitu : gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, gangguan somatisasi dan gangguan nyeri. 1. Gangguan Konversi a. Definisi Gangguan konversi dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan sebagai penyebab simtom atau kemunduran fisik tersebut. Simtom-simtom tersebut tidaklah dibuat secara sengaja. Orang tersebut tidak melakukan malingering. Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Gangguan konversi dinamakan demikian karena adanya keyakinan

psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik. Gangguan konversi sebelumnya disebut neurosis histerikal atau histeria. Menurut DSM, simtom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simtom yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi, kebutaan dan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di depan mata), kehilangan indera pendengaran dan penciuman, atau kehilangan rasa pada anggota badan (anestesi). Simtom-simtom tubuh yang ditemukan dalam gangguan konversi seringkali tidak sesuai dengan kondisi medis yang mengacu. Misalnya, orang yang menjadi tidak mampu berdiri atau berjalan dilain pihak dapat melakukan gerakan kaki lainnya secara normal.

Beberapa orang dengan gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutan terhadap simtom-simtom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle indifference (ketidakpedulian yang indah). b. Treatment Pemberian treatmen dengan menggunakan pendekatan psikoanalisa untuk pasien konversi adalah berfokus pada pengekspresian emosi dan ingatan yang menyakitkan dan insight bahwa gangguan berkaitan dengan simtom konversi (Gavin, 1995). Gangguan konversi yang kronis lebih sulit untuk ditangani. Ketika simtom muncul lebih dari satu bulan, riwayat pasien sering mirip gangguan somatisasi dan diperlakukan seperti itu. Sementara treatmen dengan pendekatan behavioral berfokus pada mengurangi kecemasan pasien yang berasal dari trauma yang menyebabkan simtom konversi. Terapi behavioral bisa dilakukan dengan metode systematic desensitization dan vivo exposure therapy. 2. Hipokondriasis a. Definisi Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung. Rasa sakit tetap ada meskipun telah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak mendasar. Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan simtom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, sering kali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri. Orang yang mengembangkan hipokondriasis sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli, terhadap simtom dan hal-hal yang mungkin mewakili apa yang ia takutkan. Orang dengan hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit rasa sakit serta nyeri (Barsky dkk., 2001). Padahal kecemasan akan simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik tersendiri, misalnya keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Dengan demikian, sebuah lingkaran setan (vicious cycle) akan muncul. Orang dengan hipokondriasis dapat menjadi marah saat dokter mengatakan

betapa ketakutan mereka sendirilah yang menyebabkan simtom-simtom fisik tersebut. Mereka sering belanja dokter dengan harapan bahwa seorang dokter yang kompeten dan simpatik akan memperhatikan mereka sebelum terlambat. b. Treatment Untuk penanganan pasien dengan hipokondria dengan pendekatan psikoanalisa. Pasien diajak untuk mengidentifikasi perasaan dan pikiran dibalik simtom yang muncul dan mencari cara melakukan coping yang adaptif. Selain itu, penanganan hipokondria dengan pendekatan kognitif, pasien dibantu untuk belajar menginterpretasikan simtom-simtom fisik dan menghindari bencana simtom fisik. 3. Gangguan Dismorfik Tubuh a. Definisi Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata, misalnya seseorang yang merasa hidungnya kurang mancung, atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Orang dengan gangguan dismorfik tubuh terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka (APA, 2004). Beberapa pasien cenderung menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengamati kekurangan mereka di cermin. Bahkan agar tidak mengingatnya, terkadang mereka menyembunyikan cermin atau menggunakan kamuflase, misalnya dengan menggunakan pakaian yang sangat longgar atau tindakan paling ekstrim menjalani operasi plasti yang tidak dibutuhkan. Orang dengan Body Dysmorphic Disorder percaya bahwa orang lain memandang diri mereka jelek atau berubah bentuk menjadi rusak dan bahwa penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berpikir negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai manusia (Rosen, 1996). Mereka sering menunjukkan pola berdandan atau mencuci atau menata rambut secara kompulsif dalam rangka mengoreksi kerusakan yang dipersepsikan. Pada gangguan ini faktor subyektif berperan penting. Gangguan ini lebih banyak berpengaruh pada perempuan dibanding laki-laki, dan onset biasanya muncul sekitar usia 15-20 tahun (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994).

b. Treatment Terapi psikoanalisa berfokus pada tujuan insight sebagai kekhawatiran yang direpres mengarah pada simtom. Sementara terapi behavioral berfokus pada menghadapkan pasien pada situasi yang ditakuti pasien tentang kekhawatiran tentang tubuh mereka, menghilangkan kekhawatiran mereka tentang bagian tubuh mereka dan mencegah respon yang kompulsif terhadap bagian tubuh tertentu. Meningkatkan seretonin dalam otak bisa menghilangkan obsesi-kompulsif pada bagian tubuh. 4. Gangguan Somatisasi a. Definisi Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik sebagai keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Perbedaan antara gangguan somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah banyaknya keluhan dan banyaknya sistem tubuh yang terpengaruh. Gangguan ini sifatnya kronis muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun, dan berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam kehidupan sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup sistem-sistem organ yang berbeda (Spitzer, dkk, 1989). Jarang dalam setahun berlalu tanpa munculnya beberapa keluhan fisik yang mengawali kenjungan ke dokter. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan pelayanan medis (G.R. Smith, 1994). Gangguan somatisasi biasanya bermula pada masa remaja atau dewasa muda dan tampaknya merupakan gangguan yang kronis atau bahkan yang berlangsung sepanjang hidup (Kirmayer, Robbins & Paris, 1994; Smith, 1994). Gangguan ini biasanya muncul dalam konteks gangguan psikologis lain, terutama gangguan kecemasan dan gangguan depresi (Swartz dkk, 1991). Meskipun tidak banyak diketahui tentang latar belakang masa kecil dari orang dengan gangguan somatisasi, suatu penelitian melaporkan bahwa wanita dengan gangguan ini lebih mungkin untuk melaporkan penganiayaan seksual di masa kecil daripada kelompok wanita

pembanding yang mengalami gangguan mood (Morrison, 1989). Orang dengan gangguan somatisasi terganggu dengan simtomnya sendiri. Namun gangguan ini tetap controversial. Banyak pasien, terutama pasien wanita, salah didiagnosis dengan gangguan psikologis, termasuk gangguan somatisasi, karena kegagalan dari kedokteran modern untuk mengidentifikasi dasar medis dari keluhan fisik mereka (Klonoff & Landrine, 1997). b. Treatment Penanganan gangguan somatisasi sama dengan penanganan pada

hipokondria. Pada penanganan treatment dengan pendekatan psikoanalisa, pasien diajak untuk mengidentifikasi perasaan dan pikiran dibalik simtom yang muncul dan mencari cara melakukan coping yang adaptif. Selain itu, pendekatan kognitif pasien dengan gangguan somatisasi ditangani dengan cara membantu pasien belajar menginterpretasikan simtom-simtom fisik dan menghindari bencana simtom fisik. 5. Gangguan Nyeri a. Definisi Pada gangguan ini individu mengalami gejala sakit atau nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis (nonpsikiatris) maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stres emosional atau gangguan fungsional. Gangguan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan faktor psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuatif intensitasnya dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi dan situasi (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Dengan kata lain, faktor psikologis mempengaruhi kemunculan, bertahannya dan tingkat keparahan gangguan (Davidson & Neale, 2001). Prevalensi gangguan nyeri pada perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan puncak onsetnya terjadi sekitar usia 40-50 tahun, mungkin karena pada usia tersebut toleransi terhadap rasa sakit sudah berkurang (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). b. Treatment Treatment untuk gangguan nyeri sama dengan penanganan pada pasien dengan gangguan somatisasi. Melalui pendekatan psikoanalisa, pasien diajak untuk

mengidentifikasi perasaan dan pikiran dibalik simtom yang muncul dan mencari cara melakukan coping yang adaptif. Pada pendekatan kognitif, pasien dengan gangguan nyeri ditangani dengan cara membantu pasien belajar menginterpretasikan simtom-simtom fisik dan menghindari bencana simtom fisik.

Somatoform Somatoform Disorder memiliki karakteristik gejala fisik atau keluhan yang muncul karena sebab psikologis Disorder Kunci Gejala Conversion Disorder Kehilangan fungsi pada bagian tubuh dengan alas an psikologis daripada alasan fisik. Somatization Disorder Riwayat keluhan tentang gejala fisik, mempengaruhi beberapa area tubuh yang berbeda agar mendapat perhatian secara medis namun tidak memiliki sebab fisik Pain Disorder Riwayat keluhan tentang nyeri untuk mendapat perhatian secara medis tetapi tidak ada penyebab fisik Hypochondriasis Kekhawatiran kronis tentang suatu penyakit fisik namun tidak ada bukti satupun, secara berulang mencari perhatian medis. Body Dysmorphic Disorder Senang berlebihan dengan satu bagian tubuh yang diyakininya sangat kurang/tidak sempurna B. Dinamika Gangguan Gangguan konversi atau histeria diperkenalkan oleh Hippocrates, yang mengatribusikan simtom tubuh yang aneh pada berjalan-jalannya rahim yang menimbulkan kekacauan internal. Istilah hysterical (histerikal) diambil dari bahasa Yunani hystera yang berarti rahim. Hippocrates menemukan bahwa keluhan ini lebih jarang terjadi pada wanita yang menikah daripada yang tidak menikah. Teori modern yang membahas gangguan somatoform hampir selalu berasal dari teori psikoanalisa dan teori belajar. Meski tidak banyak yang diketahui mengenai dasar

biologis dari gangguan somatoform, bukti mengindikasikan bahwa gangguan somatisasi cenderung diwariskan dalam keluarga terutama antara anggota keluarga yang perempuan (Guze, 1993). Hubungan genetis ini masih berupa dugaan, meski kita tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa pengaruh keluarga berperan dalam menjelaskan hubungan kekeluargaan ini.

C. 1. Teori Psikodinamika Gangguan histerikal merupakan arena debat antara teori psikologi dan biologi di abad ke-19. Pengurangan --meskipun sering hanya sementara dari simtom-simtom histerikal melalui hipnosis oleh Charcot, Breuer, dan Freud memberikan kontribusi pada keyakinan bahwa penyebab histeria bersifat psikologis dan bukan fisik dan mendorong Freud untuk mengembangkan teori pikiran yang tidak disadari. Freud meyakini bahwa ego berfungsi untuk mengontrol impuls seksual dan agresif yang mengancam atau tidak dapat diterima yang timbul dari id melalui mekanisme pertahanan diri seperti represi. Menurut teori psikodinamika, simtom histerikal memiliki fungsi : memberikan orang tersebut keuntungan primer dan sekunder. Keuntungan primer (primary gains) yang didapat adalah memungkinkan individu untuk mempertahankan konflik internal direpresi. Orang tersebut sadar akan simtom fisik yang muncul namun bukan konflik yang diwakilinya. Dalam kasus-kasus seperti itu, simtom merupakan simbol dari, dan memberikan orang tersebut pemecahan sebagian untuk, konflik yang mendasarinya. Misalnya, kelumpuhan histerikal dari sebuah lengan dapat menyimbolkan dan juga mencegah individu untuk mengekspresikan impuls seksual (contoh, masturbasi) atau agresif (contoh, membunuh) yang tidak dapat diterima dan telah direpresi. Represi timbul secara otomatis, sehingga individu tetap tidak sadar akan konflik yang mendasarinya. Dari pandangan psikodinamika, gangguan konvers memiliki suatu tujuan. Keuntungan sekunder (secondary gains) dapat memungkinkan individu untuk menghindari tanggung jawab yang membebani dan untuk mendapatkan dukungan dan bukan celaan dari orang-orang di sekitar mereka. Misalnya, tentara terkadang mengalami kelumpuhan yang tiba-tiba pada tangan mereka, yang mencegah mereka untuk menembakkan senapannya dalam pertempuran. Mereka kemudian dapat dikirim untuk dirawat di rumah sakit dan bukan menghadapi tembakan musuh.

C. 2. Teori Belajar Teori Psikodinamika dan teori belajar sepakat bahwa simtom-simtom dalam gangguan konversi dapat mengatasi kecemasan. Teoretikus psikodinamika mencari penyebab kecemasan dalam konflik-konflik yang tidak disadari. Sedangkan teoretikus belajar berfokus pada hal-hal yang secara langsung menguatkan simtom dan peran sekundernya dalam membantu individu menghindari atau melarikan diri dari situasi tidak nyaman atau situasi yang membangkitkan kecemasan. Dalam pandangan teori belajar, simtom dari gangguan konversi dan gangguan somatoform lain juga membawa keuntungan, atau hal-hal yang me-reinforcing, pada peran sakit. Orang dengan gangguan konversi dapat terbebaskan dari tugas atau tanggung jawab seperti pergi kerja atau melakukan tugas rumah tangga (Miller, 1987). Menjadi sakit biasanya juga menimbulkan simpati dan dukungan. Orang yang menerima penguatan semacam ini saat sakit di masa lalu cenderung belajar untuk mengadopsi peran sakit bahkan saat ia sedang tidak sakit (Kendell, 1983). Perbedaan dalam pengalaman belajar dapat menjelaskan mengapa secara historis, gangguan konversi lebih sering dilaporkan oleh wanita daripada pria. Hal ini mungkin karena wanita dalam budaya Barat lebih cenderung untuk disosialisasikan cara mengatasi stres melalui menampilkan peran sakit dibandingkan kaum pria (Miller, 1987). Sejumlah teoretikus belajar menghubungkan hipokondriasis dan gangguan dismorfik tubuh dengan gangguan obsesif kompulsif. Pada hipokondriasis, orang terganggu oleh pikiran-pikiran yang obsesif dan menimbulkan kecemasan mengenai kesehatan mereka. Pergi dari satu dokter ke dokter lain dapat merupakan suatu dari perilaku kompulasif yang diperkuat oleh hilangnya kecemasan yang dialami secara temporer saat mereka diyakinkan kembali oleh dokternya bahwa ketakutan mereka tidak terbukti. Namun pikiran-pikiran yang mengganggu kembali muncul, mendorong mereka melakukan konsultasi yang berulang. Lingkaran tersebut kemudian berulang. Seperti itu juga, dengan gangguan dismorfik tubuh, berdandan dan memotong yang terus-menerus dalam usaha untuk memperbaiki kekurangan fisik yang dipersepsikan dapat memberikan kebebasan secara parsial dari kecemasan, namun perbaikan yang dilakukan tidak pernah cukup baik untuk menghilangkan kekhawatirkan yang mendasari

secara sepenuhnya. Satu kemungkinan adalah bahwa hipokondriasis dan gangguan dismorfik tubuh berada pada spektrum gangguan tipe OCD. C. 3 Teori Kognitif Teoretikus kognitif telah berspekulatif bahwa beberapa kasus hipokondriasis dapat mewakili sebuah tipe dari strategi self-handicapping, suatu cara menyalahkan kinerja yang rendah pada kesehatan yang buruk (Smith, Snyder, & Perkins, 1983). Pada kasus-kasus lain, mengalihkan perhatian pada keluhan fisik dapat menjadi suatu cara untuk menghidari berpikir tentang masalah kehidupan yang lain. Penjelasan kognitif lain berfokus pada peran dari pikiran yang terdistorsi. Orang yang menderita hipokodriasis memiliki kecenderungan untuk membuat gunung dari kerikil dengan cara membesar-besarkan signifikansi dari keluhan fisik yang minor (Barsky dkk., 2001). Mereka salah menginterpretasikan simtom-simtom ringan yang muncul sebagai tanda dari sakit yang serius, yang menimbulkan kecemasan yang membawa mereka dari kunjungan satu dokter ke kunjungan dokter lain dalam usaha untuk menemukan penyakit mengancam yang takutnya mereka miliki. Kecemasan itu sendiri dapat menghasilkan simtom fisik yang tidak menyenangkan, yang nantinya justru semakin dianggap penting, menyebabkan kognisi yang semakin mengkhawatirkan. Teoretikus kognitif berspekulasi bahwa hipokondriasis dan gangguan panik, yang sering kali terjadi secara bersamaan, dapat memiliki penyebab yang sama: cara berpikir yang terdistorsi yang membuat orang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda dari bencana yang akan terjadi (Salkovskis & Clark, 1993). Perbedaan antara kedua gangguan itu terletak pada apakah interpretasi yang salah dari tanda-tanda tubuh membawa sebuah persepsi tentang ancaman yang akan segera terwujud dan lalu menyebabkan terjadinya kecemasan yang berputar cepat (gangguan panik) ataukah tentang ancaman dengan kisaran yang lebih panjang dalam bentuk proses penyakit yang mendasarinya (hipokondriasis). Penelitian mengenai proses kognitif yang muncul dalam hipokondriasis membutuhkan studi lebih lanjut. Meski ada hubungan yang mungkin terjadi antara hipokondriasis dan gangguan kecemasan seperti gangguan panik dan OCD, tetap tidak jelas apakah hipokondriasis harus diklasifikasikan sebagai suatu gangguan somatoform atau gangguan kecemasan (Barsky dkk., 1992).

Kriteria gangguan somatoform dalam PPDGJ III (Maslim, 2001)

Menurut PPDGJ III, ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah beberapa kali terbukti hasilnya negatif dan sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Gangguan somatoform yang diderita oleh S adalah jenis Gangguan Hipokindrik F45.2 yang diagnostiknya adalah, harus memiliki dua diagnostik yang harus ada yaitu : Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya
Apa itu nyeri psikogenik? Nyeri psikogenik adalah nyeri yang dirasakan secara fisik yang timbulnya, derajat beratnya, dan lama berlangsungnya dipengaruhi oleh faktor mental, emosi, dan perilaku. Beberapa penelitian klinis menunjukan bahwa induksi nyeri secara sengaja pada seseorang akan memberikan hasil rasa nyeri yang tidak terlalu signifikan jika orang tersebut sedang berada dalam kondisi psikologis yang baik, tenang, damai, bahagia. Nyeri umumnya dirasakan lebih berat ketika seseorang mengalami gangguan psikiatri tertentu terutama depresi ataupun cemas. Nyeri psikogenik yang murni psikologis umumnya ditandai dengan rasa nyeri yang menyebar, tidak terbatas pada suatu letak anatomis tertentu, dan tersebar pada banyak lokasi. Nyeri timbul tanpa adanya riwayat trauma fisik yang jelas sebelumnya atau timbul tanpa sebab. Pemeriksaan fisik, laboratorium, rontgen, hingga CT Scan, dan penunjang lainnya tidak dapat menunjukan adanya suatu masalah organ atau gangguan fisik tertentu. Nyeri tidak dapat hilang sepenuhnya atau seluruhnya walaupun sudah mendapatkan obat penghilang nyeri bahkan yang diberikan langsung ke dalam pembuluh darah (intra vena). Emosi dan motivasi merupakan isu pokok yang mendasari timbulnya nyeri. Diagnosis Diagnosis yang akurat memerlukan pemeriksaan neurologis dan psikiatrik secara menyeluruh. Diagnosis nyeri psikogenik harus didasarkan atas adanya faktor psikologis yang jelas yang berhubungan dengan rasa nyeri tersebut atau

diketahui kondisi psikiatri yang jelas yang mungkin berhubungan dengan rasa nyeri. Jadi diagnosis tidak semata-mata ditegakan bila tidak ditemukannya dasar organik sebagai penyebab nyeri. Meski nyeri psikogenik juga dapat menyertai suatu sakit fisik yang nyata. Pasien yang sering mengeluhkan sakit kepala berulang atau sakit bagian tubuh lain berulang terutama ketika terdapat kondisi stres tertentu, banyak yang sebetulnya menderita nyeri psikogenik ini. Penyebab Di dalam ilmu psikiatri, nyeri psikogenik merupakan suatu mekanisme coping yaitu mekanisme adaptasi mental yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi masalah. Nyeri timbul akibat penekanan konflik psikis yang tidak dapat ditolerir. Penekanan konflik psikis ini memicu keluarnya hormon stres di dalam tubuh yang memicu perubahan sistem saraf otonom dan hormonal dalam tubuh. Pengaruh dari perubahan inilah yang pada akhirnya memicu timbulnya perasaan nyeri. Nyeri psikogenik juga dapat merupakan gejala dari suatu gangguan psikiatri yang dinamakan kelompok gangguan somatisasi. Pada gangguan ini, nyeri muncul tanpa adanya gangguan sebenarnya pada tubuh. Jadi nyeri merupakan respon secara langsung dari konflik psikologis yang dipindahkan pada tubuh. Secara psikologis, penderita gangguan somatisasi lebih dapat menerima bahwa nyeri yang mereka rasa adalah problem fisik sementara rasa sakit yang mereka rasakan secara psikis disangkal dan dipindahkan pada tubuh. Depresi dan cemas diketahui meningkatkan sensitifitas nyeri. Terutama pada penderita depresi lansia, sangat sering mengeluhkan berbagai problem fisik seperti sakit kepala. Pada pasien yang baru melewati operasi, beratnya gejala nyeri sudah dibuktikan bergantung dari derajat kecemasan pasien tersebut. Nyeri psikogenik yang ditemukan bersamaan dengan gangguan atau kondisi psikiatri tertentu harus dieksplorasi dengan lebih baik, selain untuk mencari penyebab dari nyeri, juga untuk menentukan tatalaksana yang tepat. Stigma pada Nyeri Psikogenik Para penderita nyeri psikogenik umumnya mengalami stigma baik dari kalangan medis sendiri maupun masyarakat umum. Mereka memandang bahwa rasa nyeri yang timbul dari konflik psikologis ini tidaklah nyata bila dibandingkan rasa nyeri yang timbul akibat kelainan organ atau fungsi anatomis dan fisiologis tubuh. Para penderita nyeri psikogenik sering dianggap berpura-pura dan akhirnya tidak diberikan penatalaksanaan yang tepat. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi ini menyebabkan tatalaksana tidak maksimal. Model biopsikososial menunjukan bahwa dalam terapinya, bukan hanya pasien saja yang menjadi fokus terapi namun lingkungan sosial dan keluarga inti perlu dilibatkan dalm proses terapi

Tatalaksana Nyeri Psikogenik Tatalaksana nyeri psikogenik tidak dapat hanya mengandalkan pada terapi farmakologis semata-mata namun amat perlu ditunjang dengan tatalaksana secara non farmakologis. Terapi non farmakologis terutama terpusat pada psikoterapi yang lebih berorientasi pada psikodinamika pasien ataupun psikoterapi CBT. Hal ini disebabkan karena nyeri muncul akibat konflik-konflik psikologis yang tidak terselesaikan dengan baik.

Penanganan pasien dengan nyeri psikogenik, memerlukan ketelitian lebih dari dokter pemeriksa. Pasien dengan nyeri psikogenik biasanya akan memaksa dokter untuk melakukan pemeriksaan medis berulang mulai dari pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Pasien akan terus berusaha mendapatkan penjelasan mengenai gejala-gejala yang dialaminya dan hal ini dapat membuat frustasi baik pasien sendiri maupun dokter pemeriksa. Pada kondisi yang berat, dapat terjadi kondisi di mana pasien akhirnya mendapatkan tindakan operatif berulang akibat nyeri yang dirasakannya yang sebetulnya tidak tepat. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengeksplorasi faktor psikologis sebagai dasar dari kondisi nyeri tersebut.

Dalam tatalaksana juga sangat penting untuk tidak memberikan kesan pada pasien bahwa nyeri yang dirasakannya hanyalah khayalan semata dan dokter harus menunjukan empati bahwa rasa nyeri tersebut memang nyata. Tatalaksana nyeri lebih dipusatkan pada perbaikan mekanisme coping pasien. Bila nyeri psikogenik merupakan bagian dari suatu diagnosis psikiatrik tertentu maka terapi difokuskan pada kondisi psikiatrik utama yang menjadi sumber timbulnya rasa nyeri. Jika nyeri merupakan bagian dari kondisi depresi yang terselubung yaitu kondisi depresi tanpa ditemukannya gejala mood depresi dan gejala-gejala lainnya maka pemberian antidepresan akan menjadi terapi pilihan utama. Sedangkan dalam kondisi yang jarang, nyeri dapat juga dialami sebagai bagian dari gejala halusinasi pada psikotik maka pada kondisi ini, terapi farmakologis dengan antipsikotik menjadi pilihan yang utama.

Anda mungkin juga menyukai