Anda di halaman 1dari 89

Laporan Keluarga Binaan

TUBERKULOSIS PADA ANAK

Oleh :

Alvin Danil Putra 1740312612


Fairuz Fauzia 1740312434
Putri Damayanti 1740312604
Putri Zeahan RY 1740312448
Rahmi Aldila Putri 1740312435

Preseptor:

Dr. dr. Yuniar Lestari, M.Kes


dr. H. Liza Andriani, M.Kes
dr. Lindawati

FAMILY ORIENTED MEDICAL EDUCATION (FOME) III

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PUSKESMAS LAPAI

2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa,

penulis dapat menyelesaikan laporan keluarga binaan yang berada di lingkungan

Puskesmas Lapai Padang. Kegiatan Keluarga Binaan ini merupakan salah satu

syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik FOME III di Puskesmas Lapai,

Padang.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Yuniar Lestari, M.Kes

selaku preseptor dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, dr. H. Liza

Andriani, M.Kes dan dr. Lindawati selaku preseptor dari Puskesmas Lapai serta

semua pihak yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan

Keluarga Binaan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam

penulisan laporan Keluarga Binaan ini, untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami

harapkan. Semoga laporan keluarga binan ini dapat bermanfaat bagi semua.

Padang, Oktober 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Daftar Tabel 3
Daftar Gambar 4
BAB 1 Pendahuluan 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Tujuan Penelitian 7
1.3 Manfaat Penulisan 7
BAB 2 Tinjauan Pustaka 8
2.1 Definisi 8
2.2 Epidemiologi 8
2.3 Klasifikasi Tuberkulosis 12
2.4 Etiologi 16
2.5 Faktor Risiko 19
2.6 Penularan 21
2.7 Patogenesis 22
2.8 Gejala TB Paru pada Anak 27
2.9 Alur Diagnostik TB pada Anak 28
2.10 Pemeriksaan Penunjang 31
2.11 Tatalaksana TB Pada Anak 37
2.12 Pencegahan TB Pada Anak 44
BAB 3 Laporan Keluarga Binaan 49
BAB 4 Analisis Masalah 58
4.1 Data Demografi Keluarga 58
4.2 Eco-Map 60
4.3 Pengkajian Masalah Kesehatan 67
4.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Penyelesaian Masalah 68
4.5 Rencana Pembinaan Kegiatan 68
4.6 Mapping Kegiatan 70
DAFTAR PUSTAKA 73

2
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Resiko sakit Tuberkulosis pada anak yang terinfeksi M. Tuberculosis 21

Tabel 2.2 Skoring TB Pada anak 28

Tabel 2.3 Dosis OAT untuk anak 39

Tabel 2.4 Panduan OAT dan lama pengobatan TB Anak 39

Tabel 2.5 Dosis OAT KDT Pada TB anak 40

Tabel 2.6 Hasil akhir pengobatan 43

Tabel 2.7 tatalaksana pada kontak anak 47

Tabel 4.1 Anggota Keluarga yang tinggal serumah 58

Tabel 4.2 Evaluasi keluarga menggunakan indikator pendataan keluarga sehat 58

Tabel 4.3 Fungsi dalam keluarga 63

Tabel 4.4 Perilaku kesehatan keluarga 64

Tabel 4.5 Faktor Pelayanan Kesehatan 66

Tabel 4.6 Lingkungan tempat tinggal 66

Tabel 4.7 Jadwal kegiatan 70

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jumlah populasi berdasarkan usia di negara berkembang 11

Gambar 2.2 Bakteri Mycobacterium tuberculosis 17

Gambar 2.3 Skema patogenesis infeksi primer TB Paru 25

Gambar 2.4 Skema patogenesis infeksi TB paru post primer 27

Gambar 2.5 Alur diagnosis TB Paru Anak 29

Gambar 2.6 Alur investigasi kontak 46

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit menular

sebagai penyebab kematian ke-3 setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan

akut di Indonesia.1 TB menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil

tuberculosis.2

Bentuk infeksi Mycobacterium tuberculosis yang paling sering adalah TB

paru. Kematian akibat penyakit ini dibeberapa negara meningkat hingga 50% dan

biasanya dideteksi sekitar 2 bulan setelah diagnosis TB ditegakkan.3

WHO menyatakan bahwa sampai saat ini TB telah menjadi ancaman

global dan diperkirakan 1,9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia

terinfeksi TB. Di negara berkembang kematian akibat TB mencakup 25% dari

seluruh kasus yang disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus TB dan kegagalan

pengobatan1.

Tuberkulosis anak adalah TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.

Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahunnya. Angka kematian

TB pada anak adalah 200 anak setiap harinya, dan 70.000 anak meninggal setiap

tahunnya.4 Pada tahun 2016 sebanyak 1000.000 anak yang menderita TB dan

250.000 anak yang meninggal.5

Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB anak di antara

semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4% kemudian menjadi 8.5% pada tahun

5
2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, terjadi perbedaan

proporsi dari 1,8% sampai 15,9%, hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak

masih bervariasi disetiap provinsi. Kasus TB anak dikelompokan berdasarkan usia

yaitu 0-4 tahun dan 5-14 tahun dengan jumlah kasus pada kelompok 5-14 tahun

lebih tinggi dibandingkan kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB

anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011

meningkat menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.4

Gejala klinis yang timbul pada anak sulit sehingga sering terjadi

misdiagnosis, baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Sehingga IDAI

merekomendasikan system skoring untuk menegakan diagnosis TB pada anak.

Penegakan diagnosis pasti TB dengan menemukan M.tuberculosis pada

pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura atau

biopsy jaringan. Namun pemeriksaan tersebut juga sulit pada anak karena

sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.6

Penggunaan obat anti tuberculosis (OAT) pada anak berbeda dengan

dewasa. Jumlah OAT serta dosis yang diberikan pada anak dibutuhkan

pertimbangan berat badan anak serta klinis pada anak. Penatalaksanaan yang tidak

tepat dan benar pada anak dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.4 Program

DOTS dibentuk sebagai strategi pengendalian tuberculosis yang diawasi langsung

oleh pengawas menelan obat yang sudah mendapat pengarahan oleh petugas TB.7

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka refara. ini dibuat untuk lebih

memahami mengenai TB paru pada anak.

1.2 Tujuan Penulisan

6
1. Mengindentifikasi masalah kesehatan pada keluarga binaan.

2. Melakukan intervensi terhadap masalah kesehatan yang ada pada

keluarga binaan.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Dapat menjadi masukan kepada masyarakat, petugas Puskesmas dan

khususnya keluarga sebagai upaya melakukan pengendalian terhadap

tuberkulosis.

2. Sebagai bahan pembelajaran dan menambah pengetahuan penulis dalam

menganalisa dan melakukan intervensi pada permasalahan yang

dihadapi oleh keluarga binaan penulis.

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

mikrobakterium tuberkulosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat

merupakan organisme patogen maupun saprofit. Sebagian besar kuman TBC

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainya. Penyakit

tuberkulosis disebabkan oleh kuman/bakteri Mycobacteriumtuberculosis. Kuman

ini pada umumnya menyerang paru - paru dan sebagianlagi dapat menyerang di luar

paru - paru, seperti kelenjar getah bening(kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan,

selaput otak, dan sebagianya8.

2.2 Epidemiologi

Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab

morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan

9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB

di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan

TB, 75% didapatkan di duapuluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden

countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak

berkisar antara 3% sampai >25%. Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB

dewasa, sehingga dalam penanggulangan TB anak, penting untuk mengerti

gambaran epidemiologi TB pada dewasa. Infeksi TB pada anak dan pasien TB anak

terjadi akibat kontak dengan orang dewasa sakit TB aktif. Dari beberapa negara

8
Afrika dilaporkan hasil isolasi Mycobacterium tuberculosis (MTB) 7%-8% pada

anak yang dirawat dengan pneumonia berat akut dengan dan tanpa infeksi human

immunodeficiency virus (HIV), dan TB merupakan penyebab kematian pada

kelompok anak tersebut. Dilaporkan juga dari Afrika Selatan bahwa pada anak anak

yang sakit TB didapatkan prevalensi HIV 40 %-50%9.

Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan

pesat selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga meningkatnya

kasus multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan

>4% dari kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam pencegahan

infeksi dan penyakit TB yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan

proteksi dari vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-

80%, secara umum diperkirakan daya proteksi BCG hanya 50%, dan vaksinasi

BCG hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti milier dan meningitis TB. Daya

proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan miler TB 78% pada anak yang

mendapat vaksinasi9.

Risiko infeksi TB tergantung pada lamanya terpajan, kedekatan dengan

kasus TB, dan beban kuman pada kasus sumber. Risiko tinggi untuk sakit TB antara

lain umur kurang dari 5 tahun (balita), malnutritisi, infeksi TB baru, dan

imunosupresi terutama karena HIV. Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah

tertular TB, tahun 2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif.

Penyakit TB bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap

tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health Organization

memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak

menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa9.

9
Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan

AIDS. Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira

100.000 kematian karena TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor

satu diantara penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab

kematian pada semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi

saluran napas akut. Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 15-5 tahun,

merupakan kelompok usia produktif9.

Di negara berkembang,TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari

seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu 5%-7%. Laporan

mengenai TB anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB

anak adalah 5%-6% dari total kasus TB. Data seluruh kasus TB anak dari tujuh

rumah sakit Pusat Pendidikan Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) dijumpai 1086

kasus TB dengan angka kematian bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia

terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.16

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, didapatkan

prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3%

(Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok umur dijumpai prevalensi

TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 1–4 tahun 0,76% dan antara 5–14 tahun 0,53%.

Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena jumlah

anak berusia <15 tahun adalah 40%-50% dari jumlah seluruh populasi (Gambar

2.1)9.

10
Gambar 2.1 Jumlah populasi berdasarkan usia di negara berkembang9

Uji tuberkulin adalah uji yang dilakukan untuk mendeteksi infeksi M.

tuberkulosis, dapat juga dipergunakan untuk mengukur prevalens infeksi. Dari

prevalens infeksi dapat diketahui annual risk of tuberculosis infections (ARTI)

dengan metode konversi, dan merupakan salah satu parameter epidemiologi untuk

menentukan beban penyakit (burden of tuberculosis).

Parameter epidemiologi lainnya adalah perkiraan insidens BTA positif

pada proses TB paru, kasus yang dilaporkan dan laju yang dilaporkan (case

notificationsnotification rates), perkiraan cakupan yang mendapat layanan

kesehatan di populasi, serta perkiraan case fatality rate untuk pasien dengan BTA

positif dan TB yang lain. Nilai ARTI adalah probabilitas seseorang yang tidak

terinfeksi menjadi terinfeksi atau re-infeksi oleh M. tuberkulosis, dalam kurun

waktu satu tahun; dapat diperkirakan bila dilakukan survei tuberkullin berulang di

suatu populasi pada waktu yang berbeda. Berdasarkan survei yang dilakukan pada

tahun 2004 . rata-rata prevalensi kasus BTA positif diperkirakan 104 per 100.000

penduduk. Namun dengan membaginya berdasarkan durasi penyakit, insiden dari

kasus BTA positif menjadi 96 per 100.000 penduduk. Hasil penelitian uji tuberculin

11
di beberapa negara berkembang telah dipakai untuk memperkirakan besarnya

ARTI. Dengan dasar survei uji tuberkulin pada anak, diperkirakan ARTI di negara

berkembang berkisar antara 0,6% sampai 2,3%. Pada tahun 2006 dilakukan

penelitian untuk mengetahui angka ARTI pada anak yang dilakukan di Sumatera

Barat. Berdasarkan pengamatan pada anak yang memiliki skar BCG dengan 16 mm

sebagai cut off point dari pemeriksaan tuberkulin didapatkan angka prevalensi

infeksi (95% CI: 6,2-9,8%) mencapai 8% sehingga didapatkan nilai ARTI 1%.

Diperkirakan untuk setiap ARTI 1%, rata-rata menunjukkan 96 kasus BTA positif

TB per 100.000 populasi9.

2.3 Klasifikasi Tuberkulosis10

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan

suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif

atau BTA negatif;

3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif

4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

12
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau

didiagnosis oleh dokter.

2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk

Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-

kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat

diperlukan untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga

mencegah timbulnya resistensi

2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga

meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)

3. Mengurangi efek samping

a. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:

1) Tuberkulosis paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak

termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu

pada

13
TB Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB

positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria

diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.

1) TB paru BTA negatif foto toraks positif

dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan

ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran

kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau

keadaan umum pasien buruk.

14
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu:

a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB

saluran kemih dan alat kelamin.

Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk

kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat

sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi

beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus Baru

Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis

dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali

dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

15
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

4) Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk

melanjutkan pengobatannya.

6) Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok

ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA

positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.4 Etiologi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis.11

Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri batang aerob, tidak

membentuk spora dan tahan asam.11 Sebagian besar bakteri ini menyerang paru

tetapi bisa juga menyerang jaringan ikat dan berbagai organ di tubuh yang disebut

tuberkulosis ekstraparu.12,13

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang lurus dan

tipis berukuran sekitar 0.4 x 3 µm serta mengandung banyak lemak kompleks dan

sulit didekolorisasi.14 Pada media artifisial, bakteri ini memiliki bentuk kokoid dan

16
filamentosa yang terlihat dalam berbagai morfologi dari satu spesies ke spesies

lain.15

Gambar 2.2 Bakteri Mycobacterium Tuberculosis16

Mycobacterium tuberculosis tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok

gram-positif maupun gram-negatif karena ketika diwarnai dengan pewarnaan dasar,

bakteri tersebut tidak dapat dihilangkan warnanya oleh alkohol kecuali dengan

iodin. Bakteri ini disebut basil tahan asam sehingga diperlukan pewarnaan teknik

Ziehl-Neelsen. Pada apusan sputum atau potongan jaringan, kuman dapat terlihat

dengan warna kuning-oranye fluoresens setelah diwarnai dengan pewarnaan

fluorokrom yang bertujuan untuk dapat melihat BTA.17

Pertumbuhan kuman secara aerob obligat, jumlah O dan CO yang

banyak dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan lambat dengan waktu

pembelahan sekitar 20 jam. Terlihat koloni cembung, kering dan kuning gading.8

Kuman tahan terhadap suhu rendah, sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka

waktu lama antara 4°C sampai minus 70°C. Ketika suhu menjadi dingin, kuman

akan bersifat dorman. Tetapi kuman juga sangat peka terhadap panas, sinar

17
matahari dan sinar ultraviolet. Jika terkena paparan langsung terhadap sinar

ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit.19

Daya tahan Mycobacterium tuberculosis lebih besar dari bakteri lainnya

karena bersifat hidrofobik di permukaan sel. Pada sputum kering yang melekat pada

debu, daya tahan bisa mencapai 8-10 hari. Pengaruh pemanasan sama halnya

dengan kuman lainnya.18

Sebagian antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat

menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat.18 Mycobacterium tuberculosis banyak

mengandung lipid seperti lemak komleks, lilin dan fosfatida. Lipid pada dinding sel

berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan yang menyebabkan

rendahnya efektifitas berbagai antibiotik. Lipid menentukan tahan asam hingga

batas tertentu. Penghilangan lipid dengan asam panas akan menghancurkan sifat

tahan asam. Selain itu, lipoarabinomannan pada dinding sel mempengaruhi

patogenesis sehingga bakteri ini mampu bertahan di dalam makrofag.

Mycobacterium tuberculosis mengandung protein yang menimbulkan reaksi

tuberkulin yang dapat menyebabkan pembentukan antibodi karenanya.20

2.5 Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB

maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi

faktor resiko infeksi TB dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko

sakit TB).21

Faktor risiko infeksi TB

18
a. Anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB

positif).

b. Daerah endemis.

c. Kemiskinan.

d. Lingkungan yang tidak sehat ( hygiene dan sanitasi tidak baik).

e. Tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan

lain ).21

Sumber infeksi pada anak yang terpenting adalah pajangan terhadap orang

dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari ibu dengan

BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat hubungan

bayi dengan ibu tersebut semakin besar pula kemungkinan bayi terpajang percik

renik (droplet nuclei) yang infeksius.21

Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih

tinggi jika pasien deawasa mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau

kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan

kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara

yang tidak baik.

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang

dewasa disekitarnya. Hal ini karena kuman TB jarang ditemukan didalam secret

endobronkial pasien anak. Beberapa alasan yang menjelaskan kondisi tersebut

adalah :

a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacilarry).

b. Lokasi infeksi primer jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi

sputum.

19
c. Tidak ada atau sedikitnya produksi sputum.

d. Tidak terdapatnya reseptor batuk pada parenkim sehingga jarang terdapat

gejala batuk.

Faktor risiko sakit TB

a. Usia

Anak usia ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar menderita sakit TB,

dikarenakan imunitas selulernya belum berkembang sempurna. Bayi yang

terinfeksi TB pada umumnya menjadi sakit TB. Pada anak usia 1-5 tahun, yang

menjadi sakit 24 %, pada remaja 15 %, pada deawasa 5-10%. Anak usia < 5 tahun

memiliki resiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan

meningitis TB) dengan angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi. Resiko

tertinggi terjadinya sakit TB adalah pada 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama

pada 6 bulan pertama. Pada bayi biasanya kurang dari 1 tahun dan biasanya timbul

gejala akut.21

b. Infeksi baru yang ditandai adanya konversi uji tuberculin (dari negatif

menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.

c. Malnutrisi.

d. Keadaan imunocompromais.

e. Diabetes melitus.

f. Gagal ginjal kronik.

g. Status sosioekonomi rendah.

h. Kepadatan hunian.

i. Pendidikan yang rendah.

j. Migrasi penduduk di negara maju.

20
k. Virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya.

Tabel 2.1 Resiko sakit Tuberkulosis pada anak yang terinfeksi M. Tuberculosis.21

Risiko sakit
Umur saat infeksi
TB Diseminata
Primer (Tahun) Tidak sakit TB paru
(milier, meningitis)

<1 50 % 30-40% 10-20%

1-2 75-80% 10-20% 2-5%

2-5 95% 5% 0,5 %

5-10 98% 2% <0,5 %

>10 80-90% 10-20% <0,5 %

2.6 Penularan

a. Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB dengan BTA positif. Penularan bisa

dimulai ketika pasien terinfeksi Mycobacterium tuberculosis melalui percik

renik dahak.19 Dahak yang mengandung droplet nuklei berdiameter 1 - 5 µm.

Droplet tersebut dikeluarkan melalui perantara batuk, bersin, atau saat sedang

berbicara.12 Pada waktu batuk atau bersin penderita BTA positif menghasilkan

sekitar 3000 percikan droplet.19

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis

Menurunnya sistem imun tubuh menyebabkan kondisi tubuh rentan

terhadap kuman TB, sehingga perkembangan TB pada tubuh menyebabkan

terjadinya fase infeksi kemudian diikuti fase sakit. Ada dua faktor yang

21
mempengaruhinya, yaitu faktor endogen (berhubungan dengan tubuh) dan faktor

eksogen (lingkungan dan perilaku).23

Peningkatan progresivitas dari fase infeksi TB menjadi fase sakit TB yang

dipengaruhi oleh faktor endogen meliputi umur, jenis kelamin, status imunitas,

malnutrisi, HIV dan diabetes. Faktor lingkungan juga mempengaruhi seperti

ventilasi rumah yang tidak baik, sirkulasi udara dengan konsentrasi bakteri yang

tinggi dengan tempat yang sempit dan tertutup. Selain itu, paparan seperti

lamanya paparan seseorang penderita TB juga menyebabkan tingginya faktor

penularan TB.16,23

Namun dari semua faktor tersebut, HIV merupakan salah satu faktor utama

yang mempercepat timbulnya sakit TB.24

2.7 Patogenesis25,26

Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+, Pada waktu

batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler

(percikan dahak).

Infeksi Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang

primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja

dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan

peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

22
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu

nasib sebagai berikut:

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis

fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c. Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.

1) Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan

bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar

sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan

akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada

lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya atau tertelan.

3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan

dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang

ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat

imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat

seperti itu berkulosismilier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.

Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,

misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan

penyebaran ini mungkin berakhir dengan:

23
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang

pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma).

Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberculosis primer.

Gambar 2.3 Skema Patogenesis Infeksi Primer TB paru

Infeksi Post Primer

24
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah

tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis

postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk

tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena

dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang

dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus

inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:

1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacatSarang tersebut

akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan

jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam

bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan

membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan

keluar.

2) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).

Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya

berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).

Kaviti tersebut akan menjadi:

Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di

atas.

25
Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.

Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif

kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti

menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut

sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 2.4 Skema patogenesis infeksi TB paru post primer

2.8 Gejala Tb Paru Pada Anak27

Gejala Sistemik:

1. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi

gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan

gizi yang baik dala waktu 1-2 bulan.

26
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan

demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain.). Demam

umumnya tidak tinggi.

3. Batuk lama ≥2 minggu, bersifat non remitting (tidak pernah reda atau

intensitas semakin lama semakin parah). Batuk tidak membaik dengan

pemberian antibiotika atau obat asma (sesuai indikasi).

4. Lesu dan malaise, anak kurang aktif.

Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.

2.9 Alur Diagnostik TB Pada Anak27

Secara umum penegakkan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu :

1. Konfirmasi bakteriologis TB

2. Gejala klinis yang khas TB

3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan

pasien TB)

4. Gambaran foto thoraks sugestif TB

Di Indonesia digunakan sistem skoring untuk membantu menegakkan diagnosis TB

pada anak.

Tabel 2.2 Skoring TB pada anak.

27
Parameter Sistem Skoring27:

1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis

hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB

01 atau dari hasil laboratorium.

2. Penentuan status gizi

- Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang

- Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penemtuan status gizi

untuk anak usia ≤6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes 201,

sedangkan untuk anak usia >6 tahun merujuk pada standar WHO 2005

yaitu grafik IMT/U

28
- Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama

1-2 tahun.

Gambar 2.5 Alur Diagnosis TB Paru Anak27

Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan

sputum:

1. Jika hasil pemeriksaan mikrobilogi positif, anak didiagnosis TB dan

diberikan OAT.

2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi negatif atau spesimen tidak dapat

diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks maka:

a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan foto

toraks:

1.) Jika ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak dapat

didiagnosis TB dan diberikan OAT.

29
2.) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klini selama 2-4

minggu. Bila pada follw up gejala menetap, rujuk anak untuk

pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks.

b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor

total menggunakan sistem skoring:

1.) Jika skor total ≥6  diagnosis TB dan obati dengan OAT

2.) Jika skor total <6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak

erat diagnosis TB dan obati dengan OAT.

3.) Jika skor total <6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak

erat observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi

ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan

kesehatanyang lebih tinggi.

2.10 Pemeriksaan Penunjang

- Uji Tuberkulin

Reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang

terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji tuberculin sangat

dibutuhkan. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam

menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji tuberkulin penting artinya pada

anak kecil bila diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada anak dibawah

umur 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya

masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis.28

30
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu tes mono dengan

salep, patch test, test von pirquet, tes mantoux dengan menyuntikan

intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 – 6 jarum berdasarkan

metode Heat and Tine. Uji Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL yang

mengandung 5 unit tuberculin (UT) derivate protein yang dimurnikan (PPD)

yang distabilkan dengan Tween 80.29 Sampai sekarang cara Mantoux masih

dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena

jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat diketahui banyaknya.

Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas:

1. Eritema karena vasodilatasi perifer

2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibodi

3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.

Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 – 72 jam. Setelah penyuntikan

diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang-kadang

penderita akan mulai berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji,

ini adalah hasil positif. Faktor – faktor yang terkait hospes, termasuk umur

yang amat muda, malnutrisi, immunosupresi karena penyakit atau obat –

obat, infeksi virus, vaksin virus hidup, dan tuberculosis yang berat, dapat

menekan reaksi uji kulit pada anak yang terinfeksi dengan M.tuberculosis.

Terapi kortikosteroid dapat menurunkan reaksi terhadap tuberculin, dengan

pengaruh yang sangat bervariasi28

Interpretasi hasil test Mantoux:

1. Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif

31
Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman

Mycobacterium tuberculosis.

2. Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan

Reaksi meragukan dapat terjadi akibat kesalahan teknik atau memang

ada infeksi dengan Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu

diulang dengan konsentrasi yang sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10

mm atau lebih berarti infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Kalau

tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau BCG, kalau tetap 6 – 9 mm

tetapi ada tanda – tanda lain dari tubeculosis yang jelas maka harus

dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan Mycobacterium

tuberculosis.

3. Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.

Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.

Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh

sensitisasi silang terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi

silang ini biasanya sementara selama beberapa bulan sampai beberapa tahun

dan menghasilkan indurasi kurang dari 10 – 12 mm. Vaksinasi sebelumnya

(BCG) juga dapat menimbulkan reaksi terhadap uji kulit tuberculin. Sekitar

setengah dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan

uji kulit tuberculin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2 – 3 tahun

kemudian pada penderita yang pada mulanya memiliki uji kulit positif.29

- Pemeriksaan Radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang

praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang

32
membutuhkan biaya lebih dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam

beberapa hal pemeriksaan radiologis memberikan beberapa keuntungan

seperti tuberkulosis pada anak – anak dan tuberculosis millier. Pada kedua

hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologi dada,

sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Pada anak dengan uji

tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis

paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:

1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.

2. Pembesaran kelenjar paratrakeal.

3. Penyebaran milier.

4. Penyebaran bronkogen

5. Atelektasis

6. Pleuritis dengan efusi.

Pemeriksaan radiologis saja tidak dapat digunakan untuk membuat

diagnosis tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.

Limfadenopati paratrakeal kananx

33
Infiltrasi pada kedua lapang paru dan limfadenopati hilus kananx

- Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya

kadang-kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai (aktif )

akan didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit

masih normal. Laju Endap Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai

sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai

turun kearah normal lagi.

2. Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya

kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping

itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap

pengobatan yang sudah diberikan, tetapi kadang – kadang tidak mudah

untuk menemukan sputum terutama penderita yang tidak batuk atau pada

anak –anak. Pada pemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena

pada umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas

34
laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti membutuhkan

biaya yang banyak.

Karena kesulitan dalam pengambilan sputum pada anak dan sifat

pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak

dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Dengan makin

meningkatnya kasus TB resisten obat dan TB HIV, saat ini pemeriksaan

bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan yang seharusnya

dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai

fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologis. Cara

mendapatkan sputum pada anak :

a. Berdahak

Pada anak >5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan

sputum/dahak secara langsung dengan berdahak.

b. Bilas lambung

Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada

anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen

dikumpulkan minimal 2 hari berturut-turut pada pagi hari.

c. Induksi Sputum

Induksi sputum relatif lebih aman dan efektif untuk dikerjakan pada

anak, dengan hasil yang lebih baik dari bilas lambung., terutama

apabila menggunakan lebih dari 1 sampel.

Sputum yang telah dikumpulkan tadi diperiksa dengan beberapa

metode pemeriksaan bakteriologis TB.

35
a. Pemeriksaan mikroskopis sputum BTA atau spesimen lain (cairan tubuh

atau jaringan biopsi). Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan

minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari.

b. Tes Cepat Molekular (TCM)

TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium

tuberculosis secara molekular sekaligus menentukan ada tidaknya

resistensi terhadap rifampisin. Pemeriksaan TCM memiliki nilai

diagnostik lebih baik dari pada pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi

masih dibawah uji biakan. Hasil negatif TCM tidak menyingkirkan

diagnosis TB.30

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang nya

ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain

diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.29

3.Pemeriksaan biakan

Standar emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB

yaitu Mycobacterium Tuberculosis pada pemeriksaan biakan (sampel dari

sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi

jaringan). Jenis media untuk perkembangbiakan yaitu:

a. Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu

b. Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu) tetapi

lebih mahal.

4.Pemeriksaan histopatologi

36
Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) akan menunjukkan gambaran

granuloma dengan nekrosis perkejuan ditengahnya dan dapat pula

ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.30

2.11 Tatalaksana TB pada Anak31

Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri atas terapi dan profilaksis

(pengobatan pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,

sedangkan profilaksis diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB

(profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis

sekunder).

Prinsip pengobatan TB pada anak yaitu;

a) Menyembuhka pasien TB

b) Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya

c) Mencegah TB relaps

d) Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat

e) Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin

f) Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak:

a) Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak boleh sebagai monoterapi

b) Pengobatan diberikan etiap hari

c) Pemberian gizi yang adekuat

d) Mencari penyakit penyerta dan ditatalaksana secara bersamaan

1. Obat pada TB Anak

o Obat anti tuberkulosis (OAT)

37
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler)

sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan

kepada anak dengan BTA positif, TB berat, dan TB tipe dewasa. Terpai TB anak

dengan BTA negatif menggunakan panduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid

pada fase inisial (2 bulan) diikuti Rifampisisn dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.

Tabel 2.3 Dosis OAT untuk Anak

Tabel 2.4 Panduan OAT dan Lama Pengobatan TB anak

38
o Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)

Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatka keteraturan minum

obat, panduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Paket KDT untuk

anak berisi obat fase intensif yaitu Rifampisin 75mg, INH 50mg, dan Pirazinamid

150mg, serta obat fase lanjutan yaitu Rifampisin 75mg dan INH 50mg dalam satu

paket.

Tabel 2.5 Dosis OAT KDT pada TB anak

Keterangan:

a) Bayi < 5kg, pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT dan

sebaiknya dirujuk ke RS

39
b) Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet disesuaikan dengan

BB saat itu

c) Anak dnegan obesitas, dosis KDT berdasarkan BB ideal (sesuai umur)

d) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah atau digerus)

e) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan, dikunyah/ dikulum, atau

dimasukkan air dalam sendok

f) Obat diberikan saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan

g) Bila INH dikombinasi dengan Rifampsin, dosis INH tidak boleh

>10mg/kgBB/hari

h) Apabila Oat lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak

boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

o Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan pada kondisi:

a) TB meningitis

b) Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar

c) Perikarditis TB

d) TB milier dengan gangguan napas yang berat

e) Efusi pleura TB

f) TB abdomen dengan asites

Obat yang digunakan adalah prednison 2-4mg/kg/hari dengan dosis

maksimal 60mg/hari selama 4 minggu. Tappering off bertahap setelah 2 minggu

pemberian keculai pada TB meningitis pemebrian selama 4 minggu.

o Piridoksin

40
INH dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama anak

dnegan malnutrisis berat dan naka dengan HIV yang mendapat ARV. Rekomendasi

pemberian suplementasi piridoksin 5-10mg/hari.

 Nutrisi

Status gizi anak dnegan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan

TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB.

Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan.

Penilaian dilakukan dengan mengukur BB, TB, lingkar lengan atas atau

pengamatan tanda dan gejala malnutrisi seperti edema atau muscle wasting.

Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan.

Dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat diatasi. ASI

tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusu.

 Pemantauan dan Evaluasi TB Anak

o Pemantauan Pengobatan

Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara teratur oleh

Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak.

Pasie TB anak dipantau setiap 2 minggu selama fase intensif dan setiap bulan pada

fase lanjutan. Setiap kunjungan dievaluasi respon pengobatan, kepatuhan, toleransi,

dan kemungkinan efek smaping obat.

Respon pengobatan baik bila gelaja klinis membaik (demam menghilang

dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat, dan BB bertambah. Jika respon

pengobatan tidak baik makan pengobatan TB tetap dilanjutkan lalu pasien dirujuk

41
ke saran yang lebih lengkap untuk menilai kemungkinan resistensi obat,

komplikasi, komorbiditas, atau adanya penyakit paru lain.

Pasien TB anak dengan BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan

pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke-2, ke-

5, dan ke-6. Perbaikan radiologis akan terlihat dalam hangka waktu lama, sehingga

foto toraks hanya dilakukan pada TB milier setelah 1 bulan pengobatan dan efusi

pleura setelah 2-4 minggu. Pemeriksaan uji tuberkulin akan tetap positif. Pemberian

OAT dihentikan setelah pengobatan lengkap dengan melakukan evaluais klinis

maupun pemeriksaan penunjang seperti foto toraks (TB milier, TB dengan kavitas,

efusi pleura) dan BTA.

o Hasil Pengobatan TB Anak

Tabel 2.6 Hasil akhir pengobatan

42
 Tatalaksana Pasien Berobat Tidak Teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab

kegagalan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya TB resisten obat.

a) Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di

fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.

b) Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di

fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan

sampai selesai.

 Pengobatan Ulang TB Anak

43
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali

dengan gejala TB, perlu dievaluasi apakah menderita TB. Evaluais dengan

pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Apabila hasil pemeriksaan dahak positif,

anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh.

 Tatalaksana Efek Samping Obat

Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa.

Pemberian etambutol untuk anak dengan TB berat tidak banyak menimbuljan efek

samping selama sesuai rentang dosis yang direkomendasikan.

Efek samping yang paling sering adalah hepatotoksisitas yang disebabkan

oleh INH, Rifampisin, atau Pirazinamid. Pemeriksaan kadar enzim hati tidak perlu

rutin dilakukan saat akan memulai pengobatan. Keadaan peningkatan enzim hati

ringan tanpa gejala klinis (< 5x nilai normal) bukan indikasi penghentian OAT. Jika

timbul gejala hepatomegali atau ikterus, maka harus segera dilakukan pemeriksaan

kadar enzim hati dan jika perlu penghentian OAT. OAT diberikan kembali jika

fungsi hati kembali normal dengan dosis lebih kecil yang masih masuk dalam

rentang terapi, tetap monitor kadar enzim hati.

2.12 Pencegahan TB Anak

A. Investigasi Kontak

Salah satu cara menemukan pasien TB secara aktif. Ditujukan pada

kelompok yang kontak erat dengan pasien TB yang beresiko tinggi untuk

terinfeksi TB.

Investigasi kontak seharussnya dilakukan pada semua orang yang berkontak

dengan pasien TB dan anak adalah prioritas utama.

44
Anak menjadi sasaran utama karena :

 Apabila kontak erat dengan penderita TB aru yang infeksisus, anak

lebih beresiko untuk terinfeksi, setelah terinfeksi anak beresiko

tinggi untuk menjadi sakit TB.

 Jika sakit TB, anak beresiko lebih tinggi untuk menderita TB berat

seperti meningitis TB dan TB milier.

Ada 3 kemungkinan yang terjadi pada anak yang kontaak erat dengan pasien

TB yang infeksius sesuai perjalanan ilmiah penyakit TB, yaitu :

 Terpajan (tidak ada bukti infeksi ataupun sakit TB)

Kelompok ini merupakan orang-orang yang berkontak dengan

pasien TB dan mempunyai sistem imun yang baik.

 Terinfeksi tetapi tidak sakit (infeksi laten TB)

Infeksi TB terjadi jika orang yang berkontak dengan pasien TB

menghirup kuman TB dan kuman tersebut masuk ke paru. Sistem

imun tubuh oang tersebut tidak mampu mengeliminasi kuman TB

tetapi mampu mengendalikan kuman TB sehingga tidak timbul

gejala sakit TB.

 Sakit TB

Orang yang terinfeksi TB dapt berlanjut menjadi sakit TB bila sistem

imunnya kurang baik dan tidak mampu mengendalkan kuman TB

secara adekuat.

45
Gambar 2.6 Alur Investigasi Kontak

B. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid pada Anak (PP INH)

Pengobatan yang diberikan kepada kontak yang terbukti tidak sakit

TB, dengan kriteria:

 Usia < 5 tahun

 Anak dengan HIV positif

 Anak imunokompromais lain (misalnya gizi buruk, DM, keganasan,

mendapatkan steroid sistemik jangka panjang).

46
Tabel 2.7 Tatalaksana pada Kontak Anak

Tujuan PP INH adalah untuk menurunkan beban TB pada anak.

Risiko berkembangnya penyakit TB lebih tinggi dalam kurun waktu 2 tahun

sejak terjadinya infeksi. Oleh sebab itu, prlu dilakukan observasi timbulnya

gejala selama setidaknya 2 tahun sejak terjadinya kontak, pada semua

kontak anak baik yang mendapat PP INH atau tanpa PP INH.

Dosis INH adalah 10 mg/kgBB/hari (maksimal 300 mg/hari),

dikonsumsi satu kali sehari, saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau

2 jam setelah makan). Lama pemberian PP INH adalah 6 bulan, dosis obat

disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan.

C. Vaksinasi BCG pada Anak

Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang diilemahkan yang berasal

dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksin BCG diberikan pada bayi 0-2

bulan. Pembeian vaksin BCG pada bayi >2 bulan harus didahului dengan

uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman

Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Vaksinasi BCG ulang tidak

direkomendasikan karena tidak terbukti memberikan perlindungan

tambahan.

47
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA postif pada

triester 3 beresiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion, maupun

hematogen. Vaksinasi tidak boleh diberikan pada bayi yang terinfeksi HIV

karena meningkatkan risiko BCG diseminata. Di daerah yang endemiss

TB/HIV, bayi yang terlahir dari ibu dengan HIV positif namun tidak

memiliki gejala HV boleh diberikan vaksinasi BCG. Bila pemeriksaan HIV

dapat dilakukan, maka vaksinasi BCG ditunda sampai status HIV nya

diketahui.

Efek samping paling sering adalah limfadenitis BCG. Limfadenitis

BCG dapat timbul 2 minggu sampai 24 bulan setelah penyuntikan vaksin

BCG. Terdapat 2 bentuk limfadenitis BCG yaitu supuratif dan non

supuratif.

48
BAB 3
LAPORAN KELUARGA BINAAN

3.1. STATUS PASIEN


3.2.1 Identitas Pasien
a. Nama : Ny. NPR
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur : 2 Tahun 1 Bulan
d. Pekerjaan : Belum Bekerja
e. Agama : Islam
f. Suku : Minang
g. Negara Asal : Indonesia
h. No. Telp. :-
i. Asuransi Kesehatan : BPJS PBI
3.2.2 Alamat : Jl. Tabing Banda Gadang No. 23 RT 02/RW
01
3.2.3 Latar Belakang Sosial-Ekonomi-Demografi-Lingkungan Keluarga
a. Status perkawanian :-
b. Jumlah Anak :-
c. Status Ekonomi Keluarga :-
d. KB :-
e. Kondisi Rumah :
- Rumah pasien semipermanen, pekarangan tidak ada
- Ventilasi tidak cukup dan pencahayaan tidak cukup (jendela rumah
tertutup rapat)
- Rumah terdiri dari 2 buah kamar, 1 ruangan yang dijadikan sekaligus
dapur, kamar mandi dan tempat pengumpulan barang bekas, WC tidak ada.
- Lantai rumah terbuat dari semen.
- Sumber air : air PDAM; air minum: air galon
- Listrik ada
- Sampah dibuang ke tempat pembuangan sampah umum
- Loteng rumah ada

49
- Kondisi Lingkungan Keluarga
• Pasien tinggal dengan ayah, ibu dan seorang kakak perempuan
• Pasien tinggal di daerah yang padat penduduk

3.2.4 Aspek Psikologis Keluarga


Hubungan pasien dengan keluarganya cukup baik. Faktor stress dalam
keluarga disangkal.

3.2.5 Keluhan Utama


Demam yang hilang timbul sejak ± 4 bulan yang lalu

3.2.6 Riwayat Penyakit Sekarang


 Demam yang hilang timbul sejak ± 4 bulan yang lalu. Demam tidak tinggi,
tidak menggigil dan tidak berkeringat banyak.
 Batuk yang hilang timbul sejak ± 4 bulan yang lalu. Batuk kadang berdahak,
kadang tidak. Dahak berwarna putih kekuning-kuningan. Riwayat batuk
darah sebelumnya tidak ada.
 Sesak nafas tidak ada.
 Berkeringat malam hari (-).
 Nafsu makan menurun.
 Berat badan tidak bertambah secara signifikan sesuai dengan pertumbuhan
normal seusianya.
 BAB dan BAK tidak ada keluhan.
 Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama di lingkungan rumah
ada, yaitu ayah pasien.
 Pasien dibawa berobat ke Puskesmas Lapai pada tanggal 22 Juni 2019 dan
dirujuk ke RSUD Padang dan didiagnosa sebagai TB kelenjar. Pasien
mendapatkan terapi OAT kategori 1 dari RSUD Padang.

3.2.7 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat TB sebelumnya (-)
3.2.8 Riwayat Penyakit Keluarga

50
- Ayah pasien mengalami gejala batuk berdahak yang hilang timbul sejak ± 4
bulan yang lalu, namun belum melakukan pemeriksaan bakteriologis dan
belum mendapatkan pengobatan
- Riwayat DM , Hipertensi dan penyakit jantung dalam keluarga (-)
- Status HIV (-)

3.2.9 Riwayat Pekerjaan, Kejiwaan dan Kebiasaan


- Pasien tidak bekerja, anak ke 2 dari 2 bersaudara.
- Pasien anak dari seorang pekerja swasta dan ibu rumah tangga,
pendapatan - keluarga ± Rp 1.300.000/bulan, aktivitas fisik ringan.
- Ayah pasien seorang perokok sejak usia 15 tahun sampai sekarang (21
tahun), merokok 1 bungkus/hari dengan Indeks Brinkman sedang.
- Pola makan biasa 3x tapi sering tidak teratur.

Riwayat Persalinan
Lama hamil : Cukup bulan
Cara lahir : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Indikas i : Gravid aterm
Berat lahir : 3000 gr
Panjang lahir : 49 cm
APGAR score : langsung menangis kuat, kebiruan tidak ada
Kesan : Riwayat kelahiran normal

Riwayat Makan dan Minuman


 Bayi
ASI : 0-24 bulan
Bubur Susu : 6-8 bulan
Nasi Tim : 8-12 bulan
Buah, biskuit : 8-12 bulan
Susu Formula :-
 Anak

51
Makanan utama : 3x/hari menghabiskan 1 porsi kecil
Daging : 1x/ minggu
Ikan : 1x/minggu
Telur : 4x/minggu
Sayur : 1x/minggu
Buah : 2x/minggu
Kesan : Kualitas dan kuantitas makan cukup

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/umur Booster/umur
BCG 1 bulan, skar (+)
DPT : 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Polio : 1 2 bulan
2 3 bulan
3 4 bulan
Hepatitis B : 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Hemofilus influenza B : 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Campak Belum dilakukan
Kesan: riwayat imunisasi dasar belum lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat Umur Riwayat Gangguan Umur
Pertumbuhan dan Perkembangan Mental
Perkembangan
Ketawa 3 bulan Isap jempol -
Miring 3 bulan Gigit kuku -

52
Tengkurap 4 bulan Sering mimpi -
Duduk 6 bulan Mengompol -
Merangkak 7 bulan Aktif sekali -
Berdiri 10 bulan Apatik -
Lari 1,5 tahun Membangkang -
Gigi pertama 2 bulan Ketakutan -
Bicara 2 tahun Pergaulan jelek -
Kesan : riwayat pertumbuhan terganggu dan perkembangan normal

3.2.10 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

 Keadaan umum : sakit sedang

 Kesadaran : kurang aktif

 Nadi : 96 x/menit

 Suhu : 37,1ºC

 Pernapasan : 22x/menit

 Sianosis : Tidak ada

 Edema : Tidak ada

 Anemis : Tidak ada

 Ikterus : Tidak ada

Kulit : Teraba hangat, sianosis tidak ada

Kelenjar Getah Bening :Teraba pembesaran kelenjar getah bening pada leher

kiri

Kepala : Normocephal

Rambut : Tidak ada kelainan

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

53
Telinga : Tidak ada kelainan

Hidung : Tidak ada kelainan

Tenggorokan : Tidak hiperemis

Gigi dan mulut : Karies gigi (-)

Leher : JVP 5-2 cmH2O, deviasi trakea (-)

Paru:

Paru depan

 Inspeksi : Statis = simetris kiri dan kanan.

Dinamis = pergerakan kiri dan kanan sama

Retraksi dinding dada tidak ada

 Palpasi : Fremitus taktil sulit dinilai

 Perkusi : Sonor kiri dan kanan

 Auskultasi : SN bronkovesikular, rh -/-, wh -/-

Paru belakang

 Inspeksi : Statis = simetris kiri dan kanan

Dinamis = pergerakan kiri dan kanan sama

 Palpasi : Fremitus taktil sulit dinilai

 Perkusi : Sonor kiri dan kanan

 Auskultasi : SN bronkovesikular, rh -/-, wh -/-

Jantung :

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

 Perkusi : Atas : RIC II

Kanan : LSD

54
Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V

 Auskultasi : S1-S2 Reguler, bising jantung (-), gallop (-)

Abdomen :

 Inspeksi : Tidak membuncit, distensi (-)

 Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

 Perkusi : Timpani

 Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Alat kelamin : Tidak diperiksa

Ekstremitas : Teraba hangat, CRT <2 dtk, edema -/-, clubbing finger -/-

3.2.11 Pemeriksaan Penunjang

- Mantoux Test : positif

DIAGNOSIS HOLISTIK

1. Keluhan utama : Demam ± sejak 4 bulan yang lalu

Kekhawatiran : Anak sering sakit dan berat badan anak tidak naik, sehingga

anak terlihat letih dan mudah terserang penyakit.

Harapan : Berat badan anak naik sesuai umur dan anak bisa sembuh

seperti semula.

2. Diagnosis klinis : Tuberkulosis kelenjar dalam pengobatan OAT kategori

1 + gizi buruk

Diagnosis banding : -

3. Faktor risiko internal :

55
- Usia pasien 2 tahun merupakan usia dengan sistem imun yang masih rendah

dan mudah tertular penyakit

- Anak yang tidak nafsu makan menyebabkan intake nutrisi pada anak kurang

dan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh anak

4. Faktor risiko eksternal :

- Ventilasi rumah yang minim menyebabkan kurangnya sirkulasi udara di

rumah dan meningkatkan kelembapan rumah sehingga bakteri M. Tuberculosis

mudah berkembang

- Adanya kemungkinan penularan dari ayah pasien (susp TB)

-Status ekonomi keluarga yang kurang mampu menyebabkan sulitnya memberi

makanan tambahan untuk pasien

5. Derajat fungsional :

- Derajat 1 yaitu pasien masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari

TATALAKSANA KOMPREHENSIF

1. Promotif

- Edukasi pasien mengenai etiologi dan faktor resiko penularan penyakit TB

termasuk pentingnya ventilasi dan masuknya cahaya matahari ke rumah

dalam mengatasi bakteri M. Tuberculosis

- Edukasi keluarga pasien, bahwa penyakit pada pasien sulit sembuh dan bisa

berulang jika sumber infeksi tidak diatasi.

56
- Edukasi keluarga agar membawa anggota keluarga lain yang memiliki gejala

TB ke puskesmas untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan lebih

lanjut.

- Edukasi keluarga mengenai pentingnya intake nutrisi yang adekuat terhadap

daya tahan tubuh pasien

- Edukasi keluarga mengenai makanan tambahan untuk meningkatkan status

gizi

- Edukasi keluarga agar pasien rutin dibawa ke posyandu untuk memantau

pertumbuhan dan perkembangan pasien

- Edukasi mengenai prognosis penyakit.

- Edukasi keluarga mengenai pentingnya meminum OAT secara teratur

2. Preventif

- Menghindari sumber infeksi

- Mengobati sumber infeksi yang kemungkinan adalah ayah pasien

- Penyuluhan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam

keluarga.

- Meningkatkan intake nutrisi pada pasien

- Menggunakan alat pelindung seperti masker pada anggota keluarga lain yang

memiliki gejala TB.

3. Kuratif

- OAT kategori 1 fase lanjutan (Rifampisin 75 mg, Isoniazid 50 mg)

4. Rehabilitatif

57
Prognosis

Quo ad sanationam : dubia

Quo ad vitam : dubia

Quo ad functionam : bonam

Resep

dr. Zia
Puskesmas Lapai
SIP : 1740312434
Hari : Senin- Jumat
Jam: 08.00 – 14.00
Alamat : Jl Lapai No 0
No Telp : (0751) 00000

Padang, 21 Oktober 2019

R/ Rifampisin tab 75 mg No XXX

S 1dd tab 1

R/ Isoniazid tab 50 mg No XXX

S 1dd tab 1

Pro : An. N
Umur : 2 tahun 1 bulan
Alamat : Jl. Tabing Banda Gadang No. 23 RT 02/RW 01

58
BAB 4

ANALISIS MASALAH

4.1 Data Demografi Keluarga

Nama Kepala Keluarga : Syamsurizal

Alamat : Jl. Tabing Banda Gadang No. 23

Tabel 4.1 Anggota Keluarga yang tinggal serumah

Kedudukan
Umur
No Nama dalam Gender Pendidikan Pekerjaan
(thn)
keluarga
Buruh Harian
1 Syamsurizal Ayah Laki-laki 36 tahun Tamat SD
Lepas
Belum Ibu Rumah
2 Dian Puspita Ibu Perempuan 25 tahun
Tamat SD Tangga
Mesya Putri Belum
3 Anak Perempuan 8 tahun Pelajar
Diano Tamat SD
Nabila Putri Belum Belum
4 Anak Perempuan 2 tahun
Rizki Sekolah Bekerja

Tabel 4.2. Evaluasi keluarga menggunakan indikator pendataan keluarga sehat :

No Indikator Ya / Tidak
1. Keluarga mengikuti program KB Tidak
2. Ibu bersalin di Faskes Ya
3. Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap Tidak
4. Bayi mendapat ASI ekslusif Ya
5. Balita mendapat pemantauan pertumbuhan Tidak
6. Penderita TB mendapat pengobatan sesuai standar Ya
7. Penderita hipertensi melakukan pengobatan teratur -
8. Penderita gangguan jiwa mendapat pengobatan teratur -

59
9. Anggota keluarga tidak ada yang merokok Tidak
10. Keluarga sudah menjadi anggota JKN Ya
11. Keluarga memiliki akses sarana air bersih Ya
12. Keluarga memiliki akses jamban sehat Tidak

(-) Tidak ada penderita dikeluarga

Genogram

Keterangan:

= Perempuan
= Pasien

= Laki-laki
= TB

= Bercerai
= Tinggal serumah

60
4.2 Eco-Map

4.2.1 Kesehatan Individu

1. Nama / Jenis Kelamin / Umur : Syamsurizal / Laki-laki / 36 tahun

Pekerjaan / Pendidikan : OB / Tamat SD

Hubungan dengan Pasien : Ayah

Riwayat Kebiasaan : Jarang berolahraga, merokok ± 6

batang per hari, makan kurang teratur

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat batuk berdahak sejak 4 bulan yang lalu namun belum melakukan

pemeriksaan bakteriologis dan belum mendapatkan pengobatan

- Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung, dan keganasan tidak ada

2. Nama / Jenis Kelamin / Umur : Dian Puspita / Perempuan / 24

tahun

Pekerjaan / Pendidikan : IRT / Belum Tamat SD

61
Hubungan dengan Pasien : Ibu Kandung

Riwayat kebiasaan : Jarang berolahraga, makan kurang

teratur

Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat batuk- batuk lama disangkal. Telah dilakukan pemeriksaan

bakteriologis dengan hasil negatif

- Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung, dan keganasan tidak ada

3. Nama / Jenis Kelamin / Umur : Mesya Putri Diano / Perempuan / 8 tahun

Pekerjaan / Pendidikan : Pelajar / SD kelas 2

Hubungan dengan Pasien : Kakak

Riwayat kebiasaan :

- Jarang berolahraga, makan kurang teratur

Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat batuk- batuk lama disangkal. Telah dilakukan mantoux test

dengan hasil negatif

4. Nama / Jenis Kelamin / Umur : Nabila Putri Risdi / Perempuan / 2 tahun 1

bulan

Pekerjaan / Pendidikan :-

Hubungan dengan Pasien : Pasien

Riwayat kebiasaan : Makan tidak teratur

Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada

4.2.2 SCREEM

62
 Social : interaksi dengan tetangga cukup baik, keluarga mengikuti

kegiatan sosial yang diadakan masyarakat setempat.

 Culture : tidak ada pertentangan budaya dalam keluarga, anggota

menjalankan budaya sesuai dengan aturan yang berlaku

 Religious : anggota keluarga beragama Islam dan menjalani ibadah

wajib

 Economic : keluarga berasal dari golongan ekonomi menengah ke

bawah dengan penghasilan keluarga berasal dari uang pendapatan harian

kepala keluarga sebagai office boy di STKIP PGRI

 Educational : tingkat pendidikan keluarga bervariasi dimana ayah pasien

tidak tamat SD, ibu tidak tamat SD, kakak tiri pasien belum tamat SD,

sementara pasien belum masuk sekolah

 Medical : anggota keluarga memiliki akses dan mendapatkan

pelayanan kesehatan yang memadai

4.2.3 Family Life Line

Year Life Event

2009 Perkawinan pertama

2011 Anak pertama lahir

2016 Perkawinan kedua

2017 Anak kedua lahir

4.2.4 Fungsi Dalam Keluarga

63
Tabel. 4.3 Fungsi dalam keluarga
Kesimpulan pembina
Fungsi Keluarga Penilaian untuk fungsi keluarga
yang bersangkutan
Biologis: a. menilai fungsi Keluarga masih belum
Adalah sikap dan biologis keluarga mengetahui masalah
perilaku keluarga selama berjalan dengan baik biologisnya dengan baik,
ini dalam menghadapi / tidak belum memahami
risiko masalah biologis, b. mengidentifikasi penyebabnya dan
pencegahan, cara kelemahan / disfungsi bagaimana mengatasi atau
mengatasinya dan biologis dalam mencegah masalah tersebut
beradaptasi dengan keluarga sehingga keluarga juga tidak
masalah biologis c. menjelaskan dampak tahu bagaimana dampak
(masalah fisik jasmaniah) disfungsi biologis yang ditimbulkan
terhadap keluarga. kedepannya dari masalah
yang mereka hadapi saat ini.
Namun setelah diberikan
penjelasan, keluarga mau
merubah pola pikir dan
perilaku mengenai
penyakitnya.
Psikologis: a. mengidentifikasi Keluarga sudah mampu
Adalah sikap dan sikap dan perilaku membangun hubungan antar
perilaku keluarga selama keluarga dalam anggota keluarga,
ini dalam membangun membangun memelihara kepuasan
hubungan psikologis hubungan psikologis anggota keluarga, dapat
internal antar anggota internal antar anggota menyelesaikan masalah
keluarga. Termasuk keluarga dengan baik apabila terjadi
dalam hal memelihara b. mengidentifikasi cara perbedaan pendapat
kepuasan psikologis keluarga dalam hal diantaranya.
seluruh anggota keluarga memelihara kepuasan
dan manajemen keluarga psikologis seluruh
dalam mengahadapi anggota keluarga
masalah psikologis c. identifikasi dan
menilai manajemen
keluarga dalam
menghadapi masalah
psikologis.
Sosial: a. menilai sikap dan Keluarga dapat
perilaku keluarga mempersiapkan anggota
Adalah sikap dan perilaku selama ini dalam keluarga untuk dapat
keluarga selama ini mempersiapkan berbaur dengan baik di
dalammempersiapkan anggota keluarga masyarakat.
anggota keluarga untuk untuk terjun ketangah
terjun ke tengah masyarakat.
masyarakat.
Termasuk di dalamnya

64
pendidikan formal dan
informal untuk dapat
mandiri
Ekonomi dan a. menilai sikap dan Keluarga ini termasuk
pemenuhan kebutuhan: perilakukeluarga dalam ekonomi menengah
selama ini dalamusaha ke bawah.
Adalah sikap dan perilaku pemenuhan kebutuhan
keluarga selama ini dalam primer, sekunder dan
usaha pemenuhan tertier. menilai gaya
kebutuhan primer, hidup dan prioritas
sekunder dan tertier. penggunaan uang

4.2.5 Data Risiko Internal Keluarga

Tabel. 4.4 Perilaku kesehatan keluarga

Perilaku Sikap dan perilaku Kesimpulan Pembina


keluarga yang untuk perilaku keluarga
menggambarkan perilaku
tersebut
Kebersihan pribadi dan Tampilan pribadi cukup Kebersihan pribadi cukup
lingkungan bersih dengan mandi 2x baik dan lingkungan
Apakah tampilan sehari, tetapi kebersihan masih dinilai kurang baik
individual dan lingkungan masih kurang
lingkungan bersih dan
terawat, bagaimana
kebiasaan perawatan
kebersihannya.

Pencegahan spesifik Anak-anak pasien sudah Pencegahan spesifik pasien


Termasuk perilaku mengikuti program terhadap anak kurang
imunisasi anggota imunisasi, tapi tidak
keluarga, gerakan lengkap
bulan.
pencegahan penyakit lain
yang telah dianjurkan
(baik penyakit menular
maupun tidak menular)

65
Gizi Keluarga Setiap hari pasien Pasien dan keluarga
Pengaturan makanan memasak dengan menu belum menerapkan
keluarga, mulai cara yang kurang beragam konsusmsi makanan
pengadaan, kuantitas dan dan jarang yang bergizi dan
kualitas makanan serta mengkonsumsi lauk seimbang.
perilaku terhadap diet pauk. Pasien tidak rutin
yang dianjurkan bagi mengkonsumsi sayur
penyakit tertentu pada dan buah.
anggota keluarga

Latihan jasmani/ Tidak ada kegiatan Perhatian keluarga


aktifitas fisik olahraga rutin yang terhadap latihan jasmani/
Kegiatan keseharian dilakukan oleh anggota aktifitas fisik dinilai
untuk menggambarkan keluarga. kurang.
apakah sedentary life
cukup atau teratur dalam
latihan jasmani. Physical
exercise tidak selalu
harus berupa olahraga
seperti sepak bola,
badminton, dsb.

Penggunaan pelayanan Keluarga sudah Penggunaan


Kesehatan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan
kesehatan yang ada, yaitu dinilai baik karena
Perilaku keluarga apakah Puskesmas dan Rumah adanya pemanfaatan
datang ke posyandu, Sakit lanjutan. Namun pelayanan kesehatan.
puskesmas, dsb untuk kurang disiplin dalam
preventif atau kontrol pengobatan.
hanyakuratif, atau kuratif
ke pengobatan
komplimenter dan
alternative.
Kebiasaan/perilaku Ayah pasien merupakan Masih terdapat kebiasaan
lainnya yang buruk perokok aktif bisa yang buruk untuk
untuk kesehatan menghabiskan setengah kesehatan dalam keluarga.
bungkus rokok setiap hari
Misalnya merokok,
minum alkohol,
bergadang, dsb.
Sebutkan keseringannya
dan banyaknya setiap kali
dan jenis yang
dikonsumsi.

66
4.2.6 Data Sarana Pelayanan Kesehatan dan Lingkungan Keluarga

Tabel 4.5. Faktor Pelayanan Kesehatan

Faktor Keterangan Kesimpulan pembina


untuk faktor pelayanan
kesehatan
Pusat pelayanan Puskesmas dan rumah Keluarga bisa
kesehatan yang sakit menggunakan fasilitas
digunakan oleh kesehatan sesuai dengan
keluarga kebutuhannya
Cara mencapai pusat Menggunakan sepeda Keluarga sulit mencapai
pelayanan kesehatan motor saudara akan tetapi tempat pelayanan
memiliki kesulitan dalam kesehatan.
membonceng pasien.
Tempat tinggal pasien
tidak dilewati oleh jalur
angkutan umum.
Tarif pelayanan ● Sangat mahal Pasien menggunakan
kesehatan tersebut ● Mahal JKN
dirasakan ● Terjangkau
● Murah
● Gratis
Kualitas pelayanan ● Sangat baik Baik
kesehatan tersebut ● Baik
dirasakan ● Biasa
● Tidakmemuaskan
● Buruk

Tabel 4.6. Lingkungan tempat tinggal

Kepemilikan rumah: milik sendiri


Daerah perumahan: padat, tidak
bersih
Karakteristik rumah dan
lingkungan
Luas rumah :4x8 m2 Kecil
Jumlah orang dalam satu rumah : 4 orang
Luas halaman rumah : tidak ada
Lantai rumah : semen Baik
Dinding rumah : semen, triplek Cukup Baik

67
Penerangan didalam rumah Kurang
:jendela ada namun
tertutup, jumlah tidak
cukup. Listrik ada.
Ventilasi Kurang
Kelembapan rumah: lembab
Bantuan ventilasi di dalam rumah : tidak ada

Kebersihan dalam rumah Kurang bersih


Tata letak barang dalam rumah Kurang rapi
Kamar mandi : ada Kamar mandi terletak di dalam
rumah
Jamban : tidak ada

4.3 Pengkajian Masalah Kesehatan

A. Masalah internal

a. Kurangnya pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara

pencegahan penularan penyakitnya kepada anggota keluarga yang

lain.

b. Status gizi pasien buruk.

c. Aktivitas dan latihan fisik dikeluarga sangat kurang.

B. Masalah eksternal

a. Anggota keluarga pasien juga kurang mengetahui mengenai

penyakit pasien dan cara pencegahan penularan penyakit kepada

anggota keluarga yang lain.

b. Pencahayaan dan penataan ruangan di rumah pasien kurang baik.

c. Hiegenitas pada keluarga pasien kurang bersih dalam kebersihan

rumah, pembuangan limbah dan sampah.

68
4.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Penyelesaian Masalah

a Faktor pendukung

1. Pasien memiliki kartu BPJS.

2. Keluarga pasien kooperatif dalam penyelesaian masalah kesehatan

pasien

3. Keluarga pasien mau berobat ke puskesmas untuk mengobati

penyakit pasien

4. Keluarga pasien mau terbuka mengenai keluhan penyakit pasien

b Faktor Penghambat

1. Pengetahuan ibu pasien mengenai penyakit, tatalaksana,

pencegahan,penularan, dan komplikasi mengenai penyakit TB pada

pasien masih kurang.

2. Ibu Pasien memiliki kesulitan untuk mengunjungi tempat pelayanan

kesehatan karena tidak dapat memboceng pasien sendirian

3. Ayah pasien juga memiliki keluhan batuk, namun belum pergi

berobat karena jadwal pekerjaan yang padat

4. Ayah pasien merupakan perokok aktif yang memiliki kebiasaan

merokok di dalam rumah.

4.5 Rencana Pembinaan Kegiatan

Melalui pendekatan komprehesif dan holistik

1. Preventif

- Memberikan penyuluhan tentang penyakit TB mulai dari cara penularan

sampai komplikasi.

- Memberikan penyuluhan tentang etika batuk dan penggunaan masker

69
- Rajin kontrol ke layanan kesehatan untuk mengambil obat TB ( 3 hari

sebelum obat habis)

- Memeriksakan seluruh anggota keluarga baik anak maupun dewasa

- Mengikuti program puskesmas untuk masalah PHBS dan menjalankan serta

menerapkan program tersebut dalam kehidupan sehari hari :

Mandi dua kali sehari dengan sabun

Gosok gigi minimal dua kali sehari

Menggunting kuku

Mencuci rambut dengan shampoo

Ganti pakaian dengan yang bersih setelah mandi

Memakai alas kaki kalau keluar rumah

Mencuci tangan sebelum dan sesudah buang air kecil dan besar juga

setelah berkontak dengan kotoran, tanaman, tanah

Bersihkan kamar tidur, sapu kamar, jemur kasur, ganti alas kasur

minimal 1 kali seminggu

Merapikan barang barang tergantung,tidak menggunakan obat

nyamuk bakar ganti dengan kelambu atau repelan

Bersihkan debu yang ada dikamar

Buka jendela rumah pada pagi hari dan ditutup kembali pada sore

hari

Menyapu dan mengepel lantai rumah

Merapikan piring dan kompor, peralatan masak

Sediakan tempat sampah untuk menampung sampah

70
Bersihkan kamar mandi dan kuras bak mandi minimal satu kali

seminggu

Memberikan makanan yang bergizi untuk semua anggota keluarga

Olah raga secara teratur

2. Kuratif

- TB

OAT fase intensif selama dua bulan, setelah itu dilakukan pemeriksaan

BTA Sputum pada akhir bulan ke dua. Jika hasil negatif maka dilanjutkan

pengobatan OAT Fase lanjutan

- DIH

Memeriksakan ke layanan kesehatan dan cek fungsi hati untuk intervensi

tatalaksana komplikasi akibat obat TB

- PPI (pemberian profilaks INH)

3. Rehabilitatif

- Melanjutkan program pengobatan OAT hingga tuntas

4.6 Mapping Kegiatan

Tabel 4.7. Jadwal kegiatan

Turun Hari/Tanggal Kegiatan Keterangan


1 Sabtu (28-09- - Kunjungan awal ke -Perkenalan Dokter Muda
2019) keluarga binaan ke seluruh anggota
- Perkenalan dengan keluarga yang sedang
keluarga berada di rumah.
-Informed consent pada - Menyampaikan maksud
pasien untuk dilakukan dan tujuan dari keluarga
kegiatan keluarga binaan.
binaan - Melakukan anamnesis
- Anamnesis dan kepada keluarga,
mencari faktor resiko menjelaskan seputar
penyakit TB dan cara
mencegah penularan

71
terhadap anggota keluarga
lain.

- Mendapat persetujuan
dari keluarga untuk
menjadi keluarga binaan

2 Sabtu (12-10- -Identifikasi masalah -Memeriksa perkembangan


2019) yang terdapat pada penyakit pasien, meliputi
keluarga binaan keluhan sekarang, apakah
- Kontak erat pasien terdapat efek samping obat
dengan anggota atau komplikasi
keluarga lain tanpa alat penyakitnya.
pelindung diri. - Pemberian masker 1
- Kurangnya kotak, dijelaskan acara dan
pencahayaan di tempat kapan pemakaian masker.
tidur pasien, kelambu - Menjelaskan cara
dan alas kasur jarang penularan kuman TB dan
diganti. tanda-tanda penyakit TB
- Pasien cemas dengan - Menjelaskan bahwa
urine yang berwarna ventilasi yang baik dengan
merah sinar cahaya matahari
- Cucu pasien mampu membunuh kuman
didiagnosis juga TB, sebaiknya alas tidur
menderita TB dan dan kelambu sering
mendapat pengobatan dijemur dan rutin diganti.
OAT
-Menjelaskan efek samping
obat TB, dan meyakinkan
tidak bermasalah pada
tubuh pasien.
-Menjelaskan kepada
pasien untuk tetap rutin
mengkonsumsi obatnya
-Menganjurkan anggota
keluarga yang lain untuk
dilakukan pemeriksaan
dahak.
3 Jumat (18-10- - Follow up -Memeriksa perkembangan
2019) perkembangan keadaan penyakit pasien , meliputi
pasien saat ini keluhan sekarang, apakah
- Diskusi dengan terdapat efek samping obat
keluarga pasien terkait ataupun komplikasi
masalah-masalah yang penyakitnya.
ditemukan - Menjelaskan kepada
- Memberikan solusi pasien untuk tetap rutin
dan intervensi pada mengkonsumsi obatnya .
keluarga

72
- Melakukan pemeriksaan
vital dan pemeriksaan fisik
terhadap pasien.
- Memberikan solusi dan
intervensi kepada keluarga
binaan seperti cara batuk
yang benar, penggunaan
masker, menjaga
kebersihan dan
pencegahan penularan TB.
-Menganjurkan untuk rutin
kontrol berobat ke
puskesmas memeriksakan
diri dan mengambil obat
TB

4 Minggu (20- -Follow up dari - Menilai apakah intervensi


10-2019) intervensi yang yang diberikan telah
diberikan, apakah telah dilaksanakan pasien
sesuai dengan yang dengan benar. Didapatkan
diharapkan atau tidak. bahwa pasien sudah cukup
mengetahui hal-hal yang
dapat menyebabkan
penyakit TB dapat tertular,
menggunakan masker,
jendela terbuka di pagi dan
siang hari, makan obat
teratur.
- Menyarankan keluarga
agar tetap melakukan hal-
hal yang sudah disarankan
sebelumnya

73
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, 2014. Global Tuberculosis Report 2014.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI 2014.

3. Riadi Arief, 2012. Tuberkulosis dan HIV-AIDS. Jurnal Tuberkulosis Indonesia.

Mar: Vol. 8:24-29.

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Petunjuk Teknis

Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI 2014.

5. World Health Organization, 2017. Global Tuberculosis Report 2017.

6. World Health Organization, 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di

Rumah Sakit. Jakarta: World Health Organization.

7. Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri, 2015. Panduan Pengendalian

Tuberkulosis (TB) dengan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse

(DOTS) di Fasilitas Kesehatan Polri. Jakarta: Pusat Kedokteran dan Kesehatan

Polri

8. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et

al :

Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC 2008, hal 1028 – 1042.

9. Sari Pediatri, Epidemiologi Tuberkulosis. Cissy B. Kartasasmita. Bagian Ilmu

Kesehatan Anak FK Universitas Padjadjaran/RS Hasan Sadikin, Bandung.

Vol. 11, No. 2, Agustus 2009, P.124-6

74
10. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007

11. Price SA, Wilson LM, 2003. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses

penyakit. Edisi 6, Vol. 2. Jakarta: EGC, pp: 852-861.

12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia. Diunduh dari: http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. Diakses

Februari 2015.

13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Riset Kesehatan Dasar

2010.

14. Kumar Vinay, Cotran RS, Robbins SL, 2007. Buku ajar patologi edisi 7.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG, pp 544-551.

15. Jawetz, Melnick, Adelberg, 2012. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick,

& Adelberg Ed. 25. Jakarta: ECG.

16. Centers for Disease Control and Prevention, 2013. Reported Tuberculosis in

the United States, 2013. Atlanta, GA: U.S. Departement of Health and Human

Services, CDC, October 2014.

17. Jawetz, Melnick, Adelberg, 2012. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick,

& Adelberg Ed. 25. Jakarta: ECG.

18. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Buku ajar

mikrobiologi kedokteran. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.

19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI 2014.

75
20. Raviglione MC, O’Brien RJ, 2008. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS,

Braunwald E, Kasper DL, Hauser DL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’

s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill

Companies, Inc.

21. Basir D, Kartasasmita CB, 2010. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyatno DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama.

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

22. Centers for Disease Control and Prevention, 2011. The Difference Between

Latent TB Infection and TB Disease, TB Elimination.

23. Coker R, et al, 2006. Risk Factors for Pulmonary Tuberculosis in Russia:

case-control study. British Medical Journal 332: 85-87.

24. Narasimhan P, et al, 2013. Review Article: Risk Factors for Tuberculosis.

Hindawi Publishing Corporation. Pulmonary Medicine.

25. Alsagaff Hood, Mukty Abdul. Bab 2 Infeksi: Tuberkulosis Paru. Dasardasar

Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press, 2008.hal.73-1098.

26. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman,Diagnosis dan

Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta : Indah Offset Citra Grafika.

2006. Hal. 14

27. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Direktorat

Jenderal Peencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia; 2016.

28. Price, Sylvia A; Wilson, Lorraine M. : Patofisiologi Klinik, edisi ke 5,

Tuberkulosis. 2005. hal 753 – 761.

76
29. Alatas, Dr. Husein et al : Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2, Jakarta;

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007, hal 573 – 761.

30. KEMENKES RI. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta:Direktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen

PPPL).2013.

31. Petunjuk teknis dan manajemen tatalaksana TB anak. Kementerian kesehatan

republik Indonesia. Direktorat pencegahan dan pengendalian Penyakit 2016

77
Lampiran

78
Sabtu (28-09-2019)

79
80
81
82
Sabtu (12-10-2019)

83
Jumat (18-10-2019)

84
85
86
MINGGU (20-10-2019)

87
88

Anda mungkin juga menyukai